You are on page 1of 15

PENDAPAT ULAMA FIQIH TENTANG WALIMAH DAN MAHAR

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muqorin

Dosen Pengampu : Aulia Rahman, M. H.

Oleh :

Kelompok 10

Ariz Ananda Fathullah 2021508066

Winda Khairunnisa R 2021508085

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS (UINSI) SAMARINDA

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
‫الر ِحيْم‬
‫الرحْ َم ِن ه‬
‫َّللاِ ه‬
‫س ِم ه‬
ْ ِ‫ب‬

Alhamdulillah, Segala puji dan syukur atas kehadiran Allah SWT yang telah
senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayahnya, sehingga makalah
dengan judul Pendapat Ulama Fiqih Terhadap Walimah dan Mahar ini dapat
terselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan seluurh
alam nabiyullah Muhammad SAW. Yang tekah mengantarkan kita dari kegelapan
menuju cahaya terang benderang, yang telah mengeluarkan kita dari kebodohan
menuju ilmu pengetahuan. Semoga kelak kita mendapat syafaat beliau diyaumil akhir.
Aamiin.

Adapun penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqih Muqorin. Selainitu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
para pembaca dan bagi penulis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada dosen pengampu


mata kuliah Fiqih Muqorin, bapak Aulia Rachman M.H yang telah memberikan
bimbingan kepada kami, serta semua teman-teman yang telah berpartisipasi.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna,
baik dalam penulisan, pelafalan, penyampaian materi, maupun penjelasan. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari bapak dosen dan juga teman-teman semua sangat kami
nantikan agar terciptanya makalah yang baik dan benar.

Samarinda, 6 Desember 2022

Kelompok 10

FIQIH MUQORIN | i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB 1 ........................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 2

C. Tujuan Pembahasan ............................................................................................... 2

BAB II .......................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3

A. Pengertian dan Hukum Walimah ........................................................................... 3

B. Pengertian dan Hukum Mahar ............................................................................... 6

BAB III ....................................................................................................................... 11

PENUTUP .................................................................................................................. 11

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 11

B. Saran .................................................................................................................... 11

Daftar Pustaka ........................................................................................................... 12

FIQIH MUQORIN | ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan Agama yang memiliki ajaran yang Syamil dan Kamil
di antara agama-agama yang lain. Syamil berarti menyentuh segala aspek
kehidupan manusia, semenjak seseorang bangun dari tidur dan hingga tidur
kembali, seperti makannya, minumnya, bahkan masuknya seseorang ke dalam
kamar mandi untuk membuang hajat. Kamil berarti bahwa ajaran Islam itu
lengkap dan bersifat final, artinya bahwa tidak ada suatu permasalahanpun yang
luput dari pada ajaran Islam, karena Islam tidak akan pernah meningglakan
umatnya dalam kebingungan atas apa yang telah disyariatkan kepada mereka.
Adapun Sumber ajaran Islam yang paling utama adalah Al Qur’an dan Sunnah,
dan apabila dengan kedua sumber ajaran tersebut seseorang belum menemukan
jawaban atau solusi dari sebuah permaslahan, maka sesuai kesepakatan para
ulama, hendaklah ia menyandarkan pemahamanya pada Ijma’ dan Qiyas1.
Dalam ajaran Islam, terdapat hukum-hukum yang mengatur tentang
bagaimana seseorang menjalani kehidupan, agar tidak bertentangan dengan
ajaran dan prinsip Islam. Di dalam al Quran dan Hadis terdapat hukum-hukum
syariat yang dapat dipahami dan diterapkan secara langsung oleh seorang
Muslim, namun juga terdapat hukum-hukum yang dapat dipahami tidak secara
langsung, sehingga membutuhkan sebuah penafsiran dari pada mufasir untuk
memahaminya.
Perkembangan zaman yang sangat pesat menyebabkan lahirnya banyak
permasalahan baru, yang konon oleh sebagian orang yang tidak memahami
agama Islam secara menyeluruh mengatakan bahwa Qur’an dan Hadis tidak
relevan dengan perkembangan zaman saat ini, namun seorang yang memahami

1
Yusuf Qardhawy, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, terjemahan Salim Bazemool,
(Mesir: Dar Ash Shahwah- CV. PUSTAKA MANTIQ, 1993), hlm. 17.

FIQIH MUQORIN | 1
sepenuhnya agama Islam, mereka akan berkata bahwa disinilah perjuangan
untuk berijtihad dibuka selebar-lebarnya, sehingga dapat diketahui bahwa
syariat Islam itu luas dan luwes, tidak sempit dan tidak monoton. Dalam
berijtihad, Islam memberikan batasan-batasan kepada seseorang, tidak semua
dapat melakukan Ijtihad sesuka hait atau sesuai dengan keinginan mereka,
namun Islam memberikan syarat bagi orang yang berhak untuk melaksanakan
Ijtihad. Adapun hukum-hukum yang menjadi hasil dari pada Ijtihad para ulama
dalam menetapkan suatu hukum, dan hukum-hukum tersebut terdapat dalam
suatu bidang ilmu yang disebut dengan Fiqih2.
Dalam menjalani segala aktivitas keagamaan (Hablumminallah dan
Hablumnannas), seseorang harus memiliki kecenderungan untuk menelaah dan
mengkaji hukum-hukum yang terdapat dalam ilmu Fiqih, yang sudah menjadi
ketetapan ulama-ulama terdahulu di antaranya adalah yang dikenal dengan
Imam Empat Mazhab, seperti halnya dalam aktivitas Hablumminallah dan
Hablumminannas seperti dalam jual beli, riba, wakalah, hawalah, hutang -
piutang dan sebagainya sesuai dengan pandangan para Imam mazhab. Dan di
antara aktivitas yang tidak dapat dipisahkan keterkaitannya dengan orang lain
adalah acara walimah dan Mahar.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian dan Hukum Walimah ?
2. Bagaimana Pengertian dan Hukum Mahar ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dan hukum dari walimah.
2. Untuk mengetahui pengertian dan hukum dari mahar.

2
Abu Ishaq As Syirazi, Al-Luma’ Fi Ushul Al Fiqh, (Jakarta: Darul Kutub Al Islamiyyah,
2010), hlm. 6.

FIQIH MUQORIN | 2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hukum Walimah


Walimatul Ursy merupakan perkara yang disyariatkan dalam Islam dan
tidak ada khilaf para ulama bahwa menyelenggarakan walimatul ursy (pesta
pernikahan) hukumnya sunnah. Hal ini sesuai dengan anjuran Rasulullah Saw
dalam sebuah Hadits yang menerangkan bahwa ketika Abdurrahman bib Auf
telah menikahi perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas, beliau Saw
menganjurkannya menyelenggarakan walimah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫َعن اَنَس بن َمالك اَن النبي ص َرأَى َعلَى َعبد الرحمن بن َعوف اَث َ َر‬
‫يَا‬: ‫ َما هذَا؟ قَا َل‬: ‫صف َرة فَقَا َل‬
َ َ‫فَب‬: ‫قَا َل‬. ‫سو َل للا انّى ت َزَ وجتُ ام َرأَة َعلَى َوزن ن ََواة من ذَهَب‬
‫مسلم‬. ‫اَولم َو لَو بشَاة‬. َ‫اركَ للاُ لَك‬ ُ ‫َر‬
Artinya: Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi saw. melihat ada bekas
kuning-kuning pada ‘Abdur Rahman bin ‘Auf. Maka beliau bertanya, “Apa ini
?”. Ia menjawab, “Ya Rasulullah, saya baru saja menikahi wanita dengan mahar
seberat biji dari emas”. Maka beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahimu.
Selenggarakan walimah meskipun (hanya) dengan (menyembelih) seekor
kambing”.
Menurut Imam Syafi’i, term walimah diambil dari kata walmun yang
berarti sebuah perkumpulan, dikarenakan kumpulnya antara kedua mempelai.
Juga dikatakan bahwa walimah merupakan makanan yang disediakan ketika
acara pernikahan, atau semua jenis makanan yang disiapkan untuk para tamu
undangan, tidak terkecuali ketika khitan, pulang dari berpergian jauh dan
lainnya3. Syafi’iyyah menekankan bahwa hukum walimah adalah sunnah
muakkadah. Di antara hikmah dari pada diadakannya kegiatan walimah ini

3
Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Iwad Al Jaziri, Fiqhul ‘Am, Al Fiqh ‘ala mazhab al
arba’ah, Juz 5, (Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyyah, 2003), hlm: 33.

FIQIH MUQORIN | 3
adalah sebagai bentuk rasa syukur taufiq yang telah diberikan oleh Allah SWT,
dan adanya undangan kepada kerabat, sahabat, keluarga bahkan penghuni suatu
desa yang menyebabkan tumbuhnya rasa kecintaan kepada sesama.
Memperlihatkan dan menyiarkan kedua pengantin kepada khalayak ramai, dan
sekaligus memperlihatkan perbedaan adat pernikahan yang sesuai dengan
syariat dan yang tidak sesuai dengan syariat.4
Hanafiyyah berpendapat walimah itu adalah sunnah. Lebih jauh,
Hanafiyyah memandang, ketika seorang lelaki meminang wanita, hendaklah ia
mengundang kerabat-kerabatnya, tetangganya, teman-temannya, dan
menyediakan makanan bagi mereka atau menyembelih seekor hewan bagi
mereka. Malikiyyah memandang bahwa hukumnya adalah Mandub, sedangkan
mazhab Hanabilah memandang bahwa hukumnya adalah Sunnah. Dan dalam
kaitannya dengan hukum membuat makanan selain walimah, sebagaimana
yang telah disebutkan di atas adalah dibolehkan dan tidak dianjurkan. Kecuali
Hanabilah memandang makruh dan boleh bagi makanan yang dibuat setelah
khitannya seorang anak, sedangkan untuk ‘aqqiqah dipandang Sunnah 5. Ibnu
Quddamah dalam Al Mughni menegaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat
ahlul ‘ilmi dalam menghukumi keharusan seseorang mengadakan walimah,
bagi seseorang yang akan dan atau yang sedang menikah.6
Dari pandangan yang diberikan oleh empat mazhab di atas, telah jelas
bahwa walimah merupakan sebuah acara yang diadakan oleh sahibul hajat
dengan menyediakan berbagai macam bentuk makanan untuk para tamu
undangan, walimah tersebut tidak hanya diadakan bersamaan ketika acara
pernikahan atau sehari setelahnya, ketika seorang anak diaqiqah atau dikhitan

4
  Mustofa Al Khin, Mustofa al Bugho, Aliy As Syarbiji, Fiqih Syafi’i, Fiqih Manhaj ‘ala
Mazhab al Imam As syafi’i, Jilid 4, (Damaskus: Darul Qolam, 1992), hlm. 97.
5
Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Iwad Al Jaziri, Fiqhul ‘Am, juz 5, hlm: 34.
6
  Abu Muhammad Mauquf Addin Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Quddamah, (Qohiroh:
Maktabul Qohiroh, 1968), hlm. 275.

FIQIH MUQORIN | 4
atau juga bisa dilakukan oleh seseorang setelah bepergian jauh, sebagai rasa
syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diperolehnya.
Hukum Menghadiri Walimah
Secara umum, para imam mazhab sepakat bahwa hukum menghadiri
walimah bagi tamu yang diundang adalah wajib, adapun mendatangi selain
undangan walimah adalah sunnah. Wajib dan sunnahnya mendatangi walimah
bisa dilihat pada syarat-syarat yang telah disepakati oleh para ulama mazhab.
Berdasarkan hadits berikut:

‫ي أَ َح ُدكُمَ ِإلَى ال َو ِلي َم َِة فَليَأ ِتهَا‬


ََ ‫ِإذَا ُد ِع‬

Artinya: Apabila kamu diundang walimah maka datangilah. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Hanafiyyah memiliki dua pendapat dalam hal ini, yang pertama adalah
hukum menghadirinya adalah sunnah muakkadah dan yang kedua sunnah
muakkadah yang mendekati wajib khususnya dalam walimah. Adapun
mengahadiri selain walimah adalah tidak diwajibkan, dan sebagian di antara
mereka mengatakan bahwa undangan tersebut tidak boleh ditinggalkan.
Malikiyyah membaginya ke dalam lima bagian, pertama adalah wajib
menghadiri undangan atas walimah, kedua dianjurkan menghadiri walimah
untuk menjalin kasih sayang, ketiga mubah, menghadiri walimah yang
diadakan untuk niat baik, seperti aqiqah dan menjauhi walimah yang diadakan
setelah khitan, keempat adalah makruh menghadiri undangan walimah yang
diniatkan untuk kesombongan, kelima adalah haram menghadiri walimah yang
diadakan oleh orang untuk mengadu domba.
Hanabilah dalam hal ini memberikan beberapa syarat yang
menyebabkan seorang wajib menghadiri walimah, Pertama, hendaklah
undangan tersebut jelas, Kedua, hendaklah yang memilki hajat itu adalah
seorang Muslim, Ketiga, hendaklah pekerjaan pemilik hajat tidak melanggar

FIQIH MUQORIN | 5
syariat, Keempat, seorang yang diundang hendaklah tidak berhalangan untuk
hadir kecuali dalam keadaan sakit atau dalam keadaan sibuk yang tidak
tergantikan atau dalam keadaan panas dan dingin yang tidak tertahankan atau
hujan yang sangat lebat, maka tidak diwajibkan untuk menghadiri Walimah,
Kelima, wajib menghilangkan kemungkaran, apabila terdapat kemungkaran di
dalamnya, hendaklah ia mencegahnya dan bila dia tidak mampu mencegahnya,
hendaklah ia meninggalkan walimah tersebut. Keenam, hendaklah undangan
tersebut dibagikan pada hari pertama, apabila diundang pada hari kedua maka
hukumnya adalah dianjurkan, dan apabila diundang pada hari ketiga, maka
hukum menghadirinya adalah makruh.
Sedangkan Syafi’iyyah memandang bahwa hukum menghadiri walimah
bagi seseorang yang mendapatkan undangan adalah fardu 'ain. Hal ini
disandarkan pada hadis Ibnu Umar yaitu: “Apabila seseorang diundang untuk
menghadiri walimah, hendaklah ia datang”.

B. Pengertian dan Hukum Mahar


Mahar secara etimologi ialah maskawin. Sedangkan secara terminology
adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai bukti
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
istri kepada calon suami.7 Sedangkan menurut para ulama mendefenisikan
mahar adalah:
Mazhab Hanafi mendefinisikan mahar sebagai sejumlah yang menjadi hak
isteri karena akad perkawinan atau disebabkan terjadinya senggama dengan
sesungguhnya. Mazhab Maliki mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang
menjadikan isteri halal untuk digauli. Mazhab Syafi’i mendefinisikan mahar
sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama.
Mazhab Hambali menyebutkan bahwa mahar adalah imbalan suatu

7
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, “Fiqh Munakahat 1”, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),
Cet, 1, h. 105.

FIQIH MUQORIN | 6
perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah
akad dengan persetujuan kedua belah pihak maupun ditentukan oleh hakim.
Dengan demikian, Ulama telah bersepakat bahwa mahar hukumnya wajib .
Mahar merupakan suatu kewajiban yang harus dibayarkan suami kepada
isterinya. Kewajiban membayar mahar disebabkan dua hal yaitu ada akad nikah
yang sah dan terjadi senggama sungguhan (bukan karena zina) .8 Sebagaimana
firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 4:
‫سا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِّ ۤ ْيـا َّم ِّر ۤ ْيـا‬ َ ‫س ۤا َء‬
َ ‫صد ُٰقتِّ ِّه َّن نِّحْ لَةً ۗ فَا ِّْن ِّطبْنَ لَ ُك ْم َع ْن‬
ً ‫ش ْيءٍ ِّم ْنهُ نَ ْف‬ َ ِّ‫َو ٰاتُوا الن‬

Artinya: Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati.
Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa ada 2 jenis mahar, yaitu mahar
musamma dan mahar mitsil, yang penjelasannya adalah sebagai berikut:9
1. Mahar musamma adalah mahar yang dinyatakan secara jelas dalam akad
yang menyerahkannya bisa dilakukan ketika akad dilangsungkan dan bisa
pula setelah akad, selama didasarkan pada kesepakatan calon suami dan istri
2. Mahar mitsil adalah sejumlah mahar yang sama nilainya dengan mahar
yang diterima oleh wanita menikah dalam pihak ayah, (seperti adik kakak
perempuan dan keponakan perempuan ayah). Oleh karena setiap daerah
mempunyai ketentuan mahar yang berbeda, maka ukuran yang diambil
adalah kebiasaan yang berlaku dalam perkawinan.

8
M. Ali Hasan, “Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam:, (Jakarta: Siraja, 2003), Ed.1,
Cet. Ke-1, h. 114.
9
Mohd Winario, “Esensi dan Standarisasi Mahar Perspektif Maqashid Syariah”. Jurnal Al-
Himayah Volume 4 Nomor 1, Maret 2020. h. 74.

FIQIH MUQORIN | 7
Nilai Mahar
Islam memaknai mahar sebagai pemberian pihak laki-laki kepada pihak
perempuan, tanpa adanya suatu batasan tertentu di dalamnya, hal tersebut
dikarekan adanya perbedaan taraf hidup manusia antara kaya dan miskin, antara
yang lapang dan yang sempit, sehingga Islam memberikan kemudahan dalam
memberikan mahar, sesuai dengan kemampuan dan kondisi ekonomi masing-
masing orang. Dan para fuqaha menyepakati bahwa tidak ada suatu batasan di
dalam memberikan mahar. Adapun pendapat ulama mengenai nilai mahar
yaitu:
1. Imam Maliki r.a dan imam Hanafi berpendapat bahwa sesuatu yang tercela
tidak bisa di jadikan mahar dan mahar harus mempunyai batasan berupa
harta. Imam Abu Hanafi r.a berpendapat minimal10 Dirham atau Dinar.
Imam Abu Hanifah berpegang pada Hadist Rasulullah saw yang berbunyi
“Tidak ada Mahar kecuali dengan 10 Dirham“, Hadist Darul Quthni
(Sanadnya Tertinggal). Sedangkan imam malik berpendapat minimal 3
dirham atau dinar.
2. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal r.a berpendapat, bahwa tidak
ada batas minimal dalam mahar, dan boleh diberikan dalam bentuk barang
yang memiliki nilai. Imam Syafi’I dan Imam ahmad bin Hambal
mengatakan bahwa setiap barang yang memiliki nilai jual dan sesuatu yang
digunakan untuk memberikan upah, boleh dijadikan mahar dan pendapat
ini merupakan pendapat Jumhurul Ulama’, semua bisa dapat dijadikan
mahar, baik itu dengan harta yang sedikit ataupun banyak yang penting
mahar tersebut bernilai dan berharga. pendapat Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad bin Hambal, berdasarkan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan
oleh Bukhori dan Muslim:
“Menikahlah walaupun hanya dengan cincin yang terbuat dari besi.
Salah satunya hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Sahl bin
Sa’ad as-Sa’idi ra, Rasullullah bersabda: “Carilah sesuatu (mahar)

FIQIH MUQORIN | 8
cincin sekalipun terbuat dari besi. Jika tidak mendapati, mahar berupa
surat-surat al-Qur’an yang engkau hafal.” (HR Bukhari No.1587).

Membayar kontan atau menghutang mahar


Mahar boleh dibayar secara tunai pada saat berlangsungnya akad
pernikahan atau menundanya, ataupun membayar sebagiannya dan
menundanya sebagian yang lain, berdasarkan persetujuan kedua belah pihak
atau sesuai dengan tradisi setempat yang berlaku. Sebaiknya melunasinya atau
paling sedikit membayar sebagiannya, setelah berlangsungnya akad nikah.
Di bawah ini beberapa pendapat mengenai hal tersebut :10
1. Imam Hanbali mengatakan bahwa manakala mahar disebutkan, tapi kontan
atau dihutangnya tidak disebutkan, maka mahar harus dibayar kontan
seluruhnya.
2. Imam Hanafi mengatakan, tergantung pada ‘urf yang berlaku. Mahar harus
dibayar kontan manakala tradisi yang berlaku adalah seperti itu, dan boleh
dihutang pula manakala tradisinya seperti itu pula. Menurut Imam Hanafi,
bila mahar itu dihutang tanpa menyebutkan kapan waktu pembayarannya,
misalnya dia mengatakan, “separuh saya bayar kontan dan separuhnya lagi
saya hutang,” maka hutang tersebut dinyatakan batal, dan mahar harus
dibayar kontan.
3. Ulama Malikiyah merinci lagi hukum pembayaran mahar secara hutang.
Menurut mereka, jika mahar itu berupa benda tertentu dan ada ditempat
mereka melangsungkan akad, seperti rumah, pakaian, hewan, maka wajib
diserahkan mahar itu kepada wanita atau walinya pada hari akad, tidak
boleh ditunda setelah akad walaupun wanita itu rela menundanya. Jika
disyaratkan penundaan mahar pada waktu akad. Maka akad itu fasid kecuali
jika waktunya singkat seperti dua hari atau lima hari. Boleh wanita

10
Muhammad Shuhufi, “Mahar dan Problematikanya (Sebuah Telaah Menurut syariat Islam)”,
Jurnal Hukum Diktum, Volume 13, Nomor 2. Juli 2015. h. 125

FIQIH MUQORIN | 9
merelakan penundaan mahar tanpa ada syarat, tapi menyegerakannya
adalah hak pria.
4. Ulama Syafi’iyyah membolehkan untuk menunda pembayaran mahar baik
seluruhnya maupun sebagian sampai pada batas waktu tertentu, karena
mahar itu adalah imbalan dari tukar menukar. Apabila mahar itu ditunda
atau tidak disebutkan waktunya maka menurut imam syafi’I mahar itu fasid
dan istri berhak menerima mahar mitsil.

FIQIH MUQORIN | 10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Walimatul Ursy merupakan perkara yang disyariatkan dalam Islam dan
tidak ada khilaf para ulama bahwa menyelenggarakan walimatul ursy (pesta
pernikahan) hukumnya sunnah. Hal ini sesuai dengan anjuran Rasulullah Saw
dalam sebuah Hadits yang menerangkan bahwa ketika Abdurrahman bib Auf
telah menikahi perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas, beliau Saw
menganjurkannya menyelenggarakan walimah. Hukum mengadakan walimah
ursy adalah sunnah, dan tidak hanya diuntukkan kepada orang-orang yang kaya
dan berada. Namun undangan tersebut juga diperuntukkan orang-orang miskin
sekitar, guna merasakan hidangan di hari bahagia tersebut.
Mahar secara etimologi ialah maskawin. Sedangkan secara terminology
adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai bukti
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
istri kepada calon suami. Islam memaknai mahar sebagai pemberian pihak laki-
laki kepada pihak perempuan, tanpa adanya suatu batasan tertentu di dalamnya,
hal tersebut dikarekan adanya perbedaan taraf hidup manusia antara kaya dan
miskin, antara yang lapang dan yang sempit, sehingga Islam memberikan
kemudahan dalam memberikan mahar, sesuai dengan kemampuan dan kondisi
ekonomi masing-masing orang.

B. Saran

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Kami sebagai penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diperlukan demi
kemaslahatan kita semua. Terima Kasih.

FIQIH MUQORIN | 11
Daftar Pustaka

Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Iwad Al Jaziri, Fiqhul ‘Am, Al Fiqh ‘ala mazhab al
arba’ah, Juz 5, Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyyah, 2003.
Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Iwad Al Jaziri, Fiqhul ‘Am, juz 5.
Abu Ishaq As Syirazi, Al-Luma’ Fi Ushul Al Fiqh, Jakarta: Darul Kutub Al Islamiyyah,
2010.
Abu Muhammad Mauquf Addin Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Quddamah,
Qohiroh: Maktabul Qohiroh, 1968
M. Ali Hasan, “Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam:, Ed.1, Cet. Ke-1,
Jakarta: Siraja, 2003.
Mohd Winario, “Esensi dan Standarisasi Mahar Perspektif Maqashid Syariah”. Jurnal
Al-Himayah Volume 4 Nomor 1, Maret 2020.
Muhammad Shuhufi, “Mahar dan Problematikanya Sebuah Telaah Menurut syariat
Islam”, Jurnal Hukum Diktum, Volume 13, Nomor 2. Juli 2015.
Mustofa Al Khin, Mustofa al Bugho, Aliy As Syarbiji, Fiqih Syafi’i, Fiqih Manhaj ‘ala
Mazhab al Imam As syafi’i, Jilid 4, Damaskus: Darul Qolam, 1992.
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, “Fiqh Munakahat 1”, Bandung: CV Pustaka Setia,
1999.
Yusuf Qardhawy, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, terjemahan Salim
Bazemool, Mesir: Dar Ash Shahwah- CV. PUSTAKA MANTIQ, 1993.

FIQIH MUQORIN | 12

You might also like