5
HAKIKAT DARI YANG SAKRAL
MIRCEA ELIADE
Adalah tugas saya untuk memperlihatkan keagungan, yang terkadang
naif, mengerikan, dan tragis, dari cara-cara mengada seswatu yang
arkhais
Mircea Eliade, Journal III:1970-1978
eandainya kita membahas tiga orang teoritikus yang lalu se-
cara bersamaan, yaitu Freud, Durkheim dan Marx, kira akan
mendapati benang merah pemikiran mereka bertiga. Ketiga-
nya sama-sama menerapkan pandangan fungsional yang sangar luas
techadap agama. Meaurut mereka, cidaklah cukup hanya sekadar menun-
jukkan bagaimana agama menyebabkan pemeluk agama Hindu atau
Islam meyakini keimanan mereka sebagai sebuah kebenaran. Kira harus
mencoba menjelaskan bagaimana keimanan ini “bekerja”, bagaimana
berfungsi dan bagaimana bisa melebihi level intelekeual dalam usaha
manusia memeouhi kebutuhan mereka pada setiap kondisi. Para teori-
tikus ini memang menyadari bahwa dengan peadekatan fungsional yang
mereka pakai, mereka pasti akan terseret kepada kesimpulan yang ber-
sifat reduksionis.
225Dekonstruksi Kebenaran
Dari ketiga teori tersebut, tidak ada yang Jebih unggul satu diban-
dingkan dengan yang lain. Sebab satu teori hanya menjelaskao sacu
aspek dari agama, dao ceori yang Jain menjelaskan aspek yang Jain
pula. Seciap teori meogaku telah menemukan hal yang paling funda-
meatal dan paling mendasar dari agama, namun pada saat yang sama,
teori lain cidak membutuhkan temuan teori tersebut. Setiap teoritikus
merasa tidak hanya bisa menjelaskan agama, bahkan yakin bisa meng-
atasi kesuliran-kesulican yang dihadapi dalam menyelidiki agama, dao
karenanya tanpa disadari telah mereduksi agama menjadi sesuatu yang
lain dari agama icu sendiri.
Walaupun apa yang dilakukan kaum reduksionis sangat mempe-
ngaruhi pemikiran zaman ini, tapi cidak bisa dikatakan diskusi kita
dalam buku ini terfokus seluruhnya kepada apa yang mereka hasilkan.
Sejak awal, pendekacan mereka telah mendapat kritikan dari berbagai
kalangan, dan dalam dekade ini kritikan-kritikan tersebut semakin geo-
car. Di antara suara-suara yang meneriakkan kritikan rersebuc mungkin
tidak ada yang sekeras dan segencar kritikan Mircea Bliade, seorang
ilmuwan lintas budaya kenamaan, yang dilahirkan di Rumania. Dia
smampu berbicara dan menulis dalam berbagai bahasa Eropa, mengua-
sai teks-teks asing dan menghabiskan masa karirnya di Amerika Serikat.
Eliade adalah seorang yang berpengetahuan sangat luas dan juga
mempunyai talenta dalam karya tulis fiktif serta mengabdikan seluruh
hidupoya kapada studi perbandingan agama, yang selalu dia sebut se-
suai dengan kebiasaan Eropa sebagai “Sejarah Agama-agama” (The
History of religions). Di masa mudanya, dia sempat belajar beberapa
wakeu di negeri India, kemudian melanjutkan risetoya di Rumania dan
tempat-tempat lain di Eropa. Dia juga pernah menduduki jabacan pen-
ting pada salab-sacu Universicas di Paris, Tahun 1950-an, dia pindah ke
Amerika Serikat sebagai profesor di Uniersitas Chicago. Dengan jabatan
ini, dia memainkan peran penting dalam memperkenalkan studi per-
bandingan agama di perguruao-perguruan tinggi Amerika. Sejak awal,
Eliade sudah mengambil jalan yang secara langsung berseberangan de-
ngao ceori reduksionis, sebab dalam pandanganaya teori reduksionis
merupakan kesalahpahaman paling fatal dalam memahami peranan
agama bagi kehidupan manusia. Dia sangat mendukuog pendekatao
humanistik. Melalui pengalamaa panjangaya sebagai seorang ilmuwan,
dengan mantap dia memberikan tesis bahwa agama harus selalu dijelas-
226t dari Yang Sakral, Miree
kan dengan “terma-terma” agama itu sendiri.? Teori-teorinya ini patut
kita perhatikan tidak hanya disebabkan kelebihan yang dimilikinya,
tapi juga kareoa dengan telak telah menghantam lawan-lawannya dari
aliran reduksionisme.
Latar Belakang
Mircea Eliade dilahirkan di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907,
anak seorang pegawai kemiliteran Rumania. Di masa kecilnya, Eliade
suka menyendiri, menyenangi sains, sejarah dan menulis. Dalam oto-
biografinya, Eliade mengatakan bahwa pada saac usianya 18 tahun dia
merayakan penerbitan artikelnya yang ke scratus. Di usia belia ini, dia
diminta oleh surat kabar setempac untuk menulis cerita fiktif, kolom
opini dan review buku. Kebanyakan koleksi-koleksi Eliade yang di-
kumpulkao kembali dapat menjadi pecunjuk tentang sejarah masa kecil-
nya. Dia mengisahkan ketika pada suatu hari memasuki sebuah kamar
yang tidak cerpakai dalam rumahnya tiba-tiba dikejutkan oleh seber-
kas cahaya berwarna hijau yang masuk melalui celah-celak gorden ka-
mar itu, Cahaya tersebuc menghasilkan kesan ruang kosong yang ber-
cahaya kuning keemasao. Anehaya, dia belum pernah meayaksikan
cahaya seperti itu sebelumnya. Cahaya cersebut sangat menyilaukao
dao amat mempesona. Dia merasa bagaikan memasuki alam lain, se-
buah dunia yang transenden. Belakangaa, dalam menjelaskan pengala-
man keagamaannya dia selalu memperguoakao kosa kata berdasarkan
Peogalaman masa kecilnya ini. Dia menyebutoya dengan “nostalgia
yang amac mendalam”, suatu keingioan amat mendalam untuk me-
masuki ruang maha sempurna dao nir-duniawi. Tema-tema teotang
“dunia lain” ini juga mempengaruhi jalan pendidikannya.
Di Universicas Bucharest dan Italia, Eliade mempelajari pikiran-
pikirao mistik Platonis dati tokoh-tokoh reoaisans Italia, Sewakeu
menjalani proses ini dia bercemu dengan pemikiran Hindu yang me-
nitikberatkan kesatuan spritual dengan Roh Agung (Supreme Soul) di
luar dunia ini. Selanjuenya dia beraogkat ke India uncuk melaajuckan
studinya, di bawah bimbingan ilmuan Surendranath Dasgupta. Di peng-
hujung tahun 1928, Eliade di cerima di Universitas Calcutta dan bekerja
di rumah Dasgupta. Terlepas dari perkembangan spritualaya, dia juga
terlibat affair dengan putri pembimbingnya tersebut. Dalam kejadian
227Dokonstruksi Kebenaran
ini, dengan berat hati dia berpisah dengan pembimbingnya dan beralih
meadalami ajaran Yoga dari seorang guru di Himalaya,
Di akhir-akhir masanya di India, Eliade menyatakan bahwa pe-
ngalamannya di India ini telah memberi kesan yang sangat mendalam
bagi hidupnya. Terutama karena dia menemukan tiga hal: pertama, bahwa
jalan hidup bisa berubah disebabkan apa yang dinamakanoya pengala-
mao sakramencal, kedua, simbol adalah kunci utama memasuki ke-
hidupan spritual, dan, detiga, semua itu hanya bisa digali dan dipelajari
di anak beoua India, karena di sana terdapat warisan agama rakyat
yang sangat kaya dan teramat kuat —sebuah selubung kehidupaa spri-
tual yang telah eksis semenjak dulu kala. Petani-pecani sederhana me-
libat sesuatu Yang Sakral dalam misteri pertanian. Mereka meman-
dang dunia sebagai sebuah lingkaraa yang tidak akan bisa dipucuskan
oleh hidup, mati dan reinkarnasi. Menuruc Eliade, agama purba ini
juga bisa didapaci di berbagai belahan dunia lain. Terbencang dari perkam-
pungao-perkampungan Iodia sampai ke negerinya sendiri di Rumania,
dari Eropa dao Skandioavia sampai Asia Timur, juga di Amerika, di
tempat lain di berbagai penjuru dunia, tempat masyarakat primitif
menggarap tanah pertanian sebagaimana yang diajarkan oleh Jeluhur
mereka. Namuno menurutnya, hanya di India-lah dapat ditemukan suatu
perasaan religius tentang kosmos.
Pada cahuo 1931, setelah tiga tahun menetap di India, Eliade
kembali ke Rumania untuk menuoaikan cugas militernya. Dia terus
melanjutkan bakac menulisaya dan pada tahun 1933 dalam usia yang
sangat muda, 26 tahun, dia telah menjadi seorang selebritis dengan
terbitnya sebuah novel karangannya yang berjudul Maitrey/ (versi Ing-
gris: Bengal Night), yang diilbami oleh kisah cintaoya dengsa puci
Dasgupta.’ Novel tersebut juga pernah mendapat beberapa peaghar-
gaan bidang sastra.
Beberapa peristiwa pentiog Jain juga cerjadi dalam dekade ini.
Disercasi doktoralaya dipublikasikao di Perancis tahun 1936 dengan
judul Yoga: An Essays om the Origins of Indian Mystical Theology. Studi
yang dimuac dalam disertasi ini merupakan salah-saru karya perca-
manya dalam bidang itu. Setelah mendapat titel, Eliade mulai menga-
jar di Universitas Bucharest sebagai asisten seorang filosof berpengaruh,
beroama Nae lonesco, yang dikenal sebagai salah seorang tokoh
pemimpin Organisasi Nasionalis Rumania (Legion of the Archangel).
228Beberapa anggota kelompok yang terkenal kuat dan agak besifat ceroris
ini, dikenal dengan nama Iron Guard, menjalankan pengaruhnya di
Rumania seperti partai Nazi di Jerman. Mereka juga menunjukkan
rasa simpati terhadap kepemimpinan Hitler. Eliade memang memiliki
kawan-kawan lain di kelompok ini, namun begitu, tampakoya dia lebih
mementingkan kehidupan intelektual dengan menjadi editor jurnal,
maaulis, mengadakan diskusi-diskusi tentang perkembangaa terkini di
bidang filsafat, seni dan sastra. Dia tidak banyak berbicara tentang
kehidupan pribadinya dan selalu menggambarkan diriaya sebagai pri-
badi yang non-politis.’
Di masa Perang Dunia II, Eliade diangkat pemeriotahan Ruma-
aia sebagai diplomat yang bertugas di Lisbon, Portugal. Setelah perang
usai, dia memilih tidak kembali ke Rumania dan menetap di Paris, dan
kemudian berkesempatan mengajar di Ecole des Houtes Etudes. Di sana,
dia berhasil menyelesaikan dua buku penting, berisi wacana pemikiran
yang berpengaruh pada scudi dan pemikiran-pemikiran dia selanjuc-
nya. Pattern in Comparative Religion (1949) menjelaskan fungsi simbol
dalam agama dan The Myth of Eternal Return (1949) yang menerangkan
konsep historis, sakralitas waktu dan perbedaan ancara agama kunoo
dengan pemikiran modern.
Dalam menghasilkan karya-karyanya, Eliade cerlihat sangat cer-
inspirasi oleh Carl Jung, abli psikologi teraama dari Swiss yang juga
teman sejawat Sigmund Freud. Eliade berremu Jung di tahun 1950,
ketika meoghadiri Konfrensi Eranos di Swiss, saat imuwao-ilmuwan
Eropa berkumpul dalam acara tersebur. Eliade sering berkunjung sam-
pai Jung wafac pada cahun 1960. Dalam percemuan-pertemuan mere-
ka, Juog sangat mendukung ide-ide Eliade tentang agama-agama kuno
dan peninggalan-peninggalan agama tersebut. Teatang diskusi-diskusi
yang mereka lakukan, Eliade berkomentar, “Sewakru mendengamya
Qung), terasa seperti berhadapan dengan seorang pemikir China atau
Seorang petani dari pedalaman Eropa, pembicaraanoya sangat membumi
sekaligus pada saat yang bersamaan menjulang, hingga sangat dekat
dengan surga.””
Tahun 1950-an membawa dampak terakhir dalam perkembangan
karir Eliade. Setelah memberikan kuliah-kuliah di Universitas Chicago,
dia kemudian menerima gelar profesor dari Divinity School di Unver-
sitas yang sama. Dan pada tahun 1962, dia telah menjadi salah seorang”
229Dekonstruks! Kebenaran
profesor ternama di Universitas Chicago.’ Posisinya di Universitas
Chicago, tempat dia menghabiskan sisa hidupnya, dimanfaatkannya
untuk menjadi seorang penasehat generasi muda berbakat yang ter-
pacu semangatnya oleh contoh-contoh yang dia berikao, kendati mereka
ini sering mengkritisi dan membancah pendapatnya. Dalam menilai
seberapa pengaruhoya di sini, dia hanya mengguoakan perbandingan
yang sederhana saja.
Percama kali Eliade datang ke Chicago, hanya terdapat tiga orang
profesor Amerika di bidang perbandingan agama, Dua puluh tahun
kemudian tumbuh menjadi tiga puluh orang, dan separuh mereka ada-
lah bekas muridnya." Dimulai dari India dan berakhir di Chicago, karir
dan kehidupao Eliade adalah pertemuan dua kucub; Timur dao Barat,
tradisional dan modern, mistik dan rasionalitas, kontemplasi dao kri-
tik.” Pada masa pensiun, dia terus melakukan riset dan menulis, sam-
pai kemudian wafac akibac stroke pada tanggal 22 April 1986.
Titik Tolak Eliade: Dua Aksioma
Sebelum membicarakan teori-teori Eliade secara mendalam, ada
baiknya kica lihat cerlebih dahulu pijakan dasar ceori-teori tersebuc.
Terutama dua ide dalam bentuk aksioma yang menjadi pondasi seluruh
bangunan teorinya. Pertama, posisinya yang sangat berseberangan de-
ogan kaum reduksionis. Posisi ini akan selalu mewarnai teori-teorinya
lebih Janjuc. Eliade sangat yakin terhadap keindependenan atau keoto-
fnoman agama yang menurucnya tidak bisa hanya diartikan sebagai
produks “realitas yang lain”. Dia menegaskan bahwa feaomena agama:
harus dipahami sebagaimana dia tumbuh dalam tahapan-tahapan
disinya seodici, dan hal ini akan mungkin dilaksanakan kalau agama dipel-
ajari sebagai sesuaru yang religius. Mencoba memahami esensi agama hanya
melalui beberapa fenomena, seperti psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa,
seni, arau bidang-bidang lain, adalsh salah besar, karena studi-scudi ini me-
lupakan satu hal “unik” dan bagian yang sama sekali tidak bisa direduksi
dalam agama, iculah dimensi sakralitas agama,
Dalam bahasa ilmu alam, agama tidak kita artikan sebagai “vari-
abel dependen” yang selalu berubah dalam setiap kali pengujian dao
230Hakikat dari Yang Saksal, Mircea Akade
eksperimen. Agama harus diposisikan sebagai sesuaru yang konscan
(variabel iadependen), sedangkan aspek-aspek kehidupan lain, seperti
sosial, psikologi, ekonomi, mesti sergantung kepada agama. Sebagai
satu elemen dalam kehidupan manusia, fungsi agama barus dilihar se-
bagai “sebab” ketimbang “akibar”.
Kedua, lebih merujuk pada metode yang dipakai. Kalau kenyataan-
ya agama adalah sesuacu yang independen, dimana hakikataya tidak
bisa dijelaskan sebacas psikologi aran sosiologi belaka, maka perta-
ayaan yang kemudian muacul adalah bagaimana sebaiknya agama ico
dijelaskan? Eliade memberi jawabaa bahwa kita harus memperguozkan
dua sisi pandang yang terpisah. Karena kebanyakan peminar studi agamna-
agama hanya mempelajari “masa lalu”, objek studi mereka dalam sam
segi hanya bersifat historis, maka yang dihasilkan tidak akan jauh ber-
beda dengan apa yang dihasilkan olch para sejarawan muri. Mereka
hanya mengumpulkan fakta kemudian menaranya, menggeneralisasi-
kan apa yang didapar, mengkritisi dan akhirnya mencoba menemukan
mana sebab dan mana akibat.
Dalam pengertian ini, studi yang mereka laknkan baru mencapai
taraf history of religion. Padahal scudi agama bukan hanya semata-maca
scjarah. Kita baru dapat memahami agama apabila kira telah mene-
rapkan apa yang Eliade sebut sebagai “Phemomenology” (dari Bahasa Yu-
nani, berarti “penampakan”), yaitu studi komparasi tentang bencak
sesuaru atau penampakan yang dimunculkan sesuam itu kepada kira
Pada hakikataya sebagian ilmu adalah fenomenologi. Kita mengetabui
‘Wwarna merah dari seberkas sinar yang melewari sebuah spekrrum, karena
‘warna merah tersebut berbeda dan terpisah dari warna biru dan ungu.
mengenal sara bearuk agama —kepercayaan atau citualnya— adalah
dengan jalan membandingkanoya dengan agama-agama lain.
Eliade dengan sangat berempati mengulang ungkapan filosof
Goethe tentang bahasa, yang sudah disinggung sewakru Max Maller
juga menerapkan ungkapan tersebur, “Seseorang yang hanya taho sara
hal, berarti dia tidak tabu apa-apa” ke dalam studi agama. Jadi, anpa
Perbandingan, tidak akan ada ilmu yang benar-beoar ilmu.
Kenyaraan yang cidak dapat dipungkin' bahwa para sejarawan
memang agak “curiga” tethadap metode kompansi, rerarama ketika
mereka ingin menemukan tick persamaan dua hal [muwan yang ber-
Zipikirao skeptis akan ceoderung bekesimpulan’bahwa tidak ada dua hal
yang benar-benar sama, dimana saja dan kapan saja keduanya pasti
akan memiliki perbedaan. Eliade tidak sepakat dengao hal ini. Dia
pikir, sesungguhoya setiap bentuk umum dan setiap pola-pola feno-
mena yaog beraneka-ragam dari satu agama bisa dicarik keluar dari
tempat dan waktu dimana dia berasal, schingga bisa dibandingkan dengan
agama lain. Tempac dan waktunya muogkin bisa berbeda, oamun kon-
sep di dalamaya selalu sama. Ahli matematika Buclid adalah seorang
Yunani kuno dan dia adalah milik masanya. Tapi sekarang kita tetap
bisa mempelajari geometti persis seperti yang dia terapkao dulu, Manu-
sia bisa saja bersifat hiscoris, capi teorema tidak mengenal bacas wak-
a.
Hal yang sama juga bisa diterapkan ke dalam konsep-konsep agama.
Dalam saru sisi, penyembahan terhadap dewa Zeus telah terikat waktu
dan tempat certentu dalam cataran sejarah. Dia dipercayai dan diprak-
tekkan oleh masyarakat Yunani kuno dulu kala, Tapi bila kita celaah
lebih jauh, legenda-legenda kuno Yunani, seperti Zeus punya istri, ber-
tabta di bukit Olympus dan dewa yang paling kuat di antara dewa-
dewa yang lain, maka tidaklah terlalu sulit mencari hal yaog sama
dengan konsep Tuhao Langit ini di cempar lain dan-di waktu yang ber-
beda dari belahan bumi manapun. Zeus bisa saja milik orang Yunani,
tapi fenomena Tuban juga bisa muncul dalam setiap budaya. Kita bisa
mempelajarinya dengan jalan meneliti pola-pola ketuhanan yang di-
terapkan pada satu budaya dao tidak dipakai oleh budaya lain.
Dengan berpegang pada dua aksioma ini, sekarang kita bisa ber-
alih kepada program Eliade yang paling pokok. Sebelum kita melang-
kah lebih jaub, seperti kita emui dalam bahasan tentang Marx dan
Freud, kita akao memburuhkan lebih dari saru buku Eliade. Dalam
setiap tulisaonya, Eliade cenderuog mengeksplorasi ide dan pola-pola
yang sama. Namun demikian, Eliade tidak pernah menyajikan teori-
aya dengan ringkas dan sederhana, sama seperti yang dilakukan Frazer
dan Durkheim. Di samping itu, karena dia juga seorang penulis fiksi,
maka gaya penulisan Eliade lebih cerkesan seperti seorang novelis ketim-
bang seorang ilmuwan serta sering memberikan komentar panjang lebar
daa cerkesan berbelit-belit daripada memberikan argumentasi yang
singkat dan padat. Dengan cara seperti itu, dia dapat menjelaskan ceori
dengan baik dengan hanya memilih beberapa tema pokok saja dao
232menjelaskan seluruhoya dalam satu buah buku. Kite aken mengaali
teori-teori Eliade secara berurutan dati buku-bukunya berikut ini,
Pertama, konsep Blinde tentang agama, Ini adalah pokok pikinan
ucama yang dijelaskan dalam buku Tide Saved aid The Proewe (195)
dan barangkali merupakan pengantar terbaik teori-teoninya yang dita
jukan kepada pembaca umum,
Kedua, pemahamannya tentang simbol dan mites, Hal ini diob-
servasi dengan baik dalam bukunya, Tike Retterw a Compenetive Religvon
(1949), Buku ini menvuat sebagian besar agenda-agenda yang akan
mempengaruhi karya-karya berikuenya,
Keriga, penjelasanoya rearang waktu dan sejerah dalam kebus
dayaan purba dan modern dibicarakan dalam dalam bukunya Tey Med
of the Eternal Renere (1949). Barangkali juga, buku ini merupakan buku
yang paling orisinil dan paling menantang di antare Karyackaryanya
yang lain.
Yang Sakral dan Yang Profan
The Sacred and The Profane (1957) merupakan pengentat singkat
yang menjelaskan bahwa dalam memahami agama langkah perrama
yang diambil sangat menentukan. Eliade menyatakan bahwa para se-
jarawan harus “keluar” dari peradaban modern, kurena hanya dapat
meojelaskan sebagian kecil dan bersifat “kekinian” dari perjalanan se
jarah di muka bumi ini sebagai bekal untuk “masuk” ke dunia arkhais
(kuno). Masyarakat arkhais adalah masyaraket yang hidup di zaman
Pra-sejarah atau puo masyarakac tribal dengan kebudayaan terdelakang
yang hidup saat ini. Sehari-hari mereka mengerjakan pekerjaan “alami",
seperti berburu, memancing dan bercocok tanam.
Apa yang kira dapati di rengah-cengah masyarakat remebut ada-
lah sebuah kehidupan yang berada di antara dua wilayah yang terpisah;
wilayah Yang Sakral dan wilayah Yang Profan. Yang Profan adalah bidung.
kehidupan sehari-hari, yaitu bal-hal yang dilakukan secara teratut, acak
dan sebenarnya tidak rerlalu peating, Sementara Yang Sakeal adalah
wilayah yang supernatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah
dilupakan dan ceramat penting. Bila Yang Profan itu mudah hilang dan
teclupakan, hanya bayangan, sebalikaya Yang Sakral itu abedi, penuh
Substansi dan realirss. Yang Profan adalah rempat di mana maousia
mwberbuat salah, selalu mengalami perubaban dan terkadang dipeauhi chas.
Yang Sakral adalah tempat dimana segala keteraturan dan kesempur-
naan berada, tempat berdiamnya roh para Jeluhur, para kesatria dan
dewa-dewi. Setiap kali kita berjumpa dengan masyarakat arkhais, maka
agama yang kita dapati di tengah masyarakat itu beranjak dari konsep
pemisahan kedua wilayah ini."
Bagi pembaca yang teliti, kesan yang pertama kali muncul akibac
pemakaian kedua kata ini sama seperti kata-kata deja vu. Di sini, Eliade
tampak memakai apa yang telah kiea dengar dari Durkheim tentang
Yang Sakcal dao Yang Profan. Ini cidak cerlalu mengherankan lancaran
Eliade memang dididik dalam lingkungan intelekcual Perancis yang
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Durkheim, sehingga cara pendefi-
aisian agama yang dilakukan Durkheim diterima luas di Perancis. Per-
bedaan kedua tokoh ini akan terlihat jelas apabila kita telah memasuki
pemikiran Eliade lebih dalam.
Sebagaimana telah kita jelaskan sebelumoya, ketika Durkheim
berbicara tentang Yang Sakral dan Yang Profan, dia selalu berpikir dalam
konteks masyarakat dan kebutuhannya. Yang Sakral menurut Durkheim
adalah masalah sosial yang berkaican dengan individu, sedangkan Yang
Profan adalah sebaliknya, yaitu segala sesuatu yang hanya berkaitan
dengan urusan-urusaa individu. Yaog Sakral memang kelihatan sebagai
sesuatu yang gaib, namun sebenarnya dia adalah bagian permukaan
yaog dari hal yang jauh lebih dalam lagi. Tujuan utama simbol sebe-
narnya sangat sederhaoa, yaitu membuat masyarakat agar selalu me-
meouhi tanggung-jawab sosial mereka dengan jalan simbolisasi kian
sebagai totem mereka.
Sebaliknya, ketika berbicara tentang Yang Sakral, Eliade meng-
anggap kepercayaan klan ini tidak seperti yang dipikirkao Durkheim.
Dalam pandaogannya, fokus pechatian utama agama adalah Yang Su-
pernacural, sifatnya mudah dimengerti dan sangat sederhana, Agama
cerpusat pada dan dari Yang Sakral, bukan banya sekadar menggambar-
kan agama seperti yang dilihat oleh kacamata sosial. ‘Walaupun Eliade
menggunakan bahasa yang berasal Durkheim dao dia sepakac bahwa
istilah Yang Sakral itu lebih baik dari istilah-istilah lain dalam bentuk
Tuhan Personal, tetapi pandangannya tentang agama lebih dekat kepada
Tylor dan Frazer yang telah lebih dahulu mendefinisikan agama sebagai
kepercayaan terhadap kekuatan supernatural."
234EEE
Eliade “memaksa” kita untuk berpikir kembali tidak hanya ten-
tang Durkheim, capi juga tentang seorang ilmuwan lain yang jadi
pembimbingnya, seorang ahli teologi dan sejarah agama berkebang-
saan Jermao beroama Rudolf Otto. Di tahun 1916, Otto mempub-
likasikan karyanya yang sangat terkenal dalam bidang ini, berjudul The
Idea of Holy (versi Jermaa: Das Heillege). Dalam buku ini, Otto juga
mempergunakan konsep Yang Sakral, tapi tidak diterapkan dalam kon-
teks sosial atau kebutuhan sosial.'” Dia menulis tentang pengalaman
individual manusia dengan amat jelas dan dramatis. Pada satu saat
dalam kehidupao manusia, culisnya, sebagian besar mereka pernah
merasakan suatu hal yang luar biasa dan sangat kuat. Mereka sangat
terpukau oleb satu realitas yang sama sekali berbeda dengan diri mereka
sendiri —sesuatu yang miscerius, meagagumkaa, dahsyat dan teramat
indah. Itulah pengalaman tentang “Yang Suci” (The Holy), sacu per-
jumpaan dengan Yang Sakral.
Dalam istilah Latin, Otto menyebutnya mysterium, yang terdiri
dari tremendum ¢t fascinans, yaitu hal misterius yang secara bersamaan
sangat agung sekaligus menakutkan. Nama lain yang diberikannya
adalah perasaan centang The Numinows (dari kata Latin mwmen, yang
berarti spiric atau realitas keilahian). Octo manambahkan bahwa keti-
ka seseorang mengalami perjumpaan ini, dia akan merasakan ditinya
bagaikan tidak ada, hanya sekadar kabuc dan debu, persis seperti apa
yang dikabarkan Bibel. Sebaliknya, Yang Sakral terlihat sebagai se-
suatu yang luar biasa, substansial, agung dan amat oyata. Dia yakin
timbuloya perasaaa kagum terhadap Yang Neménous ini sangat unik
dan oleh karenanya tidak bisa direduksi. Perasaan ini berbeda dengan
Perasaan lain ketika berjumpa dengan hal-hal yaog juga indah dao
menakjubkan, walaupun perasaan itu mirip dengao perasaan berjumpa
dengan Yang Numinous. Dalam getaran perasaan yang lain, akhirnya
kita terbawa kepada citik emosi terdalam dalam hati, dan itulah yang
kita sebut agama selama ini.
Dari sini terlihat bahwa koosep Eliade tentang Yang Sakral sa-
Ogat dipengaruhi oleh konsep Otto. Eliade mengatakan bahwa dalam
Perjumpaan dengan Yang Sakral, seseorang merasa diseatuh oleh se-
Suara yang nir-duniawi. Tanda-tanda orang yang mengalami perjumpa-
an ini di ancaranya, mereka merasa sedang menyeotuh satu realicas
Yang belum pernah dikenal sebelumaya, sebuah dimensi dari eksistensiyang maha kuat, sangat berbeda dao merupakan realitas abadi yang
tiada bandingannya.
Bagi masyarakat primitif atau pun orang-orang di masa pra-modern,
Yang Sakral tersebut sama dengan satu kekuatan, dao akhiroya sampai
pada anggapan bahwa dia sama dengan realitas. Yang Sakral dipeaubi
oleh “Yang Ada". Kekuatan sakeal berarti keseluruhan realicas, dan
pada saac yang sama adalah keabadian dan kedahsyatan. Jadi, mudah
dipahami kenapa manusia punya hasrat besar agar bisa bersaru dengan
Realitas guna meraih kekuatan-Nya."#
Para pembaca dari kalangan Judeo-Kristen atau muslim rena
saja mengira apa yang Eliade berikan ini merujuk pada Tuhan yang
personal, tapi ideaya tentang Yang Sakral lebih luas dari hanya sekadar
konsep Tuhan yeng personal. Yang Sakral bisa berarti kekuatan-kekuat-
an dewa-dewi, arwah para leluhur, jiwa-jiwa abadi atau kekuatan dari
apa yang disebut penganut Hindu sebagai “Brahman”, Roh Suci yang
mengatasi seluruh alam raya. Laotas bagaimana memahami Yeng
Sakral? Irulah yang menjadi tugas agama, yaitu agar bisa menemukan
dan merasakan Yang Sakral serta membawa seseorang keluar dari alam
dan situasi sejarahnya lalu menempatkannya pada suamu Kualitas yang
berbeda, dunia yang sama sekali lain, yang sangat cransenden dan suci.'?
Lebih jauh lagi, perasaan tentang Yang Sakral bukanlah hal yang
bersifac kadang-kadang, terjadi hanya pada segelintir orang dan dicem-
pat-tempat tertencu saja. Dalam masyarakar sekuler di tengah peradab-
an modern ini, manusia menganggap perjumpaan dengan Yang Sakral
tersebur adalah sesuaru yang mengejurkan, yang berada di bawah sadar
atau hanyalah berupa mimpi-mimpi nostalgia dan merupakan hasil
kerja imajinasi. Bagaimana pun cersembunyi dan samaroya Yang Sakral
itu, mamun intuisi tentang Yang Sakral tetap merupakan bagian tak
terpisahkan daci pikiran dan aktivicas maousia. Tidak ada manusia yang
bisa hidup canpanya, kecika mara dibuka uoruk melibat keberadaan-
nya, teroyata Yang Sakral berada di segala penjuru.
Di dalam masyarakat arkhais, lanjur Eliade, ide tentang Yang
Sakral ini tidak hanya sekadar milik umum, capi dia dianggap absolut
dan amat penting bagi kelangsungan eksistensi alam dan akan selalu
mempengaruhi jalan hidup mereka. Dalam melakukan hal-hal yang
sifatnya mendasar, seperti menentukan wakru dan tempat menetap,
mereka akan selalu menyerahkan pilihannya kepada Yang Sakral.
236Sewaktu masyarakat Yuoani kuno berencana bagaimana scharus-
aya kehidupan sebari-hari dilaksanakan dan diatur, mereka secara alami-
ah akao selalu berpaliog kepada miros-mitos Phoebus, Apollo, dewa
yang seciap hari selalu menarik kereta matahari di langit. Apabila fajar
telah menyingsing, orang-orang yakin mereka akan disinari mentati,
sebab Phoebus telah mulai menunggang kudanya. Mereka dapat bekcr-
ja sepaojang hari sembari Phoebus melakukan perjalananoya. Masyarakat
dapat mengetahui berapa wakeu yang telah mereka habiskan di siang
hari untuk bekerja dan berapa wakeu yang tersisa untuk melanjuckan
pekerjaan berkat adanya kuda Phoebus yang menarik matahari. Bila
dia selesai melakukan perjalanan dao telah mengistirahatkan kudanya,
tbalah saatoya bagi mereka untuk istirahat dan meoyimpan tenaga
buat menyambut fajar di keesokao bari.
Bagi kita, cerita-cerica mitos seperti ini memang bersifat enier-
Sainment, capi bagi masyarakat arkhais adalah bagian terpenting ke-
hidupao mereka. Mitologi-mitologi itu kemudian membencuk pola
pikir mereka, berfungsi sebagai standar ailai tethadap apa yang di-
kagumi, dan merupakan pola-pola —yang dinamakan Eliade “Arche-
types"— yang harus dipakai sebelum bertiadak. Setiap pola-pola sakral-
itas ini membentuk seluruh aktivitas masyarakat arkhais, dari yang
Paling peocing dan seremonial sampai pada masalah sehari-hari yang
sepele. Di beberapa kebudayaan kuno selain Yunani, yang mempunyai
mitos-mitos seperti legenda Phoebus tadi, setiap kereta kuda yang diper-
Bunakan manusia menjadi model kereta yang dipakai oleh dewa-dewa.
Dengan hakikat yang sama, kebudayaan-kebudayaan itu juga mempu-
ayai konsep yang sama dengan legenda Phoebus tersebur, seperti dalam
Masyarakat Skaodinavia, model perahu yang diperguoakan untuk
menangkap ikan atau untuk transportasi tidak bisa dibikin sembarang-
40. Perahu tersebut harus dibuat berdasarkan model-model perahu sakral,
Yairu perahu cempat arwah para leluhur mereka bersemayam.” Seciap
aspek kehidupan masyarakat arkhais mempunyai aturan-acuraa tersenditi,
karena mereka berpegang teguh pada priosip bahwa “jalan ruhan ada-
lah yang cerbaik”. Model-model yang bersifat ilahiah ini akan meoun-
‘uO maousia bagaimana harus menjalaai hidup mereka.
Dalam buku The Sacred and The Profane, Eliade menggunakao
Contoh-contoh dari berbagai kebudayaan uatuk menunjukkan bagai-
Mana seriusnya masyarakat cradisional dalam menerapkac model-model
237ilahiah. Otoritas Yang Sakral mengatur semua kehidupan. Misaloya
dalam membangun perkampungan baru. Masyarakat arkhais tidak de-
gan serca merca memilih sembarang cempat. Saru perkampungan
haruslah diditikan pada tempat yang memiliki “bieropbany” (berasal
dari bahasa Yuoani bier dan phaineien yang berarti “peaampakan Yang
Sakral”, Rencana itu hanya bisa diwujudkan apabila di tempat-tempat
yang dijadikan pilihan pernah “dikunjuogi” oleh Yang Sakral, bisa dalam
bencuk dewa atau arwah nenek moyang. Tempat-tempat yang menda-
pac karunia ilahi sebagai citik pusat dunia atau cosmos (dari Bahasa Yu-
nani, comes, yang berarti susunan segala hal). Berdasarkan titik pusar
inilah, suacu masyarakat baru dibeatuk dengan struktur-strukeur ilahi-
ah yang definticif.
Singkat kata, masyarakat tersebut Puoya sistem-siscem Yang
Sakral. Karena masyarakat baru ini berkembanog mulai dari ritik pusac
tadi, maka dia cidak akan cerpengaruh oleh keadaan lokasi-lokesi di
sekicarnya, apakah icu gurun, huran, atau dacaran luas, Untuk menjaub-
kan diri dari chaas, satu perkampungan yang didirikan berdasarkan “ce-
tak biru” yang diberikaa dewa adalah sebuah kosmos di tengah-tengah
dunia yang peauh dengan bahaya dan kekacauan. Kampung itu adalah
tempat kedamaian dan kecentraman.
Biasaoya citik pusar yang sakral dari kosmos ini dicandai dengan
sebuah pancang, ciang, atau benda-benda lain yang menancap ke tanah
dan menjulang ke langit. Tanda-taoda ini melambangkao tiga bagiao
alam semesta; surga, bumi, dan lapisan bawah bumi (tanah). Tanda-
tanda tersebut juga bisa dalam bentuk pohon atau gunung. Alasan kenapa
hal ini sangat disakralkan oleh masyarakac arkhais adalah karena tanda-
canda tersebur bukan hanya sebagai pusat perkampungao, melainkan
juga berfungsi sebagai axis mundi (dari Bahasa Latin yang berasti “pu-
sat dunia"). Dia merupakan poros utama, tiang penyangga, tempat
kehidupan berputar.
Jika kita mengingat-ingat kisah-kisah dalam Bibel, kelihatanoya
kisah tentang “tangga Jakob” cocok dengan model axis mundi ini. Dalam
Bibel dikisahkan bahwa ketika Jakob Sang Penginjil merasa lelah dalam
perjalananoya. la memutuskan beristirahat dan tidur di alam terbuka
dengan berbantalkan sebuah bacu. Pada malam barinya, dia bermimpi
cencang sebuah tangga yang menjulang ke langic (surga) persis dati
bacu yang dia jadikan bancal. Tangga itu dilalui oleh para malaikat
238OO OL Le
Hakikat dari Yang Sakral, Mircea Aliade
yang turun-oaik ke surga. Setelah dia terjaga dia menjadi cemas, sebab
dia merasa baru saja bertemu dengan Yang Sakral. “Betapa seramoya
tempat ini!”, ujarnya, “Tempat ini pastilah Rumah Tuhan dan pintu
gerbang menuju surga." Setelah itu, dia menyusun batu-batu yang
ada di sekitar tempataya tidur tadi secara vertikal, mengubah susunan-
aya dari sebeatuk bantal menjadi tangga. Baru itu adalah perlambang
dari cangga para malaikac yang dilihatnya dalam mimpi. Bagi Jakob,
tempat itu adalah axix mundi, sebuah citik dimana seseorang mene-
mukan tangga sakral peaghubung langit dan bumi, cempat bertemu-
nya dua hal yang berlawanan: Yaog Sakeal dan Yang Profan.
Menurut Eliade, kita dapat temukan model-model seperti ini di
berbagai tempat dan zaman, seperti dalam masyarakat Kristea Perte-
ogahan, masyarakat muslim di masa awal perkembangannya, kebu-
dayaan Babilonia kuno, masyarakat Jawa modero, masyarakat Indian
di Amerika Barat Laut, masyarakat Vedic di India dan masih banyak
lagi. Kehidupan mengarahkan dirinya berdasarkan titik sakral ini yang
dilambangkan dengan simbol vertikal penghubung langit daa bumi,
‘Yang Sakral dan Yang Profan. Di tempat-tempat sekicar tiang atau di
puncak-puncak gunung Yang Sakral iru biasanya didirikan kuil dan candi-
candi. Arab dunia juga dibagi-bagi berdasarkan cempat-tempat terse-
bur, yairu ke arah empat penjuru mata angin. Karena alam semesta
berpusat pada sacu citik dan menyebar ke empat arah, maka masyarakat
Bali dan masyarakat di beberapa wilayah lain di Asia selalu membuact
perkampungan di persimpangan jalan, deagan maksud merefleksikan
empar bagian pentiog dunia.
Di dalam kebudayan tribal, rempat-cempat upacara di suacu perkam-
pungan biasanya disangga oleh empat tiang sebagai representasi dari
empat tadi. Sedangkan bagian atas (atap) tempat upacara tersebut
melambangkan kubah surga, serta ruangan kosong di tengahoya yang
memungkinkan seseorang berdoa dao “paik” menuju Tuhan.
Dalam bentuk upacara yang sangat beragam ini, aturan-aturan
mode! keilahian tadi adalah bukti yang tidak bisa dibancah, walaupun
berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Eliade menjelaskan lebih lan-
jot bahwa perkampungan, kuil atau perumaban masyarakac arkhais
merupakan sebuah image muadi, yairu cerminan dari seluruh dunia,
sebagaimana yang diperliharkan oleh randa-tanda ilahi radi. Dalam
mendirikan sebuah bangunan, proses koostruksi sama peatingaya de-ngan struktur bangunan itu sendiri. Segala sesuatu bukan hanya harus
berada “dalam” Yang Sakral, tapi sekaligus juga harus menjadi bagiaa
dari bal-hal Yang Sakral, lantaran strukeur dan aktivitas manusia yang
harus ditelusuri pada proses penciptaan dunia oleh para dewa.
Maka tidaklah mengherankan jika masyarakat arkhais sangat
mementingkan mitos “kosmogonik” —cerita dan legenda tentang pen-
ciptaan dunia, baik penciptaan yang disebabkan wahyu tuhan maupun
disebabkan kemampuan cuhan menyelesaikan chaos dan mengalahkan
kekuatan jahac. Eliade memberikan satu contoh menarik tentang imi-
tasi (peniruan) perbuatan dewa-dewi di India kuno. Sebelum memba-
nguo sebuah rumah, seorang ahli perbintangan akan menunjukkan ke-
pada cukang baru satu citik tempat dia harus meletakkan batu pertama
dari rumah yang akan dibangun. Titik ini diyakini berada di atas kepala
ular yang menyangga dunia. Lalu tukang batu tersebut meruncingkao
sebilah congkat dan membawanya ke tengah lapangan uocuk “memecah-
kan” kepala ular tadi. Kemudian barulah batu pertama tadi bisa dile-
takkan di titik yang sekarang telah dianggap sebagai pusat dunia. Upa-
cara peoghancuran kepala ular icu pada hakikatnya adalah peristiwa
sakral, karena mengulang kembali perbuatan dewa Indra dan Soma
seperti yang dikisahkan dalam kitab suci. Dewa-dewa inilah yang per-
tama kali membuoub sang ular, yang melambangkan chaos dan ke-
tiadaan. Dengan penghancuran tersebut, dewa-dewa ini kemudian
menciptakan sebuah tatanan dunia yang sebelumaya penuh kekacauan.”
Jadi, proses pembangunan rumah itu adalah perlambang penciptaan
dunia.
Di cempat-tempat lain, Eliade juga memberikan contoh tentang
proses yang sama. Dalam mitos-micos dari negeri-negeri tersebut, ular
yang diyakini masyarakac Iadia diganti dengan naga, monster peaung-
gu Jaucan sebagai simbol dari ches di laurao. Muacul dari kegelapan
dasar laut dan harus dimusnahkan oleh seorang pahlawan atau para
dewa sebelum tatanan alam semesta terwujud dan sebelum peradaban
maousia terwujud.
Dalam pandangan Eliade, perilaku-perilaku imitatif cerhadap per-
buaran dewa-dewa ini merupakan hasrar terdalam dari pandangan hidup
masyarakat arkhais. Keinginan ini tidak hanya berrujuan untuk mencer-
minkan Yang Sakral saja, rapi lebih dari itu juga bertujuan untuk ber-
ada di dalam Yang Sakral dan dapar hidup bersama para dewa.
240
ee—-—lUlU—~—
Sebenarnya, diskusi yang lebih mendalam akan kita temui dalam
buku The Myths of the Eternal Return, Namua, uotuk sementara, kita
bisa simpulkan bahwa masyarakat arkhais menuruc Eliade memiliki
rasa “kejatuhan”, sebuah tragedi besar dalam sejarah manusia. Dalam
hal ini, dia tidak hanya merujuk dosa waris yang dikisahkan dalam
Bibel, ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Tuban dan kemudi-
an menerima hukuman dari-Nya. Masyarakat arkhais memahami “ke-
jatuhan” ini dalam bencuk lain. Sejak awal, mereka merasa bahwa
maausia sudah punya kecemasan terhadap situasi duaia. Mereka celah
dicekam rasa ketiadaan, rasa jauh dari tempat yang seharusnya mercka
miliki dan sangat mereka inginkan —dunia sakral. Dalam bahasa Eli-
ade, sikap-sikap yang berkarakter seperti adalah “nostalgia uocuk kem bali
ke surga Firdaus, tempat yang akan mendekatkan umat maousia kepa-
da Than. Perasaan ini adalah keinginan uocuk masuk ke alam yang
supernacural.”
Agama Arkhais: Simbol dan Mitos
Sacu hal yang perlu kica garis-bawahi dalam rangka merasakan
atau mencari Yang Sakral, yaitu babwa Yaog Sakral bukan sekadar uo-
tuk ditemukan lalu dideksripsikao. Seperti masyarakat-masyarakat lain,
walaupun masyarakat atkhais berusaha mengekspresikan kerinduan dan
kepercayaan mereka, namun hakikat Yang Sakral yang sama sekali ber-
beda dengan Yang Profan akan mementahkan usaba pendeskripsian dao
Pencarian tersebue. Bagaimana mungkio sesuacu “yang benar-benar
berbeda” dari yang lain bisa dideskripsikan dalam bentuk pengalaman
normal? Peayelesaian masalah ini menurut Eliade akan cerjawab oleh
“pengalaman tidak langsung” (indirect experience) techadap bahasa-ba-
hasa Yang Sakral yaog dapat ditemukao dalam simbal dan mitos-mi-
tos.
Seperti yang kita ketahui, simbol-simbol didasarkan pada priasip
kemiripaa atau analogi. Kualitas, beacuk dao karakcer-karakter sesuatu
yang menyebabkan kita berkesimpulan bahwa sesuatu itu sama deogao
Sesuatu yang lain. Dalam pengalaman keagamaso, cerdapat hal-hal yang
kelihatannya sama dengan Yang Sakral atau menandakao adanya Yang
Sakral dan dapat memberikan pecuajuk mengenai alam supernatural.
Mitos-mitos sebenaraya juga merupakan simbol-simbol berwujud narasi
| matMicos bukan hanya sekadar sebuah imajinasi atau pertanda-pertanda,
melainkan imajinasi-imajinasi yang dimuat ke dalam bentuk cerita
yang mengisahkan dewa-dewa, leluhur, para kesatria atau duaia super-
natural lainaya,
Sampai di sini, semuanya terlihat jelas. Tapi masalahoya adalah
bagaimana mungkin bahasa tidak langsung ini mampu menceritakan
Yang Sakral kepada kita? Kalau dikatakan memaog riil, lalu realitas
macam apakah Dia? Kualitas dan karakcer-kareakter macam apa yang
tetdapat di dalam-Nya? Hampir seluruh hidup Eliade dalam studinya
teatang simbol dan mitos-mitos dicurahkan untuk menjawab perca-
nyaan-pertanyaan ini.
Di bawah ini, kita akan mencoba membahas karya penting Eliade
yaog membahas persoalan cersebut, yaitu bukunya yang berjudul Par-
terns in Comparative Religion. Buku ini pertama kali dipublikasikan pada
tabun 1949 ketika dia bertugas di Perancis.*
Patterns adalah sebuah buku yang memuat penjelasan panjang lebar
dan eksplorasi mendalam dari simbol-simbol religius. Buku ini meo-
coba memaparkan asal-usul pemikiran tentang simbol, apa iru simbol,
bagaimana cara kerjanya, dan, terutama, kenapa masyarakat arkhais
mempergunakan simbol tersebut. Dengan memberikan beraneka-ragam
contoh, buku ini juga meauajukkan bagaimana sistem dalam simbol
dan mitos-mitos memiliki pola yang konstan daa berulang-ulang ten-
tang dunia. Terlepas dari lokasi dan latar sejarah yang kita teliti, dalam
anggapan Eliade, simbol, mitos dan upacara-upacara ritual keagamaan
muncul silih berganci dalam peradaban manusia.
Sekarang bila kita ingin melihat bagaimana cara kerja simbol,
laojue Eliade, satu hal yang perlu ditekankan, bahwa apa saja dalam
kehidupao ini yang bersifar biasa-biasa saja adalah bagian dari Yang
Profan. Dia ada hanya untuk dirinya sendiri. Tapi, dalam wakru-wakeu
terteatu, hal-hal Yang Profan dapat ditransformasikan menjadi Yang
Sakral.”* Sebuah benda, seekor binatang, oyala api, sebuah baru atau
bintang, goa, sungai, sekunrum bunga yang merekah atau babkan seo-
rang manusia bisa menjadi tanda Yang Sakral asalkan maousia mene-
mukan dan kemudian meyakininya. Jadi, seluruh objek simbolik ica
bisa dikatakan memiliki karakrer ganda: di satu sisi tetap menjadi diri-
nya seperti sediakala, di sisi lain bisa berubah menjadi sesuatu yang
baru, sesuaru yang beda dengan yang sebelumnya.
242
eee————EEEEEEEee 00. _ i NN Oe
Ka'bah yang disucikan dan diagungkan oleh umac Islam, walau-
pun di sacu sisi Ka’bah sampai saac ini hanyalah seonggok batu, capi di
sisi lain tak seorang pun dari umat Muhammad yang beriman akan
beranggapan sesederhana itu, dengan hanya menganggapnya sconggok
bacu belaka. Semuanya bermula dari satu Aierophany yang teramat cepat
—yaicu ketika orang Islam menemukan Ka'bah itu disencuh oleh Yang
Sakral— maka objek Yang Profan ini berubah, Sac ini, dia bukan hanya
sekadar batu biasa, capi sebuah objek suci dua menakjubkan. Di dalam-
aya terkandung Yang Sakral.
Eliade menyebut proses mengaliraya yang supernacural ke dalam
yang oatural ini dengan “dialektika Yang Sukral “. Dengan bentuk yang
nyata, cerbatas dan bisa dipindah-pindah, sebuah bacu sakral dengan
seluruh sifataya yang lain akan mampu memperlihatkan pada orang
beriman kehadiran Yang Sakral yang sangat berbeds dengan keter-
bacasan objek iru sebagai sebuah bacu. Batu-batu seperti Ka'bah mam-
pu memperlihatkan kepada orang Islam tentang Tuhan Yang Tidak
berpiodah dan Tidak berubah, Mahakuasa, Sang Peoguasa dunia. Dalam
logika sederhana, kontradiksi-kontradiksi ioi kelihataaoya memang
tidak masuk akal, Jika Yang Profan benar-benar lawan dari Yang Sakral,
bagaimana mungkin keduanya bertentangan secara persis. Bagaimana
muogkio yaog natural bisa sekaligus menjadi yang supernatural?
Menurut Eliade, hal icu bisa saja terjadi, sebab dalam beberapa
hal, rasio manusia tidak bertanggung-jawab atas proses “pertukaran”
tersebut.”* Simbol dan mitos-mitos mewujudkan diri dalam imajinasi-
imajinasi, yang biasanya muncul dari ide-ide koneradiksi. Kemudian
mengikat seluruh aspek pribadi, emosi, keinginan dan aspek-aspek bawah
sadar lain manusia, Scbagaimana di dalam satu pribadi, hasrac-hasrac
kontradiktif dapat berkumpul dan juga seperti impiao dao fancasi-fan-
tasi yang tidak logis yang bisa saja terjadi, maka dalam pengalaman
teligius, hal-hal yang berlawanan itu (Yang Sakral dan Yang Profan)
juga bisa bertemu. Dalam satu pengembaraao intuisi, imajinasi ce-
ligius melihae hal yang biasa-biasa saja dan profan sebagai hal yang
lebih dari sekadar iru dao dapat berubah menjadi Yang Sakral. Yang
Oacural menjadi yang supernatural.
Satu hal menarik, bahwa Eliade, seperti juga Max Muller, menda-
Paci bahao utama uncuk simbol dan mitos-mitos tersebuc adalah alam
fisik ini. Dalam pemikiran arkhais, dunia fisik merupskan bahan paling
243jelas yang jadi imajinasi, bukti, pertanda dan analogi-analogi. Apa yang
ada di dunia ini adalah bagian dari sacu framework besar, yaitu dewa-
dewalah yang menciptakan dunia dan di belahan dunia maoapuo, Yang
Sakral akan selalu menunggu saat untuk muncul. Dalam segala keindah-
an dan keganasan alam, dengan kompleksitas yang ada di dalamoya,
misteri, keanekaragaman alam, dunia nacural selalu membuka diri uncuk
menerima kehadiran aspek supernatural —yaog disebut Eliade sebagai
“modalitas Yang Sakral”. Maka tidaklah mengherankan jika kebudayaan-
Kebudayaan kuno sangat kaya deagan figur dan simbol-simbol imaji-
nacif, Dunia mereka sangat hidup dengan adanya cerica dao Jegenda-
Jegenda, misalnya kisah-kisah tragis, kepahlawanan, roh jahar dan ke-
hidupan para dewa. Bila simbol-simbol ini dikemas ke dalam bencuk
naratif, maka itu semua bisa dianggap sebagai sebuah mitos. Mitos-
mitos menceritakan tentang Yang Sakral, bagaimana kehidupan dahiah
yang bersifac supernatural iru bisa menjadi sangac dekac dengan ke-
hidupan alamiah manusia.
Selama berabad-abad, manusia celah menciprakan ragam simbol
dan mitos-mitos yang tidak terhicung banyaknya. Tak satu ilmuan pun
yang sanggup mengumpulkan semuanya, dan memang tidak ada akan
berguoa mencoba melakukannya. Menurut Eliade, yang dapat kita laku-
kan adalah mempelajari pola dan sistem-sistem umum dari simbol
dan mitos-mitos tersebur. Walaupun hanya salah-sacu dari simbol atau
mitos-mitos itu yang kica pilih dan pelajari secara terperinc, dia recap
akan memberi kita gambaran tentang sebagian besar simbol dan mitos
yang lain.
Simbolisme Langit: Dewa-dewa Langit
Salah sacu bagian paling penting dari kebudayaan-kebudayaan
arkhais adalah dewa-dewa langit, yaicu kepercayaan terhadap cuhan-
tuhao yang bercirikan kehidupan surga. Langit menyirackan sebuah
makna transenden dan jarak dengan apa yang “di aras” kita, sesuscu
yang tidak terbacas, berkuasa penub dan abadi —semuanya adalah re-
aliras yang penuh kekuacan. Berdasarkan makna-makns ini, maka dewa-
dewa langit seringkali d‘asosiasikan dengan pola-pola seperti itu. Se-
perti dewa Iho bagi suku Maoris, dia adalah dewa “yang menyingsing”,
dewa Olurun dalam kepecayaan suku Yoruba di Afrika, dia adalah dewa
244qn
“yang menguasai langit", dewa Ahuramazda dalam masyarakat Iran
kuao adalah dewa “yang membentuk seluruh hukum dao mengatur
cingkah laku manusia”” Karena langit itu tinggi, maka dengan sendi-
rinya dewa-dewa ini digambarkan sebagai suatu sosok yang tinggi dan
jauh, tidak akan terjangkau oleh manusia.
Dalam mitos-mitos Australia dan juga masyarakat primicif lain,
dewa-dewa langit cersebur diberi kesan sangac jauh dari jangkauao
manusia. Konsep-koasep dalam agama-agama lain juga bisa dimasuk-
kan ke dalam pengertian di atas. Seringkali konsep-konsep seperti ini
digambarkan dengan bentuk yang lebih konkrit dan personal seperti
dewa-dewa hujan atau badai. Tentu saja, konsep-konsep ini dipengaruhi
oleh pengalaman hidup sehari-hari manusia yang hanya punya satu
pekerjaan, umpamanya bertani. .
Dewa Rudra dalam kepercayaan Hindu adalah coatoh paling tepat
untuk ini. Dengan sifat kuat, perkasa dao penguasa seluruh kehidupan,
dia adalah pembawa hujan bagi lahan pertanian di desa-desa India kuno.
Dia juga memiliki hasrac seksual yang sangat kuat. Dewa Rudra dao
dewa-dewa lain juga punya istri atau pernah kawin. Pesta “pernikahan”
mereka dilakukan dengan meriah dan seringkali diiringi dengao kur-
ban-kurban.
Daya imajinasi masyarakat penganut kepercayaao ini sangat me-
nakjubkan dan memberi peagaruh yang amat mendasat bagi kehidup-
an mereka. Menurut Eliade, pada dasaroya, sebagaimana yang telah
diuogkapkan Frazer, struktur teatang dewa hujan, dewa sapi dan para
dewi aguog adalah salah-satu bagiaa pembentuk agama-agama pra-
sejarah di Eropa.” Tidaklah sulic memahami kenapa “langie” berubah
menjadi “hujan”. Eliade menerangkan bahwa kemunculan dewa hujan
dan kesuburan berkaitan erat dengan kejadian alam yang paling dibu-
tuhkan delam peradabaa klasik —penemuan sistem pertaaiaa, pengo-
Jahan canah, penaburan benih dao pemanenan— telah membentuk pola
hidup baru dan membuka kesempatan bagi munculaya bierophamy baru
dan jenis simbol-simbol lain, Dalam masyarakat agraris, dewi kesubur-
ao, dewa hujan dan dewa seks dengan kekuatan dao bencuk yang lebih
konkrit lagi telah menggantikan “jarak” yang dimiliki oleh dewa langic””
Dewa-dewa “anak” seperti Dionysos di Yunani dan Osiris di Mesir -
juga muncul di zaman pertanian ini. Mereka dinamis seperti halnya
dewa hujan, walau tak sepenuboya sama. Tugas mereka bukan hanya
245Oskonstruksi Kebenaran
membuat hukum dan mencabut nyawa. Dalam agama yang dikenal
dengan sebucan “mistery religion” ini, yang banyak terdapat di kawasan
Mediterania, kepercayaan mercka cerpusat pada dewa-dewa seperti ini.
Kendati nama-namanya adalah dewa cumbuhan, namun sosoknya lebih
dibuar lebih dramatis, yaicu sebagai “sang penyelamat”. Dalam kaitan-
nya dengan dewa-dewa ini, menurut Eliade, di sini akan nampak aspek
psikologis yang amat penting dalam simbol-simbol keagamaan. Sim-
bol-simbol tersebut bukan hanya mengemukakan kepada kita tentang
dunia dan Yang Sakral, capi juga kontinuicas ancara struktur eksistensi
manusia dengan struktur kosmik." Mitos-mitos rersebue tidak hanya
metefleksikan daur kehidupan dan kematian di alam semesta, tapi juga
merefleksikan bagaimana daur perjuangan hidup personal dalam setiap
individu manusia; drama kelahiran, kehidupan, kematian serta harapan
untuk dilahirkan kembali untuk penebusan dosa.
Eliade mengatakan bahwa tidak ada simbo! yang bisa mendekat-
kan kebidupan ilahiah menjadi begitu dekat manusia selain figur-figue
penyelamat ini. Dewa-dewalah yang menentukan hukum, kematian,
dan kebangkitan kembali dari kematian guna mendapatkan ampunan
dari mereka. Karena dewa-dewa tersebut juga memiliki sifat yang
“manusiawi”, maka mereka memiliki arti yang sangat penting dalam
sejacah agama-agama.””
Matahari dan Bulan
Eliade menyatakan pemujaan terhadap macahari, yang olch se-
bagian ceoritikus sebelumnya (khususnya Max Muller) dianggap se-
bagai inci seluruh mitologi, sebenarnya jarang ditemukan.” Mitos dan
simbol-simbol yang paling menonjol dan tersebar di seluruh dunia sering
diasosiasikan dengan peredaran bulan. Bulan selalu berbedar mengeli-
lingi bumi. Dia selalu berubah-ubah, satu saat muncul dengan bulacan
penuh (bulan purnama),dan di saar lain semakin lama semakin mengecil.
Tahap-tahap perkembangan bulan dari hari ke hari ini dikaickan dengan
peristiwa-peristiwa lain, seperti pasang surutnya air laut, dacangoya
hujan dan, tencu saja, pertumbuhan tanaman dan kesuburan canah.
Karena bulan selalu berubah ke benruk semula maka bulan selalu mem-
berikan image arketip dari pengulangan abadi.
Eliade menjelaskan makna yang terkandung dalam peristiwa ini
246sebagai suaru ritme dari pengulangan suaru peristiwa yang saling ber-
lawanan, sebuah peristiwa “menjadi” melalui proses pergantian model-
model yang saling berlawanan. Sebuah peristiwa “menjadi” yang tidak
bisa dilambangkan begicu saja dengan satu adegan dramatis.*
Simbolisme bulan juga melambangkan kekuatan yang semakin
meluas. Dia akan selalu mencari hubungan-hubungan baru. Di samping
air dan rumbuhan, bulan juga secing dibubungkan dengan kematian,
fase cerakhi kehidupan, yang juga sering dikaitkan dengan ular yang
selalu memperbaharui dirinya dengan cara menukar kulit, atau juga
dibubungkan dengan wanita karena memiliki kekuatan untuk selalu
memperbaharui kehidupan dengan memberikan kelahiran yang terjadi
berkat fase-fase bulanan masa haid, Sebenarnya, simbolisasi bulan se-
bagai perlambang irama kehidupan yang teratur, sumber segala kekua-
tan, kehidupan dan kelahiran telah membuat sebuah jaring-jaring yang
berisi berbagai level alam semesta. Perlambang itu telah membuart
kesamaan dan kesatuan-kesaruan dalam fenomena-fenomena alam ini.”
Disebabkan rangkaian panjang periode regenerasi tadi, mulai dari bulan-
hujan-kesuburan-perempuan-naga-kematian maka sescorang dapat
meramalkan setiap proses di atas dengan mengamati susunan tata surya.
Ritual minta hujan atau “jimat ular” yang dipasang di jari, misalaya,
bisa mewakili anggapan seseorang tentang sistem kosmik ini. Seluruh
sistem ini didasarkan pada makna-makna yang saling berlawanan na-
mua selalu silib berganci dan bertemu.
Sebagaimana “putra” dewa, bulan juga berdimensi kosmik dan
Personal. Di sacu sisi, bulan diagungkan yang dengan kesakralan dan
kekuatan padanya seluruh realicas dan kehidupan termanifestasikan dari
dirinya.™ Di sisi lain, secara psikologis, kita diingatkan rencang kondisi
kemanusia kita yang ganda; kondisi yang berada di wilayah profan tem-
Pat bayangan dan kematian serta kita juga berada jauh dari Yang Sakral,
Cempat scluruh yang oyata dan abadi.
Dabulu kala, di saat masyarakat arkhais berhadapan dengan bea-
cana dan kematian, mereka berharap bisa hidup kembali dan abadi.
Harppan ini diwajudkan dengan mengkoofirmasikan seluruh perisciwa
dengan kemunculan bulan bara” Dari saru sudur pandang, bulan cer-
lihat dualiscis; cahaya dan kegelapan, keberlimpahan dan kekurangan,
sang dan baru, kelahiran dan kematian, laki-laki dan perempuan.
Dengan Perubahan dan pergantian-perganciannya, bulan memperiihar-
247a
Dakonstruks! Kabenaran
kao kemusnahao seluruh dualitas tadi. Inilsh salah-satu tema kunci
dalam kebanyakan simbolisme Yang Sakral.
Di sini, Eliade mengemukakan scbuah contoh tentang mitos an-
dragony, yaitu tentang maousia pertama yang dekat dengan dewa, yang
bukan laki-laki dan tidak pula perempun, capi memiliki kelamin gan-
da.* Ternyata konsep ini adalah salah-satu dari mitos-mitos serupa,
tentang reintergrasi. Umumoya, dalam masyarakat manapun, cerita-
cerita seperti ini mengekspresikao satu keinginan kuat agar segala ben-
tuk yang berlawanan segera sirna. Cerita ini berfungsi sebagai pen-
damai seluruh perbedaan yang ada supaya bisa kembali kepada kesatuan
Yang Sakral. ?
Air dan Bebatuan
Di sampiag simbol-simbol besar, seperti langit dan bulan, alam
pikiran masyarakat arkhais juga dipenuhi oleh perlambang dan image-
image lain yang lebih readah derajataya daripada kedua simbol tadi,
yang seringkali dihubuogkan dengan hal-hal yang juga lebih dominan
dalam kehidupan. Air, misalnya, dimanapuo melambangkan alam tao-
pa bentuk, dia celah terbencuk sebelum segala sesuacu di alam ini mem-
peroleh wujudnya dari dewa-dewa. Alam dan manusia tidak akan dila-
hickao kembali kecuali keduanya telah berhasil melampaui chaos ke-
hidupan, kemudian disucikan di “kedalaman” air agar bisa hidup lagi
sebagai makhluk yang baru.” Dalam ritual-ricual imitasi dan pertoba-
tan, air berfungsi sebagai pembersih dan penghapus dosa-dosa yang
telah dilakukan, air akan mengembalikan kita kepada sesuatu yang tanpa
wujud, wujud asali yang suci dari noda dosa, satu keadaan di mana
segala sesuatu bisa dimulai kembali.
Simbol-simbol dengan bebatuan melambangkan hal yang seba-
liknya. Tidak seperti air, bacu memiliki substansi yang keras, kasar,
dan tidak berubah. Bagi orang primitif, bacu melambangkan sesuatu
yang mentransendensikan ketidakpastian wujud manusia, cara berada
manusia yang paling absolut. Bebatuan itu maha kuat, tidak bisa ber-
gerak, ukuran dari sebuah batu menandakan kehadiran sesuaru yang
amat mengagumkan sekaligus menakutkan, memberikan janji-janji
sekaligus ancaman-ancaman. “ Seandainya semua ini kita sebur dengan
menggunakan kara Latin fascinans dan tremendum, cernyata kata-kata
248UU
Hakikat dari Yang Sakral, Mi
ircea Aliade
yang diperkenalkan Otto ini sangat tepat. Sebuah bacu biasa tidak akan
berpengaruh apa-apa kepada kita, tapi batu sakral akan menimbulkan
perasaan takut dao khawatir dalam diri manusia.
Tanah dan Kesuburan; Tumbuh-tumbuhan dan
Pertanian
Simbol-simbol kehidupan, pertumbuhan, dan kesuburan berperan
besar dalam agama masyarakat arkhais, baik sebelum maupun sesudah
Zaman Bercocok Tanam. Eliade memberikan perhatian yang saogat
luas terhadap kategori ini, namun yang akan kita singgung di sini ada-
lah sebagian kecil saja dari apa yang didalami Eliade dalam studinya.
Imajinasi yang paling banyak adalah imajinasi tentang bumi se-
bagai “saog ibu sakral”, sumber segala kehidupan. Perkawioan sakral
antara dewa “bapak” dengan simbol langit dan dewi “ibu” yang disim-
bolkan dengan bumi dapat dicemukan dalam berbagai mitologi, mulai
dari Pasifik Selatan sampai Afrika, Mediterrania, daa penduduk asli
Amerika, Langit akan menyuburkan bumi dengan menuruakan hujan,
sedangkan bumi akan menghasilkan bahan pangan dan rerumputan.”
Dengan datangnya Zaman Pertanian disusul dengan perkembangan
kemampuan manusia dalam mengolah bahan pangan, maka simbol-
simbol bumi selalu dikairkan dengan dewi-dewi agung. Sama seperti
dewa-dewa “anak”, dewi-dewi ini juga bersifat dinamis dan penuh
perasaan. Daur hidup para dewi-dewi ini, seperti kelahiran, hubungan
seksual, masa subur, dan kematiannya, melambangkan proses perta-
nian iru sendiri, mulai dari persemaian sampai pemanenan.”
Simbolisme yang lebih tersebar luas lagi dari simbalisme bumi
adalah simbolisme pepohonan, Pohon-pohon sakral pasti akan ditemu-
kan dalam setiap sejarah agama-agama manusia, dalam tradisi yang
ada di berbagai belahan dunia, dalam masyarakat metafisik atau mistis,
baik dalam bentuk iconography atau seni. Seperti pohon kasmik Yggdrasil
dalam mitologi Norse. Di samping pohon tersebut adalah axis mundi,
titik pusac dunia, dia juga sumber sakral kehidupan. Sebagai rambuban
yang hidup vertikal, pepohonaa mengisyaratkan bahwa kehidupan alam
semesta tidak henti-hentinya memperbaharui diri. Karena pepobonan
dapat hidup lama, maka makaa kehidupan yang cerkandung di dalam-
‘ya sangat banyak, pepohonan cersebut adalah pusat pengharapan maou-
249sia akan keabadian,”’ Kita akan teringat Frazer yang berpendapat bahwa
masyarakat primitif Eropa Utara selalu mengidentikkan jiwa, sebagai
sumber kehidupan, dengan pemujaan mistletoe dan pepohonan. Dalam
beberapa mitos tentang pohon kehidupan, dikisahkan tentang seorang
pahlawan yang berhasil melalui sebuah ujian, seperti peagampunan
Tuban atas Adam dan Hawa yang gagal dao bersalah karena melanggar
ujian dari Tuhan agar jangan memakan buah dari pohon cerlarang di
taman Eden. Atau pahlawan tadi berhasil mengalahkao seekor aaga
dan berbasil menahan berbagai godaan sehingga dia dianugerahi keba-
dian jiwa. Pepohonan menggambarkan kepada kita bahwa kesakralan
yang ada pada dirinya adalah sumber kehidupan, sau-satu realitas paling
nyaca, bagi siapa saja yang mampu mengatasi segala godaan dan ujian
akan diberikan kebadian jiwa.
Eliade mengingatkan kita bahwa untuk memahami mitos-mitos
tentang tumbuhan cersebut kita harus mengetahui bagaimana masya-
takac primitif hidup dalam kecemasao, sebab kadangkala kekuatan alam
menjadi tidak bersahabat atau malah hilang sama sekali.“ Menurut
pemikiran arkhais, isi alam semesta ini -apakah tumbuhan, binatang,
atau maousia- semuanya memperoleh kekuatan yang bersumber-dari
sebuah lingkaran substansi kehidupan yang sama, yang diberikao dari
satu makhluk ke makhluk lain.“” Ketika disemai, bebijian yang telah
mati akibac dipanen memberikan kehidupanaya kepada kehidupan biji
yang akan dipanen selanjutnya. Serelah dipanen, bebijian icu kemudian
dijadikan tepung yang akan diolah jadi bahao makanan manusia, mere-
ka kemudian akan memindahkan kehidupanoya kepada manusia, kare-
na bebijian cadi telah berubah menjadi kekuaran (daya) kehidupan yang
terdapat dalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia. Hubungaao-
hubungan seperti ini memperlibackan alasan kenapa dalam sebagian
besar legenda yang kita temukan seorang yang mati cerbuguh jiwanoya
berubah menjadi sebatang pohon atau kita menemukan sebatang po-
hon yang diyakini berasal dari darah dewa atau kesatria yang tewas
terbunuh,“ Di saat daya kehidupan sesuaru telah hilang, maka dia harus
berpindah kepada yang lain. Dan ketika proses perpindahan ini terjadi,
daya kehidupanaya harus diperbabarui lagi. Akan selalu terjadi peristi-
‘wa pasang surut, pudarnya daya kehidupan dan kemudian diperbaharui
Kembali, Bagi masyarakat arkhais, yang riil bukan hanya sesuacu yang
selalu sama (statis), tapi juga apa yang selalu berubah dalam setiap
250- —
organise dan dalam bencuk siklus.®” Yang Sakral bukan hanya awer
dan statis seperti bacu, dia juga harus diisi dengan kehidupan seperti
layaknya tumbuh-tumbuhan. Kekuatan yang tiada henti membeti ke-
hidupan baru kepada segala sesuatu, bukan hanya dalam arti fisik, se-
perti makanan terhadap tumbuhan, tapi juga dalam arti spritual. Se-
cara individu, pesan yang terkandung dalam simbol cumbuhan adalah
janji uncuk memperoleh kehidupan abadi. Seperti satu tanaman yang
hidup kembali setelah kemaciannya, begicu juga dengan manusia, mung-
kin pada satu saat dia akan dibangkit dari kematiannya dan dilahitkan
kembali di alam keabadian.” Dari sisi ini Eliade mengungkapkan bahwa
kita bisa melibat arei penting aktificas ricual untuk bertemu dengan Yang
Sakral, Ritual-ricual seperti inisiasi, pengampunan, dan penebusan dosa
adalah ritual, yang dengan berbagai cara dan prosedur, menampilkan
kembali proses penciptaan asali -yairu penciptaan dunia yang berawal
dati chaos dan setelah itu wujud dunia diberikan oleh para dewa atau
wujudnya terbentuk akibat pertempuran antar dewa tersebut.
Struktur dan karakter Simbol-simbol
Dari simbol-simbol kesuburan dan tecumbuhan, Eliade beralih
kepada simbol-simbol tentang ruang dan wakcu. Simbol-simbol ke-
suburan dan tecumbuhan telah kita bicarakan di atas, di sini kica akan
menyinggung sekilas tentang simbol-simbol tempat dan waktu. Sete-
lah itu kita akan mencoba menelaah hal lain, Walau sebagian besar
diskusi dalam buku Patterns memuat penjelasan tentang simbol dan
mitos-mitos individual di selurah dunia, Eliade juga memaparkan dua
hal yang berkaitan dengan segala bencuk pemikiran simbolis. Pertama
menyangkut struktur dan karakter dari sebagian besar simbolisme dan
mitologi; éedua, menyangkut masalah hirarki simbol-simbol tersebut
-kenapa nilai saru simbol berada di atas simbol lain.
Dalam disikusi ini, Bliade menjelaskan bahwa jarang sekali cer-
dapat simbol dan mitos-mitos yang terisolasi dan berditi sendiri. Sim-
bol dan mitos-mitos selalu menjadi bagian dari sistem simbol yang lebih
besa. Simbol dan micos-mitos iu selalu “dihubungkan ke aras” de-
Agan image atau miros yang lain, sehingga membentuk satu pola ter-
tentu. Alam pikiran masyarakat arkhais dipenuhi oleb asosiasi, hubung-
an, pengulangan-pengulangan yang selalu memperluas cakupan rasa
251
“~
Selama berabad-abad masyarakat menikmati kebebasan mereka
dalam memilih simbol dan mitos-micos Yang Sakral. Eliade berpenda-
Pat bahwa di sini renew saja tidak cerlihat objek oatural cunggal yang
Pada sacu wakcu menjadi simbol atau dijadikan mitos. Kemudian, kare-
Qa adanya kreatifitas ini, iamjinasi-imajinasi religius tidak peraah be-
nar-benar berada dalam kondisi chaos dan terpecah belab. Adapun tema
Sentral dalam buku Pasteras adalah sebaliknya, yaitu, terlepas dari ru-
40g, wakru, dan budaya terteacu, masyarakat arkhais memperlihatkan
‘eguhan yang luar biasa dalam penerapan tipe-tipe simbol yang sama,
255
metemz-tema yang sama dalam mitor-micos mereka, setta logika univer-
tal dalam simbol dan mitor-mitos tersebut. Semakin dekat kita mem-
perhatikan spesifikasi hiscoris dari satu agama, akan semakin jelas
terlihar babwa dia selalu cimbul cenggelam dan dengan pola yang se-
makin bertambsh banyak.
Sejarah dan Waktu Sakral
Dari selusub ketesangao di atas jelaslah bahwa dalam penyelidi-
an ilmuan cerhadap simbolisme Yang Saksal, cataran seyarah kemanu-
aa merupakse kunci utama, Catacan sejatah icu akan memperlihat-
kan kepada kita bagaimana masyarakat yang berbeda-beda menanggapi
Yang Saksal, misalaya guoung suci di China atau sungai Gangga di
India, Adapuo masyasakat arkhais sendisi dalam melihae diri mereka
dalam sejasah berbeda dengan kita di zaman modern ini. Bagi mereka,
kesadian-kejadian sehasi-hari, seperti bekerja dan berusaha memenuhi
kebucuhao hidup adalah sesuacu yang ingia mereka tinggalkan. Mereka
ingia “keluar” dari sejarah dan sclals berada dalam Yang Sakeal. Seperti
yang telah kica sebur di atas, Eliade mengistilahkan keinginan ini de-
ngan “nostalgia surga Firdaus”, Inj adalah konsep inti dalam pandang-
aa sejatab Eliade, ‘Walaupun dis sering menyinggung hal ini di dalam
beberaps bukuaya, namua penjelasanoys yang paling baik cencang kon-
sep ini dapat kita emukan dalam buku ketiga yang jadi panduan kita.
Buku cersebur adalah The Myths of the Bsernal Return: Or, Cosmos and
Hisury, dicecbickao hampis bersamaan dengan Patterns pada tahun 1949.
Eliade mengsnggap buku ini sebagai karya terpenting aya dan para
ksisikuspun mengsogg2p demikian.* Dalam buku ini dia mengajukan
sara tesis hebat, yaicu babws sebuah cema pemikiran yang mendomi-
nasi pemikiran masyarakat arkhais merupakan dorongan untuk meng-
abkhiri sejarah -selurub sejarab- dan ingin kembali pada sacu citik ais-
ke swal ini, lsojatoya, adalah keingican cerdalam, hasrat sepeouh hati
ackhais. Tema-tems yaog ada dj dalam setiap ritual das mitos-mitos
datang dari taogao sang pencipta, sebuah dunia yang murni dan maha
kuat.” Oleh kasens itu, sebagaimana yang telah kita singguog sebelnm-Hakikat dari Yang Sakral, Mircea Aiade
nya, mitos tentang penciptaan berperan penting dalam masyarakat
arkhais. Begitu pula dengan ritual-ricual yang selalu dikaickan dengan
proses penciptaan. Kira memang tidak akan membicarakan ritual-ritual
inj secara panjang lebar, oamun Eliade melibat saru hal yang perlu
diperbatikan dalam hal ini, khususoya dalam hubungan-hubuogan de-
ngan penciptaan. Biasanya ritual-rirual tersebut mengandung “peng-
ulangan” kembali apa yang tuhan lakukan pada wakeu illo tempore (ber-
asal dari bahasa Latin yang berarti “pada wakru iw”), yaicu saat alam
semesta meodapatkan wujudnya. Seciap festival Tahun Baru, micas
kelahiran kembali dan reintegrasi, atau seciap ritual inisiasi adalah per-
lambaog “kembali” ke awal, satu kesempatan untuk memulai dunia
baru. Dalam festival Tahun Baru dalam masyarakat arkhais, ketika
upacara peagusiran kambing hitam (tradisi scapegaat dalam masyarakat
Yahudi), atau upacara pertobatan dilaksanakan unruk menghindarkan
masyarakat dari bencana alam, wabah, dan dosa, semua itu bukan hanya
suacu ritual perpindahan dari satu ke tahun selanjutaya, tapi juga se.
bagai upaya menghilangkan peristiwa-peristiwa buruk di masa lalu.
Inj adalah upaya uotuk merestorasi wakeu mistis dan primordial, wak-
tu yang murni, waktu pencipraan.™ Di India, tata cara penobatan harus
mengikuti pola-pola berdasarkan proses awal rercipranya alam raya.”
Demikian juga dengan upacara-upacara kurban. Dalam upacara-upacara
ini secara implisit terdapat upaya uocuk menghilangkan wakru Yang
Profan, durasi, dan bahkan usaha untuk menghilangkan sejarah.
Eliade berpendapat bahwa kica harus memperhatikan motivasi
apa yang ada di balik mitos “kembali” (retwrm) ini. Dia menjelaskan
bahwa masyarakat arkhais, seperti masyarakat lain, tidak hanya dipe-
Ogaruhi oleh misteri kematian capi juga meyakioi kebidupan ini tidak
Punya tujuao dan arci sama sekali. Mereka ingin sesuacu yang penuh
arti, kekal, indab, dan sempurna, sebagaimana mereka juga ingin cemap
lari dari ketakucan, Kegetiran dan kesulican hidup bagi mereka ddak
Menjadi masalah, sebab semua orang bisa saja ditimpa kesulitan. Tapi
ide petualangan manusia secara keseluruban mungkin adalah sesuacu
‘tidak ada makoa sama sekali, karena semuanya akan tetap berakhir
dengan kematian. Dan inilah makna yang tidak diinginkan oleh
Masyarakat arkhais. Perasaan seperti ini disebut Eliade dengan “ceror
Sjarah", yang menggambarkan kenapa manusia sangat bechasrar ter-
hadap mitos-mitos, terutuma mitos tentang “kembali kepada keabadi-
=aan”, Bagi mereka kehidupan sehari-hari cidaklah berarti apa-apa, kare-
na arti kehidupan yang sebenarnya dari kehidupan tidak akan pernah
ditemukan dalam sejarah. Dan oleh sebab itu, masyarakat arkhais lebih
memilih berada “di luar” kehidupan seperti ini. Dalam wajah kehidup-
an yang menjemukan, rutinitas hampa dan kegetiran hidup sehari-hari,
masyarakat arkhais berusaha mencati cara uncuk mengatasi semua itu
dengan berbagai bentuk perlawanan. Melalui simbol dan micos-mitos,
mereka berusaha melacak kembali alam yang penuh dengan kesempur-
naan, saat di mana hidup mulai dari keasaliannya yang penuh dengan
janji dan harapan. Dengan menganggap wakru bagaikan sebuah lingkaran,
masyarakat arkhais mengakhiri kekakuan waktu. Segalanya akan mu-
Jai lagi dari awal, dari permulaan yang sangat sederhana.*'
“Teror sejarah” ini tidak saja dirasakan oleh masyarakat arkhais
semata, tapi juga oleh masyarakac dari peradaban kuno lain, di mana
pandangan yang menganggap waktu sebagai lingkaran sangat domi-
nan. Seperti ajaran-ajaran kuno di India yang mengacakan bahwa manu-
sia ditakdickan hidup di dunia ini tanpa harapan, mereka melewati
lingkaran kerusakan dan kehancuran, hingga pada akhirnya semua itu
lenyap dan segalanya dimulai lagi. Kemudian jawaban terhadap pan-
dangan yang sangat pesimis ini muncul dalam bentuk kembali kepada
keabadian dari kebudayaan Timur klasik, yaitu dokerin kelahiran kembali
atau reingkarnasi. Kica dapat remukan dalam kitab-kitab Upanishad
agama Hindu atau dalam ajaran-ajaran Budha Gautama dan Mahavira
pendiri Jainisme. Melihat kondisi manusia yang selalu diperbudak oleh
lingkaran secan semesta, tokoh-tokoh spritual ini menekankan bahwa
jalan keluarnya harus diremukan dalam sesuatu yang murni bersifat
spricual dari sejarah yang amac membosankan dan penuh teror. Mere-
ka menyatakan bahwa jiwa atau diri yang hakiki harus terbebas dari
raga yang ama rerikat dengan sejarah, Hal ini dilakukan dengan cara
sabar, mau berjuang dalam mengalami kelahiran kembali yang ber-
ulang kali sampai kebebasan spricual benar-benar bisa dicapai. Dalam
beneuk yang berlainan, tokoh-tokoh tersebut mengajarkan dokerin
moksa, kebebasan jiwa dari alam dan sejarah. Di tempat lain, ajaran
kelahiran kembali ini muncul dalam benruk yang berbeda. Di kala-
ngan masyarakat Yunani dan pengikut-pengikut Nabi Zoroaster di Persia
kuno, ajaran ini diekspresikan dalam kepercayaan bahwa sejarah manusia
hanya terdiri satu lingkaran (daur), yang keluar dari keabadian dan pada
258suatu saat akan diakhiri uocuk selama-lamanya oleh api atau bencana-
bencana besar Jainoya.’ Berbeda dengan konsep “keberakhiran” ini,
para pengikut Zoroaster menemukakan kebebasan mereka dengan cara
pengadilan dao pembalasao yang akan diberikan kepada siapa saja yang
tidak beriman kepada Ahuramazda, dewa kebaikan dan cahaya. Pols-
pola dari agama-agama ini sudah kelihatan agak jelas, Walaupun se-
cara kultural, peradaban Medicerrania dan Timur Dekat, demikian juga
India dao Asia Tenggara, sudah lebih maju dari masyarakat arkhais,
akan tetapi mereka menghadapi masalah yang relatif sama, yairu teror
sejacah dan terus menerus berusaha menemukan jalan keselamacan.
Tantangan bagi Agama-agama Arkhais:
Yahudi dan Kristen
Hampir di setiap peradaban arkhais masalah sejarah menjadi isu
seatral, dan solusi dari masalah ini adalah dengan melarikan diri dati
sejarah. Dalam seciap peradaban cersebur selalu ditemukan mitos ten-
tang kembali kepada keabadian. Pola-pola dari micos ini sangat beragam,
dan menurut Eliade hanya di satu kebudayaan kira bisa menemukan
sesuacu yang berbeda, yaicu di kalangan Yahudi Palestina kuno. Dalam
masyarakat Israil kunolah uotuk pertama kalioya di dunia muncul
pemikiran keagamaan baru. Walaupun tidak menolak secara keselu-
tuhan ide tentang kembali kepada keabadian, Yahudi mengatakan bah-
wa Yang Sakral bisa dijumpai dalam sejarah maupun di luar sejarah.
Dengan demikian seluruh kesamaan-kesamaan yang ada di antara aga-
ma-agama arkhais mulai berubah secara drastis. Dalam cradisi Yahudi
yang kemudiaa juga diikuti oleh Kristen sebagai pewaris cradisi Yahu-
di, ide ketidakbermakoaan lingkaran alam semesta ini ditarik kembali
ke pangkal, di mana manusia saat itu menjadi titik pusat daa mereka
berada dalam garis sejarah yang penuh makoa bersama Yang Sakral,
Tuhan bangsa Israil yang menguasai alam semesta. Di cempat yang
tidak diketabui ujung pangkalaya, di lingkaran alam semesca yang tidak
bermakna, Yahudi memasukkan dimensi yang peauh makna dari peris-
Uwa-peristiwa historis Yang Sakral. “Penemusn” yang spektakuler ini
emiliki ciri-ciri cerseadiri, yaitu adanya Nabi-nabi aguog, seperti
Amos, Isaiah, Jeremiah, dan lain sebagainya. Di saat umat mereka
mendapat bencana, Nabi-nabi tersebut menjelaskan bahwa kesulitan-
akesulican yang dialami tersebur bukanlah sesuacu yang harus ditinggal-
kao, tapi itu adalah hukuman atau ujian yang harus dijalani -di dalam
sejarah-, sebab semua itu datang dari kehendak Yang Mahakuasa. Nabi-
nabi itu menjelaskan ide-ide ini dalam sabda-sabda mereka,
Peristiwa-peristiwa historis memiliki arti tersendiri, sejauh peris-
tiwa tersebuc terjadi atas kehendak Tuhan. Tuhan yang diyakini bangsa
Yahudi berbeda dari ruhan-ruhan masyarakar Timur, yang diyakini se-
bagai pencipta arkhetipe. Tuhan bangsa Yahudi adalah satu pribadi yang
terus menerus berperan dalam sejarah dengan melibackan kuasa-Nya
ke dalam peristiwa-peristiwa, seperti penaklukkan bangsa lain, pepe-
rangan, dan lain-lain. Jadi, fakca-fakea hiscoris tersebut menjadi “siru-
asi” manusia dalam menanggapi Tuhan, dan seperti celah disinggung
sebelumnya, mereka menerima nilai-nilai religivs sebagai hal yang tidak
bisa dicawar-cawar lagi.
Perjumpaan seorang maousia dengan “Pribadi Tuhan-sejarah” ini
merupakan hal yang baru dalam sejarah agama-agama manusia, dan
bisa diketahui dalam kisah-kisah Bibel tentang Nabi [brahim sewakru
dia ingin menyembelih anaknya sebagai pengurbanan kepada Tuhan.
Jika Yahudi dipandang sebagai agama arkhais, lanjut Eliade, maka per-
buatan yang berani ini bisa digolongkan pada pengurbanan maousia,
yaicu dengan membuoub anak sulung agar kekuatan hidup Yang Sakral
bisa diperbaharui. Tapi dalam tradisi Yahudi peristiwa ini punya karak-
ter yang sedikit beda. Perjumpaan Ibrahim dengan Tuhan secara his-
coris merupakao perjaojian personal dia dengan Tubhannya yang me-
merintahkan agar meoyembelih putranya, dan peristiwa ini adalah
pertaada iman Ibrahim. Tuhan tidak memburubkao kurbao utouk me-
nambah kekuatan-Nya (dan sesungguhnya Tuhan pun kemudian meng-
anugerahkao seorang putra lagi kepada Ibrahim, yairu Isaaq). Sebe-
oaroya yang diminta Tuban adalah keikhlasan hati Ibrahim, seandainys
nanti datang perincah untuk berkorban yang lebih berat lagi. Tradisi
Kristen juga mewarisi perspektif seperti ini. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam rentang wakeu antara kelahiran dan kematian Yesus mem-
bentuk satu cuocunan historis yang ucuh, satu momen yang sangat jelas
dan hanya terjadi sekali yang akan memberikan basis hubungan pet-
sonal seorang Kristen dengan pengampunan dan kebenaran Tuhao.
Dalam mengingat kembali peristiwa kelahiran, penyaliban, dan ke-
bangkitan kembali Yesus, iman Kristen tidak melibackan diri dalam
260Hakikat dari Yang Sakral, Mircea Aliade
ricual-ricual ingin lahir kembali, mereka tidak berusaha uotuk kembali
kepada keabadian. Mereka teringat dalam peristiwa-peristiwa hiscoris
yang telah final ini bahwa yang diminta dari mereka hanyalah kecegub-
an iman yang sebenarnya kepada Tuhan,
Tentu saja agama historis yang baru ini tidak begicu saja dapat
menghilangkan agama-agama lama, yaitu kesadaran arkhais yang te-
lah berurat berakar dalam pemikiran manusia. Cukup mengesankan
bahwa agama “Kesuburan”, seperti agama Baal dalam masyarakat Israil
kuno menjadi bukti bahwa agama seperti Yahudi tidak bisa menakluk-
kan kepercayaan lama. Demikian pula dengan agama Krisceo, upacara-
upacara tahuoan masyarakat arkhais tetap bertahan dan berbaur ke dalam
ekemen-elemen historis dari agama Kristen, babkan yang paling murni
sekalipun. Maka kedua tradisi keagamaan ini dapat dengan mudah di-
masuki gerakan-gerakan mesianisme. Kelompok mesianime yang berke-
mauaa keras ini mengharapkan datangnya seorang manusia pilihan Tuhan
dan meyakini kehancuran dunia akan disusul dengan datangoya sebuah
dunia yang sempurna. Dengan demikian, mereka kembali memakai
pemikiran arkhais. Memang mereka dapat menerima sejarah, tapi icu
bisa cerjadi karena mereka meyakini bahwa aanti pada satu saat sejarah
itu sendiri akan berheati dan hancur.“ Konsekuensi dari hal ini adalah
bahwa kedua sisi tradisi Judeo-Kristea berada dalam posisi di cengah-
tengah, antara ketegangan dan kompormi, Mereka dapat menemukan
Yang Sakral di dalam dan di luar sejarah.
Tantangan bagi Semua Agama: Historisisme
lodern
Bagi Eliade berubahnya Judeo-Kristea menjadi agama historis
adalah momen yang sangac penting. Dia menandai berawalnya suatu
Pergeseran dari kesadaran arkhais, datangnya tantangan terhadap mi-
(0s kembali kepada keabadian, Namun peristiwa ini bukanlah satu-
Satunya proses perubahan dalam agama yang terjadi di dunia. Revolusi
kedua, yang barangkali lebih dahsyat, mulai muncul di pusat peradab-
an Barat, khususnya Eropa modera dan Amerika. Eliade menjelaskan
Sesuatu yang baru dalam sejarah maousia yaitu diterimanya filsafac
Yang menolak keberadaan nilai Yang Sakral. Para pendukung pendapat
ini mengklaim bahwa semua kepercayaan tersebut tidak ada bedanya
ae
261dalam diri seseorang, apakah Yang Sakral berada di dalam atau di luar
sejarah. Alasan mereka sederahana saja, karena manusia memang tidak
buruh iru semua. Yang benar menurut mereka adalah bahwa tidak ada
yang dinamakan dewa-dewi, tidak ada arkhetipe Yang Sakral yang bisa
menunjuki kita bagaimana seharusoya hidup ini dijalani atau meoun-
jukkan kepada kita apa rujuan hidup ini.” Kita sekarang semestinya
bidup canpa ada Yang Sakral.
Sejenak kita kesampingkan dulu masalah baik arau buruknya pan-
dangan modem yang menolak mentah-mentah kehadiran Yang Sakral
di dunia. Perharian Eliade percama-tama dicujukan kepada masalah dari
mana asal pandangan inidia berpikir bahwa pintu masuk ke dalam
revolusi kedua ini sebenarnya dibuka olch pergeseran ide-ide sebagai-
mana baloya yang terjadi pada revolusi yang pertama dengan datangnya
agama Judeo-Krisren. Memang, sepintas lalu bagi kita masalah ini
keliharan samar-samar, tapi bagi Eliade masalahnya cukup jelas. Masalah
ini berasal dan momen urama yang kita tempatkan dalam konreks asli
agama-agama arkhais dan mitos-mitos kembali kepada keabadian. Kita
harus ingat bahwa bagi masyarakat arkhais alam natural merupakan
sesuatu yang sangat vital. Dalam beacuk apapun dia bisa hidup bersa-
ma dengan Yang Sakral. Di alam supernatural, semuanya terbungkus
simbolisme, legenda, dan mitos-mitos mengagungkan dewa di balik
hujan dan badai, tanda dao isyarat-isyarac dewa dapat ditemukan pada
sebatang pohon, sebongkah baru, atau arah terbangnya burung. Alam
ini adalah pakaian dewa. Namun hal ini tidak ditemukan dalam tradisi
Yabudi dan Kristen. Nabi-nabi Israil dan para penulis Perjanjian Bara
membawa alam ke latar belakang kejadianoya dan memboyong se-
jarah kembali kepanggungoya. Musim demi musim, topan badai, dan
Pepobonan telah “didesakralisasi”, karena Tuhan dalam keimanan bangsa
Israil dan Kristea memucuskan woruk memperlihatkan bahwa diri-Nya
berada dalam dalam pilihan dan tujuan Perisciwa-peristiva kemaou-
siaan yang dramatis -yang dalam tradisi Yahudi terwujud dalam perisci-
wa cerbebasnya mereka dari kekussaan Firaun dan peristiwa kelahiran,
kematian, dan kebangkitan kembali Yesus dalam tradisi Kristen. Dalam
perspektif yang baru ini, alam cetap memiliki peranan, tapi hanya se
batas pendukung. Nabi-oabi Israil Cetap menganggap angin topan yang
membelah laut Merah sebagai pertanda Yang Sakral, capi meskipuo
demikian, dalam perspekuif sejarah yang mereka pahami, hal cersebuttetap dipandang sedikit berbeda dengan apa yang dipahami oleh
masyarakat arkhais. Bagi peagaaut tradisi Judeo-Kristen, peristiwa-
perisciwa, tersebut menampakkan wajah Tuhan bukan karena peristiwa
tersebut sangat menakjubkan sebagaimana yang diyakini masyarakac
arkhais, tapi kareoa peristiva tersebut menjadi perantara maksud Tu-
han. Tuhan memberikan nikmat kepada umat maausia melalu rangao
musuh-musuh mereka,
Seperti yang dikatakan Eliade, yang terpenting dalam perubahan-
perubahan rasa keberagamaan ini adalah bukan karena terma-terma
yang ada di dalamaya, melainkan karena konsckuensi-konsckuensi yaog
mengiringinya kemudian. Gerakan gradual agama alam menuju aga-
ma historis yang tidak bisa diperkirakan ini telah meletakkan pondasi
awal bagi pergeseran-pergeseran yang akan terjadi selanjutnya, yaitu
dati agama-agama hiscoris ini berubah menjadi filsafat sejarah dan
masyarakat religius berubah menjadi masyarakat yang melepaskan
agama dari kehidupan mereka. Ini terjadi khususnya dalam peradaban
Barat. Selama beberapa abad, penghapusan konsep ketuhaoan dari alam,
secara perlahao telah membukakakan jalan bagi segenap lapisan
masyarakac untuk meneérima gaya pemikirao, yang semula hanya milik
segelintir orang oamuo kemudian menjadi anutan umum dengan ke-
datangan zaman modern. Pemikiran ini adalah sekuler, artinya peng-
hapusan Yang Sakral dari pikiran dan prilaku manusia. Eliade mea-
jelaskan bahwa logika yang ada di balik pergerakan menjauhi agama
ini cerayata cukup sederhana, Pemikir-pemikir sekuler berargumen se-
bagai berikur; jika agama-agama biblikal seperti Yahudi dan Kristen
bisa menciprakan perubahan-perubahan dalam kesadaran religius dunia
ini, apakah icu berarti kita tidak diizinkan untuk membuat hal serupa
bila kita inginkan? Jika Nabi-nabi merasa puoya hak memperoleh Yang
Sakral dari alam raya ini dan menemukannya dalam sejarah, kenapa
kita tidak bisa mengikiui jejak mereka dan kemudian membuang Yang
Sakral icu dati alam dao sejarab? Pendekaya, keoapa kita tidak bisa
‘meaghapusoya dari sejarah manusia? Sesungguhoya argumen-argumen
Seperd inilah yang digunakan oleh ilmuan-ilmuan sekuler dalam kerang-
ka berpikir mereka, yairu para filosof noa-religius yang meacul ke per-
mukaan dengan daya pemikiran yang luar biasa dalam tiga abad ter-
akbit. Kita bisa menambabkan bahwa mereka ini adalah “anak yang
Sdak diharapkan” dari cradisi Yahudi dan Kristea.
263
~