You are on page 1of 13

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/317162574

Komodifikasi Pariwisata Halal NTB dalam


Promosi Destinasi Wisata Islami di Indonesia

Article · March 2017


DOI: 10.25139/jsk.v1i1.64

CITATION READS

1 121

1 author:

Hafizah Awalia
Airlangga University
1 PUBLICATION 1 CITATION

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Hafizah Awalia on 04 June 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


JURNAL STUDI KOMUNIKASI
Volume 1 Ed 1, March 2017 Page 19 - 30

Komodifikasi Pariwisata Halal NTB dalam Promosi Destinasi Wisata


Islami di Indonesia

Hafizah Awalia
Universitas Airlangga, Indonesia
hafizahawalia030392@gmail.com

ABSTRAK
Destinasi wisata halal menjadi brand baru bagi provinsi NTB. Daerah yang kuat akan pluralitas suku dan
agamanya memperoleh label wisata halal. Hal ini penting dikaji jika melihat wacana pemerintah
melakukan dominasi terhadap objek kuasanya melalui sektor ekonomi dan pariwisata. Karenanya, wacana
wisata halal ini dapat ditinjau dengan menggunakan perspektif teori sosial post-modern Michael Foucault
tentang diskursus dan kekuasaan: elite kuasa yang mampu menciptakan sebuah diskursus baru (wisata
halal) untuk memperkuat dominasi politiknya. Kemudian dengan menggunakan perspektif Teori
Baudrillard terhadap munculnya masyarakat konsumtif di NTB sebagai akibat komodifikasi modal dan
dominasi dari para kapitalis.

Kata Kunci: Komodifikasi, Wacana, Wisata, Halal

ABSTRACT
Halal tourism destination becomes the new brand for West Nusa Tenggara. Strong local ethnic and
religious plurality obtain halal tourism label. It is important to assess if the government saw the
domination of the discourse object of power through the economic and tourism sectors. Therefore, this
discourse halal tourism can be evaluated using the perspective of post-modern social theory Michael
Foucault discourse and power: the power elite that is capable of creating a new discourse (halal tourism)
to strengthen its political dominance. Then, using the perspective of Baudrillard's theory of the
emergence of consumerist society in NTB as a result of capital commodification and domination of the
capitalists.

Keywords: Commodification, Discourse, Tourism, Halal

19
PENDAHULUAN Lombok yang pada saat ini semakin
Wacana wisata halal, tampaknya membentangkan sayapnya di dunia
telah menjadi trend dalam ajang pariwisata dunia.
promosi sektor pariwisata di Indonesia. Hal yang kemudian menjadi
Nusa Tenggara Barat yang sangat kerisauan ialah: apa yang kemudian
terkenal dengan kekayaan dan menjadi substansi gelar destinasi halal
keindahan alamnya yang sangat eksotis bagi Provinsi NTB. Apakah benar
tentu menarik para pelancong domestik pemerintah akan berkomitmen untuk
bahkan luar negeri untuk menikmati menciptakan lingkungan wisata yang
sensasi liburan di daerah yang terkenal agamis dan halal atau hanya sebuah
dengan julukan daerah seribu mesjid. jargon atau sebuah istilah yang
Sebut saja pulau Lombok, yang dikomodifikasi oleh kelompok-
menawarkan keindahan alam yang kelompok kepentingan. Selain itu,
terbentang dari ujung timur hingga counter wacana terhadap istilah wisata
ujung utara dengan destinasi wisata halal di tengah pluralitas suku dan
yang tidak ada habis-habisnya. agama di NTB.
Memanjakan mata dengan pantai yang Seperti kita ketahui bahwa
tak berujung, membawa kesejukan kelompok kepentingan, bahkan elite-
dengan bermain di bawah air terjun, dan elite politik mampu memunculkan
memanjakan diri dengan berjemur atau sebuah wacana atau diskursus baru
bersantai di pulau terkenal, yakni gili untuk menggiring para non-elite
matra (gili trawangan, gili meno, dan (masyarakat) untuk memperkuat dan
gili air). Tentu tidak ada habis-habisnya mempertahankan kekuasaan (Foucault,
jika membahas satu-persatu kekayaan 2000: 17). Selain itu, dunia yang serba
alam di Pulau Lombok ini. Tak modern ini mencoba menyajikan
disangka dan tak diduga, NTB menjadi realitas semu yang dikomodifikasi
salah salah satu ikon pariwisata halal di dalam label pariwisata. Pemerintah
Indonesia (www.disbudparntb.com). sebagai kalangan elite menawarkan
Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri sensasi liburan bagi para pelancong luar
dari masyarakat NTB, terutama Lombok agar mereka dengan senang

20
hati dan tanpa sadar menghabiskan Struktur bahasa dalam frasa
modal mereka demi mengonsumsi “wisata halal” dalam kajian
sensasi liburan yang tak terbayarkan di strukturalisme bahasa dapat ditelisik
tempat lain, hanya ada di Pulau lebih dalam dalam segi pemaknaannya.
Lombok. Ini merupakan hiperrealitas, Dalam kajian strukturalisme milik De
realitas semu yang sengaja dibuat oleh Saussure, selau tidak lepas dengan
kaum kapital untuk mengeruk terminologi signifier dan signified yang
keuntungan sebesar-besarnya. diartikan sebagai penanda dan petanda
Mengumpulkan pundi-pundi uang dan (Pilliang, 2010: 47). Sebuah kata hanya
menjebak masyarakat dalam dunia dapat dimaknai jika telah menyatu
konsumsi, manipulasi tanda dan simbol dengan realitas yang ada. Makna akan
yang tiada akhir (Baudrillard, 2012: 16). terjalin jika bahasa telah bergabung
dalam sebuah relasi yang struktural dan
tidak sejajar. Dalam konteks “tourism”,
PEMBAHASAN di satu sisi, kata “wisata” merupakan
Komodifikasi Wacana Wisata Halal arena/tempat untuk menghabiskan
Makna wisata halal mungkin akan waktu senggang, berlibur atau hanya
berbeda-beda bagi setiap orang. Ada ingin menikmati keindahan alam. Selain
yang mengartikan sebagai penyajian itu, kata “halal” adalah istilah yang
makanan dari bahan-bahan yang halal sangat erat dengan relasi kehidupan
atau aturan perwisataan yang mengikuti orang-orang Islam, selalu dikultuskan
tata cara dalam syari’at Islam dan dikaitkan dengan ajaran agama dan
(Salehudin dan Luthfi, 2010). Makna dalam kitab suci umat Islam. Relasi kata
dari frase ”wisata halal” ini sebenarnya “halal”, memiliki makna yang sangat
sangat ambigu, tidak baku, bahkan beragam, diantaraya konotas dalam hal
sangat membingungkan, karena tidak makanan, mencari nafkah, dan lain
ada itnterpretasi makna yang bisa sebagainya. Secara struktur bahasa
dijadikan pegangan utama. Semua kedua kata tersebut berada pada relasi
orang bisa mengartikannya berbeda- yang sangat timpang secara struktur
beda sesuai dengan pemahaman pemaknaan, tetapi jika disandingkan
masing-masing. menjadi bentuk padanan frasa yang

21
baru, maka terminology “wisata halal” diperkuat oleh bahasa. Bahasa mampu
bisa menjadi makna yang yang berbeda menggambarkan realitas sebenarnya
dari sebelumnya. (Ritzer, 2012: 1035) Tentu saja jika kita
Wisata halal bermakna industri menyebut “wisata halal”, maka pikiran
pariwisata yang ditujukan untuk kita akan langsung tertuju pada NTB
wisatawan muslim dan pelayanan atau Pulau Lombok. Selanjutnya, siapa
merujuk pada aturan Islam. Artinya, saja yang mampu menciptakan bahasa
pemerintah akan melarang aktor-aktor atau wacana “wisata halal”, ia adalah
pariwisata menjajakan minuman yang pihak yang memiliki dominasi kuasa
mengandung genre-genre yang berbau atas rakyat, yakni pemerintah (Foucault,
non-islam, menyediakan fasilitas yang 2000: 13). Dalam kajian ilmu sosial,
terpisah antara laki-laki atau perempuan realitas semacam ini merupakan sebuah
yang non-muhrim (bukan suami-isteri). bentuk kontrol penguasa terhadap
Ini adalah bentuk pertarungan masyarakat.
kuasa yang kabur dan melebur dalam Pemerintah yang mengeluarkan
sebuah diskursus baru. Pihak kuasa wacana tersebut, tentu tidak lepas dari
(pemerintah) sebagai kaum aristocrat kepentingan politik. Secara kasat mata
masa ini mulai melancarkan bom-bom mungkin tidak terlihat, tetapi diskursus
penghancur kebudayaan. Masyarakat “wisata halal” merupakan sebuah
akan terlena dan tenggelam dalam janji- bentuk komodifikasi terhadap bahasa.
janji politis demi kesejahteraan rakyat. Pemerintah ingin memperkenalkan
Oleh karenanya, untuk kesekian kalinya nama NTB dengan jargon wisata
pemerintah telah berhasil memperkuat halalnya, agar wisatawan domestik dan
jargon daerah “seribu mesjid” yang mancanegara tertarik untuk berwisata
merupakan titik populer Pulau Lombok dan menghabiskan capital di NTB.
sebagai corong pariwisata Indonesia . Dengan tujuan tersebut, maka semakin
Namun, perspektif ilmu sosial banyak keuntungan sosial, politik,
menganalisis dengan cara yang berbeda. bahkan ekonomi yang diraih hanya
Levi Strauss seorang ahli teori dengan brand wacana “wisata halal”.
strukturalisme mengamati bahwa
struktur dalam masyarakat dapat

22
Dalam perspektifnya, ia mencoba
Kuasa Kapitalis dalam Diskursus menarik relasi antara bahasa sebagai
wisata Halal wacana dan kekuasaan. Pihak penguasa
Nusa Tenggara Barat sebagai yang memiliki pengetahuan akan
salah satu corong pariwisata Indonesia, mudah melakukan kontrol penuh
bahkan kini telah menarik dan menjadi terhadap masyarakat. Dunia pariwisata
magnet tersendiri bagi ikon pariwisata memiliki aktor-aktor atau pemain yang
dunia. Dengan segala keindahan dan sebagian besar adalah masyarakat yang
kenyamanan yang ditawarkan membuat tidak memiliki pengetahuan yang tinggi,
semua orang akan terlena begitu saja. dan dengan mudahnya teks-teks kuasa
Pemerintah dalam hal ini sebagai tersebut didengungkan oleh pemerintah
penguasa tertinggi di daerah memegang dengan janji-janji politisnya.
kuasa penuh akan pengetahuan Masyarakat dalam konteks kuasa dapat
kepariwisataan daerahnya. Mencoba dikatakan sebagai kaum marginal atau
berbagai cara untuk menaikkan pamor terpinggirkan. Secara politis, mereka
dan ikon populer daerah dengan cara akan tunduk terhadap penguasa dengan
yang tidak biasa. Foucault, salah satu segala instrumen kekuasaannya.
teoritisi post-strulturalisme, bahkan Wacana yang dikeluarkan oleh
dengan pemikiran yang sangat ekstrem pemerintah merupakan pembenaran
melihat kuasa bukan lagi menjadi milik yang tak terbantahkan. Itulah realita
subjektif atau kemampuan yang terjadi dalam relasi kuasa. Relasi
mempengaruhi orang lain, seperti yang kuasa akan selalu memproduksi dan
didefinikan oleh kaum weberian dan mereproduksi hubungan yang timpang
Marxian. Ia telah melampaui dua narasi secara terus-menerus. Tidak ada
besar tersebut dengan analisisnya kesejajaran dalam kuasa. Yang ada
mengenai kuasa bahasa dan hanyalah yang berkuasa akan terus
pengetahuan yang dapat melebur dan berkuasa dan akan terus melakukan
berpencar dalam segala lini kehidupan, hegemoni dan berwajah palsu ketika
baik ekonomi, sosial maupun budaya berhadapan dengan masyarakat.
(Foucault, 2002: 50). Wisata halal kembali menjadi
panopticon gaya baru dalam dunia

23
postmodern ini. Panopticon merupakan merugikan penguasa. Penguasa akan
kerangkeng kuasa atas relasi yang selalu diuntungkan dalam setiap akting
timpang dalam setiap wacana yang politiknya hingga pengetahuan yang
didengungkan oleh penguasa sebagai memiliki makna real akan menguap
pembenaran aktifitasnya (Lubis, 2014: menjadi sebuah kepalsuan (Ritzer,
69). Dalam konteks ini, praktik 2010: 79).
dominasi mulai dilakukan oleh Di balik kuasa pemerintah, tidak
pemerintah dengan alas an diskursif lain berdiri kokoh para kapitalis yang
mengenai wisata halal. Kata-kata manis merupakan pemilik modal sejati. Kuasa
tentang kesejahteraan dan kenyamanan akan modal tidak lain merupakan
hidup masyarakat merupakan bentuk manifestasi pengetahuan akan kontrol
matinya makna bahasa yang ekonomi. Investasi jangka menengah
sebenarnya. Teks pidato oleh dan jangka panjang menjadi lahan
pemerintah tidak lain ialah bentuk empuk untuk mengeruk benefit sebesar-
negasi (pernyataan yang tidak besarnya. Hal ini bermakna bahwa
sebenarnya) dari realitas yang ada. kuasa akan bergerak secara terus
Dalam dunia diskursus, manusia tidak menerus dengan relasi pengetahuan
lain adalah objek dominasi yang empuk. sebagai panopticon tanpa suara (Ritzer,
Sudah bukan zamannya lagi penjajahan 2010: 103). Penguasa akan
dilakukan melalui kontak fisik maupun memenjarakan masyarakat dengan
perang biologis. Kita berada pada ranah wacana dan bahasa teks sebagai mimpi
perang psikologis, wacana, dan bahasa, yang seolah nyata, dan ketika terbangun
dimana siapapun yang menguasai teks masyarakat telah berubah menjadi
kehidupan akan memiliki relasi yang masyarakat yang sejahtera walfare
besar dan tak terbatas untuk menguasai state. Sama sekali tidak, kuasa akan
dunia. Wacana wisata halal di Nusa terus menerus diproduksi sebagai janji
Tenggara Barat akan terus menjadi belaka dan para kapitalis akan siap
wacana tanpa adanya tindak lanjut membantu dan memikul rencana politis
terhadap kesejahteraan rakyat marginal. para penguasa.
Tidak ada satupun konteks kepemilikan
pengetahuan di dunia ini yang akan

24
Hiperrealitas Konsumsi dalam memperdulikan keindahan asli dari
Perkembangan Wisata di NTB pantai yang mengelilingi sebagai besar
Nusa Tenggara Barat yang wilayah Nusa Tenggara Barat. Kini,
dulunya tidak populer seperti saat ini wisata-wisata tersebut telah berubah
merupakan daerah yang yang sangat menjadi hotel-hotel, penginapan,
sepi akan pengunjung bahkan bahkan homestay yang seharusnya tidak
wisatawan asing. Keindahan alamnya ada dalam lingkungan wisata. Keasrian
yang sangat asri hanya menjadi dan keindahannya sekarang sudah
konsumsi sehari-hari masyarakat asli tercemar dan tergantikan dengan
daerah tersebut. Hingga suatu saat gedung-gedung bertingkat yang
investor asing mulai melirik panorama memanjakan tourist dan wisatawan
dan keindahan pariwisata yang sangat domestik yang sekedar ingin berlibur
memikat dan akan mengalahkan pamor dan memanjakan diri.
Bali sebagai ikon utama pariwisata Realitas telah melebur menjadi
Indonesia. Kaum kapitalis yang mulai realitas semu. Kegiatan wisata tidak lain
tertarik akan tanah Nusa Tenggara Barat merupakan sebuah bentuk simulasi
mulai merasakan adanya potensi besar tanda yang mengaburkan antara realitas
bagi keuntungan modal investor. sebenarnya, hingga menjadi citra, tanda,
Mereka mulai memilih dan menjadikan dan simbol (Lubis, 2014: 174).
wisata ekologi tersebut sebagai Wisatawan kini telah dimanjakan
komoditas baru, yang dengannya akan dengan aktifitas, yang pada hakikatnya
meraup benefit yang tak terkira. ialah konsumsi tanda. Kegiatan wisata
Ini adalah realita yang disebutkan bukan lagi menjadi kegiatan sekedar
Baudrillard sebagai realitas semu dan berlibur, rileks, bahkan melepas penat.
bentuk alienasi dalam ekstasi Lebih daripada itu, ia menjadi arena
konsumerisme (Pilliang, 1998: 249). konsumsi dan reproduksi tanda sebagai
Makna keindahan alam yang harusnya cerminan identitas dan simbol status
alami dan tanpa permainan uang kini (Hidayat, 2012: 63). Tidak heran jika
telah menjadi asing dari alam dan para wisatawan rela menghabiskan gaji
berubah menjadi komoditas wisata bahkan uang tabungannya hanya untuk
besar-besaran. Para investor tidak lagi bersantai dan menikmati liburan di

25
pulau terpencil. Apa yang igin mereka dengan tipu muslihat tanda, citra, dan
tunjukkan? Tidak lain ialah pemilik makna yang menyisakan kehampaan
modal oleh kelompok ekonomi makna dan realitas semu belaka. Dalam
dominan, dengan uang yang mereka dunia simulacra, realitas semu terus
miliki mereka akan memanjakan tubuh diproduksi, sehingga kabur dan
dan terhindar dari kepenatan dunia. menguap realitas yang sebenarnya.
Masyarakat pada zaman ini yang Sebut saja media, iklan, bahkan televisi
menjadikan wisata sebagai life style yang menjanjikan dan menayangkan
baru, tidak lain merupakan bentuk trend ekstasi tak terkira berlibur di pulau-
dari dunia simulacra yang disebut pulau tak berpenghuni. Hingga kini
sebagai dunia silang-sengkerut tanda kebiasaan tersebut menjadi habitus
dan simbol. Melakukan kegiatan liburan masyarakat postmodern saat ini. Paket
bukan lagi hanya sekedar kebutuhan wisata lengkap, beserta guide dan
yang diasosialikan oleh Karl Marx tawaran-tawaran lain membuat
sebagai nilai guna, tetapi telah berubah timbulnya hasrat untuk melakukan
makna menjadi nilai tanda dan simbol konsumsi yang sebenarnya tidak
berdasarkan kajian Baudrillard dibutuhkan. Kita kini telah terlena
(Hidayat, 2012: 60). Ia menolak dengan dengan bujuk rayu media dan iklan.
keras pola pikir Marx yang hanya Dalam kondisi seperti ini teknologi
mengagung-agungkan aktifitas produksi (cyberspace) telah menjadi obsesi yang
di kala zaman feodal berlangsung. lebih nyata dibandingkan kesadaran itu
Kini dalam dunia postmodern, sendiri (Pilliang, 2004: 13).
simbol dan status sosial bukan hanya Kini, masyarakat konsumsi
melekat pada uang dan modal, bahkan sedang berada pada pusaran realitas
telah melebur menjadi identitas tidak sebenarnya, yakni hiperrealitas.
masyarakat konsumsi dewasa ini. Hiperrealitas ialah sebuah kondisi
Masyarakat telah terjun lebih dalam realitas yang merupakan timbal-balik
pada dunia ekstasi yang kehilangan yang dihasilkan oleh era simulasi dan
makna dan fungsi komoditas dunia simulacra. Jika simulasi
sebenarnya. Mereka terjun pada dunia merupakan sebuah era meleburnya
simulacra, yakni dunia yang penuh tanda dan simbol hingga tak ada definisi

26
yang jelas antara realitas dan realitas NTB di Tengah Pluralitas Suku dan
buatan, sedangkan simulacra merupakan Agama
dunia pertarungan tanda dan simbol. Keragaman suku, budaya, dan
Simulacra dapat terjadi dalam arena agama di NTB memang menjadi
yang bermacam-macam, seperti keunikan tersendiri di daerah ini.
kegiatan konsumsi yang dapat membaur Pasalnya, semua jenis suku dan agama
dalam dunia pariwisata. Padahal dalam hidup berdampingan satu sama lain.
konteks Karl Marx, kegiatan konsumsi Daerah NTB dapat dikatakan sebagai
hanya dapat berbentuk relasi antara daerah yang sangat jarang adanya
komoditas dan kebutuhan. Tetapi, konflik agama ataupun suku. Walaupun
dalam dunia simulacra, komoditas beberapa waktu lalu terdengar konflik
kehilangan bentuk objeknya. Ia dapat antar-agama ataupun suku yang terjadi
berupa sesuatu yang abstrak bahkan tak akibat adanya gesekan kepentingan
dapat tersentuh sekalipun. Hiperrealitas individu yang berujung pada konflik
yang merupakan bentukan simulasi dan sosial. Secara keseluruhan, daerah ini
simulacra mengakibatkan terhapusnya termasuk kawasan yang tentram dan
antara yang nyata dan bercampur-baur damai. Hal ini dibuktikan semakin
dengan sesuatu yang semu dan imajiner banyaknya wisatawan yang
(Lubis, 2014: 178). Ia dalam kondisi menyempatkan diri untuk berlibur
yang sudah tidak mampu melakukan bahkan menghabiskan waktu
definisi terhadap realitas. Hanya mampu senggangnya.
melakukan representasi yang tidak logis “Wisata halal” yang menjadi
terhadap realitas. Perilaku dalam brand baru-baru ini bagi Provinsi NTB
kegiatan konsumtif merupakan ialah angin segar bagi pemerintah
akumulasi dari konsumsi tanda dan maupun masyarakatnya. Namun, tidak
simbol yang melekat pada terminologi dapat dipungkiri akan menimbulkan
pariwisata. Padahal hakikatnya, hanya konflik sosial dalam masyarakat. Sebut
berupa perwujudan simbol status, saja Pulau Lombok yang selalu menjadi
prestige, dan kepuasan akan bujuk rayu primadona wisata akhir-akhir ini sangat
kapitalis dalam ikon-ikon pariwisata. disanjung oleh pemerintah dengan
berbagai capaiannya. Penyediaan

27
infrastruktur dan sarana lainnya tentu terjadinya konflik internal maupun
semakin membuat Pulau Lombok eksternal suku dan agama di NTB.
bersinar di dunia pariwisata. Sementara,
Pulau Sumbawa yang tidak kalah KESIMPULAN
fantastis dan indah pariwisatanya tidak “Wisata halal” menjadi angin segar bagi
begitu dilirik oleh wisatawan, karena masyarakat NTB. Kiat pemerintah
masih minimnya informasi, promosi, mempromosikan wisata NTB di mata
bahkan infastruktur atau sarana wisata dunia memang patut untuk diacungi
yang belum memadai. Ini artinya jempol. Namun, wacana tersebut juga
adanya kesenjangan yang sangat lebar dapat berupa kepentingan politis bagi
antara Pulau Lombok dan Pulau pemerintah untuk mengontrol modal di
Sumbawa. Seolah-olah Pulau Sumbawa daerah. Hal ini merupakan bentuk
tidak begitu menarik bagi investasi dominasi penguasa terhadap rakyat,
daerah jangka panjang. yakni siapa yang mampu melakukan
Secara tersirat, deskriminasi suku komodifikasi terhadap wacana, maka ia
juga terlihat, jika kita mengkajinya akan mendapat kontrol penuh terhadap
dalam perspektif ilmu sosial. Daerah objek kuasanya. Selain itu, pluralitas
NTB yang didiami oleh mayoritas suku agama dan suku di NTB tidak dapat
sasak tentu menjadi pertimbangan bagi diabaikan begitu saja. Kepentingan
pemerintah untuk akan lebih berpihak politis dan keberpihakan terhadap
pada kelompok mayoritas. Begitu juga komunitas tertentu akan menimbulkan
dari sisi agama, mayoritas pemeluk kecemburuan dan konflik sosial yang
agama Islam yang mendiami daerah akan mengancam keutuhan dan
NTB menyebabkan pemerintah kesatuan daerah.
mengeluarkan wacana “wisata halal”.
Beberapa keberpihakan pemerintah ini
pasti akan menimbulkan kecemburuan
sosial terhadap agama ataupun suku
yang lain. Oleh karena itu, hendaknya
pemerintah lebih netral dan adil
terhadap pluralitas untuk menghindari

28
REFERENSI Pilliang, Yasraf Amir. (1998). Sebuah
Author. (2016). Wisata Halal Aktivitas Dunia yang Dilipat: Realitas
Berketuhanan dan Berkelanjutan Kebudayaan Menjelang Milenium
[Online]. Tersedia di Ketiga dan Matinya
http://ww.w.disbudpar.ntbprov Postmodernisme. Bandung:
.go.id/wisata-halal-aktivitas- Mizan.
berketuhanan-dan berkelanjutan. _________________. (2004). Dunia
Baudrillard, J. (2015). Masyarakat yang Berlari: Mencari Tuhan-
Konsumsi. Diterjemahkan oleh Tuhan Digital. Jakarta: PT.
Wahyunto. Bantul: Kreasi Grasindo.
Wacana. _________________. (2010). Semiotika
Foucault, M. (2000). Seks dan dan Hipersemiotika: Kode Gaya,
Kekuasaan. Diterjemahkan oleh dan Matinya Makna. Jakarta:
Rahayu S. Hidayat. Jakarta: PT Matahari.
Gramedia Pustaka Utama. Ritzer, G. (2010). Teori Sosial
__________.(2002). Postmodern. Diterjemahkan oleh
Power/Knowlwdge: Wacana Muhammad Taufik. Yogyakarta:
Kuasa/Pengetahuan. Kreasi Wacana.
Diterjemahkan Oleh Yudi _______. (2012). Teori Sosiologi: Dari
Santosa. Yogyakarta: Bentang Klasik Sampai Perkembangan
Budaya. Terakhir Postmodern.
Hidayat, Medhy Aginta. (2012). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Menggugat Modernisme: Salehudin dan Luthfi. (2010).
Mengenali Rentang Pemikira Marketing Impact of Halal
Postmodernisme Baudrillard. Labeling toward Indonesian
Yogyakarta: Jalasurta. Muslim Consumer’s Behavioral
Lubis, Akhyar Yusuf. (2014). Intention Based on Ajzen’s
Postmodernisme: Teori dan Planned Behavior. Proceeding of
Metode. Depok: PT. Rajagrafindo 5th International Conference on
Persada. Business and Management

29
Research (ICBMR), Presented 4th
August 2010, Depok‐Indonesia.

Tentang Penulis:
Hafizah Awalia adalah Mahasiswa Magister Sosiologi di Universitas Airlangga. Gadis
asal Sumbawa ini menyukai kajian Perilaku Konsumsi Masyarakat dan kajian – kajian
Postmodernisme

30

View publication stats

You might also like