Professional Documents
Culture Documents
(TERBARU) Modul Self Resilience
(TERBARU) Modul Self Resilience
KATA PENGANTAR
Arah pembangunan SDM Aparatur ditujukan pada SDM Aparatur yang memiliki
integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik KKN,
mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan
peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, pembangunan
SDM juga diarahkan agar mampu beradaptasi terhadap perubahan global yang sangat
dinamis. Oleh karena itu, penyiapan SDM Aparatur ke depan harus diarahkan pada
peningkatan daya saing yang komprehensif baik terkait penguatan teknologi, infrastruktur,
dan sistem, maupun penguatan terhadap penguasaan pengetahuan, networking, dan
kolaborasi. Kunci keberhasilan dari semua unsur tersebut terletak pada kualitas sumber
daya manusia yang akan berperan sebagai penggerak utamanya.
Perkembangan teknologi informasi mengubah business process di segala bidang dan
menjadikan kegiatan yang semula dilakukan secara manual dapat dilakukan melalui
teknologi informasi. Penyelenggaraan pelatihan menjadi bidang yang wajib mengikuti
perkembangan teknologi. Orang tidak perlu datang ke tempat pelatihan, namun tetap dapat
mengikuti pembelajaran melalui model pembelajaran e-learning. Hal ini tentu membawa
pengaruh perubahan mindset dalam pengembangan kompetensi ASN dimana pembelajaran
jarak jauh melalui e-learning menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan.
Lembaga Administrasi Negara sebagai Instansi Pembina Pelatihan harus melakukan
berbagai penyesuaian sesuai dengan tuntutan zaman. Memenuhi tuntutan tersebut maka
perubahan mendasar dalam penyiapan kompetensi bagi Aparatur Sipil Negara telah
dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara melalui perubahan kurikulum dan bahan ajar.
Akhir kata, kami atas nama Lembaga Administrasi Negara, mengucapkan terima kasih
kepada tim penulis yang telah meluangkan waktu dan pikiran sehingga bahan ajar ini dapat
hadir di tengah-tengah Bapak dan Ibu peserta pelatihan. Kami berharap bahan ajar ini dapat
menjawab tuntutan pembelajaran dan membawa manfaat bagi pembacanya. Namun
demikian, kami menyadari bahwa bahan ajar ini masih jauh dari sempurna, maka kami
membuka lebar terhadap masukan dan saran perbaikan atas isi bahan ajar ini.
Demikian, selamat membaca. Semoga bermanfaat.
iii
DAFTAR ISI
ii
Panduan Pelatihan
Self Resilience : Ketahanan Leader mengelola stress
Taufiq Pasiak1
Deskripsi ringkas
Resiliensi adalah kapasitas dan proses dinamis untuk mengatasi stres dan
kesulitan secara adaptif sambil mempertahankan fungsi psikologis dan fisik yang
normal. Resiliensi adalah sebuah proses dinamis beradaptasi dalam menghadapi
kesulitan, trauma, tragedi, ancaman atau sumber stres yang signifikan. Kapasitas ini
memungkinkan seseorang untuk bangkit dari kesulitan, ketidakpastian dan kegagalan.
Kemampuan ini sangat dibutuhkan menghadapi dunia dan pelbagai kejadian yang
berubah dengan cepat dan cenderung menjadi sumber stres. Resiliesi diri yang baik
memungkinkan manusia menghadapi stres dengan lebih baik dan dapat dikendalikan.
Kemampuan ini sangat penting bagi seorang pemimpin yang mengelola banyak sumber
daya. Strategi mental meningkat resiliensi diri antara lain; 2) peningkatan fleksibilitas
kognitif, 2) meningkatkan hubungan (connectedness)
1
Dr.dr.Taufiq Pasiak, M.Kes., M.Pd.I., Sekjen PP Masyarakat Neurosains Indonesia, Dekan FK UPN Veteran-Jakarta.
1
Indikator Keberhasilan
1. Peserta pelatihan dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dirinya saat
berata pada situasi stres.
2. Peserta pelatihan dapat mengidentifikasi kondisi atau situasi penuh stres (stresful).
3. Peserta pelatihan dapat bangkit ketika menghadapi situasi penuh stres.
Metode Pembelajaran2
Diskusi Terfokus 90 Menemukan pokok pokok penting dari Peserta menjelaskan pokok pokok
ketahanan diri dari kisah nyata (case study) penting itu dengan menggunakan
dan story telling (pengalaman pribadi). sejumlah teori stres,
psikoneuroimunologi dan resiliensi
(Misalnya, teori Adversity Quotient)
2
durasi waktu bisa disesuaikan.
2
Dasar-dasar Teoritis.3
1. Stres Adalah respon tubuh terhadap tekanan. Sejumlah situasi atau peristiwa
kehidupan yang berbeda dapat menyebabkan stres. Stres sering dipicu ketika
seseorang mengalami (1) paparan hal yang baru, tidak terduga atau yang
mengancam rasa diri, atau (2) ketika seseorang merasa memiliki sedikit kendali
atas suatu situasi. (https://www.mentalhealth.org.uk/a-to-z/s/stress).
2. Merupakan respon tubuh (fisik, mental, sosial, spiritual) yang tidak spesifik
terhadap setiap tuntutan perubahan. Artinya, setiap faktor internal atau eksternal,
positif atau negatif, yang mengganggu keseimbangan dapat dianggap sebagai
“stres.” Meskipun stres tidak dapat dihindari, stres tidak sepenuhnya bersifat
negatif atau sesuatu yang harus dihindari secara sepihak
(https://www.brainfacts.org/diseases-and-disorders/mental-health/2018/what-is-
stress-resilience-and-can-it-be-learned-071018)
3. Setidaknya ada 45 jenis stresor yang dapat memengaruhi respon seseorang
terhadap stres. Identifikasi terhadap sumber stresor ini akan memudahkan upaya
untuk membangun resiliensi. Dikenal sebagai The Holmes-Rahe Stress Inventory
(https://www.stress.org/holmes-rahe-stress-inventory-pdf)
4. Kemampuan seseorang menghadapi kesulitan dapat diukur dengan Adversity
Quotient (AQ), secara luas dipahami dalam kosenp resiliensi (
5. resiliensi harus dilihat sebagai proses dan hasil karena kemampuan untuk
mengatasi keadaan yang merugikan sebagian merupakan hasil dari pengalaman
hidup melalui pengalaman sulit sepanjang hidup. Dengan demikian, resiliensi
bukanlah konsep yang statis, melainkan terus terakumulasi sepanjang perjalanan
hidup Ketahanan dicapai melalui pemanfaatan berbagai sumber daya internal dan
eksternal. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap stresor, kesulitan, trauma,
tragedi, ancaman, atau resiliensi dapat dilatih. Untuk melatihnya seseorang harus
berfokus pada 4 hal: connection, wellness, healthy thinking, and meaning
(https://www.apa.org/topics/resilience).
6. Spiritualitas adalah salah satu faktor yang berperanan penting dalam resiliensi.
Spiritualitas penting bagi sebagian besar populasi orang dewasa yang lebih tua dan
berfungsi sebagai faktor kunci ketahanan diri
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7743140/). Di antara orang
3
Disertakan link dari setiap pernyataan yang penting, Instruktur dapat melihat uraian lengkap ke dalam
link yang disertakan pada setiap poin.
3
dewasa yang lebih tua secara khusus, dilaporkan agama memegang kehadiran dan
pengaruh terbesar dalam kehidupan sehari-hari daripada populasi usia lainnya.4
7. Studi Ilmiah menunjukkan bahwa ada hubungan yang kompleks dan dinamis
antara spiritualitas dan resiliensi. Sebagai aspek resiliensi, spiritualitas
menyediakan kerangka kerja yang membimbing individu melalui tantangan hidup,
memfasilitasi yang positif dari yang negatif. Sejumlah studi menemukan bahwa
partisipan mengalami spiritualitas sebagai sarana atau jalan menuju
resiliensi. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa spiritualitas dan ketahanan
"terkait secara instrumental" dengan memiliki dan mempertahankan
kesejahteraan.5
Bahan Lanjut
• Rutter, M. (1993). Resilience: some conceptual considerations. J. Adolesc.
Health 14, 626–631, 690–696.
• Todd Hearton. Neuroscience of Self and Self-Regulation. Annu Rev Psychol. 2011;
62: 363–390.
• Grant H. Brenner, Daniel H. Bush, Joshua Moses editors Creating Spiritual and
Psychological Resilience, Roulege, 2010
• Committee on Private–Public Sector Collaboration to Enhance Community Disaster
ResilienceBuilding Community Disaster Resilience Through Private–Public
Collaboration. National Academic Press, 2011
4
Pickard JG, and King MD (2011). African American Caregivers Finding Resilience Trough Faith Pp. 261–
270 in Resilience in Aging: Concepts, Research and Outcomes, edited by Resnick B, Gwyther LP, and Roberto
KA Springer, Pub; San Francisco, CA. J Relig Spiritual Aging. Author manuscript; available in PMC 2020
Dec 16
5
Lidya Manning. Spiritual resilience: Understanding the protection and promotion of well-being in the
later life.
4