You are on page 1of 170

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/355477663

PESANTREN SEHAT

Book · October 2021

CITATIONS READS

0 1,260

4 authors, including:

Khilmi Ainun Nurlaili Susanti


Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
1 PUBLICATION   0 CITATIONS    12 PUBLICATIONS   38 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Doby Indrawan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
2 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Nurlaili Susanti on 22 October 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PESANTREN SEHAT
MEWUJUDKAN PESANTREN
DAN GENERASI SANTRI SEHAT

Khilmi Ainun Nadliroh


Nurlaili Susanti
Herry Darsim Gaffar
Doby Indrawan
PESANTREN SEHAT
MEWUJUDKAN PESANTREN DAN
GENERASI SANTRI SEHAT

Tim Penulis :
Khilmi Ainun Nadliroh
Nurlaili Susanti
Herry Darsim Gaffar
Doby Indrawan

Layout & Desain Cover :


Prisna Anjar Larasati

Ukuran :
169 hlm, 15.5x23 cm

ISBN :
No ISBN : 978-623-232-766-5

Cetakan Pertama :
Oktober 2021

Hak Cipta 2021, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2021 by UIN MALIKI PRESS
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

UIN MALIKI PRESS


Jalan Gajayana No.50 Malang
Website : www.malikipress.uin-malang.ac.id
Email : marketinguinmalikipress@yahoo.co.id
Telepon : 0341 573 225

iii
PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT


atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita semua masih dapat
menjalankan tugas-tugas kita dengan baik, meskipun di tengah kondisi
pandemi COVID-19 yang serba tidak menentu. Saya sangat memberikan
apresiasi yang mendalam atas terbitnya buku yang berjudul “Pesantren
Sehat, Mewujudkan Pesantren dan Generasi Santri Sehat”.

Pada tahun 2021 ini, jumlah pondok pesantren di seluruh


Indonesia ada 31.385 dengan jumlah santri sekitar 4,29 juta orang.
Seperti kita ketahui bersama bahwa usia santri merupakan usia
generasi muda yang memegang peranan sebagai agen kunci perubahan
sosial yang harus dijaga perkembangan dan potensinya. Oleh karena itu,
mewujudkan santri yang sehat adalah suatu keharusan dan perlu
mendapat perhatian dari semua pihak. Edukasi dan penerapan pola
hidup sehat sangat penting dilakukan di pondok pesantren. Mengapa
hal ini harus dilakukan? Karena pondok pesantren merupakan tempat
belajar, tempat tinggal, dan tempat berinteraksi santri secara bersama-
sama di lingkungan pesantren. Sementara itu, dapat kita lihat di
lapangan masih banyak pesantren yang memerlukan perhatian dari
berbagai pihak terkait baik dalam aspek akses pelayanan kesehatan,
berperilaku sehat, maupun aspek kesehatan lingkungan.

iv
Tentunya, untuk mewujudkan semua itu tidaklah mudah.
Menurut saya, buku “Pesantren Sehat, Mewujudkan Pesantren dan
Generasi Santri Sehat” ini dapat dijadikan sebagai salah satu panduan
oleh pihak-pihak terkait sehingga lebih terarah dalam menentukan
gerak langkahnya. Dengan demikian, tujuan untuk mewujudkan
pesantren yang sehat dapat tercapai dengan baik. Saya yakin, Indonesia
akan menjadi bangsa yang kuat, jika sumber daya manusianya sehat dan
generasi mudanya sehat. Semoga hal ini dapat menginspirasi dan
meningkatkan semangat kita semua untuk mewujudkan Indonesia sehat.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Malang, 15 Juli 2021

Prof. Dr. dr. Yuyun Yueniwati P.W., M.Kes. Sp.Rad


Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

v
PRAKATA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman ketika berada di dalam


lingkungan pesantren, penulis menaruh perhatian berupa keprihatinan,
bahwa ternyata masih banyak kekurangan di dalam pengelolaaan
pondok pesantren, baik oleh kurangnya perhatian dari warga pesantren,
masyarakat luas, maupun oleh pemerintah atas kondisi kesehatan di
lingkungan pesantren. Penulis terdorong untuk menyusun sebuah buku
referensi yang diharapkan dapat menjadi acuan dalam mewujudkan
pesantren yang bersih dan sehat.

Penulis berharap buku ini dapat menjadi pedoman lengkap guna


mewujudkan pesantren sehat oleh para pemangku kepentingan dan
pengambil keputusan selaku pimpinan pondok pesantren sebagai bekal
dalam mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren yang sehat.
Selain itu, buku ini diharapkan dapat menjadi buku referensi dan bahan
bacaan yang praktis tidak hanya untuk warga pesantren, namun juga
untuk masyarakat luas, akademisi, peneliti, dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan dengan penyelenggaraan pendirian pondok pesantren
sehat berdasarkan rujukan yang valid dan terverifikasi.

Buku ini memberikan informasi secara lengkap mengenai


pengelolaan pondok pesantren dalam bidang kesehatan meliputi

vi
kesehatan santri, kesehatan lingkungan pesantren, Pos Kesehatan
Pesantren (Poskestren), kader santri husada, pencegahan dan
pengendalian kejadian luar biasa (KLB) dan COVID-19 di pesantren,
serta pencegahan dan pengendalian penyakit yang sering terjadi di
pesantren.

Dalam buku berjudul Pesantren Sehat, Mewujudkan Pesantren


dan Generasi Santri Sehat ini materi disusun secara urut dan bertahap,
sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami isi-isi materi yang
telah disusun. Penulis sadar bahwa buku ini masih belum bisa dikatakan
sempurna. Oleh karena itu, penulis meminta dukungan dan masukan
dari para pembaca agar dapat menjadi perbaikan dari buku ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Malang, 15 Juni 2021

Penulis

vii
DAFTAR ISI
PENGANTAR.................................................................................................iv
PRAKATA......................................................................................................vi
DAFTAR ISI................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ x
DAFTAR TABEL........................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN................................................................................ xii

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1

BAB 2 EKSISTENSI LEMBAGA PONDOK PESANTREN DI INDONESIA7


2.1 Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Pondok Pesantren.......... 7
2.2 Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan di Indonesia.. 8
2.3 Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren........................................ 12

BAB 3 KESEHATAN DAN RELEVANSINYA DENGAN KEISLAMAN.... 14


3.1 Konsep Sehat dan Sakit dan Relevansinya dengan Keislaman..14
3.2 Konsep Kejadian Penyakit dan Relevansinya dengan Keislaman16
3.3 Perilaku Kesehatan dan Relevansinya dengan Keislaman.........19

BAB 4 PERMASALAHAN KESEHATAN PESANTREN...........................30


4.1 Permasalahan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Diri Santri... 31
4.2 Permasalahan Perilaku Kesehatan Lingkungan......................... 33
4.3 Permasalahan Sistem Kesehatan Pesantren............................... 35

BAB 5 MEWUJUDKAN SANTRI SEHAT.................................................. 41


5.1 Kebersihan Pribadi Santri.............................................................42
5.2. Pola Istirahat Santri......................................................................53
5.3. Pola Makan Santri.........................................................................55
5.4. Pola aktivitas fisik santri..............................................................58
5.5. Manajemen Stres.......................................................................... 61
5.6. Tidak Merokok..............................................................................64

BAB 6 LINGKUNGAN PESANTREN SEHAT............................................ 67


6.1 Bangunan Sehat Pesantren...........................................................68

viii
6.2 Penyediaan Air Bersih...................................................................81
6.3 Pengelolaan Sampah..................................................................... 84
6.4 Makanan dan Minuman Sehat Pesantren.................................... 85
BAB 7 PENYELENGGARAAN DAN PEMBINAAN POS KESEHATAN
PESANTREN (POSKESTREN)................................................................... 92
7.1 Pengertian Poskestren................................................................. 93
7.2 Pendirian Poskestren................................................................... 94
7.3 Penyelenggaraan Kegiatan.......................................................... 96
7.4 Pembinaan Dan Pengembangan................................................100

BAB 8 KADER SANTRI HUSADA...........................................................103


8.1 Pengertian Kader Santri Husada................................................103
8.2. Pembentukan Kader Santri Husada..........................................103
8.3. Keterampilan Dasar Kader Santri Husada............................... 104
8.3.1 Pertolongan Pertama Pada Kegawatan.......................... 104
8.3.2 Juru Pemantau Jentik (Jumantik)....................................110
8.3.3 Pemeriksaan Tanda Vital Kesehatan.............................. 113
8.3.4 Pengukuran Status Gizi....................................................119

BAB 9 PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEJADIAN LUAR BIASA


(KLB) DI PESANTREN............................................................................. 124
9.1 Pencegahan dan Pengendalian Kejadian Luar Biasa (KLB) di
Pesantren........................................................................................... 125
9.2 Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Pesantren......... 128

BAB 10 PENCEGAHAN DAN PENANGANAN AWAL PENYAKIT YANG


SERING TERJADI DI PESANTREN......................................................... 137
10.1 Gudik (Skabies)......................................................................... 137
10.2 Hepatitis A................................................................................. 139
10.3 Demam Berdarah...................................................................... 142
10.4 Batuk Pilek (ISPA).....................................................................143
10.5 Diare........................................................................................... 145
10.6 Sakit Mata (Konjungtivitis)...................................................... 148
10.7 Kutu Rambut (Pedikulosis Kapitis)......................................... 149

GLOSARIUM..............................................................................................153

ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Segitiga Epidemiologi........................................................ 17
Gambar 5.1 Kunci Keberhasilan Mewujudkan Santri Sehat............... 42
Gambar 5.2 Cara Mencuci Tangan Pakai Sabun.................................. 45
Gambar 6.1 Skema Lingkungan Pesantren Sehat................................ 68
Gambar 6.2 Cross ventilation................................................................ 71
Gambar 7.1 Penyelenggaraan Dan Pembinaan Pos Kesehatan
Pesantren (POSKESTREN)................................................. 101
Gambar 8.1 Skema Keterampilan Dasar Kader Santri Husada .......... 104
Gambar 8.2 Keterampilan Pertolongan Pertama Pada Kegawatan... 105
Gambar 8.3 Pertolongan Pertama Korban Tidak Sadar...................... 106
Gambar 8.4 Posisi Pemulihan Korban.................................................. 107
Gambar 8.5 Teknik Log Roll.................................................................. 108
Gambar 8.6 Pencegahan DBD dengan 3M Plus ....................................112
Gambar 8.7 Kompetensi untuk pemeriksaan tanda-tanda vital ........ 114
Gambar 9.1 Ringkasan Manajemen Penanganan Kasus COVID-19 di
Pesantren............................................................................ 135

x
DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat,


Serat, dan Air yang dianjurkan pada remaja (per orang per
hari)........................................................................................ 55
Tabel 5.2 Anjuran jumlah porsi harian untuk remaja........................ 56
Tabel 5.3 Contoh menu makanan untuk santri putri usia 13—15
tahun...................................................................................... 56
Tabel 8.1 Prosedur Pengukuran Tekanan Darah/Tensi.................... 114
Tabel 8.2 Prosedur Perhitungan Denyut Nadi.................................... 116
Tabel 8.3 Prosedur Pengukuran Suhu Badan..................................... 117
Tabel 8.4 Prosedur Perhitungan Frekuensi Pernapasan................... 118
Tabel 8.5 Klasifikasi IMT untuk anak usia 5-18 tahun....................... 121
Tabel 8.6 Standar Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Anak Laki-Laki Umur 5-18 Tahun....................................... 121
Tabel 8.7 Standar Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Anak Perempuan umur 5-18 tahun..................................... 121

xi
DAFTAR SINGKATAN

ABJ = Angka Bebas Jentik


APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ARDS = Acute Respiratory Distress Syndrome
BAB = Buang Air Besar
BAK = Buang Air Kecil
COVID-19 = Corona Virus Disease 19
CTPS = Cuci Tangan Pakai Sabun
DBD = Demam Berdarah Dengue
FIFO = First In First Out
IMT = Indeks Massa Tubuh
ISPA = Infeksi Saluran Pernapasan Akut
JUMANTIK = Juru Pemantau Jentik
KEMENKES = Kementerian Kesehatan
KIS = koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi
KLB = Kejadian Luar Biasa
KTR = Kawasan Tanpa Rokok
NAPZA = narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif
lainnya
NTU = Nephelometric Turbidity Unit
PERMENKES = Peraturan Menteri Kesehatan
PHBS = Pola Hidup Bersih dan Sehat
POSKESTREN = Pos Kesehatan Pesantren

xii
PSN = Pemberantasan Sarang Nyamuk
PUSKESMAS = Pusat Kesehatan Masyarakat
RT-PCR = Reverse Trascription-Polymerase Chain Reaction
SATGAS = Satuan Tugas
SK = Surat Keputusan
SMD = Survei Mawas Diri
UKBM = Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
UU = Undang-undang
WHO = World Health Organization

xiii
BAB 1
PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah


penduduk muslim terbanyak di dunia. Sebanyak 87% dari 258 juta jiwa
mengidentifikasi diri sebagai muslim.1 Hal ini dikarenakan begitu
pesatnya perkembangan agama Islam di Indonesia yang didukung
melalui salah satu institusi pendidikan agama Islam yakni pondok
pesantren. Pondok pesantren merupakan salah satu wadah pendidikan
agama Islam tertua di Indonesia yang lahir diperkirakan sejak 300-400
tahun yang lalu dan menyebar hingga seluruh lapisan masyarakat
muslim terutama di Pulau Jawa.2 Pondok pesantren kini telah menjadi
bagian dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia,
tampak dari banyaknya jumlah pondok pesantren telah tumbuh dan
berkembang hampir di semua daerah di Indonesia yakni berjumlah
28.518 pesantren dengan jumlah santri sebesar 4.354.245 orang.3

Pesantren merupakan sebuah komplek tempat bermukimnya para


santri yang terpisah dari kehidupan dan aktivitas masyarakat luar.
Dalam komplek tersebut berdiri bangunan untuk rumah kediaman
pengasuh, surau sebagai tempat salat para santri, bangunan sekolah
untuk para santri menimba ilmu serta asrama sebagai tempat tinggal
para santri. Umumnya seorang santri tidak hanya mencari ilmu dengan
duduk di bangku sekolah namun mereka akan menetap selama

1
bertahun-tahun di pondok pesantren bersama santri lain dibawah
bimbingan kiai dan ustaz untuk meneladani sifat beliau dalam
mengarungi kehidupan di dunia. Ratusan santri dari berbagai daerah
dengan latar belakang sosial budaya dan perilaku yang berbeda akan
mengakibatkan berbagai masalah salah satunya masalah kesehatan.

Pesantren merupakan sebuah komunitas yang warganya


berinteraksi selama 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu
serta cenderung padat penghuni, sehingga dapat menyebabkan
seringnya kontak langsung antarsantri yang dapat memudahkan proses
penularan penyakit.4 Berdasarkan hasil penelitian mengenai masalah
kesehatan di pondok pesantren di Jawa Timur menunjukkan bahwa
higienitas santri masih rendah sebagaimana penelitian Badri (2007)
tentang higienitas perseorangan santri Pondok Pesantren Walisongo
Ngabar Ponorogo yang menyebutkan bahwa 83,3% tindakan higiene
santri rendah.

Berdasarkan data klinik sanitasi Puskesmas Landasan Ulin


Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan
pada tahun 2015 didapatkan 87 dari 102 kasus skabies berasal dari
santri pondok pesantren Al Falah Putera dengan rentang usia 12-17
tahun, dan terbanyak berusia 13 tahun.5 Berdasarkan data klinik
Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah ISPA memiliki posisi urutan pertama
yaitu terdapat 231 kasus yang dialami oleh santriwati pada tahun
2014.6 Di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, didapatkan data
penyakit dari 4 Pesantren di kota tersebut bahwa diare mengalami
peningkatan dari tahun 2016 sebesar 210 dan tahun 2017 sebesar 383.7
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Pondok Pesantren
Miftahul Ulum Kalisat Jember Jawa Timur, didapatkan angka insidensi
infestasi tuma atau pedikulosis kapitis sebesar 74,6% dari 287 santri.8

2
Berbagai permasalahan kesehatan di pondok pesantren tersebut
menjadi masalah kesehatan komunitas yang membutuhkan kepedulian
dari warga pesantren itu sendiri, masyarakat, dan juga pemerintah.

Islam sebagai ajaran agama yang diajarkan di pondok pesantren


sangat memerhatikan kondisi kesehatan manusia sebagaimana ayat Al-
Qur’an dan Hadis banyak menyebutkan perintah untuk menjaga
kesehatan. Sebagai seorang muslim yang dalam kesehariannya selalu
berkutat dengan ajaran Islam, santri harus selalu menjaga kesehatan
dengan penerapan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) bahkan
mendakwahkan kepada masyarakat akan pentingnya kesehatan untuk
membantu terwujudnya Indonesia Sehat.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman ketika berada di dalam


lingkungan pesantren, penulis menaruh perhatian bahwa ternyata
masih adanya kekurangan dan kelemahan di dalam pengelolaaan
pondok pesantren atas kondisi kesehatan di lingkungan pesantren,
sehingga selaku alumni pesantren yang kini sedang melanjutkan
pendidikan di bidang kesehatan, penulis terdorong untuk menyusun
sebuah buku referensi yang diharapkan dapat menjadi acuan dalam
mewujudkan pesantren yang bersih dan sehat.

Penulis berharap buku ini dapat menjadi pedoman lengkap guna


mewujudkan pesantren sehat oleh pimpinan pondok pesantren sebagai
bekal dalam mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren yang
sehat. Penulis juga ingin menyediakan tuntunan untuk para santri dalam
menginterpretasikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) secara
baik dan benar untuk memelihara kesehatan para santri sehingga dapat
mendukung kelancaran proses belajar-mengajar. Selain itu, buku ini
diharapkan dapat menjadi buku referensi dan bahan bacaan yang
praktis tidak hanya untuk warga pesantren, namun juga untuk
masyarakat luas, akademisi, peneliti, dan pihak-pihak lain yang

3
berkepentingan dengan penyelenggaraan pendirian pondok pesantren
berdasarkan rujukan yang valid dan terverifikasi.

Buku Pesantren Sehat, Mewujudkan Pesantren dan Generasi


Santri Sehat ini dibagi ke dalam 10 Bab yang saling berhubungan satu
dengan lainnya.

Bab Pertama membahas tentang Pendahuluan yang membahas


seputar latar belakang dan tujuan yang mendasari penulisan buku ini.

Bab Kedua berisi tentang Eksistensi Lembaga Pondok Pesantren


di Indonesia meliputi Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Pondok
Pesantren, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan di Indonesia
dan Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren.

Bab Ketiga berisi Kesehatan dan Relevansinya dengan Keislaman


meliputi Konsep Sehat dan Sakit dan Relevansinya dengan Keislaman,
Konsep Kejadian Penyakit dan Relevansinya dengan Keislaman, dan
Perilaku Kesehatan dan Relevansinya dengan Keislaman.

Selanjutnya, pada Bab Keempat, dibahas mengenai Permasalahan


Kesehatan di Pesantren yang meliputi Permasalahan Perilaku
Pemeliharan Kesehatan Diri Santri, Permasalahan Perilaku Kesehatan
Lingkungan, dan Permasalahan Sistem Kesehatan Pesantren.

Bab Kelima pembahasan tentang Mewujudkan Santri Sehat yang


meliputi Kebersihan Diri Santri, Pola Istirahat Santri, Pola Makan Santri,
Pola Aktivitas Fisik Santri, Manajemen Stres, dan Tidak Merokok.

Bab Keenam mengenai Lingkungan Pesantren Sehat yang meliputi


Bangunan Sehat Pesantren, Penyediaan Air Bersih, Pengelolaan Sampah,
dan Makanan dan Minuman Sehat Pesantren

Pada Bab Ketujuh dipaparkan mengenai Penyelenggaraan dan


Pembinaan Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) yang meliputi

4
Pengertian Poskestren, Pendirian Poskestren, Penyelenggaraan
Kegiatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Indikator Keberhasilan.

Pada Bab Kedelapan dibahas mengenai Kader Santri Husada yang


meliputi Pengertian Kader Santri Husada, Pembentukan Kader Santri
Husada, dan Keterampilan Dasar Kader Santri Husada.

Bab Kesembilan pembahasan tentang Pencegahan dan


Pengendalian Kejadian Luar Biasa (KLB) di Pesantren yang meliputi
Tahap-tahap Pencegahan dan Pengendalian Kejadian Luar Biasa (KLB)
di Pesantren serta Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di
Pesantren.

Pada Bab Terakhir dipaparkan mengenai Pencegahan dan


Penanganan Awal Penyakit yang Sering Terjadi di Pesantren yaitu Gudik
(Skabies), Hepatitis A, Demam Berdarah, Batuk Pilek (ISPA), Diare, Sakit
Mata (Konjungtivitis), Kutu Rambut (Pedikulosis Kapitis).

Materi dalam buku referensi ini disusun secara urut dan bertahap,
sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami isi materi yang
telah disusun. Untuk mendapatkan pemahaman maksimal saat
menelaah buku referensi ini pembaca dapat memahami uraian materi
dengan baik dengan memerhatikan ide pokok penting untuk diterapkan
dan menarik kesimpulan dari apa yang dibaca.

DAFTAR PUSTAKA

1. USCIRF. INDONESIA. 2017;1–9.

2. Syafe’i I. Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter. Al-


Tadzkiyyah J Pendidik Islam. 2017;8:85–103.

3. Kemenag. Pangkalan Data Pondok Pesantren Kementerian Agama.


2020.

4. Sofia D, Widad S. Survey of Clean and Healthy Life Behaviour In

5
Santri Penelitian Rahadian dalam Ikhwanudin. Oksitosin.
2016;III(2):113–7.

5. Muafidah N, Santoso I, Darmiah. Hubungan Personal Hygiene


dengan Kejadian Skabies pada Santri Pondok Pesantren Al Falah
Putera Kecamatan Liang Anggang Tahun 2016. Januari.
2017;1(1):7–10.

6. Sati L, Sunarsih E, Faisya A. Correlation of the Indoor Air Quality


Santriwati Dormitory With Acute Respiratory Infection At
Raudhatul Ulum Islamic Boarding Schools and Al-Ittifaqiah Islamic
Boarding Schools in Ogan Ilir on 2015. J Ilmu Kesehat Masy.
2015;6(2):121–33.

7. Aeni S, Bujawati E, Mahdiyah D. Gambaran Determinan Kejadian


Penyakit Diare pada Santri di Pesantren Modern 1 Kota Makassar
Tahun 2018. 2018;

8. Lukman N, Armiyanti Y, Agustina D. Hubungan Faktor-Faktor Risiko


Pediculosis capitis terhadap Kejadiannya pada Santri di Pondok
Pesantren Miftahul Ulum Kabupaten Jember. J Agromedicine Med
Sci. 2018;4(2):102–9.

6
BAB 2
EKSISTENSI LEMBAGA
PONDOK PESANTREN DI INDONESIA

2.1 Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Pondok Pesantren

Kehadiran pondok pesantren diawali pada saat Wali Songo


menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa dimana kondisi masyarakat
Indonesia yang saat itu masih sangat sederhana dan banyak dipengaruhi
oleh agama Hindu sehingga Wali Songo melakukan penyebaran Islam
dengan bermodalkan kebudayaan masyarakat setempat. Strategi
penyebaran Islam tersebut sangat memudahkan penerimaan ajaran
yang diberikan, sehingga Wali Songo berhasil menyiarkan ajaran Islam
di Indonesia. Dalam era Wali Songo inilah istilah pondok pesantren
mulai muncul di Indonesia. Diawali oleh Sunan Ampel yang membangun
padepokan di Ampel Surabaya sebagai pusat pendidikan di Pulau Jawa
yang kemudian dianggap sebagai asal mula berdirinya pesantren di
Indonesia.1

Kemajuan pesantren perlahan menurun pada masa penjajahan


Belanda dan Jepang di Indonesia dikarenakan berhadapan dengan
kebijakan-kebijakan yang selalu menghambat ruang gerak pesantren.
Kolonial Belanda membuat kebijakan politik pendidikan yang memiliki
tujuan untuk menghentikan sekolah yang tidak memiliki izin.2 Pada
masa penjajahan Jepang, K.H. Hasyim Asy'ari selaku pendiri Pondok

7
Pesantren Tebuireng ditahan selama 8 bulan dikarenakan beliau sangat
menolak dan menentang ritual yang ditetapkan oleh Jepang.

Pada masa kemerdekaan, banyak tokoh pesantren turut


memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dalam merumuskan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia. Diantara tokoh pesantren yang turut
berkontribusi ialah Kiai Haji Wahid Hasyim dan Bapak Abdurrahman
Wahid.3

Pada periode Orde Baru, pesantren mendapatkan perhatian yang


besar dari pemerintah, salah satunya pendanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan pesantren. Pada periode
tersebut banyak madrasah yang dibangun hingga lahir kebijakan SKB 3
Menteri (Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan,
dan Menteri Dalam Negeri) tentang penyetaraan madrasah dengan
sekolah umum.

Pada masa Reformasi ditetapkan Undang-undang Nomor 20


Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang
mengindikasikan bahwa pemerintah mulai mengakui pendidikan di
pesantren. Ditetapkannya UU tersebut telah meniadakan diskriminasi
terhadap pendidikan di pesantren.1

2.2 Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan di Indonesia

Pesantren sebagai lembaga pengiring dakwah Islamiah di


Indonesia memiliki berbagai persepsi di kalangan masyarakat.
Pesantren dapat dipandang sebagai lembaga ritual, lembaga pembinaan
moral, lembaga dakwah, dan yang populer ialah sebagai institusi
Pendidikan Islam. Pesantren dipandang sebagai lembaga ritual karena
banyak kegiatan yang diselenggarakan pesantren yang memiliki tujuan
pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat seperti pembacaan
tahlil, istigotsah, dan sholawat bersama, peringatan hari besar Islam

8
diantaranya Halal bi Halal, Isra’ Mi’raj, Tahun Baru Hijriyah, Maulid Nabi
Muhammad Saw., dan sebagainya.

Pesantren juga dianggap sebagai lembaga pembinaan moral, hal


ini disebabkan karena pesantren selalu memberi pengarahan,
bimbingan dan pembinaan moral kepada para santrinya dan generasi
muda di masyarakat sebagai bekal masa depan generasi muda
dikemudian hari. Pembinaan moral tersebut diantaranya penanaman
kejujuran, keikhlasan, toleransi, sifat perjuangan, sifat
bertanggungjawab, serta kesadaran tentang keseimbangan dunia dan
akhirat.

Pesantren sebagai lembaga dakwah (penyiaran agama) tampak


dari elemen pesantren yakni masjid, yang dalam operasionalnya juga
dapat digunakan sebagai masjid umum, yaitu pada waktu tertentu
digunakan masyarakat umum untuk belajar agama dan beribadah. Oleh
karena itu masyarakat dapat menimba ilmu agama serta mengikuti
kegiatan keagamaan yang dapat membantu masyarakat dapat mengenal
lebih dekat ajaran agama Islam.

Berbeda dengan lembaga pendidikan nonpesantren, pesantren


memiliki elemen-elemen dalam menyelengggarakan proses pendidikan
yaitu: (1) pondok sebagai tempat tinggal santri; (2) santri sebagai
peserta didik; (3) masjid atau surau sebagai tempat ibadah dan kegiatan
pesantren; (4) kiai sebagai pimpinan; (5) kitab kuning sebagai referensi
utama dalam pendidikan keislaman.4 Konsep pemondokan atau asrama
dalam sistem pendidikan di pesantren ini yang menjadikan pesantren
dapat maju dan mampu bersaing dengan sekolah nonpesantren. Hal ini
dapat terlihat dari jebolan pondok pesantren yang tidak kalah
kualitasnya dengan lulusan sekolah umum.

Sistem pendidikan di pondok pesantren terus mengalami


perkembangan. Pada akhir abad 20, selain mengajarkan ilmu agama,

9
pesantren juga mengajarkan ilmu pengetahuan umum, bahkan muncul
pesantren yang hanya mengutamakan ilmu-ilmu tertentu. Pada era
sekarang, pondok pesantren terus melakukan perbaikan di segala
bidang, baik pada bidang kelembagaan maupun manajemennya, hal
tersebut dikarenakan perubahan dan tuntutan zaman. Melihat
perubahan-perubahan tersebut, Manfred Ziemek mengklasifikasikan
tipe persantren sebagai berikut.4

1. Tipe A yaitu pesantren yang sangat tradisional. Pesantren ini tidak


mengalami transformasi dan inovasi dalam sistem pendidikannya.
Para santri pada umumnya tinggal di rumah kiai atau di bangunan
yang terletak di sekitar rumah kiai.
2. Tipe B yaitu pesantren yang mempunyai sarana fisik yakni masjid,
rumah kiai, pondok atau asrama yang disediakan untuk para
santri. Sistem pembelajaran yang diberlakukan pada tipe
pesantren ini adalah sorogan, bandongan, dan wetonan.
3. Tipe C atau pesantren salafi yang menyelenggarakan lembaga
sekolah (Madrasah, SMP, SMA atau kejuruan), namun tidak
menghilangkan sistem pembelajaran sorogan, bandongan, dan
wetonan. Beberapa pesantren yang termasuk kelompok ini
diantaranya adalah Pesantren Tremas di Pacitan, Pesantren
Aslakul Huda di Pati, dan Pesantren Lirboyo dan Ploso yang
berlokasi di Kota Kediri.
4. Tipe D yaitu pesantren modern. Pesantren ini telah mengalami
transformasi yang cukup signifikan dalam sistem pendidikan dan
unsur kelembagaannya. Materi dan sistem pembelajaran sudah
menerapkan sistem modern. Pesantren yang termasuk tipe ini
diantaranya Pesantren Gontor, Pesantren Tebuireng, dll.
5. Tipe E yaitu pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan
formal, namun memberikan kesempatan bagi santri untuk
menempuh jenjang pendidikan formal di luar pesantren. Pada tipe

10
ini, pesantren biasanya hanya mengkhususkan ilmu-ilmu tertentu
seperti tahfidz Al-Qur’an.
6. Tipe F atau Ma’had Aly, yang biasanya terdapat pada perguruan
tinggi agama Islam contohnya ialah Ma’had Aly UIN Malang.

Karakteristik pendidikan di pondok pesantren dapat dilihat dalam


dua hal yaitu pola pendidikan dan sistem pengajaran.

1. Pola pendidikan

Pada umumnya pondok pesantren menyelenggarakan madrasah


diniyah, yaitu madrasah yang mengkhususkan diri pada
penyelenggaraan pembelajaran ilmu-ilmu agama.5 Jenjang
pendidikan yang diterapkan tidak didasarkan pada usia namun
berdasarkan kemampuan penguasaan ilmu agama. Penjenjangan
yang diterapkan ialah; ula/awaliyah (tingkat dasar), wustha (tingkat
menengah), dan ‘ulya (tingkat atas). Mata pelajaran yang diajarkan di
dalamnya antara lain Al-Qur’an (Tafsir dan Tajwid), Aqidah/Tauhid,
Hadis, Akhlak/Tasawuf, Bahasa Arab dan seperangkat ilmu alatnya
(Sharaf, Nahwu, dan Balaghah), Tarikh (Sejarah Islam), serta Fiqih.
Selain itu, juga terdapat pengelompokan peserta didik
berdasarkan gender yakni dengan pemisahan tempat duduk atau
bahkan ruang kelas antara santri laki-laki dan santri perempuan dan
pemisahan waktu belajar antara santri laki-laki dan santri
perempuan.

2. Sistem Pengajaran

Sistem pengajaran yang diterapkan di pesantren biasanya ada


dua macam yaitu sistem sorogan dan bandongan. Sistem sorogan
yaitu santri maju satu per satu di depan guru untuk mempelajari
kitab kuning atau Al-Qur’an. Sistem ini sangat cocok bagi santri
tingkat dasar karena santri akan merasakan hubungan yang dekat

11
dengan guru, serta memungkinkan seorang guru untuk menilai,
mengawasi, dan membimbing secara maksimal kemampuan santri.
Namun kelemahan sistem ini adalah kurang efisien dikarenakan
menghabiskan waktu yang cukup lama.

Sedangkan sistem bandongan atau disebut juga wetonan dengan


cara sekelompok santri menyimak dengan seksama seorang guru
yang membaca, menerjemahkan kata per kata, dan menjelaskan
makna yang terkandung dalam kitab tersebut. Kemudian santri
mempelajari kembali sendiri-sendiri di kamar masing-masing.6

2.3 Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang


bertujuan mewujudkan generasi bangsa yang berpendidikan dan
berakhlakul karimah, khususnya unggul dalam bidang keagamaan
sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah
ayat 122, yang memerintahkan umat Islam untuk memperdalam ilmu
agama.

‫َْ َّۤ َكََۤ وال هُ وْ فّْهْو ََ لفيَ وْففْهْو ا َك اِۤق ةًٌ َِلَْو ََ ََفَ َْ فّ وْ هكَّ ِفْو ََ ةٌ َّ وُْه وْ ََ اۤ ٕفِفٌَة لَيَتَفَّقُهْو ا ِفى‬
ََ ‫ال ََّ فوْ َْلفيه وْ فَُهْو ا ََْو َُّه وْ اف ََا َُ ََع وهْا افلَ وي فُ وْ لَ َعلقُه وْ ََْو ََُهْو‬

Artinya : “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi


(ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara
mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”.

Proses pendidikan di pondok pesantren yang dilakukan selama 24


jam berada di bawah bimbingan kiai, ustaz-ustazah, dan pengurus,
menjadikan santri tidak hanya mendapat materi pembelajaran saja
namun juga mempraktikkan ilmunya dalam keseharian. Pembelajaran

12
materi dan praktik ilmu inilah yang menyebabkan pondok pesantren
memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa
dikarenakan para santri sebagai putra-putri bangsa mendapat bekal
tidak hanya pengetahuan saja namun juga kebiasaan sikap dan karakter
santri serta berbagai keterampilan yang diperlukan setiap waktu dalam
melaksanakan pengabdian masyarakat.

Pondok pesantren juga memiliki tujuan mencetak santri menjadi


menjadi kader ulama/mubalig yang memiliki jiwa ikhlas, tangguh, dan
tabah dalam menyiarkan syariat Islam dan memiliki semangat
kebangsaan sehingga juga dapat menjadi pelopor pembangunan bangsa
di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mahdi A. Sejarah dan Peran Pesantren dalam Pendidikan di


Indonesia. J Islam Rev. 2013;2:1–20.

2. Qomar M. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju


Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga; 2006.

3. Herman. Sejarah Pesantren Di Indonesia. J Al-Ta’dib.


2013;6(2):145–58.

4. Syafe’i I. Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter. Al-


Tadzkiyyah J Pendidik Islam. 2017;8:85–103.

5. Anwar A. Karakteristik Pendidikan dan Unsur-unsur Kelembagaan


di Pesantren. POTENSIA Kependidikan Islam. 2016;2(2):165–82.

6. Ramli M. Karakteristik Pendidikan Pesantren; Sebuah Potret. Al


Falah. 2018;17(1):89–116.

13
BAB 3
KESEHATAN DAN RELEVANSINYA
DENGAN KEISLAMAN

3.1 Konsep Sehat dan Sakit dan Relevansinya dengan Keislaman

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan


sebagai keadaan utuh fisik, jasmani, mental, dan sosial dan bukan hanya
suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan,
definisi kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomi.1

Apabila pada tahun 1947 WHO memberikan batasan sehat hanya


pada tiga aspek, yaitu sehat dalam arti fisik, mental, dan sosial, maka
sejak tahun 1948 batasan tersebut telah ditambah dengan aspek agama
atau spiritual yang kemudian American Psychiatric Association
merumuskannya dengan “bio-psiko-sosio-spiritual”. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sehat tidak menyangkut kondisi fisik saja melainkan
harus dilihat sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur fisik, mental,
sosial, dan spiritual.

Dalam aspek biologis, kesehatan merupakan tidak adanya


kelainan pada sistem organ tubuh manusia seperti contoh gangguan
jantung, ginjal, dll. Aspek psikologis atau kesehatan jiwa menurut Karl

14
Menninger adalah kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan dapat berinteraksi dengan baik, tepat, dan bahagia.
Sedangkan berdasarkan aspek sosiologis, Parsons mengemukakan
bahwa seseorang dapat dikatakan sehat ketika ia mempunyai kapasitas
optimal dalam menjalankan peran dan tugas yang telah ia pelajari
melalui proses sosialisasi dalam masyarakat.2 Misalnya, seorang guru
dianggap sehat apabila mampu berperan sebagai guru. Aspek spiritual
juga termasuk aspek penting bagi setiap individu dikarenakan praktek
spiritual akan membantu kita dalam membedakan hal baik dan buruk,
benar dan salah, dan lain sebagainya. Sehat dalam aspek spiritual ini
maksudnya ialah manusia mempunyai keyakinan, pandangan hidup, dan
motivasi hidup yang searah dengan keyakinan yang dianutnya.

Kesehatan di mata agama Islam merupakan pemberian Allah Swt.


yang paling utama kepada manusia dikarenakan seluruh perbuatan baik
hanya akan mungkin dilakukan apabila seseorang tersebut hidup dan
sehat. Sebagai agama yang sempurna, Islam yang telah mengatur secara
rinci mengenai kesehatan dikarenakan Islam sangat menjunjung tinggi
kesehatan dan menempatkannya sebagai kenikmatan kedua setelah
iman, sebagaimana dalam hadis di bawah ini

‫الص قٌْه َْالفَ َْا ه‬


ُ ‫ََۤ َّ وُْهْو هَ ِف وي فُ َُۤ َكِف وي ةْ فَّْ الْ ف‬
‫ ف‬:َِۤ ‫َف وع َُت ف‬

Artinya: “Dua kenikmatan yang banyak manusia lalai akannya yaitu


nikmat kesehatan dan waktu luang” (H.R. Bukhari no. 5933).

Banyak orang melalaikan kenikmatan sehat, padahal nikmat sehat


adalah kenikmatan yang tak terhingga yang seharusnya selalu harus
bahkan wajib disyukuri. Orang yang tertimpa suatu penyakit tentu akan
merasa tidak nyaman dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari;
belum lagi jika harus berikhtiar mencari pengobatan, tentu orang
tersebut harus menyiapkan sejumlah uang untuk biaya pengobatan.

15
Sedangkan istilah sakit pada umumnya didefiniskan sebagai suatu
kondisi yang tidak normal pada diri seseorang. Pengertian sakit
Menurut Sarwono (1993) merupakan suatu keadaan kurang nyaman
yang dirasakan individu dan dapat menghambat aktivitasnya, baik
secara fisik dan mental sehingga tidak dapat menjalankan fungsi dan
perannya dalam masyarakat secara normal.3

Sehat dan sakit bukan sesuatu yang selalu berlawanan, melainkan


hal yang berkelanjutan dan sebagai suatu keadaan yang
berkesinambungan. Seseorang dapat memiliki penyakit namun tetap
merasa sehat untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sebaliknya ada
seseorang yang tidak menderita suatu penyakit yang spesifik, namun
mengeluh sakit atau tidak sehat.

3.2 Konsep Kejadian Penyakit dan Relevansinya dengan Keislaman

Berbeda dengan sakit, penyakit memiliki definisi sendiri. Penyakit


merupakan hal yang bersifat objektif dikarenakan dapat dilihat dari
parameter tertentu, sedangkan rasa sakit bersifat subjektif karena
merupakan perasaan yang dikeluhkan seseorang. Penyakit adalah
istilah medis yang didefinisikan sebagai gangguan fungsi tubuh yang
mengakibatkan menurunnya kapasitas seseorang.

Penyakit merupakan hasil dari ketidakseimbangan interaksi


kompleks dari tiga faktor, yaitu agen, host, dan lingkungan. Teori dasar
yang menggambarkan hubungan dari ketiga faktor tersebut dikenal
dengan segitiga epidemiologi.

16
Gambar 3. 1 Segitiga Epidemiologi

Ketidakseimbangan dan interaksi dari host, agen dan lingkungan


sangat memengaruhi terjadinya suatu penyakit. Ketiga unsur segitiga
epidemiologi tersebut dipaparkan sebagai berikut:

a. Host

Host atau penjamu ialah keadaan manusia yang sedemikan rupa


sehingga menjadi faktor risiko terjadinya suatu penyakit. Faktor ini
disebabkan oleh faktor intrinsik. Komponen dari faktor penjamu yang
dapat menjadi faktor munculnya suatu penyakit sebagai berikut:

1. Usia;
2. Jenis kelamin;
3. Ras dan suku;
4. Genetik atau hubungan keluarga;
5. Status gizi;
6. Bentuk anatomis tubuh;
7. Kondisi fisiologis tubuh;
8. Kondisi imunitas dan respon imunitas tubuh;
9. Kemampuan interaksi antara host dan agen;
10. Riwayat penyakit sebelumnya; dan
11. Gaya hidup dan kehidupan sosial host;

17
b. Agen

Agen atau pembawa penyakit dapat berupa unsur biologis yakni


mikroorganisme (virus, bakteri, protozoa, parasit, jamur), unsur nutrisi
yakni bahan makanan yang tidak memenuhi standar gizi, unsur kimiawi
yakni bahan kimia berbahaya, unsur fisika yakni benturan dan panas,
unsur psikis yakni gangguan mental, dan unsur genetik yang
berhubungan dengan herediter atau keturunan.

c. Lingkungan

Faktor lingkungan merupakan faktor ketiga yang menjadi


penyebab terjadinya suatu penyakit, hal ini dikarenakan faktor tersebut
datang dari luar atau dapat disebut sebagai faktor eksternal. Faktor
lingkungan ini dibagi menjadi:

1. Lingkungan biologis yaitu flora dan fauna.


2. Lingkungan fisik. Faktor ini dapat berasal dari keadaan tanah,
geografis, udara, air, radiasi, zat kimia atau polusi, dll.
3. Lingkungan sosial ekonomi.

Kebanyakan orang menganggap bahwa sehat merupakan


kebebasan, sedangkan sakit dipandang sebagai beban atau penderitaan.
Anggapan tersebut sangatlah tidak benar, karena Allah Swt. apabila
memberikan suatu ujian kepada hamba-Nya pasti terdapat pelajaran
atau hikmah di dalamnya. Penyakit merupakan pemberian Allah Swt.
agar setiap individu menyadari bahwa sehat merupakan anugerah yang
sangat berharga sehingga benar-benar memanfaatkan waktu untuk
melakukan kebajikan ketika dalam keadaan sehat. Jika seseorang
menderita suatu penyakit kemudian menerimanya dengan sabar, pasrah,
optimis, dan semangat, maka Allah Swt. akan memberi ampunan atas
seluruh dosanya seperti yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:

18
َُۤ‫ْ ََ وُْه ِف‬ ‫ُ ََْو َكًٌ َِ َُۤ ِةْو َََُۤ اف قَ هكتفَُ و‬
‫ْ لَُه ِفَُۤ ََ َُ ًٌََ َْ هّ فْيَ و‬ ‫َّۤ فّ وْ هّ وْلف ةْ َه ََۤ ه‬
ًٌََ‫َِ وي‬
‫َ ف‬

Artinya : “Tidak ada seorang muslim pun yang tertusuk duri, atau yang
lebih dari itu, melainkan ditulis untuknya satu derajat dan dihapus
darinya satu kesalahan.”(H.R. Muslim no. 2572).

Dalil tersebut menunjukkan bahwa sakit dalam perspektif Islam


dimaknai sebagai ujian. Allah Swt. memberi penyakit kepada manusia
untuk menebus dosa dan kesalahan sehingga manusia menjadi lebih
sabar menghadapi rasa sakit dan optimis untuk sembuh. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap kondisi psikis orang yang menderita penyakit.

3.3 Perilaku Kesehatan dan Relevansinya dengan Keislaman

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap


rangsangan dari luar untuk menjaga kesehatan secara utuh.
Terbentuknya perilaku kesehatan disebabkan oleh tiga aspek antara
lain pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan tentang kesehatan
adalah segala sesuatu yang diketahui oleh seseorang terhadap cara
pemeliharaan kesehatan. Sikap terhadap kesehatan merupakan
pendapat atau penilaian seseorang terhadap hal yang berhubungan
dengan pemeliharaan kesehatan. Sedangkan tindakan kesehatan adalah
segala aktivitas dalam rangka pemeliharaan kesehatan.

Berdasarkan teori perilaku Skinner, perilaku kesehatan


diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu: perilaku pemeliharaan
kesehatan, perilaku kesehatan lingkungan , dan perilaku pencarian dan
penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan.

19
1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance
Behavior)

Perilaku pemeliharaan kesehatan merupakan perilaku atau usaha


seseorang dalam memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit.
Perilaku ini merupakan implementasi dari rasa syukur manusia atas
kenikmatan kesehatan yang akan dimintai pertanggungjawaban di
akhirat kelak sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an Surah
At-Takatsur ayat 8 sebagaimana berikut:

ْ‫ثه قْ لَتهْؤـَله قْ ََْو ََّف ةَ َ فَْ الْق فعي فو‬

Artinya: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan”

Dalam ayat tersebut Allah Swt. memerintahkan agar kita selalu


mensyukuri nikmat-Nya terutama nikmat sehat dengan senantiasa
menjaga kesehatan diri masing-masing dikarenakan kesehatan adalah
salah satu kenikmatan yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat
nanti.

Adapun perilaku pemeliharaan kesehatan mencakup perilaku


hidup bersih dan sehat seperti yang akan dipaparkan berikut:

1) Kebersihan diri

Kebersihan diri atau yang biasa dikenal dengan personal hygiene


memiliki peran utama dalam meningkatkan kehidupan yang sehat.
Personal hygiene merupakan tanggung jawab individu untuk
meningkatkan kesehatan dan mencegah penyebaran penyakit menular,
terutama yang ditularkan melalui kontak langsung.4 Personal hygiene
meliputi kebersihan tubuh seperti mencuci tangan, mandi, menyikat gigi,
dan merawat kuku dan rambut. Anjuran perilaku hidup bersih sebagai

20
unsur penting dalam memelihara kesehatan pribadi, telah diisyaratkan
dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 108 yang berbunyi:

‫ََ ََلَى التق وّ وْى فّ وْ اَ قْ فِ ََ وْ ةَ اَ َح ق‬


ََ ْ‫ّ اَ وَ ََّه و‬ َ ّ‫َ ََّهْو ِف وي فُ اًََِّا لَ َُ وْ فِ ةّ اه‬
‫ِف وي فُه ِف وي فُ فُ ََۤ ةِ َ فقُْ وقََْ اَ وَ َقتََُِقْ وهْا َْ و ل‬
ََْ‫ّه َ فهّْق وال هُِقُ فَْ و‬

Artinya : “Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-


lamanya. Sesungguh-nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid
Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di
dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan
Sesungguhnya Allah Swt. menyukai orang-orang yang bersih”.

Dalam ayat tersebut Allah Swt. memerintahkan umat Islam untuk


menyucikan diri yang dilakukan dengan menjaga kebersihan diri seperti
mandi dan berwudu karena Allah Swt. sangat mencintai hamba-Nya
yang bersih. Dalam syariat Islam, wudu merupakan syarat sahnya salat
yang dalam pelaksanaannya terdapat hikmah yang besar bagi kesehatan.
Adapun definisi wudu ialah membersihkan bagian tubuh dengan air
bersih dan suci melalui suatu rangkaian yang dimulai dengan niat,
membasuh wajah, membasuh kedua tangan, menyapu kepala, dan
membasuh kaki.5 Adapun manfaat wudu bagi kesehatan adalah dapat
membersihkan berbagai kotoran, virus, dan bakteri yang dapat
menginfeksi berbagai bagian tubuh.6

2) Pola Makan.

Pola makan adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jenis
dan jumlah makanan untuk memertahankan kesehatan, status nutrisi,
mencegah atau membantu kesembuhan penyakit.7 Namun makanan
akan menjadi sumber penyakit bagi tubuh apabila jenis makanan tidak
sehat dikarenakan mengandung mikroorganisme atau pengaturan
jumlah makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh.

21
Agama Islam sangat memerhatikan kehalalan dan kesehatan jenis
makanan sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surah Al-
Maidah ayat 88 yang berbunyi:

‫ّه َح ول ًً ََيًَُۤ قْاَقّهْا و ل‬


‫َّ الق فَ و‬
ََ ‫ٓ اَ وَته وْ ِف هُ هّ وْ فّْهْو‬ ‫َْ هكلهْو ا فّ قُۤ َُ ََََ هُ هْ و ل‬

Artinya : “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah Swt. telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah Swt.
yang kamu beriman kepada-Nya.”

Ayat tersebut mengungkapkan bahwa Allah Swt. memerintahkan


setiap manusia untuk memakan makanan yang halal dan baik. Halal dari
aspek hukumnya sesuai apa yang diajarkan oleh syariat Islam baik dari
bahan dasar makananya maupun cara mengolah makanannya itu
sendiri. Makna makanan yang baik adalah makanan yang mengandung
gizi seimbang yang diperlukan tubuh dan tidak mengandung zat
berbahaya.

Pengaturan jumlah makanan juga merupakan hal penting dalam


pola makan. Pola makan yang diterapkan harus memiliki batasan-
batasan yaitu makan dengan porsi sesuai yang diperlukan tubuh, tidak
kekurangan dan tidak berlebihan, sebagaimana yang dicontohkan oleh
Nabi Muhammad Saw. adalah manusia hendaknya makan dengan
memenuhi lambungnya secara seimbang yaitu sepertiga untuk makanan,
sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara.8

3) Aktivitas Fisik

Menurut WHO (2010) pengertian aktivitas fisik ialah aktivitas


yang dilakukan minimal 10 menit tanpa henti. Aktivitas fisik dibagi
menjadi tiga tingkatan yaitu aktivitas fisik ringan, sedang, berat.

Salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam
dan memiliki keterkaitan dengan aktivitas fisik adalah salat. Salat

22
merupakan rangkaian ibadah dengan keteraturan yang sangat luar biasa
berupa: pengambilan air wudu, melakukan gerakan-gerakan rukun salat,
dan mengucapkan bacaan-bacaan dalam salat. Salat merupakan
kewajiban umat muslim yang dilakukan sebanyak lima waktu sehari.9
Proses pelaksanaan salat apabila dilakukan dengan gerakan tubuh yang
baik dan benar, dan sesuai tata cara yang dicontohkan Rasulullah Saw.,
tentu saja akan memberikan efek yang baik terhadap kesehatan tubuh.

Selain salat, agama Islam juga menegaskan pentingnya aktivitas


fisik berupa olahraga yang lain sebagaimana Rasulullah Saw.
menganjurkan agar para orang tua mengajarkan kepada anak-anaknya
olahraga berenang, memanah, dan berkuda dan olahraga lainnya yang
bermanfaat bagi kesehatan melalui sabdanya:

‫ََلَ هُْو ا ََ وَِْۤ ََ هك وْ ف‬


َِ ََ ْ‫ َْال َُْو ََََ الُ و‬،ََ ّ‫الَُْۤ َحٌَ َْال َْ و‬

Artinya : “Ajarilah anak-anak kalian berenang, memanah, berkuda, dan


menenun bagi anak perempuan”(H.R. Imam Al Baihaqi).

4) Tidak minum–minuman keras dan tidak menggunakan narkoba

Minuman keras adalah minuman yang di dalamnya terkandung


bahan alkohol yang apabila dikonsumsi secara terus-menerus dan
berlebihan dapat membahayakan kesehatan fisik dan kejiwaan
seseorang.. Alkohol dan narkoba merupakan zat psikoaktif yang bersifat
adiktif yaitu golongan zat yang dapat menimbulkan perubahan perilaku,
kognitif, emosi, persepsi dan kesadaran seseorang dan lain-lain dan
dapat menyebabkan ketergantungan atau kecanduan.10 Selain itu dalam
penelitian Fleischmann, dilaporkan bahwa mengonsumsi alkohol
merupakan faktor risiko terbesar ketiga di dunia dan faktor risiko
pertama di Amerika sebagai penyebab 60 jenis penyakit.11

23
Agama Islam telah menegaskan pelarangan minum minuman
keras dan penggunaan narkoba sebab dapat memabukkan dan
mudaratnya jauh lebih besar dibanding manfaatnya. Pengharaman
minum minuman keras dan penggunaan narkoba ini berdasarkan
firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 90.

َ َ‫وَوََۤقَُۤ الق فَ وََْ وا َّْه وْا افَق َُۤ وال ََ وُ هْ َْ وال َُي فوْ هْ َْ واََ و‬
ّ‫صُۤه َْ واََ وَ ََ هَ فَُو َة َّ وْ ََ َُ ف‬
ََ ‫ال قَي ووِ فْ ََِۤو تَْفُهْو ُه لَ َعلق هُ وْ َه وفلفْهْو‬

Artinya : ‘Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman


keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan
anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”

5) Pola Tidur

Beberapa ahli mengemukakan pendapat bahwa tidur dapat


memulihkan tenaga dikarenakan memberikan kesempatan untuk
proses perbaikan sistem tubuh dan proses pembuangan zat beracun
dari dalam tubuh atau disebut dengan istilah proses detoksifikasi.12

Pola tidur yang baik ialah pola tidur dengan durasi tidur yang
sesuai dengan kebutuhan menurut usia, tidur nyenyak tanpa terbangun
dikarenakan suatu hal pada saat tidur. Sedangkan pola tidur yang buruk
ialah dengan durasi tidur yang tidak mencukupi kebutuhan menurut
usia, tidur terlalu larut malam dan bangun terlalu cepat, tidur tidak
nyenyak dan sering terbangun karena suatu hal.13 Pola tidur yang buruk
dapat berpengaruh pada anak yang duduk di bangku sekolah karena
dapat menyebabkan tidak konsentrasi pada saat mengikuti pelajaran di
ruang kelas sehingga dapat mengakibatkan menurunnya prestasi siswa
tersebut.

24
Pentingnya istirahat bagi tubuh telah disebutkan dalam Al-Qur`an
Surah An-Naba’ ayat 9, Allah Swt. berfirman :

ًََُّۤۤ‫قْ ََ َع ولَْۤ َ وَْ َّ هُْو ه‬

Artinya : “dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat "

Ayat di atas menjelaskan bahwa salah satu tanda kebesaran Allah


Swt. yang dianugerahkan kepada manusia adalah tidur untuk melepas
lelah atau mengistirahatkan tubuh. Allah Swt. menciptakan alam ini
berupa terjadinya siang dan malam supaya orang-orang memerhatikan
dan membagi waktunya selama hidup di dunia seperti waktu untuk
belajar, bekerja dan beristirahat.14

6) Menghindari stres.

Stres dalam pengertian umum diartikan sebagai suatu tekanan


atau sesuatu yang terasa menekan diri individu. Sesuatu tersebut dapat
terjadi dikarenakan ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan
yang dialami individu. Stres berhubungan dengan kesehatan jiwa
seseorang atau dalam masyarakat menyebutnya sebagai kesehatan
rohani. Adapun ciri-ciri jiwa atau rohani yang sehat berdasarkan World
Health Organization (WHO) pada tahun 2008 adalah individu yang
dapat menjalankan hal berikut:

1. Menyesuaikan diri pada kenyataan meskipun kenyataan itu buruk.


2. Memiliki rasa kebebasan dari kecemasan ataupun ketegangan.
3. Memeroleh kepuasan dari apa yang diusahakan atau
diperjuangkan dalam kehidupannya.
4. Memeroleh kepuasan ketika melakukan pemberian dari pada
penerimaan.
5. Membangun hubungan yang baik dengan orang lain dan saling
memuaskan.

25
6. Memiliki perasaan kasih sayang yang besar.
7. Dapat menerima kecewaan dan meyakininya sebagai pelajaran
yang dapat berguna di kemudian hari.
8. Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang
konstruktif dan kreatif.

2. Perilaku Kesehatan Lingkungan (Environmental Behaviour)

Perilaku kesehatan lingkungan yaitu cara seseorang merespon


lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, sehingga
lingkungan tersebut tidak mengganggu kesehatannya.15 Manusia secara
ilmiah berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya yaitu manusia dapat
memengaruhi kelestarian lingkungan dan lingkungan dapat
memengaruhi keselamatan manusia yang ada di sekitarnya. Apabila
seseorang mampu mengelola lingkungan sekitarnya dengan baik, maka
lingkungan tersebut tidak akan mengganggu kesehatan orang yang
bersangkutan dan keluarganya serta masyarakat sekitar. Hendrik L.
Blum mengungkapkan bahwa faktor lingkungan memiliki kontribusi
besar yang dapat memengaruhi derajat kesehatan. Lingkungan yang
dimaksud adalah lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi dan
sebagainya.

Dalam hal perilaku kesehatan lingkungan, Islam telah dahulu


mengajarkannya yang dibuktikan dengan besarnya perhatian Nabi
Muhammad Saw. terhadap lingkungan salah satunya terhadap
kebersihan rumah dan halaman, sebagaimana sabda beliau:

َ‫يٌ َ فهّْق الْقٌََََِۤ َك فَْ ةْ َ فهّْق وال َُ َْ ََ ََ قْا ة‬ ‫َّ َ فََ ة‬ َ ‫َّ ََيَّة َ فهّْق الِقي‬ ‫اف قَ ق‬
َ‫َفهْا َه َُاُه ََۤ َِ ََ وِْفيَتَ هُ وْ َََْ ََ ََُقُهْا ِف وۤليَُهْ ف‬
َ ََِْ ََ ْ‫َ فهّْق والِه‬

Artinya : “Sesunguhnya Allah Swt. itu baik, menyukai sesuatu yang baik,
Allah Swt. itu suci (bersih) dan menyukai sesuatu yang bersih, Allah Swt.

26
itu mulia dan menyukai kemuliaan, Allah Swt. itu penderma dan
menyukai kedermawanan maka bersihkanlah teras rumahmu dan
janganlah menyerupai kaum Yahudi” (H.R. Tirmidzi no. 2723).

Lingkup perilaku kesehatan lingkungan dalam buku Etika dan


Perilaku Kesehatan antara lain:3

a. Perilaku terhadap air bersih, mencakup penyediaan air bersih


yang cukup dan memenuhi persyaratan kesehatan, penggunaan
dan pemanfaatan air bersih.
b. Perilaku yang berkaitan dengan pembuangan kotoran.
c. Perilaku yang berkaitan dengan pembuangan sampah dan limbah.
d. Perilaku yang berkaitan dengan sarana dan bangunan rumah yang
sehat mencakup pencahayaan, ventilasi, lantai, kebersihan rumah,
dll.
e. Perilaku terhadap penyediaan makanan meliputi pengolahan,
pewadahan, dan penyajian yang memenuhi prinsip higiene dan
sanitasi.
f. Perilaku terkait pemeliharaan udara bersih termasuk
menghindari pencemaran udara akibat sisa pembakaran BBM,
kebakaran hutan, dan gas beracun yang berbahaya bagi kesehatan
dan makhluk hidup lain yang dapat menyebabkan perubahan
ekosistem.
g. Perilaku terhadap pembersihan sarang-sarang vektor.

3. Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem Pelayanan


Kesehatan (Health Seeking Behavior)

Perilaku pencarian dan penggunaan sistem pelayanan kesehatan


merupakan perilaku yang mencakup upaya seseorang ketika sakit atau
kecelakaan untuk berusaha mulai dari perawatan pribadi sampai
mencari pengobatan. Notoadmojo (2014) mengatakan bahwa ketika

27
seseorang mengalami sakit maka akan memunculkan beberapa respon
yaitu tindakan mengobati diri sendiri, mencari pengobatan tradisional,
dan mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern. Setiap elemen
masyarakat mempunyai konsep sehat dan sakit yang berbeda sehingga
akan memengaruhi health seeking behavior ketika mengalami kondisi
sakit. Masyarakat pemeluk agama Islam meyakini bahwa segala
penyakit ada obatnya, hal ini memberikan dorongan kepada umat Islam
yang sakit untuk mencari obatnya dan juga dokter muslim untuk
berusaha mengobatinya. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari
Sahabat Usamah bin Suraik, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

ََ َْ ُ‫َ ََ َّ َعُه فَفَۤ ًَ اف قَ وال‬


َ َْ َ‫َ وَ ََا ًَ اف ق‬ ‫ََِ ق‬
َ ََ ْ‫َّ هّ وُ َََُْۤه لَ و‬ ‫ّف ق‬‫َََّاْهْو ا فََُۤ ََ ق‬

Artinya: “Wahai para hamba Allah Swt., berobatlah. Sebab, Allah


Swt. tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula
obatnya, kecuali penyakit tua.” (H.R. Abu Dawud no. 3855).

Hadis tersebut mengandung anjuran bahkan perintah untuk


berobat. Berobat bukanlah hal yang berlawanan dengan tawakal.
Sebagaimana halnya menolak rasa dahaga, rasa lapar, rasa dingin, dan
rasa panas dengan hal-hal yang menjadi kebalikannya, misalnya
menghadapi haus dengan minum.

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009.


Indonesia;

2. Rosmalia D, Sriani Y. Sosiologi Kesehatan. 2017. 19 p.

3. Irwan. Etika dan Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: CV. Absolute


Media; 2017.

4. Sofiana NN. Hubungan Personal Hygiene dan Kepadatan Hunian


dengan Kejadian Skabies pada Santri di Pondok Pesantren Yayasan

28
Islam Daud Kholifa Semen Magetan. Stikes Bhakti Husada Mulia
Madiun; 2017.

5. Hasanuddin. Mukjizat Berwudu untuk Penyembuhan dan


Pencegahan Penyakit. Jakarta: Qultum Media; 2007.

6. Afif M, Khasanah U. Urgensi Wudu dan Relevansinya Bagi


Kesehatan (Kajian Ma’anil Hadis) dalam Perspektif Imam Musbikin.
Riwayah J Studi Hadis. 2019;3(2):215.

7. Depkes. Pedoman Umum Gizi Seimbang. 2002.

8. Sapie MJ Bin. Konsep Pola Makan Sehat Dalam Perspektif Hadis


Dalam Kitab Musnad Ahmad. 2017;1–89.

9. Yulinar, Kurniawan E. Sports in Islamic Views. Muslim Sehat.


2011;1(1):9–11.

10. Conreng D, Waleleng BJ, Palar S. Hubungan Konsumsi Alkohol


dengan Gangguan Fungsi Hati pada Subjek Pria Dewasa Muda di
Kelurahan Tateli dan Teling Atas Manado. J e-Clinic. 2014;2(2):2–5.

11. Fleischmann A, Fuhr D, Poznyak V, Rekve D, Alwan A, Saraceno B.


Global Status Report On Alcohol And Health. Geneva: World Health
Organization; 2011.

12. Raharjo. Rahasia Keajaiban Hidup Sehat dan Berkah Rasulullah.


Yogyakarta: Araska; 2014. p. 23.

13. Roshifanni S. Risiko Hipertensi pada Orang dengan Pola Tidur


Buruk (Studi di Puskesmas Tanah Kalikedinding Surabaya). J Berk
Epidemiol. 2016;4(3):408–19.

14. Amalia. Tips Hidup Sehat dan Berkah Ala Rasulullah. Yogyakarta:
Abata Press; 2015.

15. Soemirat J. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press; 2011.

29
BAB 4
PERMASALAHAN KESEHATAN
PESANTREN

Salah satu permasalahan yang sering dihadapi pondok pesantren


di Indonesia yaitu tentang kesehatan santri yang disebabkan oleh
berbagai faktor. Salah satu penyebab munculnya masalah kesehatan di
pondok pesantren dikarenakan santri mempunyai model perilaku
mengikuti tradisi yang telah terpola dan berkembang sejak awal
berdirinya entitas pesantren. Santri memiliki perilaku yang tidak lepas
dari kesederhanaan seperti contoh tidak adanya barang dan fasilitas
mewah, bangunan pesantren dengan dinding yang rapuh dan atap-atap
langit dari anyaman bambu yang sudah mulai lapuk, bertempat tinggal
dengan banyak santri lain dalam ruangan yang tidak cukup luas, menu
makanan keseharian yang sederhana dengan lauk tahu tempe, dll.
Perilaku kesederhanaan tersebut apabila tidak diimbangi dengan
pengetahuan dan penerapan hidup sehat maka akan menyebabkan
timbulnya masalah kesehatan di pesantren diantaranya perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) yang kurang baik.1

Faktor lain yang menjadi penyebab masalah kesehatan di pondok


pesantren ialah bahwa kegiatan di pondok pesantren yang sangat padat
untuk mencari ilmu yang seringkali menyebabkan kurangnya waktu

30
untuk beristirahat, pola makan yang tidak teratur, dan aktivitas fisik
yang kurang.

Peningkatan jumlah santri setiap tahunnya juga dapat menjadi


penyebab lain masalah kesehatan di pondok pesantren. Dengan
keterbatasan pembangunan fisik, jumlah santri yang terus meningkat
dapat menyebabkan kepadatan hunian semakin tinggi dan penyediaan
air bersih yang kurang mencukupi kebutuhan bagi seluruh santri.

Faktor terpenting penyebab permasalahan kesehatan di


pesantren adalah kurang optimalnya pelayanan kesehatan dasar yang
meliputi upaya promotif (peningkatan kesehatan), preventif
(pencegahan penyakit), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif
(pemulihan kesehatan).

Berbagai hal yang diutarakan diatas dapat memicu berbagai


masalah kesehatan sebagai berikut :

4.1 Permasalahan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Diri Santri

Masalah perilaku pemeliharaan kesehatan diri santri yang


dimaksud ialah tindakan santri dalam menjaga kesehatan dan
melindungi diri dari penyakit yang meliputi menjaga kebersihan diri,
beristirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi, serta
berolahraga.2

Sebuah penelitian yang melaporkan masalah personal hygiene


santri ialah penelitian dari Sofiana (2017) yang menyatakan bahwa
sebanyak 91,7% responden di Pondok Pesantren Yayasan Islam Daud
Kholifa Semen Magetan menderita penyakit skabies yang diakibatkan
karena hampir seluruh responden (90%) mempunyai personal hygiene
yang buruk.3

31
Permasalahan kesehatan diri santri lainnya adalah buruknya pola
tidur santri sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani
(2017) yang menunjukkan bahwa sebanyak 71,1% remaja SMA di
Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta mengalami pola
tidur buruk.4

Terkait pola makan santri, mayoritas pesantren kurang


menyediakan konsumsi santri yang sehat dan bergizi. Konsumsi yang
umum disediakan pesantren adalah makanan sederhana berupa
makanan dengan menu masakan dari bahan tahu tempe, serta sayuran.
Hal ini terungkap dari studi yang dilakukan di Pondok Pesantren Yatim
At-Thayyibah Kecamatan Caringin Sukabumi yang menyimpulkan
bahwa tidak ada ahli gizi yang mengawasi asupan para santri dan
pemberian makan hanya diberikan sebanyak dua kali dalam sehari,
menu makanan yang disediakan sangat sederhana dan kurang
bervariasi. Dalam studi tersebut juga disebutkan bahwa sebanyak 75%
santri memiliki asupan protein yang kurang, 52,6% santri memiliki
asupan karbohidrat yang kurang da 46,1% santri memiliki pola makan
yang buruk.5

Mayoritas santri di pondok pesantren juga memiliki pola aktivitas


fisik yang kurang baik. Berdasarkan hasil observasi pada dua santri
putri Pesantren Roudlotul Mubtadiin Balekambang di Kabupaten Jepara
yang menyebutkan bahwa berolahraga hanyalah kegiatan yang
membuang-buang waktu saja sebab aktivitas berat sehari-harinya
seperti kegiatan kerja bakti yang dilakukan di pondok pesantren sama
saja dengan kegiatan berolahraga dikarenakan sama-sama
mengeluarkan keringat; sehingga mereka beranggapan bahwa
berolahraga adalah bukanlah suatu keharusan.6

32
4.2 Permasalahan Perilaku Kesehatan Lingkungan

Permasalahan perilaku kesehatan lingkungan di pesantren meliputi


kondisi bangunan yang kurang mendukung aspek kesehatan,
penyediaan air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan,
ketersediaan jamban/WC yang tidak memadai, sistem pengelolaan
sampah dan air limbah yang tidak sehat, pengolahan makanan dan
kebersihan dapur atau ruang makan pesantren masih jauh dari prinsip
higiene dan sanitasi makanan, serta kepadatan hunian dalam satu
kamar tidur santri.

Berdasarkan survei Febriani dkk (2016) terhadap salah satu


pesantren di Kota Banjar ditemukan bahwa dari aspek bangunan, lantai
pesantren menggunakan bahan yang belum terlalu kuat, tidak kedap air,
dan terdapat beberapa kamar dengan permukaan lantai yang tidak rata.
Dinding pesantren masih banyak yang tidak kedap air dan kotor serta
beberapa atap banyak dalam kondisi bocor. Pintu di pesantren tersebut
belum mampu mencegah binatang pengganggu untuk masuk ke dalam
ruangan, jendela belum dilengkapi gorden, dan ukuran ventilasi
tergolong sempit yang menyebabkan sirkulasi udara dalam ruangan
tidak lancar sehingga menyebabkan ruangan lembab.

Berdasarkan sebuah penelitian di Pondok Pesantren Matholiul


Huda Al Kautsar Kabupaten Pati diketahui bahwa sebanyak 5 santri
(10,9%) menyatakan bahwa ketersediaan air bersih tidak mencukupi.
Sebanyak 25 santri (54,3%) menyatakan bahwa pengurasan bak mandi
tidak dilakukan 2 kali dalam seminggu sehingga air tampak kotor dan
keruh.8

Penyediaan jamban, pengelolaan sampah, dan limbah pesantren


yang kurang baik seperti pada laporan penelitian Mahardika (2017)
mengenai sanitasi pesantren di 24 pesantren di Kota Kudus yang
menyimpulkan bahwa sebanyak 50% pesantren kurang memerhatikan

33
pengelolaan jamban yang tampak dari mayoritas jamban mereka kotor,
jumlah jamban yang tidak sebanding dengan banyaknya jumlah santri,
tidak tersedia pembersih pada setiap WC, lantai yang tidak permanen
dan licin, dan sering kali ditemukan serangga atau vektor.

Berdasarkan hasil observasi pada tahun 2013 di Pondok Pesantren


Darul Abrar Kabupaten Bone, terdapat beberapa ruangan yang tidak
tersedia tempat sampah, tempat sampah yang digunakan tidak memiliki
penutup, sampah basah dan sampah kering tidak dipisah, dan tempat
sampah dibiarkan penuh bahkan dibiarkan begitu saja berserakan
disekitar tempat sampah.2

Berdasarkan studi di Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar,


Paciran, Lamongan, 100% bangunan asrama memiliki kondisi saluran
pembuangan air limbah yang kurang baik dikarenakan ada peresapan
yang tidak tertutup dan disalurkan ke saluran umum.10

Pengelolaan makanan di pesantren juga seringkali menjadi kurang


baik seperti hasil observasi pada dapur di Pondok Pesantren Miftahul
Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar yang menyebutkan bahwa dapur
pesantren tertutup dan tidak memiliki alat pengeluaran udara panas,
tidak memiliki sungkup asap, dan tidak tersedianya fasilitas ruang
makan.7

Mayoritas pondok pesantren di Indonesia mengalami masalah


tingginya kepadatan hunian. Kamar yang disediakan sebagai hunian
santri tidak mencukupi sebagai tempat tinggal santri karena semakin
meningkatnya jumlah santri yang masuk. Kepadatan hunian yang ideal
adalah sebesar ≥4 �2 /orang sementara salah satu pesantren di
Kabupaten Pasuruan dihuni rata-rata sebesar 1,51 �2 /santri dalam satu
kamar.11

34
4.3 Permasalahan Sistem Kesehatan Pesantren

Permasalahan sistem dan fasilitas kesehatan pesantren juga tak


kalah penting. Umumnya apabila ada santri yang merasa sakit ia
berusaha mengobati dirinya sendiri. Apabila dirasa penyakitnya ringan
saja yang mungkin akibat kelelahan maka santri melakukan pengobatan
hanya dengan tidur-tiduran saja di kamar. Adapula yang
menghadapinya dengan membeli obat sendiri di koperasi pondok
pesantren atau di apotek. Kemudian, jika ternyata masih sakit juga
setelah, maka santri dibawa ke poskestren (Pos Kesehatan Pondok
Pesantren) untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter
yang sedang bertugas. Tidak semua pondok pesantren memiliki
Poskestren, sehingga apabila ada santri yang membutuhkan pengobatan
maka diantar oleh pengurus ke pelayanan kesehatan seperti Puskesmas
atau Rumah Sakit terdekat.

Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) merupakan sistem yang


melayani kesehatan warga pondok pesantren. Namun dalam
pelaksanaannya masih banyak terdapat kendala. Hal ini dapat
dibuktikan melalui studi Nasrullah (2016) pada salah satu pesantren di
Kota Padang yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan Poskestren belum
mampu mewujudkan tujuan Poskestren sebagaimana diatur dalam
Permenkes tersebut. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya antara
lain ialah: belum adanya administrasi yang representatif, belum adanya
pendanaan yang mencukupi, belum adanya pelaporan, dan dokumentasi
kegiatan yang lengkap.12

Hal senada dengan studi yang dilakukan oleh Wijaya & Adriansyah
(2018) tentang Manajemen Poskestren di Pesantren Al-Fitrah Surabaya
yang memaparkan bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi
pesantren dalam menjalankan program Poskestren, seperti misalnya:
proses pembelajaran di pesantren yang cukup padat sehingga pengelola
Poskestren tidak dapat fokus untuk menjalankan program-programnya

35
dan belum tersedianya sumber daya manusia yang relevan dengan
fungsi Poskestren.

Berbagai permasalahan kesehatan pesantren diatas menyebabkan


penyakit di pesantren sulit teratasi. Adapun penyakit-penyakit yang
sering ditemukan di pondok pesantren antara lain gudikan (Skabies),
Hepatitis, Demam Berdarah, Batuk pilek (ISPA), Diare, Sakit Mata
(Konjungtivitis), Infestasi Tuma (Pedikulosis Kapitis), dll. Hal ini
dibuktikan berdasarkan data klinik sanitasi Puskesmas Landasan Ulin
Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan
pada tahun 2015 didapatkan kasus skabies sebanyak 102 kasus, yang
mana 87 kasus berasal santri pondok pesantren Al Falah Putera.14

Pada tahun 2012 berdasarkan laporan surveilans Kabupaten Ciamis,


kejadian luar biasa (KLB) Hepatitis A di Kabupaten Ciamis sudah
mencapai 218 kasus. Salah satu tempat kejadian luar biasa hepatitis A
adalah di Pondok Pesantren X yang sebanyak 40 santri dinyatakan
positif terinfeksi Virus Hepatitis A.15

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) juga merupakan penyakit


dengan angka kejadian cukup tinggi di pondok pesantren. Berdasarkan
data klinik Pondok Pesantren Raudhatul Ulum penyakit ISPA memiliki
posisi urutan pertama yaitu terdapat 178 kasus yang dialami oleh
santriwati pada tahun 2014. Pada Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah juga
merupakan penyakit dengan posisi urutan pertama yaitu terdapat 231
kasus yang dialami oleh santriwati.16

Penyakit yang sering terjadi di pondok pesantren lainnya ialah sakit


diare yang merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di negara berkembang. Pada tahun 2016 Provinsi
Sulawesi Selatan menempati posisi ke-4 tertinggi penyakit diare yaitu
sebesar 8,1% dan Kota Makassar merupakan kota dengan penderita
diare terbanyak yaitu sebanyak 22.052.17 Berdasarkan penelitian pada

36
pesantren di Kota Makassar, diare mengalami peningkatan dari tahun
2016 sebesar 210 dan tahun 2017 sebesar 383 penderita.18

Konjungtivitis adalah penyakit mata yang dapat terjadi pada orang


dewasa dan anak-anak. Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan tahun
2012 pada Pondok Pesantren Tradisional Al-Qodrin ditemukan 14 kasus
penyakit mata. Infeksi pada mata menduduki peringkat ke 3 setelah
penyakit infeksi saluran napas atas dan infeksi kulit di pondok
pesantren.

Angka kejadian penyakit kutu rambut atau pedikulosis kapitis


dimulai dari ratusan hingga jutaan kasus di seluruh dunia. Kejadian di
Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kota Yogyakarta
didapatkan sebanyak 19,6% anak-anak menderita pedikulosis kapitis.19
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Pondok Pesantren
Miftahul Ulum Kalisat Jember, didapatkan angka kejadian penyakit kutu
rambut sebesar 74,6% dari 287 santri.20

Pembahasan lebih dalam terkait definisi penyakit, penyebab, gejala


yang dikeluhkan, penanganan awal dan pencegahan penyakit Skabies,
Hepatitis, Batuk Pilek (ISPA), Demam Berdarah, Diare, Sakit Mata
(Konjungtivitis), dan Infestasi Tuma (Pedikulosis Kapitis) terdapat
dalam Bab 10 yaitu Pencegahan dan Penanganan Awal Penyakit yang
Sering Terjadi di Pesantren.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikhwanudin A. Studi Deskriptif Perilaku Pemeliharaan Kesehatan,


Pencarian dan Penggunaan Sistem Kesehatan dan Perilaku Kesehatan
Lingkungan di Pondok Pesantren. Jurnal Sosial dan Politik.
journal.unair.ac.id; 2013.

2. Rosmila R. Sanitasi dan Perilaku Personal Hygiene Santri Pondok

37
Pesantren Darul Abrar Kab. Bone Tahun 2013. repositori.uin-
alauddin.ac.id; 2013.

3. Sofiana NN. Hubungan Personal Hygiene dan Kepadatan Hunian


dengan Kejadian Skabies pada Santri di Pondok Pesantren Yayasan
Islam Daud Kholifa Semen Magetan. STIKES Bhakti Husada Mulia
Madiun; 2017.

4. Rahmadani O. Hubungan antara Pola Tidur terhadap Tekanan Darah


pada Remaja SMA di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta. Naskah Publ. 2017;1–10.

5. Nurwulan E, Furqan M, Debby ES. Hubungan Asupan Zat Gizi, Pola


Makan, dan Pengetahuan Gizi dengan Status Gizi Santri di Pondok
Pesantren Yatim At-Thayyibah Sukabumi. Argipa. 2017;2(2):hal. 65-
74.

6. Bakharudin M. Survei Pendapat Pentingnya Berolahraga Santri


Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadiin Balekambang Kabupaten
Jepara. Universitas Negeri Semarang; 2019.

7. Febriani A, Suryana D, Puspitaningrum A, Calabro R. Gambaran


Ketersediaan Sanitasi Dasar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-
Azhar Citangkolo Desa Kujangsari Kota Banjar Tahun 2016. Jakarta;
2016.

8. Mayrona CT, Subchan P, Widodo A, Lingkungan S. Pengaruh Sanitasi


Lingkungan Terhadap Prevalensi Terjadinya Penyakit Scabies di
Pondok Pesantren Matholiul Huda Al Kautsar Kabupaten Pati.
Diponegoro Med J (Jurnal Kedokt Diponegoro). 2018;7(1):100–12.

9. Mahardika D. Studi Deskriptif Higiene Sanitasi Pondok Pesantren di


Kecamatan Kota Kabupaten Kudus. Pros HEFA. 2017;110–5.

10.Adriansyah AA. Keterkaitan Antara Sanitasi Pondok Pesantren


dengan Kejadian Penyakit yang Dialami Santri di Pondok Pesantren
Sunan Drajat. 2017;01(01):4–12.

11.Kuspriyanto. Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Sehat

38
Santri Terhadap Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Kabupaten
Pasuruan Jawa Timur. J Geogr. 2013;11(21):64–73.

12.Nasrullah. Pelaksanaan Manajemen Poskestren di Pondok Pesantren


Darul Funun El-Abbasiyah Padang Japang. J al-Fikrah.
2016;4(2):237–47.

13.Wijaya S, Adriansyah AA. Analisis Pelaksanaan Manajemen Pos


Kesehatan Pesantren (Poskestren) (Studi Di Pondok Pesantren
Assalafi Al Fitrah Kedinding, Kota Surabaya). Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya; 2018.

14.Muafidah N, Santoso I, Darmiah. Hubungan Personal Hygiene dengan


Kejadian Skabies pada Santri Pondok Pesantren Al Falah Putera
Kecamatan Liang Anggang Tahun 2016. Januari. 2017;1(1):7–10.

15.Sumarni, I. et al. Kondisi Kesehatan Lingkungan Pesantren dan


Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Siswa dengan Kejadian Hepatitis
Boarding School. J Kesehat Masy Nas. 2014;9(2):179–86.

16.Sati L, Sunarsih E, Faisya A. Correlation of the Indoor Air Quality


Santriwati Dormitory With Acute Respiratory Infection At Raudhatul
Ulum Islamic Boarding Schools and Al-Ittifaqiah Islamic Boarding
Schools in Ogan Ilir on 2015. J Ilmu Kesehat Masy. 2015;6(2):121–33.

17.Kementerian Kesehatan RI. Situasi Diare di Indonesia. J Bul Jendela


Data Inf Kesehat. 2015;2:1–44.

18.Aeni S, Bujawati E, Mahdiyah D. Gambaran Determinan Kejadian


Penyakit Diare pada Santri di Pesantren Modern 1 Kota Makassar
Tahun 2018. 2018;

19.Anggraini A, Anum Q, Masri M. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan


Personal Hygiene terhadap Kejadian Pedikulosis Kapitis pada Anak
Asuh di Panti Asuhan Liga Dakwah Sumatera Barat. J Kesehat
Andalas. 2018;7(1):131.

20.Lukman N, Armiyanti Y, Agustina D. Hubungan Faktor-Faktor Risiko


Pediculosis capitis terhadap Kejadiannya pada Santri di Pondok

39
Pesantren Miftahul Ulum Kabupaten Jember. J Agromedicine Med Sci.
2018;4(2):102–9.

40
BAB 5
MEWUJUDKAN SANTRI SEHAT

Untuk mewujudkan pesantren sehat tidak hanya menjadi


tanggung jawab pengelola pesantren saja, namun merupakan tanggung
jawab bersama yakni seluruh warga pesantren khususnya para santri.
Santri sebagai pelajar yang berkutat dalam ilmu agama yang dibawa
oleh Rasulullah Muhammad Saw. -suri tauladan yang telah memberikan
contoh yang sangat baik dalam menjalankan pola hidup sehat-
seyogyanyalah selalu meneladani pola hidup sehat beliau dengan
menerapkan pola hidup dan bersih sehat dalam keseharian di pesantren.

Bab ini memaparkan anjuran pola hidup sehat dan bersih dalam
rangka memelihara kesehatan diri santri. Komponen pemeliharaan
kesehatan diri santri akan memberikan hasil yang cukup baik apabila
dilaksanakan secara benar dan berkesinambungan, yang dapat disimak
pada gambar di bawah ini.

41
Gambar 5. 1 Kunci Keberhasilan Mewujudkan Santri Sehat

Selain itu, guna mendukung dalam rangka mewujudkan santri


sehat diperlukan pengembangan kebijakan dari pengelola pesantren
yang berwawasan sehat. Strategi kebijakan ini mempunyai karakteristik
berupa kebijakan yang berpihak pada kesehatan dan memiliki dampak
positif pada kesehatan santri. Kebijakan pesantren tersebut dapat
berupa upaya promotif (kegiatan peningkatan kesehatan) dan preventif
(kegiatan pencegahan penyakit) demi terwujudnya pemeliharaan
kesehatan diri santri secara optimal. Untuk menegaskan hal tersebut,
pada setiap subbab penulis akan menambahkan rekomendasi-
rekomendasi terkait kebijakan berwasasan sehat yang dapat diterapkan
di lingkungan pesantren dalam rangka upaya meningkatkan
pemeliharaan kesehatan diri santri.

5.1 Kebersihan Pribadi Santri

1) Kebersihan Badan

Islam merupakan agama fitrah yang sangat menganjurkan


pemeluknya untuk selalu hidup bersih dan sehat. Agama Islam telah

42
mengajarkan kepada umatnya mengenai sunah-sunah fitrah
sebagaimana dikutip dari hadis berikut, yang diriwayatkan oleh Aisyah
Ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

‫ُ وال َُۤ فَ َََّْق‬ ‫ُ َْاف وَفَۤ هَ اللَْو يَ فٌ َْال َْ َْا ه‬


‫ُ َْا وّتف وْ ََۤ ه‬ ‫ُۤ ف‬‫ِ َْ فَ ََّق ال قَ ف‬ ‫ََ وَ ةْ فّ وْ والفف و‬
َ‫ّ وال َعََۤ فٌ َْا وَتفَُّۤه وال َُۤ فَ ََۤ َِ ََ َك فَْقۤ ه‬
‫اإِف فِ َْ َح ول ه‬
‫ٌ وف‬ ‫ُۤ َْ ََ وْ هّ والَُ َْ ف‬
‫اَ فْ َََْ وت ه‬ ‫ْفَ ف‬‫واأَ و‬

َ َُ ‫َۤ َََْ اف قَ ََ وَ ََ هََُْ وال ََُو‬


َ ٌَ ‫يْ وال َع ف‬
‫ََۤ َِ هّصو َعّة ََْ فَْ ه‬

“Ada sepuluh macam fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot,


bersiwak, istinsyak (menghirup air ke dalam hidung), memotong kuku,
membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan,
istinjak (cebok) dengan air.” Zakaria berkata bahwa Mu’shob berkata,
“Aku lupa yang kesepuluh, aku merasa yang kesepuluh adalah berkumur.”
(Hadis riwayat Muslim No. 261, Abu Daud No. 52, At Tirmidzi No. 2906, An
Nasai 8/152, Ibnu Majah No. 293).

Meskipun dalam hadis yang disebutkan sepuluh hal, namun sunah


fitrah tidaklah terbatas pada kesepuluh perkara itu. Sabda Nabi
Muhammad Saw. di atas menunjukkan bahwa beliau sangat peduli
terhadap kebersihan badan, yakni meliputi beberapa hal berikut.

a. kebersihan kulit
b. cuci tangan pakai sabun (CTPS)
c. kebersihan rambut
d. kebersihan kuku
e. kebersihan gigi dan mulut
f. kebersihan telinga
g. kebersihan hidung
h. kebersihan alat kelamin

43
a. kebersihan kulit

Kulit yang sehat yaitu kulit yang selalu bersih, halus, tidak ada
bercak-bercak merah, tidak kaku dan lentur/lunak (fleksibel). Kulit
yang sehat akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik sehingga
perlu dirawat. Cara paling utama untuk menjaga kesehatan kulit santri
adalah pembersihan badan dengan cara santri wajib mandi dua kali
sehari yaitu pagi dan sore dengan menggunakan sabun dan air yang
bersih, jernih, dan tidak berbau; serta selalu melakukan pembersihan
dengan cermat pada semua bagian tubuh khususnya bagian ketiak,
lipatan paha, kelamin, dan telapak kaki.

Salah satu ketentuan dalam kebijakan pesantren dalam upaya


mengontrol santri dalam menjaga kebersihan kulitnya ialah:

(a) Ustaz/ustazah pendamping santri menanyakan dan memantau


santri secara rutin: apakah terdapat keluhan gatal-gatal, bentol-
bentol, dan masalah kulit lainnya. Apabila ditemukan santri yang
mengalami masalah kulit, maka segera dilaporkan kepada
penanggung jawab kesehatan pesantren.

b. cuci tangan pakai sabun (CTPS)

Prinsip penting ketika mencuci tangan antara lain yakni dilakukan


dengan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir selama 40—
60 detik. Tata cara mencuci tangan pakai sabun dengan mengikuti
semua langkah yang dianjurkan terbukti efektif mematikan kuman
penyakit.1

Cara mencuci tangan pakai sabun (CTPS) yang benar meliputi 11


(sebelas) langkah berikut:

44
Gambar 5. 2 Cara Mencuci Tangan Pakai Sabun

Adapun waktu-waktu penting untuk melakukan cuci tangan pakai


sabun (CTPS), yaitu:

(1) Sebelum, selama, dan setelah menyiapkan makanan.


(2) Sebelum dan sesudah makan.
(3) Sesudah buang air besar dan menggunakan toilet.
(4) Setelah bersin dan batuk.
(5) Sebelum menyentuh mata, hidung, dan mulut.
(6) Setelah menyentuh permukaan benda termasuk gagang pintu,
meja, dll.

45
(7) Sebelum dan sesudah merawat seseorang yang sedang muntah
atau diare.
(8) Sebelum dan sesudah merawat luka.
(9) Setelah menyentuh hewan, pakan ternak, atau kotoran hewan.
(10) Setelah menyentuh sampah.
(11) Jika tangan terlihat kotor atau berminyak.

c. kebersihan rambut

Rambut adalah bagian tubuh yang paling banyak mengandung


minyak. Oleh karena itu, kotoran, debu, dan asap mudah melekat,
sehingga dengan demikian pencucian rambut adalah suatu keharusan.
Rambut yang sehat yaitu tidak mudah rontok dan patah, tidak terlalu
berminyak, tidak terlalu kering, tidak berketombe dan tidak berkutu.

Untuk menjaga kebersihan rambut kepala, hendaknya mencuci


rambut kepala minimal dua kali dalam seminggu menggunakan air
bersih dan sampo yang cocok dengan kondisi rambut kepala masing-
masing. Rambut yang tidak terlalu panjang sangat membantu dalam
menjaga kebersihan rambut, sehingga hendaknya santri menjaga
rambutnya agar tidak terlalu panjang. Sebelum menggunakan kerudung
bagi santri putri dan peci/kopiah/songkok bagi santri putra, dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari terutama dalam proses pembelajaran
seyogyanya selalu memastikan rambutnya berada dalam kondisi kering
untuk mencegah keadaan kepala yang lembab. Demikian pula
diharapkan sebaiknya tidak menggunakan tempat tidur bersama dan
bantal yang sama. Santri juga dilarang pinjam-meminjam barang yang
dikenakan pada kepala, seperti: kerudung, ciput, peci, topi, sisir, bando,
kuncir rambut, dan aksesoris rambut lainnya.

Selain rambut pada kepala juga terdapat rambut-rambut halus


seperti pada bagian kumis, ketiak dan sekitar kemaluan, yang telah
disunahkan oleh Rasulullah Saw. untuk mencabut atau memotongnya

46
apabila dirasa telah panjang; sebagaimana beliau menganjurkan dan
memberi ketentuan untuk memotong atau mencukur ialah maksimal 40
hari.

ََ َ‫ّ وال َعََۤ فٌ ََ و‬


‫اإِ فوِ َْ َح ول ف‬
‫ٌ ف‬‫ُۤ َََْ وت ف‬ ‫ُ َََْ وّلف فيْ اأَ و‬
‫ْفَ ف‬ ‫ُۤ ف‬ ‫هَََْْ لََْۤ ِفى َََّ ال قَ ف‬
ًٌَ‫ُ ََ وكَِ َْ فّ وْ ََُو َِ فعيَْ لَ ويل‬
َ ْ‫ََ وت ه‬

Artinya : “Kami diberi batasan dalam memendekkan kumis, memotong


kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, agar tidak
dibiarkan lebih dari 40 hari” (H.R. Muslim No. 258).

Salah satu ketentuan dalam kebijakan pesantren sebagai upaya


mengontrol santri dalam menjaga kebersihan rambutnya ialah:

(a) Ustaz/ustazah pendamping santri melakukan pemeriksaan


kebersihan atas rambut kepala yang telah panjang kepada seluruh
santri setiap bulan. Apabila ditemukan santri memiliki kutu rambut
segera melapor ke penanggung jawab kesehatan pesantren.

d. kebersihan kuku

Kuku jari tangan maupun kuku jari kaki harus selalu terjaga
kebersihannya dikarenakan kuku yang panjang apalagi kotor dapat
menjadi sarang kuman penyakit yang dapat menular kepada orang lain
melalui jalan persentuhan, berjabat tangan, atau memberikan makanan
dan minuman. Oleh karena itu santri hendaknya memotong kuku tangan
dan kaki minimal sekali dalam seminggu. Salah satu ketentuan dalam
kebijakan pesantren sebagai upaya mengontrol santri dalam menjaga
kuku tangan dan kaki tetap bersih dan pendek ialah:

(a) Ustaz/ustazah melakukan pemeriksaan kuku santri setiap hari


Senin.

47
e. kebersihan gigi dan mulut

Kesehatan gigi dan mulut merupakan hal penting bagi kehidupan


sehari-hari setiap orang, dikarenakan mulut tidak hanya sebagai pintu
masuk makanan dan minuman, namun memiliki peran penting dalam
sistem pencernaan makanan, estetik, dan komunikasi. Adapun beberapa
hal yang cukup penting untuk diperhatikan sebagai langkah
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut bagi santri, antara lain:

(1) Menghindari makanan yang manis dan lengket.


(2) Menggosok gigi dengan cara yang benar dan menggunakan
pasta gigi mengandung fluor, minimal dua kali sehari, pagi
setelah sarapan dan malam sebelum tidur.
(3) Memeriksakan kesehatan gigi dan mulut secara berkala di
Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren).
(4) Menghindari makan- makanan yang terlalu dingin atau
terlalu panas.
(5) Menghindari kebiasaan buruk dan pengaruh yang tidak baik,
seperti: memangur gigi, merokok, meminum minuman
beralkohol/ narkoba (berupa obat berbahaya bagi kesehatan)
kebiasaan menggigit-gigit alat tulis pensil dll.2

Beberapa ketentuan dalam kebijakan pesantren sebagai upaya


mengontrol dalam menjaga kebersihan gigi dan mulut santri, antara lain
sebagai berikut:

(a) Pemeriksaan gigi dan mulut setiap 6 bulan oleh petugas


kesehatan pesantren atau pengurus Poskestren.
(b) Pihak penyedia makanan di lingkungan pesantren
menyediakan makanan yang tidak terlalu keras, tidak terlalu
lengket dan manis.

48
(c) Pengurus pesantren bagian perlengkapan/ logistik juga dapat
menyediakan satu jenis pasta gigi yang mengandung flour
untuk seluruh santri.

f. kebersihan telinga

Menjaga kesehatan telinga dapat dilakukan dengan pembersihan


yang berguna untuk mencegah infeksi telinga. Pembersihan telinga
dapat dilakukan pada saat mandi menggunakan handuk dengan
membasuh daun telinga secara memutar dan mengelilinginya hingga ke
liang telinga luar.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga


kesehatan telinga.

(1) Tidak mengorek-ngorek telinga dengan cotton buds (kapas


lidi) secara keras karena dapat mencederai liang telinga.
(2) Membiasakan mengunyah makanan degan benar sebagai
salah satu mekanisme alamiah tubuh untuk mengeluarkan
kotoran telinga.
(3) Apabila merasa kemampuan pendengaran menurun, segera
melapor ke penanggungjawab kesehatan pesantren untuk
diperiksa oleh dokter THT (Telinga Hidung Tenggorokan)
atau mendapat pengobatan.

g. kebersihan hidung

Untuk menjaga kebersihan hidung dapat dilakukan dengan


mengangkat kotoran hidung secara lembut menggunakan tisu yang
lembut. Tidak dianjurkan mengeluarkan kotoran secara kasar
dikarenakan mengakibatkan tekanan yang dapat mencederai mukosa
hidung.

49
Islam memiliki cara tersendiri dalam upaya membersihkan
hidung, yakni mensyariatkan istinsyak (menghirup air ke dalam hidung
kemudian mengeluarkannya) sebanyak tiga kali setiap kali berwudu.
Salah satu hikmah disunahkannya istinsyak adalah membersihkan
hidung dari kotoran dan kuman penyakit yang berada dalam hidung.

h. kebersihan alat kelamin luar

Seperti diketahui bahwa sebagian besar santri di pesantren


merupakan kalangan anak yang baru memasuki masa remaja atau masa
pubertas. Masa pubertas ditandai dengan menstruasi dan banyak terjadi
perubahan baik fisik maupun psikis. Upaya kesehatan reproduksi
remaja baik pada santri putri maupun santri putra yang perlu dilakukan
adalah pemberian informasi kesehatan reproduksi/alat kelamin luar
sedini mungkin.

Alat kelamin luar merupakan salah satu organ tubuh yang sensitif
dan perlu perawatan khusus. Adapun prinsip perawatan alat kelamin
luar sehari-hari bagi santri putri yakni vagina dan bagi santri putra
yakni penis dan skrotum, yaitu sebagai berikut:

(1) Cuci tangan sebelum menyentuh alat kelamin luar.


(2) Menyiram terlebih dahulu area kloset terutama yang
menggunakan kloset duduk sebelum menggunakan untuk
buang air kecil dan buang air besar.
(3) Membersihkan alat kelamin luar dari arah depan ke belakang
(4) Mengeringkan alat kelamin luar dengan menggunakan tisu
atau handuk yang bersih.
(5) Mengganti celana dalam 2—3 kali sehari dengan celana
dalam yang bersih dan berbahan katun yang mudah
menyerap keringat.
(6) Menjaga kebersihan rambut yang tumbuh di sekitar alat
kelamin luar. Tidak mencabut rambut tersebut karena lubang

50
bekas tumbuh rambut akan menjadi jalan masuk bakteri yang
menyebabkan infeksi. Perawatan rambut di sekitar alat
kelamin luar ini cukup dipendekkan dengan cara
menggunakan gunting atau alat cukur minimal 7 hari sekali
dan maksimal 40 hari.

Adapun cara menjaga kebersihan alat kelamin luar (vagina) bagi


santri putri selama menstruasi/haid, yaitu:

(1) Memilih pembalut wanita yang nyaman dan dapat menyerap


banyak cairan menstruasi, cocok dengan kulit (tidak alergis),
dan dapat merekat kuat pada celana dalam.
(2) Mengganti pembalut wanita 4—5 kali sehari atau minimal 3
jam sekali.
(3) Mengonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang.
(4) Mencuci tangan setiap selesai mengganti pembalut wanita .
(5) Tetap mandi dan mencuci rambut saat menstruasi.

2) Kebersihan Pakaian

Pakaian merupakan alat yang berfungsi untuk melindungi kulit


dari kotoran dan kuman penyakit. Pakaian harus dijaga kebersihannya
dikarenakan pakaian yang kotor tidak lagi menjadi pelindung bagi
tubuh, namun justru malahan menjadi sumber penyakit pada kulit
tubuh. Pakaian yang dimaksud meliputi: kemeja, rok, celana, pakaian
dalam, kaos kaki, kerudung dan lain-lain. Beberapa hal penting yang
perlu diperhatikan oleh santri dalam hal pakaian, antara lain:

(1) Mengganti pakaian dan mencuci sendiri pakaiannya setiap


hari dan menjemurnya segera di tempat jemuran yang telah
disediakan. Jangan menyimpan pakaian kotor hingga 2 hari.
(2) Menggunakan pakaian tidur saat tidur.
(3) Menggunakan baju miliknya sendiri dan tidak meminjam baju
milik orang lain.

51
(4) Menggunakan pakaian yang sesuai dengan ukuran tubuh,
tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar.
(5) Tidak menggantungkan dan menumpuk pakaian dan
sejenisnya pada sembarang tempat, karena pakaian yang
menggantung dapat menjadi sarang nyamuk.

Adapun beberapa ketentuan dalam kebijakan pesantren sebagai


upaya mengontrol dan menjaga kebersihan pakaian santri, seperti:

(a) Memberi batasan setelan baju/pakaian yang dibawa santri,


tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, misalnya santri
membawa maksimal 6 setelan baju/pakaian.
(b) Mewajibkan santri memberi nama/memasang label nama
pada semua jenis baju/pakaian untuk mencegah
kemungkinan tertukar dengan milik santri lainnya; dan
mengontrol seluruh santri untuk menggunakan pakaian
miliknya sendiri, serta memberi sanksi bagi santri yang
ditemukan pinjam-meminjam pakaian.
(c) Setiap pagi atau sore ustaz/ustazah pendamping santri
mengontrol kamar santri untuk memastikan tidak ada
pakaian kotor yang menumpuk.

3) Kebersihan Peralatan Pribadi

Jumlah santri di dalam lingkungan pesantren yang cenderung


banyak menyebabkan penumpukan peralatan pribadi santri yang
berantakan/berserakan bilamana tidak ada upaya dari santri itu sendiri
maupun kebijakan pesantren guna turut memerhatikan kebersihan dan
peralatan pribadi santri.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan oleh santri dalam


hal peralatan, antara lain:

(1) Wajib membawa sendiri peralatan pribadi secara lengkap.

52
(2) Menyimpan peralatan pribadinya di tempat yang telah ditentukan
(almari, rak, atau sejenisnya) dengan rapi.
(3) Tidak meminjam peralatan milik santri lain, seperti peralatan
mandi, peralatan salat, peralatan tidur, dan lain-lain.
(4) Mencuci/membersihkan peralatan mandi, peralatan salat, dan
peralatan tidur setiap minggu.

Beberapa ketentuan dalam kebijakan pesantren sebagai upaya


mengontrol dan menjaga kebersihan peralatan santri, antara lain:

(a) Menyediakan almari pakaian dan peralatan pribadi yang cukup


bagi santri.
(b) Mewajibkan santri memberi nama/memasang label nama pada
semua jenis peralatan dan mengontrol seluruh santri untuk
menggunakan pakaian miliknya sendiri setiap hari, serta memberi
sanksi bagi santri yang ditemukan pinjam-meminjam peralatan
pribadi.
(c) Menyediakan jadwal khusus untuk seluruh santri agar
berkesempatan membersihkan peralatan santri, seperti misalnya,
berupa “hari bersih” yakni hari Jum’at atau hari Minggu/Ahad.

5.2. Pola Istirahat Santri

Istirahat sangat diperlukan agar tubuh mempunyai kesempatan


untuk melakukan pemulihan. Istirahat dapat dipenuhi dengan cara tidur.
Pola tidur santri perlu mendapat perhatian yang lebih dikarenakan
berhubungan dengan performa/penampilan diri di lingkungan
pesantren/sekolah.

Kuantitas tidur yang cukup bagi santri dapat menjadikan santri


belajar dan mengikuti kegiatan pesantren dengan maksimal. Kuantitas
tidur yang baik bagi santri sesuai dengan kelompok remaja ialah 8—9
jam. Misalnya jadwal tidur malam santri ialah jam 9 malam hingga jam 3

53
dinihari (selama 6 jam), ditambah ada jadwal tidur siang kurang lebih
selama 2 jam sehingga totalnya adalah 8 jam per hari. Tidur siang
merupakan sunah Rasulullah Saw. yang dalam bahasa arab disebut
Qailullah, yakni istirahat pada pertengahan siang yang sangat
bermanfaat guna mengistirahatkan tubuh (fisik dan mental) dari
padatnya aktivitas tubuh dan mengembalikan tenaga agar dapat
melanjutkan kembali aktivitas tubuh.

Adapun pola tidur sebagaimana yang dicontohkan Nabi


Muhammad Saw. adalah sebagai berikut.

(1) Berwudhu sebelum tidur.3


(2) Membersihkan tempat tidur
(3) Mematikan lampu
(4) Berbaring ke sisi kanan dan meletakkan tangan kanan di bawah
pipi.4
(5) Membaca doa.

Dari keterangan di atas upaya untuk meningkatkan kualitas tidur


santri di pesantren, antara lain tidur dengan keadaan kamar yang
penghuninya (santri) tidak terlalu penuh, santri dianjurkan wudu
sebelum tidur, ruangan kamar dalam keaadan rapi dan bersih, peralatan
pribadi yang digunakan untuk tidur dalam keadaan bersih, suhu kamar
tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin, jendela dalam keadaan
tertutup untuk mencegah masuknya serangga pengganggu, dan lampu
dalam keadaan mati.

Salah satu ketentuan dalam kebijakan pesantren guna upaya


mengontrol dan menjaga pola istirahat santri ialah:

(a) Terdapat pengurus yang bertanggung jawab terhadap pola istirahat


santri, yang bertugas mengontrol santri tidur pada waktu yang
telah dijadwalkan, yaitu tidur malam dan tidur siang, serta
mengontrol lingkungan tempat tidur santri. Hal ini juga bermanfaat

54
mengurangi santri yang membuang-buang waktu secara sia-sia
dengan bergurau di malam hari sekaligus melatih santri untuk terus
melakukan pola tidur yang sehat dan sesuai anjuran Rasulullah Saw.

5.3. Pola Makan Santri

Pihak pesantren sebagai penyelenggara sajian makanan bagi


santri harus mengerti proses penyelenggaraan/pengelolaan sajian
makanan (penatabogaan) yang sehat, yaitu melalui tahap-tahap
pengadaan/penyediaan bahan makanan, proses pengolahan makanan,
penyimpanan makanan, pemorsian dan penyajian. Pesantren juga harus
mengetahui cara merencanakan menu, berupa variasi menu sesuai
kondisi pesantren dikarenakan konsumen mempunyai pilihan makanan
dan kebutuhan gizi tertentu yang berbeda untuk setiap kelompok umur,
dalam hal ini kelompok usia remaja.

Usia remaja merupakan suatu masa atau periode


transisi/peralihan usia dari masa anak ke masa dewasa. Dalam masa
pertumbuhan ini dibutuhkan asupan gizi yang cukup/memadai dengan
adanya keseimbangan antara konsumsi/jumlah porsi makanan dengan
kalori yang dibutuhkan tubuh. Kebutuhan asupan gizi pada remaja
berdasarkan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan untuk masyarakat
Indonesia dapat dilihat pada tabel 5.1.7

Tabel 5. 1 Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Serat, dan Air yang dianjurkan
pada remaja (per orang per hari).
Berat Tinggi
Kelompok Energi Protei Lema Karbohi Sera Air
Badan Badan
Umur (kkal) n (g) k (g) drat (g) t (g) (ml)
(kg) (cm)
Laki-laki
13 – 15
50 163 2400 70 80 350 34 2100
tahun
16 – 18
60 168 2650 75 85 400 37 2300
tahun

Perempuan

55
13 – 15
48 156 2050 65 70 300 29 2100
tahun
16 – 18
52 159 2100 65 70 300 29 2150
tahun
Sumber : Kemenkes RI, 2019

Selanjutnya kebutuhan energi dan zat gizi pada remaja


berdasarkan AKG tersebut dijabarkan menurut takaran konsumsi
harian.
Tabel 5. 2 Anjuran jumlah porsi harian untuk remaja
13-15 tahun 16-18 tahun
No. Bahan Makanan
L P L P
1 Nasi 6,5 4,5 8 5
2 Sayuran 3 3 3 4
3 Buah 4 4 4 4
4 Tempe 3 3 3 3
5 Daging 3 3 3 3
6 Susu 1 1 - -
7 Minyak 6 5 6 5
8 Gula 2 2 2 2
Sumber: Kemenkes RI, 2014

Berdasarkan tabel 5.2 di atas, dapat dibuat contoh porsi untuk


santri putri usia 13—15 tahun dalam sehari adalah nasi sebanyak 4,5
porsi, sayuran 3 porsi, buah 4 porsi, tempe 3 porsi, daging 3 porsi, susu
1 porsi, minyak 5 porsi, gula 2 porsi.8 Penyajian makanan di pesantren
dapat dijadwalkan misalnya seperti: sarapan jam 07.00, makan siang
jam 13.00, dan makan malam jam 19.00. Penyajian makanan utama
(pagi, siang, dan malam) yang diselingi dengan 2 kali makanan ringan
(kudapan). Porsi harian untuk santri putri usia 13-15 tahun ini dapat
diatur sedemikian rupa dalam pengaturan menu makanan sebagaimana
tabel 5.3.
Tabel 5. 3 Contoh menu makanan untuk santri putri usia 13—15 tahun
Bahan Berat
Jadwal Menu Bahan Makanan Porsi
Penukar (gr)
Nasi Nasi Nasi 1p 100
Pagi
Telur dadar Telur ayam Daging 1p 60

56
Minyak Minyak 1p 5
Kacang panjang Sayuran 1p 100
Oseng2 sayuran
Minyak Minyak 1p 5
Tempe bacem Tempe Tempe 1p 50
Pepaya Pepaya Buah 1p 100
Kudapan Semangka Semangka Buah 1p 100
Pagi Susu Susu Susu 1p 100
Nasi Nasi Nasi 1,5 p 150
Ikan Daging 1p 50
Ikan goreng
Minyak Minyak 1p 5
Siang Kacang panjang,
Urap Sayuran 1p 100
bayam, tauge,
Pepes tahu Tahu Tempe 1p 50
Pisang Pisang Buah 1p 100
Tape singkong Nasi 1p 100
Kudapan Kolak tape
Santan Minyak 1p 50
sore singkong
Gula Gula 2p 20
Nasi Nasi Nasi 1p 100
Ayam Goreng Ayam Daging 1p 50
Tempe Tempe 1p 50
Malam Tempe mendoan
Minyak Minyak 1p 5
Sayur bening Bayam Sayuran 1p 100
Mangga Mangga Buah 1p 50

Contoh varian menu gizi diatas dapat dimodifikasi menyesuaikan


kondisi pesantren, namun tetap memenuhi kebutuhan asupan nutrisi
harian santri.

Dalam Pedoman Gizi Seimbang juga disampaikan mengenai


minum air bersih dalam jumlah yang cukup dan aman. Disarankan
untuk santri mengonsumsi air minum sebanyak 2 liter atau 8 gelas
setiap hari untuk menjaga kesehatan tubuh. Pengaturan asupan air yang
baik dan benar dapat mencegah atau mengurangi risiko berbagai
penyakit, dan turut berperan dalam proses penyembuhan penyakit

Beberapa ketentuan dalam kebijakan pesantren guna upaya


mengontrol dan menjaga pola makan santri, antara lain:

57
(a) Ada ahli gizi yang bertanggung jawab atas pemenuhan konsumsi
gizi yang disediakan.
(b) Tidak menyediakan makanan yang tidak sehat untuk
dikonsumsi, termasuk yang dijual di kantin pesantren.
(c) Membatasi santri untuk mengonsumsi mie instan (siap saji) atau
makanan instan lainnya, msialnya santri diperbolehkan hanya
sekali dalam 2 minggu.

Adapun tata cara pola makan sehat menurut yang di ajarkan


Rasulullah Saw.9

1) Tidak berlebih-lebihan
2) Cuci tangan sebelum dan sesudah makan
3) Tenang dan tidak tergesa-gesa
4) Duduk lurus atau posisi duduk tegak-lurus ketika makan

Keteladanan lainnya dari Rasulullah Saw. terkait pola makan ialah


ibadah puasa dikarenakan bahwa selain berfungsi sebagai tambahan
nilai ibadah, puasa juga menjadi sebuah terapi bagi kesehatan sehingga
dapat mencegah datangnya penyakit. Ada beberapa manfaat puasa bagi
kesehatan tubuh manusia, antara lain: meningkatkan daya tahan tubuh,
melindungi dari penyakit gula darah tinggi/diabetes melitus, dan
melindungi dari penyakit kegemukan/obesitas.10 Namun dalam
penerapan ibadah puasa, santri tetap harus memerhatikan asupan
nutrisi ketika buka puasa dan sahur sehingga asupan nutrisi harian
tetap terpenuhi.

5.4. Pola aktivitas fisik santri

Secara umum aktivitas fisik memiliki manfaat, yaitu :

(1) Manfaat terhadap fisik/biologis meliputi :


a. menjaga tekanan darah tetap stabil dalam batas normal;
b. meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit;

58
c. menjaga berat badan ideal, menguatkan tulang dan otot;
dan
d. meningkatkan kebugaran tubuh
(2) Manfaat terhadap psikis/mental meliputi:
a. mengurangi stres;
b. meningkatkan rasa percaya diri;
c. membangun rasa sportifitas;
d. memupuk tanggung jawab; dan
e. membangun kesetiakawanan sosial.

Adapun akivitas fisik yang direkomendasikan WHO bagi anak dan


remaja usia 5—17 tahun adalah seperti berikut:

a. melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang sampai kuat


minimal 60 menit (akumulatif) per hari; dan
b. aktivitas fisik yang dilakukan sebagian besar merupakan berupa
aktivitas aerobik, contohnya seperti jogging, bersepeda,
berenang, dll.

Apabila santri tidak sempat melakukan olahraga disebabkan


padatnya aktivitas menuntut ilmu, bagaimana solusinya? Jawabannya
adalah, bahwa pada dasarnya aktivititas fisik apapun yang dilakukan
santri dengan menggerakan tubuh praktis akan membakar kalorinya,
seperti naik-turun tangga ataupun membersihkan lantai; aktivitas fisik
tersebut sudah dapat meningkatkan pengeluaran energi/ tenaganya
(pembakaran kalori).

Aktivitas fisik yang dapat dilakukan santri dalam rutinitas


kegiatan sehari-hari dan dilakukan sekurang-kurangnya 60 menit
secara rutin, contohnya:

(1) Berjalan kaki dan naik-turun tangga dari asrama santri menuju
tempat belajar yang kira-kira menghabiskan waktu 15 menit

59
dan saat pulang dari tempat belajar berjalan kaki 15 menit
kembali menuju asrama santri, lalu ditambah lagi dengan
melakukan senam selama 30 menit.
(2) Membersihkan lingkungan pesantren seperti menyapu dan
mengepel selama 15 menit, dua kali dalam sehari dan ditambah
30 menit untuk bersepeda mengelilingi kawasan pesantren (bila
ada sepeda).

Aktivitas fisik yang sangat erat hubungannya dengan pesantren


ialah ibadah salat. Ibadah salat termasuk dalam aktivitas fisik dengan
intensitas ringan-sedang yang dapat menimbulkan relaksasi,
meminimalkan stres, mengefektifkan aliran darah dan menguatkan otot-
otot. Salat yang dilakukan dengan berbagai variasi posisi dan postur
dapat meningkatkan kesehatan psikologis/kejiwaan, kepercayaan dan
efikasi/keyakinan atas kemampuan diri, melancarkan aliran darah ke
otak (serebral) dan kebugaran otot dan tulang (muskuloskeletal).11

Beberapa ketentuan dalam kebijakan pesantren guna upaya


mengontrol dan menjaga pola aktivitas fisik santri, antara lain:

(a) Memberikan pembelajaran kepada seluruh santri tentang


pentingnya melakukan aktivitas fisik dan penerapannya dalam
kegiatan sehari-hari.
(b) Terdapat guru/ustaz/ustazah yang bertanggung jawab terhadap
pola aktivitas fisik santri, dapat pula termasuk guru Pendidikan
Jasmani dan Olahraga Kesehatan (Penjasorkes) yang mengajar di
sekolah formal dan sekaligus menjadi penanggungjawab dalam
menyusun jadwal olahraga santri yang disesuaikan dengan
jadwal pesantren.
(c) Pesantren memberikan pembelajaran kepada seluruh santri
tentang gerakan salat dan manfaat gerakan salat yang dilakukan
secara sempurna dan mengontrol santri dalam pelaksanaan
salat lima waktu

60
5.5. Manajemen Stres

Tidak sedikit santri di pesantren mengalami stres akibat padatnya


jadwal pesantren dan banyaknya tugas yang harus dikerjakan. Gejala
emosional dan fisik yang umum dialami santri adalah sakit kepala,
kelelahan, depresi, dan kecemasan. Perilaku stres yang menimpa santri
apabila dibiarkan terus-menerus, maka akan dapat berdampak negatif
terhadap kehidupan fisik dan batinnya.

Wallace (2007) menyebutkan beberapa konsep dalam


menghadapi stres, yaitu:

1. Cognitive Restructuring, yaitu dengan cara mengubah cara


berpikir negatif menjadi positif. Hal ini dapat dilakukan melalui
pembiasaan dan pelatihan di kalangan santri di pesantren yang
melibatkan peran kiai, ustaz/ustazah, pengurus pesantren, dan
santri senior.

2. Journal Writing, yaitu menuangkan apa yang dirasakan dan


dipikirkan dalam bentuk tulisan atau gambar. Karya
lukisan/gambaran dapat menjadi ekspresi perasaan diri yang
tidak mampu diutarakan dalam tulisan, sehingga ketika selesai
menggambar dapat membuat perasaan menjadi lega.

3. Time Management, yaitu mengatur waktu secara efektif untuk


mengurangi stres akibat tekanan waktu.

4. Relaxation Technique, yaitu mengembalikan kondisi tubuh pada


homeostatis, yaitu kondisi tenang sebelum ada stresor. Ada
beberapa teknik relaksasi, antara lain yaitu yoga, meditasi dan
bernapas diphragmatic.

61
Agama Islam sebagai agama penyelamat, agama rahmatan lil
‘alamin, memiliki konsep sebagai solusi dalam mengatasi stres, antara
lain sebagai berikut:12

1. Melakukan wisata. Kegiatan wisata/rekreasi merupakan suatu


pengalihan perhatian, yang sekaligus merupakan terapi
kejiwaan yang dapat membantu menghilangkan stres.
2. Melaksanakan salat. Salat mampu memecahkan gumpalan
keputusasaan dan penderitaan batin, sebagaimana Allah Swt.
berfirman melalui Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 45 yang
berbunyi:

َْ‫صُ فوْ َْالص وقلْ فَ َْافَقَُۤ لَ َُُف وي ََْة اف قَ ََلَى وال وَ فَ فع وي ن‬


‫َْا وّتَ فع ويْهْو ا ِفۤل ق‬
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyuk”

3. Berzikir kepada Allah Swt. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an


telah memberikan pedoman dan solusi yang tepat kepada
mukmin untuk senantiasa berzikir guna menenteramkan hati
dan memberi kekuatan jiwa sebagaimana Al-Qur’an Surah ar-
Ra’d ayat 28 Allah Swt. berfirman

‫ّف اَ ََ ِف فَ وك فْ و ل‬
‫ّف َ و‬
‫َِ َُ ٕفِ قْ والّهلهْو ُه‬ ‫َِ َُ ٕفِ قْ َهلهْو ِهُه وْ ِف فَ وك فْ و ل‬
‫الق فَ وََْ وا َّْهْو ا ََْ و‬

“Mereka orang orang yang beriman dan tenteram hatinya dengan


zikrullah. Bukankan dengan zikrullah hati kalian menjadi
tenteram”.

4. Sabar dan tawakal. Setiap persoalan hidup yang pahit


sekalipun dapat dilalui dengan sabar dan tawakal hingga Allah
Swt. sendiri yang akan memberikan kemudahan dan jalan keluar

62
yang terbaik. Hal ini sesuai dengan petunjuk-Nya dalam Al-
Qur’an Surah Al-Insyirah ayat 5 yang berbunyi:

‫ََِفَلَ َََّ العهْوْف َهْوًْا‬


“Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

5. Berdoa kepada Allah Swt. Rasulullah Saw. mengingatkan untuk


berdoa bagi umat mukmin yang sedang dirundung kegelisahan,
kecemasan, stres, depresi, dan sebagainya.
6. Membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Rasulullah Saw.
memerintahkan umatnya untuk senantiasa membaca Al-Qur’an.
Beliau menganjurkan para sahabat untuk mengkhatamkan
bacaan Al-Qur’an minimal sekali dalam sebulan, dan maksimal
sepuluh kali dalam sebulan. Al-Qur’an dapat menjadi rujukan
dalam menyembuhkan berbagai penyakit, terutama penyakit
hati.

Beberapa ketentuan dalam kebijakan pesantren dalam upaya


mengontrol santri agar tidak mengalami stres, antara lain:

(a) Memberikan pembelajaran dalam bidang tasawuf dan akhlak


yang dapat membantu santri memahami sikap-sikap islami
dalam mengahadapi permasalahan hidup seperti sikap sabar,
tawakal, berpikiran positif, dan lain-lain.
(b) Memperbanyak kegiatan promosi kesehatan mental untuk
menghindari stres seperti pencegahan dan intervensi
penyalahgunaan zat di sekolah, pencegahan bunuh diri, tips
mengatur waktu, dan lain-lain.
(c) Menyediakan kegiatan ekstrakulikuler menulis karya sastra,
menggambar, dan lain sebagainya yang dapat membantu santri
menuangkan apa yang dipikirkan.
(d) Mengadakan kegiatan wisata religi atau wisata alam keluar dari
lingkungan pesantren minimal 6 bulan sekali.

63
(e) Memberikan pembelajaran kepada seluruh santri terkait makna
salat, membaca Al-Qur’an, berzikir, dan berdoa kepada Allah Swt.

5.6. Tidak Merokok

Akibat buruk kebiasaan merokok bagi kesehatan telah banyak


dibahas/diperbincangkan secara luas. Hasil penelitian di Inggris
menunjukkan bahwa kurang lebih 50% para perokok yang merokok
sejak remaja akan meninggal akibat penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok telah
terbukti berhubungan dengan kurang lebih 25 jenis penyakit dari
berbagai organ tubuh manusia. Penyakit-penyakit tersebut, antara lain:
kanker mulut, esofagus, faring, laring, paru, pankreas, kandung kemih,
dan penyakit pembuluh darah.13

Masalah penggunaan rokok yang banyak terjadi di mayarakat


Indonesia, khususnya kalangan remaja memerlukan penanggulangan
dan kerjasama dari semua pihak. Departemen Kesehatan RI (2011)
telah menetapkan dalam Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa
Rokok tentang Penetapan Tujuh KTR (Kawasan Tanpa Rokok) yaitu
pengendalian para perokok yang menghasilkan asap rokok yang sangat
berbahaya bagi kesehatan perokok aktif maupun perokok pasif.14

Salah satu dari tujuh kawasan tanpa rokok yang erat kaitannya
dengan lingkungan perokok pemula yaitu pondok pesantren, terutama
pondok pesantren putra.

Dengan mengacu pada pedoman tersebut, maka setiap pengelola,


pimpinan, dan/atau penanggung jawab pondok pesantren wajib
melarang setiap peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, tenaga
nonkependidikan, atau setiap orang yang berada di area tempat proses-
belajar mengajar yang menjadi tanggung jawabnya untuk tidak
melakukan kegiatan merokok, mempromosikan, mengiklankan, menjual
dan/atau membeli rokok.

64
Setiap pengelola pimpinan dan/atau penanggung jawab pondok
pesantren membuat serta memasang pengumuman dan tanda larangan
merokok pada tempat dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya.

Tindakan yang dapat dilakukan oleh pengelola, pimpinan,


dan/atau penanggung jawab pondok pesantren apabila ada warga
pesantren yang tidak mematuhi peraturan tersebut adalah sebagai
berikut:

(a) memberikan teguran;


(b) apabila teguran tidak dihiraukan, maka kepada pelanggar
diperintahkan untuk meninggalkan pondok pesantren;
(c) Memberikan sanksi administratif dengan kebijakan atau
peraturan yang berlaku pada pondok pesantren; serta
(d) melaporkan kepada aparat yang berwenang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes. Panduan CTPS. Jakarta, indonesia; 2020.

2. Permenkes. Permenkes Nomor 89 tahun 2015 tentang Upaya


Kesehatan Gigi dan Mulut [Internet]. Nomor 89 tahun 2015
Indonesia; 2015 p. 105–20.

4. Bahammam A. Sleep from an Islamic Perspective. Med Natl


Institutes Heal. 2011;Vol 6(4).

6. Nasar S. Penuntun Diet Anak. 3rd ed. Badan Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.

7. Kementerian Kesehatan RI. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan


untuk Masyarakat Indonesia. 29 Indonesia; 2019.

8. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Gizi Seimbang. Tetrahedron


Letters, 41 Indonesia; 2014 p. 3909.

9. Sapie MJ Bin. Konsep Pola Makan Sehat Dalam Perspektif Hadis

65
Dalam Kitab Musnad Ahmad. 2017;1–89.

10. Ilahi MT. Revolusi Hidup Sehat Ala Rasulullah. Yogyakarta: Katahati;
2015. 216–222 p.

11. Noorbhai H. The Utilization and Benefits of Salaah (Muslim Prayer)


as a Means of Functional Rehabilitation and Low-Intesity Physical
Activity. Exp. 2013;7(3):401–3.

12. Yuwono S. Mengelola Stres dalam Perspektif Islam dan Psikologi.


PSYCHO IDEA. 2010;8(2):14–26.

13. Nururrahmah. Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan dan


Pembentukan Karakter Manusia. Pros Semin Nas. 2014;01(1):77–
84.

14. Kesehatan K. Pusat Promosi Kesehatan Pedoman Pengembangan


Kawasan Tanpa Rokok. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2011.

66
BAB 6
LINGKUNGAN PESANTREN SEHAT

Masalah kesehatan lingkungan pesantren merupakan masalah


yang perlu mendapat perhatian besar dikarenakan gangguan kesehatan
ataupun penyakit bisa saja timbul dan menjangkiti warga pesantren
apabila lingkungan pesantren berada dalam kondisi yang tidak sehat.
Untuk menciptakan lingkungan pesantren yang sehat diperlukan
partisipasi dari seluruh warga pesantren yakni kiai, ustaz/ustazah,
pengurus pesantren, dan seluruh santri.

Lingkungan pesantren yang sehat sangat dibutuhkan bukan hanya


untuk meningkatkan derajat kesehatan warga pesantren, tetapi juga
untuk kenyamanan hidup dan meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
produktivitas kerja, serta kondisi belajar-mengajar di lingkungan
pesantren. Dalam bab ini dijelaskan empat komponen kesehatan
lingkungan pesantren yang dapat dijadikan pedoman dalam rangka
penerapan pemeliharaan kesehatan lingkungan pesantren.

67
Gambar 6. 1 Skema Lingkungan Pesantren Sehat

6.1 Bangunan Sehat Pesantren

Sebagai tempat hunian santri, pesantren umumnya dilengkapi


berbagai fasilitas, seperti: kamar tidur, kamar mandi dan jamban, ruang
bersama untuk salat atau berdiskusi, dapur, tempat cucian dan jemuran,
tempat olahraga, serta ruang belajar atau kelas. Ketersediaan fasilitas
tersebut adalah guna mendukung sistem kehidupan asrama pesantren
yang dinamis. Berikut akan dipaparkan kriteria fasilitas pesantren yang
memiliki kontruksi bangunan dan sanitasi yang sehat.

1. Kamar Santri

Kamar santri merupakan salah satu fasilitas yang setiap waktu


digunakan santri, yaitu selain untuk tempat tidur, kamar tersebut
menjadi tempat santri untuk menyimpan perlengkapan dan peralatan
keseharian mereka serta tempat untuk berkumpul bersama teman-
teman.

a. Konstruksi bangunan

Adapun sebuah kamar santri berdasarkan aspek konstruksi


dipersyaratkan sebagai berikut:

68
(1) lantai bangunan harus terbuat dari bahan yang kuat, kedap air,
permukaan rata, tidak licin dan mudah dibersihkan;
(2) dinding permukaan harus rata, berwarna terang, dan mudah
dibersihkan;
(3) konstruksi atap harus pula kuat dan tidak bocor, serta tidak
menjadi tempat perindukan serangga/tikus; dan
(4) langit-langit yang kuat, tidak rawan kecelakaan, berwarna
terang, dan mudah dibersihkan, serta dengan tinggi minimal
2,50 meter dari lantai.1

b. Pengendalian hama tikus dan serangga

Upaya untuk menghindari masuknya tikus ke dalam kamar


disebut rat proof, sedangkan upaya untuk mencegah masuknya
serangga disebut insect proof.

(1) Upaya pengendalian hama tikus, antara lain berupa pintu kamar
dibuat serapat mungkin dan tebal agar tidak mudah dilubangi.
Kontruksi kuda-kuda dibuat sedemikian rupa agar tidak
memberi kesempatan tikus bersembunyi, bertengger, bermain,
dan bersarang; dan
(2) Upaya pengendalian hama serangga, antara lain menutup lubang
ventilasi dengan kassa untuk menghindari masuknya serangga
dan nyamuk. Tidak membiarkan pintu dan jendela terbuka pada
malam hari. Menghindari genangan air di sekitar kamar dan
menghindari pakaian yang bergantungan.

c. Kepadatan hunian

Syarat kepadatan hunian kamar santri pada pondok pesantren


yang termasuk dalam kriteria hunian tinggi yakni luas
ruangan/kamar 8 �2 dihuni maksimal oleh 2 orang. Misalnya, dalam
satu ruangan yang akan digunakan sebagai kamar santri memiliki

69
luas 32 �2 , maka idealnya kamar tersebut tidak boleh dihuni lebih
dari 8 santri. Berdasarkan aturan Depkes 2002 tentang pedoman
teknis penilaian rumah sehat khususnya pondok pesantren berupa
standar peraturan ruang tidur minimal 3 m2 untuk setiap tempat
tidur. Bagi pondok pesantren yang telah terjadi overloading
concition (tingginya kepadatan santri dalam satu kamar) maka
dapat dilakukan pengaturan kembali atau penambahan luas kamar
sehingga setiap santri menghuni minimal seluas 3 m2 .

d. Ventilasi dan kelembaban

Udara segar sangat diperlukan untuk menjaga temperatur udara


dan kelembaban ruangan. Idealnya, temperatur udara di dalam
ruangan lebih rendah kurang-lebih 4°C daripada temperatur di luar
ruangan. Temperatur kamar santri yang paling nyaman dan cukup
segar ialah pada suhu 22o—30°C. Menurut peraturan Kemenkes No.
829 Tahun 1999 tentang persyaratan kelembaban perumahan,
kelembaban yang diperbolehkan ialah 40—70%.

Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan


pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara
alamiah maupun mekanis. Ventilasi dalam ruangan harus yang
memenuhi syarat, sebagai berikut:

1. Luas lubang ventilasi tipe tetap, minimal 5% dari luas lantai


kamar dan luas lubang ventilasi tipe insidentil (buka-tutup)
minimal 5% dari luas lantai kamar. Totalnya ialah 10% dari luas
lantai.
2. Aliran udara dalam ruangan kamar tidak mengenai santri secara
langsung, dengan cara tidak menempatkan tempat tidur tepat
berada pada jalur aliran udara, contohnya di depan jendela atau
pintu.

70
3. Aliran udara mengikuti aturan cross ventilation yaitu
menempatkan lubang ventilasi berhadapan atau berseberangan
di antara dua buah dinding kamar. Aliran udara ini jangan
sampai terhalang oleh lemari, dinding sekat, dan lain-lain.
4. Lubang ventilasi sebaiknya jangan terlalu rendah, maksimal 80
cm dari langit-langit ruangan/plafon.

Gambar 6. 2 Cross ventilation

e. Pencahayaan

Pencahayaan alami yakni mengandalkan masuknya sinar


matahari ke dalam ruangan sangat dianjurkan pada siang hari.
Adapun pencahayaan buatan dapat digunakan lampu listrik maupun
lampu minyak ataupun lampu gas. Apabila menggunakan satuan lux
maka pencahayaan di kamar santri cukup 100 lux.

f. Kebersihan kamar

Untuk menciptakan kamar santri yang sehat dan bersih perlu


dilakukan hal-hal berikut.

71
1) Menyapu dan mengepel lantai kamar tidur setiap hari pada
waktu pagi dan sore.
2) Membersihkan jendela dan perlengkapan kamar tidur dari debu
dan kotoran.
3) Membuka jendela pada waktu pagi sampai sore hari dan
menutup jendela pada malam hari.
4) Menjemur kasur setiap minggu dapat membunuh kuman yang
menempel pada kasur.
5) Melakukan kerja bakti minimal seminggu sekali untuk
membersihkan debu dari karpet, kursi, serta area yang
berpotensi berdebu dan mencuci peralatan kebersihan seperti
sapu, tempat sampah, alat pengepel.2

2. Kamar mandi santri


a. Konstruksi bangunan

Kriteria kamar mandi untuk santri yang baik dan sehat, antara lain:

a) Luas lantai minimal 1,2 m2 (1,0 m x 1,2 m).


b) Lantai kamar mandi terbuat dari bahan yang kuat, kedap air,
tidak licin, berwarna terang, dan mudah dibersihkan.
c) Kemiringan ke arah lubang tempat pembuangan air bersih lebih-
kurang 1%.
d) Pintu dengan ukuran lebar 0,6—0,8 m dan tinggi minimal 1,8 m.
e) Kolam/bak mandi atau wadah/bak penampung air dilengkapi
gayung.
f) Bilik diberi atap dan langit-langit/plafon yang bebas dari
material asbes.
g) Lubang aliran udara/penghawaan kamar mandi harus
berhubungan langsung dengan udara luar.
h) Letak toilet/jamban/kakus/WC dan kamar mandi tidak boleh
berhubungan langsung dengan tempat pengelolaan makanan
(dapur dan ruang makan).

72
i) Perbandingan jumlah santri dengan jumlah toilet dan kamar
mandi adalah 15:1. Apabila jumlah santri 15 orang maka harus
tersedia satu jamban dan kamar mandi.

Fenomena yang sering ditemukan di pondok pesantren di


Indonesia adalah lokasi kamar mandi yang cukup luas kemudian
terdapat sekat-sekat pemisah untuk giatan mandi para santri. Penyekat
tersebut tidak tertutup sempurna hingga atap. Bak penampungan air di
kamar mandi dibuat panjang sehingga terhubung antarbilik kamar
mandi. Hal ini dapat menyebabkan mudahnya penyebaran penyakit di
lingkungan pesantren. Akan menjadi lebih praktis dan sehat apabila
kamar mandi santri tidak menjadi satu lokasi untuk seluruh santri,
namun diberi batasan jumlah santri dalam penggunaan kamar mandi,
yaitu dengan cara kamar mandi dapat diletakkan di setiap kamar santri.
Misalnya, satu kamar terdiri atas 15 orang penghuni kamar, maka
disediakan sebanyak 1—2 kamar mandi di dalam kamar santri. Di
dalam kamar mandi terdapat keran dan bak penampungan air yang
tidak terlalu besar dan lebih hemat dan nyaman lagi rasanya bilamana
menggunakan shower.

Apabila pondok pesantren sudah terlanjur memiliki satu lokasi


kamar mandi yang cukup luas untuk seluruh para santri dan terdapat
sekat-sekat pemisah untuk giatan mandi, namun tidak ada sekat untuk
bak penampungan air maka hendaknya dilakukan pengaturan kembali
untuk penyekatan penampungan air dan pembatasan penggunaan
kamar mandi seperti contoh kamar mandi A hanya untuk digunakan 15
santri dari kamar nomor 01. Hal ini bertujuan untuk mencegah
penyebaran penyakit di lingkungan pesantren.

b. Jamban Sehat

Ada tujuh syarat jamban sehat menurut Arifin yang dikutip oleh
Abdullah (2010), yaitu:

73
1) Tidak mencemari air
a) Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar
lubang tinja/feses/kotoran tidak mencapai permukaan air tanah
maksimum.
b) Jarak lubang tinja ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter.
c) Letak lubang tinja lebih rendah daripada letak sumur agar air
kotor dari lubang kotoran tidak merembes dan mencemari
sumur.
2) Jamban yang sudah penuh, segera disedot untuk dikuras.
3) Bebas dari serangga
a) Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya
dikuras setiap minggu.
b) Ruangan jamban harus terang karena bangunan yang gelap
dapat menjadi sarang nyamuk.
c) Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah
yang bisa menjadi sarang kecoa atau serangga lainnya.
d) Lantai jamban harus selalu bersih dan kering.
4) Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan.
a) Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa
harus tertutup rapat oleh air.
b) Lubang buangan jamban sebaiknya dilengkapi dengan pipa
ventilasi untuk membuang bau dari dalam lubang jamban.
5) Aman digunakan dan tidak menimbulkan gangguan bagi
pemakainya
6) Mudah dibersihkan serta lantai jamban rata dan miring ke arah
saluran lubang jamban.
7) Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan yakni jamban
harus beratap, berdinding dan berpintu.

74
c. Kebersihan kamar mandi dan jamban

Untuk menciptakan kamar mandi dan jamban santri yang sehat dan
bersih perlu dilakukan hal-hal di bawah ini:
1. Membersihkan kamar mandi setiap hari dari sampah kecil, seperti:
bungkus sampo, bungkus sabun, kapas, rambut yang rontok, dan
semacamnya yang berpotensi menyumbat saluran air buangan.
2. Menguras dan menyikat tempat penampungan air.
3. Menyediakan alat pembersih seperti sabun dan sikat.
4. Menyediakan tempat sampah dan keset.
5. Tidak membuang sampah, pembalut wanita, tisu, dan benda padat
lainnya ataupun cairan air keras ke dalam kloset.
6. Jamban/WC perlu diberikan pewangi ruangan (kapur barus,
semprotan pewangi, cairan lisol) untuk mengurangi bau busuk dari
bekas tinja ataupun kemih/air kencing.
7. Memperbaiki kerusakan fisik kamar mandi sesegera mungkin.

3. Ruang Ibadah Bersama

Rekomendasi desain untuk menghasilkan rancangan bangunan


tempat ibadah di pesantren yang memperhatikan aspek kebersihan dan
kesucian, antara lain :3
a. Perbedaan level permukaan lantai

Level terendah adalah permukaan tanah atau lingkungan sekitar,


kemudian level selanjutnya taman dan halaman. Sementara itu,
lantai ruangan ibadah yang digunakan untuk salat diletakkan di
level teratas. Konsep ini merupakan konsep tata letak yang
mengutamakan kebersihan dan kesucian, namun tetap harus
diperhatikan ukuran ketinggian levelnya yaitu tidak menyulitkan
berjalan para santri, yakni maksimal ketinggian 20 cm.

75
b. Jarak antara jalan raya dengan bangunan

Keberadaan jarak yang optimal antara bangunan ruang ibadah


dengan jalan raya bermanfaat untuk mengurangi banyaknya debu
yang masuk ke dalam ruang ibadah. Selain itu, ketenangan ruang
ibadah juga lebih terjaga.

c. Fasilitas untuk mencuci kaki

Tersedianya beberapa kran untuk santri mencuci kaki sebelum


memasuki ruang ibadah. Letak kran ini harus mudah diakses.
Fasilitas pencuci kaki juga harus tersedia pada area yang
menghubungkan toilet dan ruang ibadah. Selain itu, pada lantai
ruang ibadah harus dilengkapi keset kaki yang bersih dan kering
untuk mengurangi kaki yang basah, sehingga lantai ruang ibadah
tetap kering.

d. Tempat wudu

Tempat wudu dapat diletakkan di sisi kanan atau kiri ruang


ibadah. Tidak terlalu jauh dengan ruang ibadah untuk memudahkan
akses dan terjaga kebersihan dan kesuciannya. Desain tempat wudu
beraneka ragam, namun dalam aspek kebersihan dan kesucian
lebih baik didesain dengan menggunakan kran yang dilengkapi
penampung air di bagian bawahnya dengan memiliki pembatas
yang cukup agar air tidak memercik kemana-mana, Disediakan pula
pijakan untuk kaki pada saat mambasuh kaki.

e. Sirkulasi cahaya dan udara.

Sirkulasi cahaya dan udara harus diperhatikan untuk menjaga


agar ruang ibadah tidak gelap dan tidak lembab. Sirkulasi yang baik
dapat dicapai dengan pemakaian material kaca pada dinding,
jendela, dan pintu dengan mengurangi elemen-elemen bangunan

76
masif yang dapat menghalangi sirkulasi udara dan cahaya. Selain itu,
lubang aliran udara/penghawaaan sebaiknya menggunakan prinsip
cross ventilation sebagaimana pada Gambar 6.2 di atas.

4. Dapur
a. Konstruksi bangunan dapur

Syarat bangunan dapur berdasarkan aspek sanitasi, ruang dapur


harus menggunakan pintu yang dapat membuka dan menutup
sendiri atau harus dilengkapi dengan pegangan yang mudah
dibersihkan.
Dapur sebagai tempat pengolahan makanan seharusnya
memenuhi syarat-syarat untuk dapur, seperti diuraikan berkut ini.
1) Lantai:
(a) Terbuat dari bahan yang kedap air, mudah dibersihkan dan
tahan korosif;
(b) Luas lantai 35—40% dari luas ruang makan;
(c) Sudut antara dinding dengan lantai harus melengkung; dan
(d) Selalu dalam keadaan bersih.
2) Dinding:
(a) Permukaan dalam dinding harus rata, tidak menyerap air,
mudah dibersihkan; dan
(b) Dinding yang selalu terkena percikan air atau minyak diberi
pelapis dengan porselen.
3) Atap dan langit-langit/plafon:
(a) Terbuat dari bahan yang kedap air dan tidak bocor; dan
4) Penerangan:
(a) Penerangan untuk ruangan dapur 200 lux; dan
(b) Semua penerangan harus bebas silau dan tidak
menimbulkan bayangan.
5) Ventilasi:
(a) Ventilasi harus cukup; dan

77
(b) Dilengkapi dengan pengeluaran udara panas maupun bau-
bauan (exhauser) yang dipasang setinggi 2 meter dari lantai.
6) Pembuangan asap:
(a) Dapur harus dilengkapi dengan pengumpul asap dan
cerobong asap; dan
(b) Pengumpul asap dilengkapi dengan grease filter dan
penyedot asap;

b. Perlengkapan

Agar pada saat melakukan pengolahan makanan dan minuman


tidak terjadi pencemaran diperlukan fasilitas sanitasi pengolahan
makanan yang memenuhi syarat kesehatan, seperti: tempat
penyimpanan peralatan dapur yang bersih, penyediaan air bersih,
tempat cuci bahan, tempat cuci alat, tempat cuci tangan, tempat
sampah, saluran air kotor (limbah), dan cerobong asap.

5. Tempat cucian dan jemuran

a. Sarana tempat cuci


a) Luas lantai minimal 2,40 m2 (1,20 m x 2,0 m);
b) Tidak licin;
c) Kemiringan ke arah lubang tempat pembuangan kurang
lebih 1%; dan
d) Tempat menggilas mencuci/membilas pakaian dilakukan
dengan jongkok atau berdiri.

b. Jemuran

a) Kemiringan lantai 2—3o sehingga air yang menetes dari


pakaian basah bisa mengalir dengan mudahnya menuju
saluran pembuangan;

78
b) Mendapat panas sinar matahari langsung dan tersedia area
yang terdapat atap pelindung saat hujan yang terbuat dari
bahan seperti fiberglass; dan
c) Luas ruang jemur untuk satu orang minimal 2 x 3 m2 .

Ketentuan luas ruang jemur di atas sangat sulit diterapkan di


pondok pesantren dikarenakan fenomena faktual bahwasanya
jumlah santri yang sangat banyak dan terbatasnya lahan untuk
jemuran. Fenomena ini sering terjadi di pondok pesantren di
Indonesia adalah disediakan lokasi untuk menjemur pada lahan
yang cukup luas untuk seluruh santri, sehingga agar dapat
dimanfaatkan oleh seluruh santri untuk menjemur bersama dalam
lokasi tersebut, dan tidak ada pemisah antarsantri atau antarkamar
santri. Hal tersebut dapat menyebabkan lokasi penjemuran cucian
tampak penuh pakaian bahkan banyak yang berjatuhan ke
lantai/tanah. Solusi agar jemuran tidak terlalu penuh dan pakaian
santri agar baju santri dapat kering secara maksimal maka yang
perlu diperhatikan adalah:

a) Setiap santri hanya diperbolehkan menjemur tidak melebihi 3


setelan baju;
b) Tempat jemuran harus dipisahkan antara kamar satu dengan
kamar lainnya, misalnya terdapat tanda atau sekat yang sifatnya
permanen/semipermanen;
c) Kapstok/sampiran atau gantungan baju memiliki warna yang
berbeda antarkamar santri. Misalnya, kamar No. 1 menggunakan
gantungan baju warna kuning, kamar No. 2 menggunakan
gantungan baju warna hijau, dan seterusnya. Kemudian
gantungan baju kamar No. 1 (warna kuning) tersebut diberi label
nama untuk setiap santri. Hal ini dilakukan agar menghindari
baju santri yang tertukar dengan santri kamar lainnya atau
tertukar antarsantri dalam satu kamar.

79
6. Tempat bermain/berolahraga

Tempat bermain/berolahraga berfungsi sebagai area bermain,


berolahraga, pendidikan jasmani, upacara, dan kegiatan ekstrakurikuler.
Syarat tempat bermain/berolahraga, yaitu:

a) Rasio minimum luas tempat bermain/berolahraga 3 m2 per peserta


didik/santri. Untuk satuan pendidikan dengan banyak peserta didik
kurang dari 334 orang, dipersyaratkan luas minimum tempat
bermain/berolahraga 1.000 m2 ;
b) Berupa ruang terbuka yang sebagiannya dijadikan ruang hijau
dengan ditanami pohon penghijauan;
c) Diletakkan di tempat yang tidak mengganggu proses pembelajaran di
ruang kelas; dan
d) Tidak digunakan untuk tempat/lahan parkir;

7. Ruang belajar

Ruang belajar di pesantren adalah ruangan kelas yang digunakan


untuk santri sekolah formal maupun nonformal. Adapun persyaratan
sebuah ruang belajar/kelas, yaitu:

a) Kapasitas maksimum dalam satu ruang belajar/kelas adalah 32


peserta didik/santri;
b) Rasio minimum luas ruang belajar/kelas yakni 2 m2 per peserta
didik/santri;
c) Lebar minimum ruang belajar/kelas yakni 5 m;
d) Memiliki fasilitas yang memungkinkan pencahayaan yang memadai
untuk membaca buku;
e) Memiliki pintu yang memadai agar peserta didik dan guru dapat
segera keluar ruangan jika terjadi ancaman bahaya, dan dapat
dikunci dengan baik saat tidak digunakan; dan

80
f) Tersedia kursi dan meja yang memadai untuk seluruh anggota
rombongan/kelompok belajar/kelas dan guru kelas yang bertugas.4

6.2 Penyediaan Air Bersih

1. Ketersediaan air bersih


Persyaratan air bersih diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 416 Tahun 1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan
Kualitas Air. Air bersih harus memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut:
a) Syarat fisik
(1) Tidak Berbau
(2) Tidak Berwarna
(3) Tidak Berasa
(4) Terasa Segar

b) Syarat kimiawi

(1) Derajat kemasaman (pH) antara 6,5—9,2.


(2) Tidak boleh ada zat kimia berbahaya/beracun antara lain
gas �2 � , ��2 agresif ��2 , ��3 karena gas tersebut
dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan kerusakan
material sebab bersifat korosif.
(3) Bahan kimia yang masih diperbolehkan terkandung dalam
air bersih namun jumlahnya dibatasi sesuai standar air
minum antara lain Hg, Pb dan Se, dll. Apabila jumlahnya
melebihi standar akan mengakibatkan keracunan.
(4) Harus mengandung unsur kimiawi yang dibutuhkan untuk
metabolisme tubuh antara lain mineral F, Ca, Na, Cu, dll.

81
c) Syarat bakteriologis

Tidak adanya bakteri atau virus dalam air yang dapat


menyebabkan penyakit, seperti Escherichia Coli jenis 0157 dan
Enterohaemorrhagic E. Coli (EHEC).

d) Syarat radiologis

Tidak adanya zat radiasi yang berasal dari limbah khusus yang
dihasilkan oleh industri, reaktor nuklir, rumah sakit, dan pertambangan.

Adapun syarat kuantitas ketersediaan air bersih bagi santri ialah


tersedianya air bersih minimal 60 liter per hari; sehingga apabila
terdapat 100 santri pada sebuah pesantren, maka harus disediakan air
bersih minimal 6.000 liter per hari.

2. Sumber air bersih

Sumber air bersih untuk pesantren dapat menggunakan


beberapa sumber air yang berasal dari 5:

a) Air atmosfir
Dalam kehidupan sehari-hari, air ini dikenal sebagai air hujan.
Untuk menjadikan air hujan sebagai sumber air minum,
hendaknya tidak menggunakan air hujan langsung pada saat
hujan baru turun, dikarenakan masih mengandung banyak
kotoran yang disebabkan oleh kotoran industri/debu.
b) Air permukaan
Menurut Chandra (2006) dalam buku Pengantar Kesehatan
Lingkungan, air permukaan merupakan salah satu sumber
penting bahan baku air bersih. Air permukaan meliputi air
sungai dan air rawa.

82
c) Air tanah
Air tanah dibagi menjadi dua, yakni air tanah dangkal dan air
tanah dalam. Air tanah dangkal merupakan air yang berasal
dari air hujan yang diikat oleh akar pohon. Air tanah ini
terletak tidak jauh dari permukaan tanah serta berada di atas
lapisan kedap air. Air tanah dalam adalah air hujan yang
meresap ke dalam tanah lebih dalam lagi melalui proses
absorpsi serta filtrasi oleh batuan dan mineral di dalam tanah,
sehingga berdasarkan prosesnya air tanah dalam lebih jernih
dari air tanah dangkal

3. Pemilihan teknologi pengolahan air bersih

Jika di lokasi pesantren sudah masuk sambungan aliran air


bersih yang berasal dari PDAM, maka pesantren tidak perlu memikirkan
cara pengolahan dan air bersih dikarenakan bisa langsung
menggunakan air bersih tersebut. Jika sambungan aliran air bersih
PDAM belum masuk, maka dapat dilakukan pemilihan sistem
penyediaan air bersih yang sesuai dengan potensi sumber air yang
tersedia, yaitu sebagai berikut:

a) Jika air tanah dalam berpotensi untuk dijadikan sumber air, maka
sumber air bisa langsung dipergunakan tanpa pengolahan terlebih
dahulu.
b) Jika sumber air hanya potensi dari air tanah dangkal, maka
penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan dua alternatif, yaitu:
(1) Jika kualitas air sudah memenuhi persyaratan air bersih,
maka air dapat digunakan secara langsung; dan
(2) Jika kualitas air bersih keruh mengandung besi (Fe) dan
mangan (Mn), maka dapat digunakan tekno-logi Saringan
Pasir Sederhana.
c) Jika air yang tersedia berupa sumber dari air permukaan, maka ada
beberapa kemungkinan:

83
(1) Jika air belum tercemar dan tidak keruh dapat diolah dengan
menggunakan Saringan Pasir Sederhana;
(2) Jika kekeruhannya lebih kecil dari 50 NTU, maka dapat
dilakukan pengolahan dengan proses Saringan Pasir Lambat;
atau jika kekeruhannya lebih besar dari 50 NTU, maka dapat
diolah menggunakan Saringan Pasir Lambat yang dilengkapi
dengan bak sedimentasi.
(3) Jika air baku keruh atau koloid, maka dapat dilakukan proses
pengolahan dengan tipe Cikapayang;

6.3 Pengelolaan Sampah

Pengaruh sampah terhadap kesehatan pesantren dapat secara


langsung maupun tidak langsung.6 Pengaruh langsung adalah karena
kontak langsung warga pesantren dengan sampah, misalnya sampah
yang beracun. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan warga
pesantren akibat proses pembusukan, pembakaran dan pembuangan
sampah yang tidak baik. Efek tidak langsung dapat berupa vektor yang
berkembang biak di dalam sampah, kemudian dapat menyebabkan
penyakit di lingkungan pesantren. Mengingat efek dari sampah terhadap
kesehatan sangat besar, sehingga pengelolaan sampah di pesantren
harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Setiap kamar atau ruangan di pesantren harus disediakan tempat
sampah yang diletakkan di luar ruangan;
2. Tempat sampah harus dilengkapi dengan penutup;
3. Tersedia tempat sampah lebih dari satu untuk pemisahan sampah
sesuai dengan jenis dan sifat sampah, misalnya terdapat dua
tempat/wadah sampah untuk sampah basah dan sampah kering;
4. Tempat sampah terbuat dari bahan yang kuat, tahan karat,
permukaan bagian dalam rata dan dilengkapi dengan penutup;
5. Tempat sampah dikosongkan setiap 1 x 24 jam atau 2/3 bagian
telah terisi penuh;

84
6. Jumlah dan volume tempat sampah disesuaikan dengan volume
sampah yang dihasilkan setiap kegiatan, misalnya tempat sampah
untuk sampah dapur harus berukuran besar;
7. Tersedia tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang
mudah terjangkau kendaraan pengangkut sampah dan harus
dikosongkan sekurang kurangnya 3 x 24 jam; dan
8. Tempat sampah harus dibersihkan dengan cara dicuci dan disikat
sekali seminggu.

6.4 Makanan dan Minuman Sehat Pesantren

Makanan dan minuman merupakan suatu hal yang sangat penting


dalam kehidupan manusia. Makanan yang dimakan bukan saja
memenuhi gizi dan mempunyai bentuk menarik, akan tetapi harus aman
dalam arti tidak mengandung mikroorganisme atau bahan-bahan kimia
yang dapat menyebabkan penyakit.

Untuk menjaga agar makanan tidak sampai tercemar oleh berbagai


zat atau mikroorganisme yang membahayakan kesehatan, maka
makanan dan minuman haruslah dikelola dengan sebaik-baiknya. Perlu
diperhatikan dengan baik pada setiap tahap dari proses perjalanan
bahan makanan. Terdapat 6 (enam) prinsip higiene sanitasi makanan
dan minuman yaitu:7

1. Sumber bahan makanan


2. Pengangkutan bahan makanan
3. Penyimpanan bahan makanan.
4. Pengolahan bahan makanan.
5. Penyajian makanan.
6. Penyimpanan makanan yang telah diolah

85
1. Sumber bahan makanan

Kualitas bahan makanan yang baik dapat dilihat melalui ciri-ciri


fisik dan mutunya dalam hal bentuk, warna, kesegaran, bau, dan
lainnya. Bahan makanan yang sehat adalah terbebas dari kerusakan
dan pencemaran termasuk pencemaran oleh bahan kimia seperti
pestisida.

2. Pengangkutan bahan makanan

Ketika bahan makanan diangkut dari pasar ke dapur pesantren,


maka sanitasinya harus pula diperhatikan agar bahan makanan
tersebut tidak sampai rusak dan tidak tercemar oleh zat-zat yang
membahayakan.

3. Penyimpanan bahan makanan.

Tidak selalu bahan makanan yang tersedia langsung diolah oleh


petugas dapur untuk dimasak di pesantren. Terkadang bahan
makanan yang dibeli disimpan untuk persediaan selama satu minggu
hingga satu bulan. Untuk itu, harus diatur penyimpanan bahan
makanan yang baik.

Semua bahan makanan dibersihkan dengan dicuci terlebih


dahulu sebelum disimpan. Setelah dikeringkan kemudian dibungkus
dengan pembungkus yang bersih dan disimpan dalam ruangan yang
bersuhu rendah. Syarat- syarat penyimpanan, yaitu :

a. Penempatan bahan makanan harus terpisah dari makanan yang


telah dimasak;
b. Penyimpanan bahan makanan diperlukan untuk setiap jenis
bahan makanan dalam suhu yang sesuai, ketebalan bahan
makanan padat tidak lebih dari 10 cm, kelembaban penyimpanan
dalam ruangan 80—90%; dan

86
c. Bila bahan makanan tersebut akan disimpan di gudang, maka cara
penyimpanannya dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) jarak makanan dengan lantai 15 cm;
(2) jarak makanan dengan dinding 5 cm; dan
(3) jarak makanan dengan langit-langit 60 cm
d. Bahan makanan disimpan dalam urutan sejenis yang disusun
dalam rak-rak sedemikian rupa. Bahan makanan yang masuk ke
dalam rak harus lebih dahulu keluar, sedangkan bahan makanan
yang masuknya belakangan dikeluarkan belakangan pula. Hal ini
disebut dengan sistem FIFO (First In First Out).

4. Pengolahan bahan makanan

Pengolahan bahan makanan adalah proses pengubahan bentuk


dari bahan mentah menjadi makanan siap santap. Pengolahan bahan
makanan yang baik adalah yang mengikuti kaidah dari prinsip-
prinsip higiene dan sanitasi. Adapun prinsip dalam pengolahan
makanan, ialah:
a. Penjamah makanan (food handler)
Penjamah makanan (food handler) adalah orang yang terlibat
selama proses memasak makanan. Semua kegiatan pengolahan
makanan oleh food handler harus dilakukan dengan cara
terlindung dari kontak langsung dengan tubuh yang dapat
dilakukan dengan menggunakan sarung tangan plastik atau
penjepit makanan.
b. Peralatan masak
Syarat peralatan yang digunakan untuk masak, yaitu:
1) Terbuat dari bahan anti karat dan mudah dibersihkan;
2) Bila bahan dari kayu dianjurkan tidak dipakai sebagai bahan
yang kontak langsung dengan makanan;
3) Bila bahan dari plastik dianjurkan yang aman dan mudah
dibersihkan; dan

87
4) Tidak terbuat dari bahan yang mengandung timah hitam,
tembaga, seng, kadmium, arsenikum, dan antimon.
c. Tempat pengolahan makanan
Tempat pengolahan makanan yakni dapur pesantren harus dalam
keadaan bersih dan sehat untuk proses pengolahan makanan.
Dapur yang sehat telah dipaparkan pada subbab konstruksi dapur.

5. Penyajian makanan.

Makanan yang telah diolah kemudian disajikan untuk para


santri perlu diperhatikan dengan baik cara penyajiannya. Prinsip
penyajian makanan yang harus diperhatikan, adalah:
a. Tempat penyajian makanan haruslah bersih dan jauh dari
tempat penimbunan sampah.
b. Alat-alat penyajan makanan harus yang aman dan bersih.
c. Tenaga penyaji makanan harus memperhatikan higiene
perorangan dan pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyajian


makanan sesuai dengan prinsip higiene dan sanitasi makanan adalah
sebagai berikut:
1) Prinsip Wadah dan Pemisahan, artinya setiap jenis makanan
ditempatkan dalam wadah terpisah dan diusahakan tertutup;
2) Prinsip Kadar Air, artinya penempatan makanan yang
mengandung kadar air tinggi (kuah) baru dicampur pada saat
menjelang dihidangkan untuk mencegah makanan cepat rusak;
3) Prinsip Edible Part, artinya setiap bahan yang disajikan dalam
penyajian adalah merupakan bahan makanan yang dapat
dimakan;
4) Prinsip Panas, yaitu setiap penyajian yang disajikan
diusahakan dalam keadaan panas/hangat seperti sup dan gulai;

88
5) Prinsip Alat Baik dan Bersih artinya setiap peralatan yang
digunakan seperti wadah dan tutupnya, dus, piring, gelas,
mangkuk harus bersih dan dalam kondisi baik. Bersih artinya
sudah dicuci dan kering dengan cara yang higienis. Baik artinya
utuh, tidak rusak atau cacat dan bekas pakai; dan
6) Prinsip Handling, artinya setiap penanganan makanan maupun
alat makan tidak terjadi kontak langsung dengan anggota
tubuh terutama tangan dan bibir.

Fenomena yang sering terjadi di podok pesantren ialah


beberapa santri lebih dari 2 orang berkumpul membentuk lingkaran
untuk makan bersama-sama menggunakan tampah. Makan bersama
seperti ini merupakan tradisi pesantren yang sangat dinikmati
banyak santri dikarenakan suasana kehangatan, keakraban dan
kebersamaan dengan teman-teman pada saat-saat seperti itu. Selain
itu, tradisi makan bersama-sama terdapat keberkahan di dalamnya
sebagaimana hadis Rasulullah Saw:

ُ‫ُ لَ هُ وْ ِف وي ف‬ ‫ َْ واَ هكْهْو ا ا وّ َْ ّف ََلَ وي فُ َهَُ ف‬،ْ‫ََِۤو تَ فُعهْو ا ََلَى ََ َعۤ فّ هُ و‬


‫ُۤ ه‬

Artinya :“Berkumpullah kalian semua ketika waktu makan dan


sebutlah nama Allah, maka senantiasa kalian akan mendapatkan
berkah di dalamnya”(H.R. Abu Dawud no. 3764).

Dari pandangan ilmu kesehatan, tradisi makan bersama dalam


satu wadah makanan merupakan salah satu cara penyajian makanan
yang kurang baik bagi para santri, dengan alasan bahwa bilamana
salah seorang santri sedang menderita sakit, maka dapat saja
berisiko menularkan penyakit ke teman santri lainnya.
Berbagai jenis kuman, virus, dan bakteri penyebab penyakit
menular dapat hidup dalam ludah (saliva). Entah disadari atau tidak,
ludah akan secara alami berpindah dari mulut ke alat makan yang

89
bersentuhan langsung dengan mulut, misalnya sendok atau tangan
sendiri apabila makan dengan menggunakan tangan. Kuman, virus,
dan bakteri yang terkandung dalam ludah bisa bertahan hidup
selama berjam-jam, bahkan setelah terkontaminasi udara dan
menyentuh tampah (nampan), sehingga makan bersama-sama
dengan santri lain dalam satu tampah dapat berisiko terjangkit
berbagai kuman yang menempel pada tampah tersebut.

Oleh karena itu, pesantren dianjurkan untuk dapat mengatur


kebijakan penyajian makanan santri di pada wadah atau piring
masing-masing santri, namun tetap makan secara
bersamaan/berbarengan bersama teman-teman dalam satu waktu
yang ditentukan, sehingga tetap mendapatkan keberkahan sebagai
pengamalan sunah Rasulullah Muhammad Saw.

6. Penyimpanan makanan yang telah diolah/dimasak

Jika makanan yang telah dimasak tidak habis pada sekali waktu
makan tertentu atau dikarenakan mungkin dimasak dalam jumlah
yang banyak/berlebih, maka makanan ini biasanya disimpan. Dalam
penyimpanan makanan yang telah diolah/dimasak ini maka cara
melakukan penyimpanan makanan matang adalah memerhatikan
prinsip wadah yakni setiap jenis makanan haruslah terpisah satu
sama lainnya di dalam wadah tertutup dan menyimpan pada suhu
yang bakteri tidak bisa tumbuh.

DAFTAR PUSTAKA

1. Marlinae L, Khairiyati L, Rahman F, Laily N. Buku Ajar Dasar-Dasar


Kesehatan Lingkungan. Fak Kedokt Univ Lambung Mangkurat
Banjarbaru [Internet]. 2019;1–120.

2. Febriani A, Suryana D, Puspitaningrum A, Calabro R. Gambaran


Ketersediaan Sanitasi Dasar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-
Azhar Citangkolo Desa Kujangsari Kota Banjar Tahun 2016. Jakarta;

90
2016.

3. Moh. Arsyad Bahar. Evaluasi Terhadap Aspek Kebersihan dan


Kesucian dalam Perancangan Arsitektur Masjid. J Islam Archit.
2012;2(1):36–45.

4. Menteri Pendidikan Nasional. Standar Sarana dan Prasarana Untuk


Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah
Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). 24 Indonesia; 2007.

5. Purnama GS. Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan. Progr Stud


Kesehat Masyarakat, Fak Kedokteran, Univ Udayana,. 2017;1–161.

6. Rahawarin RF. Evaluasi Hunian Sehat Pada Asrama Putri Pondok


Pesantren An-Nur 2 Bululawang Malang [Internet]. 2017. Available
from: http://repository.ub.ac.id/3221/

7. Menteri Kesehatan Nasional. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. 3


Indonesia; 2014.

8. Choiriyah S. Analisis Sistem Penyelenggaraan Makan Pagi di Pondok


Pesantren Putri Mbah Rumi. Universitas Islam Negeri Walisongo;
2019.

91
BAB 7
PENYELENGGARAAN DAN PEMBINAAN
POS KESEHATAN PESANTREN (POSKESTREN)

Kondisi kesehatan di lingkungan pondok pesantren masih


memerlukan perhatian dari berbagai pihak terkait terutama dalam
akses pelayanan kesehatan bagi warga pesantren. Salah satu upaya
untuk mendekatkan pelayanan kesehatan bagi warga pondok pesantren
adalah menumbuh kembangkan Poskestren. Namun, pada faktanya
masih banyak pondok pesantren yang belum memiliki Poskestren.
Misalnya di Provinsi Jawa Tengah yang merupakan tiga besar provinsi
dengan jumlah pondok pesantren terbanyak di Indonesia, hanya 10 %
pondok pesantren di provinsi tersebut yang memiliki Poskestren.1

Bagi pondok pesantren yang belum memiliki Poskestren akses


pelayanan kesehatan bagi warga pesantren terbilang kurang praktis dan
tidak mudah. Ketika ditemukan santri yang sakit, apabila dirasa
penyakitnya ringan saja yang disebabkan kelelahan maka umumnya
santri mengatasinya dengan istirahat di kamar santri. Adapula santri
yang apabila mengeluhkan sakit, ia segera membeli obat di koperasi
pesantren atau apotek. Apabila dirasa memerlukan pengobatan dari ahli
medis maka pihak pesantren memulangkan santri agar diperiksakan
oleh orangtuanya ke dokter. Apabila santri yang sakit berasal dari
daerah yang jauh dari pesantren dan tidak dimungkinkan untuk pulang,

92
maka pihak pesantren mengantarkan santri ke puskesmas atau rumah
sakit terdekat.

Bagi pesantren yang telah memiliki Poskestren akses pelayanan


kesehatan bagi warga pesantren menjadi praktis dan mudah. Apabila
ada santri yang sakit akan mendapatkan penanganan dan pengobatan
dari dokter di Poskestren. Selain itu, kegiatan penyuluhan dan
penyebaran informasi kesehatan menjadi praktis dan efisien. Hal ini
akan dapat mewujudkan kondisi kesehatan yang lebih baik bagi warga
pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu
diharapkan program Poskestren pun dapat merata di seluruh Indonesia.

Namun dalam praktiknya masih memiliki permasalahan-


permasalahan yang menyebabkan Poskestren belum berjalan secara
optimal. Bab ini menjelaskan apa itu poskestren, bagaimana
pendiriannya, apa saja program kegiatan di dalamnya, dan bagaimana
pembinaannya.2

7.1 Pengertian Poskestren


1. Definisi Poskestren
Pos Kesehatan Pesantren, yang selanjutnya disebut Poskestren
merupakan salah satu wujud Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM) di lingkungan pondok pesantren, dengan
prinsip dari, oleh dan warga pondok pesantren, yang
mengutamakan pelayanan promotif (peningkatan) dan preventif
(pencegahan) tanpa mengabaikan aspek kuratif (pengobatan)
dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan), dengan binaan
Puskesmas setempat.

2. Tujuan Poskestren
Tujuan didirikannya Poskestren adalah untuk mewujudkan
kemandirian warga pondok pesantren dan masyarakat sekitar
dalam berperilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan

93
memenuhi layanan kesehatan dasar bagi warga pondok
pesantren dan masyarakat sekitarnya.

3. Ruang Lingkup Kegiatan Poskestren


Ruang lingkup kegiatan Poskestren meliputi:
a) Pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif kesehatan.
b) Pemberdayaan warga pondok pesantren dan masyarakat
sekitar dalam bidang kesehatan serta peningkatan
lingkungan yang sehat di pondok pesantren dan wilayah
sekitarnya.
c) Pemberdayaan santri sebagai kader kesehatan (santri
husada).

7.2 Pendirian Poskestren


Tahap-tahap pendirian Poskestren antara lain
1. Persiapan
Persiapan dilakukan dengan melakukan koordinasi
dengan lintas sektor terkait dan Puskesmas serta melakukan
pendekatan kepada pimpinan/pengelola pondok pesantren
dengan tujuan untuk mempersiapkan warga pondok pesantren
dan masyarakat sekitarnya, khususnya para kiai dan pengelola
pondok pesantren serta tokoh berpengaruh lainnya, sehingga
bersedia mendukung penyelenggaraan Poskestren.

2. Survey Mawas Diri (SMD)


SMD merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh warga pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya
bersama-sama petugas Puskesmas dalam mengenal keadaan
dan masalah kesehatan di lingkungan pondok pesantren, serta
menggali potensi yang dimiliki.

94
Pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara
wawancara terhadap sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang,
yang terdiri dari pengelola pondok pesantren, santri,
masyarakat di lingkungan pondok pesantren. Selain wawancara,
juga dilakukan observasi terhadap kesehatan lingkungan
pondok pesantren.
Setelah berbagai data berhasil dikumpulkan, maka upaya
selanjutnya adalah merumuskan masalahnya dan merinci
berbagai potensi yang dimiliki yang sangat membantu dalam
menentukan kegiatan yang layak dikembangkan dalam
penyelenggaraan Poskestren.

3. Musyawarah Warga Pondok Pesantren


Tujuan penyelenggaran musyawarah ini adalah
membahas hasil SMD kemudian merumuskan upaya
pemecahannya dan membuat rencana kegiatan penanggulangan
masalah kesehatan yang ada lengkap dengan jadwal kegiatan
dan penanggung jawabnya.
Kegiatan musyawarah ini, selain dilakukan secara
khusus membahas hasil SMD, dapat juga dilakukan sebagai
musyawarah rutin bulanan dan musyawarah rutin tiga bulanan
sebagai wahana untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan,
hambatan yang ditemukan dan merencanakan upaya
pemecahannya.

4. Materi Orientasi Pengelola dan Pelatihan Kader Poskestren


Sebelum melaksanakan tugasnya, para pengelola dan
kader Poskestren terpilih perlu dilakukan orientasi/pelatihan.
Orientasi/pelatihan dilaksanakan oleh Puskesmas sesuai dengan
pedoman orientasi/pelatihan yang berlaku.
Materi orientasi/pelatihan antara lain mencakup
kegiatan yang akan dikembangkan Poskestren antara lain

95
kesehatan masyarakat, gizi, kesehatan lingkungan, PHBS,
kesehatan reproduksi, pencegahan penyakit menular dan tidak
menular, kesehatan jiwa dan NAPZA (narkotika, alkohol,
psikotropika dan zat adiktif lainnya) usaha kesehatan gigi
masyarakat desa/ UKGMD, penyediaan air bersih dan
penyehatan lingkungan pemukiman atau PAB-PLT, program
intensifikasi pertanian tanaman pangan dan pemanfaatan
pekarangan, melalui Taman Obat Keluarga (TOGA), dan nilai-
nilai agama tentang kesehatan.3

5. Peresmian Pembentukan Poskestren


Peresmian Poskestren dilaksanakan dalam suatu acara
khusus yang dihadiri oleh pemimpin daerah, tokoh pondok
pesantren, tokoh masyarakat, warga pondok pesantren dan
anggota masyarakat sekitarnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk mensosialisasikan bahwa di lingkungan pondok
pesantren ini telah terbentuk Poskestren.

7.3 Penyelenggaraan Kegiatan

Kegiatan rutin Poskestren diselenggarakan dan dimotori oleh


petugas Poskestren dengan bimbingan teknis dari Puskesmas setempat
dan sektor terkait.

1. Kegiatan
Pelayananan yang disediakan oleh Poskestren adalah pelayanan
kesehatan dasar, yang meliputi promotif, preventif, rehabilitatif
dan kuratif.
a) Upaya Promotif, antara lain:
(1) Konseling kesehatan;

96
(2) Penyuluhan kesehatan terkait PHBS, penyehatan
lingkungan, gizi, kesehatan reproduksi, kesehatan jiwa
dan napza, penyakit menular dan tidak menular;
(3) Olahraga teratur; dan
(4) Lomba lingkungan bersih dan sehat, mading, poster.

b) Upaya Preventif, antara lain:


(1) Pemeriksaan kesehatan berkala;
(2) Penjaringan kesehatan santri;
(3) Imunisasi;
(4) Kesehatan lingkungan dan kebersihan diri;
(5) Pemberantasan nyamuk dan sarangnya;
(6) Penyediaan dan pemanfaatan air bersih; dan g. deteksi
dini gangguan jiwa dan NAPZA.

c) Upaya Kuratif
Upaya kuratif dapat dilakukan oleh Poskestren antara lain
melakukan pertolongan pertama pada penyakit ringan dan
menyediakan kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan). Selain itu Poskestren dapat merujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat atau kunjungan yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan dari puskesmas.

d) Upaya Rehabilitatif
Upaya rehabilitatif dilakukan oleh Poskestren untuk
menindaklanjuti penanganan pasien pasca perawatan di
puskesmas/rumah sakit.

2. Waktu dan Penyelenggaraan


Penyelenggaraan Poskestren pada dasarnya dapat dilaksanakan
secara rutin setiap hari atau ditetapkan sesuai kesepakatan
bersama.

97
3. Tempat Penyelenggaraan
Tempat penyelenggaraan kegiatan promotif dan preventif dapat
dilaksanakan di lingkungan pondok pesantren dan sekitarnya.
Adapun untuk pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan di ruang
tersendiri. Tempat pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya
dilengkapi dengan:
(1) Tempat pemeriksaaan;
(2) Tempat konsultasi (gizi,sanitasi,dan lain-lain);
(3) Tempat penyimpanan obat; dan
(4) Ruang tunggu.
(5) Peralatan medis dan non medis
(6) Obat-obatan

4. Pelaksana Poskestren
Terselenggaranya pelayanan Poskestren melibatkan banyak pihak.
Adapun tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam
menyelenggarakan Poskestren adalah sebagai berikut:
a) Kader Poskestren (Santri Husada)
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh kader
Poskestren antara lain:
(1)Melaksanakan kegiatan penyuluhan kesehatan;
(2)Melakukan inspeksi sanitasi (pemeriksaan kesehatan
lingkungan);
(3)Memberikan pertolongan pertama pada santri yang
kesakitan;
(4)Melakukan pemeriksaan tanda vital pada santri;
(5)Menjadi juru pemantau jentik di pesantren;
(6)Mengukur berat badan, tinggi badan, dan status gizi
santri; dan
(7)Melakukan pencatatan pada buku catatan poskestren;

98
b) Pengelola Poskestren
(1)Merencanakan, mengorganisasi, dan mengevaluasi
penyelenggaraan Poskestren;
(2)Mengalang dukungan dana dan menyediakan fasilitas
Poskestren;
(3)Menjalin kemitraan dengan sektor terkait; dan
(4)Melakukan pencatatan.

c) Dokter/ Petugas Kesehatan Poskestren


(1)Memberikan pelayanan kesehatan bagi warga pesantren;
(2)Menyelenggarakan rekam medis;
(3)Melaksanakan sistem rujukan; dan
(4)Bersama kader Poskestren melaksanakan kegiatan
promotif dan preventif di lingkungan pesantren.

5. Pencatatan dan Pelaporan


a) Pencatatan
Pencatatan dilakukan oleh kader terhadap penyelenggaraan
kegiatan dan pengelolaan keuangan. Format pencatatan
kegiatan diantaranya meliputi:
(1) Buku catatan sasaran Poskestren, yang mencatat jumlah
seluruh warga pondok pesantren dan masyarakat
sekitarnya;
(2) Buku catatan rekapitulasi kegiatan pelayanan Poskestren;
(3) Buku catatan kegiatan pertemuan yang diselenggarakan
Poskestren;
(4) Buku pencatatan pengelolaan keuangan yang berisi
pencatatan penerimaan dan pengeluaran.

99
b) Pelaporan
Laporan Poskestren dibuat oleh pengelola Poskestren dan
disampaikan kepada pimpinan pondok pesantren setiap
bulan yang meliputi laporan kegiatan dan keuangan.

7.4 Pembinaan Dan Pengembangan


1. Pembinaan
Pembinaan Poskestren dilaksanakan secara terpadu oleh
Puskesmas dan stakeholders terkait lainnya, yang dilakukan
secara berkala, baik langsung maupun tidak langsung.
Pembinaan Poskestren harus mencakup langkah-langkah
sebagai berikut:
a) Terdapat tenaga puskesmas tertentu yang bertanggung
jawab dalam hal supervisi dan pemberian bantuan teknis
bagi Poskestren;
b) Bersama kader Poskestren mengembangkan dan
melaksanakan pencatatan kegiatan Poskestren, dalam
rangka memantau perkembangan Poskestren;
c) Rapat koordinasi berkala, sekurang-kurangnya sekali dalam
enam bulan, antara Puskesmas dengan pengelola pondok
pesantren dan kader Poskestren, untuk mengevaluasi
perkembangan Poskestren dan memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi;

2. Pengembangan
Poskestren yang sudah berjalan dengan baik (sustain),
seyogyanya segera diarahkan untuk meningkatkan
pelayanannya, terutama jika sumber daya manusia dan dana
yang ada memadai untuk meningkatkan pelayanan Poskestren.
Peningkatan pelayanan dapat dilakukan dengan :
1. Mengidentifikasi kebutuhan tambahan bagi kesehatan
warga pondok pesantren;

100
2. Menetapkan pilihan pelayanan tambahan dan menyusun
prioritas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dana
serta tenaga yang ada; dan
3. Melatih kader Poskestren dalam pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
pelayanan tambahan.

Gambar 7. 1 Penyelenggaraan dan Pembinaan Poskestren

101
DAFTAR PUSTAKA

1. Hulaila A, Musthofa SB, Kusumawati A, Nugraha P. Analisis


Pelaksanaan Program Pos Kesehatan Pesantren ( Poskestren ) di
Pondok Pesantren Durrotu Aswaja Sekaran Gunungpati
Semarang. 2021;12–8.

2. Kemenkes RI. Pedoman Penyelenggaraan dan Pembinaan Pos


Kesehatan Pesantren [Internet]. Departemen Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, nomor 1 tahun 2013 Indonesia;
2013 p. 1–9.

3. Syam N, Gafur A, Hamzah W. PKM Pengembangan Pos Kesehatan


Pesantren Wihdatul Ulum Desa Bontokassi, Kecamatan Parangloe,
Kabupaten Gowa. J Balireso. 2018;3(1):48–61.

102
BAB 8
KADER SANTRI HUSADA

8.1 Pengertian Kader Santri Husada


Kader Santri Husada sebagai kader Poskestren merupakan ujung
tombak pelayanan kesehatan di Poskestren. Selain sebagai pelaksana,
para kader Poskestren diharapkan dapat berfungsi antara lain sebagai
penggerak kesehatan masyarakat pesantren, pemberi semangat,
penggagas kegiatan, dan suri teladan bagi santri lain. Jumlah kader
untuk setiap Poskestren minimal 3% dari jumlah santri atau
disesuaikan dengan kebutuhan dan kegiatan yang dikembangkan.1

8.2. Pembentukan Kader Santri Husada

Pengurus Poskestren mengangkat Kader Santri Husada yang


bersedia secara sukarela, mampu dan memiliki waktu untuk
menyelenggarakan kegiatan Poskestren. Kriteria Kader Santri Husada
antara lain sebagai berikut:

a. Berasal dari santri atau alumni pondok pesantren;


b. Mempunyai jiwa pelopor, pembaharu dan penggerak
masyarakat;
c. Bersedia bekerja secara sukarela; dan
d. Telah mengikuti pelatihan/orientasi kader tentang
kesehatan.

103
8.3. Keterampilan Dasar Kader Santri Husada
Dalam melaksanakan tugasnya, kader santri husada haruslah
memiliki keterampilan dasar untuk mendukung kinerja mereka dalam
menolong santri yang sakit. Keterampilan dasar yang perlu dilatih
antara lain :

Gambar 8. 1 Skema Keterampilan Dasar Kader Santri Husada

8.3.1 Pertolongan Pertama Pada Kegawatan


Pertolongan pertama pada kegawatan bertujuan untuk
menyelamatkan jiwa, mencegah luka menjadi lebih parah, mempercepat
pemulihan, dan menyadarkan santri yang tidak sadar. Memberikan
pertolongan pertama dengan benar bukanlah suatu hal yang mudah,
terutama pada saat darurat. Oleh sebab itu kader santri husada perlu

104
mendapatkan pelatihan pertolongan pertama sebanyak mungkin dari
Poskestren.
Adapun keterampilan dalam melakukan pertolongan pertama pada
berbagai kegawatan antara lain :

Gambar 8. 2 Keterampilan Pertolongan Pertama Pada Kegawatan

a) Menyadarkan seseorang tidak sadar


Apabila ditemukan warga pesantren yang tidak sadarkan diri,
maka segera menepuk bahu korban secara perlahan sambil
menanyakan siapa nama korban dan bagaimana perasaan korban.
Jika tidak ada reaksi dari korban maka yang harus dilakukan adalah :
1. Menghubungi nomor 118 atau nomor pelayanan gawat darurat
terdekat.
2. Membaringkan korban dan berlutut di samping korban.
3. Mengangkat dagu korban dan memiringkan kepala korban ke
belakang dan ke atas, memegang rahangnya dengan tangan.
Apabila ada sesuatu yang menyumbat saluran pernapasan, maka
segera dikelurakan menggunakan kedua jari.
4. Memeriksa pernapasannya dengan cara melihat naik turun dada
bagian bawah dan perut. Mendengar dan merasakan keluarnya
udara dari hidung dan mulut dengan meletakkan pipi di atas
wajah korban. Apabila korban tidak bernapas selama 5-10 detik,
maka segera diberikan napas bantuan dari mulut ke mulut.

105
5. Memberikan napas bantuan dari mulut ke mulut dengan cara
mengusahakan kepala korban tetap dalam posisi menengadah
dan menutup hidung korban. Menarik napas dalam-dalam lalu
menghembuskan udara dengan kuat ke dalam mulut korban.
6. Apabila korban masih belum mulai bernapas dengan sendirinya,
maka memulai menekan dada korban dengan meletakkan salah
satu telapak tangan di tengah dada korban yakni di antara
puting susu dan meletakkan tangan satunya lagi di atas tangan
pertama. Selanjutnya menekan dada korban sedalam 4-5 cm
dengan lembut dan cepat. Setelah 30 tekanan, memberi 2 kali
napas bantuan.
7. Setelah 5 putaran (30 tekanan dna 2 kali napas buatan)
memeriksa apakah korban mulai bernapas dengan sendirinya.
Bila perlu, bergantian dengan orang lain agar dapat istirahat.
8. Apabila mulai bernapas, badan korban dimiringkan untuk posisi
pemulihan (lihat penjelasan berikut) dan tetap memeriksa
pernapasan secara berkala.

Gambar 8. 3 Pertolongan Pertama Korban Tidak Sadar

Berhenti memberi bantuan pernapasan kepada korban ketika :


(1) Saat korban sadar, atau mulai bernapas dengan sendirinya;
(2) Saat penyedia ahli pelayanan kesehatan tiba; atau

106
(3) Saat penolong telah lelah atau tidak ada harapan lagi bagi
korban untuk selamat yaitu tidak ada perbaikan pada korban
setelah diberikan pertolongan selama 30 menit.

b) Menempatkan pada posisi pemulihan


Posisi pemulihan digunakan ketika seseorang bernapas namun
tidak sadarkan diri. Hal ini membantu untuk menjaga saluran
pernapasan dan mengeluarkan cairan dari mulut untuk mencegah
korban tersedak. Cara menempatkan seseorang dalam posisi pemulihan
adalah sebagai berikut:
1. Membaringkan korban dalam posisi telentang dan kedua kaki
dalam keadaan lurus.
2. Menyilangkan salah satu tangannya ke bahu dan menekukkan
salah satu kakinya. Membiarkan tangan lainnya terulur.
3. Menggulirkan tubuh korban ke samping dengan mendorong
bahu dan pinggang korban menjauhi penolong.
4. Meletakkan kepala korban di atas tangan yang disilangkan ke
bahu.

Gambar 8. 4 Posisi Pemulihan Korban

c) Memindahkan korban dari bahaya


Sebaiknya memberikan pertolongan pertama kepada korban di
tempat korban ditemukan sambil menunggu bantuan datang. Namun
apabila tempat ditemukannya korban dalam keadaan berbahaya seperti
berada dekat dengan api, lalu lintas, gas beracun, atau bangunan tidak
stabil maka harus dipindahkan.

107
Proses memindahkan korban dilakukan secara hati-hati
menggunakan tandu. Tandu dapat dibuat menggunakan papan meja,
pintu, atau 2 tiang yang kuat dengan selimut atau kain sarung yang
dibentang di antara tiang. Cara membuat tandu dari selimut adalah
membentangkan selimut di tanah dan meletakkan kedua tiang di
atasnya dengan jarak ¹/3 lebar selimut. Kemudian melipat kedua sisi
selimut ke dalam agar menutupi tiang. Berat korban akan menahan
lipatan selimut pada tempatnya. Memindahkan korban ke tandu
dilakukan dengan teknik Log Roll. Teknik Log Roll adalah teknik yang
dilakukan oleh minimal 3 orang yang digunakan untuk memindahkan
korban dengan menjaga posisi dalam keadaan lurus.

Gambar 8. 5 Teknik Log Roll


d) Merawat luka
Apabila ditemukan santri/seseorang yang terluka maka yang
harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Membersihkan luka. Luka harus segera dibersihkan dengan
mengaliri air bersih di atas luka.
2. Mengisi bantalan. Bantalan dapat dibuat dengan melipat
beberapa lapis pembalut atau kain yang kemudian diletakkan di
atas luka. Hal ini dilakukan untuk memberi tekanan pada daerah
terluka sehingga dapat memperlambat pendarahan.
3. Membalut daerah luka. Luka perlu dibalut untuk mengendalikan
pendarahan, mengurangi atau mencegah pembengkakan,
mengurangi rasa sakit, dan mencegah pergeseran tulang yang
patah. Pembalut dapat menggunakan kain sarung, seprai, atau
kain bersih lainnya. Jangan mengikat pembalut terlalu kencang

108
dikarenakan dapat mengakibatkan pembengkakan, rasa kaku
dan nyeri.
4. Menggunakan bidai. Pembidaian dapat dilakukan sambil
menunggu bantuan. Pembidaian bertujuan untuk menopang
bagian tubuh yang terluka, mengurangi pendarahan, melindungi
luka agar tidak bertambah parah, mencegah pergeseran tulang
yang patah, dan mengurangi rasa sakit. Bidai yang dipilih adalah
yang dapat mencapai dua sendi yakni sendi di atas luka dan di
bawah luka.

Apabila ditemukan santri yang mengalami luka bakar maka yang


harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Apabila masih terdapat api pada pakaian korban, maka api
segera dimatikan dengan menggunakan selimut, handuk, atau
seprai yang basah.
2. Apabila luka bakar parah maka segera menghubungi 119.
3. Menyingkirkan benda-benda yang menahan panas, seperti
pakaian atau perhiasan, tetapi jangan melepas pakaian yang
melekat pada luka bakar.
4. Mendinginkan luka dengan air bersih dengan membiarkan luka
di bawah air mengalir selama mungkin sampai benar-benar
dingin.
5. Menutup luka yang sudah dingin dengan kassa atau kain basah
yang bersih.
6. Apabila korban sadar dan haus, maka segera diberikan air
minum hangat untuk membantu menggantikan cairan yang
hilang.

PENTING: Jangan mengoleskan salep, pasta gigi, bahan berlemak,


mentega, dll, dikarenakan panas akan tertahan di dalam kulit dan
mempersulit pemeriksaan.

109
8.3.2 Juru Pemantau Jentik (Jumantik)
a. Definisi Jumantik
Juru pemantau jentik atau Jumantik adalah orang yang
melakukan pemeriksaan, pemantauan dan pemberantasan jentik
nyamuk khususnya Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Dalam
pondok pesantren hendaknya menggunakan sistem 1 Kamar 1
Jumantik. Jumantik Kamar Santri adalah kepala kamar santri atau
anggota kamar santri yang disepakati untuk menjadi penanggung
jawab dalam melaksanakan kegiatan pemantauan jentik di kamarnya.
Sedangkan Koordinator Jumantik Pesantren adalah satu atau lebih
Kader Santri Husada yang ditunjuk untuk melakukan pemantauan
dan pembinaan pelaksanaan jumantik kamar santri dan seluruh
bangunan di lingkungan pesantren.

b. Tugas dan Tanggung Jawab Jumantik


Tugas dan tanggung jawab Jumantik adalah sebagai berikut:2
1. Jumantik Kamar Santri
(a) Mensosialisasikan PSN 3M Plus kepada seluruh anggota
kamar santri.
(b) Memeriksa/memantau tempat perindukan nyamuk di
dalam dan di luar kamar santri seminggu sekali.
(c) Menggerakkan anggota kamar santri untuk melakukan
PSN 3M Plus seminggu sekali.
(d) Mencatat hasil pemantauan jentik dan pelaksanaan PSN
3M Plus pada kartu jentik
2. Koordinator Jumantik
(a) Mensosialisasikan PSN 3M Plus kepada Jumantik kamar
santri
(b) Menggerakkan warga pesantren untuk melaksanakan
PSN 3M Plus di lingkungan pesantren.

110
(c) Melakukan kunjungan dan pamantauan ke kamar santri
dan seluruh bangunan di lingkungan pesantren setiap
bulan.
(d) Membuat catatan/rekapitulasi hasil pemantauan jentik
kamar santri dan seluruh bangunan di lingkungan
pesantren setiap bulan

c. Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)


Kegiatan yang optimal dalam upaya pencegahan penularan DBD
adalah melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara
“3M Plus”, larvasidasi, dan pengasapan (foging).
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus
Kegiatan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M meliputi:
(a) Menguras tempat penampungan air, seperti bak
mandi/WC, drum dan sebagainya minimal seminggu
sekali.
(b) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air seperti
gentong air/ tempayan dan lain-lain.
(c) Mendaur ulang barang bekas yang dapat menampung air
seperti botol plastik, kaleng, ban bekas, dll atau
membuangnya.
Selain itu ditambah dengan cara lainnya (PLUS) yaitu seperti
pada gambar berikut :

111
Gambar 8. 6 Pencegahan DBD dengan 3M Plus

2. Larvasidasi
Larvasidasi adalah pengendalian larva (jentik) nyamuk dengan
pemberian larvasida yang bertujuan untuk membunuh larva
tersebut. Jenis larvasida ada bermacam-macam, diantaranya
adalah temephos, piriproksifen, metopren dan bacillus
thuringensis.

3. Fogging (Pengasapan)
Nyamuk dewasa dapat diberantas dengan pengasapan
menggunakan insektisida (racun serangga). Namun melakukan
pengasapan saja tidak cukup dikarenakan yang mati hanya
nyamuk dewasa saja sedangkan jentik nyamuk tidak dapat
mati dengan pengasapan. Cara paling tepat memberantas
nyamuk adalah memberantas jentiknya dengan kegiatan PSN
3M Plus.

112
d. Pemantauan Jentik
Koordinator Jumantik melakukan kunjungan ke kamar santri
dan seluruh bangunan di lingkungan pesantren berdasarkan data
yang tersedia. Hal-hal yang perlu dilakukan saat kunjungan kamar
santri adalah membicarakan tentang penyakit DBD, cara penularan
dan pencegahannya dan mengajak jumantik kamar dan seluruh
penghuni kamar santri untuk bersama-sama memeriksa tempat-
tempat yang berpotensi menjadi sarang jentik nyamuk.

Adapun tatacara dalam melakukan kegiatan pemantauan jentik


di kamar santri dan lingkungan komplek/ bangunan pesantren
adalah sebagai berikut:
(1) Memeriksa bak mandi/WC, tempayan, drum dan tempat-
tempat penampungan air lainnya.
(2) Jika tidak terlihat adanya jentik menunggu sampai kira-kira 1
menit karena jentik pasti akan muncul ke permukaan air untuk
bernapas.
(3) Menggunakan senter apabila wadah air terlalu dalam dan gelap.
(4) Memeriksa juga tempat-tempat berpotensi menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk misalnya vas bunga, tempat
minum binatang, kaleng-kaleng bekas, botol plastik, ban bekas,
tatakan pot bunga, tatakan dispenser, dan lain-lain.
(5) Mencatat hasil dan membuat laporan.

8.3.3 Pemeriksaan Tanda Vital Kesehatan


Kader santri husada harus memiliki keterampilan dalam
melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital. Pemeriksaan tanda-tanda
vital dilakukan untuk memberi gambaran awal pasien yang akan
dirawat.3 Kompetensi khusus yang dimiliki kader santri husada dalam
pemeriksaan tanda-tanda vital antara lain :

113
Gambar 8. 7 Kompetensi untuk pemeriksaan tanda-tanda vital

a. Kompetensi tindakan pengukuran tekanan darah

Adapun prosedur tindakan pengukuran tekanan darah adalah


sebagaimana pada tabel berikut.
Tabel 8. 1 Prosedur Pengukuran Tekanan Darah/Tensi
Persiapan alat 1. Sphignomanometer air raksa
2. Stetoskop.
3. Buku catatan dan alat tulis.
Persiapan pasien 1. Memberikan penjelasan kepada pasien
tentang tindakan yang akan dilakukan.
2. Mengatur posisi pasien dalam keadaan rileks
berbaring atau duduk.
Pelaksanaan 1. Mencuci tangan.
2. Meminta pasien untuk
membuka/menggulung pakaian bagian
lengan sampai sebatas bahu.
3. Memasang manset pada lengan atas sekitar 3
cm di atas fossa cubiti
4. Memakai stetoskop pada telinga.
5. Meraba arteri brakhialis dengan jari tengah
dan telunjuk.
6. Meletakkan stetoskop bagian bell di atas

114
arteri brakhialis.
7. Mengunci skrup balon karet.
8. Mmebuka pengunci air raksa.
9. Balon dipompa lagi sehingga terlihat air
raksa di dalam pipa naik (30 mm Hg) sampai
denyut arteri tidak terdengar.
10. Membuka skrup balon dan menurunkan
tekanan perlahan kira-kira 2 mm Hg/detik.
11. Mendengar dengan teliti dan membaca skala
air raksa sejajar dengan mata, pada skala
berapa mulai terdengar bunyi denyut
pertama sampai bunyi denyut terakhir
terdengar lambat dan menghilang.
12. Mencatat bunyi denyut pertama sebagai
tekanan sistolik dan bunyi denyut terakhir
sebagai tekanan diastolik.
13. Menutup kembali pengunci air raksa.
14. Melepas stetoskop dari telinga.
15. Melepas manset dan digulung dengan rapi
kemudian dimasukkan dalam kotak.
16. Memberi tahu pasien bahwa tindakan telah
selesai dilaksanakan.
17. Merapikan peralatan dan menyimpan pada
tempatnya.
18. Mencuci tangan.

b. Kompetensi tindakan perhitungan denyut nadi

Denyut nadi dapat diraba dengan tangan di sepanjang


jalannya pembuluh darah arteri, terutama pada tempat tonjolan
tulang dengan sedikit menekan di atas pembuluh darah arteri.

115
Adapun prosedur tindakan perhitungan denyut nadi adalah
sebagaimana pada tabel berikut.
Tabel 8. 2 Prosedur Perhitungan Denyut Nadi
Persiapan alat 1. Arloji tangan yang mempunyai petunjuk detik
2. Buku catatan dan alat tulis.
Persiapan 1. Memberikan penjelasan kepada pasien tentang
pasien tindakan yang akan dilakukan.
2. Mengatur posisi pasien dalam keadaan rileks
berbaring atau duduk.
Pelaksanaan 1. Mencuci tangan.
2. Meraba tangan pasien pada pergelangannya
dengan jari telunjuk, jari tengah dan manis
sampai teraba denyut nadi arteri radialis.
3. Tangan yang lain memegang alat penghitung nadi
/arloji.
4. Menghitung denyut nadi selama 15 detik.
5. Hasilnya dikalikan empat.
6. Mencatat hasil perkalian.
7. Merapikan pasien dan mengembalikan pasien ke
posisi semula.
8. Mengembalikan peralatan ke tempat semula.
9. Mencuci tangan.

c. Kompetensi tindakan pengukuran suhu badan

Suhu badan adalah derajat panas yang dihasilkan oleh tubuh


manusia sebagai keseimbangan pembakaran dalam tubuh dengan
pengeluaran panas melalui keringat, pernapasan, dan sisa
pembuangan (eksresi). Adapun prosedur tindakan pengukuran suhu
badan adalah sebagaimana pada tabel berikut.

116
Tabel 8. 3 Prosedur Pengukuran Suhu Badan
Persiapan alat 1. Termometer badan untuk ketiak.
2. Larutan disinfektan dalam botol/gelas.
3. Air bersih.
4. Kassa kering/tissu dan handuk kering.
5. Buku catatan dan alat tulis
Persiapan 1. Memberikan penjelasan kepada pasien tentang
pasien tindakan yang akan dilakukan.
2. Mengatur posisi pasien dalam keadaan rileks
berbaring atau duduk.
Pelaksanaan Mengukur suhu melalui aksila/ketiak:
1. Mencuci tangan
2. Membasuh termometer dengan air.
3. Mengeringkan termometer dengan tissu/kassa
kering dari ujung ke arah pegangan.
4. Menurunkan air raksa di dalam termometer
sampai angka 35 atau di bawahnya.
5. Meminta dan membantu pasien membuka
pakaian pada daerah ketiak.
6. Mengeringkan salah satu ketiak pasien dengan
handuk kering.
7. Memasang termometer pada tengah ketiak.
8. Menutup lengan atas dan menyilangkan lengan
bawah di dada.
9. Membiarkan termometer di ketiak selama 6-8
menit.
10. Mengambil termometer dari ketiak pasien.
11. Membaca tinggi air raksa di dalam termometer .
12. Mencatat hasil pengukuran pada buku
13. Menurunkan air raksa di dalam termometer.
14. Memasukkan termometer ke dalam larutan

117
disinfektan lalu mengeringkannya.
15. Mengembalikan peralatan ke tempat semula.
16. Mencuci tangan

d. Kompetensi perhitungan frekuensi pernapasan

Pemeriksaan pernapasan merupakan salah satu indikator


untuk mengetahui fungsi sistem pernapasan dalam memertahankan
pertukaran oksigen dan karbon dioksida dalam paru dan pengaturan
keseimbangan asam-basa dalam tubuh. Adapun prosedur tindakan
perhitungan frekuensi pernapasan adalah sebagaimana pada tabel
berikut.

Tabel 8. 4 Prosedur Perhitungan Frekuensi Pernapasan


Persiapan 1. Arloji tangan yang mempunyai petunjuk detik
alat 2. Buku catatan dan alat tulis.

Persiapan 1. Memberikan penjelasan kepada pasien tentang


pasien tindakan yang akan dilakukan.
2. Mengatur posisi pasien dalam keadaan rileks
berbaring atau duduk.
Pelaksanaan Setelah menghitung denyut nadi dilanjutkan dengan
menghitung pernapasan
1. Menghitung siklus pernapasan klien (1 inspirasi
dan 1 ekspirasi) selama 15 detik.
2. Perhatikan pula irama dan kedalaman
pernapasan klien.
3. Hasilnya dikali empat.
4. Mencuci tangan dan keringkan dengan lap kering
bersih/tissu.
5. Catat hasil pada lembar dokumentasi.

118
8.3.4 Pengukuran Status Gizi

Dengan menilai status gizi santri dapat diketahui apakah santri


memiliki status gizi normal atau tidak normal. Indeks massa tubuh (IMT)
merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mendeteksi
masalah gizi pada seseorang. Dalam perhitungan IMT diperlukan
ukuran tinggi dan berat badan. Oleh karena itu kader santri husada
harus memiliki keterampilan dalam melakukan pengukuran berat
badan, tinggi badan, dan perhitungan IMT.

a. Pengukuran Berat Badan.


Dalam keadaan normal berat badan mengikuti perkembangan
umur. Sebaliknya, dalam keadaan abnormal terdapat dua kemungkinan
perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang lebih cepat atau
lebih lambat dari keadaan normal. Adapun prosedur dalam tindakan
pengukuran berat badan adalah sebagai berikut:
(1) Pasien yang akan ditimbang diminta membuka alas kaki dan
jaket, serta mengeluarkan isi kantong yang berat seperti
kunci, telepon genggam, dll.
(2) Memosisikan pasien di atas timbangan
(3) Memerhatikan posisi kaki pasien tepat di tengah alat
timbangan, tidak menumpu pada salah satu kaki, sikap
tenang dan kepala tidak menunduk (memandang lurus ke
depan)
(4) Membaca dan mencatat berat badan.

b. Pengukuran Tinggi Badan


Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif pada masalah
kekurangan gizi pada waktu singkat. Adapun prosedur dalam tindakan
pengukuran tinggi badan adalah sebagai berikut:
(1) Meminta pasien melepaskan alas kaki (sandal/sepatu),

119
topi dan aksesori lain yang dapat memengaruhi hasil
pengukuran.
(2) Pasien diminta berdiri tegak, persis di bawah alat geser/
microtoise.
(3) Posisi kepala, bahu bagian belakang (punggung), pantat,
betis dan tumit menempel pada dinding tempat microtoise
dipasang.
(4) Menggerakkan alat geser sampai menyentuh bagian atas
kepala pasien.
(5) Membaca angka tinggi badan secara sejajar dengan mata
petugas.
(6) Pencatatan dilakukan dengan ketelitian sampai satu angka
di belakang koma (0,1 cm). Contohnya 157,3 cm.

c. Pengukuran IMT
Pada anak-anak dan remaja pengukuran IMT sangat terkait
dengan umurnya, karena dengan perubahan umur terjadi perubahan
komposisi tubuh dan densitas tubuh. Oleh karena itu, pada anak-anak
dan remaja digunakan indikator IMT menurut umur, biasa disimbolkan
dengan IMT/U. IMT adalah perbandingan antara berat badan dengan
tinggi badan kuadrat. Rumus IMT yaitu :

Berat badan (kg)


IMT = Tinggi badan2 (meter)

Untuk menentukan status gizi pada anak dan remaja atau santri
usia 5-19 tahun nilai IMT-nya harus dibandingkan dengan referensi
Kemenkes RI 2020. Pada saat ini, yang paling sering dilakukan untuk
menyatakan indeks tersebut adalah dengan Z-score. Klasifikasi status
gizi pada IMT yang dihitung dengan menggunakan Z-score menurut
Kemenkes RI 2020 untuk anak usia 5-18 tahun dapat dilihat pada Tabel
8.54

120
Tabel 8. 5 Klasifikasi IMT untuk anak usia 5-18 tahun
Ambang Batas
Indeks Kategori Status Gizi
(Z-score)
Gizi buruk (severely thinness) < -3 SD
Indeks Massa Gizi kurang (thinness) -3 SD sd < -2 SD
Tubuh menurut
Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
Umur (IMT/U) anak
Gizi lebih (overweight) +1 SD sd +2 SD
usia 5 - 18 tahun
Obesitas (obese) > +2 SD

Penentuan status gizi anak merujuk pada ambang batas (Z-score)


pada Tabel Standar Antropometri Anak berikut :

Tabel 8. 6 Standar Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Laki-Laki Umur 5-18
Tahun
Umur Indeks Massa Tubuh (IMT)
Tahun -3 SD -2 SD -1 SD Median +1 SD +2 SD +3 SD
5 11.7 12.7 13.9 15.2 16.9 19.0 21.7
6 11.7 12.7 13.9 15.3 17.1 19.5 22.7
7 11.8 12.8 14.0 15.5 17.5 20.1 24.0
8 12.0 13.0 14.3 15.9 18.0 21.0 25.6
9 12.2 13.3 14.6 16.3 18.7 22.0 27.5
10 12.5 13.7 15.1 16.9 19.4 23.1 29.3
11 13.2 14.2 15.5 17.2 19.5 22.9 28.8
12 13.6 14.7 16.1 17.9 20.4 24.2 30.9
13 14.0 15.2 16.7 18.6 21.3 25.3 32.4
14 14.5 15.7 17.3 19.4 22.2 26.5 33.6
15 14.9 16.3 18.0 20.1 23.1 27.4 34.5
16 15.3 16.7 18.5 20.8 23.9 28.3 35.0
17 15.6 17.1 19.0 21.4 24.6 29.0 35.3
18 15.8 17.4 19.4 22.0 25.2 29.5 35.5

Tabel 8. 7 Standar Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Perempuan umur 5-18
tahun
Umur Indeks Massa Tubuh (IMT)
+3
Tahun -3 SD -2 SD -1 SD Median +1 SD +2 SD
SD
5 11.7 12.7 13.9 15.2 16.9 19.0 21.7
6 11.7 12.7 13.9 15.3 17.1 19.5 22.7
7 11.8 12.8 14.0 15.5 17.5 20.1 24.0
8 12.0 13.0 14.3 15.9 18.0 21.0 25.6
9 12.2 13.3 14.6 16.3 18.7 22.0 27.5
10 12.5 13.7 15.1 16.9 19.4 23.1 29.3

121
11 12.9 14.1 15.6 17.6 20.3 24.3 31.1
11 13.0 14.2 15.7 17.7 20.4 24.4 31.2
12 13.4 14.7 16.3 18.4 21.3 25.6 32.7
13 13.8 15.2 16.9 19.2 22.3 26.8 34.1
14 14.2 15.7 17.5 19.9 23.1 27.8 35.1
15 14.5 16.0 18.0 20.5 23.8 28.6 35.8
16 14.7 16.3 18.3 20.9 24.3 29.1 36.2
17 14.7 16.4 18.5 21.2 24.6 29.4 36.3
18 14.7 16.5 18.6 21.3 24.9 29.6 36.2

Contoh menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) dan


menginterpretasikannya:

- Santriwati berusia 15 tahun memiliki berat badan 40 kg dan


tinggi badan 148 cm (1,48 m). Maka IMT santriwati tersebut
adalah :
-
40 (kg)
IMT = 1,482 (meter) = 18,2

Dari perhitungan menggunakan rumus di atas, diketahui IMT


santriwati dengan usia 15 tahun tersebut adalagh 18,2. Berdasarkan
Tabel 8.7, IMT santriwati tersebut dalam ambang batas -1 SD. Ambang
batas -1 SD pada usia 15 tahun tergolong normal berdasarkan Tabel 8.5 .
Jadi kesimpulannya adalah santriwati tersebut memiliki status gizi baik
atau normal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Pedoman Penyelenggaraan dan Pembinaan Pos


Kesehatan Pesantren [Internet]. Departemen Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, nomor 1 tahun 2013 Indonesia;
2013 p. 1–9.

2. Kemenkes. Petunjuk Teknis Implementasi PSN 3M-PLUS dengan


Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik. Farchanny A, Widada S, Subahagio,
Simanjuntak R, Galuh Budhi Leksono Adh, editors. Jakarta,:
Kementrian Kesehatan RI; 2016.

122
3. Harioputro DR, Suselo YH, Suryawati B, Sugiarto, Wulandari S,
Maftuhah A, et al. Pemeriksaan tanda vital. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret; 2018. 1–18 p.

4. Kemenkes RI. Standar Antropometri Anak. 2 tahun 2020


Indonesia; 2020 p. 1–22.

123
BAB 9
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DI PESANTREN

Saat ini Indonesia sedang menghadapi tantangan penularan


Coronavirus Disease (COVID-19) yang telah dinyatakan sebagai pandemi
dunia oleh WHO dan Indonesia dilaporkan menempati peringkat
pertama sebagai Negara dengan jumlah kematian tertinggi di Asia
Tenggara. Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan COVID-19 telah
diterbitkan, diantaranya adalah Pembentukan Tim Gugus Tugas
Percepatan Pengendalian COVID-19 di tingkat Pusat, Provinsi maupun
Kabupaten/Kota yang saat ini dinamakan Satuan Tugas Penanganan
COVID-19 serta pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB).
Sejak pertengahan bulan Juni 2020, pesantren yang menghentikan
sementara aktivitas pembelajarannya sejak akhir Maret 2020 lalu
karena pandemi Covid-19, mulai diberi izin untuk melakukan aktivitas
pembelajaran kembali. Pembukaan aktivitas pembelajaran di pesantren
di masa pandemi Covid-19 tersebut menarik untuk dikaji, karena
pendidikan pesantren merupakan pendidikan keagamaan berasrama di
mana para santri hidup dalam proses interaksi yang berlangsung secara
terus menerus sehingga dibutuhkan kebijakan internal pondok
pesantren dalam pencegahan dan penanggulangan COVID-19 di pondok
pesantren.1

124
Situasi Pandemi COVID-19 ini dapat menjadi pelajaran bagi
pesantren untuk mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) yang dapat
kapanpun terjadi. KLB merupakan status untuk mengklasifikasikan
peristiwa merebaknya suatu penyakit yang dapat berkembang menjadi
wabah penyakit. Dalam menghadapi KLB pesantren perlu meningkatkan
sistem pencegahan dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) di
pesantren.
Bab ini akan membahas upaya peningkatan peran pesantren
dalam pencegahan dan pengendalian kejadian luar biasa (KLB) di
pesantren dan upaya pencegahan dan pengendalian COVID-19 di
pesantren

9.1 Pencegahan dan Pengendalian Kejadian Luar Biasa (KLB) di


Pesantren
Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan pencegahan dan
pengendalian KLB suatu penyakit di pesantren. Tahapan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Penyelidikan KLB
Penyelidikan KLB dilakukan dengan :
a. Pemeriksaan/Skrining kesehatan masayarakat pesantren
berdasarkan gejala/tanda dan pemeriksaan penunjang suatu
penyakit. Laporan kesakitan yang diterima oleh dokter
poskestren segera dapat diolah untuk penghitungan kasus.
Kasus-kasus yang diwawancarai dapat memberikan petunjuk
ke arah adanya kasus-kasus di antara temannya atau anggota
kamar santri lainnya yang belum dilaporkan. Wawancara itu
mungkin dapat menuntun kepada penemuan sumber infeksi,
atau kontak yang menjadi sakit karena penularan dari kasus
yang diwawancarai;
b. Penyelidikan epidemiologi terhadap kasus suatu penyakit
berdasarkan aspek waktu (mulai dan lamanya kejadian),
aspek tempat (luasnya wilayah penularan) dan aspek

125
individu (golongan umur yang terkena risiko, jenis kelamin,
kelompok pekerja, dan lain-lain). Penyelidikan epidemiologi
dilaksanakan untuk mengetahui asal penularan, luas
penularan, waktu terjadi penularan dan kelompok yang
terkena risiko;
c. Penyelidikan perilaku kesehatan masyarakat pesantren;
d. Penyelidikan perilaku tenaga kesehatan Poskestren dan
kader santri husada;
e. Pengamatan vektor untuk mengetahui vektor yang berperan,
perilaku vektor, dan tempat perindukan potensial;
f. Pengamatan adanya perubahan lingkungan; dan
g. Pengamatan terhadap iklim dan curah hujan.

2. Analisa
a. Waktu KLB di pesantren dapat diketahui dengan melakukan
analisis melalui pembuatan grafik fluktuasi kasus bulanan pada
tahun berjalan dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan
kurva grafik kasus mingguan pada tahun berjalan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sumber data
didapatkan laporan bulanan Poskestren.
b. Luasnya penularan di pesantren dapat diketahui dengan
melakukan analisis melalui pembuatan grafik distribusi kasus
per lokasi yang menunjukkan peningkatan saat ini
dibandingkan tahun lalu. Sumber data didapatkan laporan
bulanan Poskestren. Apabila KLB disebabkan vektor maka
dilakukan analisa terhadap adanya tempat perindukan vektor
penyebab KLB di pesantren berdasarkan sumber data dari
hasil survey pengamatan vektor.
c. Penderita yang berisiko di pesantren dapat diketahui dengan
melakukan analisis melalui pembuatan tabel dan grafik kasus
per lokasi berdasarkan golongan usia, jenis kelamin, dan
tingkatan kelas di pesantren.

126
3. Membuat Rancangan Penanggulangan
Dalam menyusun rancangan penanggulangan KLB di
pesantren diperlukan musyawarah yang melibatkan pimpinan
pesantren, pengurus pesantren, pengurus Poskestren, dan Kader
santri husada. Pembahasan dalam musyawarah tersebut antar
lain:
a. Membentuk Tim Gerak Cepat di pesantren yang terdiri atas
tenaga medis Poskestren, tim penyelidik kasus, tim kebersihan
santri dan lingkungan pesantren, tim gizi santri, dan tim
keamanan.
b. Menyusun rencana pembiayaan. Pendanaan yang timbul dalam
upaya penanggulangan KLB di pesantren dibebankan pada
anggaran pondok pesantren. Dalam kondisi pondok pesantren
tidak mampu menanggulangi KLB maka dapat mengajukan
permintaan bantuan kepada puskesmas atau pemerintah
daerah setempat.
c. Menyusun rencana kebutuhan obat-obatan, peralatan medis,
sarana dan prasarana penunjang penanggulangan KLB di
pesantren.
d. Menyusun kegiatan penanggulangan

4. Penanggulangan
Penanggulangan KLB di pesantren dilakukan oleh Tim
Gerak Cepat di Pesantren meliputi:
1. Penatalaksanaan penderita yang mencakup kegiatan
pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita,
termasuk tindakan karantina;
2. Pencegahan penyebaran penyakit. Jika menyangkut kontak
dengan sumber pencemaran maka dapat diambil langkah-
Iangkah untuk mencegah kontak dengan sumber sampai
sumber itu dapat dihilangkan. Peningkatan gizi santri, menjaga

127
kebersihan lingkungan pesantren, imunisasi, dan diagnosis dini
juga dapat menjadi langkah pencegahan penyebaran penyakit.
3. Pemusnahan penyebab penyakit. Jika didapatkan (atau
dicurigai) air sebagai sumber infeksi, penggunaan air dapat
dihentikan sampai sumber air dan sistem penyalurannya
dibersihkan dari pencemaran. Bila menyangkut makanan
tercemar maka makanan itu dapat dimusnahkan.; dan
4. Penyuluhan pencegahan penyakit kepada seluruh masyarakat
pesantren.

5. Pelaporan
Tujuan pelaporan kejadian dan tindakan penanggulangan
yang telah dilaksanakan dapt dimanfaatkan sebaik-baiknyauntuk
merancang dan menerapkan tindakan pencegahan dan
penaggulangan (KLB) yang terjadi di masa depan

6. Pembinaan dan Pengawasan


Penanggulangan KLB di pesantren perlu mendapat
pembinaan dan pengawasan dari Puskesmas. Pembinaan dan
pengawasan dilakukan melalui:
a. Peningkatan kemampuan dan keterampilan Tim Gerak
Cepat Pesantren dalam penanggulangan KLB di pesantren;
b. Pemantauan dan evaluasi terhadap keberhasilan
penanggulangan KLB di pesantren; dan
c. Bimbingan teknis terhadap penanggulangan KLB di
pesantren.2

9.2 Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Pesantren

Tahap-tahap pelaksanaan pencegahan dan pengendalian COVID-19


di pesantren adalah sebagai berikut :

128
1. Pembentukan Satgas Pesantren
Tim Satuan Gugus Tugas dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Pimpinan Pesantren. Adapun tugas dari Tim Satuan Gugus Tugas di
Pesantren sebagai berikut:
a. Ketua
(1) Melakukan kemitraan dengan puskesmas dan Gugus
Tugas/Satuan Tugas tingkat Kecamatan/Desa.
(2) Memastikan terlaksananya protokol kesehatan di dalam
lingkungan pesantren khususnya di asrama (kamar),
kegiatan belajar mengajar, ruang makan, dan kegiatan
ibadah.
(3) Memantau pelaksanaan kegiatan setiap minggu dan
mengevaluasi pelaksanaan kegiatan setiap bulan
bersama dengan penanggung jawab kegiatan dan
petugas Puskesmas setempat.
b. Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren):
(1) Melakukan analisis situasi pesantren.
(2) Memantau kesehatan masyarakat pesantren bersama
dengan petugas puskesmas yang dilakukan secara
berkala yang selanjutnya diklasifikasikan menjadi kasus
suspek, probable, konfirmasi, kontak erat, pelaku
perjalanan dan discarded.
(3) Bertanggung jawab terhadap kegiatan dan protokol
kesehatan setiap hari di ruang isolasi pesantren
(4) Meningkatkan literasi kesehatan di Pesantren dengan
membuat media komunikasi, informasi dan edukasi
bidang kesehatan
c. Bidang Peningkatan Gizi Santri
(1) Menyediakan menu bergizi bagi santri dan/atau
memberikan tablet tambah darah bagi santri perempuan.
(2) Memantau pengolahan dan penyajian makanan sesuai
dengan protokol.

129
(3) Melakukan konseling gizi bagi santri.
d. Bidang Kebersihan
(1) Memastikan dan mengontrol seluruh santri senantiasa
menjaga kebersihan diri dan seluruh lingkungan
pesantren.
(2) Membersihkan peralatan/barang yang sering disentuh
dengan cairan desinfektan secara rutin minimal 2 kali
sehari.
e. Bidang Keamanan
(1) Mengukur suhu badan tamu atau santri yang masuk ke
dalam lingkungan pesantren.
(2) Memastikan tamu atau santri yang masuk ke dalam
lingkungan pesantren untuk melakukan CTPS dengan air
yang mengalir.

Dalam upaya pencegahan dan pengendalian COVID-19,


pesantren melakukan Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi (KIS)
pelaksanaan kegiatan dengan Puskesmas dan gugus tugas/satuan tugas
tingkat kecamatan/desa setempat. Sebaliknya Puskesmas dan gugus
tugas/satuan tugas tingkat kecamatan/desa melakukan pembinaan,
pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan yang
dilaksanakan oleh pesantren.

2. Penyediaan Fasilitas Protokol Kesehatan


Sebagai upaya pencegahan dan pengendalian COVID-19,
pesantren dapat menyediakan
1. sarana cuci tangan pakai sabun di berbagai sudut pesantren
2. ruang isolasi untuk kasus suspek dan konfirmasi dengan
gajala ringan
3. ruang karantina untuk kasus kontak erat.

130
Adapun syarat Ruang karantina dan isolasi di pesantren sebagai
berikut :
1. Ruangan berada terpisah dengan kegiatan atau asrama
santri.
2. Luas minimum per orang adalah 2 x 3 �2 atau berjarak
minimal 1,5 meter antar tempat tidur.
3. Ventilasi (jendela dan pintu terbuka) dan penerangan yang
baik.
4. Lantai dan dinding tidak lembab.
5. Sarana dan prasarana lengkap.

Apabila pesantren tidak memiliki ruangan isolasi yang


dipersyaratkan tersebut, maka Pimpinan Pesantren dapat menghubungi
Gugus Tugas/Satuan Tugas tingkat Kecamatan/Desa untuk
memfasilitasi santri yang membutuhkan isolasi mandiri di fasilitas yang
dikelola kecamatan/desa.

3. Upaya Perlindungan Kesehatan pada Masyarakat Pesantren


COVID-19 merupakan penyakit yang tingkat penularannya
cukup tinggi, sehigga perlu dilakukan upaya perlindungan kesehatan
masyarakat yang dilakukan secara komprehensif. Perlindungan
kesehatan masyarakat pesantren dilakukan melalui:
a. Upaya peningkatan kesehatan (promotif)
Upaya peningkatan kesehatan dapat dilakukan melalui kegiatan
promosi kesehatan di pesantren dengan strategi pemberdayaan
masyarakat pesantren untuk meningkatkan literasi kesehatan
masyarakat pesantren dalam menerapkan PHBS pencegahan COVID-19.
b. Upaya pencegahan (preventif)
Upaya pencegahan dilakukan melalui kegiatan pengendalian faktor
risiko dan deteksi dini yang didukung dengan kegiatan surveilans
berbasis masyarakat pesantren. Pengendalian faktor risiko untuk

131
memutus rantai penularan COVID-19 pada individu dilakukan dengan
beberapa tindakan, seperti:
(1) Saat dalam lingkungan pesantren: membersihkan tangan
secara teratur yakni cuci tangan pakai sabun dengan air
mengalir selama 40-60 detik, hindari menyentuh mata, hidung,
dan mulut dengan tangan yang tidak bersih, menggunakan
masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu, serta
menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain.
(2) Saat tiba di lingkungan pesantren atau setelah bepergian, cek
suhu tubuh dan segera cuci tangan pakai sabun dengan air
yang mengalir.
(3) Saat akan bepergian dari lingkungan pesantren gunakan
masker, gunakan baju lengan panjang dan sepatu, membawa
handsanitizer, jaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain.
(4) Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengonsumsi gizi
seimbang, aktivitas fisik minimal 30 menit sehari, istirahat
yang cukup.
(5) Menerapkan etika batuk dan bersin, jika sakit berlanjut segera
berkonsultasi dengan dokter/tenaga kesehatan terdekat.
Surveilans berbasis masyarakat pesantren bertujuan untuk
meningkatkan peran pesantren dalam upaya deteksi dini untuk
menemukan faktor risiko sedini mungkin pada individu secara rutin
melalui pemantauan kondisi kesehatan (gejala demam, batuk, pilek,
nyeri tenggorokan, dan/atau sesak nafas) terhadap masyarakat
pesantren dan tamu. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari
terjadinya penularan di lingkungan masyarakat dan bagi yang sakit
dapat segera mendapatkan perawatan dengan benar sampai sembuh.
Surveilans berbasis masyarakat dapat dilakukan oleh kader santri
husada pesantren atas pembinaan dari petugas puskesmas setempat.

132
4. Manajemen Penanganan Kasus COVID-19 di Pesantren
Manajemen kesehatan masyarakat merupakan serangkaian
kegiatan kesehatan masyarakat yang dilakukan terhadap kasus. Kriteria
kasus terbagi menjadi empat yaitu kasus suspek, kontak erat, probable,
dan kasus konfirmasi 3 :
a. Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki gejala/tanda Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA)* dan pada 14 hari terakhir sebelum
timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal **
atau memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi/probable COVID-19.
b. Kasus Probable
Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan
gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 dan belum ada
hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
c. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19
yang dibuktikan dengan pemeriksaan labora/torium RT-PCR.
Kasus konfirmasi dibagi menjadi dua yaitu dengan gejala
(simptomatik) dan tanpa gejala (asimptomatik)
d. Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable
atau konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud
adalah bersentuhan fisik langsung (seperti bersalaman,
berpegangan tangan, dan lain-lain) atau kontak tatap muka
dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau
lebih.
e. Pelaku Perjalanan
Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri
(domestik) maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.

133
f. Discarded
Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
(1) Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil
pemeriksaan RT-PCR 2 kali negatif selama 2 hari berturut-
turut dengan selang waktu >24 jam.
(2) Seseorang dengan status kontak erat yang telah
menyelesaikan masa karantina selama 14 hari.
Catatan:
* ISPA yaitu demam (≥38°C) atau riwayat demam; dan disertai salah
satu gejala/tanda penyakit pernapasan seperti: batuk/sesak nafas/sakit
tenggorokan/pilek/ pneumonia ringan hingga berat
**Negara/wilayah transmisi lokal adalah negara/wilayah yang
melaporkan adanya kasus konfirmasi yang sumber penularannya
berasal dari wilayah yang melaporkan kasus tersebut.

Apabila ditemukan kasus di pesantren maka berikut penanganan


yang harus dilakukan:
a. Segera menghubungi Puskesmas setempat
b. Memfasilitasi Puskesmas untuk melakukan:
1) Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan RT-PCR hari
ke 1 dan ke 2.
2) Pemantauan selama 14 hari.
3) Melalui petugas surveilans melacak orang dengan kontak
erat (2 hari terakhir).
c. Apabila gejala ringan dilakukan isolasi di pesantren dan
diedukasi. Apabila gejala mengalami perburukan segera ke
fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas atau Rumah
Sakit).
d. Warga pesantren yang termasuk kasus suspek, konfirmasi
dengan gejala ringan, dan kontak erat harus menggunakan

134
masker 3 lapis dan menjaga jarak dari santri lain,
menerapkan etika batuk dan bersin yang tepat, sering CTPS
dengan air yang mengalir, dan tertib menerapkan PHBS.

Ringkasan Manajemen Penanganan Kasus COVID-19 di Pesantren

Gambar 9.1 Ringkasan Manajemen Penanganan Kasus COVID-19 di Pesantren

135
DAFTAR PUSTAKA
1. Fahham AM. Pembelajaran Di Pesantren Pada Masa Pandemi Covid-
19. Pus Penelit Badan Keahlian DPR RI. 2020;XII(14):13–8.

2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jenis Penyakit Menular


Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Peanggulangan. 1501 Indonesia; 2010 p. 1–30.

3. Kemenkes RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona


Virus Disease 2019 (COVID-19). HK.01.07/MENKES/413/2020
Indonesia; 2020.

136
BAB 10
PENCEGAHAN DAN
PENANGANAN AWAL PENYAKIT
YANG SERING TERJADI DI PESANTREN

Bab ini menjelaskan penyakit-penyakit yang sering terjadi di


pondok pesantren meliputi definisi, gejala, pencegahan dan penanganan
awal di pesantren. Adapun penyakit-penyakit yang dibahas pada bab ini
adalah Gudik (Skabies), Hepatitis A, Demam Berdarah, Batuk Pilek
(ISPA), Diare, Sakit Mata (Konjungtivitis), dan Kutu Rambut (Pedikulosis
Kapitis).
Pembahasan pada bab ini dapat menjadi bahan pembelajaran dan
acuan bagi seluruh SDM kesehatan dan kader santri husada di pondok
pesantren dalam upaya pencegahan dan penanganan awal penyakit
yang sering terjadi di pesantren. Tujuan dari pembahasan ini adalah
meningkatkan kompetensi seluruh SDM kesehatan dan kader santri
husada di pondok pesantren sehingga dapat meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat dalam pencegahan penyakit dan dapat
menurunkan angka kesakitan santri di pondok pesantren seluruh
Indonesia.

10.1 Gudik (Skabies)


1. Definisi
Skabies adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

137
infeksi tungau Sarcoptes scabei var hominis (Sarcoptes sp.). Skabies
dapat terjadi terutama di lingkungan yang padat penduduk, kebersihan
kurang, sosial ekonomi rendah, serta kontak dengan penderita.1

2. Gejala
Daerah predileksi infestasi tungau ini adalah lapisan kulit yang
tipis seperti sela-sela jari tangan dan kaki, pergelangan tangan, siku
bagian luar, lipatan ketiak bagian depan, dada, periareolar (khusus pada
wanita), punggung, pinggang, pusar, pantat, selangkangan, sekitar alat
kelamin, dan penis (khusus pada pria).
Gejala klinis akibat infestasi tungau Sarcoptes scabiei adalah
timbulnya ruam pada kulit dan rasa gatal (pruritus) terutama pada
malam hari. Gejala ruam pada kulit berawal dengan munculnya papulae
eritrema (penonjolan kulit tanpa berisi cairan, berbentuk bulat, berbatas
tegas, berwarna merah) dengan ukuran <1 cm yang terus berkembang
menjadi vesicle atau pustule (penonjolan kulit berisi cairan atau nanah).
Ciri khas dari infestasi tungau ini adalah adanya terowongan di bawah
lapisan kulit yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis
lurus atau berkelok, dan pada ujung terowongan ditemukan vesikel.2
Gejala gatal (pruritus) akan timbul lebih dari 3 minggu setelah
infestasi tungau ke dalam kulit. Rasa gatal terjadi pada seluruh kulit
dikarenakan sensitifitas kulit terhadap tubuh tungau dan hasil ekskresi
tungau (saliva, telur dan skibala). Pada beberapa kasus, gejala ruam dan
gatal pada penderita skabies dapat menetap hingga beberapa minggu
setelah pengobatan. Hal ini dimungkinkan karena tubuh tungau yang
mati masih berada di bawah permukaan kulit.

3. Pencegahan
Hal yang paling utama sebagai pencegahan penyakit skabies ini
adalah menerapkan pola hidup bersih dan sehat dan menjaga kesehatan
lingkungan sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 5 dan 6.
Dalam upaya pencegahan penularan skabies dari penderita ke

138
santri lain maka setiap santri yang tinggal dan kontak langsung bersama
santri yang menderita skabies harus diobati meskipun tidak timbul
gejala gatal-gatal. Hal ini dikarenakan gejala gatal baru timbul beberapa
minggu setelah infestasi tungau. Baju, sprei, sarung bantal, selimut,
handuk, dan kain lainnya yang sebelumnya digunakan oleh penderita
disarankan dicuci dengan air panas dan dijemur dibawah sinar matahari
langsung untuk membunuh tungau yang menempel sehingga tidak
menjadi sumber penularan.

4. Penanganan awal di pesantren


Penanganan santri yang mengalami skabies dapat dilakukan
dengan mengoleskan salep Scabimite (Permetrin 5%) ke bagian tubuh
yang umum menjadi predileksi infestasi tungau. Penanganan ini
dilakukan setiap hari selepas mandi, setiap pagi dan sore, dan dilakukan
bersama-sama dengan penderita lain dalam satu kamar agar tungau
benar-benar dilenyapkan dari keseluruhan kulit mereka.3 Penanganan
dengan sistem ini dapat menghilangkan penyakit skabies secara
permanen, namun setelah itu harus terus menerapkan pola hidup bersih
dan sehat.

10.2 Hepatitis A
1. Definisi
Hepatitis A adalah penyakit organ hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis A. Virus ini menyerang terutama terhadap orang yang belum
terinfeksi, belum divaksinasi, dan mencerna makanan atau air yang
terkontaminasi tinja orang yang terinfeksi. Tidak seperti hepatitis B dan
C, infeksi Hepatitis A tidak menyebabkan penyakit hati kronis dan
jarang berakibat fatal.

2. Gejala
Penyakit Hepatitis A ini umumnya tidak menunjukkan gejala
sehingga penderita terkadang tidak tahu bahwa telah terinfeksi virus ini.

139
Penyakit Hepatitis A merupakan jenis penyakit hati paling ringan
namun sangat mudah menular. Pada penyakit ini dapat ditemukan
gejala lemas, mual, hilang nafsu makan, muntah, demam, kulit dan
sklera mata berubah menjadi kuning, dan gejala lainnya. Gejala penyakit
ini umumnya dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:4
a. Masa inkubasi Hepatitis A antara 2-6 minggu, biasanya
terdapat gejala letih, lesu, nyeri telan, demam (38oC-39oC),
kehilangan selera makan, mual, bahkan muntah-muntah yang
berlebihan.
b. Stadium dengan gejala kuning. Stadium ini ditandai urin dan
tinja berwarna teh tua, disertai timbulnya kuning pada mata
dan kulit, nyeri perut kanan, terjadi peningkatan tes fungsi hati
(bilirubin, SGOT, SGPT) dan meningkatnya antibodi IgM anti
Virus Hepatitis A (HAV).
c. Stadium penyembuhan. Stadium ini ditandai dengan
menghilangnya warna kuning pada sklera dan kulit, namun
pembesaran organ hati menetap. Penyembuhan sempurna
infeksi Virus Hepatitis A (HAV) membutuhkan waktu 3-4 bulan.

3. Pencegahan
Hepatitis A memang seringkali tidak berbahaya, namun lamanya
masa penyembuhan dapat memberikan kerugian ekonomi dan sosial.
Penyakit ini juga tidak memiliki pengobatan spesifik yang dapat
mengurangi lama penyakit, sehingga dalam penatalaksanaan Hepatitis A,
tindakan pencegahan adalah yang paling diutamakan. Pencegahan
Hepatitis A dapat dilakukan baik dengan pencegahan non-spesifik
(perubahan perilaku) maupun dengan pencegahan spesifik (imunisasi)
a. Pencegahan Non-Spesifik
Kader Santri Husada dapat meningkatkan pencegahan
nonspesifik Hepatitis A dengan memberikan edukasi yang sesuai, antara
lain:
1) Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) secara benar

140
2) Pengolahan makanan dan minuman yang sehat
3) Penggunaan air bersih secara benar
4) Pengelolaan air limbah dan kotoran yang baik

b. Pencegahan Spesifik
Pencegahan spesifik Hepatitis A dilakukan dengan imunisasi.
Proses ini bisa bersifat pasif maupun aktif. Imunisasi pasif dilakukan
dengan memberikan imunoglobulin yang dapat memberikan
perlindungan segera tetapi bersifat sementara. Sedangkan imunisasi
aktif dapat memberikan efektifitas yang tinggi pada pencegahan
Hepatitis A. Vaksin ini relatif aman dan belum ada laporan tentang efek
samping. Vaksin diberikan dalam 2 dosis dengan selang 6 – 12 bulan
didaerah lengan atas (deltoid) atau paha bagian samping (lateral).5

1. Penanganan awal di pesantren


Penanganan pada santri yang mengalami gejala Hepatitis A dapat
dilakukan dengan farmakologi dan nonfarmakologi. Penanganan
farmakologi disesuai dengan gejala yang dirasakan oleh pasien
diantaranya :
a. Jika ditemukan gejala demam maka pengobatan dengan
antipiretik seperti ibuprofen 2 x 400 mg/hari.
b. Jika ditemukan gejala mual maka pengobatan dengan antiemetik
seperti Metokloropamid 3x10 mg/hari atau Dommperidon 3x10
mg/ hari.
c. Jika ditemukan gejala sakit perut dan kembunng maka
pengobatan dengan H2 Bloker seperti Simetidin 3x200 mg/hari,
Ranitidin 2x150 mg/hari, atau Omeprazol 1x20 mg/hari.

Sedangkan tatalaksana nonfarmakologi diantaranya istirahat yang


cukup atau tirah baring untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan
mengatur pola makan dengan mengurangi makan makanan berkalori,
dan memperbanyak makan sayur dan buah 5

141
10.3 Demam Berdarah
1. Definisi
Penyakit Demam Berdarah adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabkan oleh virus Dengue. Nyamuk Aedes aegypti biasanya
menggigit pada saat pagi, siang dan sore hari. Sedangkan pada malam
hari beristirahat di tempat yang gelap seperti celah-celah lipatan baju
yang digantung di kamar. Nyamuk Aedes aegypti akan mencari tempat
yang berair untuk bertelur.6
Manusia, virus, dan vektor adalah 3 faktor yang menyebabkan
penularan infeksi virus dengue. Nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak
dimulai dengan bertelur hingga dewasa selama 10-12 hari. Nyamuk
Aedes aegypti dapat terinfeksi jika menggigit manusia yang mengalami
infeksi virus di dalam darahnya. Dalam jangka waktu 8-10 hari virus
berkembangbiak di dalam kelenjar ludah nyamuk sebelum ditularkan ke
manusia lain untuk gigitan berikutnya.

2. Gejala
Infeksi virus dengue yang terjadi dapat berupa tanpa gejala
(asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated
febrile illness), Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue (DBD)
dan Dengue Syok Sydrome (DSS). Tanda dan gejala penyakit DBD dapat
berupa :
1. Demam tinggi mendadak disertai muka kemerahan. Suhu
demam tinggi penderita biasanya mencapai >39oC dan menetap
selama 2-7 hari.
2. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi,
mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita
mengeluh nyeri saat menelan namun jarang ditemukan batuk
pilek.
3. Keluhan lain seperti nyeri perut di ulu hati.
Namun untuk menegakkan diagnosis klinis DBD diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut melalui beberapa patokan gejala klinis dan

142
laboratorium.7

3. Pencegahan
Hingga saat ini belum ditemukan obat spesifik maupun vaksin
untuk pencegahan penyakit DBD sehingga upaya pencegahan dalam
pemutusan rantai penularan DBD adalah dengan melaksanakan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus. Panduan
pelaksanaan kegiatan PSN telah dipaparkan pada Bab 8.

4. Penanganan awal di pesantren


Penanganan awal pada santri yang mengalami gejala demam
berdarah sebelum ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan banyak
minum air putih dan minum obat penurun panas seperti Paracetamol.
Selanjutnya santri segera dibawa ke tempat pelayanan kesehatan baik di
Rumah Sakit ataupun Puskesmas untuk mendapatkan pengobatan lebih
lanjut.

10.4 Batuk Pilek (ISPA)


1. Definisi
ISPA merupakan penyakit infeksi virus atau bakteri akut yang
melibatkan salah satu atau lebih dari organ saluran pernapasan. ISPA
mencakup: tonsilitis (amandel), sinusitis, rhinitis, laringitis, faringitis.
Terjadinya ISPA dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu berkaitan
dengan kondisi kualitas udara, kepadatan penghuni kamar, kelembaban,
kebersihan, musim, dan temperatur. Kebanyakan ISPA disebabkan oleh
virus, virus yang paling banyak menyerang adalah virus Rhino.8

2. Gejala
Pada stadium awal gejalanya berupa rasa panas, kering, dan gatal
dalam hidung. Selanjutnya diikuti gejala bersin terus menerus, hidung
tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala.
Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Infeksi

143
lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung
bertambah. Apabila tidak terdapat komplikasi gejalanya akan berkurang
dalam 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis,
faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachius,
bronkhitis dan pneumonia (radang paru). Secara umum gejala ISPA
meliputi demam, badan pegal (myalgia), batuk, dan sering juga nyeri
tenggorokan, coryza (pilek), sesak napas, mengi, dan kesulitan bernapas.

3. Pencegahan
Upaya dari pihak pesantren yang dapat dilakukan dalam
mencegah penyakit batuk pilek di lingkungan pesantren adalah:
1. Mengatur kepadatan hunian kamar santri sehingga tidak overload.
2. Menyediakan lapangan kosong khusus untuk menjemur pakaian
yang terkena sinar matahari langsung.
3. Memastikan tiap kamar mempunyai lubang penghawaaan udara
yang bagus.
Upaya dari santri yang dapat dilakukan dalam mencegah penyakit
batuk pilek di lingkungan pesantren ialah:
1. Menerapkan PHBS
2. Membuka jendela kamar tiap hari.
3. Membersihkan kamar minimal dua kali sehari.
4. Menjemur kasur, bantal dann selimut minimal seminggu sekali.

4. Penanganan awal di pesantren


Penanganan awal apabila ada santri yang mengalami gejala batuk
pilek / ISPA agar tidak semakin parah adalah sebagai berikut:
1. Memperbanyak minum air putih.
2. Mengistirahatkan tubuh agar sistem kekebalan tubuh mampu
melawan virus dengan baik.
3. Memenuhi kebutuhan gizi
4. Mengonsumsi obat untuk meredakan gejala yang dirasakan.
Untuk mengurangi gejala pilek dapat minum obat yang

144
mengandung dekongestan. Untuk meredakan gejala sakit kepala
dan badan pegal dapat minum obat antinyeri seperti ibuprofen.

10.5 Diare
1. Definisi
Diare adalah kondisi dimana terjadi frekuensi buang air besar
(defekasi) yang lebih sering dari biasanya yaitu lebih dari 3 kali sehari.
Pada diare juga terdapat perubahan konsistensi yakni tinja menjadi
berbentuk cair atau setengah cair. Klasifikasi diare berdasarkan
lamanya ada dua yaitu diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang
dari 14 hari dan diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14
hari disertai penurunan berat badan selama masa diare tersebut.
Sedangkan jenis diare menurut penyebabnya adalah:
1) Diare akibat virus. Diare akibat virus sering disebabkan oleh
Rotavirus dan Adenovirus.
2) Diare bakterial invasif. Diare bakterial invasif (bersifat
menyerbu). Bakteri pada keadaan tertentu menjadi invasif dan
menyerbu ke dalam mukosa dan membentuk toksin.
3) Diare parasiter. Diare parasiter terjadi akibat protozoa seperti
Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia terutama terjadi di
daerah subtropis.
4) Diare akibat penyakit. Diare akibat penyakit misalnya Colitis
ulcerosa, irritable Bowel Syndrome (IBS), kanker colon dan
infeksi-HIV.
5) Diare akibat obat. Diare akibat obat yaitu seperti setelah
mengonsumsi obat digoksin, kinidin, garam-Mg dan litium,
sarbitol, beta blockers, perintang-ACE, reserpin, sitostatika dan
antibiotika berspektrum luas (ampisilin, amoksisilin,
sefalosporin, klindamisin, tetrasiklin).
6) Diare akibat keracunan makanan. Keracunan makanan
merupakan penyakit yang toksik yang disebabkan mengonsumsi
makanan atau minuman yang terkontaminasi.9

145
2. Gejala
Adapun gejala penyakit diare antara lain :
a. Peningkatan frekuensi dan kandungan cairan dalam tinja.
b. Kram perut, perut kembung (distensi), bising usus
(borborigmus), tidak nafsu makan (anoreksia) dan rasa haus.
c. Rasa sakit pada anus setiap kali buang air besar.
d. Gejala yang berkaitan adalah dehidrasi dan kelemahan.

Umumnya diare disertai gejala dehidrasi karena banyak


kehilangan cairan. Gejala dehidrasi dibagi menjadi 3 macam yaitu:
a. Dehidrasi ringan.
Keadaan umum pasien sadar dan baik, ada rasa haus, sirkulasi
darah/nadi normal, pernapasan normal, mata agak cekung,
turgor/tonus normal, kencing normal seperti biasa.
a. Dehidrasi sedang.
Keadaan umum pasien gelisah, merasakan sangat haus, sirkulasi
darah/nadi cepat (120-140), pernapasan agak cepat, mata
cekung, turgor/tonus menurun, volume air kencing sedikit.
b. Dehidrasi berat.
Keadaan umum pasien apatis/koma, tidak bisa minum, sirkulasi
darah/nadi cepat sekali (>140x/menit), pernapasan kussmaul
(cepat dan dalam), mata sangat cekung, turgor/tonus sangat
menurun, volume air kencing sedikit sekali hingga tidak ada.

3. Pencegahan
Pencegahan diare menurut pedoman tatalaksana diare adalah
sebagai berikut:10
1) Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) secara benar
2) Pengolahan makanan dan minuman yang sehat
3) Penggunaan air bersih secara benar
4) Pengelolaan air limbah dan kotoran yang baik

146
4. Penanganan awal di pesantren
Diare akut parah yang menyebabkan dehidrasi berat merupakan
keadaan gawat darurat (emergensi) yang memerlukan segera
penanganan. Oleh karena itu penting melakukan pencegahan dehidrasi.
Selain itu penanganan diare dibantu dengan memberikan asupan
makanan yang adekuat dan penggunaan obat-obatan.
a. Mencegah terjadinya dehidrasi
Memberikan cairan pengganti yang sesuai dapat mencegah
dehidrasi. Rehidrasi dapat dilakukan oleh petugas Poskestren
atau santri kader husada dengan larutan rehidrasi oral yaitu
oralit atau larutan gula garam dan memberikan air minum lebih
banyak.
b. Menjaga keadekuatan masukan makanan
Pemberian makan saat diare harus tetap dilakukan. Produk
seperti susu, ikan, kacang-kacangan, telur, dan daging bagus
untuk diberikan kepada penderita diare. Makanan yang
diberikan harus sudah dimasak dengan baik dan sebaiknya
makanan yang baru dimasak untuk meminimalisir kemungkinan
terkontaminasi. Memberikan makan dalam porsi sedikit namun
sering merupakann cara terbaik dikarenakan makanan menjadi
mudah dicerna.
Penderita menghindari makanan yang berserat tinggi atau
potongan sayur dan buah yang besar dikarenakan makanan
tersebut susah dicerna. Dianjurkan mengurangi makanan yang
mengandung tinggi gula karena dapat memperparah gejala diare.
c. Penggunaan Obat
Santri yang mengalami diare dapat mengonsumsi obat-
obatan yang dapat menurunkan volume feses dann frekuensi
diare seperti Attapulgite, Loperamid, Difenoksilat, Kaolin, Pektin,
Tannin albuminat, Aluminium silikat, dan Diosmectite.

147
d. Tanda-tanda harus segera dibawa ke pelayanan kesehatan.
Apabila ada santri yang diare maka sebaiknya jangan sampai
terlambat membawa ke rumah sakit, karena apabila sudah jatuh
pada kondisi dehidrasi berat maka akan lebih sulit untuk
mengatasinya. Petugas Poskestren atau kader santri husada
harus segera membawa santri ke pelayanan kesehatan jika
ditemukan salah satu dari tanda-tanda berikut :
1. tidak BAK lebih dari 6 jam,
2. BAB semakin sering atau ada darah dalam tinja,
3. merasa sangat haus,
4. mata cekung,
5. tampaknya tidak membaik setelah 3 hari,
6. demam,
7. tidak makan atau minum secara normal.

10.6 Sakit Mata (Konjungtivitis)


1. Definisi
Konjungtivitis merupakan suatu keadaan dimana terjadi inflamasi
atau peradangan pada konjungtiva. Hal ini disebabkan karena lokasi
anatomis konjungtiva sebagai struktur terluar mata sehingga mudah
terpapar oleh agen infeksi. Faktor predisposisi terjadinya konjungtivitis
diantaranya kebersihan diri yang kurang, kontak dengan orang yang
terinfeksi, dan penularan virus dari tangan atau benda yang
terkontaminasi.

2. Gejala
Gejala yang ditemukan pada konjungtivitis yang disebabkan
bakteri berbeda dengan konjungtivitis yang disebabkan oleh virus.
Secara umum, konjungtivitis sebab bakteri bermanifestasi dalam bentuk
iritasi dan pelebaran pembuluh darah (injeksi) pada kedua mata
(bilateral), adanya kotoran (eksudat purulen) yang saling melengket
saat bangun tidur, dan terkadang bengkak (edema).

148
Sedangkan gejala utama konjungtivitis sebab virus adalah mata
merah, kondisi tidak nyaman saat ada cahaya (fotofobia), mata berair
(watery discharge), pembengkakan (edema) pada kelopak mata, demam
38,3°C-40°C, sakit tenggorokan dan pembesaran getah bening di sekitar
telinga dan leher (tidak nyeri tekan).11

3. Pencegahan
Konjungtivitis yang disebabkan virus sangat mudah menular.
Virus menyebar melalui jari tangan yang tercemar, peralatan, dan air.
Cara pencegahan penularan yang paling efektif adalah menerapkan
PHBS, meningkatkan daya tahan tubuh, menghindari kontak langsung
penderita, menghindari penggunaan tetes mata dari botol yang telah
digunakan pasien konjungtivitis virus, dan menghindari penggunaan
peralatan secara bersama-sama.

4. Penanganan awal di pesantren


Penyakit Konjungtivitis ini biasanya akan sembuh dengan
sendirinya. Meskipun dapat sembuh dengan sendirinya penanganan
konjungtivitis virus dapat dibantu dengan pemberian air mata buatan
(tetes mata) dan kompres dingin yang bermanfaat untuk meredakan
gejala. Pemberian antibiotik topikal tidak dianjurkan karena dapat
memperburuk gejala klinis akibat reaksi alergi dan reaksi toksik.
Apabila tidak sembuh setelah 10 hari maka dapat periksa ke dokter
untuk mendapatkan pengobatan antibiotik jika ditemukan infeksi
bakteri.11

10.7 Kutu Rambut (Pedikulosis Kapitis)


1. Definisi
Pedikulosis kapitis adalah infeksi kulit kepala atau rambut yang
disebabkan oleh parasit Pediculus humanus var.capitis. Penyakit ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, jenis kelamin, kebersihan
diri, keadaan sosial ekonomi, panjang rambut, kebiasaan pinjam

149
meminjam barang, padatnya jumlah anggota penghuni dalam suatu
ruangan. Penularan pedikulosis dapat melalui kontak langsung dengan
penderita, maupun kontak tidak langsung melalui benda-benda seperti
sisir, bantal, dan topi.12

2. Gejala
Gejala yang ditimbulkan kutu rambut adalah gatal akibat saliva
dan tinjanya. Rasa gatal akan mengakibatkan orang untuk menggaruk
kepala sehingga dapat menyebabkan iritasi, luka, serta infeksi sekunder.
Infestasi kutu rambut yang berat dapat menyebabkan anemia karena
kehilangan darah.
Pedikulosis kapitis juga sering menyebabkan masalah sosial
seperti berkurangnya rasa percaya diri, menurunnya kualitas tidur, dan
mengalami gangguan belajar. Prevalensi anak perempuan yang
mengalami pedikulosis kapitis ditemukan lebih banyak dari pada anak
laki-laki.13

3. Pencegahan
Pengetahuan terhadap pedikulosis kapitis sangat penting karena
dapat mencegah adanya transmisi atau penularan kepada orang lain,
kontak dari kepala ke kepala merupakan penularan atau transmisi
terbanyak. Oleh karena itu hendaknya pesantren memberikan
pengetahuan tentang penyakit pedikulosis kapitis dan cara
pencegahannya seperti menjaga kebersihan rambut, tidak boleh tidur
bersama dalam satu tempat tidur dan pinjam meminjam barang yang
dikenakan di kepala seperti topi, kerudung, peci, bando, kuncir rambut,
dan lain-lain.

4. Penanganan awal di pesantren


Apabila ditemukan santri yang menderita pedikulosis kapitis,
maka santri tersebut harus segera mendapatkan penanganan agar tidak
menularkan ke santri lain. Pengobatan pedikulosis dengan pedikulosida

150
mudah dilakukan dan angka kesembuhannya cukup tinggi (>90%)
tetapi reinfeksi akan segera terjadi jika setelah pengobatan tidak diikuti
dengan perilaku hidup bersih sehat (PHBS).

DAFTAR PUSTAKA

1. Sutejo IR, Rosyidi VA, Zaelany AI. Prevalensi, Karakteristik dan


Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Skabies di
Pesantren Nurul Qarnain Kabupaten Jember. Januari.
2017;5(1):31–2.

2. Engelman D, Kiang K, Chosidow O, McCarthy J, Fuller C, Lammie P,


et al. Toward the Global Control of Human Scabies: Introducing
the International Alliance for the Control of Scabies. PLoS Negl
Trop Dis. 2013;7(8).

3. Griana TP. Scabies : Penyebab, Penanganan Dan Pencegahannya.


el–Hayah. 2013;4(1).

4. Wahyuningrum I. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap


Perilaku Santriwati Dalam Pencegahan Hepatitis a Di Pondok
Pesantren Wali Songo Ngabar Kecamatan Siman Kabupaten
Ponorogo. Skripsi [Internet]. 2017;1–141. Available from:
http://repository.stikes-bhm.ac.id/id/eprint/203%0A

5. Kemenkes RI. Penanggulangan Hepatitis Virus. 53 tahun 2015


Indonesia; 2015.

6. Rahmah R, Nurfitriani N. Pencegahan Demam Berdarah Dengue


(Dbd) Di Pondok Pesantren Ainul Yakin Kota Jambi. J Abdimas
Kesehat. 2019;1(2):79.

7. Arsyi M. Proyeksi Jumlah Kasus Demam Berdarah Dengue dengan


Metode Peramalan Time Series di Kabupaten Siak Provinsi Riau
Tahun 2017-2021. Universitas Sumatera Utara. Universitas
Sumatera Utara; 2018.

8. Sati L, Sunarsih E, Faisya A. Correlation of the Indoor Air Quality

151
Santriwati Dormitory With Acute Respiratory Infection At
Raudhatul Ulum Islamic Boarding Schools and Al-Ittifaqiah
Islamic Boarding Schools in Ogan Ilir on 2015. J Ilmu Kesehat
Masy. 2015;6(2):121–33.

9. Zein U. Diare Akut Dewasa. Medan: USU Press; 2011. 1–89 p.

10. Kementerian Kesehatan RI. Situasi diare di Indonesia. J Bul


Jendela Data Inf Kesehat. 2015;2:1–44.

11. Sitompul R. Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di


Pelayanan Kesehatan Primer. eJournal Kedokt Indones.
2017;5(1).

12. Alatas SSS. Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai Pedikulosis


Kapitis dengan Karakteristik Demografi Santri Pesantren X,
Jakarta Timur. eJournal Kedokt Indones. 2013;1(1).

13. Anggraini A, Anum Q, Masri M. Hubungan Tingkat Pengetahuan


dan Personal Hygiene terhadap Kejadian Pedikulosis Kapitis pada
Anak Asuh di Panti Asuhan Liga Dakwah Sumatera Barat. J
Kesehat Andalas. 2018;7(1):131.

152
GLOSARIUM
ARDS = keadaan gagal napas atau gangguan
pernapasan berat yang disebabkan oleh
penumpukan cairan di alveoli paru.

Indeks Massa Tubuh = Indeks sederhana dari berat badan


(IMT) terhadap tinggi badan kuadrat yang
digunakan untuk mengklasifikasikan
kelebihan berat badan dan obesitas
pada orang dewasa

Log Roll = Sebuah teknik yang digunakan untuk


memiringkan klien/pasien yang
badannya setiap saat dijaga pada posisi
lurus sejajar (seperti sebuah batang
kayu). Teknik ini membutuhkan 2-5
orang.

Lux = Satuan turunan SI dari pencahayaan


dan daya pancar cahaya. Satuan ini
digunakan untuk mengukur intensitas
atau kecerahan cahaya pada permukaan
benda.

NTU = Satuan standar untuk mengukur


kekeruhan air

RT-PCR = Pemeriksaan Laboratorium untuk


mendeteksi keberadaan material
genetik dari sel, bakteri, atau virus.

153
1

View publication stats

You might also like