You are on page 1of 11

KONSELING KELOMPOK PART II

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Konseling Individu dan Kelompok
Dosen Pengampu : Ahmad Nafi', M. Pd.

Disusun Oleh :
Salsabila ‘Izzatunnisa (2040110118)
Rizeki Budi Lestari (2140110114)
D5 BKI

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufiq, hidayah, serta
inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul
“Konseling Kelompok Part II” untuk memenuhi tugas mata kuliah Konseling Individu dan
Kelompok.

Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW.
Yang mana syafa’at beliau sangat kita nantikan di yaumil qiyamah kelak. Semoga kita
termasuk ummat yang mendapatkan syafa’atnya. Aamiin.

Selanjutnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan tugas ini, khususnya kepada beliau Bapak Ahmad Nafi',
M.Pd. Harapan penulis semoga dengan selesainya makalah ini dapat memberi manfa’at bagi
kita semua.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya. Guna perbaikan makalah ini
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Terima kasih.

Kudus, 23 November 2022


BAB I

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG
Kelompok pada dasarnya didukung dan terbentuk melalui berkumpulnya
sejumlah orang. Adanya suatu kelompok tidak harus diawali dengan adanya
kerumunan. Suatu kelompok dapat segera terjadi, yaitu apabila sebelum orang-orang
yang bersangkutan berkumpul terlebih dahulu kepada mereka telah diberi tahu tujuan
yang akan dicapai dan peranan mereka masing-masing. Konseling kelompok bukan
sebagai sebuah perspektif tetapi sebagai suatu teknik dan strategi dalam konseling.
Banyak tulisan yang mendiskusikan tentang konseling individual namun
demikian konseling kelompok kurang banyak menjadi bahan kajian dalam forum-
forum konseling. Schmidt (2003) mengemukakan bahwa konseling kelompok dan
bimbingan kelompok merupakan dua proses yang digunakan oleh konselor untuk
mengatasi antara lain perhatian dan minat seseorang. Prosedur kelompok dipandang
efektif untuk membantu konseli dalam dengan banyak isu permasalahan. Keunggulan
prosedur kelompok adalah membantu pengembangan aspek sosial konseli dan
kemampuan mengadakan interaksi sosial dengan anggota kelompok yang lain. Ketika
individu berada dalam kelompok maka akan dituntut kemampuan dan keterampilan
sosial yang harus dilakukan. Kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain dan
kemampuan menyampaikan pendapat, empati, cohesiveness merupakan dimensi
positif bagi anggota kelompok sehingga bagi anggota kelompok tertentu, proses
kelompok sebagai media untuk mengembangkan kepribadian. Selama ini kajian
tentang konseling kelompok masih disisipkan dalam buku-buku tentang konseling dan
psikoterapi dan kurang mendalam dalam memberikan wawasan tentang konseling
kelompok secara komprehensif.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Struktur Konseling Kelompok
2. Bagaimana Prosedur/Tahapan Konseling Kelompok
3. Bagaimana Isu-isu Kotemporer Konseling Kelompok

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui Struktur Konseling Kelompok
2. Untuk mengetahui Prosedur/Tahapan Konseling Kelompok
3. Untuk mengetahui Isu-isu Kotemporer Konseling Kelompok
BAB II

PEMBAHASAN

A. STRUKTUR KONSELING KELOMPOK


Untuk melaksanakan konseling kelompok, konselor harus memperhatikan struktur
yang tepat dan sesuai dengan klien. Corey, Gazda, Ohlsen, dan Yalom (Latipun 2001)
telah menyusun struktur dalam konseling kelompok yang mencakup jumlah anggota
kelompok, homogenitas kelompok, sifat kelompok, dan waktu pelaksanaan konseling
kelompok. Berikut adalah penjelasan:
1. Jumlah Anggota Kelompok
Konseling kelompok umumnya beranggota berkisar 4 sampai 12 orang.
Jumlah anggota kelompok yang kurang dari 4 orang tidak efektif karena dinamika
jadi kurang hidup. Sebaliknya jika jumlah konseli melebihi 12 orang terlalu besar
untuk konseling karena terlalu berat dalam mengelola kelompok.
Untuk menetapkan jumlah konseli yang dapat berpartisipasi dalam proses
konseling kelompok ini, dapat ditetapkan berdasarkan kemampuan seorang
konselor dan mempertimbangkan efektifitas proses konseling. Jika jumlah konseli
dipandang besar dan membutuhkan pengelolaan yang lebih baik, konselor dapat
dibantu oleh pendamping konselor.
2. Homogenitas Kelompok
Dalam konseling kelompok tidak ada ketentuan yang pasti soal homogenitas
keanggotaan suatu konseling kelompok. Sebagian konseling kelompok dibuat
homogen dari segi jenis kelamin, jenis masalah, kelompok usia dan sebagainya.
Penentuan homogenitas keanggotaan ini disesuaikan dengan keperluan dan
kemampuan konselor dalam mengelola konseling kelompok.
3. Sifat Kelompok
Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika pada suatu saat dapat
menerima anggota baru dan dikatakan tertutup jika keanggotaannya tidak
memungkinkan adanya anggota baru. Pertimbangan keanggotaan tergantung
kepada keperluan.
Kelompok terbuka maupun tertutup terdapat keuntungan dan kerugiannya.
Sifat kelompok adalah terbuka maka setiap saat kelompok dapat menerima
anggota baru sampai batas yang dianggap cukup. Namun demikian adanya
anggota baru dalam kelompok akan menyulitkan pembentukan kohesivitas
anggota kelompok.
4. Waktu Pelaksanaan
Lama waktu pelaksanaan konseling kelompok sangat bergantung kepada
kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum konseling
kelompok yang bersifat jangka pendek (short-term group counseling)
membutuhkan waktu durasi 60 sampai 90 menit. Durasi pertemuan konseling
kelompok pada prinsipnya sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi anggota
kelompok.
B. PROSEDUR/TAHAPAN KONSELING KELOMPOK
Menurut Namora (2016:80-84), menyatakan bahwa tahapan-tahapan konseling
kelompok adalah sebagai berikut:
1. Prakonseling
Tahap prakoseling dianggap sebagai tahap awal pembentukan kelompok.
Adapun hal-hal yang mendasar dibahas pada tahap ini yaitu para anggota
kelompok yang telah diseleksi akan dimasukkan dalam keanggotaan yang sesuai
dengan pertimbangan homogenitas.
2. Tahap Permulaan
Tahap ini ditandai dengan dibentuknya struktur kelompok, mengeksplorasi
harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligus mulai
menegaskan tujuan kelompok. Setiap anggota kelompok mulai mengenalkan
dirinya dan menjelaskan tujuan dan harapannya. Kelompok mulai membangun
norma untuk mengontrol aturan-aturan kelompok dan menyadari makna kelompok
untuk mencapai tujuan. Peran konselor pada tahap ini membantu menegaskan
tujuan.
3. Tahap Transisi
Tahap ini dikenal sebagai tahap peralihan. Pada tahap ini diharapkan masalah
yang dihadapi masing-masing anggota kelompok dirumuskan dan diketahui apa
sebab-sebabnya. Tugas pemimpin kelompok adalah mempersiapkan anggota
kelompok untuk dapat merasa memiliki kelompok. Pada tahap ini anggota
kelompok akan di arahkan memasuki tahap inti atau tahap kegiatan.
4. Tahap Kerja
Pada tahan keempat ini adalah menyusun rencana-rencana tindakan.
Penyusunan tindakan ini disebut pula produktivitas (produktivity). Anggota
kelompok merasa berada di dalam kelompok, mendengar yang lain dan
terpuaskan dengan kegiatan kelompok.
5. Tahap Akhir
Tahap ini merupakan tahap penutupan. Anggota kelompok mulai mencoba
melakukan perubahan-perubahan tingka laku dalam kelompok. Setiap anggota
kelompok memberi umpan balik terhadap yang dilakukan oleh anggota yang lain.
Umpan balik ini sangat berguna untuk perbaikan dan dilanjutkan atau diterapkan
dalam kehidupan anggota kelompok jika dipandang telah memadai.
6. Tahap Pascakonseling
Setelah proses konseling berakhir, sebaiknya konselor menetapkan adanya
evaluasi sebagai bentuk tindak lanjut dari konseling kelompok. Evaluasi sangat
diperlukan apabila terdapat hambatan yang terjadi dalam proses pelaksanaan
kegiatan dan evaluasi dibutuhkan untuk mengetahui perilaku anggota kelompok
setelah proses konseling berakhir.
C. ISU-ISU KOTEMPORER KONSELING KELOMPOK
A. Isu-Isu Co-Leading / Ko-Konselor
Sebenarnya secara umum, konselor dalam layanan konseling kelompok
disiapkan sebagai pemimpin tunggal. Namun demikian memimpin kelompok
dengan satu atau lebih kolega bisa sangat menguntungkan, terutama untuk
pemula, setidaknya inilah yang dikatakan oleh Jacob, at al (2012: 450), sehingga
ia menganggap bahwa perlu dikenalkan bagaimana posisi co-leader dalam layanan
konseling kelompok. Co-leader dapat memberikan ide-ide tambahan untuk
perencanaan dan dapat memberikan dukungan, terutama ketika bekerja dengan
kelompok terapi intensif atau dengan kelompok yang sulit. Co-leaders dapat
berfungsi sebagai model untuk anggota kelompok. Jacob, et al (2012: 450)
mencatat beberapa alasan mengapa co-leading perlu dipertimbangkan saat
perencanaan sebuah kelompok antara lain :
a. Pertama
Keuntungan dari co-leading adalah berupa kenyataan bahwa co-
leading selalu mempermudah dalam pemberian arahan dibandingkan bila
dilakukan secara sendiri. Misalnya, co-leader dapat menambahkan ide-ide dan
turut bertanggung jawab selama kegiatan tersebut berlangsung dan dapat
membantu saat bekerja dengan kelompok yang dianggap sulit seperti turut
aktif dalam diskusi-diskusi yang memungkinkan untuk mengadakan
perubahan-perubahan baik topik diskusinya maupun pesertanya.
b. Kedua
Sebagai peer-feedback (pasangan umpan balik). Co-leading dapat
memungkinkan pemimpin kelompok meningkatkan kemampuan anggota
kelompok dengan cara saling mendapatkan umpan balik sesama mereka. Jika
diberi kesempatan belajar yang luas dari pengalaman ini sangat mungkin co-
leading akan menjadi pemimpin kelompok yang handal.
c. Ketiga
lnteraksi Model (interactive modeling). Co-leader dapat dijadikan
sebagai model untuk anggota kelompok. Kemampuan untuk berinteraksi
secara efektif dan bekerja sama dapat terlihat saat berlangsungnya kerja sama
kelompok. Dalam kelompok, co-leader yang berlainan jenis akan berperan dan
benar-benar efektif dalam kelompok yang sudah berkeluarga. Dalam beberapa
kelompok yang terdiri atas laki-laki dan perempuan dapat saja co-leader ini
sangat berperan sebagai orang tua dalam membantu memecahkan
permasalahan yang terjadi dalam isu keluarga.
d. Keempat
Co-leader yang mempunyai pengetahuan khusus akan banyak
diperlukan, misalnya dalam kelompok pembinaan bagi remaja hamil,
pengetahuan yang berkaitan dengan pemeliharaan kehamilan (prenatal) akan
berguna dan merupakan bahan informasi yang sejalan bagi kelompok tersebut.
e. Kelima
Biasanya co-leader sering mengetengahkan pandangan pengalaman
kehidupan yang berbeda kepada kelompok saat berlangsungnya diskusi
kelompok dan hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan pandangan
dan isu-isu informasi·kelompok. Namun demikian, sejumlah kelemahan dan
masalah dapat terjadi karena co-leading. Satu kerugian bagi beberapa lembaga
dan pengaturan adalah bahwa co-leading membutuhkan waktu dari tugas
konseling lain dan dapat menambah rumit atas pekerjaan yang menuntut
jadwal yang ketat. Masalah lain, yang berkaitan dengan co-leading adalah
munculnya perbedaan sikap, gaya, dan tujuan dari para pemimpin. Co-leading
menjadi kerugian ketika dua pemimpin melihat kelompok dengan cara yang
tidak sama. Dalam praktiknya, Jacob, at al (2012: 453-454) model co-leading
ada tiga macam, yaitu: alternative leading, shared leading, dan the apprentice
model. Pemilihan model mana yang dipakai tergantung pada tujuan dan
sasaran yang hendak dicapai oleh kelompok. Selain itu, pemilihan model ini
juga dapat didasarkan pada pengalaman dari kedua pemimpin kelompok, pola
atau gaya masing-masing individu. co-leader/ ko-konselor, dan tingkat
kemampuan dalam merasakan adanya kebutuhan akan sangat menunjang
kepemilikan bentuk model.
1. Alternative Leading Model
Model ini merupakan model alternative dimana co-leader/ ko-konselor
mengambil peran utama dalam pengarahan. Model ini sangat tepat jika co-
leader/ ko-konselor secara lebih jauh dapat membawa pemecahan dalam
diskusi dan menemukan solusinya dengan cara membawa anggota
kelompok melalui arahan-arahan yang berlawanan, memberi dorongan,
menjelaskan dan menyimpulkan hasilnya.
2. Shared Leading Model
Model ini dapat terjadi bila co-leader/ ko-konselor dapat memberi andil
dalam kepemimpinan kelompok pada periode waktu tertentu secara aktif
berperan sebagai anggota yang bekerja bersama, turut larut dan
membesarkan hati mereka.
3. The Apprentice Model
Model ini biasanya pemimpin kelompok harus lebih berpengalaman
daripada anggotanya. Dalam hal ini,co-leader/ko-konselor perlu banyak
belajar melalui apa yang ia lihat dan coba sendiri untuk memberi arahan
pada beberapa kesempatan tertentu.

B. Isu-isu tentang Hukum Legal


Pemimpin kelompok dapat terlibat dalam tuntutan hukum jika mereka tidak
menggunakan hati-hati dan bertindak dengan itikad baik. Oleh karena itu, sebagai
seorang pemimpin, konselor akan ingin memastikan untuk berlatih dalam batas-
batas keahlian mereka dan tidak lalai dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin
kelompok. Seorang pemimpin yang menggunakan teknik dan praktik yang sangat
berbeda dari yang biasa diterima oleh orang lain dalam profesi mungkin dianggap
lalai. Kewajiban konselor memastikan bahwa anggota kelompok tidak dirugikan
oleh konselor, oleh para anggota lain, atau kerugian akibat dari pengalaman
kelompok.
Paradise dan Kirby (1990) mendaftar kewajiban untuk melindungi konseli
dan anggota lain sebagai salah satu isu hukum utama dalam kerja kelompok.
Beberapa contoh, misalnya jangan sampai anggota kelompok disuguhkan dengan
aktivitas yang terlalu berat, yang melebihi batas kemampuan anggota tersebut.
Contoh lain, misalnya konselor memberikan ruang dalam proses konseling
kelompoknya untuk melakukan bullying pada anggota kelompok lain baik itu
penyerangan terhadap fisik maupun penyerangan psikologis. Praktik-praktik
seperti itu dianggap tidak etis, dan konselor dapat dikenakan tuduhan malpraktik
jika anggota merasa dirugikan oleh pengalaman tersebut.
Titik yang paling penting untuk diingat mengenai isu-isu hokum adalah untuk
mengetahui undang-undang di negara dimana konseling dilakukan yang terkait
dengan konseling, hak konseli, dan hak-hak orang tua dan anak-anak. Juga,
penting bahwa konselor tidak berlatih di luar tingkat pelatihan yang belum
menjadi haknya dan bahwa setiap saat harus menunjukkan perhatian dan kasih
saying kepada anggota kelompoknya. seorang konselor Indonesia wajib
mengetahui dan mempedomani Kode Etik Konselor, sebagaimana telah
diterbitkan oleh Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).

C. Isu-isu tentang Evaluasi Kelompok


Meskipun pemimpin kelompok tidak boleh menjadi sibuk dengan
mengevaluasi kelompok mereka, evaluasi berkala dapat memberi mereka umpan
balik yang berguna tentang pendekatan mereka kepada kelompok, serta informasi
tentang jenis pengalaman yang paling membantu dalam memenuhi tujuan
anggotanya. Tiga jenis evaluasi yang dapat dilakukan yaitu:
1. Evaluasi perubahan yang benar-benar terjadi dalam kehidupan anggota
2. Evaluasi diri dari oleh pemimpin kelompok
3. Evaluasi oleh anggota. Evaluasi Perubahan yang Benar-benar Terjadi dalam
Kehidupan Anggota.
Mungkin jenis yang paling penting dari evaluasi adalah evaluasi
bagaimana pengalaman kelompok telah berdampak pada perilaku para
anggota. Apakah siswa mendapatkan nilai yang labih baik disekolah atau
mereka mempunyai sedikit perubahan perilaku? Apakah pasangan
berkomunikasi menjadi lebih efektif? Apakah ibu yang usianya masih remaja
memberikan perawatan yang lebih baik pada bayi mereka dari saat mereka
tidak berada di konseling kelompok? Apakah kelompok orang yang belum
mendapat pekerjaan menjadi lebih cepat mendapatkan pekerjaan daripada
yang tidak dalam kelompok? Apakah anggota yang mengalami rasa bersalah
dan kecemasan mereka menjadi mampu menghadapi kehidupan yang lebih
baik setelah berada di kelompok? Beberapa pertanyaan tersebut ada yang agak
mudah untuk dijawab, namun beberapa diantaranya juga sulit untuk
menjawab, tetapi setidaknya ada peningkatan yang didapat, dan peningkatan
tersebut berbasis hasil evaluasi. Karena bagaimanapun, instansi pengirim,
sekolah, dan lembaga lainnya menginginkan progresif data yang menunjukkan
bahwa kerja kelompok efektif dalam membawa perubahan.

D. Isu-isu tentang Penelitian


Horne (Kurnanto, E, 2013: 194) menyatakan bahwa selama masa jabatannya
sebagai editor jurnal untuk ASGW: " ... Ada peningkatan sedikit atau tidak ada
dalam penelitian berbasis, studi evaluatif dalam kerja kelompok". Gladding (2008:
420) meringkas bagian penelitian dalam buku terbarunya dengan mengatakan.
Secara keseluruhan, penelitian tentang efektivitas kelompok harus sangat
diperluas untuk mencapai tingkat kecanggihan yang telah ditetapkan pada
efektivitas konseling individual. Alasan mengapa riset kelompok sulit dan
mengapa ada begitu sedikit kualitas penelitian di kelompok lapangan (Asner-Self,
2009; Rubel & Villalba, 2009) adalah akibat kurangnya waktu, kurangnya dana,
dan kurangnya minat. Oleh karena itu, mengingat betapa pentingya keberadaan
prosedur kelompok dalam layanan bimbingan dan konseling, maka sudah
sepantasnya riset di bidang ini juga harus ditingkatkan, baik itu kualitas maupun
kuantitasnya.

E. Isu-isu tentang masa depan Konseling Kelompok


Kebanyakan ahli tampaknya setuju bahwa kerja kelompok akan terus menjadi
kekuatan utama dalam bidang konseling. Gladding (2007: 17) sangat yakin
tentang potensi dan peluang konseling kelompok: "Ada sedikit potensi bahwa di
masa depan, kerja kelompok akan menjadi kuat dan menembus hampir semua
segmen masyarakat". Corey, Corey, dan Corey (2009) telah mendaftar
peningkatan jangka pendek kelompok terstruktur untuk populasi khusus sebagai
salah satu trend utama dari dekade terakhir dengan ia mengatakan bahwa masa
depan kerja kelompok terletak pada integrasi teori dengan model konseling, multi-
indera yang aktif, keterampilan intrapersonal yang memadai.
Seorang pemimpin perlu belajar lebih banyak cara untuk melibatkan anggota
dalam proses terapi saat menggunakan teori konseling dan model intrapersonal.
Terapis akan membutuhkan dan menuntut pelatihan yang lebih baik karena
mereka menjadi lebih sadar isu hukum dan etika di seputar kerja konseling
kelompok.
Sebagai rekomendasi akhir, kiranya institusi penyelenggara pendidikan
konselor dan atau Perguruan tinggi yang mempunyai ProgramStudi atau Jurusan
Bimbingan dan Konseling sudah saatnya untuk lebih mengedepankan
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan pembobotan yang lebih pada mata
kuliah keterampilan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya
pernyataan bahwa lulusan pendidikan bimbigan dan konsleing dana tau
pendidikan konselor kurang bahkan tidak memiliki skill dan atau kompetensi
dalam hal ini melakukan praktik konseling kelompok.
BAB II

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bimbingan konseling kelompok pemberian bantuan dengan memanfaatkan
dinamika kelompok untuk mengetahui konsep diri masing-masing anggota. Konseling
kelompok biasanya dilakukan untuk jangka waktu pendek atau menengah. Melalui
konseling kelompok memungkinkan terjadinya komunikasi antar pribadi dimana
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri terhadap
nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk belajar perilaku tertentu ke
arah yang lebih baik dari sebelumnya. Struktur kinseling kelompok terbagi menjadi 4
yakni; jumlah anggota kelompok, homogenitas kelompok, sifat kelompok, dan waktu
pelaksanaan. Dan tahapan konseling kelompok yakni: pra konseling, tahapan
permulaan, tahap transisi, tahap kerja, tahap akhir, dan tahap pasca konseling. Dan
isu-isu kontemporer dalam konseling kelompok yakni: isu-isu co-leading, isu-isu
evaluasi kelompok, isu-isu masalah etik, isu-isu penelitian, isu-isu pelatihan, dan, isu-
isu trend masa depan.

B. KRITIK DAN SARAN


Dalam pembuatan makalah ini kami menggunakan beberapa referensi dari
buku dan jurnal yang bisa di pertanggung jawabkan. Selain itu mungkin banyak
kekurangan dalam makalah ini sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat
dibutuhkan untuk kemajuan saya dalam membuat makalah. Semoga makalah ini
bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Samuel T Glading (Konseling) hal; 295-330 Gibson & Mithchel (Bimbingan dan
Konseling)hal; 273-316

Gusmana Lesmana (Teori dan PraktikKonseling)

Corey, G. 2006. Theory & Practice of Counseling & Psychotherapy

Namora Lumangga Lubis (KonselingKelompok) 60-65

Rasimin dan Muhamad Hamdi (Bimbingan dan Konseling Kelompok). 171-196, 197-210,

Adhiputra, N (2015) “konsling kelompok teori dan aplikasi”. Yogyakarta: Media Akademik.

Kurnanto, E. (2013) “ Konseling Kelompok”. Alfabeta. Bandung

Latipun. (2006) “Psikologi Konseling”. Malang: UMM Press

Rusmana, N. (2009) “ Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah Metode, Teknik dan
Aplikasi. Bandung: Rizke Press

You might also like