You are on page 1of 9

Pendidikan Agama Penopang Resolusi Konflik Umat Beragama

1
Numa Jericho Hakim , Wilodati 2 , Sri Wahyuni3

Pendidikan Sosiologi, Universitas Pendidikan Indonesia


Email: Numajericho123@upi.edu
2
Pendidikan Sosiologi, Universitas Pendidikan Indonesia
Email: wilodati@upi.edu
3
Pendidikan Sosiologi, Universitas Pendidikan Indonesia
Email: sriwahyuni5987@upi.edu

Abstract. Religion should be able to play a role as a counterweight to people's lives in various
fields such as politics, social, economics, education, science, technology and so on. Religion
should also be able to become the basis of human reference in living a good social life and obeying
existing norms or regulations. In addition, religion is also capable of being a source of values,
beliefs and patterns of behavior that can provide guidance for the nature, purpose, and stability
of human life because life demands absolute life guidance. is a serious problem. Various cases of
conflict in the name of religion, both inter-religious and conflict within a particular religion often
color the life of the Indonesian people. From the existing data then processed using qualitative
research methods by collecting data that can be accounted for so that it can be a new reference in
the future.
Religion and conflict are two sides of a coin that are interconnected and touch each other. Religion
is sacred and peaceful, religious conflict is the most sensitive tool and is easily packaged into holy
war. This is caused by many things, namely dogma, misinterpreted texts, excessive fanaticism,
group interests and even practical political interests. Finally, religion has a sinister face, scary
and decorated with revenge. All causes of conflict, if not resolved and managed properly will give
birth to endless conflicts. Efforts that can be made are to dialogue texts with context, dialogue
about knowledge, and moderate religious understanding, and having wise religious leaders or
leaders.

Keywords: Religious education Supports Religious Conflict Resolution

Abstrak. Agama seharusnya dapat memainkan peran sebagai penyeimbang kehidupan masyarakat
di berbagai bidang seperti bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan,
teknologi dan lain sebagainya. Agama seharusnya juga mampu menjadi dasar acuan manusia
dalam menjalani kehidupan bermasyarakat yang baik serta mentaati norma-norma atau peraturan
yang ada. Selain itu, agama juga mampu menjadi sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkah
laku yang dapat memberi tuntunan bagi hakekat, tujuan, dan kestabilan hidup umat manusia karena
kehidupan menuntut adanya tuntunan hidup yang mutlak.Masalah konflik antar agama dan konflik
internal agama di Indonesia merupakan sebuah masalah yang serius. Berbagai kasus konflik atas
nama agama, baik antar agama maupun konflik dalam suatu agama tertentu sering mewarnai
perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Dari data yang ada kemudian diolah denganmenggunakan
metode penelitian kualitatif dengan cara mengumpulkan data yang dapat dipertanggungjawabkan
sehingga dapat menjadi acuan baru di kemudian hari.
Agama dan konflik adalah dua sisi mata uang yang saling berhubungan dan bersentuhan. Agama
ajaran suci dan damai, konflik agama adalah alat yang paling sensitif dan mudah dikemas menjadi
perang suci. Hal ini disebabkan oleh banyak hal yaitu dogma, teks yang salah tafsir, fanatisme
yang berlebihan, kepentingan kelompok bahkan kepentingan politik praktis. Akhirnya agama
memiliki wajah seram, menakutkan dan dihiasi oleh dendam. Semua penyebab konflik, bila tidak
diresolusi dan dimanajemen dengan baik akan melahirkan konflik yang tak berkesudahan. Upaya
yang dapat dilakukan yaitu mendialogkan teks dengan konteks, mendialogkan ilmu, dan berfaham
beragama moderat, serta memiliki pemimpin atau tokoh agama yang bijaksana.

Kata kunci: agama, penyebab konflik dan resolusi konflik.

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara multikultural yang dibangun atas kesadaran bhinneka tunggal
ika. Sudah menjadi realitas bahwa bangsa Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan
budaya beragam dengan potensi konflik yang tinggi. Salah satu konflik yang sedang banyak
disoroti yaitu terkait agama. Agama bagi mayoritas orang dianggap menyentuh bagian yang paling
dalam dan paling asasi pada kehidupannya dan terasa amat dekat, bahkan dijadikan sebagai urat
nadi bagi kehidupan manusia. Disamping itu Sebagian orang memandang agama sebagaibagian
yang amatjauh yang tampak pada adanyakonflik, kekerasan, penindasan, peperangan,
bahkanpembunuhanatasnama agama.
Konflik antarumat beragama sekarang ini sedang disoroti dunia, konflik yang terjadi antara
lain sepert i“Hindu dan Muslim di Ujung Peperangan Khasmir”, Kristen Serbia diadili atas Pelaku
Tindak Kekerasan Terhadap Muslim Bosnia”. Sisi menghawatirkan sekarang adalah jika paradox
tersebut berjalan semakin timpang. Beberap ada sawarsa terakhir yang dipandang bernuansa
keagamaan semisal terror 11 September 2001, bom Bali, penghancuran Afganistan, konflik Israel
dan Palestina, kasus Poso, bom Natal dan lain sebagaimanya.
Ada sebuah pemikiran yang beralasan bahwa agama merupakan sumber konflik dan
mendatangkan masalah yang cenderung bersifat anakronistik (tidak cocok untuk zaman tertentu).
Akan tetapi, menyatakan agama semata-mata sebagai sumber konflik sangat tidak arif. Selama
berabad-abad bisa dilihat iman yang memperteguh kehidupan telah menopang dan memberi makna
bagi jutaan manusia. Tepat apabila ada yang menyatakan berbicara tentang agama berarti berbicara
tentang sebuah paradoks.
Masyarakat Indonesia dengan tingkat kemajemukan yang tinggi baik etnik, budaya, ras,
Bahasa, dan agama merupakan potensi sekaligus ancaman. Bebrapa konflik bernuansa SARA
diatas, sering dikaitkan dengan kegagalan bangsa ini dalam memahami pluralitas. Secara spesifik
Pendidikan juga dituding telah gagal menjalin keberagaman melalui Pendidikan yang melampaui
sekat agama.
Sekarang ini seolah peran agama dengan wajah yang teduh semakin hilang dan tersisa
hanyalah kebringasan, atas semua yang terjadi itu membuat agama dipandang sebagai sebuah
nama yang sarat konflik, membuat gentar dan cemas banyak kalangan. Dengan tragedi-tragedi
yang terjadi di Indonesia khususnya kekerasan yang bertopengkan agama, banyak orang yang kian
dicekam.
Hal ini mewakili kecemasan umat manusia akan potensi penyalahgunaan agama tersebut.
Untu kitu penulis ingin mengupas terkait pentingnya Pendidikan agama untuk mengatasi resolusi
konflik antar umat beragama.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dalam perspektif
Pendidikan agama penopang resolusi konflik umat beragama bertujuan untuk memberi gambaran
umum dari hakikat metode penelitian deskriptif kualitatif dalam penelitian Pendidikan agama
penopang resolusi konflik umat beragama , analisis data dalam penelitian deskriptif kualitatif,
langkah langkah serta kekuatan dan kelemahan dalam penelitian kualitatif itu sendiri. Artikel
ini disusun berdasarkan metode literature review dari artikel yang mengkaji terkait penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teori-teoriPenyebabKonflik
Konflik merupakan hal yang alamiah yang telah ada sejak manusia diciptakan. Dalam
kehidupan, konflik merupakan sesuatu yang mendasar dan esensial. Meskipun konflik merupakan
halalamiah dan mampu menumbuhkan dinamika, dapat menjadi persoalan serius jika sudah
memuncak dan mengganggu ketentraman hidup atau bahkan membahayakan jiwa.
Simon Fisher (2001) mengemukakan penyebab terjadinya konflik antara lain yaitu :
1. Teori hubungan masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan polarisasi yang terus terjadi,
ketidakpercayaan dan permusuhan kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang
ingin dicapai teori ini adalah :
a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami
konflik.
b. Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat keragaman yang ada di dalamnya.
2. Teori negosiasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras
dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang
ingin dicapai teori ini adalah :
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan
berbagai masalah dan isu, dan menciptakan kemampuan untuk melakukan negosiasi berdasarkan
kepentingan-kepentingan dari pada posisi tertentu yang sudah tetap.
b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua
pihak.
3. Teori Kebutuhan Manusia Berasumsi bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar
manusia (fisik, mental, dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan
partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah
:
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan
bersama kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu.
b. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan
dasar semua pihak.
4. Teori Identitas Berasumsi bahwa konflik disebabkan identitas yang terancam, yang sering berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai
teori ini adalah :
a. Melalui fasilitas loka karya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik diharapkan
dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang dirasakan masing-masing dan untuk
membangun empati dan rekonsiliasi.
b. Meraih kesepakatan Bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
5. Teori Kesalah pahaman Antar budaya Berasusmsi bahwa konflik disebabkan ketidak cocokan dalam
cara-cara komunikasi berbagai budaya yang berbeda.

Lahirnya Konflik Agama


Agama seharusnya dapat memainkan peran sebagai penyeimbang kehidupan masyarakat
di berbagai bidang seperti bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan,
teknologi dan lain sebagainya. Agama seharusnya juga mampu menjadi dasar acuan manusia
dalam menjalani kehidupan bermasyarakat yang baik serta mentaati norma-norma atau peraturan
yang ada. Selain itu, agama juga mampu menjadi sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkah
laku yang dapat memberi tuntunan bagi hakekat, tujuan, dan kestabilan hidup umat manusia karena
kehidupan menuntut adanya tuntunan hidup yang mutlak.
Masalah konflik antar agama dan konflik internal agama di Indonesia merupakan sebuah
masalah yang serius. Berbagai kasus konflik atas nama agama, baik antar agama maupun konflik
dalam suatu agama tertentu sering mewarnai perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Banyak
kerugian material, kerugian psikis dan korban yang berjatuhan sebagai akibat dari konflik antar
agama. Beberapa fenomena konflik yang terjadi pada saat ini, agama tidak hanya difahami sebagai
sebuah doktrin yang harus diikuti dan memberi identitas bagi pemeluknya saja, tetapi oleh
sebagian masyarakat Indonesia mengarah kepada sebuah gerakan. Agama pada akhirnya tidak
hanya merupakan suatu kebutuhan psikologis, namun juga membangun tembok pemisah dan
berakibat pada pertentangan kepentingan-kepentingan duniawi antar anggota dan komunitas
agama yang berbeda-beda
Keragaman budaya, agama dan etnis dalam suatu masyarakat tidak dapat dihindari.
Indonesia merupakan negara yang memiliki latar belakang keragaman budaya yang tersebar dalam
belasan ribu pulau di Nusantara. Indonesia adalah negara denga nkomposisi suku yang sangat
beragam. Hasil penelitian kerjasama BPS dan ISEAS (Institute of South Asian Studies)
merumuskan bahwa terdapat sekitar 633 suku yang diperoleh dari pengelompokkan suku dan
subsuku yang ada di Indonesia. Ketidak pahaman atas realitas keragaman berakibat pada
munculnya pandangan sempit dalam ruang kehidupan bersama. Oleh karena itu, diperlukan
pemahaman tentang keragaman untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya konflik horizontal
atas nama perbedaan latar belakang budaya, etnis dan agama. Studi ini mendeskripsikan faktor
penentu dalam terjadinya konflik atas nama agama di masyarakat menunjukkan pada tiga
kecenderungan.
Pertama, minimnya pemahaman mengenai keberagaman yang merupakan keniscayaan
yang tidak bisa dilihat dengan perspektif yang terbatas. Demikian pula faktor geografis wilayah
Indonesia yang merupakan salah satu negara multicultural terbesar di dunia yang menganut paham
bhineka tunggal ika. Kenyataan ini dapat dilihat dari sosio-kultural dan geografisnya yang meliputi
agama, ras, suku, budaya, dan lainnya. Keragaman budaya dengan berbagai karakter ini juga
ternyata menjadi ancaman perpecahan yang disebabkan kurangnya kesadaran tentang makna
keberagaman ini. Di samping diyakini juga sebagai modal budaya, gesekan-gesekan yang berbau
sara terus terjadi karena kurangnya kesadaran budaya masyarakatnya melahirkan konflik atas
nama agama. Eksklusivisme dalam beragama merupakan karakteristik dari kebanyakan umat
beragama yang berpandangan bahwa kebenaran dan keselamatan hanya ada di dalam agamanya
sendiri.
Eksklusivisme adalah bentuk hubungan sosial yang mengkhususkan atau
mengeksklusifkan kelompok atau golongan tertentu. Beberapa kelompok diketahui adalah
kelompok yang sangat eksklusif sehingga kelompok tersebut orang lain tidak mudah memasuki
kelompok lain. Demikian pula, beberapa kelompok tersebut sering melakukan penindasan
sehingga menyebabkan timbulnya sikap agresif dan diskriminatif atas kelompok yang tidak sejalan
pemikiran. Biasanya manusia sebagai makhluk sosial lebih cenderung membentuk kelompok-
kelompok tertentu. Tujuan manusia membentuk kelompok yaitu sebagai wadah dalam
mewujudkan interak sisosial dan demi membantu seseorang yang satu dengan yang lainnya. Hal-
hal inilah sebenarnya telah terjadi sejak jaman dahulu kala. Beberapa kasus konflik akibat
eksklusivisme di antaranya; konflik non pribumi versus pribumi, konflik bernuansa agama,
khususnya antara penganut agama Islam dan agama Kristen.
Ketiga, fanatisme pada suatuajaran agama telah mengakibatkan sikap kebencian terhadap
kelompok lain. Fanatisme agama adalah fenomena yang telah dipraktikkan dalam masyarakat
Muslim sejak lama. Fanatisme agama dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan timbul
dan berkembangnya konflik sosial dalam masyarakat Muslim. Dalam beragama tidak ada larangan
dan memegang teguh keimanan dan kepercayaan atas suatu ajaran agama, tetapi jangan sampai
terjebak pada dogmatisme agama yang cenderung merendahkan, bahkan menyalah kanajaran
agama yang berbeda.
Keempat, primordialisme yang mementingkan kelompok, suku, etnis dan ras tidak bisa
dipisahkan dengan kasus-kasus konflik yang terjadi. Sikap primordialis memerupakan ikatan-
ikatan seseorang dalam kehidupan sosial yang sangat berpegang teguh terhadap hal-hal yang
dibawa sejak lahir baik berupa suku bangsa, kepercayaan, ras, adat-istiadat, daerah kelahiran, dan
lain sebagainya.Primordialis mecenderung memperlihatkan komitmen masyarakat yang sangat
menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang
bersumber dari etnik, ras, tradisi, dan kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun.

Karakteristik Konflik
Fakta konflik yang terjadi di Indonesia telah menjadi isu yang krusial di mana Indonesia
dilihat sebagai negara yang memiliki keragaman etnis dan budaya. Kita hidup di dunia yang
terpolarisasi agama, kebangsaan, ideologi politik, ras, etnis, jeniskelamin, kelas sosial, dan banyak
lagi pembagian yang terlalu banyak untuk disebutkan. Tidak jarang keragaman dan ketidak
cocokan menyebabkan konflik. Konflik sering kali didefinisikan sebagai proses interaktif yang
dimanifestasikan dalam ketidak cocokan, ketidak sepakatan, atau perbedaan di dalam atau di antara
entitas sosial. Konflik, terutama yang melibatkan nilai-nilai atau hubungan mendasar, misalnya,
sering dihipotesiskan bersifat destruktif; konflik emosional yang kuat dianggap tak terelakkan.
Konflik ini terjadi pada kelompok primer dan sekunder, dari keluarga hingga masyarakat, sistem
perilaku relasional yang terhambat dan destruktif, tergantung pada disfungsi sistem sosial yang
mewakili konteks. Dalam teori identitas sosial, kelompok dapat masuk kedalam konflik karena
berbagai alasan, dan konflik juga merupakan hasil dari cara yang ada orang mengidentifikasi satu
sama lain.
Konflik yang marak terjadi di Indonesia ditengarai selalu melibatkan unsur agama.
Beberapa tahun lalu masyarakat Indonesia dihebohkan dengan munculnya kasus Ahmadiyah. Pro-
Ahmadiyah memahami bahwa pelarangan aktivitas Ahmadiyah di ruang public bertentangan
dengan konstitusi nasional yang menjamin kebebasan beragama. Di sisilainya, anti Ahmadiyah
bersikap bahwa kehadiran Ahmadiyah telah menodai Islam dan menciptakan ketidak nyamanan
bagi umat Islam. Di sini diperlukan tindakan nyata, seperti dialog, misalnya, yang dapat
diprakarsai oleh liberalis atau pluralis dengan kaum konservatif dan pemerintah untuk mencari
solusi, setidaknya mengesampingkan Ahmadiyah dari pelaku kekerasan. Menggunakan perspektif
fungsi kebijakan public untuk memberikan tatanan sosial, diberlakukannya Keputusan Ahmadiyah
adalah upaya pemerintah untuk melindungi keberadaan Ahmadiyah dengan melarang kegiatan
mereka di tempat umum karena potensi bahaya bagi keselamatan mereka. Kasus konflik paling
keras terjadi di Indonesia ketika kebijakan terhadap etnis Cina memiliki variasi dari waktu kewaktu
tergantung pada keadaan hubungan antara pribumi Indonesia dan penduduk keturunan Cina. Oleh
karenaitu, dialog antar budaya dan pehamanan Pendidikan beragama memiliki peran penting
dalam hal ini. Itu memungkinkan kita untuk mencegah perpecahan etnis, agama, bahasa, dan
budaya.

Pendidikan Agama Penopang Resolusi Konflik Umat Beragama


Salah satu aspek penting dalam resolusi konflik antarumat beragama dalam rangka
mengembangkan keberagaman yang inklusif dan pluralis sebenarnya adalah Pendidikan, terutama
Pendidikan agama. Aspek Pendidikan agama selama ini kurang menyentuh hal tersebut, karena
Pendidikan agama hanya dipandang sebagai persoalan pinggiran yang tidak signifikan. Pendidikan
(dalam arti umum) adalah basis atau dasar untuk menciptakan SDM dan pembentukan karakter
suatu bangsa. Pendidikan, sebagaimana ditegaskan Ahmad Syafii Ma’arif dalam Ahmad Fuad
Fanani (2001), sesungguhnya juga wahana paling efektif untuk internalisasi nilai-nilai demokrasi,
pluralism, dan inklusivisme.
Pendidikan di Indonesia selama Orde Baru, hanya sebagai proses pemenuhan kewajiban
yang cenderun bersifat proyek instan, sehingga yang terjadi hanya sekedar pembentukan manusia
yang siap kerja dan menadi pegawai. Di era Orde Baru, pendidihan hanya disamakan dengan
pengajaran aspek pembentukan sikap, kepribadianm mental, dan kreativitas jaudh dari jankauan
pendidikan. Hasil pendidikan model Orde Baru tidak mengajarkan atau bahkan menjauhi sikap
keberagamaan yang pruralis-inklusif. Ketika itu yang diajarkan justru yang menumbuhkan sikap
kebenaran dan pembelaan yang terkadang dilakukan secara berlebihan pada agamanya sendiri.
Mengingat pendidikan zaman orde baru hanya sebatas pengajaran, maka sebagaimana
proses transfer of knowledge, mengendaikan siswa sebagai objek yang bisa dibentuk sesuai
kemauan guru. Meminjam istilah Paulo Freire, siswa akan menjadi manusia yang memiliki
kesadaran magis, dapat menerima semua yang diterima sebagai suatu kebenaran yang mutlak,
tanpa kesadaran kritis. Pada kenyataannya pendidikan sebenarnya pembentuk manusia sempurna
melalui proses dialogis, penghargaan kemanusiaan, dan saling menekankan kebebasan dan
keadilan.
Pendekatan pendidikan agama yang diterapkan di semua lembaga pendidikan formal
adalah bersifat teologis dan scientific cum doctrinaire. Melalui pendekatan ini, siswa diharapkan
dapat tumbuh subur. SEbagai bagian sistem pendidikan nasional, pendidikan agama
mengalamikondisi yang tidak jauh berbeda. Oleh karenanya pendidikan agama selama ini kurang
bisa diharapkan kontribusinya dalam pmbentukan masyarakat yang menghargai pluralism dan
tidak menunjang demokratisasi. Apalagi, selama ini para guru agama di sekolah dan perguruan
tinggi umumnya hanya menekankan ajaran agama yang bersifat teologis-dogmatis, sehingga
makin membentuk chauvinisme rasa kebenaran pada agamanya sendiri. dampaknya, pengajaran
agama menjadi kurang menyentuh aspek realitas sosial yang sesungguhnya, tidak sampai pada
persoalan aksi nyata dari prtes perilaku keagamaan.
Dalam rangka membantu membangun kesepahaman antar umat beragama, telah dilakukan
prakarsa langsung para pemuka masing-masing agama melalui dialog yang dilakukan oleh para
elite keagamaan di Indonesia. namun hasilnya jarang yang sampai pada akar rumput, sehingga
tingkat saling memahami hanya terbatas pada tingkat elitnya saja, disinilah letak perlunya
sosialisasi hasil dialog. Hasil dialog tersebut akan lebih cepat sampai pada sasaran dapat ditempuh
melalui jalur pendidikan agama,dakwah atau media massa. Jalur pendidikan dan dakwah memiliki
tingkat efektifitas yang tinggi karena audience dapat terlibat secara langsung, tetapi memiliki
keterbatasan daya jangkau. Media massa memiliki daya jangkau yang luas, tetapi tidak dapat
melibatkan audience secara langsung.
Pendidikan agama sebagai resolusi konflik antarumat di Indonesia dalam implementasinya
dapat menggunakan beberapa pola pendekatan dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
Pendekatan tersebut diterapkan dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan melalui
beberapa hal berikut:
Pertama, integrasi pendidikan agama dalam materi pembelajaran. Materi pembelajaran
merupakan komponen yang penting dalam proses pendidikan. Melalui materi pembelajaran, siswa
mampu memahami konsep pendidikan agama melalui pengenalan beberapa konsep yang lebih
operasional dari nilai-nilai pendidikan agama tersebut. Konsep yang lebih operasional tersebut
diantaranya adalah: Ta’aruf (saling mengenal). Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia
memiliki masyarakat yang beragam dalam hal agama, budaya, ras dan etnis. Konsep ta’aruf ini
memberi penekanan bahwa keberagaman tersebut dapat dimanfaatkan sebagai media untuk saling
mengenal, saling mengisi, saling menghormati dan saling bekerjasama.
Kemudian konsep Takrim (saling menghormati). Artinya bahwa secara universal, setiap
agama di Indonesia memiliki ajaran tentang saling menghormati, termasuk saling menghormati
antar umat beragama. Konsep takrim ini direalisasikan dalam bentuk toleransi antar umat
beragama.
Selanjutnya konsep Fastabiqul Khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Perbedaan
agama di Indonesia hendaklah menjadi media bagi umat beragama untuk saling berinteraksi dan
berkompetisi dalam hal kebaikan, saling meningkatkan kualitas diri demi mencapai prestasi yang
gemilang. Konsep fastabiqul khairat tujuannya tetap satu yaitu dapat memberikan kontribusi yang
positif terhadap agama, nusa dan bangsa. Kemudian konsep husnuzhan (berbaik sangka). Konsep
husnuzhan ini diartikan dengan berfikir positif terhadap setiap aktivitas dan interaksi antar umat
beragama, tidak main hakim sendiri dan mengedepankan dialog untuk menyelesaikan masalah
yang terjadi antar umat beragama.
Terakhir konsep islah (resolusi konflik). Konsep islah ini diartikan dengan mencari titik
temu dan jalan keluar yang baik dalam setiap perselisihan antar umat beragama, karena dalam
setiap timbulnya konflik perlu ada klarifikasi dari berbagai pihak yang bersengketa dan kemudian
mencari solusi bersama. Tujuannya adalah perdamaian dan kerukunan antar umat beragama.
Kedua, integrasi pendidikan agama dalam kultur dan budaya sekolah. Sekolah merupakan
lembaga pendidikan yang diharapkan masyarakat dapat menanamkan nilai-nilai kebaikan sesuai
dengan norma yang dijunjung tinggi oleh agama dan masyarakat. Sehingga, dalam hal ini nilai-
nilai pendidikan Islam multikultural yang telah ditanamkan dapat diterapkan di lembaga
pendidikan tersebut serta melandasi perilaku, kebiasaan sehari-hari dan simbol-simbol yang
dipraktekkan oleh setiap stakeholder sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, petugas
administrasi, siswa dan masyarakat lingkungan sekolah. Pendidikan sebagai proses pembudayaan
nilai-nilai multikultural dapat dimulai pada lingkup lingkungan pendidikan, selanjutnya dapat
diterapkan pada lingkup yang lebih luas dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam
hubungan antar umat beragama di Indonesia.

KESIMPULAN

Konflik atasnama agama sering terjadi dibelahan dunia manapun, termasuk Indonesia.
Faktor penyebabnya baik dari internal maupun eksternal. Keduanya sering melupakan esensi
ajaran agama yang suci, penuh cinta aksih dan damai. Dapat dilakukan antara lain dengan
meningkatkan pemahaman secara mendalam dan komprehensip bagi semua pemeluk agama, tidak
mendikotomikan ilmu, sehingga terjadi integrasi dan interkoneksi. Dengan kata lain, kita dituntut
untuk peka dan proaktif dengan mempertimbangkan aspek lain dalam melihat konflik, yaitu aspek
historis, psikologis, budaya, dan kebutuhan masyarakat agama.

Masalah konflik antar agama dan konflik internal agama di Indonesia merupakan sebuah
masalah yang serius. Berbagai kasus konflik atas nama agama, baik antar agama maupun konflik
dalam suatu agama tertentu sering mewarnai perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Banyak
kerugian material, kerugian psikis dan korban yang berjatuhan sebagai akibat dari konflik antar
agama. Beberapa fenomena konflik yang terjadi pada saat ini, agama tidak hanya difahami sebagai
sebuah doktrin yang harus diikuti dan memberi identitas bagi pemeluknya saja, tetapi oleh
sebagian masyarakat Indonesia mengarah kepada sebuah gerakan. Agama pada akhirnya tidak
hanya merupakan suatu kebutuhan psikologis, namun juga membangun tembok pemisah dan
berakibat pada pertentangan kepentingan-kepentingan duniawi antar anggota dan komunitasagama
yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Ulya, I. (2016). Pendidikan Islam Multikultural Sebagai Resolusi Konflik Agama Di
Indonesia. Fikrah, 4(1), 20. https://doi.org/10.21043/fikrah.v4i1.1663
UhHarjuna, M. (2018). Islam dan Resolusi Konflik. Religi Jurnal Studi Agama-Agama,
14(1), 23. https://doi.org/10.14421/rejusta.2018.1401-09
Benjamin, Ikram, Susetyo, & Ratnasari, Y. (2019). KONFLIK ANTARWARGA DESA:
Analisis Simon Fisher Melalui Studi Kasus. SOSIOLOGI: Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Sosial Dan
Budaya, 21(1), 74–96.
Prasojo, Z. H., & Pabbajah, M. (2020). Akomodasi Kultural Dalam Resolusi Konflik
Bernuansa Agama Di Indonesia. Jurnal Aqlam – Journal of Islam and Plurality, 5(1), 1–28. Diakses
melalui http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/AJIP/article/view/1131/772 Pada 7 Januari
2022 pukul 13.00 WIB

You might also like