You are on page 1of 48
USHUL FIQH JILID 2 laku secara meyakinkan. Namun dalam hal ini terjadi keraguan tentang apakah boleh rujuk atau tidak. Padahal rujuk itu tidak dapat ditetapkan dengan hal yang meragukan. 3. Seorang suami menjatuhkan talak kepada salah seorang di antara dua istrinya. Kemudian terjadi keraguan tentang siapa (yang mana) salah seorang dari dua istrinya yang ditalaknya itu. Imam Malik berpendapat, bahwa kedua istrinya itu tertalak. Karena dalam hal ini talak telah terjadi secara meyakinkan. Bila terjadi talak secara meyakinkan terhadap salah seorang di antara dua istrinya dan tidak ada cara untuk menetapkannya, maka secara istishhab tertalak keduanya berdasarkan hukum talak yang telah ditetapkan dengan yakin. Jumhur ulama berpendapat, bahwa apa yang telah tetap secara yakin (yaitu, perkawinan), tidak dapat hilang dengan keraguan berupa adanya talak yang mengakhiri hukum akad nikah yang bersifat tetap. Oleh karena itu, berhubungan perkawinan orang tersebut dengan kedua istrinya tetap berlaku. D. ‘Adat atau ‘Urf “Urf (Gall) dan ‘adat (cl) termasuk dua kata yang sering dibicarakan dalam literatur Ushul Fiqh. Keduanya berasal dari bahasa Arab. Kata ‘adat sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang baku. 1. Pengertian ‘Adat dan ‘Urf Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu (224) sering diartikan dengan “al-ma’ruf” (35,««\) dengan arti: “sesuatu yang dikenal”. Kalau dikatakan &es%8Js\o%8 (Si Fulan lebih dari yang lain dari segi ‘urf-nya) maksudnya bahwa si Fulan lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian “diakui oleh orang lain”. Kata ‘urf juga terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “ma’riif” (45,4) yang artinya keba- jikan (berbuat baik), seperti dalam surat al-A’raaf (7): 199: Sly Aly sshd Maafkanlah dia dan suruhlah berbuat ma’ruf. 410 Bab4 (ex Beberapa Metode Ijtihad Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf tersebut, kedua kata itu mutaradif (sinonim). Seandainya kedua kata itu dirangkaikan dalam suatu kalimat, seperti: “hukum itu didasarkan kepada ‘adat dan ‘urf, tidaklah berarti kata ‘adat dan ‘urf itu berbeda maksudnya meskipun digunakan kata sambung “dan” yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan antara dua kata. Karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka dalam contoh tersebut, kata ‘urf adalah sebagai penguat terhadap kata ‘adat. Bila diperhatikan kedua kata itu dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata ‘adat dari bahasa Arab: ale ; akar katanya: ‘ada, ya’udu (2.902 - ole); mengandung arti: \S (perulangan). Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan ‘adat. Tentang berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut ‘adat, tidak ada ukurannya dan banyak tergantung pada bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar dijelaskan al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybab wa al-Nazhdir. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini (dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi perbedannya tidak berarti. Perbedaan antara kedua kata itu, juga dapat dilihat dari segi kandungan artinya, yaitu: ‘adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut. Jadi kata ‘adat ini berkonotasi netral, sehingga ada ‘adat yang baik dan ada ‘adat yang buruk. Definisi tentang ‘adat yang dirumuskan Muhammad i 411 USHUL FIQH JILID 2 Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Figh cenderung ke arah pe- ngertian ini, yaitu: Js ott oe selacoye wKiaye Snares Po selacle Calis gy cSaLe ys WEEE Apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusan-urusannya. Kalau kata ‘adat mengandung konotasi netral, maka ‘urf tidak demikian halnya. Kata ‘urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan, yaitu diakui, diketahui, dan diter- ima oleh orang banyak. Dengan demikian, kata ‘urf itu mengandung konotasi baik. Hal ini tampak dalam penggunaan kata ‘urf dengan arti ma’riif dalam firman Allah, pada contoh di atas. Sejalan dengan pengertian tersebut, Badran mengartikan ‘urf itu dengan: 7 2 040d 3552 55 boa 5S Jia al Jb Bet zills pO 5 see adsl ay ot ers : gaa Cee fe oth SL A pb ALS She 5 5b SUSI ERS SS 635 | Apa-apa yang dibiasakan dan diikuti oleh orang banyak, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan, berulang-ulang dilakukan sehingga berbekas dalam jiwa mereka dan diterima baik oleh akal mereka. Musthafa Syalabi tidak melihat perbedaan kedua kata itu dari segi konotasi kandungan artinya (netral dan tidak netral) seperti di- uraikan di atas, tetapi dari segi ruang lingkup penggunaannya. Kata ‘urf selalu digunakan untuk jamaah atau golongan, sedangkan kata ‘adat dapat digunakan untuk sebagian orang di samping berlaku pula untuk golongan. Apa yang telah biasa dilakukan (menjadi kebiasaan) seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai “‘adat orang itu”, namun tidak dapat dikatakan sebagai “‘urf orang itu”. Dari adanya ketentuan bahwa ‘urf atau ‘adat itu adalah sesuatu yang harus telah dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, terlihat ada kemiripannya dengan ijma’. Namun antara keduanya ter- dapat beberapa perbedaan yang di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Dari segi ruang lingkupnya, ijmd’ harus diakui dan diterima se- mua pihak. Bila ada sejumlah kecil saja pihak yang tidak setuju, A12 ms Bab4 («> Beberapa Metode Ijtihad maka ijmd’ tidak tercapai. (Hanya sebagian kecil ulama yang mengatakan bahwa jijmd’ yang tidak diterima oleh beberapa orang saja, tidak memengaruhi kesahihan suatu ijmda’). Sedang- kan ‘Urf atau ‘adat sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan dan dikenal oleh sebagian besar orang dan tidak mesti dilaku- kan oleh semua orang. 2. Ijmda’ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-orang tertentu, yaitu para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan kesepakatan atau penolakannya. Sedangkan “Urf atau ‘adat terbentuk bila yang melakukannya secara ber- ulang-ulang atau yang mengakui dan menerimanya adalah seluruh lapisan manusia, baik mujtahid atau bukan. 3. Adat atau ‘urf itu meskipun. telah terbiasa diamalkan oleh seluruh umat:Islam, namun ia dapat mengalami perubahan karena berubahnya orang-orang yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijmd’ (menurut pendapat kebanyakan ulama) tidak mengalami perubahan; sekali ditetapkan, ia tetap berlaku sampai ke generasi berikutnya yang datang kemudian. 2. Macam-macam ‘Adat Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu dapat dilihat dari beberapa segi: 1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf itu ada dua macam: a. ‘Urf qauli (354), yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Kata waladun (.\ s) se- cara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (mu‘annats). Penggunaan kata walad itu untuk laki-laki dan perempuan, (mengenai waris/harta pusaka) berlaku juga dalam Al- Qur’an, seperti dalam surat an-Nisaa’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan anak perempuan. G 413 USHUL FIQH JILID 2 414 Dalam kebiasaan sehari-hari (‘urf) orang Arab, kata walad itu digunakan hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan; sehingga dalam memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qauli tersebut. Umpamanya dalam memahami kata walad ian surat an-Nisaa’ (4): 176: aes Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalab (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ... Melalui penggunaan ‘urf qauli, kata kalalah (NS) dalam ayat tersebut diartikan sebagai “orang yang tidak mening- galkan anak laki-laki”. Dalam hal ini (dengan pemahaman ‘arf gauli), anak laki-laki dapat meng-hijab saudara-saudara sedangkan anak perem- puan tidak dapat. Kata lahm (¢) artinya adalah “daging”, baik daging sapi, ikan, atau hewan lainnya. Pengertian umum Jahmun yang juga mencakup daging ikan ini terdapat dalam Al-Qur’an, surat an-Nabl (16): 14: { fr ALi Ee a 2 G Sus Ssal 5 dl Sc cll 55 Allah yang memudabkan laut untukmu supaya kamu dapat memakan ikannya yang segar ... Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di ka- Bab4 Cx Beberapa Metode Ijtihad langan orang Arab, kata Jabmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu, jika seseorang bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan memakan daging,” tetapi ternyata kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut ‘adat masyarakat Arab, orang tersebut tidak melanggar sumpah. “Urf fi'li (434/£), yaitu kebiasaan yang berlaku dalam per- buatan. Umpamanya; (1) kebiasaan jual beli barang-barang yang enteng (murah dan kurang begitu bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan wang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli (2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri. 2. Dari segi ruang lingkup penggunaannya, ‘urf terbagi kepada: a. Adat atau ‘urf umum (2), yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Umpamanya: (1) menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau menidak- kan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil (2) di mana-mana bila memasuki pemandian umum (kolam renang) yang memungut bayaran, orang hanya membayar seharga tarif masuk yang ditentukan tanpa memperhitungkan berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama ia menggunakan pemandian tersebut. Adat atau ‘urf khusus (4s), yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu. Umpamanya: (1) ‘adat menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matrilineal) di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku Batak, (2) orang Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dari ayah, dan tidak digunakan untuk kakak dari ayah; sedangkan orang Jawa menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan untuk kakak dari ayah (3) bagi 415 USHUL FIQH JILID 2 masyarakat tertentu, penggunaan kata “budak” untuk anak- anak dianggap menghina, karena kata itu hanya terpakai untuk hamba sahaya; tetapi bagi masyarakat lainnya kata “budak” biasa digunakan untuk anak-anak. 3. Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘adat atau “urf itu terbagi kepada: a. ‘Adat yang shahib (Ge), yaitu ‘adat yang berulang- ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak ber- tentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Umpamanya memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu; mengadakan acara halalbibalal (silaturahmi) saat hari raya; memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi. b. ‘Adat yang fasid (84,5), yaitu ‘adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Umpamanya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa; pesta dengan menghidangkan minuman haram; membunuh anak perempuan yang baru lahir; kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah). 3. Penyerapan ‘Adat dalam Hukum Islam Pada waktu Islam masuk dan berkembang di Arab, di sana berlaku norma yang mengatur kehidupan bermuamalah yang telah berlangsung lama yang disebut adat. Adat tersebut diterima dari generasi sebelumnya dan diyakini serta dijalankan oleh umat dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah baik untuk mereka. Islam datang dengan seperangkat norma syara’ yang mengatur kehidupan muamalah yang harus dipatuhi umat Islam sebagai kon- sekuensi dari keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagian dari ‘adat lama itu ada yang selaras dan ada yang bertentangan dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Adat yang bertentang- an itu dengan sendirinya tidak mungkin dilaksanakan oleh umat Islam secara bersamaan dengan hukum syara’. Pertemuan antara adat dan syari’at tersebut terjadilah perbenturan, penyerapan, dan 416 a Bab4 a> Beberapa Metode |jtihad pembauran antara keduanya. Dalam hal ini yang diutamakan adalah proses penyeleksian ‘adat yang dipandang masih diperlukan untuk dilaksanakan. Adapun yang dijadikan pedoman dalam menyeleksi ‘adat lama itu adalah kemaslahatan menurut wahyu. Berdasarkan hasil seleksi tersebut, ‘adat dapat dibagi kepada empat kelompok sebagai berikut: Me ‘Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksa- naannya mengandung unsur kemaslahatan. Maksudnya dalam perbuatan itu terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mu- daratnya; atau unsur manfaatnya lebih besar dari unsur mu- daratnya. Adat dalam bentuk ini diterima sepenuhnya dalam hukum Islam. Umpamanya uang tebusan. darah (diyat) yang harus dibayar oleh pihak pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang te- bunuh, Hukum ini berlaku di kalangan masyarakat Arab sebe- lum Islam datang dan dinilai dapat terus diberlakukan, hingga ditetapkan menjadi hukum Islam. ‘Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengan- dung unsur maslahat (tidak mengandung unsur mafsadat atau mudarat), namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh Islam. Adat dalam bentuk ini dapat diterima dalam Islam, namun dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami perubahan dan penyesuaian. Umpamanya tentang zhihar, yaitu ucapan suami yang menya- makan istrinya (punggungnya) dengan ibunya sendiri. Zhibar ini merupakan cara yang sudah biasa berlangsung di kalangan masyarakat Arab sebagai usaha suami untuk berpisah (cerai) dengan istrinya. Sesudah suami melakukan zhihar, maka sua- mi dan istrinya tidak diperbolehkan lagi berhubungan dan pu- tuslah hubungan mereka sebagai suami istri. Islam menerima zhibar tersebut dengan. perubahan, yaitu zhibar dinyatakan menyebabkan suami istri tidak boleh berhubungan kelamin, namun tidak memutuskan perkawinan. Bila keduanya akan berhubungan lagi, terlebih dahulu harus membayar kafarat (kewajiban agama akibat suatu pelanggaran). 417 USHUL FIQH JILID 2 3. ‘Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengan- dung unsur mafsadat (merusak). Maksudnya, yang dikandung- nya hanya unsur perusak dan tidak memiliki unsur manfaatnya; atau ada unsur manfaatnya tetapi unsur perusaknya lebih besar. Umpamanya tentang berjudi, minum minuman yang mema- bukkan dan praktik rentenir (membungakan wang secara riba). ‘Adat dalam bentuk ini ditolak oleh Islam secara mutlak. Islam menetapkan ketentuan hukum yang berbeda dan berlawanan secara diametral dengan ‘adat demikian yang biasa berlaku se- belum Islam datang. 4. ‘Adat atau ‘urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak karena tidak mengandung unsur mafsadat (pe- rusak) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang datang kemudian, namun secara jelas belum terserap ke dalam syara’, baik secara langsung atau tidak langsung. ‘Adat atau ‘urf dalam bentuk ini jumlahnya banyak sekali dan menjadi perbincangan di kalangan ulama. Bagi kalangan ulama yang mengakuinya berlaku kaidah: a2 5 AcN BSH ‘Adat itu dapat menjadi dasar hukum. Adat dalam bentuk pertama dan kedua diterima oleh Islam, dalam arti tetap dilaksanakan dan ditetapkan menjadi hukum Islam. Bentuk penerimaan oleh Al-Qur’an adalah dengan cara Al-Qur’an sendiri menetapkan hukumnya secara sama dengan apa yang berlaku dalam adat tersebut, baik secara langsung atau setelah terlebih da- hulu melalui proses penyesuaian. Bentuk penerimaannya oleh Sunah Nabi secara langsung adalah ‘adat tersebut ditetapkan hukumnya oleh sunah sesuai menurut apa yang berlaku selama ini, baik melalui penetapan langsung atau melalui taqrir (pembiaran sebagai tanda setuju) dari Nabi. ‘Urf atau ‘adat yang diserap itu ada yang dalam bentuk umum yang dapat berlaku di seluruh tempat dan waktu, ada pula yang dalam bentuk khusus yang berlaku untuk lingkungan (ma- syarakat) tertentu seperti pelimpahan pembayaran diyat (uang tebus- an dalam pembunuhan) kepada akilah (kerabat terdekat) dalam adat 418 a Bab4 Ce» Beberapa Metode Ijtihad kebiasaan masyarakat Arab yang kuat ashabiyah (kesukuan)-nya. Adat semacam ini dapat mengalami perubahan (penyesuaian) di tempat lain atau dalam waktu yang berbeda. Ulama sepakat dalam menerima ‘adat dalam bentuk pertama dan kedua karena ‘adat tersebut telah menjadi hukum Islam, meskipun berasal dari adat lama. Adat dalam bentuk pertama dan kedua ini dikelompokkan kepada ‘adat atau ‘urf yang shabih. ‘Adat dalam bentuk ini dapat berlanjut dengan terus dilaksanakan berdampingan dengan hukum syara’ yang ditetapkan kemudian dengan cara meng- utamakan hukum syara’ yang ditetapkan wahyu tanpa mengurangi atau merugikan pelaksanaannya ditinjau dari ketentuan hukum syara’ tersebut. Umpamanya tentang ketentuan ashabah dalam hukum waris. Ashabah ini sebenarnya ketentuan dalam ‘adat masa jahiliah di masyarakat Arab, di mana yang berhak menerima harta warisan dari yang meninggal hanyalah keturunan laki-laki terdekat yang dihubungkan kepada pewaris melalui garis laki-laki. Al-Qur’an memperkenalkan kewarisan furud yang pada umumnya adalah perempuan. Dalam hal ini Nabi mengambil kebjiksanaan untuk mengakui kewarisan menurut ‘adat, tetapi kewarisan menurut furud yang ditetapkan dalam Al-Qur’an harus lebih dahulu dilakukan. Seandainya telah selesai pembagian untuk ahli waris yang termasuk dalam ketentuan furud dan masih ada sisanya, barulah diperlakukan kewarisan ashabah. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi: oN ee yeh 2). oleh 4% SS By SI 5G aS GLE, 20 5 gall Berikanlah furud-furud yang telah ditentukan itu kepada orang- orang yang berbak. Seandainya masih ada sisanya berikanlah kepada kerabat laki-laki terdekat melalui garis laki-laki. Demikian pula ulama sepakat menolak ‘adat atau ‘urf dalam bentuk ketiga karena secara jelas bertentangan dengan syara’. Segala ketentuan yang bertentangan dengan hukum syara’ harus ditinggal- kan meskipun secara ‘adat sudah diterima oleh orang banyak. Adat dalam bentuk ketiga ini dikelompokkan kepada ‘adat atau ‘urf yang fasid (merusak). Mengenai penggunaan ‘adat atau ‘urf bentuk keempat dalam ber- g@ 419 USHUL FIQH JILID 2 ijtihad (sebagai pertimbangan) akan diuraikan di akhir pembahasan masalah ‘adat dan ‘urf. 4, Perbenturan dalam ‘Urf Bentuk-bentuk perbenturan dalam ‘urf diuraikan al-Suyuthi (da- lam bahasan tentang kaidah al-‘adah muhakkamah), sebagai berikut. a. Perbenturan Urf dengan Syara’ Yang dimaksud perbenturan (pertentangan) antara ‘urf dengan syara’ di sini, adalah perbedaan dalam hal penggunaan suatu ucapan ditinjau dari segi ‘urf dan dari segi syara’. Hal ini pun dipisahkan pada perbenturan yang berkaitan dengan hukum dan yang tidak berkaitan dengan hukum. 1. Bila perbenturan ‘urf dengan syara’ itu tidak berkaitan dengan materi hukum, maka didahulukan ‘urf. Umpamanya: a. Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, tetapi ternyata kemudian ia memakan ikan, maka ditetap- kanlah bahwa ia tidak melanggar sumpah. Menurut ‘urf, ikan itu tidak termasuk daging, sedangkan dalam arti syara’ ikan itu termasuk daging seperti tercantum dalam ayat Al- Qur’an yang dikutip di atas. Dalam hal ini, pengertian ‘urf yang dipakai dan ditinggalkan pengertian menurut syara’. b. Bila seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan duduk di bawah atap, tetapi ternyata kemudian ia duduk di bawah langit, maka dinyatakan ia tidak melanggar sumpah dengan ucapannya itu, padahal dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa langit itu adalah atap, tetapi dalam pengertian ‘urf langit itu bukanlah atap. Dengan demikian, maka didahulukan pe- ngertian ‘urf bila ia bertentangan dengan pengertian syara’. 2. Bila perbenturan ‘urf dengan syara’ dalam hal yang berhubung- an dengan materi hukum, maka didahulukan syara’ atas ‘urf. Umpamanya bila seseorang berwasiat untuk kerabatnya, apa- kah termasuk dalam pengertian kerabat itu ahli waris atau ti- dak. Berdasarkan pandangan syara’ ahli waris itu tidak terma- suk kepada ahli yang boleh menerima wasiat oleh karenanya ia 420 | Bab4 «> Beberapa Metode ljtihad tidak lagi termasuk dalam pengertian kerabat yang dimaksud di sini. Dalam pengertian ‘urf kerabat itu adalah orang yang berhubungan darah, baik ia ahli waris atau tidak. Dalam hal ini ditetapkan bahwa pengertian kerabat yang diucapkan dalam wasiat itu tidak termasuk ahli waris. Dengan demikian, di sini pengertian secara syara’ yang dipakai. Perbenturan antara ‘Urf (‘Urf Qauli) dengan Penggunaan kata dalam Pengertian Bahasa Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat: Menurut Qadhi Husein, hakikat penggunaan bahasa adalah beramal dengan bahasa. Bila berbenturan pengamalan bahasa itu dengan ‘urf, maka didahulukan pengertian bahasa. Menurut al-Baghawi, pengertian ‘urf-lah yang didahulukan, karena ‘urf itu diperhitungkan dalam segala tindakan, apalagi dalam sumpah. Dalam hal ini al-Rafi‘i berpendapat mengenai talak, bila ter- jadi perbenturan antara ‘urf dengan pengertian bahasa, maka sebagian sahabat cenderung menguatkan pengertian bahasa, namun sebagian lain menguatkan pengertian ‘urf. Perbenturan ‘urf dengan Umum Nash yang Perbenturannya tidak Menyeluruh Dalam hal ini ada dua pendapat: Menurut ulama Hanafiyah ‘urf digunakan untuk men-takhsis umum xash. Umpamanya dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa masa menyusukan. anak, yang sempurna adalah sela- ma dua tahun penuh. Namun menurut ‘adat bangsawan Arab, anak-anak disusukan orang lain dengan mengupahnya. Adat atau ‘urf ini digunakan untuk men-takhsis umum ayat tersebut. Jadi, bangsawan yang biasa mengupahkan untuk penyusuan anaknya, tidak perlu menyusukan anaknya itu selama dua ta- hun penuh. Menurut ulama Syafi‘iyah, yang dikuatkan untuk men-takhsis nash yang umum itu hanyalah ‘urf gauli bukan ‘urf fi'li. 421 USHUL FIQH JILID 2 Contoh yang populer digunakan untuk menunjukkan perben- turan antara ‘urf dengan nash yang umum adalah akad jual beli salam (pesanan/ inden). Umum nash melarang memperjualbelikan sesuatu yang tidak ada di tangan sewaktu berlangsung akad jual beli. Karena itu, umum nash tersebut melarang jual beli salam yang sewaktu akad berlangsung tidak ada barangnya. Namun karena jual beli dalam bentuk salam ini telah menjadi ‘urf yang umum berlaku di mana saja, maka dalam hal ini, ‘wrf tersebut dikuatkan, sehingga dalam umum nash yang melarang itu diberikan batasan, yaitu: “ke- cuali pada jual beli salam”, d. Perbenturan ‘Urf dengan Qiyas Hampir semua ulama berpendapat untuk mendahulukan ‘urf atas qiyds, karena dalil untuk menggunakan ‘u7f itu adalah kebutuhan dan hajat orang banyak, sehingga ia harus dahulukan atas qiyds. Ibn al-Humam menempatkan ‘urf itu sebagai ijma’ bila tidak menemukan nash. Oleh karena itu, bila ia, berbenturan dengan qiyds, maka harus didahulukan ‘urf. Ulama Hanafiyah yang mengamalkan istibsdn yang dalam istib- san tersebut, juga termasuk ‘urf itu sendiri, maka dengan sendirinya, ia mengamalkan dan mendahulukan ‘urf atas qiyds bila terdapat perbenturan di antara keduanya. Contoh dalam hal ini adalah tentang jual beli lebah dan ulat sutra, Imam Abu Hanifah pada awalnya menetapkan haramnya menjual lebah dan ulat sutra dengan menggunakan dalil giyds, yaitu meng-giyds-kannya kepada kodok dengan alasan sama-sama “hama tanah”. Namun kemudian terlihat bahwa kedua serangga itu ada manfaatnya dan telah terbiasa orang untuk memeliharanya (sehing- ga telah menjadi ‘urf). Atas dasar ini muridnya, yaitu Muhammad ibn Hasan al-Syaibani membolehkan jual beli ulat-sutra dan lebah tersebut, berdasarkan ‘urf. 5. Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum Dalam literatur yang membahas kehujahan ‘urf atau ‘adat dalam istinbath hukum, hampir selalu yang dibicarakan adalah tentang ‘urf 422 a Bab4 Ce. Beberapa Metode litihad atau ‘adat secara umum, Namun di atas telah dijelaskan bahwa ‘urf atau ‘adat yang sudah diterima dan diambil alih oleh syara’ atau yang secara tegas telah ditolak oleh syara’, tidak perlu diperbincangkan lagi tentang kehujahannya. Dengan demikian, pembicaraan tentang kehujahan ‘urf ini sedapat mungkin dibatasi pada ‘urf bentuk keem- pat (sebagaimana disebutkan di atas), baik yang termasuk pada ‘adat atau ‘urf yang umum dan yang tetap (yang tidak mungkin mengalami perubahan), maupun ‘adat khusus dan yang dapat mengalami per- ubahan bila waktu atau tempat terjadinya sudah berubah. Secara umum ‘urf atau ‘adat itu diamalkan oleh semua ulama figh terutama di kalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Hanafiyah menggunakan istisan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istibsdn itu adalah istihsan al-‘urf (istibsan yang menyandar pada ‘urf. Oleh ulama Hanafiyah, urf itu didahulukan atas giyds kbafi dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti: ‘urf itu men-takhsis umum nash. Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad. Ulama Syafitiyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut: e oe eet E ts 13 V5 a5 8 bb 5 ihn g Eta 555k JS oa iss Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka dikembalikanlah kepada ‘urf. Contoh dalam hal ini, umpamanya: menentukan arti dan batasan tentang tempat simpanan (55>) dalam hal pencurian; arti berpisah dalam kbiyar majelis; waktu dan kadar haid, dan lain-lain. Adanya qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi‘i di Irak, dan qaul jadid (pendapat baru)-nya di Mesir, menunjukkan diperhatikannya urf dalam istinbath hukum di kalangan Syafi‘iyah. & 423 USHUL FIQH JILID 2 Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam figh, al- Suyuthi mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah: az . 4 Ka cA 3th Adat (‘urf) itu menjadi pertimbangan hukum. Alasan para ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap ‘urf tersebut adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya, yaitu: Lies eee Wie fsb all Me sBline 5 LAI je Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian di sisi Allah adalah baik. Di samping itu adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti: orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak menggunakan ‘urf tersebut. Bahkan ulama menem- patkannya sebagai “syarat yang disyaratkan.” “b 4 Lesh e leek 4% 24221 ops LG ENIS LS 5 52a Sesuatu yang berlaku secara ‘urf adalah seperti suatu yang telah disyaratkan. Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada ‘urf, maka kekuatannya menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash. Para ulama yang mengamalkan ‘urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima ‘urf tersebut, yaitu: 1. ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini telah merupakan kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang sahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum. Um- pamanya tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup-hidup bersama pembakaran jenazah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular. 424 Lx] Bab4 Ce. Beberapa Metode ljtihad Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan ‘adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan: Ses hi such Aas ay Sesunggubnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan. Umpamanya: kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka dalam suatu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada kemung- kinan lain dari penggunaan mata uang- yang berlaku. Tetapi bila di tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sa- ma berlaku (ini yang dimaksud dengan: kacau), maka dalam transaksi harus disebutkan jenis mata uangnya. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti ‘urf itu harus telah ada sebelum penetapan hu- kum. Kalau ‘wrf itu datang kemudian, maka tidak diperhitung- kan. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan: Seeds GLa Me) sais bale Lass occ “Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum) hanyalah yang datang beriringan atau mendabului, dan bukan yang datang kemudian. Dalam hal ini, Badran memberikan contoh: Orang yang me- lakukan akad nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil, sedangkan ‘adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi seluruh mahar, Kemu- dian ‘adat di tempat itu mengalami perubahan, dan orang- orang telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul suatu kasus yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara suami istri 425 USHUL FIQH JILID 2 tentang pembayaran mahar tersebut. Suami berpegang pada ‘adat yang sedang berlaku (yang muncul kemudian), sehing- ga ia memutuskan untuk mencicil mahar, sedangkan si istri minta dibayar lunas (sesuai adat lama ketika akad nikah ber- langsung). Maka berdasarkan pada syarat dan kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan ‘adat yang berlaku waktu akad berlangsung dan tidak menurut ‘adat yang muncul kemudian. 4. ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti. Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan pe- nerimaan ‘adat sahih; karena kalau ‘adat itu bertentangan de- ngan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’ yang pasti, maka ia termasuk ‘adat yang fdsid yang telah dise- pakati ulama untuk menolaknya. Dari uraian di atas jelaslah bahwa ‘urf atau ‘adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hikum. Namun penerimaan ulama atas adat itu bukanlah karena semata-mata ia bernama ‘adat atau ‘urf. ‘Urf atau ‘adat itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri. ‘Adat atau ‘urf itu menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk éjma’ atau maslahat. ‘Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama sudah mengamalkannya, berarti secara tidak langsung telah terjadi ijmd’ walaupun dalam bentuk sukiiti. “Adat itu berlaku dan diterima orang banyak karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai ‘adat seperti ini berarti menolak maslahat, sedangkan semua pihak telah sepakat untuk mengambil sesuatu yang bernilai maslahat, meskipun tidak ada nash yang secara langsung mendukungnya. Bila diperhatikan uraian di atas tentang kedudukan urf atau adat dalam kedudukannya sebagai dalil syara’, di antara ulama ada yang menetapkannya sebagai dalil syara’ dengan argumen yang menurutnya adalah kuat dan dengan memerhatikan pula argumen ulama yang menolaknya sebagai dalil syara’, dapat disimpulkan 426 a Bab4 («> Beberapa Metode |jtihad bahwa ‘urf atau ‘adat itu dapat menjadi dalil syara’ namun tidak sebagai dalil mandiri. Ketidakniandiriannya itu adalah karena menggantung kepada mashlabat yang telah disepakati kekuatannya untuk menjadi dalil. E. Mazhab Shahabi 1. Pengertian Mazhab Shahabi Hampir semua kitab ushul figh membahas mazhab shahabi, meskipun mereka berbeda dalam keluasan bahasannya, juga berbeda dalam penamaannya. Ada yang menamakannya dengan gaul shahabi (gb-2lJ8), ada pula yang menamakannya dengan fatwa shahdbi ( glwalls.3), Hampir semua literatur yang membahas mazhab shaha- bi menempatkannya pada pembahasan tentang “dalil syara’ yang diperselisihkan.” Bahkan ada yang menempatkannya pada “pem- bahasan tentang dalil syara’ yang ditolak,” seperti yang dilakukan Asnawi dalam kitabnya Syarh Minhaj al-Ushul. Hal ini menunjukkan bahwa mazhab shahabi itu berbeda dengan ijmda’ shahabi yang mene- mpati kedudukan yang tinggi dalam dalil syara’ karena kehujahannya diterima semua pihak, meskipun di kalangan sebagian kecil ulama ada yang menolak kehujahan ijmd’ secara umum. Sulit menemukan arti mazhab shababi itu secara defenitif yang bebas dari kritik, Namun dari beberapa literatur yang menjelaskan hakikat mazhab shahabi, dapat dirumuskan arti mazhab shabdbi itu secara sederhana, yaitu: all iA Lil 5 5 Mazhab shahabi adalah fatwa sahabat secara perseorangan. Rumusan sederhana tersebut mengandung tiga pembahasan: 1. Penggunaan kata “fatwa” dalam definisi ini mengandung arti bahwa fatwa itu merupakan suatu keterangan atau penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha jjtihad. Dengan demikian, apa yang disampaikan seorang sahabat dan dijelaskannya sebagai berasal dari Nabi, tidak dinamakan maz- hab shababi, tetapi disebut sunab, sedangkan usaha sahabat yang menyampaikan itu disebut periwayatan. @ 427 USHULFIQH JILID 2 428 Abu Zahrah menguraikan beberapa kemungkinan bentuk ma- dzhab shahdbi tersebut ke dalam beberapa bentuk sebagai beri- kut: a. Apa yang disampaikan sahabat itu adalah suatu berita yang, didengarnya dari Nabi, namun ia tidak menjelaskan bahwa berita itu, sebagai Sunah Nabi. b. Apa yang disampaikan sahabat itu sesuatu yang dia dengar dari orang yang pernah mendengarnya dari Nabi, tetapi tidak ada penjelasan dari orang tersebut bahwa yang dide- ngarnya itu berasal dari Nabi. c. Apa yang disampaikan sababat itu adalah hasil pemaham- annya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang orang lain tidak memahaminya. d. Apa yang disampaikan sahabat itu sesuatu yang sudah di- sepakati oleh lingkungannya, namun yang menyampaikan nya hanya sahabat tersebut seorang diri. e. Apa yang disampaikan sahabat itu adalah hasil pemahaman- nya atas dalil-dalil, karena kemampuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafaz. Yang menyampaikan fatwa itu adalah seorang sahabat Nabi. ‘Tentang siapa yang dinamakan sahabat tersebut, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul dengan ula- ma hadis. a. Ulama hadis menamakan sahabat itu dengan “orang yang pernah bertemu dengan Nabi dan wafat dalam keadaan Islam.” Ahli Hadis mensyaratkan pernah bertemu dengan Nabi. Dan syarat yang mutlak harus ada pada sahabat itu ialah ia wafat dalam keadaan Islam. Sekalipun orang terse- but biasa menyertai Nabi, namun jika mati tidak dalam keadaan Islam, maka tidak disebut sahabat—seperti paman Nabi, Abu Thalib. Tetapi ada yang memperlonggar syarat itu dengan cukup pernah hidup semasa dengan Nabi, meskipun tidak pernah bertemu Nabi secara berhadap-hadapan. b. Menurut pandangan ahliushul, yang disebut sahabat ialah orang yang pernah bertemu dengan Nabi dan beriman ke- Bab4 Ce Beberapa Metode |itihad padanya serta menyertai kehidupan Nabi dalam masa yang panjang. Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menam- bah persyaratan untuk disebut sahabat dalam hubungannya dengan hukum syara’ yaitu pada dirinya terdapat bakat atau bawaan (malakah) dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabi da- lam pengertian wshuliyun (ulama ahli ushul). 3. Penggunaan kata “secara perseorangan” yang merupakan fasal kedua dalam definisi di atas, memperlihatkan secara jelas per- bedaan mazhab shababi dengan ijmda’ shahabi. Karena ijma’ shahabi ita bukan pendapat perseorangan tetapi hasil kese- pakatan bersama tentang hukum. Untuk membedakan an- tara kesepakatan yang disebut ijmd’ shahdbi dengan mazhab shahdbi yang bersifat perseorangan, kelihatannya terdapat per- bedaan pendapat antara ulama yang mengakui adanya ijmd’ sukiti dengan ulama yang tidak mengakuinya. Bagi ulama yang mengakui keberadaan ijmd’ sukiit? baru akan nyata bahwa yang disampaikan seorang sahabat itu sebagai mazhab shahabi bila ada pendapat tandingan dari pihak sahabat yang lain yang berbeda dengan yang disampaikan sahabat tersebut. Jika tidak ada sanggahan dari sahabat lain, maka belum dapat disebut sebagai mazhab shahabi (pendapat perseorangan sahabat). Sedangkan bagi ulama yang tidak mengakui keberadaan ijma’ suki? tidak perlu menunggu adanya pendapat tandingan dari sahabat lain untuk menamakan pendapat sahabat itu sebagai mazhab shahabi. Pendapat seseorang sahabat yang tidak secara jelas disepakati oleh ulama lain dalam bentuk ijmd’ dapat disebut mazhab shababi, meskipun para sahabat itu diam semuanya, karena sikap diam dalam hal ini tidak dapat diartikan sebagai persetujuan. 2. Kehujahan Mazhab Shahabi Maksud kehujahan di sini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat Islam, sehingga akan berdosa jika me- ninggalkannya scbagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah mazhab shababi itu menyangkut a 429 USHUL FIQH JILID 2 beberapa segi pembahasan, yaitu: (1) pembahasan dari kehujahan- nya terhadap sesama sahabat yang lain, dan kehujahannya terhadap generasi berikutnya atau orang yang selain sahabat, (2) pembahasan dari segi bentuk mazhab shababi, dapat dibedakan antara kemung- kinannya berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yaitu: L 430 Pendapat sahabat yang berada di luar lingkup ijtihad (masalah ta‘abbudi atau hal lain yang secara gath‘i berasal dari Nabi), meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi dapat menjadi hujah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku). Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam ben- tuk tawfiq, tentang kehujahannya tergantung untuk siapa pen- dapat sahabat itu diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pendapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujah un- tuk sesama sahabat lainnya, baik ia seorang imam, hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini dinukilkan oleh kebanyakan ahli ushul, di antaranya oleh al-Amidi. Juga dinukilkan oleh dua pakar ushul fiqh, yaitu: Ibn Subki dan al-Asnawi, yang menga- jukan argumentasi sebagai berikut: a. Bila sahabat yang lain itu adalah mujahid, maka pendapat seorang sahabat tidak dapat diberlakukan bagi sahabat lainnya itu, karena scorang mujahid tidak boleh ber-taglid kepada yang sesama sahabat lainnya. Kalau sahabat lain itu bukan mujtahid, tentu ia menjadi mugqallid (ber-taklid), namun hal ini lemah sifatnya karena hal ini juga berlaku untuk kalangan orang yang bukan mujahid. b. Ada ima’ di kalangan sahabat yang membolehkan seorang sahabat berbeda pendapat dengan sahabat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang sahabat tidak mem- punyai kekuatan yang mengikat terhadap sahabat lainnya. Tidak ada celaan dari seorang sahabat terhadap sahabat lain bila ia tidak sependapat. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang sahabat tidak mempunyai kekuatan yang mengikat bagi sahabat lainnya. Bab4 (e> Beberapa Metode |jtihad Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujahan pendapat sahabat bagi orang lain yang selain sahabat, seperti: tabi‘in (generasi sesudah sahabat), tabi’ tabi‘in (generasi sesudah tabi‘in) dan generasi berikutnya: 1. Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari ulama kalam Asy- ‘ariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi‘i dalam satu qaul-nya, Ahmad dalam satu riwayatnya, dan al-Karakhi dari ulama Hanafiyah. Mereka mengatakan bahwa pendapat sahabat yang berasal dari ijtihadnya tidaklah menjadi hujah bagi generasi se- sudahnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Amidi. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut: a. Firman Allah dalam surat an-Nisaa’ (4): 59: (04 seu) J 52295 ail Sys 533 Bech BAe SESE 36 Jika kamu berselisih pendapat kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Dalam ayat ini ada perintah Allah untuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul bila terdapat perselisihan pendapat. Seandainya boleh mengambil pendapat sahabat, tentu Allah akan menyuruh umat berbuat demikian. b. Ijmda’ sahabat tentang kebolehan beda pendapat antara sesama sahabat. Seandainya pendapat seorang sahabat itu menjadi hujah, tentunya seorang sahabat wajib mengikuti yang lain, dan ini adalah mustahil. c. Sahabat mengemukakan pendapatnya berdasarkan hasil ijtihadnya, bukan berdasarkan taufiq, sehingga ada kemung- kinan pendapatnya itu salah. Karenanya, pendapat sahabat itu tidak berdaya hujah terhadap yang lain. d. Para sahabat terkadang berbeda pendapat dalam beberapa masalah: sebagian sahabat mengikuti pendapat yang berbeda dengan pendapat sahabat yang lain. Kalau setiap pendapat sahabat itu menjadi hujah terhadap sahabat lain dan orang- orang sesudahnya tentu hujah-hujah Allah itu berbeda atau berbenturan satu sama lain. Mengikuti pendapat sebagian @ 431 USHUL FIQH JILID 2 432 sahabat tidaklah lebih baik dibandingkan dengan pendapat sahabat yang lain. Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari: Malik ibn Anas, al-Razi, al-Barza‘i dari sahabat Abu Hanifah, al-Syafiti dalam salah satu qaul-nya (qaul qadim), dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Mereka berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujah secara mutlak. Mereka mengemukakan argu- men sebagai berikut: a. Firman Allah dalam surat Ali ‘Imran (3): 110: eo eo gthe Spee Phedtet se bee 3525 5726 EES SIBIGE A Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada ma- nusia, menyuruh berbuat ma’ruf. Ayat ini merupakan khitab yang diarahkan pada umat yang menjelaskan bahwa apa yang disuruh sahabat itu adalah makruf sedangkan berbuat yang makruf itu wajib hukumnya. b. Sabda Nabi: Baars | Gf tue ye of assaaidssatis 4 - sAdiS glacl Para sahabatku adalah laksana bintang gemintang; siapa pun yang kamu ikuti kamu akan mendapat petunjuk. Hadis ini mengisyaratkan untuk mengikuti apa yang diber- ikan oleh sahabat Nabi. Hal ini menunjukkan kehujahan pendapat yang disampaikan oleh sahabat. Pendapat kalangan ulama yang tidak bersikap secara mutlak (pasti) dalam menerima atau menolak pendapat sahabat; ar- tinya: menerima dalam bentuk tertentu dan menolak yang lain- nya. Rincian pendapat mereka adalah sebagai berikut: a. Pendapat sahabat dapat berdaya hujah bila pendapat itu bertentangan dengan qiyds. Alasannya adalah seperti yang dikemukanan al-Mahalli, bahwa para sahabat itu biasa be- ramal dengan qiyds, kecuali bila menemukan dalil lain yang lebih kuat yang mendorongnya untuk tidak menggunakan qiy4s, baik dalam bentuk nash maupun dalam bentuk ijmd’: Bab4 Ox. Beberapa Metode Ijtihad Bila seorang sahabat menyalahi qiyds, maka kemungkinan besar (kuat dugaan) bahwa ia mempunyai dalil yang lebih kuat. Bila pendapatnya sama dengan qiyds, maka kemung- kinan pendapatnya berlandaskan qiyds. Dalam keadaan ini, maka qiyds itulah yang menjadi hujah, dan bukan pendapat pribadi shahabat tersebut. b. Pendapat sahabat yang didukung oleh qiyds qarib dapat menjadi hujah, karena pendapat tersebut telah mendapat kekuatan oleh kesamaannya dengan qiyds. c. Pendapat sahabat dapat menjadi hujah bila pendapatnya itu telah tersebar dan tidak ditemukan ada pendapat lain yang menyanggahnya. Pendapat ini muncul di kalangan ulama yang tidak menerima ijmd’ sukiiti sebagai dalil yang berdiri sendiri. Jika ada pendapat pribadi seorang sahabat, meskipun pendapat itu telah tersebar luas dan tidak ada yang membantahnya, tetapi tetap masih bernama pendapat pribadi sahabat, bukan ijmda’ swkait? dari sahabat. Pendapat sahabat menjadi hujah bukan karena ia telah menjadi ijma’ sahabat tetapi karena pendapat pribadi sahabat itu secara jelas tidak ada yang menyanggahnya. Dalam beberapa literatur ushul figh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpandangan bahwa kehujahan pendapat saha- bat itu adalah secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu saja. Beberapa pendapat mereka adalah sebagai berikut: ie Pendapat sahabat yang berdaya hujah hanyalah bila lahir dari Abu Bakar dan ‘Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah Hadis Nabi yang menyatakan: 5 o wleaseegull ia 53381 Tkutilah dua orang sesudabku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar. Hadis ini dinyatakan hasan oleh al-Tarmidzi. Pendapat empat orang dari khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari sahabat lainnya. Dasarnya dalah Hadis Nabi yang dishahihkan oleh al-Tarmidzi: 433 USHUL FIQH JILID 2 CMSs GIs NAMEN LA 5 sh ty earls Adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunah Kbulafa al-Rasyidin yang datang sesudahku. 3. Pendapat salah seorang Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujah. Pendapat ini dinukilkan dari al-Syafi‘i. Tidak dimasuk- kannya Ali dalam kelompok sahabat ini oleh al-Syafi‘i bukan karena kurang dari segi kualitasnya dibandingkan pendahulu- nya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan kedudukannya ke Kufah dan waktu itu para sahabat yang bi- asa menjadi narasumber bagi khalifah dalam forum musyawa- rah pada masa sebelum ‘Ali sudah tidak ada lagi. 4, Pendapat dari sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Nabi menjadi hujah bila ia berbicara dalam bidang keisti- mewaannya itu, seperti Zaid ibn Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris); Mu‘adz ibn Jabal dalam bidang hukum di luar faraid, dan Ali ibn Abi Thalib dalam masalah peradilan. Perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahan atau dapat tidak- nya mazhab shahabi menjadi dalil dalam menetapkan hukum furu’ disebabkan oleh perbedaan dalam memahami kata “perseorangan” yang menjadi salah satu pasal dari definisi tersebut di atas. Pertama mengartikannya dengan “pendapat seorang atau beberapa orang sahabat Nabi, yang mana pendapat itu mendapat sanggahan dari sa- habat lainnya.” Inilah arti yang dimaksud dalam penjelasan definisi. Namun pengertian ini menimbulkan masalah karena kalau pendapat seseorang sahabat yang mendapat sanggahan ditetapkan sebagai punya daya hujjiyah, tentu akan terdapat beberapa kekuatan atau hujjah syar’iyah. Hal ini tentu sulit diterima karena daya hujjiyah atau hukum Allah itu hanya satu. Kedua, mengartikan “pendapat sahabat yang tidak ada tanggapan atau sanggahan dari sahabat lain- nya.” Pengertian seperti ini pun mendatangkan masalah. Golongan yang menerima ijma’ sukuti seperti Hanafiyah akan menyanggah dan mengatakan bahwa yang demikian bukan mazhab shahabi tetapi ijma shabi al-sukuti yang sudah menempati kedudukan yang tinggi sebagai hujjah syar’iyab. Golongan Hanafiyah akan menerimanya 434 a Bab4 ©e> Beberapa Metode Ijtihad dengan nama ijma’ shahabi al-sukuti, sedangkan ulama Syafi’iy menerimanya sebagai mazhab shahabi. Bila terdapat perbedaan pendapat ulama sebagaimana dibe- berkan di atas berikut dengan segala argumentasi yang mereka sodorkan, maka dapat dipahami bahwa mereka berbeda pendapat disebabkan oleh karena perbedaan mereka dalam memahami kata “perseorangan” yang tersebut di atas dan mereka memilih pengertian yang kedua yaitu “pendapat seorang atau beberapa orang shahabat yang pendapat mereka tidak ada yang membantahnya.” Dikalangan ulama yang menerima kehujahan pendapat sahabat secara mutlak, muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyds: 1. Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menja- di hujah dan berada di atas qiyds sehingga kalau terjadi per- benturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan ada- lah pendapat sahabat atas qiyds. Berdasarkan pendapat ini bila ada dua pendapat shahabat yang berbeda dalam satu masalah, maka penyelesaiannya adalah sebagaimana penyelesaian dua dalil yang bertentangan, yaitu melalui tarjih (mencari dalil yang terkuat). 2. Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujah, namun kedudukannya di bawah giyas dan bila terjadi perbenturan di antara keduanya, maka harus didahulukan qi- yas atas pendapat sahabat. Berdasarkan pendapat kedua di atas, apakah pendapat sahabat itu dapat digunakan untuk men-takhsis umumnya dalil lafaz suatu hukum? Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat: 1. Ulama yang membolehkan untuk men-takbsis umumnya dalil, sebagaimana berlaku terhadap dalil-dalil lain yang berdaya hu- jah, 2. Ulama lainnya berpendapat tidak boleh untuk men-takbsis umumnya dalil, karena para sahabat biasa meninggalkan pen- dapatnya bila mendengar dalil yang umum. Di kalangan ulama yang menolak kehujahan mazhab shahabi gi 435 USHUL FIQH JILID 2 berbeda pendapat pula dalam hal apakah orang (generasi) sesudah sahabat boleh ber-taglid kepada sahabat. Dalam hal ini ada dua pendapat: 1. Muhaqgiq, sebagaimana dikatakan Imam al-Haramain dalam kitabnya al-Burhdn, mengatakan tidak boleh. Alasannya adalah bahwa tidak kuatnya kepercayaan pada kebenaran pendapat sahabat tersebut, sebab pendapatnya tidak pernah dibukukan. Lain halnya dengan pendapat Imam Mujtahid yang empat, umpamanya, yang pendapatnya telah dibukukan oleh para mu- ridnya. Hal ini bukan karena kualitas ijtihad imam yang empat lebih tinggi dari ijtihadnya sahabat. Pendapat seperti ini sejalan dengan pendapat al-Syafiti dalam qaul jadid (pandangan ba- ru)-nya. 2. Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional bahwa bila orang boleh ber-taglid kepada seorang mujahid sesudah masa sahabat, tentu akan lebih boleh lagi ber-taglid kepada mujtahid sahabat. 3. Qaul qadim (pendapat lama) dari al-Syafiti mengatakan boleh ber-taqlid kepada sahabat asalkan pendapatnya itu sudah terse- bar luas, meskipun tidak dibukukan. FE. Syar’u Man Qablana (Syari’at Sebelum Kita) 1. Pengantar Salah satu rukun iman adalah beriman kepada para nabi dan para rasul yang menerima wahyu dari Allah SWT dan menyampaikan wahyu itu kepada umatnya. Keimanan ini mengandung arti percaya akan risalah yang dibawa Rasul dan melaksanakan pesan-pesan Allah yang disampaikannya. Dalam rangka keimanan itu kita ha- rus memandang para rasul itu dalam kedudukan yang sama, tanpa membedakan antara seorang rasul dengan yang lainnya. Tuntutan untuk tidak membedakan antara para rasul ini ditegaskan Allah dalam surat al-Bagarah (2): 285. Kita tidak membedakan antara seorang rasul dengan rasul lain- nya. Setiap Rasul, mulai dari Nabi Adam sampai pada Rasul terakhir, 436 a Bab4 > Beberapa Metode |jtihad Nabi Muhammad, membawa pesan Allah yang berkenaan dengan dua hal, yaitu tentang apa-apa yang harus diimani (diyakini) dan apa-apa yang harus diamalkan oleh manusia dalam kehidupannya. Iman menyangkut hal paling dalam dari kehidupan manusia di dunia, tanpa terpengaruh oleh kehidupan dunia, sedangkan amal berkenaan dengan kehidupan lahir yang dengan sendirinya dapat dipengaruhi oleh kehidupan di dunia. Oleh karena hal yang berkenaan dengan keimanan tidak ter- pengaruh oleh yang bersifat lahir (duniawi), maka bentuk dan pola keimanan yang diajarkan oleh seluruh Rasul itu pada dasarnya ada- lah sama; semuanya bertumpu pada taubid. Hal ini secara konsisten berlaku tetap dari semenjak ajaran yang dibawa Nabi Adam sampai ajaran Nabi Muhammad. Sebaliknya, karena amal menyangkut hal luar, maka ia dapat terpengaruh oleh kehidupan manusia (duniawi) yang selalu meng- alami perubahan. Karena itu, maka apa yang harus dilakukan oleh umat dari seorang Rasul pada suatu masa, tidak mesti sama dengan apa-apa yang harus dilakukan oleh umat dari Nabi dan Rasul yang datang sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maaidab (5): 48: “~ £8 5S a Seis 12 (eA Basle 5ae 3p Sails Joa} Bagi setiap umat di antaramu Kami jadikan syari‘at dan minhaj (jalan) atau petunjuk yang harus diikuti. Sehubungan dengan itu setiap rasul yang datang belakangan, di samping bertugas membawa syariat yang baru untuk umatnya, juga melakukan semacam koreksi (penyempurnaan) dan pembatalan syariat sebelumnya yang tidak diberlakukan lagi bagi umatnya. Hal ini berarti bahwa apa yang harus dijalankan umatnya, di antaranya ada yang sama dengan syariat umat sebelumnya dan ada ketentuan syariat yang baru sama sekali. Nabi Muhamamd SAW sampai usia 40 tahun belum menerima risalah dari Allah SWT untuk diberlakukan bagi umatnya. Selama masa menjelang menerima risalah itu, apakah beliau beramal meng- ikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini ulama a 437 USHULFIQH JILID2 ushul berbeda pendapat, yaitu: 1. 438 Sebagian ulama, termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti syariat mana- pun dari syariat Nabi-nabi sebelumnya ketika beliau belum menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya Nabi Muham- mad beramal dengan salah satu syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan dari beliau dan akan dikenal luas (populer) tentang beramalnya dengan syariat itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan bergabung dan ber- baur dengan sesama umat yang menjalankan syariat tersebut. Hal yang demikian sama sekali tidak pernah dinukilkan, baik dari Nabi Muhammad sendiri maupun dari salah seorang umat yang syariatnya diikuti oleh Nabi Muhammad. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti salah satu syariat yang dibawa oleh Nabi dan Ra- sul sebelumnya menjelang beliau menerima risalah. Alasannya ialah bahwa Muhammad sebelum menerima risalah telah tha- waf di Baitullah, dan biasa makan daging kurban. Hal ini bu- kanlah suatu amalan yang dapat ditetapkan dengan akal. De- ngan demikian mesti ada petunjuk wahyu yang diikuti beliau, yaitu syariat dari Nabi dan Rasul terdahulu (sebelumnya). Dikalangan ulama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti suatu syariat sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syariat Nabi yang diikutinya itu: a. Ada yang menyatakan beliau mengikuti syariat Nabi Nuh dengan alasan bahwa Nuh adalah Nabi yang paling awal disebut membawa syariat, sebagai tersebut dalam surat as-Syuura’ (42): 13: Aes AGA $y 2 slegiMoepale 3 OF 5-4) Disyariatkan kepadamu dari agama apa yang diwasiatkan dengannya kepada Nub dan Kami wahyukan kepadamu. b. Ada juga yang mengatakan bahwa Muhammad mengikuti Bab4 e> Beberapa Metode Ijtihad syariat Nabi Ibrahim, karena Nabi Ibrahim adalah yang mengasaskan agama Islam sebagaimana firman Allah dalam surat Ali ‘Imran (3): 67: 4A lbee eile 7-14. 268 218, 28 aeISe dcalings SIS Sal 5lEal 5 259 5p steal ss] Ibrahim itu bukan beragama Yahudi dan bukan pula beraga- ma Nasrani, tetapi ia adalah orang yang lurus lagi muslim. Juga terdapat suruhan untuk mengikuti agama Nabi Ibra- him, dalam surat Ali ‘Imran (3): 95: igs galalibe «SU Maka ikutilah agama Nabi Ibrahim yang lurus. c. Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad meng- ikuti syariat Nabi Musa, karena Nabi Musa adalah yang pertama disebut sebagai pembawa kitab. d. Juga ada yang mengatakan bahwa Muhammad mengikuti syariat Nabi Isa, karena syariat Nabi Isa itulah yang paling dekat kepada masa Muhammad, sekaligus telah mengoreksi syariat sebelumnya. Pendapat ulama yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan sikap tentang apakah Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya atau tidak, meski- pun ada kemungkinan masih berlakunya syariat lama tersebut. Pendapat ini adalah yang terpilih menurut al-Amidi dan Qadhi Abdul Jabbar dan ulama lain yang sependapat (muhaqqiq). Pembahasan ulama ushul berikutnya berkembang kepada ke- mungkinan Nabi Muhammad mengikuti syariat sebelumnya sesudah beliau menerima risalah. Dalam hal ini timbul beberapa pendapat: 1. Abu Hanifah, Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan seba- gian pengikut al-Syafi‘i berpendapat bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat sebelumnya yang sah yang diterimanya melalui wahyu, dan tidak melalui kitab suci para nabi dan rasul terdahulu yang sudah diperbarui Allah atau diubah oleh para pendeta (rabbi)-nya, selama syariat tersebut belum di-nasakh. Mereka mengajukan argumen dengan beberapa ayat Al-Qur’an 439 USHULFIQH JILID2 dan hadis yang di antaranya adalah: a. Surat an-Nabl (16): 123: (YT sJoully gal sslaeeslaidai ics 512 Kemudian Kami wabyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim. Suruhan dalam ayat ini adalah untuk wajib. b. Surat al-Maaidah (5): 44: SHANG AEs 585 YS Bhs SANS Bt (ft asl) Kami telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang para nabi berhukum dengannya. Dalam ayat ini disebutkan bahwa Taurat itu berisi petunjuk yang digunakan para nabi untuk menetapkan hukum, dan Nabi Muhammad adalah salah seorang di antara Nabi yang dimaksud. Oleh karena itu, wajib menetapkan hukum berdasarkan Taurat. c. Ada Hadis Nabi yang menjelaskan hukum rajam dan gishash dengan merujuk kepada Taurat. Ulama kalam Asy‘ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bah- wa Nabi setelah menerima risalah (wahyu) tidak pernah lagi mengikuti syariat sebelumnya. Mereka mengemukakan argu- men sebagai berikut: a. Dalam dialog yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’adz ibn Jabal tentang cara Mu’adz menyelesaikan perkara sewaktu tidak menemukan jawabannya dalam Al-Qur’an dan Sunah, Mu‘adz mengatakan bahwa ia akan menggu- nakan ijtihad dengan akal pikirannya (ra’yu). Dia tidak menyinggung untuk mengambil ketentuan dari syariat sebe- lumnya. Jawaban Muaz itu mendapat pujian (persetujuan) Nabi. b. Kalau Nabi dan umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah, tentu mempelajari syariat sebelumnya itu menjadi wajib kifayah dan Nabi sendiri wajib merujuknya, Bab4_C Beberapa Metode Ijtihad dan Nabi sendiri tidak akan berhenti memberikan jawaban terhadap suatu masalah saat tidak (belum) menerima wah- yu. Kenyataannya menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah berpedoman pada syariat sebelumnya. c. _ Ijmé’ ulama menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu me-nasakh syariat sebelumnya. Sean- dainya Nabi pernah mengikuti syariat sebelumnya, maka tentu syariat Islam akan memberikan pengakuan terhadap syariat-syariat sebelumnya, dan tidak akan me-nasakh-nya. 2. Pengertian Syar‘u Man Qablana Pembicaraan ulama tentang kemungkinan Nabi Muhammad mengikuti syariat sebelumnya setelah beliau menerima risalah seperti dijelaskan di atas, berkembang pada pembicaraan tentang: apa sebe- narnya yang disebut syariat sebelum kita itu. Dimana hal itu dapat ditemukan dan apakah umat Islam wajib mengikutinya? Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita atau syar‘u man gablané (33¢_,4) ialah hukum-hukum yang telah di- syari‘atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad. Di mana kita dapat menemukan syariat terdahulu itu: apakah dari kitab suci Nabi dan Rasul terdahulu yang ada sekarang seperti Perjanjian Lama untuk agama Yahudi dan Injil Bible untuk agama Kristen (Katolik dan Protestan)? Hal ini menjadi pembicaraan di kalangan ulama. Meyakini adanya kitab suci yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu adalah merupakan salah satu rukun iman. Namun kita meyakini pula bahwa Perjanjian Lama yang ada sekarang bukan- lah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa. Begitu pula Injil atau Bible yang dipegang orang Kristen saat ini bukanlah Injil yang diturunkan Allah kepada Nabi Isa dalam arti yang sesungguhnya. Kedua kitab suci yang ada sekarang itu sudah mengalami perubahan melalui tangan para pengikutnya. Sehubungan dengan itu, maka syariat umat terdahulu itu bukan- 441 USHUL FIQH JILID 2 lah yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ada sekarang. Kedua kitab tersebut sudah disepakati oleh semua ulama untuk menolaknya. Kalau demikian halnya, maka yang dise- but syariat sebelum kita adalah hukum-hukum yang berlaku untuk umat sebelum datang risalah Nabi Muhammad sejauh yang dapat dibaca dalam Al-Qur’an atau dinukilkan oleh Nabi Muhamad SAW, karena memang Al-Qur’an dan Hadis Nabi banyak berbicara tentang syariat terdahulu. 3. Pengelompokan Syar‘u Man Qablana Syariat sebelum kita dalam pengertian di atas, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok: 1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam Al-Qur’an atau penjelas- an Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muham- mad dan dijelaskan pula dalam Al-Qur’an atau Hadis Nabi bahwa yang demikian telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad. Umpamanya firman Allah dalam surat al-An‘aam (6): 146: tinge BBs digas Bb as K cage site gis Jes Qa pls Vilage 33 baile Kami haramkan atas orang-orang Yabudi setiap (binatang) yang punya kuku; dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya. Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam Al-Qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muahmmad sebagaimana disebutkan dalam surat al-An‘ ad (6): 145: ins Kesh yitades qelblevreedl esiegig iB (£9 :¢lo) 5 fo gid SE ghd 2A\%5 51 Katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi. 442 | Bab4_ Ce» Beberapa Metode Ijtihad Hadis Nabi: Z i,% 17 on a4 (Corea) ghSiese Ved Soptigcte| Dihalalkan untukku harta rampasan yang tidak pernah dihalal- kan untuk orang sebelumku. Hadis Nabi ini menjelaskan bahwa ghanimab (harta rampasan perang) itu tidak halal untuk umat terdahulu, namun kemudian dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad. Ulama telah sepakat menyatakan bahwa syariat terdahulu yang dalam bentuk ini (yang telah di-nasakb) tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad. Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pu- la berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan ber- laku untuk selanjutnya. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Bagarah (2): 183: (Oat 3 ally 3 eal ees Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa se- bagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudab-mu- dahan kalian menjadi orang yang bertakwa. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad. Contoh dalam Hadis Nabi adalah tentang berkurban yang di- jelaskan disyariatkan untuk Nabi Ibrahim, juga disyariatkan untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi: Geen a a (Cosel) gaz Ea VELLA a Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapak- mu, Ibrahim. Hukum-hukum dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi USHUL FIQH JILID 2 Muhammad. Hal ini telah disepakati oleh semua ulama. Pem- berlakuan hukum untuk umat Nabi Muhammad bukan karena ia adalah “syara’ sebelum kita” yang harus berlaku untuk kita, tetapi karena kewajiban tersebut ditetapkan pemberlakuannya untuk kita dalam Al-Qur’an atau Hadis Nabi. 3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau Hadis Nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muham- mad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-na- sakb. Dari ketiga kelompok syariat sebelum kita, bentuk pertama sudah jelas kedudukannya yaitu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad. Demikian juga dengan bentuk kedua yang disepakati telah menjadi hukum Islam. Bentuk ketiga inilah sebenarnya yang disebut “syariat sebelum kita” yang menjadi bahan kajian ulama Ushul pada waktu membicarakan dalil-dalil syara’ atau metode ijtihad, Pembahasan tentang “syariat sebelum kita” ini muncul karena di satu sisi ia terdapat (disebut) dalam Al-Qur’an yang tentu dengan sendirinya mengikat untuk umat Nabi Muhammad, namun di sisi lain Al-Qur’an itu sendiri menyebutkan bahwa hukum itu berlaku untuk umat tertentu sebelum Nabi Muhammad. Ayat Al-Qur’an dalam hal ini mengisahkan isi sebuah kitab suci terdahulu yang menetapkan hukum bagi umatnya. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Maaidab (5): 45: (£2 sasbal aden 5 AL ces ila ples 5 Kami telah tetapkan terhadap mereka (kaum Yahudi) di da- lamnya (Kitab Taurat) babwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa; mata dengan mata... Ayat ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa dahulu kala. 4. Kehujahan Syar‘u Man Qablana Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum 444 | Bab4 Ce Beberapa Metode ljtihad kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muahammad. Pendapat mereka adalah sebagai berikut: 1. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi- ‘iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy‘ariyah dan Mu’tazi- lah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa syari- at sebelum kita itu berlaku secara khusus untuk umat ketika itu dan tidak berlaku secara umum. Lain halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir yang berlaku secara umum dan me-nasakh syariat sebelumnya. 2. Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, se- bagian sahabat Imam Syafi‘i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebut- kan dalam Al-Qur’an atau Sunah Nabi meskipun tidak diarah- kan untuk umat Nabi Muhammad, selama tidak ada penjelas- an tentang nasakb-nya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Dari sini, muncul kaidah: Syariat untuk umat sebelum kita berlaku untuk syariat kita. Alasan yang mereka kemukakan adalah beberapa petunjuk dari ayat Al-Qur‘an yang di antaranya: a. Surat as-Syuura (42): 13: asc tse 5 soillosp ele oA sal PHO sg call All ches se spalatl alee s OF 25 gal) Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wabyukan kepadamu dari apa yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: “Tegakkanlah agama dan jangan kamu berpecah belah tentangnya.” 'USHUL FIQH JILID 2 b. Surat an-Nabl (16): 123: OXY Joell) gas, \sAldegdlgideh ics 512 Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus. Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah memberlakukan hukum gishash yang seimbang sebagaimana terse- but dalam surat al-Maaidah (5): 45, bagi umat Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi. Berdasarkan pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir dzimmi (yang dalam perlin- dungan) dikenai gishash sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang Islam. Sedangkan kalangan ulama Syafi‘iyah yang tidak mem- berlakukan syariat umat Yahudi itu untuk umat Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada keseimbangan dalam pelak- sanaan gishash antara muslim dan non-muslim sebagaimana yang diberlakukan terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh kafir dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash, Tetapi bila kafir dzimmi yang membunuh orang Islam, maka diberlakukan gishash. Sebenarnya perbedaan pendapat dalam soal gishash itu tidak semata disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam hal pember- lakuan syariat sebelum kita tersebut, tetapi ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya. Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang berpendapat bahwa syariat sebelum kita itu dapat menjadi syariat bagi kita (umat Nabi Muhammad) adalah bukan karena ia adalah syariat sebelum kita tetapi karena ia terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabi yang harus dijadikan pedoman. Dengan demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam tidaklah berdiri sendiri. G. Saddu Al-Zari‘ah ( 42 jl. ) 1. Pengantar Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan 446 Bab4 (Ce. Beberapa Metode |jtihad manfaat atau menimbulkan mudarat. Sebelum sampai pada pe- laksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya. Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan um- pamanya, maka ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiatan pokok dalam hal ini ada- lah belajar atau menuntut ilmu, sedangkan kegiatan lain itu disebut perantara, jalan atau pendahuluan. Bila seseorang akan melakukan pembunuhan umpamanya, ia sebelumnya harus melakukan beberapa kegiatan seperti memiliki senjata untuk membunuh dan mencari kesempatan untuk melakukan pembunuhan itu. Membunuh merupakan kegiatan pokok yang ditu- ju, sedangkan perbuatan lain yang mendahuluinya disebut perantara, jalan atau pendahuluan. Sebelum melakukan zina, ada hal-hal yang mendahuluinya, seperti rangsangan yang mendorong berbuat zina dan penyediaan kesempatan untuk melakukan zina itu. Dalam hal ini, zina disebut perbuatan pokok yang dituju, sedangkan hal-hal yang mendahuluinya disebut perantara atau pendahuluan. Perbuatan-perbuatan pokok yang dituju oleh seseorang telah diatur oleh syara’ dan termasuk ke dalam hukum taklifi yang lima atau yang disebut al-abkdm al-khamsab. Untuk dapat melakukan per- buatan pokok yang disuruh atau yang dilarang, harus terlebih dahulu melakukan perbuatan yang mendahuluinya. Keharusan melakukan atau menghindarkan perbuatan yang mendahului perbuatan pokok itu ada yang telah diatur sendiri hukumnya oleh syara’ dan ada yang tidak diatur secara langsung. Contohnya: 1. Wudhu adalah perbuatan pendahuluan (perantara) untuk me- laksanakan shalat. Namun kewajiban wudhu itu sendiri telah diatur hukumnya dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini jelas bahwa hukum, untuk perbuatan pendahuluan (perantara) itu sama dengan hukum bagi perbuatan pokok, yaitu sama-sama wajib. 2. Menuntut ilmu hukumnya wajib berdasarkan Hadis Nabi. Na- mun untuk terlaksananya kewajiban menuntut ilmu itu, ada 447 USHUL FIQH JILID 2 yang harus dilakukan sebelumnya, seperti mendirikan sekolah. Tetapi untuk mendirikan sekolah itu tidak ada dalil hukumnya secara langsung. Dapatkah dikatakan bahwa hukum membuat sekolah adalah wajib sebagaimana wajibnya menuntut ilmu se- bagai perbuatan yang dituju? 3. Berzina adalah perbuatan haram yang harus dijauhi. Untuk da- pat menjauhi perbuatan zina itu harus menghindari perbuatan yang mendahuluinya yang dapat mengantarkannya pada zina, seperti ber-kbalwat (berdua-duaan di tempat sepi). Khalwat sebagai perbuatan perantara bagi zina itu sendiri sudah ada hukumnya (haram) yang ditetapkan dalam Hadis Nabi. Dalam hal ini hukum perbuatan pendahuluan (perantara) adalah sama dengan hukum perbuatan pokok yang dituju, yaitu sama-sama haram. 4, Membunuh tanpa hak adalah perbuatan haram yang ha- rus dijauhi. Untuk menjauhi perbuatan membunuh itu harus menghindarkan perbuatan lain yang dapat mendorong kepada pembunuhan, umpamanya memiliki senjata. Namun ketentuan mengenai larangan memiliki senjata tidak ada dalam syariat. Dalam hal ini, apakah hukum perbuatan pendahuluan (peran- tara), yaitu memiliki senjata itu sama dengan membunuh yang sudah jelas haramnya? Berwudhw’ sebagai perantara bagi wajibnya shalat, hukumnya adalah wajib. Demikian pula ber-khalwat sebagai perantara kepada zina yang diharamkan, hukumnya adalah haram. Ma- salah seperti ini tidak diperbincangkan para ulama karena hu- kumnya sudah jelas. Untuk itu berlakulah kaidah: polit AaoS Jobs sll Bagi wasilah (perantara) itu hukumnya adalah sebagaimana hukum yang berlaku pada apa yang dituju. Persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perbua- tan perantara (pendahuluan) yang belum mempunyai dasar huk- umnya. Perbuatan perantara itu disebut oleh ahli Ushul dengan al-dzari‘ah (dap yl). 448 a Bab4 «> Beberapa Metode litihad 2. Pengertian Saddu Al-Dzari‘ah Secara lughawi (bahasa), al-Dzari‘ah itu berarti: B pxasibce aS Aga ct I dose sili sh Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau buruk. Arti lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa mem- berikan penilaian kepada hasil perbuatan. Pengertian netral inilah yang diangkat oleh Ibnu Qayyim ke dalam rumusan definisi tentang dgari‘ah, yaitu: ceeill Sis bse 55S Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu. Selanjutnya Badran memberikan definisi yang tidak netral ter- hadap dzarf‘ah itu sebagai berikut: ee es pee a es pak je Jotbae fiddle cel ee sal gm Apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung kerusakan. Untuk menempatkannya dalam bahasan sesuai dengan yang di- tuju, kata dzari‘ah itu didahului dengan saddu (3) yang artinya “me- nutup”; maksudnya adalah “menutup jalan terjadinya kerusakan”. Wahbah Zuhaili menginginkan definisi yang netral, karena itu ia memilih definisi yang dikemukakan Ibn Qayyim di atas. Dalam pembahasan hukum taklifi tentang “wajib” telah di- uraikan tentang hukum melakukan segala sesuatu yang memba- wa kepada dan mendahului suatu perbuatan wajib, yang disebut “muqaddimah wajib”. Dari segi bahwa ia adalah washilab (pe- rantara) kepada suatu perbuatan yang dikenai hukum, maka ia disebut dzari‘ab. Oleh karena itu, para penulis dan ulama ushul memasukkan pembahasan tentang muqaddimah wajib ke dalam pembahasan tentang dzari‘ab; karena sama-sama sebagai perantara kepada sesuatu. Badran dan Zuhaili membedakan antara mugaddimab wajib @ 449 USHULFIQH JILID2 dengan dzari‘ah. Perbedaannya terletak pada ketergantungan per- buatan pokok yang dituju kepada perantara atau washilah, Pada dzari‘ah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Kalau zina adalah perbuatan pokok dan khalwat adalah perantara, maka terjadinya zina itu tidak tergantung pada terjadinya khalwat; artinya tanpa khalwat pun zina dapat juga terjadi. Karena itu, per- antara di sini disebut dzari‘ah. Pada muqaddimah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara. Kalau shalat sebagai perbuatan pokok dan wudhu sebagai perantara, maka keberadaan dan kesahan shalat itu tergantung pada pelaksanaan wudhu. Karenanya wudhu di sini disebut muqaddimah. Meskipun Badran dan Zuhaili mengemukakan adanya perbedaan antara mugqaddimabh dengan dzari‘ah, namun keduanya berpendapat bahwa antara dzari‘ah dan muqaddimah itu mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama sebagai “perantara” untuk sesuatu. Sebenarnya kalau ingin membedakan di antara keduanya akan lebih tepat kalau dilihat dari segi bentuk perbuatan pokok yang ber- ada di balik perantara itu. Bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang disuruh, maka washilah-nya disebut muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang dilarang, maka washilab-nya disebut dzari‘ab. Karena kita harus menjauhi perbuatan yang dilarang, termasuk washilab-nya, maka bahasan di sini adalah tentang upaya untuk menjauhi washilah, agar terhindar dari perbuatan pokoknya yang dilarang. Oleh karenanya pokok bahasan di sini adalah tentang saddu al-zari‘ah. Tentang membuka zarf‘ah tidak dibicarakan karena sudah dijelaskan pada pembahasan tentang muqadimah wajib. 3. Kedudukan Saddu Al-Dzari‘ah Meskipun hampir semua ulama dan penulis ushul fiqgh me- nyinggung tentang saddu al-dzari‘ah, namun amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri. Ada yang menempatkan bahasannya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama. Ditempatkannya al-dzari‘ah sebagai salah satu dalil dalam 450 a Bab4 Cx Beberapa Metode Ijtihad menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok. Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan ke arah itu, umpamanya: a. Surat al-An‘aam (6): 108: ple Aes SREAN ZAG ly hi,05 5b IGS SASS Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan mencaci Allah secara memusuhi tanpa pengetahuan. Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Na- mun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menye- babkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang. b. Surat an-Nuur (24): 31: 3 SYS 335g 5 ads hes at 3b os poss Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketabui orang perhiasan yang tersembunyi di dalamnya. Sebenarnya menghentakkan kaki itu boleh-boleh saja bagi pe- rempuan, namun karena menyebabkan perhiasannya yang ter- sembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang. Dari dua contoh ayat di atas terlihat adanya larangan bagi per- buatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun @ 451 USHUL FIQH JILID2 semula pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya. Dalam hal ini dasar pemikiran hukumnya bagi ulama adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi: (1) sisi yang mendorong untuk ber- buat, dan (2) sasaran atau tujuan yang menjadi natijah (kesimpulan/ akibat) dari perbuatan itu. Dengan memandang pada natijah-nya, perbuatan itu ada dua bentuk: 1. segi: 1. 452 Natijab-nya baik. Maka segala sesuatu yang mengarah kepa- danya adalah baik dan oleh karenanya dituntut untuk me- ngerjakannya. Natijab-nya buruk. Maka segala sesuatu yang mendorong ke- padanya adalah juga buruk, dan karenanya dilarang. Pengelompokan Saddu Al-Dzari‘ah Dzari‘ah dapat dikelompokkan dengan melihat kepada beberapa Dengan memandang kepada akibat (dampak) yang ditimbul- kannya, Ibn Qayyim membagi dzari‘ah menjadi empat, yaitu: a. Dgari‘ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, per- buatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan. b. Deari‘ab yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak, baik de- ngan sengaja seperti nikah muhalil, atau tidak sengaja seperti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun karena dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah; namun karena cara tersebut dapat dijadikan peran- tara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang melakukannya. c. Dzari‘ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya, seperti berhiasnya seseorang perempuan Bab4 a> Beberapa Metode Ijtihad yang baru kematian suami dalam masa ‘iddah. Berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa ‘iddah keadaannya menjadi lain. d. Dzari‘ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan keru- sakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang. 2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi membagi dzari‘ah kepada empat jenis, yaitu: a. Dazari‘ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan dzari‘ab itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya menggali lubang di tanah sendiri dekat pintu rumah seseorang di waktu gelap, dan setiap orang yang keluar dari rumah itu pasti akan terjatuh ke dalam lubang tersebut. Sebenarnya menggali lubang itu boleh-boleh saja. Namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi yang seperti itu akan mendatangkan kerusakan. b. Dzari‘ah yang membawa kepada kerusakan menurut bia- sanya, dengan arti kalau dzari‘ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang dilarang. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya. Menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras; namun menurut kebiasaan, pabrik minum- an keras membeli anggur untuk diolah menjadi minuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat tersebut, ke- mungkinan besar akan digunakan untuk membunuh atau menyakiti orang lain. c. Deari‘ah yang membawa kepada perbuatan terlarang me- nurut kebanyakannya. Hal ini berarti bila dzari‘ah itu tidak gi 453 USHULFIQH JILID 2 dihindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu memba- wa kepada riba, namun dalam praktiknya sering dijadikan sarana untuk riba. d. Dzari‘ab yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya per- buatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya menggali lubang di kebun sendiri yang jara ng dilalui orang. Menurut kebiasaannya tidak ada orang yang berlalu (lewat) di tempat itu yang akan terjatuh ke dalam lubang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lubang. 5. Pandangan Ulama tentang Saddu al-Dzari‘ah Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun jjmd’ ‘ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan saddu al-dzari‘ab. Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan, berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan ha- ti-hati itu adalah faktor manfaat dan mudarat atau baik dan buruk. Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor man- faat dan mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada dasarnya juga menerima metode saddu al-dzari‘ah itu, meskipun berbeda dalam kadar penerimaannya. Kalangnan ulama Malikiyah yang dikenal banyak menggunakan faktor maslahat de- ngan sendirinya juga banyak menggunakan metode saddu al-dzari‘ah. Mustafa Syalabi mengelompokkan beberapa pendapat ulama tentang saddu al-dzari‘ah ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Dzari‘ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti, atau berat dugaan akan menimbulkan kerusakan, seperti pada ben- tuk dzari‘ah ke-1 dan ke-2 dalam pembagian dzari‘ah menurut Syatibi di atas. Dalam hal ini sepakat ulama untuk melarang 454 G Bab4 («> Beberapa Metode Ijtihad dzari‘ah tersebut sehingga dalam kitab-kitab figh mazhab tersebut ditegaskan tentang haramnya menggali lubang di tem- pat yang biasa dilalui orang yang dapat dipastikan akan men- celakakan. Demikian juga haramnya menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras dan diharamkan menjual pisau kepada penjahat yang akan membunuh korbannya. 2. Dgari‘ab yang kemungkinan mendatangkan kemudaratan atau larangan, seperti pada dzari‘ah bentuk ke-4 dalam pembagian menurut al-Syatibi di atas. Dalam hal ini ulama juga sepakat untuk tidak melarangnya; artinya pintu dzari‘ah tidak perlu di- tutup (dilarang). Dalam kitab-kitab figh mazhab tidak terdapat larangan menanam dan memperjualbelikan anggur; begitu pula tidak ada larangan membuat dan menjual pisau di waktu nor- mal serta menggali lubang di kebun sendiri yang tidak pernah dilalui orang. 3. Dzari‘ah yang terletak di tengah-tengah antara kemungkinan membawa kerusakan dan tidak merusak, sebagaimana pada dzari‘ah bentuk ke-3 dalam pembagian menurut al-Syatibi di atas. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Syalabi mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ah- mad ibn Hanbal mengharuskan melarang dzari‘ah tersebut, sedangkan al-Syafi‘i dan Abu Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya. Dasar pegangan ulama untuk menggunakan saddu al-dzari‘ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadat. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilakukan; dan bila mafsadat yang dominan, maka harus di- tinggalkan. Bila sama kuat di antara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip yang berlaku, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam kaidah: piled le feshee »taciliss Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kema- shlahatan. Bila antara yang halal dan yang haram berbaur (bercampur), be] 455 USHUL FIQH JILID 2 maka prinsipnya dirumuskan dalam kaidah: pad cbt ssa 5 Sod case 115) Bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram mengalabkan yang halal. Sebagai pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan keha- ti-hatian dalam beramal, adalah sabda Nabi: Bs AW J Bes Bag 5 Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa yang tidak meragukanmu. Begitu pula sabda Nabi yang berbunyis al Ft 55 Jy Lk Stites bes C5 35 al zslly Noll 36s Slassh bass pe Zchaagse Yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu sudab jelas. Yang terletak di antara keduanya termasuk urusan yang meragukan (syubhat). Ketahuilah bahwa ladang Allah itu adalah padang yang dibaramkannya. Siapa yang bergembala di sekitar padang larangan Allah itu diragukan akan terjatuh ke dalamnya. Ulama yang menolak metode saddu al-dzari‘ah secara mutlak adalah ulama Zhahiriyah. Penolakan itu secara panjang lebar dibe- berkan oleh Ibnu Hazm yang intisarinya adalah sebagai berikut: a. 456 Hadis yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkan saddu al-dzari‘ah itu dilemahkan dari segi sanad dan maksud artinya. Hadis itu diriwayatkan dalam banyak versi yang berbeda pera- winya. Maksud hadis tersebut ialah bahwa yang diharamkan adalah yang menggembala di dalam padang yang terlarang, sedangkan yang menggembala di sekitarnya tidak dilarang. Antara menggembala di dalam dengan di sekitar padang itu, hukumnya tidak sama. Karena itu hukumnya kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubab (boleh). Dasar pemikiran saddu al-dzari‘ah itu adalah ijtihad dengan berpatokan kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan Bab4 Cx Beberapa Metode Ijtihad ulama Zhahiriyah menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (daya nalar) seperti ini.” Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an atau dalam Sunah dan Ijmé’ ulama. Adapun yang ditetapkan di luar ketiga sumber itu bukanlah hukum syara’. Dalam hubungannya dengan saddu al-dzari‘ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya de- ngan nash atau ijmda’, hanyalah hukum pokok atau magdshid, sedangkan hukum pada washilah atau dzari‘ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau ijma’. Oleh karena itu cara seperti ini ditolak, sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nabl (16): 116: Ap \ibs io iacialineads Sic nila Asks 5 scala Janganlah kamu katakan berdasarkan ucapan lisanmu suatu kebohongan, ini halal dan ini haram, karena mengada-ada ter- hadapAllah dalam bentuk bobong. Dengan argumentasi di atas, kalangan ulama Zhahiriyah dengan tegas menolak saddu al-dzari‘ab. 457

You might also like