You are on page 1of 18

PERBANDINGAN HUKUM WARIS

ISLAM
DAN ADAT MELAYU

Dosen pengampu | Uti Asiskin,SH.MHhum

LORENSIUS [2110117727] | HUKUM KELUARGA & WARIS ADAT |


10/Januari/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan hidayah dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Perbandingan Hukum Waris Islam, Waris Perdata dan Waris Adat
Melayu” ini dengan tepat waktu.

Dalam kesempatan ini, perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan


terima kasih setinggi-tingginya kepada yang terhormat kepada bapak yang mengajar
mata kuliah Hukum Waris, karena pengajaran bapak,saya dapat memacu diri saya
untuk segera menyelesaikan tugas ini.

Semoga makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca pada
umumnya. Setiap saran,  kritik, dan komentar sangat saya harapkan untuk
meningkatkan kualitas penyusunan makalah di masa mendatang.

pontianak,10,Januari,2023

Penyusun

HALAMAN 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................1

DAFTAR ISI..............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................3

A. Latar Belakang.........................................................................................3
B. Rumusan Masalah....................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................4

A. Hukum Waris Perdata..............................................................................4


B. Hukum Waris Islam.................................................................................8
C. Hukum Waris Adat Melayu.....................................................................12
D. Tabel Perbedaan.......................................................................................15

BAB III PENUTUP....................................................................................................16

A. Kesimpulan..............................................................................................16
B. Saran.........................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................17

HALAMAN 2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Harta waris disebut juga harta tanpa tuan, sebab pemilik awal harta tersebut
sudah tiada. Hal ini bisa disebabkan karena sang pemilik telah meninggal dunia
maupun pergi dalam waktu yang sangat lama tanpa keterangan dan kepastian kapan
kepulangannya. Karena ketiadaan pengurusan harta oleh pemiliknya, maka hukum
memberikan hak dan kewajiban kepada orang yang terdekat atau ahli waris untuk
menikmati dan mengurus harta tersebut agar jangan sampai harta tersebut
tertelantarkan.
Ahli waris boleh menerima atau menolak warisan tersebut, hal ini adalah sifat
warisan yang merupakan hak. Ahli waris boleh menolak harta yang diwariskan oleh
pemilik, misalnya jumlah harta waris lebih sedikit dari hutang si pewaris, maka ahli
waris dapat menolak karena alasan tersebut. Hal ini juga dibenarkan oleh sebagian
ulama.
Di dalam sengketa pembagian hukum waris, ada 3 (tiga) penyelesaian dalam
mengatur pembagian warisan, yaitu melalui hukum adat, hukum islam, dan hukum
perdata barat. Aturan hukum waris bersifat fakultatif atau melengkapi. Artinya, para
ahli waris boleh memilih mana yang akan digunakan dalam pembagiannya. Baik itu
pembagian menurut hukum adat, hukum perdata, hukum islam, maupun kesepakatan
bersama antara para ahli waris.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah pembagian warisan menurut hukum waris perdata?
2. Bagaimanakan pembagian warisan menurut hukum waris islam?
3. Bagaimanakah pembagian warisan menurut hukum waris adat melayu?

HALAMAN 3
BAB II

PEMBAHASAN

A. HUKUM WARIS PERDATA


1. Pengertian dan Dasar Hukum Waris

Mengenai pengertian hukum waris ini terdapat berbagai definisi yang


diberikan oleh para pakar ahli hukum dan peraturan perundang-undangan, salah
satunya adalah menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H., warisan adalah soal
apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
kekayaan sesorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang
masih hidup.Adapun dasar hukum waris adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam
Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu “Pewarisan hanya berlangsung
karena kematian”, pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat tersebut
adalah, bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya
beralih atau berpindah kepada ahli warisnya.

2. Istilah Hukum Waris

Di dalam hukum waris, dikenal beberapa istilah yang sering dipergunakan, yaitu :

a. Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.
b. Ahli waris, yaitu orang yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang
hukum kekayaan, karena meninggalnya si pewaris dan berhak menerima harta
peninggalan pewaris.
c. Harta warisan, yaitu keseluruhan harta kekayaanyang berupa aktiva dan pasiva
yang ditinggalkan oleh si pewaris setelah dikurangi dengan semua utangnya.
Menurut undang-undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :
a. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang,
b. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
3. Wujud Warisan

Menurut hukum waris perdata, yang berpindah di dalam pewarisan adalah hak
dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.

HALAMAN 4
Artinya, yang diwariskan pada prinsipnyaadalah hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang, kecuali dalam hal-hal tertentu, yaitu:

a. Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa (Pasal 1813


KUHPer).
b. Hubungan kerja yang bersifat sangat pribadi tidak beralih kepada ahli
warisnya (Pasal 1601 KUHPer).
c. Keanggotaan dalam perseroan tidak beralih kepada ahli warisnya (Pasal 1646
KUHPer).
d. Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang mempunyai hak
tersebut (Pasal 807 KUHPer).

4. Syarat-Syarat Mewaris

Dengan demikian pada prinsipnya, ahli waris tersebut harus memenuhi syarat:

a. Ahli waris harus ada dan masih ada pada saat warisan terbuka.
b. Mempunyai hubungan darah dengan pewaris atau ia adalah janda atau duda.
c. Bukan orang yang tidak patut untuk mewaris.
d. Tidak menolak warisan.

5. Hak Mewaris Menurut Undang-Undang

Dalam hal mewarisi menurut undang-undang (ab intestato) kita dapat


membedakan antara orang-orang yang mewarisi "uit eigen hoofde" dan mereka yang
mewarisi "bij plaatsvervulling". Seorang dikatakan mewarisi "uit eigen hoofde" jika
ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si meninggal. Ia
dikatakan mewarisi "bij plaatsvervuling" jika sebenarnya seorang lain yang berhak
atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada
orang yang meninggalkan warisan.

Siapa yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang di atur sebagai


berikut oleh undang-undang. Untuk menetapkan itu, anggota-anggota keluarga si
meninggal, dibagi dalam berbagai golongan. Jika terdapat orang-orang dari golongan
pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewarisi semua harta

HALAMAN 5
peninggalan. Sedangkan anggota keluarga lain-lainnya tidak mendapat bagian satu
apapun. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama itu, barulah
orang-orang yang termasuk golongan kedua tampil ke muka sebagai ahliwaris.
Seterusnya, jika tidak terdapat keluarga dari golongan kedua, barulah orang-orang
dari golongan ketiga tampil ke muka. Oleh karena itu ahli waris dibagi dalam
beberapa golongan, yaitu:
a. Golongan I, yakni terdiri dari suami-istri dan anak beberta keturunannya.
b. Golongan II, yakni terdiri dari orangtua dan saudara-saudara beserta
keturunannya.
c. Golongan III, yakni terdiri dari kakek dan nenek serta seterusnya ke atas.
d. Golongan IV, yakni terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih
jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.

6. Bagian Ahli Waris Menurut Undang-Undang

Dalam pewarisan, keluarga pewaris disusun dalam kelompok yang disebut


dengan Golongan Ahli Waris. Golongan ini terdiri dari 4 golongan. Golongan ini
diukur menurut jauh-dekatnya hubungan darah dengan pewaris, di mana golongan
yang terdekat menutup golongan yang lebih jauh, yaitu:
a. Golongan I
1) Anak beserta keturunannya : mewaris dalam derajat I mendapat bagian yang
sama besar atau mewaris kepala demi kepala (Pasal 852 ayat 2 KUHPer).
2) Suami atau istri yang hidup terlama : bagian suami-istri, bagiannya adalah
sama dengan anak.
b. Golongan II
1) Bagian ayah dan ibu masing-masing
 Ayah dan ibu mewaris tanpa saudara laki-laki atau perempuan, maka mereka
mewaris seluruh harta dan masing-masing setengah bagian.
 Ayah dan ibu mewaris bersama seorang saudara laki-laki atau perempuan,
maka mendapat bagian sama besar, ayah ibu masing-masing 1/3 bagian dan
sisa 1/3 bagian saudara.
 Ayah dan ibu mewaris bersama-samadengan 2 orang saudara laki-laki atau
perempuan, maka ayah dan ibu mendapat 1/4 bagian, sisanya untuk saudara.

HALAMAN 6
 Ayah dan ibu mewaris dengan lebih dari dua orang saudara, maka bagian ayah
dan ibu yg masing-masing 1/4 bagian diambil dahulu dan sisanya untuk
saudara dengan bagian yang sama besar.

2) Bagian ayah atau ibu yang mewaris dengan saudara


 Apabila hanya ada ayah ibu, maka mendapat seluruh warisan.
 Ayah atau ibu dan seorang saudara, mendapat 1/2 bagian dan sisanya bagian
saudara
 Ada 2 orang saudara, maka ayah atau ibu mendapat 1/3 bagian, sisanya dibagi
sama besar untuk saudara.
 Ada 3 orang saudara atau lebih, maka ayah atau ibu mendapat 1/4 bagian, dan
sisanyadibagi antara saudara.

3) Bagian saudara sebagai ahli waris

Apabila si pewaris meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan


maupun suami atau istri, sedangkan baik ayah maupun ibunya sudah meninggal
terlebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian saudara si pewaris.

c. Golongan III

Jika tidak terdapat sama sekali anggota keluarga dari golongan pertama dan
kedua, harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama. Satu untuk para
anggota keluarga pihak ayah dan yang lainnya untuk para anggota keluarga pihak ibu
si meninggal. Dalam masing-masing golongan ini, lalu diadakan pembagian seolah-
olah di situ telah terbuka suatu warisan sendiri. Hanya di situ tidak mungkin terjadi
suatu pemecahan (kloving) lagi, karena pemecahan hanya mungkin terjadi satu kali
saja. Jika dari pihak salah satu orang tua tiada terdapat ahliwaris lagi, maka seluruh
warisan jatuh pada keluarga pihak orang tua yang lain.

d. Golongan IV

Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam
garis atas yang nasih hidup. Mereka ini mendapat setengah bagian. Sedangkan ahli

HALAMAN 7
waris dalam garis lain yang derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapat
setengah bagian.

B. HUKUM WARIS ISLAM


1. Pengertian dan Dasar Hukum

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian harganya
masing-masing. Adapun dasar hukum dari waris Islam ini adalah Al-Qur’an, Hadist,
Ijtihad, dan Ijma.

2. Wujud Warisan

Warisan atau harta peninggalan menurut hukum islam, yaitu sejumlah harta benda
serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih, artinya harta
peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta
segala hak “setelah dikurangi dengan pembayaran utang-utang pewaris dan
pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal wasiat”.

3. Dasar Hak Untuk Mewaris

Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapat bagian
harta peninggalan menurut Al-Qur’an adalah :

a. Karena hubungan darah (Surah An-Nissa’ [4] ayat 7, 11, 12, 33, dan ayat 176).
b. Karena hubungan semenda atau pernikahan.
c. Karena hubungan persaudaraan (Q.S. Al-Ahzaab [33] : 6).
d. Hubungan kerabat, karena sesama hijroh pada permulaan pengembangan
Islam, meskipun tidak ada hubungan darah (Q.S. Al-Anfaal [8] : 75).

4. Golongan Ahli Waris

HALAMAN 8
Secara garis besar, golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke dalam tiga
golongan, yaitu:

a. Dzul Faraa’idh

Dzul Faraa’idh adalah ahli waris yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an, yakni
ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak
berubah-ubah. Adapun perincian masing-masing ahli waris dzul faraa’idh ini di
dalam Al-Qur’an tertera dalam Surah An-Nissa’ (4) ayat 11, 12, dan 176, yaitu terdiri
atas:

1) Dalam garis ke bawah:


 Anak perempuan
 Anak perempuan dari anak lelaki (Q.S. An-Nissa’[4] : 11)
2) Dalam garis ke atas:
 Ayah
 Ibu
 Kakek dari garis ayah, dan
 Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S. An-Nissa’[4] : 11).
3) Dalam garis ke samping:
 Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah.
 Saudara perempuan tiri dari garis ayah (Q.S. An-Nissa’[4] : 176).
 Saudara lelaki tiri dari garis ibu.
 Saudara perempuan tiri dari garis ibu (Q.S. An-Nissa’[4] : 12).
4) Duda.
5) Janda (Q.S. An-Nissa’[4] : 12).

b. Asabah

Asabah dalam bahasa Arab berarti “anak lelaki dan kaum kerabat dari pihak bapak”.
Dengan kata lain, asabah adalah ahli waris yang ditarik dari garis ayah. Apabila
pewaris meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris dzul faraa’idh, maka harta
peninggalan diwarisi oleh asabah.akan tetapi jika ahli waris dzul faraa’idh ada, maka

HALAMAN 9
sisa bagiannya menjadi bagian asabah. Ahli waris asabah dibagi menjadi tiga
golongan besar, yaitu:

1) Asabah binafsihi, yaitu asabah-asabah yang berhak mendapat semua harta atau
semua sisa, yang urutannya yaitu:
 Anak laki-laki
 Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal saja pertaliannya
masih terus laki-laki.
 Ayah
 Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya belum putus
dari pihak ayah.
 Saudara laki-laki sekandung
 Saudara laki-laki seayah
 Anak saudara laki-laki kandung
 Anak saudara laki-laki seayah
 Paman yang sekandung dengan ayah
 Paman yang seayah dengan ayah
 Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
 Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
2) Asabah bilghairi, yaitu asabah dengan sebab orang lain, yakni seorang wanita
yang menjadi asabah karena ditarik oleh seorang laki-laki. Mereka yang
termasuk asabah bilghairi adalah:
 Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki
 Saudara perempuan yang didampngioleh saudara laki-laki
3) Asabah ma’alghairi, yaitu sudara perempuan yang mewaris bersama keturunan
perempuan dari pewaris, mereka ini adalah:
 Saudara perempuan sekandung, dan
 Saudara perempuan seayah

c. Dzul arhaam

Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan darah pewaris
melalui pihak wanita saja”. Hazairin memberikan perincian mengenai dzul arhaam,

HALAMAN 10
yaitu semua orang yang bukan dzul faraa’idh dan bukan asabah, umumnya terdiri dari
orang yang termasuk anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki
atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga pihak ayah dari
ibu.dengan demikian dzul arhaam akan mewaris kalau telah tidak ada dzul faraa’idh
dan tidak ada pula asabah.

5. Bagian Ahli Waris

Adapun bagian dari para ahli waris dzul faraa’idh adalah:

a. Ahli waris yang mendapat 1/2 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Seorang anak perempuan
2) Suami/duda, bila si pewaris (istri) tidak meniggalkan anak.
3) Seorang saudara perempuan kandung, bila si pewaris meninggalkan ayah dan
anak.
4) Seorang saudara perempuan seayah, bila si pewaris tidak meninggalkan ayah
dan anak, saudara laki-laki.
b. Ahli waris yang mendapat 1/3 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Ibu, bila si pewaris tidak meninggalkan anak, atau dua orang saudara atau
lebih.
2) Dua orang atau lebih saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan dengan
pembagian yang sama.
3) Ayah, bila si pewaris tidak meninggalkan anak.
c. Ahli waris yang mendapat 1/4 bdari harta peninggalan terdiri atas:
1) Suami/duda, bila si pewaris (istri) meninggalkan anak
2) Istri/janda, bila si pewaris (suami) tidak meninggalkan anak.
d. Ahli waris yang mendapat 1/6 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Ibu, jika pewaris meningglkan anak, atau dua saudara atau lebih.
2) Ayah, jika si pewaris meninggalkan anak.
3) Seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan, bila si pewaris tidak
meninggalkan anak dan ayah.
e. Ahli waris yang mendapat 1/8 dari harta peninggalan hanya terdiri atas:
istri/janda, bila si pewaris (suami) dengan meninggalkan anak.
f. Ahli waris yang mendapat 2/3 dari harta peninggalan terdiri atas:

HALAMAN 11
1) Dua orang atau lebih anak perempuan
2) Dua orang saudaraperempuan kandung atau lebih
3) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

C. HUKUM WARIS ADAT MELAYU


1. Pengertian dan Dasar Hukum

Hukum waris adat adalah tata cara pewarisan menurut hukum adat yang berlaku.
Hukum ini merupakan konsekuensi dari masih terpeliharanya hukum adat di beberapa
daerah di Indonesia sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa indonesia. Bila
dikatakan bahwa keragaman kehidupan masyarakat Indonesia berbanding lurus
dengan hukum adatnya, tak terkecuali hukum waris. Berbeda dengan sistem
pewarisan yang lain, hukum waris adat memiliki kekhasan tersendiri, yaitu tidak
mengenal adanya pembagian yang ditentukan.Semuanya dikembalikan pada asas
musyawarah mufaka, kelayakan, kepatuhan, dan juga kebutuhan masing-masing ahli
waris. Kemufakatan itulah yang menjadi dsar hukum pembagian waris adat.

2. Harta Peninggalan

Pada masyarakat hukum adat bilateral atau parental (dan sebagian dari masyarakat
hukum adat patrilineal), pada dasarnya harta warisan itu dibagi-bagi kepada ahli
warisnya. Di sini anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai hak uang sama
atas harta peninggalan orangtuanya. Wujud dari harta tersebut umumnya harta yang
dapat atau mudah dibagi-bagi. Tidak seperti pada masyarakat Minangkabau yang
menganut sistem matrilineal dimana terdapat harta yang tidak dapat dibagi-bagi, oleh
karena yang menguasai warisan adalah seluruh anggota keluarga, harta yang tak
terbagi-bagi itu adalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Sedangkan dalam
masyarakat Melayu yang umumnya menganut sistem bilateral atau parental, harta
peninggalannya merupakan harta yang dapat dibagi-bagi.

3. Prinsip-Prinsip Garis Keturunan dalam Waris Adat

HALAMAN 12
Pada dasarnya, hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip
garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya:

a. Prinsip Patrilineal : dimana kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam


hukum waris adat sangat kuat.
b. Prinsip Matrilineal : dimana kedudukan dan pengaruh pihak perempuan dalam
hukum waris adat sangat kuat.
c. Prinsip bilateral (parental) : dimana kedudukan anak laki-laki dan kedudukan
anak perempuan dalam hukum waris adat adalah sama dan sejajar.

Dalam sistem kekerabatan, masyarakat Masyarakat Melayu Deli lebih dominan


menganut sistem patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan
muda untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika
pasangan muda tersebut telah dikaruniai anak. Jika belum memiliki rumah dan anak,
pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan.
Dari kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah
diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Deli. Oleh karena itu, sebenarnya
jika dilihat secara tidak langsung masyarakat Melayu Deli menganut sistem
kekerabatan bilateral atau parental, karena pola kekerabatan antara matrilineal dan
patrilineal telah diterapkan cukup seimbang oleh masyarakat Melayu Deli.

4. Sistem Kewarisan Adat

Di samping prinsip-prinsip garis keturunan di atas, hukum waris adat mengenal tiga
sistem kewarisan, yaitu sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan
sistem kewarisan mayorat. Oleh karena masyarakat Melayu menganut sistem
kekerabatan parental maka sistem kewarisan adat yang dipakai masyarakat Melayu
adalah sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan di mana para ahli waris
mewarisi harta peninggalan pewaris secara perorangan.

5. Ahli Waris

Terdapat golongan ahli waris yang diprioritaskan, yaitu:

HALAMAN 13
a. Anak Kandung : dalam hukum adat anak kandung yaitu anak yang dilahirkan
dari perkawinan yang sah. Selain anak kandung, ahli waris yg di prioritaskan
adalah janda atau duda. Jika anak kandung, janda atau dua tidak ada, maka
warisan akan jatuh pada golongan di bawahnya, yaitu orangtua si pewaris.
b. Orangtua : jika orangtua pewaris tidak ada, termasuk janda atau duda, maka
harta warisan akan jatuh pada golongan di bawahnya, yaitu saudara pewaris.
c. Saudara pewaris : disebut juga pewarisan menyamping.

Selain ke-3 golongan yg diprioritaskan tersebut, beberapa golongan ahli waris lain di
tentukan berdasarkan status anak apakah anak tersebut mendapat warisan atau tidak.

a. Anak angkat : anak angkat berhak menerima warisan bersama dengan anak
kandung, namun bagiannya tidak sama persis dengan anak kandung.
b. Anak tiri : anak tiri berhak memperoleh warisan tetapi terbatas pada bagian
harta warisan ayah atau ibu kandungnya saja.
c. Anak luar kawin : anak luar kawin hanya berhak atas warisan yang berasal
dari ibunya, karena ia hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.

6. Pembagian harta warisan

Masyarakat adat melayu identik dengan agama islam, dalam hal pembagian harta
warisan, pertama masyarakat adat melayu harus ada kesepakatan terlebih dahulu dari
setiap ahli waris, yang mana apakah mereka atau para ahli waris dalam pembagian
harta warisan akan menggunakan hukum waris islam atau hukum waris secara adat
melayu. Biasanya di dalam pembagian warisan dua hal tersebut disepakati terlebih
dahulu dari awal oleh para ahli waris. Jika disepakati bahwa pembagian harta warisan
itu menggunakan hukum waris adat melayu, maka pembagiannya tidak mengikuti
aturan pembagian di dalam sitem hukum waris islam. Dimana pembagian warisan
menurut sistem hukum waris adat melayu antara anak laki-laki dengan anak
perempuan kedudukan dinilai sama dalam keluarga. Oleh karena itu hak dan
kewajibannya juga sama. Dengan demikian dalam hal pembagian harta warisan juga
sama, antara anak laki-laki dengan anak perempuan.

HALAMAN 14
TABEL PERBEDAAN

No
Perbedaan Hukum Perdata Hukum Islam Hukum Adat
.
Kebiasaan yang
- Al-Qur’an
sudah turun-
1 Sumber KUHPerdata - Hadist
temurun dari
- Ijma dan Ijtihad
masyarakat sekitar
- Gol. I : suami- - Dzul
istri dan anak Faraa’idh :
beserta ahli waris yg
keturunannya sudah
- Gol. II : orangtua ditentukan di - Anak
dan saudara- dalam Al- kandung
saudara beserta Qur’an (sah)
keturunannya. - Asabah : ahli - Orangtua
Ahli - Gol. III : kakek waris yg - Saudara
2
Waris dan nenek dan ditarik dari - Anak
seterusnya ke garis ayah. angkat
atas - Dzul Arhaam : - Anak tiri
- Gol. IV : org yg - Anak luar
keluarga garis mempunyai kawin
menyamping hubungan
yang lebih jauh, darah pewaris
saudara ahli melalui pihak
waris gol. III wanita.
- Ahli waris harus - Matinya
ada saat warisan pewaris
terbuka - Hidupnya ahli Hampir sama
3 Syarat - Memiliki waris dengan waris dalam
hubungan darah - Tidak ada hukum Islam
- Tidak menolak penghalang
warisan mewaris

HALAMAN 15
Bagian anak laki- Bagian anak laki- Bagian anak laki-
4 Bagian laki dan perempuan laki dua kali bagian laki dan perempuan
adalah sama anak perempuan adalah sama

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari paparan atau penjelasan di atas, dapatdisimpulkanbahwapada prinsipnya


bahwa hukum waris adalah hukum yangmengatur pembagian waris kepada orang
yang berhak mendapatkannya. Karena ketiadaan pengurusan harta oleh pemiliknya
sebab pemilik awal harta tersebut sudah tiada, maka hukum memberikan hak dan
kewajiban kepada orang yang terdekat atau ahli waris untuk menikmati dan mengurus
harta tersebut agar jangan sampai harta tersebut tertelantarkan
Penyelesaian dalam mengatur pembagian warisan, yaitu melalui hukum adat,
hukum islam, dan hukum perdata barat. Aturan hukum waris bersifat fakultatif atau
melengkapi. Artinya, para ahli waris boleh memilih mana yang akan digunakan dalam
pembagiannya. Baik itu pembagian menurut hukum adat, hukum perdata, hukum
islam, maupun kesepakatan bersama antara para ahli waris.

B. SARAN

Penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu bahan untuk
dapat menambah pengetahuan dalam hal ini. Meskipun kami menginginkan
kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak
kekurangan yang perlu perbaiki. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pengetahuan
yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya.

HALAMAN 16
DAFTAR PUSTAKA

Prodjodikoro, Wirjono. 1976. Hukum Warisan di Indonesia. Jakarta: Sumur


Bandung.

Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Simanjuntak, P.N.H. 2015. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia


Group.

Wahyu Kuncoro, NM. 2015. Waris Permasalahan dan Solusinya. Jakarta:


Raih Asa Sukses.

Harun, Badriyah. 2009. Panduan Praktis Pembagian Waris. Yogyakarta:


Pustaka Yustisia.

HALAMAN 17

You might also like