You are on page 1of 13

DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS[1]

DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS[1]

Oleh Syafran Sofyan[2]

Pendahuluan.

    Ketika seseorang memangku Jabatan Notaris,  ia tidak perlu lagi mengikuti suatu prosedur
tertentu yang selama ini dilaksanakan oleh Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional untuk dapat menjalankan kewenangannya di bidang pertanahan sebab sudah melekat
dalam Jabatan Notaris tersebut. Artinya, Notaris otomatis juga sebagai pejabat umum yang dapat
menjalankan kewenangan membuat akta di bidang pertanahan.

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengenai PENGAMBILAN
MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS berbunyi selengkapnya:

Pasal 66

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau

hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang

dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam

penyimpanan Notaris; dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan

dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada

dalam penyimpanan Notaris.

 (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, dibuat berita acara penyerahan.
Majelis Pengawas Daerah (MPD), di dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, haruslah
perpedoman kepada Peraturan Menkumham Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang
Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.  Dalam hal ini apabila penyidik, penuntut umum
atau hakim untuk kepentingan proses peradilan mengambil fotokopi minuta Akta dan/atau surat-
surat yang dilekatkan pada minuta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dengan
mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Notaris Daerah (MPD) ; Permohonan
tersebut tembusannya di sampaikan kepada Notaris; dan permohonan sebagaimana tersebut di atas
harus memuat alasan pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada
Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris. Izin pemeriksaan terhadap notaris
hanya berlaku dalam kapasitasnya sebagai seorang notaris saja, artinya izin pemanggilan hanya
diperlukan jika dugaan tindak pidana berkaitan dengan Akta dan/ atau surat-surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, seperti yang telah diatur di
dalam Peraturan Menkumham Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta
Akta dan Pemanggilan Notaris.  Adapun pengaturan di dalam Permenkumham tersebut yang
berkaitan dengan adanya dugaan tindak pidana, yang dapat disetujui oleh MPD, adalah apabila ada
dugaan tindak pidana (keterangan palsu)  berkaitan langsung dengan minuta dan atau surat-surat
yang dilekatkan  dengan minuta atau protokol, ada ahli waris  pembuat akta yang menyatakan
bahwa pada tanggal pembuatan akta pembuat akta telah meninggal dunia, di samping belum
daluwarsa penuntutannya menurut KUHP (Pasal 76 s/d Pasal 82), ada penyangkalan keabsahan
tandatangannya, ada dugaan pengurangan atau penambahan  dari minuta atau ada dugaan Notaris
melakukan pemunduran tanggal Akta (antidatum), diluar hal-hal tersebut maka MPD harus menolak
atau tidak menyetujui terhadap Surat Permohonan dari Penyidik, Jaksa, atau Hakim tersebut.
Sebelumya Notaris yang bersangkutan juga harus didengar keterangannya, dengan menunjukan
bukti-bukti formil dalam kaitannya dengan Akta yang telah dibuatnya.

Permasalahan

Permasalahan sekarang, antara lain masih adanya pemanggilan terhadap Notaris oleh penyidik,
penuntut umum, dan atau hakim melalui  MPD yang kedua kalinya, dalam kasus yang sama, padahal
dalam panggilan pertama, sudah ada keputusan MPD, bahwa surat permohonan dari penyidik
tersebut tidak disetujui?

Sekali lagi perlu ditegaskan,  bahwa  di Era globalisai dan dalam masyarakat  modern yang  semakin
kompleks, alasan  bahwa akta notaris seolah-olah tidak dapat diproses, digugat atau
dituntut (untouchable) dan harus dilindungi hukum “at all cost” karena notaris dalam memberikan
pelayanan hanyalah merupakan pihak yang menuangkan keinginan para pihak yang menghadap 
kepadanya, bukan kehendak dirinya sendiri dan bersikap netral atau tidak berpihak  kepada salah
satu penghadap,  memang harus ditegakkan, kecuali notaris telah melakukan hal-hal negatif seperti
turut melakukan atau menganjurkan atau membantu terjadinya  suatu tindak  pidana. Dengan
demikian alasan klasik tersebut harus dinilai kasus-per-kasus atas dasar “concrete and circumstancial
evidences”  sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.  Notaris sebagai “pejabat umum” yang
memiliki kualitas intelektual yang memadai dan bukan sekedar “tukang” atau “juru tulis” semata-
mata  harus juga berkewajiban menegakkan prinsip “good governance” atau asas-asas umum
pemerintahan yang baik (general principles of good administration) yang meliputi : asas-asas yang
mengutamakan kepastian hukum; tertib peyelenggaraan negara; kepentingan umum; keterbukaan;
profesionalitas; proporsionalitas; efisisensi, efektivitas dan akuntabilitas.              Hal ini terutama
dalam membuat akta relaas  atau akta pejabat (ambtelike akten)  yang hanya ditandatangani
notaris  dan tetap bersifat otentik sekalipun tidak ditandatangani oleh para pihak misalnya laporan
RUPS ,  sesuai dengan pengertian  “relaas” sebagai  “bericht, verslaag”  atau   “report, written
account”  (laporan atau proses verbal seorang pejabat). Dalam hal terjadi kesalahan, hal ini bisa
merupakan malpraktek  (negligence)  dengan parameter di atas akibat kurang pengetahuan atau
kurang pengalaman dengah konsekuensi sanksi admnistrasi, perdata atau etik,  namun bisa berakibat
dengan konsekuensi sanksi pidana menurut KUHP apabila memenuhi syarat-syarat pemidanaan
tersebut di atas atas dasar kecurangan yang sengaja dilakukan notaris, karena notaris harus “jujur,
mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.

Pembahasan

Pasal 1868 KUHP Perdata Jo. Pasal 1 angka (1) UUJN yang menyatakan bahwa notaris adalah pejabat
umum yang mempunyai wewenang umum untuk membuat akta otentik. Menurut Pasal 1 ayat (7)
UUJN Jo. Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata akta otentik adalah alat pembuktian yang sempurna dan
merupakan bukti yang lengkap dan mengikat karena kebenaran  dari yang tertulis di dalamya; jadi
kalau ada orang atau pihak lain, termasuk Penyidik menyangkal atas kebenaran dari akta tersebut,
maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan sebaliknya, apa-apa yang ia sangkalkan
terhadap akta tersebut.

Pasal 16 huruf (a) UUJN menegaskan bahwa notaris diharapkan dapat bertindak jujur, seksama,
mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang tekait dalam perbuatan hukum;
Notaris juga adalah jabatan kepercayaan yang wajib menyimpan rahasia mengenai akta yang
dibuatnya, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia kepada yang
memintanya. Hal ini dilindungi oleh Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf  e UUJN yang
mengatur “hak ingkar” (verschoningsrecht); Dalam kaitan dengan menjaga rahasia isi akta, juga
berlaku juga kepada MPD, di dalam hasil pemeriksaannya (Pasal 71 huruf c UUJN); jadi MPD harus
juga dapat merahasiakan hasil pemeriksaannya terhadap notaris kepada pihak lain, termasuk
berkas-berkas, dan atau fotocopi minuta/salinan yang diminta dari notaris untuk keperluan
pemeriksaan. Untuk menghindari hal-hal tersebut diatas, sebaiknya dalam pemeriksaan terhadap
notaris yang terindikasi adanya dugaan tindak pidana oleh penyidik, sebaiknya cukup Minuta akta,
dan atau salinan akta diperlihatkan saja oleh notaris kepada MPD, dan atau penyidik. Dalam praktek
masih ada MPD yang setiap pemeriksaan terhadap notaris meminta minuta akta dicopikan terlebih
dahulu dan dilegalisir oleh notaris untuk diserahkan ke MPD? Hal tersebut menurut saya sudah
dapat dikategorikan melanggar UUJN, khususnya tentang rahasia jabatan notaris, dan juga harus di
ingat, bahwa MPD juga merupakan Subjek TUN, yang mana kalau tidak berhati-hati, juga dapat
dituntut oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang merasa dirugikan.

Jadi dalam kaitan dengan adanya permintaan terhadap Grosse Akta, salinan Akta, dan Kutipan akta
(Pasal 54 UUJN), maka baik Notaris, maupun MPD, haruslah berhati-hati di dalam memenuhi
permintaan tersebut, kalau tidak tentunya dapat digugat atau dituntut oleh para pihak; Dalam hal ini
Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta,
salinan Akta atau Kutipan Akta, hanya kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta (para
pihak), ahli waris, atau yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan. Jadi dalam hal ini, khususnya kepada MPD, harus berhati-hati, dan selalu berpedoman
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, di dalam mengambil keputusan, maupun di
dalam menanggapi permohonan penyidik, jaksa, atau hakim, termasuk terhadap laporan
masyarakat.  Jangan sampai pula masing-masing anggota MPD, termasuk Ketua sekalipun
mengambil keputusan di luar prosedur, maupun keputusan lain diluar rapat pleno, karena setiap
anggota MPD mempunyai hak yang sama, dan setiap keputusan berdasarkan kolektif, kolegial, hasil
dari rapat pleno.
Bagaimana pemanggilan terhadap Notaris oleh MPD yang kedua kalinya, dalam kasus yang sama,
padahal dalam panggilan pertama, sudah ada keputusan MPD, bahwa surat permohonan dari
penyidik tersebut tidak disetujui?

Terhadap Majelis Pengawas Daerah Notaris (MPD) yang telah memeriksa Notaris dalam memenuhi
panggilan penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim, dan telah diputus oleh MPD, maka kasus tersebut
tidak dapat diajukan kedua kalinya (asas ne bis in idem), agar adanya kepastian hukum. Keputusan
MPD tersebut bersifat final, dan mengikat, untuk itulah pula agar MPD di dalam mengambil
keputusan haruslah hati-hati, cermat, teliti, dan harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan Notaris juga dalam hal ini dapat menjelaskan kepada MPD, bahwa kasus
tersebut sudah pernah diperiksa, dan diputus, agar tidak perlu lagi untuk memenuhi permintaan
pihak penyidik tersebut. MPD dalam peristiwa ini agar segera  menjelaskan melalui surat tertulis
kepada pihak penyidik bahwa terhadap kasus yang sama terhadap orang yang sama, kasus tersebut
tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya (asas nebis in idem), sebab kalau tidak, maka pihak
penyidik dapat menggunakan aturan yang memberlakukan kalau lewat 14 hari dari surat diterima,
maka pihak MPD dianggap menyetujui, berarti penyidik dalam hal ini dapat segera memanggil
langsung Notaris yang bersangkutan.

Keberadaan Jabatan PPAT

Berbagai cara telah dilakukan untuk menemukenali permasalahan dan sumber permasalahan
pertanahan serta solusi penyelesaiannya, namun konflik dan sengketa pertanahan tersebut masih
terus berlangsung. Kegelisahan dan kegalauan merasuki benak kita semua, kenapa permasalahan
yang paling pokok dalam keberlangsungan kehidupan manusia itu tidak pernah terselesaikan dengan
baik. 
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan misalnya, lebih sering menimbulkan ekses lain, seperti
perlawanan dari pihak yang kalah, bahkan tidak jarang terjadi tindakan anarkis dalam setiap
pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam kondisi
demikian, Prof. Maria S.W Sumardjono,dalam bukunya Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya, yang diterbitkan oleh Penerbit Kompas, Jakarta tahun 2008 halaman 123, menyarankan
agar perlu terus diupayakan penyelesaian melalui cara-cara penyelesaian sengketa alternatif. Upaya
penyelesaian melalui jalur Pengadilan seyogyanya ditempuh sebagai upaya terakhir bila semua
upaya telah gagal.

Salah satu penyebab sulitnya menyelesaikan masalah pertanahan, adalah ketidakmampuan UUPA
menjadi landasan hukum untuk mengatasi berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sendiri,
sehingga menganggap perlu untuk segera dibentuk Undang-Undang Pertanahan yang baru, yang
dianggap dapat menjadi solusi penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan. Walaupun
sesusungguhnya beberapa pendapat yang mengemuka, bahwa UUPA masih dianggap relevan untuk
menjadi dasar hukum pertanahan nasional, sehingga yang dibutuhkan hanyalah penyempurnaan
peraturan pelaksanaannya tanpa harus menggantinya dengan undang-undang yang baru. Misalnya,
adanya inisiatif dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk mengajukan RUU tentang Hak atas
Tanah sebagai salah satu bagian dari UUPA, yaitu Hak-hak atas Tanah.

Selain identifikasi tentang penyebab dan upaya penyelesaian konflik pertanahan, salah satu tema
yang dianggap penting dan juga terkait dengan masalah pertanahan, adalah keberadaan profesi
PPAT di tengah kontroversi payung hukum. Tema tersebut menjadi menarik menyusul keberadaan
Pasal 15 ayat (2) huruf "f" Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disingkat UUJN), yang menyatakan bahwa "Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan
dengan pertanahan". Penjelasan dari Pasal 15 ayat (2) huruf "f" UUJN tersebut dinyatakan cukup
jelas.

Ketentuan tersebut kemudian memunculkan perdebatan dari berbagai kalangan, khususnya pihak
yang berkepentingan seperti Pemerintah, DPR, Notaris dan PPAT, serta Badan Pertanahan Nasional
sendiri maupun masyarakat secara luas. Padahal, tujuan dibuatnya suatu undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lainnya dimaksudkan untuk dapat memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.

Demikian juga dengan PPAT sebagai jabatan yang memang sejak semula dimaksudkan untuk
membuat akta mengenai perbuatan hukum dengan objek hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah
sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut. Eksistensi PPAT harus memiliki
landasan hukum yang kuat dan jelas sehingga akta yang dilahirkan dari pelaksanaan jabatan
tersebut, tidak dipermasalahkan di kemudian hari dan tidak menimbulkan kerugian kepada
masyarakat yang berhubungan dengan jabatan tersebut.

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal
dengan UUPA), walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dengan nama PPAT, tetapi hanya disebut
sebagai Pejabat/ Namun jika melihat cakupan kewenangan dari Pejabat yang ditentukan dalam
peraturan pemerintah tersebut semuanya terkait dengan perbuatan hukum mengenai tanah.
Sehingga dapat ditafsirkan bahwa Pejabat yang dimaksud adalah Pejabat yang bertugas dan
berwenang membuat akta tanah atas perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang
bersangkutan.

Kedudukan PPAT termasuk akta-akta yang dilahirkannya, bentuk dan blangko aktanya merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana sejak semual telah
ditentukan dalam PP No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam PP tersebut dikenal
dengan istilah pejabat dengan lingkup kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19.

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
(selanjutnya disingkat PP No 10 Tahun 1961) yang mengatur mengenai Pejabat, yaitu:

1. Pasal 19: "Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu
hak baru atas tanah. menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut sebagai Pejabat).
Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria".

2. Pasal 38: "Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 19 wajib menyelenggarakan suatu daftar dari akta-
akta yang dibuatnya, menurut bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Agraria serta wajib pula
menyimpan asli akta-akta yang dibuatnya.

Penunjukan Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah no 10 Tahun 1961
tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria No 10 Tahun 1961 (TLN
2344). Dalam Pssal 3 ayat (1) Peraturan Menteri tersebut, disebutkan bahwa yang dapat diangkat
sebagai Pejabat adalah:
a. Notaris;
b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departeman Agraria yang dianggap
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan- peraturan Pendaftaran Tanah dan
peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah;
c. Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang pejabat;
d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang dilakukan oleh Menteri Agraria.

Dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatas, belum disebut secara eksplisit bahwa
Pejabat yang dimaksudkan disebut dengan nama PPAT. Penyebutan secara eksplisit pertama kali
ditemukan dalam Surat Edaran Menteri Pertanian dan Agraria No 10 Tahun 1961: ".....apabila untuk
suatu kecamatan belum ditunjuk seorang pejabat khusus, maka Asisten Wedana "ambsthalve"
menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah.....".
Dalam Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 sebagai peraturan pelaksanaan PP No. 10
Tahun 1961 tersebut diatur secara detail tentang pelaksanaan pembuatan akta di hadapan
"pejabat". Setiap pembuatan akta di hadapan "pejabat", harus menggunakan formulir-formulir yang
tercetak atau formulir yang diketik dnegan ukuran kertas tertentu dan harus mendapat persetujuan
Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan formulir-formulir tecetak hanya dapat dibeli di kantor-kantor
pos.
Pengaturan demikian dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa pada waktu itu sebagian besar
PPAT dijabat oleh Camat yang karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT,
agar dapat memudahkan pelaksanaan jabatannya termasuk petunjuk pengisian formulir atau
blangko akta tersebut.
Peraturan tersebut ternyata masih dipertahankan sampai saat ini berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Menurut peraturan ini disebutkan bahwa akta-akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dibuat dengan menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional yang telah dicetak 
lebih dahulu. Artinya PPAT tidak boleh membuat bentuk akta sendiri karena harus menggunakan
blangko yang sudah disediakan oleh Badan PertanahanNasional.

Mengapa demikian? Sebab fungsi blangko akta PPAT secara tegas dinyatakan sebagai syarat untuk
dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 96 ayat (1-3) Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997. Sehingga syarat ini harus disesuaikan dengan maksud pelaksanaan tugas
Jabatan PPAT tersebut.

Pasal dalam UUPA yang terkait dengan keberadaan Jabatan PPAT tersebut dapat ditemukan di Pasal
26 ayat (1) UUPA dan Pasal UUPA. Pasal 26 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa jual-beli, tukar-
menukar dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Demikian halnya Pasal 19 UUPA yang
menginstruksikan kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudiandiganti dengan PP No. 24 Tahun 1997.

UUPA memang tidak menyebut secara tegas tentang Jabatan PPAT, namun penyebutan tentang
adanya Pejabat yang akan bertindak untuk membuat akta terhadap perbuatan hukum tertentu
mengenai tanah, dinyatakan dalam Pasal 19 PP No 10 Tahun 1961, sebagai peraturan pelaksanaan
UUPA. Dengan menggunakan metode interpretasi sistematis, serangkaian ketentuan yang berkaitan
satu sama lain tersebut sudah cukup untuk memberikan pemahaman, bahwa keberadaan Jabatan
PPAT bersumber pada UUPA, sehingga memiliki landasan hukum yang kuat. Metode interpretasi
sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan antara pasal yang satu dengan pasal yang lainnya
dalam suatu peraturan perundang-undangan atau dengan peraturan perundang-undangan yang lain,
serta membaca penjelasannya sehingga dapat dipahami maksudnya. Kemudian dalam
perkembangannya, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum lebih dipertegas dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang terbit kemudian, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, memuat ketentuan tentang
keberadaan PPAT, sebagaimana diatur dalam PAsal 10 ayat (2) yang menyatakan pemindahan hak
sebagaimanan ditentukan dalam ayat (1) dilakukan dengan akta PPAT yang didaftarkan pada Kantor
Agraria Kabupaten dan Kotamadya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah sebagaimana
dimaksud alam Pasal Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Penjelasan ayat (1) tersebut
menyatakan: "Sebagai bukti bahwa telah dilakukan pemindahan hak diperlukan adanya akta Pejabat
Pembuat AKta Tanah, sedang untuk peralihan hak karena pewarisan tidak diperlukan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Pendaftaran peraliran hak dalam pewarisan cukup didasarkan pada surat
keterangan kematian pewaris atau surat wasiat atau surat keterangan waris yang bersangkutan,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Di dalam UU Rumah Susun yang baru, yaitu UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun tidak
ditemukan penyebutan PPAT dalam pasal-pasalnya. Penyebutan PPAT ada di pasal penjelasannya
saja. Pasal 44 ayat (1) menyebutkan bahwa proses jual-beli yang dilakukan sesudah pembangunan
rumah susun selesai, dilakukan melalui akta jual-beli (AJB). Di dalam penjelasan pasal itu disebutkan
bahwa AJB dibuat dihadapan "notaris PPAT" untuk SHM Sarusun, dan "notaris" untuk SKBG
(sertifikat kepemilikan bangunan gedung) Sarusun sebagai bukti peralihan hak.

2. Undang-Undang No.21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000
tentang Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan. Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa
PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan setelah
wajib pajak  menyerahkan bukti pembayaran pajak.

3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan) menegaskan siapa PPAT dan
bagaimana kedudukan PPAT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, yaitu: "Pejabat
Pembuat  Akta Tanah (PPAT) yaitu pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta
pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa
membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".

4. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, juga menyebutkan PPAT sebagai
pejabat umum. Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.

 
5. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pandaftaran Tanah sebagai
pengganti PP No. 10 Tahun 1961, juga menyebut PPAT sebagai pejabat umum, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 angka 24: "Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah
pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu".

6. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT
(selanjutnya disingkat PP No. 37 Tahun 1998) menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai pejabat
umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud dengan PPAT adalah
pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut diatas secara tegas menyatakan bahwa PPAT
adalah Pejabat Umum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, yaitu: "Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini".

Penyebutan PPAT sebagai pejabat umum dengan sendirinya mempertegas kedudukan PPAT itu
sendiri. Apa yang dimaksud dengan pejabat umum dalam UU tersebut tidak dijelaskan. Istilah
pejabat umum diterjemahkan dari istilah "openbare Ambtenaren" yang terdapat dalam Pasal 1
Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (reglement op het Notaris-ambt in Indonesie) S.1860-3
sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 No. 101 dan pasal 1868 BW.

Menurut E.Utrecht, seperti dikutip di dalam Pengantar Hukum Administrasi Indonesia yang
diterbitkan oleh Penerbit Ikhtiar, Jakarta, tahun 1963, halaman 159, "jabatan" (ambt) adalah suatu
lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna
kepentingan negara (kepentingan umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
"lingkungan pekerjaan tetap" ialah suatu lingkungan pekerjaaan yang sebanyak-aanyaknya dapat
dinyatakan dengan tepat-teliti/ seakurat mungkin (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan
yang bersifat duurzam (tidak dapat diubahbegitu saja). Oleh karena itu, maka jabatan merupakan
subjek hukum (person), sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada orang penjabat, tetapi
diberikankepada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka
jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban, walaupun pejabatnya berganti-
ganti.

Pembentukan payung hukum secara spesifik yang mengatur tentang Jabatan PPAT dengan Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT (selanjutnya disingkat PP No. 37
Tahun 1998) jika dilihat dasar pembentukannya bersumber pada Pasal 7 ayat (3) PP No. 24 Tahun
1997, yang berinduk pada UUPA, bahwa: "Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah". Di dalam pasal 7 ayat (1) PP Nomor 24 tahun 1997
disebutkan bahwa "PPAT sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri.

Sedangkan "Peraturan Pemerintah" yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat AKta Tanah, serta peraturan pelaksanaannya yang
diatur di dengan Peraturan menteri Agraria/ Kepala BPN Nomor 4 tahun 1999 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat AKta Tanah.

Pada Konsideran Menimbang huruf "b" PP No. 37 Tahun 1998 tersebut secara tegas dinyatakan
bahwa pertimbangan pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut yaitu dalam rangka pelaksanaan
pendaftaran tanah, dengan menetapkan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diberi
kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran.

Dengan demikian, maka pembentukan PP No. 37 Tahun 1998 tersebut adalah memberikan dasar
hukum dalam rangka pelaksanaan tugas jabatan PPAT untuk membantu sebagian kegiatan
pendaftaran tanah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998, yaitu: "PPAT
bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai
bukti telah dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu".

Perbuatan hukum yang dimaksudkan tersebut adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2)
PP No. 37/1998, yaitu:

a. Jual beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Dalam ketentuan dalam pasal selanjutnya dinyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas pokok
tersebut, PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut di atas mengenai hak atas atas dan Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Sedangkan "PPAT Khusus"
hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam
penunjukkannya.
Peran PPAT dalam membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah itu disebutkan di dalam pasal 6
ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997 yaitu, "Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor
Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan."
Dengan demikian, jika mencermati keseluruhan peraturan perundang-undangan yang saling
berkaitan tersebut di atas, semakin mengukuhkan kedudukan Jabatan PPAT sebagai suatu jabatan
tersendiri dengan kewenangan yang melekat padanya sesuai peraturan perundang-undangan.

KONTROVERSI PAYUNG HUKUM  

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa sesungguhnya keberadaan Jabatan PPAT sudah
tegas dan jelas sebagai suatu jabatan tersendiri yang terpisah dengan jabatan lainnya dengan
kewenangan yang sudah jelas pula sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan.
Menyusul diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, kedudukan PPAT pun kemudian
dipermasalahkan karena dinyatakan telah melekat secara otomatis pada Jabatan Notaris
berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" tersebut. Ketentuan hukum tersebut
menimbulkan konflik dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur kewenangan PPAT
sebagai pejabat yang diberikan kewenangan membuat akta-akta tanah atau yang berkaitan dengan
tanah.

Dengan demikian jika terjadi konflik hukum yang mengatur hal yang sama, dapat diselesaikan
dengan menggunakan asas hukum, yaitu: 

a. Lex porteriori derogate legi priori, artinya peraturan atau undang-undang yang terbaru
mengesampingkan peraturan atau undang-undang yang lama yang mengatur hal yang sama.

b. Lex superior derogate legi inferiori, artinya jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-
undangan yang tinggi dengan yang rendah, maka yang tinggilah yang harus didahulukan.

Kedua asas hukum tersebut, secara otomatis mengesampingkan peraturan Jabatan PPAT yang diatur
dalam peraturan sebelumnya, apalagi PP No. 37/1998 tentang Jabatan PPA kedudukannya lebih
rendah dari UUJN karena bentuknya hanya Peraturan Pemerintah. Tetapi di sisi lain, dapat juga
menggunakan asas hukum "lex specialis derogate legi generale", sehingga peraturan khusus akan
mengesampingkan peraturan umum yang mengatur hal yang sama. Artinya PP No. 37 Tahun 2008
yang secara khusus mengatur Jabatan PPAT yang berlaku saat ini dapat dikategorikan sebagai lex
specialis.

Dalam kondisi demikian, mana yang harus diikuti, tidak memberikan penyelesaian dan kepastian
hukum. Untuk itu memang dibutuhkan adanya harmonisasi  hukum dalam pembuatan suatu
peraturan perundang-undangan.

Kontroversi terhadap kedudukan PPAT sebagai jabatan inhern dalam Jabatan Notaris dipicu oleh
keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" UUJN tersebut. Ini kelihatannya akan segera berakhir karena
dalam RUU Jabatan Notaris pengganti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, ketentuan tersebut sudah dihapus dalam Panja V tanggal 9 Januari 2012. Sementara itu
Fraksi Partai Golkar tidak setuju dan menghendaki tetap pada rumusan UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris.
Namun demikian tetap menarik untuk mencermati ketentuan dalam UUJN tersebut, walaupun
sesungguhnya antara Jabatan PPAT dan Jabatan Notaris adalah dua jabatan yang sejak semula sudah
berbeda dan memiliki kewenangan yang berbeda pula, walaupun dua jabatan itu dapat disandang
oleh seorang penjabat karena pada umumnya seorang Notaris juga adalah PPAT. Masyarakat awam
pun selalu menganggap kedua jabatan ini satu.
Indikasi pemisahan dua jabatan tersebut justru diamini oleh UUJN sendiri. Hal tersebut dapat dilihat
dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyatakan:

"Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan perjanjian dan ketetapan
yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta, menyimpan akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan atau kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau
orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang".

Membaca ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN tersebut, maka UUJN sendiri mengaku keberadaan
suatu jabatan tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang. Misalnya pembuatan akta
yang pemindahan hak atas tanah dan/atau akta pembebanan Hak Tanggungan yang telah
ditentukan dalam UU Hak Tanggungan yang harus dibuat dengan akta PPAT.
Selain itu, Pasal 17 UUJN yang mengatur tentang larangan Notaris, pada huruf "g" yang melarang
Notaris merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris.
Ketentuan Pasal 17 UUJN sendiri yang kemudian membuat perbedaan antara Jabatan Notaris dan
Jabatan PPAT. Pengakuan adanya pembedaan Jabatan Notaris dengan Jabatan PPAT dalam Pasal 17
UUJN tersebut menjadi tidak konsisten dengan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" itu sendiri yang jika
ditafsirkan sudah otomatis melekat Jabatan PPAT dalam Jabatan Notaris sekaligus, sehingga wilayah
jabatan Notaris juga adalah wilayah jabatan PPAT, sehingga tidak perlu muncul larangan seperti itu.
Memang jika dibaca secara seksama bunyi ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" maka sendirinya kita
akan mengakui bahwa pada jabatan Notaris otomatis melekat Jabatan PPAT, karena kewenangan
yang diberikan oleh UUJN tersebut.

Penjelasan pasal tersebut yang menyatakan "cukup jelas", membawa pesan bahwa ketika seseorang
telah diangkat menjadi Notaris, maka secara otomatis dalam jabatan Notaris juga melekat
kewenangan untuk membuat akta di bidang pertanahan, yang selama ini menjadi kewenangan
PPAT. 
Konsekuensi hukumnya adalah ketika seseorang memangku Jabatan Notaris, maka ia tidak perlu lagi
mengikuti suatu prosedur tertentu yang selama ini dilaksanakan oleh Kementerian Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional untuk dapat menjalankan kewenangannya di bidang pertanahan sebab
sudah melekat dalam Jabatan Notaris tersebut. Artinya, Notaris otomatis juga sebagai pejabat
umum yang dapat menjalankan kewenangan membuat akta di bidang pertanahan.

Namun jika dicermati lebih lanjut, ternyata ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" tidak memberikan
kepastian hukum. karena tidak mampu memberikan penjelasan lebih lanjut tentang apa saja yang
dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut dan bagaimana kewenangan di bidang
pertanahan itu dilaksanakan. Karena penjelasan pasal tersebut menyatakan sudah jelas. Padahal
beberapa pertanyaan dapat saja muncul, misalnya, apakah wilayah jabatan Notaris secara otomatis
juga menjadi wilayah jabatan PPAT. Jika demikian, mengapa harus ada lagi ketentuan Pasal 17 huruf
"g" dalam UUJN tersebut.

Selain itu secara kelembagaan, juga akan menimbulkan permasalahan, sebab selama ini dua jabatan
tersebut berada pada instansi pemerintahan yang berbeda termasuk pengangkatan dan
pemberhentiannya serta hal hal yang terkait dengan pelaksanaan jabatan tersebut, termasuk
pengawasannya.

Memang dapat dipahami bahwa terjadi ketidakpastian hukum dan menimbulkan penafsiran yang
beragam terhadap ketentuan pasal tersebut, sebab tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai
maksud pasalnya karena dianggap cukup jelas, termasuk bagaimana ketentuan itu dilaksanakan
secara operasional. 
Seharusnya pelaksanaan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" tersebut didelegasikan pada peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yaitu dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Presiden. Misalnya tata cara pelaksanaan kewenangan Notaris di bidang pertanahan akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Atau setidaknya menjelaskan
dalam penjelasan pasalnya tentang apa yang dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan
tersebut, sebab bidang pertanahan sangat luas dan beberapa perbuatan hukum yang berkaitan
dengan pertanahan, tidak selalu dibuat aktanya oleh PPAT. Misalnya, Akta Pengikatan Jual Beli, Akta
Sewa Menyewa.
Pelaksanaan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" UUJN, sampai saat ini tidak dapat diterapkan, karena
dianggap berkonflik dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur hal yang sama.
Dalam kondisi demikian, maka terjadi kondisi "contra conseutudinem non obligat" yaitu peraturan
yang bertentangantidak mengikat.

Bagaimanapun kontroversi harus diakhiri, sehingga kita harus sepakat untuk membedah polemik ini
secara jernih berdasarkan kaidah-kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Apalagi saat ini sedang berlangsung pembahasan RUU Jabatan Notaris sebagai penggnati UU No. 30
Tahun 2004. Demikian halnya jika hendak memberikan pengukuhan terhadap jabatan PPAT, maka
memang sudah pada saatnya kita merekomendasikan untuk mengajukan RUU Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Namun demikian, pengajuan tersebut tidak dilandasi oleh pertimbangan yang emosional atas reaksi
dari adanya polemik terhadap jabatan PPAT, tetapi harus didasarkan pada pertimbangan bahwa
keberadaan jabatan PPAT semakin dibutuhkan dan jelas eksistensinya seiring dengan perkembangan
kesadaran hukum masyarakat yang semakin memahami pentingnya akta PPAT tersebut. Hal ini
sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf "e" Undang-undangNomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu materi muatan yang harus diatur dengan
Undang-Undang harus berisi"pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarkat".

Selain itu, suatu peraturan perundang-undangan harus memuat asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, seperti yang telah diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011, yaitu:

a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pebentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan;
g. Keterbukaan.

Sementara materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman,


kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keteritban dan kepastian hukum, dan/ atau
keseimbangan, keserasian dan keselarasan (Pasal 6).
Jika berdasarkan pada berbagai undang-undang tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Jabatan PPAT tetap terpisah dengan Jabatan Notaris, 
sehingga seseorang yang diangkat menjadi Notaris tidak akan otomatis merangkap jabatan PPAT
atau tidak otomatis melekat jabatan PPAT.

Penutup.
 

               Didalam menyikapi terhadap pemanggilan dari Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim
adanya dugaan tindak pidana kepada Notaris, melalui MPD setempat, hendaklah Notaris didalam hal
tersebut tidak usah terlalu takut, sepanjang Notaris tersebut telah menjalankan jabatan profesinya
secara baik dan benar. Kedepan perlu kiranya agar Notaris, dan juga penyidik, mempelajari, dan
mengetahui sejauh mana tugas dan kewenangannya, agar tidak melakukan kesalahan, atau
perbuatan melanggar hukum, sehingga diharapkan akan terjalin hubungan yang serasi. Dan juga
buat MPD yang duduk sebagai anggota, didalam menjalankan tugas, jabatannya haruslah
berpegang/berdasarkan UUJN, dan Permenkumham, agar betul-betul memahami terhadap
peraturan tersebut, dan juga mengetahui tugas dan kewenangan Notaris/PPAT didalam menjalankan
tugas jabatannya tersebut, sehingga di dalam memutus kalau ada surat permintaan dari penyidik,
penuntut umum atau hakim adanya dugaan tindak pidana terhadap notaris/PPAT, betul-betul dapat
dijalankan dengan baik, berdasarkan peratur perundang-undangan yang berlaku, dan tidak mudah
mendapat tekanan, ancaman, dari pihak manapun. Perlu juga kedepan ditingkatkan peran dari
Organisasi Profesi (INI) agar memberikan sosialisasi kepada semua anggota dalam kaitan dengan
proses penyidikan, baik di MPD, maupun di Kepolisisan, dan Pengadilan, dan juga di dalam
menjalankan jabatannya Notaris juga mematuhi Kode Etik Profesi, di samping Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku.

Kepada para penyidik Polri, juga harus memperhatikan Tugas, dan kewenangan Notaris/PPAT, sesuai
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dan MOU yang telah dibuat oleh kedua Organisasi
antara INI, IPPAT, dengan Kapolri, agar terjalin kerja-sama yang harmonis, khususnya dalam
menjalankan penegakan hukum.

[1] Pelatihan Penyidikan Tindak Pidana Pertanahan Tahun 2012.

[2] Nara-Sumber/Dosen Lemhannas RI,Tenaga Profesional Bidang Hukum & HAM Lemhannas RI,
Dosen Pasca sarjana Hukum Univ.Jayabaya, Dosen Magister Kenotariatan Univ Brawijaya,
Dosen/Nara Sumber di Kemhan, MA/Pengadilan, Mabes TNI, Dosen Fak.Hukum
Univ.Semarang,Dosen Diklat Perbankan/BUMN,Nara-Sumber Jimly School at Law & Government,
Pendiri/Ketua ISHI(Ikatan sarjana Hukum Indonesia),Saksi Ahli di Pengadilan,Majelis Pengawas
Daerah Notaris, Notaris/PPAT di Jakarta.

You might also like