You are on page 1of 24

HUKUM ACARA PIDANA

PRA-PENUNTUTAN, PENUNTUTAN, PRA-PERADILAN, DAN SURAT


DAKWAAN

Disusun oleh kelompok 5 :

1. Miranda Enjellia (2020103066)

2. Putri Sanniyah Gusman (2020103048)

3. Putri Prahayu Ningsih (2020103067)

4. Muhammad Haikal Humary (2020103049)

Dosen Pengampuh :

Husin Rianda, S.H., M.H

PROGRAM STUDY HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2022
Kata Pengantar

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
PRA-PENUNTUTAN, PENUNTUTAN, PRA-PERADILAN, DAN SURAT
DAKWAAN ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pada study Hukum Acara Pidana. Kami mengucapkan terimakasih
kepada Bapak Husin selaku dosen study Hukum Acara Pidana yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang study yang kami tekuni.

Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Palembang, 12 April 2022

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................ ii

BAB 1 ................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 2

BAB 2 ................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

A. Pra-Penuntutan ...................................................................................... 3

B. Penuntutan ............................................................................................. 6

C. Pra-peradilan ......................................................................................... 8

D. Surat dakwaan ..................................................................................... 13

BAB 3 ............................................................................................................... 19

PENUTUP ........................................................................................................ 19

A. Kesimpulan ............................................................................................... 19

Daftar Pustaka ................................................................................................. 21

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam penanganan tindak pidana umum, proses prapenuntutan merupakan


pintu gerbang bagi penuntut umum untuk menentukan proses peradilan
selanjutnya, keberhasilan suatu proses penyidikan akan menentukan
keberhasilan dalam proses penuntutan, demikianpun selanjutnya,
keberhasilan penuntutan akan menentukan keberhasilan dalam pemeriksaan
di pengadilan, yang akhirnya terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak
pidana, sebaliknya gagalnya tindakan penyidikan akan mengakibatkan
gagalnya pula proses atau tahap-tahap selanjutnya. Dalam segi proses
penanganan suatu perkara dalam proses hukum kita, sebagaimana yang
terdapat dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana ( KUHAP), ihwal pra-penuntutan memang tidak diatur dalam bab
tersendiri tetapi terdapat dalam bab tentang penyidikan dan bab penuntutan
(Pasal 109 dan Pasal 138 KUHAP).
Kelengkapan hasil penyidikan sangat menentukan keberhasilan
penuntutan, oleh karena itu penuntut umum harus benar – benar teliti dan jeli
dalam mempelajari dan meneliti berkas perkara yang bersangkutan. Didalam
penuntutan terdapat surat dakwaan yang merupakan mahkota persidangan
yang harus dijaga dan dipertahankan secara mantap. pentingnya kedudukan
dari suatu surat dakwaan tidaklah dapat disangkalkan penyusunannya,
sehingga akan dapat menyebabkan lepasnya si terdakwa dari segala tuduhan
ataupun berakibat pembatalan dari surat dakwaan itu sendiri.
Dengan adanya lembaga praperadilan, maka tersangka dilindungi dalam
pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan kepolisian dan atau
kejaksaan yang melanggar hukum dan merugikan tersangka. Seseorang yang
dikenakan penangkapan, penahanan, dan atau tindakan lain yang dilakukan
secara tidak sah, yaitu tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-

1
undang, maka tersangka, atau terdakwa, atau keluarganya atau pihak lain
yang mendapat kuasa (penasehat hukum) dapat meminta pemeriksaan dan
putusan oleh hakim tentang tidak sahnya penangkapan atau penahanan serta
tindakan-tindakan lain atas dirinya tersebut. Disamping itu, praperadilan
sebagai lembaga baru berfungsi sebagai alat kontrol dari penyidik terhadap
penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah


yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Jelaskan pengertian pra-penuntutandan hal apa saja yang harus


diperhatikan dalam masa pra-penuntutan?
2. apa itu penuntutan dan siapa yang berhak melakukan penuntutan serta
apa saja wewenangnya terhadap penutupan perkara demi hukum?
3. bagaimana kedudukan pra-peradilan menurut KUHAP?
4. apakah surat dakwaan merupakan dasar penuntutan perkara pidana?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini


adalah sebagai berikut :

1. Untuk memahami dan mengetahui apa itu pra-penuntutan dan hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam masa pra-penuntutan.
2. Agar dapat mengetahui definisi dari penuntutan dan siapa yang berhak
melakukan penuntutan serta menguraikan wewenangnya terhadap
penutupan perkara demi hukum.
3. Untuk mengetahui kedudukan pra-peradilan menurut KUHAP
4. untuk mengetahui apakah surat dakwaan merupakan dasar dari penuntutan
perkara pidana

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pra-Penuntutan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah


menyebutkan tentang prapenuntutan, tetapi tidak memberikan batasan/pengertian
apa yang dimaksud dengan prapenuntutan, demikian pula dalam Pasal 1 KUHAP
yang memberikan definisi bagian hukum acara pidana, seperti penyidikan,
penuntutan, dan seterusnya, namun tidak memberikan pengertian tentang
prapenuntutan.

Istilah prapenuntutan justru disebutkan di dalam Pasal 14 huruf b KUHAP


(tentang wewenang Penuntut umum), yaitu mengadakan prapenuntutan apabila
ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat
(3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik.

Jadi, istilah prapenuntutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b


KUHAP, yaitu tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Istilah prapehuntutan di dalam HIR
adalah termasuk penyidikan lanjutan.

Di dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh menteri


kehakiman, menunjuk Pasal 14 KUHAP tersebut dengan kaitannya dengan Pasal
110 ayat (3) dan (4) serta Pasal 138 KUHAP sebagai prapenuntutan.

Pasal 110 tersebut bertautan dengan Pasal 138 KUHAP, perbedaannya


adalah Pasal 110 KUHAP terletak di bagian wewenang penyidik, sedangkan Pasal
138 KUHAP terletak di bagian wewenang penuntut umum, Namun perlu
diketahui bahwa pemisahan kedua pasal ini berdasarkan Sistematika KUHAP,
pada hal yang sebenarnya kedua pasal ini dapat digabung menjadi satu pasal saja.

3
Dapat dikutip kedua pasal tersebut untuk lebih mengetahui, sebagai
berikut:

 Pasal 110 KUHAP:


1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik
wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera
mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk
untuk dilengkapi.
3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan
sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas
hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau
apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan
tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
 Pasal 138 KUHAP:
1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik
segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah
lengkap atau belum.
2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk
tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu
empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus
sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut
umum.

Dalam penjelasan Pasal 138 KUHAP, hanya mengenai arti: meneliti,


adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan apakah orang
dan/atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah

4
memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk
kepada penyidik.

Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan


penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikkan dan
penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan
yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh
penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat
dilimpahkan ke pengadilan atau ke tahap penuntutan.

Dimaksud prapenuntutan sebagaimana Undang-Undang RI No.16 Tahun


2004 tentang Kejaksaan, Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi, bahwa “Di bidang
pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: huruf a melakukan
penuntutan': dan huruf e yang berbunyi melengkapi berkas perkara tertentu dan
untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.” Di
dalam penjelasannya huruf a yang berbunyi “Dalam melakukan penuntutan, jaksa
dapat melakukan prapenuntutan.”

Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a, yang berbunyi “Dalam


melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan
adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah
menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dan penyidik, mempelajari atau
meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik
serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat
menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap
penuntutan.

Adapun dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf e, yang berbunyi: Untuk
melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Tidak dilakukan terhadap tersangka,

5
2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan da pat
meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan
negara:
3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu empat belas hari setelah di
laksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
4) Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik.

B. Penuntutan

Pengertian penuntutan sebagaimana menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP,


bahwa “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk me, limpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini dengan per, mintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim di sidang pengadilan.”

Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi penuntutan, cuma


perbedaannya bahwa KUHAP tidak menyebutkan secara tegas “terdakwa,”
sedangkan Wirjono Prodjodikoro disebutkan secara tegas, lebih lengkapnya' yaitu
“Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara
seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan
supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap
terdakwa.”

Yang berwenang melakukan penuntutan sebagaimana menurut Pasal 137


KUHAP, bahwa “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.”

Setelah penyidik melengkapi berkas perkara sebagaimana dimaksud pada


Pasal 138 ayat (2) KUHAP, selanjutnya menurut Pasal 139 KUHAP, yaitu
“Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang
lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah
memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.” Jadi,

6
apabila penuntut umum berpendapat “ya,” maka menurut Pasal 140 ayat (1)
KUHAP, yaitu “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat
surat dakwaan.”

Namun sebaliknya, apabila penuntut umum berpendapat lain, maka


menurut Pasal 140 ayat (2) KUHAP, yaitu:

a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan


karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut
umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ja
ditahan, wajib segera dibebaskan. ,
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau
keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik,
dan hakim. F Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum
dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.

Jadi, mengenai wewenang penuntut umum untuk menutup perkara demi


hukum, seperti tersebut dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, pedoman
pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “perkara ditutup demi hukum”
diartikan sesuai dengan Buku I KUH Pidana Bab VIII tentang hapusnya hak
menuntut tersebut dalam Pasal 76, 77, dan 78 KUH pidana.

Pasal 140 ayat (2) huruf d KUHAP, “Apabila kemudian ternyata ada alasan
baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.” Dalam
ketentuan ini bahwa ketetapan penuntut umum untuk mengesampingkan suatu
perkara (yang tidak didasarkan kepada oportunitas) tidak berlaku asas nebis in
idem.

Jadi, apabila penuntut umum akan melakukan penuntutan kembali terhadap


tersangka, maka dilakukan penyidikan kembali, dan menurut pedoman

7
pelaksanaan KUHAP, bahwa yang melakukan penyidikan dalam hal
ditemukannya alasan baru tersebut adalah “penyidik.”

Apabila hasil penyidikan penyidik telah diterima oleh penuntut umum, maka
menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP, bahwa penuntut umum melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara
tersebut disertai dengan surat dakwaan.

Selanjutnya menurut Pasal 143 ayat (4) KUHAP, bahwa turunan surat
pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada terSangka atau
kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan
dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.”

Penuntutan dimaksud di atas adalah pelimpahan berkas perkara sudah


dianggap lengkap dari penyidik (P21), maka penuntut umum telah menerima
berkas perkara dan tersangka serta barang bukti lainnya sebagai bagian dari
tanggung jawab atau kewenangan penyidik ke penuntut umum, namun sebaliknya
apabila berkas perkara menurut penuntut Umum masih dianggap belum lengkap
dari penyidik, maka berkas perkata dikembalikan oleh penuntut umum ke
penyidik untuk segera dilengkapi berdasar catatan-catatan dari penuntut umum
dan disebut sebagai prapenuntutan atau pemeriksaan tambahan

C. Pra-peradilan

A. PENGERTIAN PRAPERADILAN
Pengertian praperadilan oleh KUHAP hanya sebatas kewenangan, yaitu menurut
Pasal 1 angka 10 KUHAP jo. Pasal 77 KUHAP, bahwa Pra peradilan adalah
wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan ataspermintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian pe nuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan

8
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

B. PERLUASAN RUANG LINGKUP PRAPERADILAN


Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU. XII/2014,
tertanggal 28 Oktober 2014 bahwa wewenang praperadilan di perluas selain yang
diatur dalam Pasal 77 KUHAP yaitu:
a. Penetapan tersangka.
b. Menyangkut sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan.

C. CIRI DAN EKSISTENSI PRAPERADILAN


Praperadilan sebagai salah satu lembaga baru dalam dunia peradilan Indonesia,
mempunyai ciri dan eksistensi, yaitu:
1. Praperadilan berada dan merupakan satu kesatuan yang melekat pada
pengadilan negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, prapera dilan hanya dapat
dijumpai pada tingkat pengadilan negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah
dari pengadilan negeri.
2. Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan
pengadilan negeri, tetapi hanya merupakan bagian atau di visi dari pengadilan
negeri.
3. Urusan administratif yustisial, personel, peralatan, dan finansialbersatu dengan
pengadilan negeri, dan berada di bawah pimpinandan pengawasan serta
pembinaan ketua pengadilan neger.
4. Masalah tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial
pengadilan negeri itu sendiri.

Jadi, pada prinsipnya lembaga praperadilan adalah bukan merupa kan


lembagaperadilan yang berdiri sendiri, namun hanya merupakan pemberian
wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan oleh KUHAP Lepada setiap
pengadilan negeri, sebagai wewenang dan fungsi pengadil an negeri yang telah
ada selama ini, yaitu mengadili dan memutus perka rapidana dan perdata sebagai

9
tugas pokok, dan sebagai tugas tambahan untuk menilai sah tidaknya suatu
penangkapan, penahanan, sah ti daknya penghentian, penuntutan penetapan
tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

D. TUJUAN PRAPERADILAN
Praperadilan merupakan hal baru dalam kehidupan penegakan hu kum di
Indonesia, yang hendak ditegakkan dan dilindungi, yakni tegak nya hukum dan
perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat peme riksaan penyidikan dan
penuntutan.

Jadi, pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan praperadilan da lam KUHAP


adalah untuk melakukan "pengawasan secara horizontal" atas segala tindakan
upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau pe nuntut umum kepada tersangka
selama dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan
itu tidak bertentangan de ngan ketentuan-ketentuan hukum dan undang-undang
yang berlaku.

E. YANG BERWENANG MEMERIKSA PRAPERADILAN


Menurut Pasal 77 KUHAP, bahwa pengadilan yang berwenang me meriksa
praperadilan adalah “Pengadilan negeri berwenang untuk me meriksa dan
memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidik an, atau
penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pida nanya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Selain kewenangan praperadilan tersebut berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-


XII/2014, pengadilan negeri juga berwenang memeriksa ter kait dengan penetapan
tersangka dan sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan.

Selanjutnya menurut Pasal 78 KUHAP, bahwa:

(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana d maksud


dalam Pasal 77 adalah praperadilan.

10
(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ke pengadilan
negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indone sia Nomor 15


Tahun 1983 tentang Wewenang Pengadilan Negeri untuk Melaksanakan Sidang
Praperadilan terhadap seorang yang berstatus mi liter bahwa seorang militer yang
didakwa telah melakukan penangkapan penahanan secara tidak sah dapat
diperiksa di muka sidang praperadila yang dilaksanakan oleh pengadilan negeri
apabila pelaku tindak pidana merupakan warga sipil. Selain itu, untuk menentukan
pengadilan mana yang berwenang melaksanakan sidang praperadilan yakni
pengadilan negeri atau pengadilan militer yaitu status dari pelaku tindak pidana
dan bukan status pejabat yang melakukan penangkapan/penahanan. Ole
karenanya, apabila status pembuat tindak pidanan adalah sipil, ma pengadilan
yang berwenang melaksanakan sidang praperadilan adalah pengadilan negeri,
meskipun yang didakwa melakukan penangkapan penahanan secara tidak sah
tersebut berstatur sebagai militer. Berkenaa dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
RI. Nomor 21/PUU-XII/2014 d hubungkan dengan Surat Edaran Mahkamah
Agung RI. tersebut maka ruang lingkup praperadilan dimaksud diperluas yakni
termasuk penetap an tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

F. WEWENANG PRAPERADILAN

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan, bahwa wewenang pra-pradilan


menurut Pasal 77 KUHAP, adalah untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghenti penyidikan, atau penghentian penuntutan dan
tuntutan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentika pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Selain itu, dalam
putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 bahwa wewenang dari praperadilan selain
dalam Pasal 77 KUHAP diperluas terkait penetapan tersangka dan sah atau

tidaknya penggeledahan dan penyitaan. Untuk lebih jelasnya akan lebih diperinci
wewenang praperadilan yang telah diberikan oleh undang-undang, sebagai

11
berikut:Memeriksa dan memutus tentang sah tidaknya upaya paksa. Wewenang
ini untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, dan
penahanan, jadi seorang tersangka yang dikena kan penangkapan dan penahanan
dapat mengajukan permohonan praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya
yang dilakukan pe ayidik kepadanya.

Tersangka dapat mengajukan pemeriksaan dalam sidang praper adilan, bahwa


tindakan penangkapan atau penahanan yang dikena kan oleh penjabat penyidik
bertentangan dengan Pasal 19 ayat (1) atau Pasal 22 dan Pasal 24 KUHAP. 2
Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentianpenuntutan.

Adapun wewenang praperadilan untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penghentian pe nuntutan, dan hasil pemeriksaannya
akan menentukan diteruskan atau tidaknya perkaranya ke sidang pengadilan. Jadi,
dalam hal ini terdapat beberapa kemungkinan yaitu berdasar kan beberapa alasan,
yaitu:

(1) Ne bis in idem, yaitu apa yang dipersangkakan kepada tersangka merupakan
tindak pidana yang telah pernah dituntut dan di adili, dan putusan sudah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Kedaluwarsa untuk menuntut sebagaimana diatur dalam KUH Pidana.
3. Memeriksa tuntutan ganti rugi (lihat materi pembahasan tentang
tuntutan ganti rugi).
4. Memeriksa permintaan rehabilitasi (lihat materi pembahasan ten tang
rehabilitasi).
5. Memeriksa penetapan tersangka, wewenang ini dimaksudkan un tuk
melindungi hak tersangka dan terdakwa dari tindakan kesewe nang-wenangan
penyidik atau penuntut umum sehingga orang yang diberi label tersangka dapat
menguji legalitas dan kemurnian pene tapan tersangka tersebut melalui
praperadilan. Dimasukkannya ke absahan penetapan tersangka sebagai objek
pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses

12
pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai har kat,
martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Memeriksa tindakan
penggeledahan dan penyitaan, yaitu bahwapenggeledahan dan penyitaan
merupakan bagian dari mekani kontrol terhadap kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dan penyidik atau penuntut umum dan karenanya dapat
diajukan prap eradilan. Penyitaan surat hanya berkenaan dengan penyitaan y
dilakukan terhadap barang pihak ketiga dan barang ini tidak terma suk sebagai
alat atau barang bukti, maka yang berhak mengajukas ketidakabsahan penyitaan
kepada praperadilan adalah pemilik barang tersebut.

D. Surat dakwaan

A. Pengertian Surat Dakwaan

Pada umumnya, surat dakwaan diartikan oleh para ahli hukum, berupa pengertian:
a. Surat akte;
b. Yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa
c. Terdakwa; Yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan
dihubungkan dengan rumusan pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan
pada terdakwa; dan
d. Merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan.

Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa "dakwa berarti tuduh, men dakwa berarti
menuduh demikian juga terdakwa berarti tertuduh," demikian pula menurut A.
Karim Nasution memberikan definisi surat dakwaan atau tuduhan, yaitu "Suatu
surat atau akte yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan
(didakwakan), yang se mentara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan
pendahuluan, yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan,
yang bila ternyata cukup bukti terdakwa dapat dijatuhi hukuman."

Adapun I.A. Nederberg, mendefinisikan bahwa surat dakwaan ada lah "sebagai
surat yang merupakan dasarnya dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan
hakim." Dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-

13
004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dak waan ditegaskan bahwa surat
dakwaan merupakan mahkota baginya yang harus dijaga dan dipertahankan secara
mantap. Selain itu, peranan surat dakwaan memiliki posisi yang sangat sentral
dalam hal pemerik san perkara pidana di pengadilan dan surat dakwaanmerupakan
dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dituntut adanya ke
mampuan/kemahiran jaksa penuntut umum dalam penyusunan surat dakwaan.

Pengertian surat dakwaan menurut surat edaran jaksa agung terse but, yaitu surat
dakwaan merupakan penataan konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan
terdakwa yang terungkap sebagai hasil penyidikan merangkai perpaduan antara
fakta-fakta perbuatan tersebut dengan cara dengan unsur-unsur tindak pidana
sesuai ketentuan Undang-Undang Pidana yang bersangkutan.

B. Syarat-syarat Surat Dakwaan

Menurut Pasal 143 KUHAP, bahwa surat dakwaan mempunyai dua syarat yang
harus dipenuhinya, yaitu:

a. Syarat-syarat Formil

Syarat formil surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a
KUHAP, yang mencakup:

1) Diberi tanggal.
2) Memuat identitas terdakwa secara lengkap, meliputi:
a. nama lengkap:
b. tempat lahir, umur/tanggal lahir;
c. jenis kelamin;
d. kebangsaan:
e. tempat tinggal; agama; dan
g. pekerjaan.
3) Ditandatangani oleh penuntut umum.
Jadi, hakim dapat membatalkan dakwaan penuntut umum, karena tidak jelas
dakwaan ditujukan kepada siapa. Tujuannya adalah un tuk mencegah terjadinya

14
kekeliruan mengenai orang atau pelaku tindak pidana yang sebenarnya (error of
subjectum).

b. Syarat Materiel

Adapun syarat materiel menurut Pasal 143 (2) hurufb KUHAP, bahwa surat
dakwaan harus memuat uraian "secara cermat, jelas, dan lenga mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan wa (tempus delicti) dan tempat
tindak pidana itu dilakukan (locus delicti). Yang dimaksud dengan pengertian:
cermat, jelas, dan lengkap. Sebagai berikut:

1) Cermat, jadi surat dakwaan itu dipersiapkan sesuai dengan undang undang
yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan ata kekeliruan.
Ketidakcermatan dalam menyusun surat dakwaan dape mengakibatkan "batalnya
atau tidak dapat diterima/dibuktikan s rat dakwaan" antara lain karena:

-Apakah ada pengaduan dalam hal delik aduan?


-Apakah penerapan hukum/ketentuan pidananya sudah tepag Apakah terdakwa
dapat dipertanggungjawabkan dalam melakkan tindak pidana tersebut? Apakah
tindak pidana tersebut belum/sudah kedaluwarsa?
-Apakah tindak yang dilakukan itu tidak "Nebis in Idem"? 2) Jelas, berarti bahwa
penuntut umum harus mampu untuk:

Merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan. Uraian perbuatan material


(fakta) yang dilakukan oleh terdak wa. Dalam hal ini harus diingat, bahwa tidak
boleh memmad kan dalam uraian dakwaan antara delik yang satu dengan de yang
lain, yang unsur-unsurnya berbeda satu sama lain, ata antara uraian dakwaan yang
hanya menunjukkan pada uraian dakwaan sebelumnya; sedangkan unsur-unsurnya
berbeda sam sama lain, atau uraian dakwaan yang hanya menunjukkan padi uraian
dakwaan sebelumnya, sedangkan unsur-unsurnya ber beda.

Misalnya: tidak boleh menggabungkan unsur-unsur:

 Pasal 55 dan Pasal 56 KUH Pidana;

15
 Pasal 372 dan Pasal 378 KUH Pidana;
 Pasal 362 dan Pasal 480 KUH Pidana;
 Pasal 359 dan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkuta Jalan; Dan
sebagainya, sehingga dakwaan menjadi kabur

berarti bahwa uraian surat dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur yang
ditentukan oleh undang-undang secara Lengkap, lengkap. Dalam uraian tidak
boleh ada unsur delik yang tidak diru muskan secara lengkap atau tidak diuraikan
perbuatan materielnya secara tegas, sehingga berakibat perbuatan itu bukan
merupakan tindak pidana menurut undang-undang. Lebih jelasnya mengenai
syarat materiel ini, dapat diuraikan sebagai berikut:

Rumusan dari tindak pidana/perbuatan-perbuatan yang dilakukan. tindak pidana


yang didakwakan, harus dirumuskan secara tegas. Permusan unsur objektif, yaitu:
1. Bentuk atau macam tindak pidana; Cara-cara terdakwa melakukan tindak
pidana tersebut.
2.Perumusan unsur subjektif, yaitu mengenai pertanggungjawabanseseorang
menurut hukum. Misalnya apakah ada unsur kesengaja an, kelalaian, dan
sebagainya.
d. Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti), yaitu dalam hubung annya
dengan:
1. Kompetensi relatif dari pengadilan seperti dimaksud dalam Pasal 148 dan Pasal
149 jo. Pasal 84 KUH Pidana.
2. Ruang lingkup berlakunya undang-undang pidana (Pasal 2hingga Pasal 9 KUH
Pidana).
3. Berkaitan dengan unsur-unsur yang disyaratkan oleh delik yang bersangkutan,
seperti "di muka umum," misalnya Pasal 160. 154, 156, 156 a, dan 160 KUH
Pidana.Waktu tindak pidana dilakukan (tempus delicti), yaitu untuk menentukan:
1. Berlakunya Pasal 1 ayat (1) (2) KUH Pidana (asas legalitas).
2. Penentuan tentang residivis (Pasal 486 hingga Pasal 488 KUH Pidana).
3. Penentuan tentang kadaluarsa (Pasal 78 hingga Pasal 82 KUH Pidana).
4. Menentukan kepastian umur terdakwa (Pasal 45 KUH Pidana).

16
5. Menentukan keadaan yang bersifat memberatkan, seperti Pasal 363 KUH
Pidana atau disyaratkan oleh undang-undang untuk dapat dihukumnya terdakwa
(Pasal 123 KUH Pidana).

Jadi, apabila surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan formil, maka
menurut Pasal 143 ayat (3) KUHAP, bahwa "surat dakwa yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ap (2) huruf b batal demi hukum." Secara
materiel, berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Republik I donesia Nomor: SE-
004/1A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, bahwa suatu surat dakwaan
telah memenuhi syarat apabila surat dawaan tersebut telah memberi gambaran
secara bulat dan utuh tentang:
1) Tindak pidana yang dilakukan;
2) Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut;
3) Di mana tindak pidana dilakukan;
4) Bilamana/kapan tindak pidana dilakukan;
5) Bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan;
6) Akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materiel)
7) Apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana ter but (delik-
delik tertentu);
8) Ketentuan-ketentuan yang diterapkan.

Komponen-komponen tersebut secara kasuistik mesti disesuaika dengan jenis


tindak pidana yang didakwakan (apakah tindak pidana tersebut termasuk delik
formil atau delik materiel). Sehingga dapat di simpulkan bahwasanya syarat
formil merupakan syarat yang berkenaa dengan formalitas pembuatan suatu surat
dakwaan. Adapun syarat ma teriel merupakan syarat yang berkenaan dengan
materi/substansi sura dakwaan. Dengan demikian, demi keabsaan suatu surat
dakwaan, maka kedua syarat tersebut haruslah terpenuhi. Apabila syarat formil
terse but tidak terpenuhi sebagaimana mestinya, maka surat dakwaan dapu
dibatalkan (vernietigbaar), sedangkan jikalau syarat materiel tidak ter
penuhi,maka surat dakwaan menghasilkan dakwaan yang batal demi hukum

17
(absolute nietig). Penjelasan lebih lengkap tentang uraian sure dakwaan secara
cermat, jelas dan lengkap dapat dibaca Surat Kejaksaan Agung R.I Nomor B-
607/E/11/1993, perihal: Pembuatan Surat Dakwaan bertanggal 22 November 1993
dan Surat Kejaksaan Agung R.I. Nomor 69/F/Ft.1/01/2018, Perihal: Petunjuk
Penyusunan Surat Dakwaan Tindal Pidana Khusus, bertanggal 15 Januari 2018.

18
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istilah prapenuntutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b KUHAP,


yaitu tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Istilah prapehuntutan di dalam HIR
adalah termasuk penyidikan lanjutan. Adapun hal yang harus diperhatikan pada
masa pra-peradilan yaitu pasal 30 ayat (1) huruf e: melengkapi berkas perkara dan
melakukan pemeriksaan tambahan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Tidak dilakukan terhadap tersangka,


2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan da pat
meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan
negara:
3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu empat belas hari setelah di
laksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
4) Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik.

Pengertian penuntutan sebagaimana menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, bahwa


“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan. mengenai wewenang penuntut umum untuk menutup
perkara demi hukum,seperti tersebut dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP,
pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “perkara ditutup demi
hukum” diartikan sesuai dengan Buku I KUH Pidana Bab VIII tentang hapusnya
hak menuntut tersebut dalam Pasal 76, 77, dan 78 KUH pidana. Pasal 140 ayat (2)
huruf d KUHAP, “Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum
dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.”

19
Kedudukan pra-peradilan adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan
wewenang khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak
berbeda dengan proses pidana biasa. Perbedaan yang terlihat adalah, berbeda
dengan proses pidana umum dan khusus, proses pra-peradilan tidak mengenal
penuntut umum.

Surat Dakwaan merupakan salah satu unsur yang penting dalam proses
persidangan, karena Surat Dakwaan merupakan dasar bagi Majelis Hakim untuk
melakukan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Selain itu, Surat Dakwaan
merupakan dasar bagi terdakwa dan penasihat hukumnya untuk menyusun eksepsi.

20
Daftar Pustaka

Sofyan, Andi M, Abd Asis, Amir Ilyas. 2014. Hukum Acara Pidana. Jakarta:
Kencana

21

You might also like