You are on page 1of 112

PERENCANAAN OPERASI MATRIX ACIDIZING PADA SUMUR MT-11

LAPANGAN LTM

SKRIPSI

Disusun Oleh :
MEXSA DEWANGGA ACHMAD
113090083

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2015
PERENCANAAN OPERASI MATRIX ACIDIZING PADA SUMUR MT-11
LAPANGAN LTM

SKRIPSI

Disusun Oleh :
MEXSA DEWANGGA ACHMAD
113090083

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2014

i
PERENCANAAN OPERASI MATRIX ACIDIZING PADA SUMUR MT-11
LAPANGAN LTM

SKRIPSI

Disusun Oleh :
MEXSA DEWANGGA ACHMAD
113090083

Disetujui untuk Program Studi Teknik Perminyakan


Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ir. Lela Widagda, M.Si Dr. Ir. Harry Budiharjo S., MT

ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya yang bertanda tangan dibawah ini,


Nama : MEXSA DEWANGGA ACHMAD
NIM : 113090083
Menyatakan bahwa judul dan keseluruhan isi dari Skripsi ini adalah asli
karya ilmiah saya. Selama penyusunan karya ilmiah ini, saya selalu berkonsultasi
dengan dosen pembimbing hingga menyelesaikan Skripsi ini, tidak melakukan
penjiplakan (plagiasi) terhadap karya orang atau pihak lain baik karya lisan
ataupun tulisan, baik secara sengaja atau tidak disengaja.
Apabila dikemudian hari terbukti bahwa Skripsi saya mengandung unsure
penjiplakan (plagiasi) dari karya orang atau pihak lain, maka sepenuhnya menjadi
tanggung jawab saya, bukan tanggung jawab Dosen Pembimbing saya. Oleh
karena itu saya bersedia bertanggung jawab secara hokum dan bersedia
dibatalkan/dicabut gelar kesarjanaan saya oleh Otoritas/Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta dan diumumkan kepada khalayak
ramai.

Yogyakarta, Maret 2015


Yang Menyatakan

Mexsa Dewangga Achmad

NomorTelepon/HP : 085743807807
Alamat e-mail : mexsa_achmad@yahoo.co.id
Nama dan alamat orang tua : Andi Adnan Achmad
Perum. Pemda Keldongkiron A-36
Jalan Dongkelan, Yogyakarta

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat dan
rahmat-Nya atas selesainya penulisan skripsi ini dengan judul “PERENCANAAN
OPERASI MATRIX ACIDIZING PADA SUMUR MT-11 LAPANGAN LTM”.
Maksud dan tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat
kurikulum pada program studi Teknik Perminyakan guna mendapat gelar sarjana
Teknik Perminyakan pada Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Sari Bahagiarti K., M.Sc., selaku Rektor UPN “Veteran”
Yogyakarta
2. Dr. Ir. Dyah Rini R, MT, selaku Dekan Fakultas Teknologi Mineral UPN
“Veteran” Yogyakarta
3. Dr. Ir. H. KRT Nur Suhascaryo, MT, selaku Ketua Program Studi Teknik
Perminyakan UPN “Veteran” Yogyakarta
4. Ir. Lela Widagda, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I Skripsi
5. Dr. Ir. Harry Budiharjo S., MT., selaku Dosen Pembimbing II Skripsi
6. Seluruh staf pengajar Program Studi Teknik Perminyakan UPN “Veteran”
Yogyakarta
7. Rekan-rekan angkatan 2009

Penulis meyakini sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini masih terdapat


banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi
perbaikan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin.

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH .............................. iv
RINGKASAN ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
BAB II TINJAUAN LAPANGAN ................................................. 4
2.1. Tinjauan Geologi dan Stratigrafi Lapangan ................ 4
2.1.1. Letak Lapangan MT ........................................ 7
2.1.2. Geologi Regional ............................................ 7
2.1.3. Stratigrafi Regional ......................................... 9
2.2. Kondisi Reservoir ........................................................ 10
2.3. Formasi dan Lithologi ................................................. 12
2.4. Sejarah Produksi .......................................................... 14
BAB III TEORI DASAR ............................................................... 15
3.1. Pressure Build-Up ....................................................... 15
3.1.1. Pengertian dan Tujuan Pressure Build-Up ..... 15
3.1.2. Prinsip Superposisi .......................................... 16
3.1.3. Landasan Teori Pressure Build-Up ................. 18
3.1.4. Prosedur Operasi Pressure Build-Up .............. 25
3.1.5. Data dan Analisa Pressure Build-Up Untuk
Reservoir Minyak ............................................ 25
3.2. Analisa Pressure Build-Up dengan Menggunakan
Software Ecrin 4.10 ..................................................... 32
3.2.1. Langkah Kerja Analisis Pressure Build-Up
Dengan Menggunakan Software Ecrin 4.10 ... 33
3.3. Proses Stimulasi .......................................................... 34
3.3.1. Proses Acidizing .............................................. 34
3.3.1.1. Preflush .............................................. 34
3.3.1.2. Spotting .............................................. 34
3.3.1.3. After Flush (Postflush) ....................... 35

vi
DAFTAR ISI
(Lanjutan)

Halaman
3.3.2. Teori Perbaikan Produktivitas Melalui
Pengasaman ..................................................... 35
3.3.3. Klasifikasi Pengasaman .................................. 36
3.3.3.1. Acid Washing ..................................... 36
3.3.3.2. Matrix Acidizing ................................. 36
3.3.3.2.1. Matrix Acidizing pada
Batuan Sandstone .............. 39
3.3.3.2.2. Matrix Acidizing pada
Batuan Karbonat ................ 39
3.3.3.3. Fracturing Acidizing .......................... 40
3.3.4. Jenis Asam yang Sering Digunakan ................ 43
3.3.4.1. Mineral Acid ....................................... 44
3.3.4.2. Organic Acid ...................................... 46
3.3.4.3. Powdered Acid ................................... 48
3.3.4.4. Acid Mixture ....................................... 48
3.3.4.5. Retarded Acid ..................................... 49
3.3.4.6. Aditif Fluida Asam ............................. 49
3.3.4.7. Stoikiometri Reaksi Asam dengan
Mineral Batuan ................................... 56
3.3.4.7.1. Stoikiometri Reaksi Asam
dengan Mineral Karbonat .. 56
3.3.4.7.2. Stoikiometri Reaksi Asam
Dengan Mineral Batupasir . 59
3.3.4.7.3. Kesetimbangan Reaksi
Asam dengan Batuan ......... 61
3.3.4.7.4. Kinetika Reaksi Asam
dengan Mineral Batuan ...... 64
3.3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju
Reaksi Asam .................................................... 68
3.3.5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Laju Reaksi Asam dengan Batuan ... 68
3.3.5.1.1.Perbandingan Luas-Volume 68
3.3.5.1.2.Temperatur Reservoir .......... 69
3.3.5.1.3.Konsentrasi Asam ............... 70
3.3.5.1.4.Kecepatan Aliran Asam ...... 71
3.3.6. Evaluasi Hasil Pengasaman ............................. 72
3.3.6.1. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan
Parameter Laju Produksi .................. 72
3.3.6.2. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan
Parameter Indeks Produktivitas ....... 72
3.3.6.3. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan

vii
DAFTAR ISI
(Lanjutan)

Halaman
Parameter Faktor Skin ..................... 72
3.3.6.4. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan
Parameter Effisiensi Aliran .............. 73
3.3.6.5. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan
Parameter Kurva IPR ....................... 73
BAB IV EVALUASI KEBERHASILAN MATRIX ACIDIZING .
4.1. Persiapan Data Sebelum Operasi Acidizing ................ 75
4.2. Penentuan Parameter Acidizing ................................... 79
4.2.1. Penentuan Parameter Acidizing pada Sumur
MT-11 ........................................................... 79
4.2.1.1. Perhitungan Perencanaan Operasi
Acidizing ........................................... 79
4.2.1.2. Perhitungan Volume (Volumetric
Calculation)....................................... 80
4.2.1.3. Perhitungan Volume Pelarutan HCl 80
4.3. Jarak Jangkauan Injeksi Acidizing .............................. 81
4.4. Prediksi Perhitungan Hasil Matrix Acidizing .............. 82
4.4.1. Perhitungan Nilai Prediksi Permeabilitas (k)
Sesudah Dilakukan Operasi Matrix Acidizing . 82
4.4.2. Perhitungan Nilai Prediksi IPR Sesudah
Dilakukan Operasi Matrix Acidizing ............... 83
4.4.2.1. Perhitungan IPR Tiga Fasa dengan
Nilai Skin = 0 ................................... 83
4.4.2.2. Perhitungan IPR Tiga Fasa dengan
Nilai Skin = -1 .................................. 85
4.4.2.3. Perhitungan IPR Tiga Fasa dengan
Nilai Skin = -2 .................................. 88
4.4.2.3. Perbandingan Nilai Prediksi Q
Sebelum Acidizing dengan harga
Skin = 4,1 dan Sesudah Acidizing
dengan Harga Skin = 0; Skin = -1;
dan Skin = -2 .................................... 91
4.4.3. Perhitungan Nilai Prediksi PI Sebelum dan
Sesudah Dilakukan Operasi Matrix Acidizing 91
4.4.4. Perhitungan Nilai Prediksi Flow Efficiency
(FE) Sebelum dan Sesudah Dilakukan
Operasi Matrix Acidizing ................................ 92
BAB V PEMBAHASAN ........................................................... 94
BAB VI KESIMPULAN ........................................................... 98

viii
DAFTAR ISI
(Lanjutan)

Halaman
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 99
LAMPIRAN ................................ ..........................................................

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1. Lapangan Minyak MT ........................................................................... 4
2.2. Lokasi Lapangan Minyak MT ................................................................ 5
2.3. Struktur Sub-Surface Area LTM ............................................................ 5
2.4. Struktur Desakan Antiklin pada Lapangan MT ..................................... 6
2.5. Seismik Penampang UT88-535 Menunjukkan Struktur MT Mendesak
ke Arah Barat ......................................................................................... 8
2.6. Peta Struktur Kedalaman dan Porositas Lapisan Atas LTM .................. 9
2.7. Struktur Cross-Section dari MT - 10, MT-7ST2A, MT - 11, MT - 2
Menunjukkan Perkiraan Top LMT pada MT-11 10 ft lebih rendah dari
pada MT-2 .............................................................................................. 11
2.8. Seismik dari Penampang UT88-541 Menunjukkan Target Reservoir
dari Sumur MT-11 ................................................................................. 12
2.9. Ringkasan Kolom Lithologi dari Sumur MT-2 ...................................... 13
2.10. Grafik Produksi Sumur MT-11 .............................................................. 14
3.1. Sejarah Produksi Berdasarkan Laju Alir dan Tekanan Dasar Alir
Sumur dengan Fungsi Waktu ................................................................. 18
3.2. Laju Alir Ideal dan Sejarah Produksi untuk Pressure Build-Up Test .... 19
3.3. Sejarah Laju Alir untuk Ideal Pressure Build-Up Test .......................... 21
3.4. Grafik Pressure Build-Up untuk Reservoir Ideal .................................. 22
3.5. Grafik Pressure Build-Up Test Sebenarnya ........................................... 23
3.6. Tipe Pressure Build-Up Bawah Lubang untuk Produksi Pseudo
Steady State Sebelum Shut-in ................................................................ 24
3.7. Tipe Kurva Pressure Build-Up untuk Sumur Finite Reservoir ............. 27
3.8. Mekanisme Proses Reaksi Pengasaman ................................................. 38
3.9. Contoh Kasus Terbentuknya Wormhole pada Batuan Karbonat ........... 40
3.10. Pola Aliran Saat Rekahan ...................................................................... 41
3.11. Pengaruh Perbandingan Luas- Volume Terhadap Laju Reaksi HCl -
CaCO3 .................................................................................................... 68
3.12. Pengaruh Temperatur Terhadap Laju Reaksi HCl – CaCO3 .................. 69
3.13. Pengaruh Tekanan Terhadap Laju Reaksi HCl ...................................... 70
3.14. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Laju Reaksi HCl – CaCO3 ................. 71

x
DAFTAR GAMBAR
(Lanjutan)

Gambar Halaman
3.15. Perbandingan Kurva IPR Sebelum dan Sesudah Pengasaman .............. 74
4.1. Wellsketch Sumur MT-11 ...................................................................... 75
4.2. IPR Sebelum Dilakukan Operasi Acidizing dengan Skin = 4,1 ............. 78
4.3. Kurva IPR Tiga Fasa dengan Nilai Skin = 0 .......................................... 85
4.4. Kurva IPR Tiga Fasa dengan Nilai Skin = -1 ........................................ 87
4.5. Kurva IPR Tiga Fasa dengan Nilai Skin = -2 ........................................ 90
4.6. Perbandingan Kurva IPR Tiga Fasa Sebelum dan Sesudah Acidizing ... 90

xi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
III-1 Kategori Larutan Asam Beserta Contohnya ............................... 44
III-2 Reaksi Antara HCl dengan Beberapa Mineral Batuan ............... 45
III-3 Reaksi Antara HF dengan Beberapa Mineral Batuan ................ 46
III-4 Aplikasi Mutual Solvent ............................................................. 51
III-5 Aplikasi Aromatic Solvent .......................................................... 55
III-6 Berat Molekul Komponen Kimia ............................................... 57
III-7 Dissolving Power Berbagai Asam .............................................. 57
III-8 Specific Gravity HCl .................................................................. 58
III-9 Dissolving Power untuk HCl-HF ............................................... 61
III-10 Koefisien Aktivitas HCl ............................................................. 62
III-11 Konstanta untuk Menentukan Harga Kd .................................... 63
III-12 Harga Kd Beberapa Jenis Asam pada Berbagai Temperatur ..... 63
III-13 Konstanta Model Kinetik Reaksi HCl-Mineral .......................... 66
III-14 Konstanta Model Kinetik Reaksi HF-Mineral ........................... 67
IV-1 Data Lubang Sumur (Wellbore Information) ............................. 75
IV-2 Data Interval Perforated Depth .................................................. 76
IV-3 Data Reservoir ............................................................................ 76
IV-4 Konstanta Nilai C1, C2, C3, dan C4 ............................................. 76
IV-5 Tabulasi Data Tekanan dan Laju Alir Minyak ............................ 78
IV-6 Data Fluida Asam ....................................................................... 79
IV-7 Acid Treatment Volume .............................................................. 81
IV-8 Konstanta Nilai C1, C2, C3, dan C4 ............................................. 83
IV-9 Tabulasi Data Tekanan dan Laju Alir Minyak ........................... 84
IV-10 Konstanta Nilai C1, C2, C3, dan C4 ............................................. 85
IV-11 Tabulasi Data Tekanan dan Laju Alir Minyak ........................... 87
IV-12 Konstanta Nilai C1, C2, C3, dan C4 ............................................. 88
IV-13 Tabulasi Data Tekanan dan Laju Alir Minyak ........................... 89

xii
DAFTAR TABEL
(Lanjutan)

Tabel Halaman
IV-14 Perbandingan Nilai Prediksi Q pada Skin 4,1; 0; -1; -2 ............. 91
IV-15 Perbandingan Nilai Prediksi Q dan PI pada Skin 4,1; 0; -1; -2 .. 92
IV-16 Tabulasi Nilai Prediksi Flow Efficiency untuk Skin 4,1; 0; -1; -2 93

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

Pada penulisan skripsi yang berjudul “Perencanaan Operasi Stimulasi


Matrix Acidizing pada Sumur MT-11 Lapangan LTM” ini dibahas tentang
perencanaan dari operasi matrix acidizing yang dilakukan pada sumur MT-11.
Akan dijelaskan juga tahap-tahap dari sebelum operasi tersebut dilakukan,
perhitungan tekanan dan volume, dan perkiraan hasil-hasil yang didapatkan dari
operasi acidizing tersebut.
Sumur MT-11 adalah sumur baru yang dibor pada November 2012 yang
terletak di pulau buatan. Letak sumur MT-11 adalah lapangan offshore, dan dibor
secara direksional ke arah utara dengan derajat inklinasi total sebesar 75,49º dan
total kedalaman atau measured depth (MD) sebesar 15.900 ft. Sumur MT-11
mempunyai formasi berupa limestone dan dikomplesi secara open hole dengan
memasang perforated liner dan swell packer karena beberapa lapisan merupakan
batuan shale. Jadi swell packer diset pada lapisan shale di kedalaman tertentu.
Kedalaman total lapisan yang di perforasi sebesar 1942,80 ft. Sumur MT-11 mulai
diproduksikan pada Juni 2013, dan produksi pada saat itu kurang dari 1108,8
BOPD dengan melihat tekanan reservoirnya yang cukup tinggi yaitu 2246,43 psi
yang seharusnya dapat mencapai laju alir produksi maksimal sebesar 1756,886
BOPD. Rendahnya produksi tersebut tidak mungkin akibat dari kerusakan formasi
yang disebabkan oleh proses produksi, karena sumur ini baru saja diproduksikan
dan belum mempunyai sejarah produksi sebelumnya. Kemungkinan dapat berupa
kerusakan formasi yang disebabkan oleh invasi fluida pemboran seperti semen
atau mud cake. Tetapi pada analisa logging sumur MT-11 terlihat bahwa formasi
dari sumur MT-11 merupakan tight limestone dimana batuan tersebut adalah
batuan gamping yang mempunyai porositas dan permeabilitas rendah yang
mengakibatkan sumur MT-11 tidak dapat berproduksi secara optimal.
Untuk mengetahui seberapa besar kerusakan formasi atau skin tersebut,

1
2

perlu diadakan tes uji sumur yaitu tes PBU (Pressure Build Up) dari sumur MT-
11. Tes PBU dilakukan untuk mengetahui parameter produksi dan reservoir
asli yang dimiliki oleh sumur MT-11 sebelum dilakukannya matrix acidizing. Tes
PBU ini menghasilkan parameter seperti laju produksi (q), tekanan reservoir (Pi),
tekanan alir dasar sumur (Pwf), faktor skin (S), dan permeabilitas (k). Dari
beberapa parameter tersebut kita juga dapat menghitung productivity index (PI),
menghitung flow efficiency (FE) dan membuat kurva inflow performance
relationship (IPR). Tes PBU ini dilakukan guna untuk menentukan apakah perlu
dilakukan matrix acidizing pada reservoir tersebut .
Pada operasi acidizing dilakukan 3 tahap yaitu tahap preflush yaitu tahap
pembersihan sumur agar tidak ada zat kimia lain yang berinteraksi langsung
dengan asam dan dapat menimbulkan endapan, kemudian tahap spotting/flush
yaitu tahap penginjeksikan asam ke dalam sumur, dan tahap overflush dimana
fluida pendorong asam diinjeksikan agar asam masuk ke dalam matriks-matriks
batuan. Asam yang digunakan pada batuan karbonat dapat berupa HCl
(Hydrochloric Acid) 32%, asam asetat (CH3COOH), atau formic acid (HCOOH).
Asam yang diinjeksikan tidak berupa murni asam, tetapi harus dilarutkan dengan
air sampai asam mempunyai konsentrasi berkisar 10-15%, dan asam tersebut akan
ditambahkan dengan aditif lainnya, seperti corrosion inhibitor, mengingat asam
bersifat sangat korosif maka akan ditambahkan aditif tersebut. Asam juga dapat
menimbulkan emulsi atau sludge apabila kontak langsung dengan crude oil maka
akan ditambahkan surfactant untuk mencegah hal tersebut terjadi, dan aditif-aditif
lainnya juga ditambahkan apabila diperlukan.
Pada perencanaan ini dilakukan perhitungan dari pelaksanaan Pressure
Build-Up yang dilakukan dengan menggunakan software Ecrin 4.10 untuk
mendapatkan data-data reservoir seperti tekanan reservoir (Pr), tekanan sumur
(Pwf), laju alir minyak (qo), skin (S), dan permeabilitas (k). Data-data tersebut
digunakan dalam perhitungan tekanan dan volumetris asam yang akan
diinjeksikan.
Perhitungan tekanan dihitung dengan menggunakan parameter seperti
fracture gradient, tekanan rekah dasar sumur, tekanan maksimum injeksi, dan laju
3

alir maksimum injeksi asam. Selanjutnya menghitung volume larutan asam yang
akan diinjeksikan. Perhitungan volume asam tersebut tergantung pada jari-jari
penetrasi yang ditentukan. Setelah didapatkan volume larutan asam yang akan
diinjeksikan, maka akan dihitung acid treatment volume yaitu prediksi jauh jarak
jangkauan asam yang akan dicapai, sekaligus prediksi skin yang akan didapat
sesuai dengan jarak jangkauan asam tersebut, meliputi wellbore cleanout akan
mendapatkan skin sebesar 0 - 2, near-wellbore stimulation akan mendapat skin
sebesar 0 – (-2), intermediate matrix stimulation akan mendapat skin sebesar (-2)
– (-3), dan extended matrix stimulation akan mendapat skin sebesar (-3) – (-5).
Selanjutnya dari nilai skin yang didapat, dapat dihitung prediksi hasil stimulasi
matrix acidizing berupa permeabilitas, productivity index (PI), kurva IPR, dan
flow efficiency (FE). Stimulasi matrix acidizing dapat dikatakan berhasil apabila
nilai-nilai tersebut meningkat dan nilai skin menurun (negatif).
BAB II
TINJAUAN LAPANGAN

Blok LS - LT mencakup daerah daratan dan lepas pantai pada bagian timur
dari lengan Sulawesi. Blok ini terletak pada area tanjung yang secara relatif
terbentuk sempurna kecuali pada bagian lokal dan blok normal patahan. Struktur
Miosen ini didominasi oleh endapan batuan karbonat bioklastik dangkal termasuk
pembatasnya yang panjang dan sebagian pembentukan batu karang di sepanjang
tepi batas kontinental.
2.1. Tinjauan Geologi dan Stratigrafi Lapangan
Lapangan minyak MT (Gambar 2.1) terletak di pulau buatan di dalam
gugus lepas pantai dari blok LS - LT (Gambar 2.2). Secara geologi, lapangan ini
terletak pada area teknonik di bagian timur lengan Sulawesi, terbentuk dari proses
tumbukan antara lempengan Banggai - mikro-kontinen Sula pada Sabuk Ofiolit
(Ophiolite Belt) Sulawesi Timur, yang mana terbentuk pada struktur zaman
Miosen Lama (Late Miocene) (Gambar 2.3). Proses tumbukan tersebut
menghasilkan lipatan-lipatan besar dan desakan dari lempengan sedimen dan juga
subduksi oleh salah satu massa Ofiolit terbesar di dunia, yang disebut dengan East
Sulawesi Ophiolite Belt.

Gambar 2.1
Lapangan Minyak MT-11
(_____JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi, 2013)
Area Lapangan

LS Field
Area LS

Area LT
MT Field

LOCATION MAP

Gambar 2.2
Lokasi Lapangan Minyak MT
(_____JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi, 2013)

Blok LS

Blok LT

LTM AREA SUB SURFACE STRUCTURE

Gambar 2.3
Struktur Sub-Surface Area LTM
(_____JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi, 2013)

Lapangan MT termasuk salah satu lapisan yang dihasilkan dari proses


tumbukan tersebut (Gambar 2.4). Selama waktu pembentukan yang berumur Plio-
Pleistocene, sejalan dengan pendesakan dan pengangkatan bagian timur Sulawesi,
pada desakan cekungan pertama mengarah ke bagian timur endapan post-tectonic,
sedimen Flysch dan sedimen Molasse terbentuk. Lapisan mikro-kontinental
terkubur sangat dalam, mengikuti proses pematangan dari lapisan penampang
batuan inti berumur Miosen.

MT Field
Top LTM Depth Map

MT-3 MT-1

MT Thrust

MT Field Thrust Anticline Structure


Gambar 2.4
Struktur Desakan Antiklin pada Lapangan MT
(_____JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi, 2013)

Sumur pengembangan MT-11 dibor oleh JOB Pertamina-Medco E&P


Tomori Sulawesi. Sumur tersebut terletak di struktur MT di blok LT. Sasaran dari
sumur ini adalah untuk menguras cadangan minyak dari resevoir batu gamping
pada formasi Miosen Awal (Early Miocene) yang terletak di bagian utara
lapangan MT, yang diuji dan menunjukkan hubungan dengan sumur eksplorasi
yang berada di dekatnya yaitu sumur MT-2. Reservoir ini sekarang
memproduksikan minyak melalui sumur MT-5, MT-6, MT-8, MT-9, dan MT-10.
Lapangan MT adalah lapangan yang cukup besar, dan mempunyai struktur
penutup asimetris yang memanjang dari utara-timur laut (NNE) sampai ke
selatan-barat daya (SSW), terbatas di bagian barat oleh WOC (water-oil contact),
kurang lebih di-8455 ft SS dan di bagian timur dibatasi oleh desakan patahan MT.
Sumur MT-11 pertama dibor pada 4 November 2012 pada pukul 02:30
WITA. Sumur tersebut dibor secara direksional ke arah utara-timur laut (NNW)
oleh rig APS-2001 di atas pulau buatan. Derajat inklinasi maksimal yang dicapai
selama mengebor adalah 75,74˚, azimut 4,74˚ pada 11219,95 ft MD-KB / 7266,09
ft TVD / -7244,09 SS. Sumur MT-11 mencapai kedalaman total sedalam 12550 ft
MDKB / 7600,06 ft TVD / -7558,06 SS pada 6 Agustus 2013 pada pukul 04.30
WITA.
2.1.1. Letak Lapangan MT
Lokasi permukaan dari sumur yang diusulkan, MT-11, adalah berada di
pulau buatan di dalam area blok lepas pantai LT, lengan bagian timur Sulawesi
Tengah (Gambar 2.2). Koordinat permukaan dari sumur MT-11 adalah X =
387.707,33 m - Y = 9.797.384,76 m. Lokasi ini kurang lebih berada sejauh 0,6 km
arah barat daya dari sumur MT-1 dan berjarak 2,5 km dari sumur MT-2.
Sumur MT-11 diprogram untuk menjadi salah satu dari lima sumur yang
dibor secara direksional yang mana akan dibor untuk menambah produksi minyak
dari bagian utara lapangan MT. Pertama-tama sumur ini akan dibor di atas batuan
batu gamping (limestone) yang berada sejauh 2,5 km pada koordinat X=
388.371,09 m - Y = 9.799.975,44 m pada kedalaman -7.239,9 ft SS, yang berada
kira-kira sejauh 155 meter dan secara struktural 10 ft lebih turun dari sumur MT-
2. Target bawah atau total kedalaman akan berkisar sebesar -8.080 TVD ft SS
pada lokasi X = 388.277,01 m - Y = 9.800.629,67 m. Penampang yang terakhir
dibor akan menjadi interval produksinya.
Sebenarnya sumur MT-11 adalah sumur pengganti untuk sumur MT-2.
Sumur MT-2 di dekatnya (sekarang sumur di bagian utara lapangan MT, pada
posisi kurang lebih sejauh 2,5 km dari pulau buatan MT) yang dulu dibor secara
vertikal oleh Union Texas pada 1985 dengan kedalaman total sebesar 8.222 ft.
Sumur MT-11 menembus formasi LTM pada kedalaman 7278 ft KB (-7230 ft
subsea) dan ditemukan zona minyak (gross oil pay) setebal 407 ft pada lapisan
batu gamping di formasi LTM yang berumur Early Miocene.
Jadi sumur MT-11 adalah sumur pengembangan yang diprogram untuk
menguras cadangan minyak dari bagian utara Lapangan Tiaka, dan diperkirakan
untuk menembus zona minyak yang sama seperti di lapisan karbonat LTM pada
sumur MT-2.
2.1.2. Geologi Regional
Struktur MT adalah berupa desakan antiklin yang berumur Pliosen Awal
(Early Pliocene). Formasi sumur MT-11 dibentuk dari hasil tumbukan antara
lempeng Banggai dengan mikro-kontinental Sula dan sabuk Ofiolit yang sekarang
membentuk bagian utama dari East Arm Sulawesi. Lapangan MT adalah struktur
penutup asimetris yang besar, yang ditentukan secara seismik yang berada di garis
arah utara-timur laut – selatan-barat daya NNE-SSW (Gambar 2.5).

MT-2

Top LTM

Gambar 2.5
Seismik Penampang UT88-535 Menunjukkan struktur MT Mendesak ke
Arah Barat (_____JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi, 2013)

Lapangan MT dibatasi pada bagian timur oleh desakan patahan dan batas
di sebelah barat ditentukan dari WOC (water-oil-contact), meskipun struktur
penutupannya digambarkan lebih dalam dari kontak sebenarnya. Struktur ini
umumnya mempunyai kemiringan ke arah barat laut sebesar 18 – 24 derajat.
Desakan patahan MT ditembus oleh 4 sumur yang dibor sampai sekarang,
sumur MT-1 dibor mendekati bagian bawah patahan dan mempunyai penampang
reservoir yang jauh lebih tipis dibandingkan dengan sumur lainnya.
Struktur jebakan lapangan MT membuktikan bahwa ada hubungan antara
semua sumur, yang mana telah diuji oleh sumur MT-1, MT-2, dan MT-4. Peta
struktur kedalaman di atas reservoir dari formasi LTM ditunjukkan pada Gambar
2.6. Perbandingan dari data fluida reservoir dengan pemetaan struktur
mengindikasikan bahwa struktur itu kemungkinan tidak terisi ke struktur fill point.
Data DST dari sumur MT-4 menunjukkan lapisan air dan lapisan minyak.
MT-11

Top Target MT-11

MT Multilateal Loc

MT Development Top LTM


Wells Surfaces
Location Depth and
Porosity Map

Gambar 2.6
Peta Struktur Kedalaman dan Porositas Lapisan Atas LTM
(_____JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi, 2013)

2.1.3. Stratigrafi Regional


Stratigrafi dari area MT dapat dideskripsikan dengan rangkaian klastik dari
struktur berumur Plio-Pleistocene yang terlapis diatas lapisan berumur Miosen
dan lapisan Karbonat Eosen. Lapisan karbonat menempati di bagian dasar yang
lapuk. Berada di lapisan metamorf pada bagian dasar adalah jajaran rawan lapuk
yang buruk yang mungkin terdiri dari lapisan batuan sedimen. Jajaran tersebut
berketebalan sekitar 30-60 ft dan belum menunjukkan keberadaan hidrokarbon.
Jajaran lapuk tersebut dilapisi oleh unit litostratigrafi yang disebut platform batu
gamping atau formasi LTM. Unit ini pada dasarnya terusun dari karbonat tetapi
mempunyai sedikit lapisan batu bara dan shale. Bukti dari biostratigrafi
mengindikasikan bahwa zona dasarnya adalah lapisan berumur Eosen (Eocene)
sampai Oligosen (Oligocene). Unit ini adalah reservoir pada struktur MT.
Ketebalan dari platform batuan gamping LTM bermacam-macam sesuai
dengan posisi strukturnya. Mayoritas dari lapisan ini terdiri dari mudstone dan
wackstone yang pada umumnya mempunyai porositas dan permeabilitas yang
rendah. Reservoir ini dilapisi dan dibungkus oleh unit klastik/batubara dari
formasi LM yang pada dasarnya terdiri dari tumpukan shale berkapur dan
packstone yang berlumpur. Batuan shale tersimpan pada daerah air yang tenang.
Porositas dan permeabilitas di batuan pasir tidak cukup baik. Macam-macam
ketebalan pada unit ini sangatlah banyak.
Platform batuan gamping LMN terdiri dari packstone, wackstone, dan
batuan gamping lumpur yang tersimpan di area laut dangkal. Lapisan tersebut
terdiri dari lapisan pengendapan atas tetapi tidak ada bukti yang ditemukan untuk
peristiwa regresif di dalamnya.
2.2. Kondisi Reservoir
Beberapa reservoir terdapat di lapisan Karbonat Miosen pada blok LS-LT.
Diukur dari platform sampai ke karbonat yang berupa batu karang dengan
rangkaian interformational clastics termasuk formasi LTM, LM, dan LMN.
Formasi LTM membentuk reservoir untuk tempat akumulasi minyak di lapangan
MT blok LT. Kualitas reservoir pada unit ini pada umumnya tidak cukup bagus,
tetapi batu gamping disini terdiri dari barisan dolomit, menghasilkan perbaikan
pada porositasnya.
Formasi LM adalah rangkaian interformational clastics diantara Miosen
LTM dan Karbonat LMN, yang mempunyai batu pasir quartzose yang berporos.
Pada lapangan MT, batu pasir pada formasi LM telah ditemukan mengandung
hidrokarbon. Dua lapisan gas sand tipis dengan ketebalan 10 ft dan 15 ft ditembus
melalui sumur MT-1. Data RFT dari sumur MT-1 mengindikasikan bahwa batu
pasir LM mempunyai porositas dan permeabilitas yang sangat bagus. Pada sumur
MT-7 ST-2A, beberapa hidrokarbon yang berhubungan dengan batu pasir dan
batu gamping ditembus oleh gas sand yang berketebalan 24 ft telah dibuktikan
oleh high gas (1590 unit dari C1-C5) pada mud log, dan resistivity yang tinggi
dapat dibaca pada log elektriknya sebesar 400 ohm. Yang lainnya cukup tipis, 2 –
4 ft, kemungkinan dimana minyak dan gas tertinggal.
Gambar 2.7
Struktur Cross-Section dari MT-10, MT-7ST2A, MT-11, MT-2
Menunjukkan Perkiraan Top LMT pada MT-11 10 ft Lebih Rendah
daripada MT-2 (_____JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi, 2013)

Rangkaian formasi LMN menyediakan reservoir gas yang baik di bagian


utara blok LS - LT. Pada lapangan MT, batu gamping dari formasi LMN
ditemukan gas dan minyak di tempat asli MT 7/ST2 dan yang baru-baru ini dibor
di sumur MT-7 ST-2A, yang telah dibuktikan oleh DST di sumur MT-7 ST-2.
Sumur MT-2 menembus formasi LTM pada kedalaman 7.278 ft KB (-
7.230 ft subsea). Sumur ini mempunyai lapisan zona produksi (gross pay) setebal
407 ft di lapisan desakan pada formasi LTM. Zona produktif tersebut adalah zona
batu gamping yang berporositas rendah yang berlapis pada dolomit sucrosic yang
berporositas baik. Log dan data core dari sumur MT-2 mengindikasikan bahwa
terdapat rekahan sepanjang lapisan reservoir LTM yang akan menyediakan
permeabilitas sepanjang reservoir yang didominasi oleh mikro-poros.
Pada sumur yang diajukan, MT-11, target reservoir utamanya adalah
lapisan karbonat bioclastic dari formasi LTM, yang sama dengan reservoir
minyak pada sumur MT-2 yang diestimasikan akan ditembus pada kedalaman
7.240 ft SS atau secara struktur 10 ft lebih rendah daripada sumur MT-2 (Gambar
2.7). Dan kurang lebih 840 ft dari batuan gamping LTM akan dibor pada
kedalaman total (TD) -8.080 TVD (total kedalaman vertikal) SS, dimana sumur
tersebut akan diproduksikan dari lapisan ini.
2.3. Formasi dan Litologi
Target lapisan atas dari reservoir MT-11 dapat dilihat pada data seismik
UT88-541 (Gambar 2.8) dengan perkiraan kedalaman pada 12.533 ft MD-KB (-
7239,9 ft TVD SS). Target lapisan bawah atau kedalaman total (TD) diprogram
pada perkiraan kedalaman 14.859,65 ft MD-KB (8.122 ft TVD-KB, -8.080 ft SS).
Objek utama dari sumur MT-11 adalah lapisan batuan gamping bioclastic
dari formasi LTM pada 230 m di tenggara sumur MT-2. Oleh karena itu ramalan
geologi (geological prognosis) seharusnya sama dengan lapisan geologi yang
sebenarnya yang ditemukan di sumur MT-2 (Gambar 2.9).
Prop. Loc. MT-1 MT-2
MT-1

Top LM fm
Top LMN fm

MT Thrust Top LT fm

Gambar 2.8
Seismik dari Penampang UT88-541 Menunjukkan Target Reservoir dari
Sumur MT-11 (_____JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi, 2013)
MT-2

LMN

LTM
MT
thrust
fault

LM

LTM

Sumur MT-2

Ringkasan Sumur

Gambar 2.9
Ringkasan Kolom Litologi dari Sumur MT-2
(_____JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi, 2013)
2.4. Sejarah Produksi
Lapangan MT adalah salah satu struktur lapangan penghasil minyak yang
mempunyai sumur sebanyak 13 buah, yaitu sumur MT-1, MT-2, MT-3, MT-4,
MT-5, MT-6, MT-7, MT-8, MT-9, MT-10, MT-11, MT-12, MT-13. Yang mana
sumur yang berproduksi hanya sebanyak 9 sumur, dan yang 4 sisanya di shut-in
untuk sementara. Sumur-sumur tersebut memproduksikan minyak beberapa
dengan cara sembur alami (natural flow) dan beberapa sumur telah dipasang
artificial lift atau alat sembur buatan yaitu berupa gas lift. Sumur yang dibahas
pada penelitian ini adalah sumur MT-11, yaitu sumur baru yang mulai
diproduksikan pada bulan Agustus 2013, menghasilkan produksi pertama sebesar
67 BOPD. Grafik produksi pada lapangan MT sumur MT-11 dapat dilihat pada
Gambar 2.10. Dapat dilihat pada grafik bahwa produksi meningkat drastis karena
adanya proses stimulasi yaitu acidizing atau pengasaman.
120.0 2400

100.0
1900

80.0
1400
Oil Rate (bph)
BHT (degC)

BHP (psi)
60.0

900
40.0

400
20.0

0.0 -100

Oil Rate (bph) BHT (degC) BHP (psi)

Gambar 2.10
Grafik Produksi Sumur MT-11
(_____JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi, 2013)
BAB III
TEORI DASAR

Konfigurasi lubang bor menembus formasi serta geometri dan karateristik


reservoirnya menyebabkan pola aliran fluida yang terjadi berbeda-beda, dengan
memproduksi suatu sumur yang menghubungkan permukaan dengan reservoir,
akan menyebabkan ketidak seimbangan tekanan dalam reservoir, sehingga akan
menimbulkan gradien tekanan yang akan menyebabkan fluida dalam media
berpori tersebut mengalir ke segala arah. Pola aliran radial paling lazim digunakan
untuk menggambarkan aliran fluida dalam media berpori. Pola ini diawali oleh
solusi dari Van Everdigen & Hurst pada tahun 1949, kemudian berkembang
model-model lainnya untuk lebih dapat mempresentasikan kondisi reservoir yang
sebenarnya.
Besaran-besaran yang diakibatkan oleh aliran fluida dalam media berpori
ke lubang sumur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat fisik batuan formasi
dan sifat fisik fluida formasi. Apabila perubahan tekanan diplot sebagai fungsi
waktu, maka akan dapat dianalisa pola aliran yang terjadi dan juga besaran
karateristik reservoirnya.

3.1. Pressure Build-Up


Pressure build-up adalah merupakan suatu teknik pengujian transien yang
paling dikenal dan banyak dilakukan orang dimana prinsip pengujiannya
dilakukan dengan cara memproduksi sumur selama suatu selang waktu tertentu
dengan laju alir yang tetap, kemudian menutup sumur tersebut sehingga tekanan
menjadi naik dan dicatat sebagai fungsi waktu (tekanan yang dicatat biasanya
tekanan dasar sumur).
3.1.1. Pengertian dan Tujuan Pressure Build-Up
Pressure build-up adalah suatu cara yang digunakan untuk mendapatkan
informasi secara langsung mengenai sifat-sifat fluida yang terkandung dalam
reservoir, karakteristik batuan reservoir, temperatur, dan tekanan reservoirnya.
Pada dasarnya tes PBU mempunyai tujuan yang sama dengan DST, tetapi dapat
juga dilakukan pada sumur-sumur explorasi maupun sumur exploitasi. Yang
penting dalam tes PBU ini adalah bahwa sumur-sumur yang ditest harus dapat
mengalirkan fluidanya ke permukaan sesaat sebelum test produksi dimulai. Secara
umum kegunaan analisa test PBU adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tekanan reservoir pada suatu saat dan bila dilakukan secara
periodik dapat dianalisa ulah tekanan reservoir terhadap komulatif produksi
minyak atau terhadap waktu. Dengan adanya hubungan tekanan reservoir
dengan komulatif produksi dapat diramalkan jumlah cadangan minyak yang
dapat diangkat kepermukaan. Dengan menggunakan data perubahan tekanan
terhadap waktu, data produksi dan sifat-sifat fluida yang dimasukkan kedalam
persamaan “material balance”.
2. Menentukan karakteristik batuan reservoirnya, dalam hal ini permeabilitas
efektif batuannya.
3. Menganalisa aliran fluida disekitar lubang bor. Apakah mengalami hambatan
(skin effect) dan berapa jauh hambatan ini berpengaruh terhadap aliran
produksi (flow efficiency), sehingga dapat ditentukan perlu tidaknya stimulasi
atau treatment terhadap sumur tersebut serta mengevaluasi hasilnya.
4. Menganalisa perubahan tekanan reservoir pada suatu proyek water injection
atau proyek pressure maintenance.

3.1.2. Prinsip Superposisi


Dasar analisa pressure build-up ini dikemukakan oleh Horner, yang pada
dasarnya adalah memplot tekanan terhadap suatu fungsi waktu. Pada Gambar
3.1. memperlihatkan suatu sumur berproduksi dengan seri laju produksi tetap
untuk setiap selang waktu. Untuk menentukan tekanan lubang sumur (P wf) pada
saat tn sewaktu laju saat itu qn, maka perlu dipahami dulu suatu prinsip yang
mendasari analisa ini yaitu yang dikenal dengan prinsip superposisi.

q1 dianggap berproduksi selama tn

q 2 dianggap berproduksi selama tn – t1


q 3 dianggap berproduksi selama tn – t2

q 4 dianggap berproduksi selama tn – t3

q n dianggap berproduksi selama tn – tn - 1

Jika prinsip posisi itu dijabarkan, maka akan berlaku persamaan sebagai berikut :

2
706 q1 B 1688 ct rw
P P Pwf ln 2s
kh k .t n
............................. (3-2)

2
706 q 2 q1 B 1688 ct rw
= ln 2s
kh k t n t1

2
706 q3 q2 B 1688 ct rw
= ln 2s
kh k tn t2

2
706 q 4 q3 B 1688 ct rw
= ln 2s
kh k t n t3

2
706 q n qn 1 B 1688 ct rw
= ln 2s
kh k tn tn 1

Didalam suatu rumusan yang umum maka hubungan ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :

n
2 kh
P1 Pwfn q j .PD t Dn t Dj 1 q n s ...................................... (3-3)
j 1

Keterangan : qj qj qj 1
Gambar 3.1.
Sejarah Produksi Berdasarkan Laju Alir dan Tekanan Dasar Alir Sumur
dengan Fungsi Waktu (Abdassa, Doddy, 2005)

3.1.3. Landasan Teori Pressure Build-Up


Setelah mengetahui prinsip superposisi diatas, maka pressure build-up
akan lebih mudah dimengerti, Gambar 3.2. memperlihatkan suatu sejarah
produksi suatu sumur. Mula-mula sumur diproduksi dengan laju tetap (q), selama
waktu (tp), kemudian sumur ditutup selama waktu t.
2
q B 1688 ct rw
Pi Pws 70.6 ln 2s
kh k tp t

2
0 q B 1688 ct rw
70.6 ln 2s ......................................... (3-4)
kh k. t

Kemudian persamaan (4-17) disusun menjadi :

q B tp t
Pws Pi 70.6 ln ........................................................... (3-5)
kh t

atau :

q B tp t
Pws Pi 162.6 log ....................................................... (3-6)
kh t
Gambar 3.2.
Laju Alir Ideal dan Sejarah Produksi untuk Pressure Build-Up Test
(Abdassa, Doddy, 2005)

Persamaan (4-18) memperlihatkan bahwa Pws, shut-in BHP, yang dicatat


t t
selama penutupan sumur, apabila diplot terhadap log merupakan garis
t
lurus dengan kemiringan :
162.6q B
m ,psi/cycle ....................................................................... (3-7)
kh
Contoh yang ideal dari pengujian ini dapat dilihat dari Gambar 3.3. Jelas
bahwa permeabilitas (k), dapat ditentukan dari slope “m”, sedangkan apabila garis
ini diekstrapolasikan keharga “Horner Time” sama dengan satu (equivalent
dengan penutupan yang tidak terhingga lamanya), maka tekanan pada saat ini
teoritis sama dengan tekanan awal reservoir tersebut. Sesaat sumur ditutup akan
berlaku hubungan :

2
q B 1688 ct rw
wf i 70 .6 ln 2s
kh k .t p
2
q B 1688 ct rw
= i 16206 log 0.869s
kh k .t p

2
1688 ct rw
= i m log 0.869 s .......................................... (3-8)
k .t p

Pada saat waktu penutupan = t , berlaku hubungan :


ws i m log t p t / t .............................................................. (3-9)

Kalau persamaan (4-16) dan (4-17) dikombinasikan, maka dapat dihitung


harga skin (s), sehingga :
2
ws wf 1688 ct rw tp t
s 1.151 1.151log 1.151log .(3-10)
m k t tp

Didalam industri perminyakan biasanya dipilih t = 1 jam sehingga Pws


pada persamaan (4-23) menjadi P1jam. P1jam ini harus diambil pada garis lurus
tp t
atau garis ekstrapolasinya. Kemudian faktor dapat diabaikan sehingga :
t

1 jam wf k
s 1.151 log 2
3.23 ....................................(3-11)
m ct rw

dimana skin harus berharga positif.

Apabila harga s ini berharga positif berarti ada kerusakan (damage) yang pada
umumnya dikarenakan adanya filtrat lumpur pemboran yang meresap kedalam
formasi atau endapan lumpur (mud cake) disekeliling lubang bor pada formasi
produktif yang kita amati. skin yang negatif menunjukkan perbaikan
(stimulated), biasanya ini terjadi setelah dilakukan pengasaman (acidizing) atau
perekahan (hydraulic fracturing).
Sedangkan adanya hambatan aliran yang terjadi pada formasi produktif akibat
adanya skin effect, biasanya diterjemahkan kepada besarnya penurunan
tekanan, Ps yang ditentukan menggunakan persamaan :
Ps = 0.87 m s , psi ..............................................................................(3-12)
Maka besarnya produktifitas formasi (PI) dan atau flow efficiency (FE)
berdasarkan analisa pressure build-up ini dapat ditentukan menggunakan
persamaan :
q
PI ,BPD / Psi ...........................................................(3-13)
P Pwf Ps

dan

P Pwf Ps
FE x100 % ............................................................(3-14)
P Pwf

Sedangkan untuk mengetahui besarnya radius of investigation (ri) dapat


ditentukan menggunakan persamaan :

kt
ri 0.03 , ft ...............................................................................(3-15)
ct

Keterangan :
ct : kompresibilitas , psi-1

Untuk reservoir yang bersifat infinite acting, tekanan rata-rata reservoir ini
adalah P* = Pi = Pave yang dapat diperkirakan.

Gambar 3.3.
Sejarah Laju Alir untuk Ideal Pressure Build-Up Test (Abdassa, Doddy, 2005)
I. Pressure Build-Up yang Ideal
tp t
Seperti terlihat pada persamaan (4-18), plot antara Pws vs log
t
merupakan garis lurus. Ini merupakan hal yang ideal tanpa adanya pengaruh awal
dari wellbore storage.

Gambar 3.4.
Grafik Pressure Build-Up untuk Reservoir Ideal (Abdassa, Doddy, 2005)

II. Test Pressure Build-Up yang Aktual


Pada kenyataan yang sebenarnya, kurva respon tekanan didalam Horner
plot mungkin tidak sederhana. Banyak faktor yang mempengaruhi bentuk kurva
tersebut. Pada Gambar 3.5. menggambarkan bentuk kurva Horner yang sering
terjadi dari suatu hasil pengujian. Terlihat pada gambar, bahwa kurva respon
tekanan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Segmen data awal (Early Times) yang mana selama tekanan transien bergerak
melalui formasi yang terdekat dengan sumur bor
2. Segmen waktu tengah (Middle Times) yang mana selama tekanan transien
pindah dari wellbore storage dan masuk kebagian formasi terbesar.
3. Waktu lanjut (Late Times) dimana radius pengamatan telah mencapai batas
pengurasan sumur.
Adanya penyimpangan dari garis lurus Horner (segmen waktu tengah)
disebabkan oleh banyak hal. Secara skematis, Gambar 3.5. mengilustrasikan
berbagai macam faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan pada
segmen-segmen data awal dan data waktu lanjut. Misalnya segmen data awal
dipengaruhi oleh : wellbore storage, faktor skin sedangkan segmen waktu lanjut
dipengaruhi oleh batas reservoir, pengaruh sumur-sumur produksi atau injeksi
disekeliling sumur yang diuji.

Gambar 3.5.
Grafik Pressure Build-Up Test Sebenarnya (Abdassa, Doddy, 2005)

III. Lamanya Pengaruh Wellbore Storage


Efek dari wellbore storage akan mendominasi data awal dari suatu
pengujian sumur, dimana lama pengaruh wellbore storage sangat tergantung
kepada ukuran maupun konfigurasi lubang bornya. Rangkaian pengerjaan analisa
pressure build-up dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Terlebih dahulu buat plot log ∆P = (Pws - Pwf) vs log ∆t.
2. Wellbore storage effect terlihat dengan adanya unit slope yang dibentuk oleh
data awal.

Dari unit slope tersebut dapat diperkirakan wellbore storage coefficient


(Cs) di dalam satuan :
qB t
Cs ...........................................................................................(3-16)
24

Dari unit slope tersebut dapat diperkirakan wellbore storage coefficient


(Cs) di dalam satuan :
qB t
Cs ...........................................................................................(3-17)
24
Keterangan :
q = Laju alir, STB/Day
B = Faktor folume formasi, bbl/STB
∆t = Waktu, jam
∆P = Tekanan, psia
Dimana ∆t dan ∆P tersebut berasal dari sembarang titik yang dipilih pada unit
slope.
3. Dari titik data yang mulai meninggalkan unuit slope kemudian diukur 1 atau
1.5 log cycle. Data yang terletak diluar jarak tersebut adalah yang bebas dari
pengaruh wellbore storage.
4. Seperti biasa buat Horner plot, (t + ∆t)/∆t vs Pws. Horner straight line
dibentuk dari titik-titik data yang bebas dari wellbore storage diatas.
Kemudian berdasarkan garis lurus yang terbentuk tersebut dianalisa harga-
harganya seperti k, P*, s, dan FE.

Gambar 3.6.
Tipe Pressure Build-Up Bawah Lubang untuk Produksi
Pseudo Steady State Sebelum Shut-in (Chan, K.S., 1995)
3.1.4. Prosedur Operasi Pressure Build-Up
Program testing dibuat sebagai petunjuk mengenai urut-urutan kegiatan
yang harus dilakukan dalam suatu tes Pressure Build-Up (PBU). Salah satu alat
yang digunakan untuk tes pressure build-up yang dikemukakan adalah pressure
bomb, karena tes PBU dengan menggunakan surface record out lebih sederhana.
Langkah-langkah tersebut adalah :
1. Setelah peralatan tes sumur lengkap dipasang, tes semua pipa-pipa dan kepala
sumur dengan tekanan sekitar 5000 psi serta lubricator dengan tekanan
sekitar 3000 psi.
2. Buka sumur dan catat setiap data di wellhead, data di separator, water
salinity, gravity minyak dan titik tuang minyak setiap 15 menit.
3. Setelah sumur clean up, siapkan pressure bomb ganda dan gunakan juga
pressure element dengan kapasitas kira-kira 25% lebih besar dari tekanan
maksimum reservoir yang diperkirakan dari clock dengan waktu 72 jam.
4. Hidupkan clock, turunkan pressure bomb sampai di depan lubang perforasi.
Jika membahayakan maka naikkan pressure bomb sekitar 100 ft diatas lubang
perforasi.
5. Tetapkan aliran produksi dengan kapasitas konstan selama 6 – 8 jam dengan
mengatur choke di wellhead.
6. Tutup sumur untuk tes PBU selama 6 jam atau kira-kira 60 % dari waktu
pengaliran produksi konstan.
7. Cabut pressure bomb, dan hentikan pada kedalaman tertentu selama 15 menit
untuk menentukan gradient tekanan fluida.
8. Keluarkan pressure bomb, turunkan lubricator, tes PBU telah selesai.

3.1.5. Data dan Analisa Pressure Build-Up untuk Reservoir Minyak


1). Data-Data Hasil Pressure Build-Up

A. Data Dari Lapangan


Data ini diperoleh dari hasil pengukuran, perhitungan dan pengamatan
secara langsung dilapangan, baik pada saat berlangsungnya test maupun setelah
test selesai.
Data-datanya meliputi :
1. Kapasitas produksi minyak, qg (MSCFD)
2. Kapasitas produksi gas, qo (BOPD)
3. Specific grafity minyak, ρg
4. Specific grafity gas, ρo
5. Gravity minyak, oAPI
6. Komponen hidrokarbon, mol %
7. Kandungan H2S (ppm) dan CO2 (ppm)
8. Kegaraman, Cl (ppm)
Data tekanan (P) dan temperatur (T) :
1. Pi = Tekanan mula-mula didalam sumur pada saat t = 0, psig
2. Pwf = Tekanan alir dasar sumur pada setiap t, psig
3. P1jam = Tekanan alir dasar sumur pada t =1 jam, psig
4. BHT = Temperatur maksimum didasar sumur (oF)
Data sumur :
1. Jarak titik referensi, KB (ft)
2. Kedalaman titik survey yang diukur, MD (ft)
3. Kedalaman titik survey dibawah permukaan air laut, SSD (ft)
4. Kedalaman vertikal dibawah KB, TVD (ft)
5. Interval formasi, h (ft)
6. Tentukan diameter lubang bor, d (ft)
7. Catat setiap perubahan choke, tekanan dan temperatur dikepala sumur.
B. Data dari Hasil Analisa
Data ini diperoleh setelah semua data dihimpun, baik data permukaan
maupun bawah permukaan, informasi-informasi yang didapat dari analisa ini
antara lain :
1. Tekanan reservoir mula-mula atau rata-rata, Pi atau (psig)
2. Permeabilitas efektif batuan, k (mD)
3. Skin effect, S
4. Flow Efficiency, FE
5. Damage Ratio (DR)
6. Jari-jari pengurasan, re (ft)
7. Productivity Index, PI (B/D/psi)

2). Analisa Hasil Pressure Build-Up


a) Penentuan Tekanan Rata-rata Reservoir
Seperti telah diketahui tekanan rata-rata reservoir ( ), sangat berguna
untuk karakterisasi suatu reservoir, penentuan cadangan dan peramalan kelakuan
reservoir tersebut. P merupakan suatu besaran fisik yang mendasar untuk
diketahui pada proses primery recovery dan enhanced recovery.

Gambar 3.7.
Tipe Kurva Pressure Build-up untuk Sumur Finite Reservoir
(Chan, K.S., 1995)
Untuk reservoir yang bersifat infinite-acting, tekanan rata-rata ini adalah
P* = Pi = yang dapat diperkirakan dengan mengekstrapolasikan segmen garis
lurus pada Horner plot ke harga (tp + ∆t)/∆t = 1. Tetapi pada reservoir yang
terbatas, hal diatas tidak dapat dilakukan mengingat bahwa dengan adanya efek
dari batas reservoir, tekanan pada umumnya jatuh dibawah garis lurus Horner
seperti terlihat pada Gambar 3.7.
Ada beberapa metoda untuk memperkirakan harga ini, yaitu :
1. Metoda Matthews-Brons-Hazebroek (metoda MBH)
2. Metoda Miller-Dyes-Hutchinson (metoda MDH)
3. Metoda Dietz
4. Metoda Ramey dan Cobb

I. Metoda Matthews-Brons- Hazebroek (Metoda MBH )


Metoda ini dapat memperkirakan suatu reservoir yang terbatas dari hasil
test build-up. Metoda ini dilakukan dengan asumsi bahwa mobilitas dan
kompresibilitas fluida tidak bervariasi sampai sebatas radius pengurasan, atau
dapat dikatakan tidak ada variasi sifat-sifat fluida dan batuan reservoirnya.
Langkah-langkah dari metode ini adalah :
1. Dapatkan harga P* dari metoda Horner. (untuk reservoir yang terbatas, P* ini
dikenal sebagai “False Pressure”) dan juga didapatkan harga m.
2. Kemudian harga diperkirakan berdasarkan persamaan :
m
* PDMBH T pDA ................................................................. (3-18)
2.303
Harga PMDBH, atau dikenal sebagai “MBH Dimensionless Pressure”
dibaca pada ordinat, tergantung pada bentuk dari daerah pengurasannya. Harga
absisnya didapatkan dengan persamaan :
0.0002637kt p
t PDA ...........................................................................(3-19)
ct A
II. Metoda Miller-Dyes-Hutchinson (Metoda MDH)
Metoda ini hanya dapat menghitung untuk reservoir-reservoir yang
berbentuk lingkaran atau bujur sangkar dengan sumur produksi pada pusatnya,
salah satu syarat mutlak untuk menggunakan metode MDH ini adalah anggapan
bahwa sebelum shut-in (sumur ditutup), kondisi telah mencapai pseudosteady
state.
Langkah-langkah cara pengerjaannya adalah sebagai berikut :
1. Buat MDH plot yaitu Pws vs log ∆t, kemudian tentukan m dan k.
2. Dipilih sembarang ∆t asalkan terletak pada semi log straight line, katakanlah
∆t’ kemudian baca P’ws yang berhubungan dengan waktu ∆t’ tadi.
0.0002637k t '
3. Hitung ∆t’DA =
ct A
4. Dari Gambar (4.19.) dibaca PDMBH untuk reservoir yang sesuai dengan
pendekatan lingkaran atau bujur sangkar dan kondisi pada batasnya (no flow
atau constant pressure)
5. Tekanan rata-rata dihitung berdasarkan persamaan :
'
' m DMBH t DA
ws ....................................................................(3-20)
ct A
III. Metode Dietz
Syarat untuk menghitung metode ini adalah :
a. Pseudosteady state telah dicapai sebelum penutupan sumur.
b. Telah diketahui shape factornya, CA
c. Skin factor harus lebih besar dari -3
Langkah-langkah pengerjaanya adalah sebagai berikut :
1. Buat MDH plot (Pws vs log ∆t), kemudian tentukan m dan k.
2. Menurut Dietz, akan terjadi pada saat t yaitu pada saat :
tp ct A
t .......................................................(3-21)
C A t p DA 0.0002637C A k

3. Kemudian dibaca pada waktu t , yang dihitung diatas, pada semi log
straight line.
IV. Metoda Ramey dan Cobb
Proses penentuan dengan metode ini mirip dengan metoda Dietz, hanya
saja Ramey dan Cobb menggunakan Horner plot, bukan MDH plot.
Limitasi dari metode ini adalah :
a. S > -3
b. Rwa < 0.05.re, dimana rws = rwe-5
c. tp tpss
Langkah-langkah pengerjaannya adalah sebagai berikut :
1. Buat Horner plot, kemudian tentukan m dan k
2. Menurut Ramey & Cobb, akan terjadi pada saat Horner time :
tp t
C A t pDA
t
0.0002637kt p C A
= , apabila CA diketahui ...................... (3-22)
ct A

3. Apabila CA tidak diketahui, Horner Time pada saat terjadi dapat didekati
dengan persamaan :
tp t
e 4pDA
t
(3-23)
t
...........................................................................
4. Kemudian dibaca pada Horner straight line untuk Horner plot diatas.

b) Analisa Pressure Build-Up untuk Sistem Fluida Lebih dari Satu Fasa
Pada saat tekanan di reservoir minyak mulai turun ke bawah tekanan
bubble point, gas mulai terbentuk dan aliran fluida menjadi lebih dari satu fasa.
Pada saat ini, kelakuan tekanan diwakili oleh persamaan differensial yang lebih
kompleks dan tidak linier. Oleh sebab itu jelaslah bahwa metoda-metoda yang
telah dibicarakan terdahulu tidak bisa dilakukan lagi.
Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa untuk tujuan-tujuan praktis kita
dapat memodifikasi persamaan differensial yang tidak linier tadi sehingga
metoda-metoda yang lama dapat digunakan lagi untuk kasus ini. Metoda ini
dikembangkan oleh John Martin yang menulis persamaan sebagai berikut :
2
P 1 P ct P
2
...................................................................(3-24)
r r r k/ t t

Dimana :
ct = kompressibilitas total dan (k/μ)t adalah mobilitas total.

Dibawah syarat batas dan syarat awal yang sejenis dengan persamaan yang
diturunkan untuk reservoir yang tidak terbatas, persamaan diatas mempunyai
solusi sebagai berikut:
ct r 2
P C1 Et C 2 ................................................................(3-25)
4t k / t

Untuk syarat batas berikut ini :


2 ko h P
qo r r rw
o r ..................................................................... (3-26)

Persamaan (4-36) menjadi :


qo o ct r 2
P Et C 2 .........................................................(3-27)
4 ko h 4t k / t

Apabila dimasukkan harga r = rw dan dilakukan prinsip superposisi maka


didapatkan persamaan pressure build-up dengan kemiringan Horner straight line
sebagai berikut :
qo o
m ........................................................................................ (3-28)
4 ko h

Atau dalam satuan lapangan :


qo Bo
o
m 162 .6 (psi/cycle) ..............................................................(3-29)
ko h

Persamaan diatas digunakan untuk fasa minyak, sedangkan untuk fasa gas adalah :
qg g Bg
m 162.6 ..............................................................................(3-30)
kg h

qg disini dianggap hanya free gas yang mengalir dimana :


qg qg t q o Rs ....................................................................................(3-31)

Jadi dapat disimpulkan bahwa horner plot seperti yang terdahulu


diterangkan dapat dilakukan, kemudian dapat dianalisa untuk mendapatkan
besaran-besaran sebagai berikut ini :
Permeabilitas efektif minyak :
qo Bo
o
ko 162.6 ..............................................................................(3-32)
mh
Permeabilitas efektif gas :
qg g Bg
kg 162 .6 ............................................................................(3-33)
h
Permeabilitas efektif air :
qw Bw
w
kw 162.6 .............................................................................(3-34)
mh

Mobilitas total :
ko kg kw
k/ t
o g w

162.6
Bo qo Bg q gt q o Rs Bw q w .................................(3-35)
mh

Kompresibilitas total :
ct s o co sg cg swcw c f ................................................................(3-36)

Skin faktor :
P1 jam Pwf k/ t
s 151.1 log 3.23 ..........................................(3-37)
m ct rw

Penurunan tekanan karena adanya skin effect :


Ps 0.87 ms .......................................................................................(3-38)

Flow efficiency :
P * Pwf Ps
FE ...........................................................................(3-39)
P * Pws

3.2. Analisa Pressure Build-Up dengan Menggunakan Software Ecrin 4.10


Software/perangkat lunak Ecrin versi 4.1 dikembangkan untuk
menganalisa hasil uji sumur dengan beberapa metode, diantaranya metode horner,
metode pressure derivative, dan metode lainnya. Langkah kerja analisa Pressure
Build-Up dengan perangkat lunak tersebut terdiri dari 4 tahap utama yaitu
inisialisasi, input data, ekstrak Delta P, dan analisis model. Hasil analisa Pressure
Build-Up adalah valid jika tahapan kerja analisa dilakukan dengan benar dan
semua data yang dibutuhkan adalah valid.
3.2.1. Langkah Kerja Analisis Pressure Build-Up dengan menggunakan
Software Ecrin 4.1

INISIALISASI

INPUT DATA

EKSTRAK DELTA P

HISTORY PLOT LOG-LOG PLOT SEMI LOG PLOT

PEMILIHAN MODEL

PERBAIKAN
MODEL/MATCHING

ANALISA MODEL NO

YES

INTERPRETATION REPORT

STOP
3.3. Proses Stimulasi
Setelah dilakukan welltest, apabila terdapat kerusakan (damage) dari
sumur tersebut, maka langkah selanjutnya dilakukan stimulasi. Stimulasi
merupakan suatu proses perbaikan terhadap sumur untuk peningkatan
permeabilitas formasi dalam upaya peningkatan laju produksi. Stimulasi dapat
dilakukan dengan metoda hydraulic fracturing dan acidizing. Dampak dari
stimulasi yaitu menimbulkan terbentuknya rekahan (fracture) atau pelarutan
partikel penyumbat pada ruang pori-pori batuan.
Stimulasi merupakan pekerjaan ulang menyangkut tentang perubahan sifat
formasi dengan menambahkan unsur-unsur tertentu atau material lain ke dalam
formasi guna memperbaiki adanya well damage.

3.3.1. Proses Acidizing


Prinsip dasar metode ini adalah melarutkan batuan dari material-material
yang menghambat aliran dalam reservoir dengan cara menginjeksikan sejumlah
asam ke dalam lubang sumur/lapisan produktif. Acidizing ini biasanya dilakukan
untuk menghilangkan pengaruh penurunan permeabilitas formasi di sekitar lubang
sumur (kerusakan formasi) dengan cara memperbesar pori-pori batuan dan
melarutkan partikel-partikel penyumbat pori-pori batuan. Proses penginjeksian
asam ke dalam formasi dilakukan dengan tahap-tahap kegiatan seperti preflush,
spotting dan after flush/overflush.
3.3.1.1. Preflush
Preflush dilakukan dengan memompakan asam yang konsentrasinya
rendah dan jumlahnya kira-kira setengah dari volume untuk acidizing sebenarnya.
Preflush bertujuan untuk menghilangkan material formasi yang dapat bereaksi
dengan HCl, memindahkan air formasi yang mengandung ion-ion (Na2+, Ca2+ dan
lain-lain) yang cenderung mengendap dengan HF, mendinginkan formasi
sehingga memperdalam penetrasi asam.
3.3.1.2. Spotting
Spotting merupakan proses utama pemompaan asam untuk memperbaiki
permeabilitas batuan. Pemompaan dengan laju yang rendah dilakukan untuk
memperbaiki kerusakan di sekitar lubang sumur, sedangkan laju yang tinggi
dilakukan untuk jangkauan yang lebih jauh ke dalam formasi.
3.3.1.3. After flush (Postflush)
After flush merupakan proses pendorongan asam yang masih ada dalam
tubing agar seluruh asam masuk ke dalam formasi dan mengurangi waktu kontak
asam dengan tubing, disamping itu juga untuk memindahkan asam yang telah
terpakai jauh dari lubang sumur sehingga presipitasi yang dapat terbentuk tidak
akan banyak merusak. Cairan yang digunakan seperti minyak diesel, nitrogen,
ammonium klorida (NH4Cl), dan HCl.

3.3.2. Teori Perbaikan Produktivitas Melalui Pengasaman


Stimulasi pengasaman matriks terutama akan efektif dilakukan pada
sumur-sumur yang mengalami hambatan aliran yang disebabkan oleh adanya
kerusakan formasi. Untuk menggambarkan peningkatan produktivitas sumur yang
dapat dicapai dengan memindahkan kerusakan di dekat lubang sumur yang
dianggap sebagai sistem radial sederhana.
Sistem terdiri dari dua bagian yaitu zona yang mengalami kerusakan yang
terbentang antara radius rw dan rs dengan permeabiltas ks dan zona diluarnya tanpa
kerusakan yang terbentang antara re dan rs dengan permeabilitas (k). Muskat
menunjukkan perbandingan produktivitas fluida dari sistem yang mengalami
kerusakan terhadap sistem tanpa kerusakan dengan permeabilitas seragam, seperti
persamaan berikut :

................................................................... (3-40)

dimana :
Js = produktivitas sumur yang mengalami kerusakan, bpd/psi
Jo = produktivitas sumur tanpa mengalami kerusakan, bpd/psi
Fk = perbandingan permeabilitas, ks/ko
Rs = jari-jari daerah yang mengalami kerusakan, in
Rw = jari-jari sumur, in
Re = jari-jari pengurasan, in
Besarnya peningkatan produktivitas karena perbaikan sumur yang
mengalami kerusakan formasi dapat dilihat dari gambar tersebut. Sebagai contoh
bila zona yang rusak berkembang sampai 6 in ke dalam formasi dan perbandingan
permeabilitasnya 0,05; maka produktivitas sumurnya hanya 0,3 dari produksi
sumur yang tidak mengalami kerusakan. Stimulasi pengasaman matriks akan
menghilangkan kerusakan formasi tersebut dan akan memberikan peningkatan
laju produksi sebesar 3,3 kali.
3.3.3. Klasifikasi Pengasaman
Pengasaman merupakan salah satu metode stimulasi perangsangan sumur,
selain metode perekahan hidroulik (hydraulic fracturing). Berdasarkan
penggunaan asam, pengasaman dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam,
yaitu pencucian asam (acid washing), pengasaman matriks (matrix acidizing),
perkehan asam (fracturing acidizing).

3.3.3.1. Acid Washing


Acid washing merupakan treatment yang dilakukan untuk menghilangkan
material atau scale di interval produksi, saluran perforasi dan area disekitar lubang
sumur. Treatment dilakukan dengan menggunakan coiled tubing atau wash tool.
Dengan coiled tubing, tubing diturunkan hingga kebagian bawah interval dan
sambil menginjeksikan asam, tubing digerakkan kebagian atas interval. Proses ini
dapat dilakukan berulang-ulang sesuai kebutuhan. Dengan wash tool, alat
diturunkan tepat di depan perforasi dan asam diinjeksikan ke perforasi sambil
menggerakkan alat disepanjang interval. Proses ini juga dapat dilakukan secara
berulang sesuai kebutuhan.

3.3.3.2. Matrix Acidizing


Matrix acidizing dilakukan dengan cara menginjeksikan larutan asam dan
aditif tertentu secara langsung ke dalam pori-pori batuan formasi disekitar lubang
sumur dengan tekanan penginjeksian di bawah tekanan rekah formasi, dengan
tujuan agar reaksi menyebar ke formasi secara radial. Asam akan menaikkan
permeabilitas matriks baik dengan cara membesarkan lubang pori-pori ataupun
melarutkan partikel-pertikel yang membuntu saluran pori-pori tersebut.
Matrix acidizing digunakan baik untuk batuan karbonat
(limestone/dolomite) maupun sandstone. Walaupun jenis asamnya berlainan, asam
akan mencapai kemampuan efektif secara radial pada jarak 1 – 2 ft dari lubang
sumur. Bila sumur tidak mengalami kerusakan (damage), matrix acidizing tidak
akan banyak membantu pada peningkatan produksi. Untuk mendapatkan hasil
yang besar pada peningkatan produksi, maka jumlah asam yang digunakan tidak
akan ekonomis.
Adapun anggapan-anggapan yang digunakan dalam acidizing ini adalah :
1. Formasinya homogen
2. Ukuran pori-porinya seragam
3. Kecepatan reaksi menurun secara uniform dengan berkurangnya kosentrasi
asam
4. Beratnya limestone yang terlarut pada tiap pertambahan jarak menurun secara
uniform sampai seluruhnya terpakai

Berdasarkan anggapan-anggapan di atas, maka jarak radius larutan asam


akan menembus formasi sebelum larutan asam digunakan semuanya,
persamaannya dapat ditulis sebagai berikut :
qi . t = π.ϕ.h (ra2 + rw2) ...................................................................... (3-41)

Jika qi dinyatakan dalam bbl/menit dan t dalam detik, maka persamaannya


menjadi :

ra = .................................................................... (3-42)

dimana :
ra = jarak radial penetrasi asam, ft
ϕ = porositas
qi = rate injeksi asam , bbl/menit
t = spending time, detik
rw = jari-jari sumur, ft
h = ketebalan formasi, ft
Dari persamaan (3-55), faktor yang tidak diketahui adalah suspending
time dan t yang harus ditentukan di laboratorium. Spending time ini tergantung
pada perbandingan luas batuan dengan volume larutan asamnya yang disebut
spesific surface area, dimana untuk matrix acidizing, specific surface area dapat
ditulis :

k= ......................................................................................... (3-43)

Sq = 104 ................................................................................. (3-44)

dimana :
k = permeabilitas, darcy
Sq = specific surface area, cm2/cm3
F = ϕ – m = Faktor resistivity formasi, dimensionless
(dimana m adalah faktor sementasi)

Faktor m bervariasi dari 1,3 untuk consolidated sand dan colitic limestone,
sampai 2,2 untuk limestone. Untuk mendapatkan hasil penetrasi yang lebih baik
dilakukan dengan mengurangi kecepatan reaksi dan menaikkan rate injeksi dari
larutan asam ke dalam formasi. Spending time dari asam tergantung pula pada
tekanan dan temperatur, kecepatan asam dalam batuan, kosentrasi retarding
additive-nya. Karena banyak faktor yang mempengaruhinya maka pengukuran
spending time hanya mungkin dilakukan di laboratorium.

Gambar 3.8.
Mekanisme Proses Reaksi Pengasaman (Doherty, Henry L., 1979)
3.3.3.2.1. Matrix Acidizing pada Batuan Sandstone
Proses pengasaman pada formasi batu pasir (sandstone) pada keadaan
normal digunakan tiga macam fluida yaitu :
1. Preflush (periode sebelum aliran)
Adalah fluida dengan konsentrasi asam hydrochloric (HCl) berkisar antara
5% sampai dengan 15% larutan. Pada kondisi ini asam akan bereaksi dengan
mineral-mineral formasi yaitu potassium fluosilicates, calcite (calcium
carbonate), dan material calcareous lainnya. Pengasaman ini memerlukan
biaya yang mahal dengan jenis asam hydrochloric dan mencegah formasi
calcium flouride dari campuran HF-HC1.
2. Campuran HF-HC1
Komposisi campuran ini adalah 3% HF dan 12% HC1 dari fluida injeksi.
HF akan bereaksi dengan clay, pasir, lumpur pemboran, atau filtrat semen yang
masuk kedalam pori-pori batuan disekitar lubang bor. Sementara itu HC1 tidak
akan bereaksi tetapi akkan bersifat menurunkan pH larutan.

3. Afterflush (periode sesudah aliran)


Untuk menghindari reaksi antara HF dengan cairan di tubing maka perlu
dijaga sifat kebasahan batuan.

3.3.3.2.2. Matrix Acidizing Pada Batuan Karbonat


Pada bagian depan telah disinggung mengenai matrix acidizing pada batu
pasir. Mekanisme pengasaman antara batu pasir dengan batu karbonat adalah
berbeda. Secara prinsip perbedaannya adalah laju reaksi asam pada batuan
karbonat lebih cepat dibandingkan dengan laju reaksi asam dengan mineral batu
pasir. Saluran asam dalam batuan karbonat disebut wormholing.
Aliran dan reaksi media berpori dalam reaksinya dijumpai batasan-batasan
tertentu yang dibagi menjadi dua mekanisme, yaitu :

1. Batas pertama
Reaksi antara fluida dan padatan reaksinya akan berjalan relatif cepat
bergerak melalui media berpori. Sedangkan karakteristik matrix acidizing sama
dengan matrix acidizing pada batuan karbonat yaitu berupa campuran
hydrofluoric dan hydrochloric acid.

2. Batas kedua
Merupakan kasus mengerasnya saluran yang terbentuk. Keadaan ini terjadi
karena adanya pengendapan batuan serta terjadinya porositas absolut (pori-pori
saling berhubungan).

Gambar 3.9.
Contoh Kasus Terbentunya Wormhole pada Batuan Karbonat
(William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Kecepatan reaksi asam dengan batuan karbonat tergantung dari besar


kecilnya pori-pori batuan. Semakin besar pori batuan semakin cepat pula reaksi
yang teriadi, dan begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa kasus dilapangan
radius effektif wormhole paling sedikit adalah beberapa millimeter dan dapat
juga mencapai puluhan meter, tergantung dari laju injeksi asam. Batas jarak
terbentuknya wormhole dilambangkan dengan adanya fluid loss seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.9.

3.3.3.3. Fracturing Acidizing


Digunakan hanya untuk batuan karbonat (limestone/dolomite).
Penginjeksian asam dialirkan melalui rekahan atau fracture. Pada fracturing
acidizing ini dua permukaan yang terbelah kiri dan kanan akan dilarutkan,
sehingga waktu rekahan menutup bagian-bagian yang terlarut tak dapat menutup
rapat kembali. Dalam hal ini pola aliran disumur produksi akan menjadi lebih
linier dan kurang radial disekitar sumurnya. Dalam fraturing acidizing diperlukan
jumlah acid yang relatif lebih banyak dibanding matrix acidizing, tetapi hasilnya
pun akan cukup memadai. Prinsip fracturing acidizing sama dengan hydraulic
fracturing walaupun pada fracturing acidizing jarang sekali digunakan proppant
(pasir pengganjal).

Gambar 3.10.
Pola Aliran Saat Rekahan (Doherty, Henry L., 1979)

Adapun anggapan-anggapan yang digunakan adalah :


1. Rekahan horizontal dan melebar secara radial dari lubang sumur
2. Kebocoran asam ke dalam formasi dianggap tidak ada
3. Kecepatan reaksi asam sebanding dengan kosentrasinya dan banyaknya
batuan yang terlarut dari permukaan rekahan berkurang dengan bertambahnya
penetrasi asam.

Pada suatu laju injeksi qi, jarak radial dari asam yang akan menembus ke
dalam rekahan selama waktu t adalah :

Volume rekahan = volume asam yang akan diinjeksikan


qi . t = n π w (ra2 + rw2) ....................................................................... (3-45)
Sedangkan ra dapat dicari dengan persamaan :

ra = ............................................................................. (3-46)

Jika qi dinyatakan dalam bbl/menit, t dalam detik, dan w dalam inchi, maka :

ra = ............................................................... (3-47)

atau

ra = ..................................................................... (3-48)

dimana :
qi = laju injeksi, bbl/menit
t = spending time, detik
w = lebar rekahan, inch
n = jumlah rekahan
ra = jarak penetrasi asam, ft

Untuk mendapatkan harga specific area dari acidizing ini dianggap


rekahan dengan lebar w, ft dan luas 1 ft2. Jadi luas yang dialiri asam adalah 2 ft 2,
sedang volume asamnya adalah w, ft3, sehingga specific surface area-nya :

Sa = , ft2/ft3 .................................................................................... (3-49)

Untuk rekahan alam (natural fracture) dapat dianggap lebarnya berkisar


0,1 mm atau lebih kecil. Acidizing dengan tekanan tinggi, larutan asam
diinjeksikan ke dalam rekahan atau zona lemah pada tekanan injeksi yang lebih
besar dari tekanan rekah batuan dengan maksud membuat hubungan saluran-
saluran dengan permeabilitas tinggi kedalam sumur.
Pada acidizing ini asumsi-asumsi yang dipakai adalah :
1. Rekahan yang dibentuk adalah vertikal dan horisontal.
2. Sebagian besar larutan asam masuk ke dalam rekahan, tetapi yang masuk ke
dalam matrik batuan dan lubang bor diabaikan.
3. Luas dan volume rekahan tergantung pada volume asam, laju injeksi, lebar
retakan selama treatment dan karakteristik fisik batuan reservoir.
4. Larutan asam tidak mengandung propping agent.

Sesuai dengan acidizing yang ada, maka langkah perencanaan matrix


acidizing adalah sebagai berikut :
1. Menentukan gradien rekah
Gradien rekah dapat dihitung berdasarkan dari data penutupan sumur
sesaat (Instantaneous Shut In Pressure, ISIP), yaitu dengan persamaan :
Gradien rekah = Gradien fluida + .................................... (3-50)

2. Menentukan tekanan dasar sumur


Pbh = FG x kedalaman ...................................................................... (3-51)

dimana :
Pbh = tekanan dasar sumur
FG = fracture gradient (gradien rekah)

3. Menentukan tekanan permukaan maksimum untuk mengijinkan dibawah


tekanan rekahnya, yaitu :
Pmax = (gradien rekah – gradien fluida) x kedalaman ..................... (3-52)

4. Memperkirakan laju injeksi fluida dengan menggunakan persamaan aliran


radial sebagai berikut :

qmax = ...................................................... (3-53)

5. Memilih volume antara 50 gal sampai 200 gal HCl 15% per ft formasi
permeabel.
6. Menyempurnakan treatment dengan menginjeksikan jenis dan volume asam
yang telah ditentukan dengan laju injeksi maksimum dan tekanan tidak
melebihi harga maksimumnya.

3.3.4. Jenis Asam yang Sering Digunakan


Beberapa kategori larutan asam yang ada menurut Schechter dapat dilihat pada
Tabel III-1.

Tabel III-1
Kategori Larutan Asam Beserta Contohnya
(William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Kategori Contoh Asam


Mineral Acid Hydrochloric Acid (HCl)
Hydrofluoric Acid (HF)

Organic Acid Formic Acid (COOH)


Acetic Acid (CH3COOH)

Powdered Acid Sulfamic Acid (NH2SO3H)


Chloroacetic Acid (ClCH2CO2H)

Mixtured Acid Acetic-Hydrochloric Acid


Formic-Hydrochloric Acid

Retarded Acid Gelled Acid


Chemically Retarded Acid
Emulsified Acid

3.3.4.1. Mineral Acid


Mineral Acid terbagi menjadi dua jenis asam, yaitu asam hydrochloric
(HCl) dan asam hydrochloric-hydrofuoric (HF-HCl) atau biasa disebut dengan
mud acid.

a. Asam Hydrochloric (HCl)


Asam hydrochloric merupakan jenis asam yang pertama kali dan sering
digunakan dalam operasi pengasaman dilapangan. Asam ini merupakan larutan
larutan hydrogen chloride yang berupa gas di dalam air dengan berbagai
konsentrasi. Secara umum yang biasa digunakan dilapangan adalah konsentrasi
15% HCl yang dikenal dengan sebutan regular acid. Regular acid biasanya
digunakan untuk pengasaman pada formasi batu gamping dan dolomite.
Sedangkan untuk pengasaman batupasir dapat digunakan 5-7% HCl. Jadi
konsentrasi asam ini bervariasi antara 5-35% tergantung dari kondisi formasi yang
ditangani.
Tabel III-2
Reaksi antara HCl dengan Beberapa Mineral
(William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Mineral Reaksi
Calcite/limestone 2HCl + CaCO3 → CaCl2 + CO2 + H2O
Dolomite 4HCl + CaMg(CO3)2 → CaCl2 + MgCl2 + CO2 + H2O
Sand/silica/quarts HCl + SiO2 → tidak bereaksi
Siderite 2HCl + FeCO3 → FeCl2 + CO2 + H2O
Ferrous sulfide 2HCl + FeS → FeCl2 + H2S
Ferric oxide 6HCl + Fe2O3 → 2FeCl3 + 3H2O

Keuntungan penggunaan asam HCl antara lain memiliki daya reaksi yang
cukup tinggi terhadap batu gamping dan dolomite, serta harganya relatif lebih
murah dibandingkan dengan asam jenis lainnya. Sedangkan kerugiannya, asam
memiliki sifat korosifitas paling tinggi, terutama pada temperatur tinggi diatas 250
F. Oleh karena itu agar temperatur tidak melebihi tingkat korosifitasnya, maka
pada penggunaan asam HCl biasanya ditambahkan aditif yaitu corrosion inhibitor
sebagai pencegah korosi. Selain itu asam HCl juga harus ditangani secara hati-hati
karena uapnya dapat membahayakan kulit dan mata serta pada konsentrasi yang
tinggi larutan ini dapat terbakar. Reaksi yang terjadi antara asam HCl dengan
beberapa mineral batuan dapat dilihat pada Tabel III-2.

b. Asam Hydrochloric-Hydrofluoric (HCl-HF)


Asam HCl-HF termasuk jenis asam mineral yang memiliki daya reaksi
yang kuat dengan bau yang sangat keras dan bersifat korosif. Asam HF tersedia
sebagai larutan dengan konsentrasi bervariasi antara 40-70%. Dalam
penggunaannya pada operasi pengasaman asam ini dikombinasikan dengan asam
HCl.
Tabel III-3
Reaksi Antara HF dengan Beberapa Mineral Batuan
(William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Mineral Reaksi
Calcite/limestone 2HF + CaCO3 → CaF2 + CO2 + H2O

Dolomite 4HF + CaMg(CO3)2 → CaF2 + MgF + 2CO2 + 2H2O

Sand/silica/quartz 6HF + SiO2 → H2SiF6 + 2H2O


4HF + SiO2 → SiF4 + 2H2O
2HF + SiF4 → H2SiF6

Silicat/feldspar 8HF + Na4SiO4 → SiF4 + 4NaF + 4H2O


2HF + SiF4 → H2SiF6

Albite (sodium 14HF + NaAlSi3O8 + 2H+ → Na+ + AlF2


+ + 3SiF4 + 8H2O
feldspar)
Orthoclase 14HF + KalSi3O8 + 2H+ → K+ + AlF2
+ + 3SiF4 + 8H2O
(potassium feldspar)
Kaolinite 24HF + Al4Si4O10(OH)8 + 4H+ → 4AlF2
+ + 4SiF4 + 18H2O
18HF + Al2SiO2O5(OH)4 → 2H2SiF6 + 2AlF3 + 9H2O

Monmorilonite 40HF + Al4Si8O20(OH)4 + H+ → 4AlF2


+ + 8SiF4 + 24H2O

Bentonite 36HF + Al2(Si4O10)(OH)2 → H2SiF6 + 2H3AlF + 12H2O

Campuran kedua jenis asam ini bisa didapatkan dengan melarutkan


campuran dari asam-asam berkonsentrasi tinggi dengan air atau menambahkan
garam-garam fluoride ke dalam larutan asam HCl. Garam akan menjadi asam HF
Jika dilarutkan kedalam asam HCl. Asam HF dapat bereaksi dengan silika dan
senyawa-senyawa silika seperti gelas, bangunan beton, karet alam, kulit dan
logam-logam tertentu seperti baja serta material organik. Asam ini beracun, baik
dalam keadaan sendiri maupun bercampur dengan asam HCl sehingga diperlukan
penanganan yang hati-hati. Tabel III-3 menyajikan reaksi asam HF dengan
beberapa mineral batuan.

3.3.4.2. Organic Acid


Organic acid terdiri dari asam acetic (CH3COOH) dan asam formic
(HCOOH).
a. Asam Acetic (CH3COOH)
Asam acetic adalah asam organik pertama yang digunakan pada operasi
stimulasi pengasaman. Laju reaksi asam acetic lebih lambat dibandingkan dengan
asam HCl karena derajat ionisasinya yang kecil. Asam acetic relatif lebih mahal
dibandingkan dengan asam HCl. Tingkat korosifitas asam ini sangat rendah
sehingga dapat digunakan dalam waktu relatif lebih lama didalam sumur karena
pengaruhnya terhadap peralatan logam didalam sumur relatif kecil. Asam ini
sering juga digunakan sebagai fluida perforasi pada formasi batu gamping
(limestone).
Reaksi kimia yang terjadi antara asam acetic dengan batu gamping yaitu :
2CH3COOH + CaCO3 → Ca(CH2COO)2 + CO2 + H2O

Asam acetic mempunyai karakteristik sebagai berikut :


Tidak berwarna dan mudah larut dalam air
Waktu reaksi lebih lambat sehingga jumlah batuan per volume yang dapat
bereaksi lebih banyak
Tidak bersifat korosif dan kosentrasi yang umum digunakan berkisar
antara 10-15%
Membeku atau mengkristal pada temperatur 41,2 F (16,6 C)

Beberapa keuntungan yang didapatkan dari penggunaan asam acetic yaitu :


Tidak menimbulkan pengendapan dengan ion besi
Tidak menyebabkan embrittlement atau stress cracking pada baja yang
mempunyai strength yang tinggi
Tidak merusak peralatan aluminium
Tidak merusak lapisan chrome pada temperatur di atas 200 F

b. Asam Formic (COOH)


Meskipun asam formic bereaksi lebih cepat dari asam acetic, tetapi masih
lebih lambat dibandingkan dengan asam HCl. Asam formic merupakan asam
organik yang paling sederhana, dimana asam ini dapat bercampur dengan air
secara sempurna dan harganya relatif lebih murah.
Asam ini efektif digunakan pada temperatur tinggi, dengan tingkat
korosifitas yang lebih besar dari pada asam acetic. Walau demikian asam ini dapat
juga digunakan sebagai fluida komplesi yang memerlukan waktu kontak yang
relatif panjang antara asam dengan pipa. Pada stimulasi pengasaman matriks
konsentrasi asam formic yang digunakan berkisar antara 8-10%. Reaksi kimia
yang terjadi antara asam formic dengan batu gamping yaitu :
2HCOOH + CaCO3 •¨ Ca(COOH)2 + CO2 + H2O

3.3.4.3. Powdered Acid


Powered acid terdiri dari asam sulfamic (NH2SO3H) dan asam
Chloroacetic (ClCH2CO2H). Kedua jenis asam ini tidak mudah menguap,
berbentuk kristal berwarna putih yang mudah larut dalam air. Reaksi kimia antara
asam sulfamic dengan batu gamping yaitu :
2HSO3NH2 + CaCO3 → Ca(SO3NH2)2 + CO2 + H2O

Keuntungan yang didapat dari penggunaan asam ini yaitu :


Mudah dibawa ke lokasi karena bentuk fisiknya berupa bubuk
Kecepatan reaksinya sama cepatnya dengan HCl
Tingkat korosifitasnya lebih rendah dibandingkan asam HCl
Sedangkan kerugiannya atara lain :
Tidak dapat untuk melarutkan oksida besi
Tidak efektif digunakan pada temperatur diatas 180 F karena akan
terhidrolisasi menghasilkan asam sulfat. Asam sulfat yang bereaksi dengan
batuan karbonat akan menghasilkan endapan CaSO4 yang sukar larut.
Harganya relatif mahal sehingga jarang digunakan.

3.3.4.4. Acid Mixture


Kategori ini terdiri dari asam acetic-hydrochloric, asam formic-
hydrochloric dan asam formic-hydrofluoric. Asam acetic-hydrofluoric dan asam
formic-hydrochloric dapat digunakan pada formasi karbonat, dengan tingkat
korosifitas yang rendah dibandingkan asam organik meskipun digunakan pada
temperatur tinggi. Sedangkan asam formic-hydrofluoric digunakan untuk
pengasaman pada formasi batupasir dengan temperatur tinggi dengan tingkat
korosifitas yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan asam HCl-HF.

3.3.4.5. Retarded Acid


a. Gelled Acid
Jenis asam ini biasanya digunakan untuk memperlambat kecepatan reaksi
asam terutama pada pengasaman rekah/perekahan asam. Retarded disebabkan
oleh naiknya viskositas fluida perekah. Penggunaan gelling agent seperti water
soluble polymer terbatas pada temperatur rendah dibawah 130 F.
b. Emulsified Acid
Merupakan suatu campuran antara HCl dengan 10-30% hidrokarbon yang
diemulsikan. Naiknya viskositas yang disebabkan oleh emulsifikasi dan
penambahan minyak dalam asam dapat memperlambat kecepatan reaksi antara
asam dengan batuan formasi. Jenis asam ini dapat juga digunakan pada
pengasaman rekah.

3.3.4.6. Aditif Fluida Asam


Beberapa bahan kimia yang biasanya ditambahkan ke dalam campuran
preflush, spotting atau afterflush mempunyai fungsi antara lain mencegah
terjadinya emulsi, korosi, scale dan sebagainya. Aditif tersebut anatara lain :

1. Surfactant
Surfactant merupakan zat kimia yang dapat memperkecil tegangan
permukaan dari suatu cairan dengan mengabsorbsi pada permukaan antara cairan
dan gas. Penambahan surfactant harus sesuai dengan aditif yang lain agar tidak
menimbulkan masalah lain yang merugikan. Beberapa jenis surfactant, surfactant
yang biasa digunakan berdasarkan fungsinya antara lain :
a. Anti Sludge Agent
Jika asam diinjeksikan ke dalam formasi dan kontak dengan crude oil akan
menyebabkan terbentuknya sludge (partikel-partikel seperti lumpur) di bidang
antar permukaan minyak dengan asam. Hal ini umumnya terjadi pada crude oil
yang mempunyai prosentase aspalt yang tinggi. Padatan sludge hanya sedikit
larut dalam minyak, karena itu jika sudah terbentuk akan sulit untuk
dihilangkan. Dengan demikian material tersebut dapat terakumulasi di dalam
formasi dan dapat menurunkan harga permeabilitas batuan di sekitar sumur.
Anti sludge agent dapat mencegah terbentuknya endapan sludge yang
terjadi selama treatment pengasaman dengan cara menjaga bahan-bahan
coloidal terdispersi. Terbentuknya sludge oil di dalam formasi akan meningkat
dengan naiknya konsentrasi asam.
b. Suspending Agent
Kebanyakan formasi karbonat mengandung bahan-bahan yang tidak larut
dan jika dibiarkan mengendap akan terjadi penyumbatan dalam pori-pori atau
rekahan batuan. Suspending agent digunakan untuk mencegah terbentuknya
endapan butiran yang tidak larut dalam asam dengan cara mensuspensikannya
dalam larutan asam, sehingga dapat terangkut ke permukaan bersama larutan
asam sisa.
c. Non Emulsifying Agent
Reaksi antara asam dengan fluida formasi dapat menyebabkan
terbentuknya emulsi karena fluida formasi mungkin mengandung zat-zat kimia
yang terbentuk sebagai zat yang menstabilkan emulsi. Kecenderungan
terbentuknya emulsi akan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi asam.
Non-emulsifying agent digunakan untuk mencegah terbentuknya emulsi,
karena dapat larut atau terdispersi dalam larutan asam ataupun dapat bercampur
dengan bahan-bahan lainnya. Non-emulsifying agent menghasilkan tegangan
permukaan dan tegangan antar muka yang rendah sehingga mencegah natural
emulsifier di dalam crude oil membentuk emulsi.
d. Retarder Agent
Aditif retarder agent digunakan untuk mengontrol laju reaksi asam
sehingga spending timenya menjadi lebih lama. Additif ini diperlukan terutama
jika volume asam yang digunakan besar dan sumur relatif dalam.
2. Mutual Solvent
Umumnya mutual solvent digunakan pada saat after flush (overlfush) di
belakang campuran HF-HCl. Fungsinya adalah untuk membersihkan formasi dari
sisa-sisa pengasaman.

Tabel III-4
Aplikasi Mutual Solvent (William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Solubilitas Larut dalam air dan minyak (diesel, crude oil, xylene,
toluene, kerosene, dll.

Kegunaan Menjadikan formasi basah air. Butiran basah air untuk


mencegah stabilitas emulsi, menurunkan tegangan
permukaan dan meningkatkan pembersihan.

Penggunaan Dalam overflush diesel untuk pengasaman sumur minyak.


Dalam overflush ammonium chloride brine untuk sumur
minyak atau gas.
Dalam preflush HCl atau treatment mud acid.
Bersama demulsifier untuk membentu memecahkan emulsi.

Konsentrasi 2 – 10 % volume.
Kerugian Masalah jika digunakan konsentrasi yang lebih tinggi.

Dalam operasi pengasaman yang banyak digunakan yaitu ethylene glycol


monobuthyl ether (EGMBE). EGMBE berguna untuk mengurangi tegangan antar
permukaan minyak-air, sebagai solvent untuk melarutkan minyak dalam air,
sebagai pencuci untuk merubah bahan-bahan basah minyak menjadi basah air,
serta meningkatkan aksi surfactant dan demuslifyer saat kontak dengan material-
material formasi. Secara empiris EGMBE diketahui sangat bermanfaat untuk
mengurangi emulsi dan mempercepat clean-up pada pengasaman batupasir.
Aplikasi mutual solvent dapat dilihat pada Tabel III-4.

3. Suspending Agent
Kebanyakan formasi karbonat mengandung bahan-bahan yang tidak larut
dan jika dibiarkan mengendap akan terjadi penyumbatan dalam pori-pori atau
rekahan batuan. Suspending agent dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
endapan-endapan dari butiran-butiran yang tidak larut dalam asam dengan cara
mensuspensikan dalam larutan asam, sehingga dapat terangkut ke permukaan
bersama larutan asam sisa.

4. Corrosion Inhibitor
Corrosion inhibitor merupakan aditif yang selalu digunakan dalam setiap
operasi pengasaman, dengan mengingat kondisi asam yang korosif terhadap
peralatan logam. Dengan adanya corrosion inhibitor, walaupun tidak bisa 100%
menghilangkan korosi, tetapi dapat mengurangi laju korosi hingga batas yang
dapat ditolerir. Corrosion inhibitor mengurangi laju korosi dengan cara
membentuk lapisan film tipis di permukaan peralatan logam tubing atau casing.
Dengan adanya lapisan ini, dapat dicegah reaksi penembusan asam terhadap
logam sehingga laju korosi terhambat. Corrosion inhibitor merupakan gabungan
dari beberapa campuran seperti quaternaryamine, acetylenic alcohol, methanol
dan surfactant.
Sebagian besar corrosion inhibitor bersifat sebagai cationic yang dapat
menjadikan batupasir basah minyak dan karbonat menjadi basah air. Kesesuaian
antara corrosion inhibitor dengan aditif lain perlu diperhatikan. Ketidaksesuaian
dapat menimbulkan masalah merugikan yang tidak diinginkan seperti misalnya
terjadi reaksi yang menghasilkan pengendapan.
Fluida corrosion inhibitor biasanya cenderung terpisah dari fluida asam.
Pemisahan akan dapat dilihat pada permukaan fluida asam yang telah didiamkan
sekitar 15 menit berupa lapisan film berminyak dan berwarna gelap. Karena itu
pencampurannya harus selalu dilakukan pengadukan agar tidak terpisah dari
asam.

5. Diverting Agent
Dalam setiap treatment pengasaman, penting untuk menangani seluruh
zona produktif. Biasanya permeabilitas tidak seragam di setiap interval produksi
sehingga penyebaran asam di tiap interval berbeda, lebih banyak masuk ke
permeabilitas tinggi. Karena itulah perlu penggunaan diverting agent untuk
memblok sementara saluran perforasi pada zona permeabilitas tinggi. Dengan ini
asam dapat diarahkan masuk ke zona permeabilitas rendah. Penggunaan diverting
agent terutama diperlukan untuk interval panjang melebihi 20 ft. Material diversi
yang digunakan antara lain particulate, gel, foam atau ball sealer. Material
particulate yang digunakan seperti rock salt, benzoic acid flake, wax bead dan oil
soluble resin. Particulate menghasilkan diversi dengan menyumbat perforasi atau
membentuk cake di dinding saluran perforasi. Ini akan menyebabkan pressure
drop di depan perforasi dan menekan fluida ke perforasi yang lain.
Diverter particulate dapat digunakan baik untuk sumur produksi minyak
maupun sumur injeksi air. Jenis oil soluble resin (OSR) karena partikelnya
berukuran relatif kecil dapat digunakan untuk sumur dengan gravel pack.
Partikelnya mampu melewati screen dan gravel dari gravel pack, tetapi tidak
mengalir ke dalam formasi. OSR terbatas penggunaannya untuk sumur minyak,
karena material ini hanya dapat larut dalam minyak dan ini sangat diperlukan pada
saat menghilangkan material ini pada saat pembersihan sumur.
Wax bead dapat larut dalam minyak dan digunakan pada perforasi sumur
minyak, tetapi tidak boleh digunakan pada sumur gravel pack. Titik leleh material
ini rendah 90 – 160 F, sehingga tidak bisa digunakan pada sumur bertemperatur
yang melebihi titik lelehnya. Material ini dalam penggunaannya dipompakan
bersama fluida pembawa water base berbentuk gel. Penggunaan material ini
sangat jarang mengingat harganya yang relatif mahal. Ball sealer merupakan jenis
yang paling banyak digunakan sebagai diverting agent. Ball sealer akan memblok
aliran fluida ke interval pemeabilitas tinggi sehingga fluida asam masuk ke zona
permeabilitas rendah. Ball sealer dapat digunakan baik dalam acid fracturing
dengan laju penginjeksian tinggi dan tekanan lebih besar daripada tekanan rekah
formasi. Dan dapat pula digunakan pada operasi pengasaman matriks dengan laju
injeksi rendah, tergantung pada specific gravitynya.
Seperti disebutkan sebelumnya, ball sealer digunakan pada cased hole
completion untuk memblok sementara lubang perforasi permeabilitas tinggi. Bola-
bola ditempatkan di perforasi karena pengaruh differential pressure antara bola
dengan perforasi. Dan jika treatment telah selesai dilakukan, bola-bola akan lepas
dengan sendirinya dan setelah dilakukan pembersihan sumur siap diproduksikan.

6. Alcohol
Alcohol digunakan untuk membantu meningkatkan effisiensi pembersihan
sumur pada operasi pengasaman untuk sumur gas. Alcohol dan campuran alcohol
- asam mempunyai tegangan permukaan yang lebih rendah daripada campuran
asam. Hal ini memudahkan sumur dengan tekanan dasar sumur yang rendah untuk
mendorong keluar fluida treatment dari lubang sumur.
Untuk sumur dengan formasi yang sensitif terhadap air, alcohol dapat
digunakan untuk menggantikan sebagian air pada campuran asam, sehingga
penggunaan air dapat dikurangi. Alcohol yang biasa digunakan konsentrasinya
berkisar antara 5 – 50% volume. Penggunannya biasanya dipertimbangkan atas
dasar biaya sehingga hanya digunakan bila memang benar-benar diperlukan.
Alcohol yang paling banyak digunakan adalah methanol. Pada temperatur dingin
methanol dapat ditambahkan dalam asam utnuk menurunkan titik beku asam.

7. Aromatic Solvent
Formasi dengan minyak berat, sludge (gumpalan atau endapan), asphalt
dan scale berlapis, minyak perlu digunakan aromatic solvent untuk melarutkannya
agar kerja asam lebih baik lagi. Solvent digunakan sebagai preflush atau
pendispersi dalam fluida asam treatment untuk melarutkan hidrokarbon sehingga
asam dapat bereaksi dengan material formasi atau materail asing penyumbat pori.
Aromatic solvent yang umum digunakan yaitu xylene dan toluene. Jenis
lain seperti A-Sol, N.L.Chekersol, Paravan G-15 dan Torgan. Kesemua jenis
solvent ini memberikan fungsi yang sama untuk menghilangkan lapisan
hidrokarbon. Tabel III-5 menyajikan aplikasi penggunaan aromatic solvent.
Tabel III-5
Aplikasi Aromatic Solvent (B. Tjondro, Kamiso, Dave Rich and Suryaman, 1997)

Produk Aplikasi
Xylene Melarutkan berbagai endapan hidrokarbon seperti
Toluene sludge, asphalt, lapisan minyak.
Membersihkan perforasi dan permukaan formasi yang
berlapis minyak agar asam dapat bereaksi dengan
kerusakan formasi.

A-Sol Solvent Campuran berbagai alcohol dan meningkatkan


stimulasi asam dengan menghilangkan lapisan
hidrokarbon, menurunkan tegangan permukaan dan
menjadikan formasi water-wet. Tergantung pada
jenisnya, lebih dari 80% volume dapat digunakan
dalam HCl. Dapat juga digunakan sebagai preflush
sendiri.
N.L. Terdispersi dalam asam, digunakan dalam operasi one step
Checkersol untuk menghilangkan lapisan hidrokarbon dan
scale terlarut dan material yang larut dalam asam
lainnya. Digunakan pada maksimum 5% volume
Paravon G-5 Dapat digunakan dalam asam , maksimum 5% volume.
Atau sebagai additif untuk memperkuat daya larut xylene
dan toluene.
Targon Digunakan dalam kombinasi dengan aromatic solvent
untuk menghilangkan asphalt dan endapan minyak
lainnya. Diinjeksikan sebagai preflush, kosentrasi 5%
volume.

8. Clay Stabilizer
Clay stabilizer dikembangkan untuk meminimalkan kerusakan formasi
akibat pengembangan lempung (clay swelling) atau migrasi clay. Clay stabilizer
yang digunakan dalam pengasaman dimasukan dalam kategori polyquartenery
amines, polyamines, cationic organic polymer dan cationic surfactant. Material-
material ini dapat juga digunakan dalam fluida fracturing, tetapi hanya baik untuk
masalah clay swelling. Zirconium oxychloride salt dan hydroxy aluminum
merupakan clay stabilizer yang banyak digunakan untuk mengatasi masalah
migrasi clay. Clay stabilizer tidak perlu digunakan kecuali memang diperlukan
yang didasarkan pada hasil pengujian di laboratorium atau berdasarkan
pengalaman sebelumnya yang menunjukkan perlunya penggunaan material ini.
Stabilizer dapat digunakan sebagai overflush dengan konsentrasi 0,1 – 2,0
% volume. Walaupun clay stabilizer tidak menunjukkan potensi untuk
menyebabkan terjadinya kerusakan pada formasi, sebaiknya jangan digunakan
dengan konsentrasi yang terlalu tinggi.

3.3.4.7. Stoikiometri Reaksi Asam dengan Mineral Batuan


3.3.4.7.1. Stoikiometri Reaksi Asam dengan Mineral Korbonat
Stoikiometri menunjukkan proporsi berbagai reaktan yang ada dalam suatu
reaksi. Walaupun proporsi ini mudah untuk dikenali antara limestone atau
dolomite dengan HCl, namun secara alami reaksinya sangat kompleks karena
pengaruh kandungan mineral-mineral lain yang juga bereaksi dengan HCl.
Reaksi kimia antara asam dengan limestone :
2HCl + CaCO3 ↔ CaCl2 + H2O + CO2
Reaksi kimia antara asam dengan dolomite yaitu :
4HCl + CaMg(CO3)2 ↔ CaCl2 + MgCl2 + 2H2O + 2CO2

Persamaan diatas menggambaran stoikiometri dari reaksi antara HCl


dengan limestone dan dolomite. Sebagai contoh kita lihat pada reaksi pertama
dimana 2 mole HCl bereaksi dengan 1 mole limestone (CaCO3) untuk membuat 1
mole calcium chlorida (CaCL2), 1 mole air (H2O) dan 1 mole karbon dioksida
(CO2). Begitu juga untuk reaksi antara HCl dengan dolomite, yang
menggambarkan jumlah mol yang dibutuhkan dan yang dihasilkan dapat dilihat
pada angka kesetimbangan. Konsep kemampuan melarutkan adalah volume dari
batuan terlarut per-unit volume asam. Pertama mendefinisikan β, dimana beta
adalah massa dari batuan terlarut per unit massa dari asam yang direaksikan.
= ............. (3-54)

Tabel III- 6
Berat Molekul Komponen Kimia
(William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Compound Chemical Formula Molecular Weight


Hydrochloric Acid HCl 36.47
Acetic Acid CH3COOH 60.05
Formic Acid HCOOH 46.03
Calcium Carbonat (limestone) CaCO3 100.09
Calcium Magnesium (dolomite) CaMg(CO3)2 184.3
Calcium Chloride CaCl2 110.99
Magnesium Chloride MgCl2 95.3
Carbon Dioxide CO2 44.01
Water H2O 18.02

Tabel III-7
Dissolving Power Berbagai Asam
(William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Formation Acid Β100 X


5% 10% 15% 30%

Limestone : HCl 1.37 0.026 0.053 0.082 0.175


CaCO3 HCOOH 1.09 0.020 0.041 0.062 0.129
ρCaCO3 = 2.71 g/cm3 CH3COOH 0.83 0.016 0.031 0.047 0.096
Dolomite : HCl 1.27 0.023 0.046 0.071 0.152
CaMg(CO3)2 HCOOH 1.00 0.018 0.036 0.054 0.012
ρCaMg(CO3)2 = CH3COOH 0.77 0.014 0.027 0.041 0.083

Untuk reaksi dari 100% asam hydrochloric dengan limestone murni


menurut persamaan diatas diperoleh :

100 = = 1,372 ................................ (3-55)


Jika konsentrasi dari asam adalah 15% berat, terhadap 100% adalah :

15 = 100 x 0,15 = 0,206 ................................ (3-56)

Tabel III-8
Specific Gravity HCl (William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Percent HCl Specific Gravity Percent HCl Specific Gravity


1 1.0032 20 1.0980
2 1.0082 22 1.1083
4 1.0181 24 1.1187
6 1.0279 26 1.1290
8 1.0376 28 1.1392
10 1.0475 30 1.1493
12 1.0574 32 1.1593
14 1.0675 34 1.1691
16 1.0776 36 1.1789
18 1.0878 38 1.1885

Dissolving power merupakan volume dari batuan terlarut per volume asam
yang bereaksi dapat dihasilkan dari persamaan diatas dengan menggunakan
pendekatan perbandingan densitas. Sebagai catatan, porositas dari batuan tidak
diperhitungkan.
Perhitungannya adalah :

X15 = ............................................................................................... (3-57)

dimana :
Densitas larutan HCl 15% = 1,07 gm/cc
Densitas limestone = 2,71 gm/cc

Sehingga persamaan diatas menjadi :

X15 = = 0,082 ............................... (3-58)


3.3.4.7.2. Stoikiometri Reaksi Asam dengan Mineral Batupasir
Stimulasi pengasaman batupasir umumnya menggunakan campuran asam
HCl – HF. Asam HF bersifat reaktif terhadap mineral clay dan feldspar yang
menghalangi permeabilitas disekitar lubang sumur. Asam HCl sendiri kadang
dapat juga digunakan pada stimulasi batupasir bila terdapat kandungan kalsium
karbonat (CaCO3) yang tinggi pada batupasir tersebut.
Reaksi kimia antara HF dengan silica (SiO2) dan calcite (CaCO3),
termasuk sederhana. Reaksi HF dengan aluminosilicate, seperti clay atau feldspar
akan sangat kompleks, yang disebabkan dua hal. Pertama, clay dan feldspar tidak
diwakili oleh satu persamaan stoichiometri tunggal. Kedua karena distribusi ion-
ion atau mineral seperti AlF3, AlF+, SiF62+, SiF4 dan lain-lain tergantung pada
perbandingan padatan dengan asam. Jadi persamaan yang menunjukkan reaksi HF
dengan suatu mineral harus dipertimbangkan sebagai sebagai contoh saja, bukan
deskripsi yang tepat dari suatu stoichiometri.

Reaksi HF dengan Silika :


SiO2 + 4HF ↔ SiF4 + 2H2O
SiF4 + 2HF ↔ H2SiF6

Hasil reaksi SiF4 dan H2SiF6 mempunyai daya larut yang tinggi dalam air.

Keberadaan HF yang lebih besar daripada SiO2 menghasilkan H2SiF6 dan


sebaliknya jika jumlah SiO2 yang lebih dominan akan menghasilkan SiF4. Hal ini
menyebabkan harga dissolving power yang berubah-ubah tergantung pada hasil
apa yang dominan. Reaksi HF dengan silikat (feldspar atau Clay) :
Na4SiO4 + 8HF ↔ SiF4 + 4NaF + 4H2O
2NaF + SiF4 ↔ Na2SiF6
2HF + SiF4 ↔ H2SiF6

H2SiF6 (asam fluosilikat) ini akan membentuk larutan dan akan terurai
menjadi ion-ion 2H+ + SiF6 =, sesuai dengan reaksi berikut :
H2SiF6 ↔ 2H+ + SiF6 =
Apabila pada formasi batuan terdapat NaCl dan KCl, maka ion SiF6 akan
bereaksi dengan NaCl dan KCl membentuk endapan yang tidak dapat larut yaitu
NaSiF6 dan K2SiF6, sesuai reaksi berikut :
H2SiF6 + 2Na+ . Na2SiF4 + 2H+
H2SiF6 + 2K+ . K2SiF6 + 2H+

Pengendapan dapat dicegah dengan cara menggunakan preflush HCl,


sehingga dapat mencegah reaksi antara ion-ion K dan Na dengan asam fluosilikat.
Reaksi HF dengan clay tidak ditentukan seperti reaksi dengan silikat disebabkan
perbedaan dan kompleksnya struktur molekul clay. Walaupun demikian reaksi
yang terbentuk hampir sama dengan reaksi terhadap silikat yaitu menghasilkan
SiF4 dan H2SiF6. Apabila keduanya bereaksi dengan NaCl dan KCl akan
menghasilkan endapan, sesuai dengan reaksi berikut :
36HF + Al2SI4O10(OH)2 ↔ 2H3AlF6 + 12H2O

Hasil dari reaksi yang berupa H3AlF6 dan H2SiF6 akan terhidrolisasi
(karena adanya H2O). Tetapi dengan adanya NaCl dan KCl dalam batuan akan
bereaksi dengan asam-asam tersebut membentuk endapan yang tidak larut
(Na2SiF6, K2SiF6, Na3SiF6 dan K3AlF6) dengan reaksi sebagai berikut :
H2SiF6 + 2Na+ ↔ Na2SiF6 + 2H
H3AlF6 + 2K+ ↔ K3AlF6 + 3H

Endapan-endapan tersebut harus dihindarkan karena akan menimbulkan


problem penyumbatan baru, sehingga mengakibatkan berkurangnya produktifitas
formasi. Untuk itu dipakai preflush HCl sebelum memasukkan larutan HF ke
dalam formasi. Bila batupasir mengandung CaCO3 dalam jumlah sedikit maupun
banyak, akan bereaksi dengan HF menghasilkan endapan CaF2 dengan reaksi
sebagai berikut:
2HF + CaCO3 ↔ CaF2 + H2O + CO2

Endapan ini dapat menyumbat pori-pori batuan sehingga memperkecil


produktifitas formasi. Untuk menghindarkan endapan CaF2 ini digunakan preflush
HCl untuk menghilangkan unsur karbonat yang terdapat pada batu pasir.
Berdasarkan reaksi-reaksi asam dengan batupasir tersebut diatas, maka dissolving
power dari asam dapat dihitung seperti dilakukan pada batuan karbonat, hasilnya
adalah sebagai berikut :
Tabel III-9
Dissolving Power untuk HCL – HF (Schechter R. S., 1992)

Concentration Quartz (SiO2) Albite (NaAlSi3O8)


Β X β X
2 0.015 0.006 0.019 0.008
3 0.023 0.010 0.028 0.011
4 0.030 0.018 0.037 0.015
6 0.045 0.019 0.056 0.023
8 0.060 0.025 0.075 0.030

3.3.4.7.3. Kesetimbangan Reaksi Asam dengan Batuan


Jika reaksi asam telah mencapai kesetimbangan, proses pelarutan mineral
oleh asam akan berhenti meskipun masih terdapat molekul asam. Kesetimbangan
tercapai bila aktivitas kimia dari hasil reaksi mengimbangi aktivitas kimia reaktan
atau pereaksi.
Definisi umum dari kesetimbangan reaksi dapat diambil dari argumen
thermodinamika, yaitu kesetimbangan akan terjadi bila aktivitas reaksi seimbang
dengan aktivitas reaktannya. Jika terrdapat koefesien stoikiometri yang sama
maka terjadi kesetimbangan reaksi yang disebut dengan konstanta kesetimbangan
seperti pada contoh berikut :
A+B↔C+D

Maka konstanta kesetimbangan dari reaksi diatas adalah :

K= .......................................................................................... (3-59)

Dimana a adalah aktivitas koefesien komponen ke-i. Aktivitas ini adalah


potensial thermodinamika dan tidak mudah untuk diprediksikan, oleh karena itu
umumnya dibutuhkan data percobaan untuk keakuratan harga. Aktivitas dari zat
akan naik sejalan dengan konsentrasinya dalam larutan, tetapi hubungan aktivitas
dengan konsentrasi tidak linier. Hubungan ini sering diekspresikan dengan
definisi perbandingan aktivitas dengan konsentrasi yang disebutkan dengan
koefisien aktivitas. Tabel III-10 adalah contoh harga koefisien aktivitas dari
larutan HCl.
Tabel III-10
Koefisien Aktivitas HCl (William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Concentration Activity Coefficient


/(mol/liter)
0.1 0.80
0.5 0.76
1.0 0.81
2.0 1.04
4.0 1.96
6.0 4.19
8.0 9.60
12.0 32.16

Pemahaman mengenai kesetimbangan reaksi ini akan mengontrol


pengendapan hasil reaksi yang memberikan efek negatif pada stimulasi
pengasaman. Reaksi dalam larutan akan terdissosiasi atau terionisasi. Asam HCl
akan terdisosiasi menjadi ion hydrogen (H+) dan ion chloride (Cl).
Kesetimbangan dissosiasi asam HCl dinyatakan dengan :

KD = ................................................................................... (3-60)

dimana :
KD = konstanta disosiasi

Bila kondisi kesetimbangan asam terdisosiasi cukup tinggi, maka harga Kd


akan bertambah besar pula. Jika kesetimbangan asam terdissosiasi rendah, maka
harga Kd akan rendah pula. Konstanta kesetimbangan tergantung dari temperatur
dan dapat dihitung dengan persamaan berikut :
log10 KD = – A2 + A3T ................................................................ (3-61)

Pada persamaan diatas, T adalah temperatur ( K) dan konstanta A1, A2


dan A3 diperoleh dari tabel III-11 dibawah.
Tabel III-11
Konstanta untuk Menentukan Harga Kd
(William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Acid A1 A2 A3
Acetic 1170.48 3.1649 0.013399
Formic 1342.85 5.2743 0.015168
Propionic 1213.26 3.3860 0.014055
Chloroacetic 1229.13 6.1714 0.0166486

Pada tabel III-12 akan memperlihatkan bahwa asam acetic dan asam
formic memiliki konstanta dissosiasi yang lebih kecil dibandingkan dengan asam
hidroklorik, itulah sebabnya asam tersebut termasuk dalam jenis asam lemah.
Dibawah kondisi reservoir, asam organik tidak bereaksi secara sempurna
dengan batu gamping atau dolomite karena batasan yang dimungkinkan oleh
kesetimbangan kimia. Terjadinya kesetimbangan kimia disebabkan oleh adanya
CO2 yang tidak ikut keluar dari larutan karena tekanan reservoir yang tinggi. Pada
tekanan reservoir yang rendah, CO2 akan terlepas dari larutan sehingga asam akan
bereaksi dengan sempurna.

Tabel III-12
Harga Kd Beberapa Jenis Asam pada Berbagai Temperatur
(William B. B. Gidley J. L., Schechter R. S.,1979)

Dissosiasi Constanta (Kd)


Acid Temperature
77°F 100°F 150°F 250°F
Acetic 1.754 x 10-5 1.716 x 10-5 1.482 x 10-5 8.18 x 10-5
Formic 1.722 x 10-4 1.735 x 10-4 1.486 x 10-4 7.73 x 10-4
HCl 10
Dari hasil tes diketahui hubungan antara fraksi asam yang direaksikan,
temperatur dan komposisi asam pada tekanan tinggi, karena pada tekanan 1000
psi semua CO2 berada di dalam larutan. Faktor ini digunakan untuk mengoreksi
dissolving power dari organic acid.

3.3.4.7.4. Kinetika Reaksi Asam dengan Mineral Batuan


Kinetika reaksi merupakan deskripsi kecepatan reaksi yang berlangsung
pada saat senyawa-senyawa reaksi tersebut bersinggungan. Untuk reaksi asam
dengan mineral batuan, reaksi akan mulai berlangsung apabila asam telah
mencapai permukaan mineral, baik secara diffusi maupun secara konveksi.
Kecepatan asam yang bereaksi dan kecepatan mineral yang terlarutkan tergantung
pada :
- Kecepatan transport asam ke permukaan mineral batuan, baik secara diffusi
ataupun konveksi
- Kecepatan reaksi sebenarnya yang terjadi dipermukaan mineral

Salah satu proses tersebut diatas dapat berjalan dengan cepat


dibandingakan dengan proses yang lain, tetapi dalam perencanaan operasi
pengasaman, proses yang lambat yang diperhitungkan. Contohnya reaksi antara
HCI dengan CaCO3 memberikan reaksi kecepatan yang sangat tinggi, tetapi untuk
perhitungan proses keseluruhan lebih diatur oleh kecepatan transport asam
kepermukaan cairan, oleh karena proses ini lebih lambat daripada proses-proses
yang lain. Sebaliknya untuk reaksi antara HF dengan mineral, kecepatan reaksi
jauh lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan transport asam, maka dalam hal
ini kecepatan reaksi keseluruhan tergantung pada kecepatan reaksi kimia yang
sebenarnya.
Laju kecepatan reaksi didefinisikan sebagai laju kecepatan pemunculan
suatu senyawa tertentu dalam larutan dalam satuan mole per detik. Laju kecepatan
reaksi permukaan tergantung pada besarnya permukaan yang terbuka untuk
terjadinya reaksi, dengan demikian laju kecepatan reaksi ini dinyatakan dengan
satuan per satuan luas. Secara umum, laju kecepatan reaksi permukaan dari suatu
senyawa A yang berbentuk cairan dengan mineral batuan B adalah :
RA = rA . SB ..........................................................................................(3-62)

dimana:
RA = Laju kecepatan pemunculan senyawa A (mole/detik)
rA = Laju kecepatan reaksi permukaan senyawa A (mole/det-m2)
SB = Luas permukaan mineral

Jika senyawa A bereaksi dengan mineral B, maka harga R A dan rA akan


berharga negatif. Laju reaksi rA, tergantung pada konsentrasi senyawa yang
bereaksi. Tetapi untuk reaksi antara senyawa yang berbentuk cairan dengan
mineral berbentuk padat, konsentrasi mineral padat dapat diabaikan, karena
berharga tetap. Contohnya satu grain quartz mempunyai jumlah moles tetap per
satuan volume, berapa pun reaksi yang terjadi pada permukaan quartz tersebut.
Jika ketergantungan terhadap konsentrasi dimasukkan ke dalam persamaan laju
reaksi, maka diperoleh :
RA = (Ef) ( ) SB ............................................................................. (3-63)

dimana:
Ef = konsentrasi laju kecepatan reaksi, mole senyawa A/{m2-det
(moleA/m3)}α
CΛ = konsentrasi senyawa A pada permukaan reaktif
α = derajat reaksi, suatu ukuran kekuatan laju kecepatan reaksi terhadap
konsentrasi senyawa A.

Konstanta kecepatan reaksi tergantung pada temperatur dan dalam


beberapa hal tergantung pada senyawa kimia selain senyawa A. Konvensi
penulisan untuk senyawa yang berkurang konsentrasinya dalam larutan sebagai
akibat reaksi diberikan tanda didepan RA, dengan demikian harga berharga
positif.

A. Reaksi HCL dan Asam Lemah dengan Karbonat


Asam HCL adalah asam kuat, yang berarti apabila HCL dilarutkan dalam
air, molekul-molekul asam hampir semuanya berdissosiasi menjadi ion H+ dan
ion chloride CI-. Reaksi antara HCL dengan karbonat sebenarnya merupakan
reaksi antara ion H+ dengan mineral karbonat.
Asam acetic dan formic yang direaksikan dengan karbonat, maka yang
bereaksi juga ion H+ dengan mineral karbonat, hanya saja karena asam tidak
berdissosiasi sepenuhnya maka tersedianya ion H+ terbatas. Oleh karena H+
adalah senyawa yang reaktif, kinetika reaksi HCl dapat juga digunakan untuk
asam lemah dengan memperhatikan kesetimbangan dissosiasi asam. Berdasarkan
hasil pengukuran kinetika reaksi asam HCl–calcite dan HCl dolomite, diperoleh
hubungan laju kecepatan reaksi sebagai berikut :
rHCl = Ef ................................................................................... (3-64)

Ef = exp .................................................................................. (3-65)

dimana :
Konstanta pada persamaan (3-77) dan (3-28) ditunjukkan pada Tabel III-13.

Tabel III-13
Konstanta Model Kinetik Reaksi HCL – Mineral (Economides, M. J., 1994)

Mineral A (K)

Calcite (CaCO3) 0,63 7,13 x 107 7,55 x 103

Dolomite 4,4800 x 105 7,55 x 103


(CaMg(CO3))

Dimana :

} ................................... (3-66)

Reaksi asam lemah dengan mineral karbonat dapat diperoleh dari kinetika
reaksi HCl, sebagai berikut :

rasam lemah = Ef ......................................................... (3-67)


dimana :
Kd = konstanta disosiasi asam lemah
Ef = konstanta laju kecepatan reaksi HCl–mineral

B. Reaksi antara HF dengan Mineral Batupasir


Tabel III-14
Konstanta Model Kinetik Reaksi HF – Mineral (Economides, M. J., 1994)

Mineral K (K)

Quartz 1.0 - 0 2.32 x 10-8 1150


Orthoclase
K- feldspar 1.2 0.4 0.0566 exp 1.27 x 10-1 4860
KAlSi3O8 (956/T)
Albite
Na-feldspar
NaAlSi3O8 1.0 1.0 0.0624 exp 9.50 x 10-3 3930
(554/T)
Kaolinite 1.0 - 0.33 6540
Al4Si4O10(OH)8
Sodium 1.0 - 0.88 6540
Montmorilonite
Al4Si8O20(OH)4-H2O
Illite 1.0 - 2.75 x 10-2 6540
KO2Al4(Al,Si)8(OH)4
Muscovite 1.0 - 0.49 6540
KAl2Si3O10(OH)2

Penelitian tentang reaksi antara HF dengan mineral-mineral batupasir,


misalnya quartz, feldspar, dan clay, telah dilakukan dan kinetika reaksi untuk
reaksi antara HF dan batupasir adalah sebagai berikut :
rmineral = Ef {1 + K (CHCl) } ........................................................(3-68)

Harga Ef dihitung dengan persamaan 3-26, sedangkan konstanta pada


persamaan 3-29 ditunjukkan pada Tabel IV-14. Persamaan 3-29 menunjukkan
bahwa ketergantungan terhadap konsentrasi HF mendekati derajat 1 (α=1). Untuk
reaksi dengan feldspar, laju kecepatan reaksi meningkat dengan meningkatkan
konsentrasi HCl, meskipun HCl tidak bereaksi dalam proses reaksi kimia. HCl
sebagai katalisator pada reraksi antara HF dengan feldspar. Demikian juga halnya,
laju kecepatan reaksi antara HF dengan mineral clay mempunyai besaran yang
hampir sama. Kecuali untuk mineral illite, dimana laju kecepatan reaksinya
berderajat dua kali lebih lambat.

3.3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi Asam


Laju kecepatan reaksi asam adalah perubahan konsentrasi reaktan (zat
yang direaksikan) ataupun produk reaksi dalam suatu satuan waktu. Atau dapat
dinyatakan sebagai laju berkurangnya konsentrasi suatu reaktan atau
bertambahnya konsentrasi suatu produk.
3.3.5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi Asam dengan
Batuan
3.3.5.1.1. Perbandingan Luas-Volume

Gambar 3.11.
Pengaruh Perbadingan Luas-Volume Terhadap Laju Reaksi HCl-CaCO3
(Allen, T.O. and Robert, A.P., 1982)
Perbandingan luas-volume (specific surface area) merupakan
perbandingan antara luas permukaan batuan yang kontak dengan asam persatuan
volume. Perbadingan luas-volume beranding terbalik dengan jari-jari batuan atau
lebar rekahan. Gambar 3.7. terlihat pengaruh perbandingan luas-volume pada
reaksi asam HCl dengan CaCO3. Harga spesifik surface area semakin besar maka
semakin besar laju reaksi asam terhadap batuan sehingga spending time semakin
kecil.

3.3.5.1.2. Temperatur Reservoir


Temperatur mempunyai pengaruh langsung yang berbanding lurus
terhadap laju reaksi asam dengan batuan. Padat temperatur 140 F, dan 150 F laju
reaksi sekitar 2 kali lebih cepat dibandingkan dengan temperatur 80 F. Dengan
kata lain dengan bertambahnya temperatur maka laju reaksi akan semakin lebih
cepat. Gambar 3.13. menunjukkan pengaruh temperatur terhadap laju reaksi
antara asam HCl dengan CaCO3. Panas yang mempengaruhi laju reaksi berasal
dari reservoir dan panas yang dihasilkan dari proses reaksi asam dengan batuan.

Gambar 3.12.
Pengaruh Temperatur Terhadap Laju Reaksi HCl-CaCO3
(Allen, T.O. and Robert, A.P., 1982)
Pengaruh tekanan terhadap laju reaksi untuk asam HCl dapat dilihat pada
Gambar 3.13. Pada tekanan diatas 750 psi, pengaruh tekanan kurang berpengaruh
terhadap laju reaksi. CO2 yang terlarut dalam fluida meningkat sehingga
konsentrasi CO2 sebagai hasil reaksi akan menggerakkan reaksi kearah
tercapainya kesetimbangna. Hal inilah yang dapat memperlambat laju reaksi.
Tekanan yang kurang dari 750 psi, CO2 yang terlarut mulai terbebaskan sehingga
laju reaksi meningkat. Proses pelepasan gas CO2 menimbulkan efek turbulensi
dan agitasi sehingga dapat membantu mempercepat laju reaksi.

Gambar 3.13.
Pengaruh Tekanan Terhadap Laju Reaksi HCl
(Penataran Teknik Produksi untuk Pertamina, 1987)

3.3.5.1.3. Konsentrasi Asam


Konsentrasi merupakan jumlah mol zat yang terdapat dalam tiap liter
latutan atau ruangan (gas). Dengan bertambahnya konsentrasi larutan maka,
kecepatan reaksi akan semakin cepat. Dari Gambar 3.13, dapat dilihat bahwa laju
reaksi naik hampir sebanding dengan naiknya konsentrasi HCl antara 15 sampai
20 % dan pada konsentrasi 20-24 %, laju reaksi mencapai titik maksimum.
Peningkatan konsentrasi HCl melebihi 24 % akan menyebabkan penurunan
terhadap laju reaksi. Hal ini disebabkan karena konsentrasi yang tinggi
(maksimum 24 %) akan melarutkan volume yang besar, sehingga hasil reaksi
yang dihasilkan juga banyak. Hasil reaksi seperti CaCl2 dan CO2 inilah yang dapat
mengurangi laju reaksi, karena bersifat retarded.

Gambar 3.14.
Pengaruh Konsentrasi Terhadap Laju Reaksi HCl-CaCO3
(Allen, T.O. and Robert, A.P., 1982)

Komposisi kimia batuan formasi sangat penting untuk menentukan waktu


laju reaksi antara asam dengan batuan. Laju reaksi asam HCl terhadap dolomite
akan lebih lambat dibandingkan dengan limestone, karena terbentuknya
CaMg2C16 12H2O sebagai hasil reaksi asam dengan dolomite dan material ini
dapat larut dalam asam.
3.3.5.1.4. Kecepatan Aliran Asam
Kecepatan aliran asam tidak menimbulkan pengaruh yang begitu besar
terhadap laju reaksi antara asam dengan batuan. Untuk sumur-sumur dengan
temperatur tinggi kecepatan ditingkatkan hanya untuk menghindari berkurangnya
daya reaktifitas asam yang diinjeksikan.
3.3.6. Evaluasi Hasil Pengasaman
Keberhasilan operasi pengasaman dapat didasarkan pada beberapa
parameter diantaranya yaitu :

3.3.6.1. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan Parameter Laju Produksi


Mengevaluasi hasil pengasaman pertama-tama adalah dengan mengamati
laju hariannya.Bila laju produksi harian setelah pengasaman lebih besar dibanding
sebelum pengasaman, maka dapat dikatakan pengasaman tersebut berhasil.

3.3.6.2. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan Parameter Indeks Produktivitas


Produktivity Index adalah indek yang menyatakan kemampuan suatu
formasi untuk mengalirkan fluidanya ke dasar sumur pada drawdown tertentu..
Secara matematik PI dinyatakan :

PI = ............................................................................. (3-69)

Pwf besarnya dipengaruhi oleh adanya faktor hambatan (skin), maka terdapat dua
type indeks produktivitas, yaitu PI ideal dan PI aktual.

PIaktual = ............................................................................... (3-70)

PIideal = ................................................................... (3-71)

Menurut Kermitz E Brown (1967) bahwa batasan terhadap tingkat produktivitas


sumur adalah :
PI rendah jika PI < 0,5
PI sedang jika 0,5 < PI < 1,5
PI tinggi jika PI > 1,5

3.3.6.3. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan Parameter Faktor Skin

S = 1,151{ - log ( ) + 3,23 } ............................. (3-72)

dimana :
P1jam = pembacaan tekanan dari bentuk linear pada kurva PBU selama 1
jam penutupan
Pwf = tekanan sumur sesaat sebelum penutupan, psi
m = kemiringan slope pada bagian linear dari grafik
μ = viskositas, cp
ϕ = porositas, fraksi
k = permeabilitas, md
Ct = kompressibilitas batuan, psi-1
rw = jari-jari sumur, ft
h = ketebalan lapisan produktif, ft

Kerusakan formasi akibat faktor skin dapat dilihat dari penyimpangan


harga S terhadap titik nol, dan secara kuantitatif dinyatakan sebagai :
S > 0 = adanya kerusakan formasi di sekitar lubang sumur
S = 0 = kerusakan sumur di sekitar lubang sumur diabaikan
S < 0 = adanya perbaikan formasi di sekitar lubang sumur

3.3.6.4. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan Parameter Effisiensi Aliran


Effisiensi aliran adalah suatu konstanta yang menunjukkan pengertian
identik dengan adanya skin di sekitar sumur pada formasi produktif.

Flow Effisiensi (FE) = ...................................................... (3-73)

FE = ,

sehingga :

FE = ......................................................................... (3-74)

Harga maksimum FE = 1, jika tidak ada kerusakan dalam lubang sumur.


Jika FE < 1, jika ada kerusakan dalam lubang umur.
Jika FE > 1, jika terjadi perbaikan permeabilitas di sekitar lubang sumur.

3.3.6.5. Evaluasi Keberhasilan Berdasarkan Parameter Kurva IPR


Grafik kurva performance yang disebut Inflow Performance Relationship
(IPR) merupakan grafik kemampuan suatu sumur selama produksi, yang
menunjukkan hubungan antara kapasitas produksi dengan tekanan alir dasar
sumur. Pengamatan terhadap kurva IPR dari suatu sumur sebelum dan sesudah
pengasaman dapat menentukan sukses tidaknya operasi pengasaman.
Pengasaman dikatakan berhasil jika pada drawdown (Ps – Pwf) yang sama
akan diperoleh laju produksi yang berbeda, yaitu laju produksi setelah stimulasi
mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut dapat dilihat berupa kenaikan harga
PI, harga faktor skin menjadi negatif atau 0, harga flow efficiency menjadi positif,
kenaikan laju alir (q) dan naiknya kurva IPR.

Gambar 3.15.
Perbandingan Kurva IPR Sebelum dan Sesudah Pengasaman
(Allen, T.O. and Robert, A.P., 1982)
BAB IV
PERENCANAAN OPERASI MATRIX ACIDIZING

4.1. Persiapan Data Sebelum Operasi Acidizing


Data-data perencanaan acidizing meliputi :
1. Data Lubang Sumur (Wellbore)

Gambar 4.1.
Wellsketch Sumur MT-11 (_____, JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi)

Tabel IV-1
Data Lubang Sumur (Wellbore Information)
(_____, JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi)
Parameter Nilai
Total Depth 15.086 ft
Liner :
OD Liner 7 inch
ID Liner 6,4 inch
Coiled Tubing :
OD Coiled Tubing (CT) 1,5 inch
ID Coiled Tubing (CT) 1,282 inch
Coiled Tubing Volume 27 bbl
Max. Inclination 75,49°
Pre-perforated interval 9.760 – 12.900 ft
Tabel IV-2
Data Interval Perforated Depth
Interval Depth
Interval 1 12505 – 12542 ft
Interval 2 11705, - 12484,65 ft
Interval 3 11590,68 – 11663,56 ft
Interval 4 10770,20 – 11511,93 ft
Interval 5 10154,22 – 10669,91 ft
Total Perforated Depth 1942,8 ft

2. Data Reservoir
Tabel IV-3
Data Reservoir (_____, JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi)

Parameter Nilai
Tekanan Reservoir (Pr) 2246,43 psi
Tekanan Sumur (Pwf) 609,236 psi
Bottom Hole Temperature (BHT) 200° F
Permeabilitas (k) 1,97 mD
Porositas (ϕ) 20 %
Fracture Gradient (Gf) 0,7 psi/ft

3. Data Produksi (Basecase)


Tabel IV-4
Konstanta nilai C1, C2, C3, dan C4
an c1 c2 c3 c4
a1 0,183 -0,36 0,815 -0,06
a2 -1,48 -0,46 1,646 -0,44
a3 -2,15 -0,2 2,289 -0,22
a4 -0,02 0,088 -0,26 -0,21
a5 -0,55 -0,03 -0,58 -0,31

- Ps = 2246,43 psia
- Pwf = 609,236 psia
- q total = 1108,8 bpd
- Skin = 4,1
A1 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= 0,183 x EXP(-0,36 x 4,1) + 0,815 x EXP(-0,06 x 4,1)
= 0,688829

A2 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-1,48) x EXP(-0,46 x 4,1) + 1,646 x EXP(-0,44 x 4,1)
= 0,041351
A3 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-2,15) x EXP(-0,2 x 4,1) + 2,289 x EXP(-0,22 x 4,1)
= -0,03475

A4 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-0,02) x EXP(0,088 x 4,1) + (-0,26) x EXP(-0,21 x 4,1)
= -0,141

A5 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-0,55) x EXP(-0,03 x 0) + (-0,58) x EXP(-0,31 x 0)
= -0,64931

= 0,631117

q max =

= 1756,886 bpd
Tabel IV-5
Tabulasi Data Tekanan dan Laju Alir Minyak

Pwf Pd qo
2246,43 1 0
2240 0,997138 6,594211
2200 0,979332 47,23844
2000 0,890302 240,7081
1800 0,801271 417,9253
1600 0,712241 578,8901
1400 0,623211 723,6023
1200 0,534181 852,0621
1000 0,445151 964,2695
800 0,356121 1060,224
600 0,26709 1139,927
400 0,17806 1203,377
200 0,08903 1250,574
0 0 1281,519

Kurva IPR Pudjo Sukarno S = 4,1


2500

2000

1500

S = 4,1
1000

500

0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400

Gambar 4.2
IPR Sebelum Dilakukan Operasi Acidizing dengan Skin = 4,1
4. Data Fluida Asam (Acid HCl)
Tabel IV-6
Data Fluida Asam (_____, JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi)
Parameter Nilai

Gradien Fluida Acid 0,43 psi/ft

Viskositas Acid 0,5 cp

4.2. Penentuan Parameter Acidizing


Penentuan parameter acidizing pada sumur MT-11 meliputi penentuan
perhitungan tekanan (pressure calculation) dan perhitungan volume (volumetric
calculation).

4.2.1. Penentuan Parameter Acidizing pada Sumur MT-11


4.2.1.1. Perhitungan Perencanaan Operasi Acidizing
1. Perhitungan Fracture Gradient
Fracture Gradient = 0,7
2. Perhitungan tekanan dasar sumur (Pwf)
BHP rekah = Frac. Gradient x TVD
= 0,7 x 7376
= 5163,2 psi/ft
3. Perhitungan tekanan max. di permukaan untuk injeksi dibawah tekanan rekah
(P injeksi)
P max = (Frac. Gradient – Fluid Gradient) x TVD – 25
= (0,7 – 0,43) x 7376 – 25
= 1966,52 psi = 1900 psi
4. Perhitungan Q max. laju injeksi asam

Q max =

= 36,82 = 36 bpm
4.2.1.2. Perhitungan Volume (Volumetric Calculation)
1. Perhitungan Volume dengan Jari-jari Penetrasi Sebesar 2 ft (Skenario
II)
Volume = 7,4805 x π x ф x h x (rp2 – rw2)
= 7,4805 x 3,14 x 0,2 x 1942,8 x (22 – 0,5832)
= 33.083 gal = 787,70 bbl = 750 bbl

2. Perhitungan Volume dengan Jari-jari Penetrasi Sebesar 3 ft (Skenario


III)
Volume = 7,4805 x π x ф x h x (rp2 – rw2)
= 7,4805 x 3,14 x 0,2 x 1942,8 x (32 – 0,5832)
= 78.278 gal = 1863 bbl = 1800 bbl

4.2.1.3. Perhitungan Volume Pelarutan HCl


HCl yang akan digunakan adalah HCl 32% dan akan dilarutkan menjadi
15%. Maka dilakukan perhitungan untuk mengetahui berapa banyak volume air
(fresh water) yang diperlukan untuk melarutkan HCl 32% menjadi 15%.
Diketahui :

Volume larutan = 1800 bbl

SG HCl 32 % =1+( ) = 1,075 = 8,96 lb/gal

SG HCl 15% =1+( ) = 1,16 = 9,66 lb/gal

Jadi perhitungannya :

a. (1800) ( ) (1,075) = (vol. HCl 32%) ( ) (1,16)

Vol. HCl 32% = 781,92


= 780 gal

b. Air yang diperlukan = (Volume larutan) – (Volume HCl 32%)


= 1800 gal – 780 gal
= 1020 gal
4.3. Jarak Jangkauan Injeksi Acidizing

Dari volume larutan asam yang didapat dari perhitungan volumetris,


selanjutnya dapat dihitung prediksi jarak jangkauan asam yang dicapai dengan
rumus :

Acid Treatment Volumes =

Jadi perhitungannya :
1. Skenario II (Penginjeksian dengan jari-jari Penetrasi 2ft, dengan
Volume 33083 gal)

Acid treatment volumes = = 17 gal/ft

2. Skenario III (Penginjeksian dengan jari-jari Penetrasi 3ft, dengan


Volume 78278 gal)

Acid treatment volumes = = 40 gal/ft

Dari perhitungan diatas, selanjutnya melihat Tabel IV-7 untuk mengetahui


prediksi jarak jangkauan acid yang dicapai.

Tabel IV-7
Acid Treatment Volumes (_____, JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi)

Types of Carbonate Matrix Volumes Expected Skin


Acidizing Treatments
10 – 25 gal/ft 0 to 2
Wellbore Cleanout
25 – 50 gal/ft 0 to -2
Near-Wellbore Stimulation
50 – 150 gal/ft -2 to -3
Intermediate Matrix Stimulation
150 – 500 gal/ft -3 to -5
Extended Matrix Stimulation

Dari tabel diatas, maka didapat hasil :


Skenario I mencapai wellbore cleanout dengan prediksi skin 0, 1, 2.
Skenario II mencapai near-wellbore stimulation dengan prediksi skin 0, -1, -2
4.4. Prediksi Perhitungan Hasil Matrix Acidizing
Setelah proses matrix acidizing dilakukan, harus dilakukan evaluasi pada
sumur yang distimulasi tersebut agar mengetahui keberhasilan yang dicapai.
Ukuran atau parameter yang digunakan dalam menilai tingkat keberhasilan yang
dicapai oleh sumur adalah kenaikan harga laju produksi (q), kenaikan harga
productivity index (PI), peningkatan kurva IPR, penurunan harga skin, kenaikan
harga permeabilitas (k), dan naiknya harga flow efficiency (FE).

4.4.1. Perhitungan Nilai Prediksi Permeabilitas (k) Sesudah dilakukan


Operasi Matrix Acidizing

Menghitung k dengan menggunakan rumus :

S = 1,151{ - log ( ) + 3,23 }

a. Skin = 0

S = 1,151{ - log ( ) + 3,23 }


0 = 1,151{ - log ( ) + 3,23 }

k = 3,4 mD

b. Skin = -1

S = 1,151{ - log ( ) + 3,23 }


0 = 1,151{ - log ( ) + 3,23 }

k = 25 mD

c. Skin = -2

S = 1,151{ - log ( ) + 3,23 }


0 = 1,151{ - log ( ) + 3,23 }

k = 185 mD
4.4.2. Perhitungan Nilai Prediksi IPR Sesudah dilakukan Operasi Matrix
Acidizing
4.4.2.1. Perhitungan IPR Tiga Fasa dengan Nilai Skin = 0
Persiapan data :
Tabel IV-8
Konstanta nilai C1, C2, C3, dan C4
an c1 c2 c3 c4
a1 0,183 -0,36 0,815 -0,06
a2 -1,48 -0,46 1,646 -0,44
a3 -2,15 -0,2 2,289 -0,22
a4 -0,02 0,088 -0,26 -0,21
a5 -0,55 -0,03 -0,58 -0,31

- Ps = 2246,43 psia
- Pwf = 609,236 psia
- q total = 1108,8 bpd
- Skin =0

A1 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= 0,183 x EXP(-0,36 x 0) + 0,815 x EXP(-0,06 x 0)
= 0,997463

A2 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-1,48) x EXP(-0,46 x 0) + 1,646 x EXP(-0,44 x 0)
= 0,169296

A3 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-2,15) x EXP(-0,2 x 0) + 2,289 x EXP(-0,22 x 0)
= 0,139968

A4 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-0,02) x EXP(0,088 x 0) + (-0,26) x EXP(-0,21 x 0)
= -0,28217
A5 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-0,55) x EXP(-0,03 x 0) + (-0,58) x EXP(-0,31 x 0)
= -1,13569

= 0,92853

q max =

= 1194,145 bpd

Tabel IV-9
Tabulasi Data Tekanan dan Laju Alir Minyak
Pwf Pd qo
2246,43 1 0
2240 0,997138 6,594211
2200 0,979332 47,23844
2000 0,890302 240,7081
1800 0,801271 417,9253
1600 0,712241 578,8901
1400 0,623211 723,6023
1200 0,534181 852,0621
1000 0,445151 964,2695
800 0,356121 1060,224
600 0,26709 1139,927
400 0,17806 1203,377
200 0,08903 1250,574
0 0 1281,519
Dari tabulasi tekanan dan laju alir tersebut selanjutnya dibuat kurva IPR
tiga fasa dengan nilai skin = 0, yaitu :

Kurva IPR Pudjo Sukarno S = 0


2500

2000

1500

S=0
1000

500

0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400

Gambar 4.3. Kurva IPR Tiga Fasa dengan Nilai Skin = 0

4.4.2.2. Perhitungan IPR Tiga Fasa dengan Nilai Skin = -1


Tabel IV-10
Konstanta nilai C1, C2, C3, dan C4
an c1 c2 c3 c4
a1 0,183 -0,36 0,815 -0,06
a2 -1,48 -0,46 1,646 -0,44
a3 -2,15 -0,2 2,289 -0,22
a4 -0,02 0,088 -0,26 -0,21
a5 -0,55 -0,03 -0,58 -0,31

- Ps = 2246,43 psia
- Pwf = 609,236 psia
- q total = 1281,519 bpd
- Skin = -1
A1 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= 0,183 x EXP(-0,36 x (-1)) + 0,815 x EXP(-0,06 x (-1))
= 1,124701

A2 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-1,48) x EXP(-0,46 x (-1)) + 1,646 x EXP(-0,44 x (-1))
= 0,230308
A3 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-2,15) x EXP(-0,2 x (-1)) + 2,289 x EXP(-0,22 x (-1))
= 0,238934

A4 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-0,02) x EXP(0,088 x (-1)) + (-0,26) x EXP(-0,21 x (-1))
= -0,34143

A5 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-0,55) x EXP(-0,03 x (-1)) + (-0,58) x EXP(-0,31 x (-1))
= -1,36346

= 1,050002

q max =

= 1055,998 bpd
Tabel IV-11
Tabulasi Data Tekanan dan Laju Alir Minyak
Pwf Pd qo
2246,43 1 0
2240 0,997138 9,986316
2200 0,979332 69,32705
2000 0,890302 335,2839
1800 0,801271 557,2664
1600 0,712241 743,0288
1400 0,623211 898,296
1200 0,534181 1027,318
1000 0,445151 1133,237
800 0,356121 1218,326
600 0,26709 1284,15
400 0,17806 1331,659
200 0,08903 1361,233
0 0 1372,688
Dari tabulasi tekanan dan laju alir tersebut selanjutnya dibuat kurva IPR
tiga fasa dengan nilai skin = -1, yaitu :

Kurva Pudjo Sukarno S = -1


2500

2000

1500

S = -1
1000

500

0
0 500 1000 1500

Gambar 4.4. Kurva IPR Tiga Fasa dengan Nilai Skin = -1


4.4.2.3. Perhitungan IPR Tiga Fasa dengan Nilai Skin = -2
Tabel IV-12
Konstanta nilai c1, c2, c3, dan c4
an c1 c2 c3 c4
a1 0,183 -0,36 0,815 -0,06
a2 -1,48 -0,46 1,646 -0,44
a3 -2,15 -0,2 2,289 -0,22
a4 -0,02 0,088 -0,26 -0,21
a5 -0,55 -0,03 -0,58 -0,31

- Ps = 2246,43 psia
- Pwf = 609,236 psia
- q total = 1281,519 bpd
- Skin = -2

A1 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= 0,183 x EXP(-0,36 x (-2)) + 0,815 x EXP(-0,06 x (-2))
= 1,289995

A2 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-1,48) x EXP(-0,46 x (-2)) + 1,646 x EXP(-0,44 x (-2))
= 0,306065

A3 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-2,15) x EXP(-0,2 x (-2)) + 2,289 x EXP(-0,22 x (-2))
= 0,376252

A4 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-0,02) x EXP(0,088 x (-2)) + (-0,26) x EXP(-0,21 x (-2))
= -0,41519

A5 = C1 x EXP(C2 x S) + C3 x EXP(C4 x S)
= (-0,55) x EXP(-0,03 x (-2)) + (-0,58) x EXP(-0,31 x (-2))
= -1,66713
=

= 1,206133

q max =

= 1062,502 bpd

Tabel IV-13
Tabulasi Data Tekanan dan Laju Alir Minyak
Pwf Pd qo
2246,43 1 0
2240 0,997138 9,01743
2200 0,979332 70,7169
2000 0,890302 341,8702
1800 0,801271 565,7555
1600 0,712241 751,244
1400 0,623211 905,1044
1200 0,534181 1032,252
1000 0,445151 1136,249
800 0,356121 1219,269
600 0,26709 1284,269
400 0,17806 1330,643
200 0,08903 1359,6
0 0 1370,622

Dari tabulasi tekanan dan laju alir tersebut selanjutnya dibuat kurva IPR tiga fasa
dengan nilai skin = -2, yaitu :
Kurva IPR Pudjo Sukarno S = -2
2500

2000

1500

S = -2
1000

500

0
0 500 1000 1500

Gambar 4.5. Kurva IPR Tiga Fasa dengan Nilai Skin = -2

Dari perhitungan yang dilakukan maka dibuat perbandingan kurva IPR


tiga fasa dari sebelum dilakukan operasi matrix acidizing dengan skin 4,1;
dibandingkan dengan asumsi hasil setelah dilakukan acidizing dengan nilai skin =
0; skin = -1; skin = -2.

Kurva IPR Pudjo Sukarno


2500

2000
S = 4,1

1500 S = -2
S=0
1000
S = -1

500

0
0 500 1000 1500

Gambar 4.6. Perbandingan Kurva IPR Tiga Fasa Sebelum dan


Sesudah Acidizing
4.4.2.4. Perbandingan Nilai Prediksi Q Sebelum Acidizing dengan Skin = 4,1
dan Sesudah Acidizing dengan Skin = 0; Skin = -1; dan Skin = -2

Tabel IV-14
Perbandingan Nilai Prediksi Q pada Skin 4,1; 0; -1; -2
Skin Pwf qo
4,1 1000 966,17
0 1000 964,26
-1 1000 1133,23
-2 1000 1136,25

4.4.3. Perhitungan Nilai Prediksi PI Sebelum dan Sesudah dilakukan


Operasi Matrix Acidizing

- Skin 4,1

PI =

= 0,77
- Skin 0

PI =

= 0,77
- Skin -1

PI =

= 0,90
- Skin -2

PI =

= 0,912
Tabel IV-15
Perbandingan Nilai Prediksi Q dan PI pada Skin 4,1; 0; -1; -2
Skin Pwf qo PI
4,1 1000 966,17 0,77
0 1000 964,26 0,77
-1 1000 1133,23 0,90
-2 1000 1136,25 0,912

4.4.4. Perhitungan Nilai Prediksi Flow Efficiency (FE) Sebelum dan Sesudah
dilakukan Operasi Matrix Acidizing

Diketahui data :

P* = 2280 psi
Pwf = 609,236 psi
m = 912 psi/cycle

- Skin 4,1
ΔP skin = 0,87 x m x S
= 0,87 x 912 x 4,1
= 3253,104

FE =

= -0,947

- Skin 0
ΔP skin = 0,87 x m x S
= 0,87 x 912 x 0
=0

FE =

=1
- Skin -1
ΔP skin = 0,87 x m x S
= 0,87 x 912 x (-1)
= -793,44

FE =

= 1,475

- Skin -2
ΔP skin = 0,87 x m x S
= 0,87 x 912 x (-2)
= -1586,88

FE =

= 1,95
Tabel IV-16
Tabulasi Nilai Prediksi Flow Efficiency untuk Skin 4,1; 0; -1; -2

Skin ΔP skin Flow Efficiency


4,1 3253,104 -0,947
0 0 0
-1 -793,44 1,475
-2 -1585,88 1,95
BAB V
PEMBAHASAN

Pada penelitian kali ini dilakukan pengamatan pada sumur MT-11 yang
terletak pada formasi LTM, area Sulawesi. Sumur MT-11 mempunyai formasi
berupa batuan gamping atau limestone dan mempunyai ketebalan formasi yang
cukup besar. Sumur MT-11 merupakan sumur baru yang dibor pada Novermber
2012 secara direksional dengan derajat inklinasi total 75º, dan dikomplesi
menggunakan liner yang diperforasi atau perforated liner. Packer dipasang pada
sumur tersebut karena sebagian lapisan dari formasi tersebut adalah shale, dan
swell packer diset pada bagian-bagian shale tersebut agar tidak terjadi problem
pada saat produksi berlangsung. Sumur MT-11 mulai berproduksi pada bulan Juli
2013, tetapi sejarah produksi dari sumur MT-11 dapat digolongkan rendah dengan
melihat tekanan reservoir yang cukup tinggi, dan ketebalan formasi produktif
yang besar. Dengan melihat formasi batuannya yang berupa limestone, maka
ditentukan stimulasi berupa matrix acidizing agar dilakukan pada sumur MT-11
untuk mengoptimalkan produksinya.
Pada saat awal produksi, sumur MT-11 hanya memproduksikan minyak
sebesar 500 BOPD, dengan tekanan reservoir sebesar 2246,43 psi, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh permeabilitas yang rendah yaitu sebesar 1,97 mD
sehingga batuan tidak dapat mengalirkan fluida secara optimal.
Sebelum dilakukan matrix acidizing pada sumur MT-11, dilakukan
welltest berupa PBU atau Pressure Build-Up terlebih dahulu untuk menentukan
parameter-parameter seperti permeabilitas, laju alir, dan faktor skin yang dihitung
menggunakan software Ecrin 4.10. Didapatkan harga untuk permeabilitas sebesar
1,97 mD; laju alir sebesar 1108,8 STB/D; faktor skin 4,1; dari data tersebut dapat
dihitung harga PI sebesar 0,77 bpd/psi dan harga FE sebesar -0,947. Setelah
dilakukan PBU, maka diketahui adanya kerusakan formasi atau formation damage
pada formasi produktif, yaitu dengan melihat harga skin yang didapat sebesar 4,1.
Kerusakan formasi yang terjadi bukan merupakan akibat dari proses produksi,
karena sumur tersebut tergolong sumur baru yang baru memproduksikan minyak
selama kurang lebih 5 bulan. Tetapi kerusakan formasi tersebut akibat dari invasi
fluida pemboran yang berupa semen ataupun mud cake yang masuk dalam lubang
perforasi dan matriks batuan yang berada dekat dengan lubang sumur.
Setelah dilakukan PBU dan didapatkan data-data tekanan dan lainnya,
maka rencana work over dibuat, yaitu melakukan stimulasi berupa matrix
acidizing pada sumur MT-11. Perencanaan matrix acidizing dilakukan pertama-
tama dengan melihat harga skin yang ada pada formasi. Setelah itu melihat batuan
formasi, agar dapat menentukan asam yang cocok untuk diinjeksikan. Pada
formasi LTM ini yang reservoirnya merupakan limestone, maka digunakan asam
HCl (Hydrochloric Acid) 32% dan dilarutkan dengan menggunakan fluida dasar
atau base fluid berupa filtered sea water, sehingga konsentrasi asamnya berupa
15%. Penambahan aditif-aditif lainnya dilakukan untuk mencegah problem
lainnya muncul, additif yang digunakan berupa corrosion inhibitor untuk
mencegah korosi dengan membentuk film tipis pada pipa agar asam tidak kontak
langsung dengan pipa, iron control untuk mengurangi adanya endapan besi
(ferric) yang dihasilkan dari naiknya pH asam yang telah dipakai dan dapat
menyumbat pori-pori batuan dan menyebabkan kerusakan formasi, gelling
agent/friction reducer untuk membentuk acid menjadi gel-gel dan mengurangi
friksi yang terjadi di dalam pipa, anti sludging agent untuk mencegah
terbentuknya sludge akibat kontak langsung antara asam dengan crude oil karena
sludge dapat menyebabkan tersumbatnya pori-pori batuan, de-emulsifier
surfactant yang dipakai untuk mencegah terjadinya emulsi dengan menghasilkan
tegangan permukaan dan tegangan antar muka yang rendah untuk mencegah
natural emulsifier yang terkandung dalam crude oil yang dapat menyebabkan
emulsi. Additif tersebut digunakan dari pengalaman pyang sudah dilakukan pada
sumur sebelumnya. Fluida pendukung lainnya yang akan digunakan dalam proses
acidizing ini adalah filtered sea water sebagai fluida pre-flush dan over-flush, juga
untuk pelarutan acid HCl 32%. Selain itu, digunakan nitrogen (N2) untuk
membantu pengangkatan minyak setelah proses over-flush.
Perencanaan matrix acidizing ditentukan dengan perhitungan tekanan
(pressure calculation) untuk menghitung tekanan maksimal injeksi yang dapat
diberikan pada formasi tersebut. Begitu pula perhitungan volume (volumetric
calculation) juga ditentukan untuk menghitung berapa volume acid yang akan
diinjeksikan ke dalam formasi.
Perhitungan tekanan pertama-tama dilakukan dengan menentukan
Fracture Gradient yang telah diketahui yaitu sebesar 0,7. Selanjutnya dihitung
tekanan rekah dasar sumur, didapatkan hasil sebesar 5163,2 psi/ft. Lalu dihitung
tekanan injeksi maksimal dan didapatkan hasil sebesar 1900 psi. Yang terakhir
dihitung laju alir maksimal injeksi asam, yaitu didapatkan hasil sebesar 36 bpm.
Perhitungan selanjutnya adalah perhitungan volume atau volumetric
calculation. Perhitungan ini dipengaruhi oleh nilai jari-jari penetrasi yang akan
dipakai. Pada sumur MT-11 dihitung volume larutan dengan jari-jari penetrasi 2 ft
(pada Skenario I) dan 3 ft (pada Skenario II). Untuk perhitungan volume larutan
dengan jari-jari penetrasi sebesar 2 ft (Skenario I) didapatkan hasil volume larutan
sebesar 750 bbl. Dan untuk jari-jari penetrasi 3 ft (Skenario II) didapatkan hasil
volume larutan sebesar 1800 bbl. Dari perhitungan volume yang dilakukan, dapat
dilihat pada tabel, skenario I menginjeksikan sebanyak 750 bbl dan mendapat nilai
acid treatment volume sebesar 17 gal/ft dan hanya menjangkau wellbore cleanout
dan mendapatkan nilai prediksi skin 0, 1, dan 2. Sedangkan pada skenario II
didapatkan nilai acid treatment volume sebesar 40 gal/ft dan menjangkau near-
wellbore stimulation yang akan mendapatkan nilai prediksi skin sebesar 0,-1, -2.
Maka perencanaan skenario II ini dapat mendapat presentase keberhasilan,
didukung oleh asumsi-asumsi data lainnya.
Setelah perhitungan dihitung, maka barulah menentukan langkah kerja
untuk proses operasi matrix acidizing. Langkah kerja tersebut secara garis besar
yaitu persiapan alat-alat, rigging-up, dan dimulai dari penginjeksian fresh
water/filtered sea water untuk tahap pre-flush, kemudian penginjeksian asam
sebanyak 1800 gal dengan tekanan injeksi sebesar 1900 psi, kemudian setelah
acid selesai diinjeksikan maka dilakukan tahap over-flush dengan menginjeksikan
fresh water/filtered sea water sebanyak 80 bbl. Pada tahap over-flush sumur akan
penuh dengan air yang menyebabkan minyak susah untuk keluar atau
terproduksikan. Maka dilakukan penginjeksian nitrogen ke dalam sumur untuk
merangsang agar minyak dapat kembali terproduksi.
Setelah perhitungan perencanaan matrix acidizing sselesai, dilakukan
perhitungan prediksi hasil acidizing berupa prediksi permeabilitas (k), prediksi
perhitungan untuk kurva IPR, prediksi nilai PI, dan prediksi nilai Flow Efficiency,
dan dibandingkan dengan nilai yang didapat sebelum dilakukan acidizing. Untuk
nilai skin = 4,1 (sebelum dilakukan acidizing) didapatkan permeabilitas sebesar
1,97 mD, PI sebesar 0,77 dan FE sebesar -0,947. Untuk nilai skin = 0 didapatkan
prediksi permeabilitas sebesar 3,4 mD, prediksi PI sebesar 0,77 dan prediksi FE
sebesar 1 yang menandakan tidak ada kerusakan pada lubang bor. Untuk nilai skin
= -1 didapatkan prediksi permeabilitas sebesar 25 mD, prediksi PI sebesar 0,90
dan prediksi FE sebesar 1,475 yang menandakan ada perbaikan (stimulasi) pada
lubang bor. Dan untuk nilai skin = -2 didapatkan prediksi permeabilitas sebesar
185 mD, prediksi PI sebesar 0,911 dan prediksi FE sebesar 1,95 yang
menandakan ada perbaikan (stimulasi) pada lubang bor. Dari prediksi hasil
acidizing yang dihitung, stimulasi yang dilakukan dapat dikatakan berhasil
dilihhat dari nilai permeabilitas, PI, FE yang meningkat, dan nilai skin yang
menurun.
BAB VI
KESIMPULAN

1. Acid yang akan diinjeksikan menggunakan HCl (Hydrochloric Acid) 32%


yang dilarutkan dengan base fluid berupa filtered sea water dan dilarutkan
menjadi HCl 15% dengan aditif yang akan digunakan yaitu corrosion
inhibitor, iron control, gelling agent/friction reducer, anti sludging agent, de-
emulsifier surfactant.
2. Dari perhitungan tekanan, penginjeksian acid akan dilakukan dengan tekanan
injeksi sebesar 1900 psi, dan diinjeksikan volume asam sebanyak 1800 bbl
dengan kecepatan 36 bpm.
3. Dengan penginjeksian volume asam sebanyak 1800 bbl, didapat jarak
jangkauan injeksi sebesar 40 bbl/ft dapat menjangkau sejauh near-wellbore
stimulation dan didapatkan nilai prediksi skin sebesar 0, -1, -2.
4. Dari nilai prediksi skin, didapatkan nilai permeabilitas (k), untuk skin 0
didapatkan permeabilitas 3,4 mD, skin -1 didapatkan permeabilitas 25 mD,
skin -2 didapatkan permeabilitas 185 mD.
5. Dari perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan metode Pudjo
Sukarno didapatkan perbandingan prediksi nilai productivity index (PI), yaitu
skin 0 didapatkan PI sebesar 0,77; skin -1 didapatkan PI sebesar 0,9; dan skin
-2 didapatkan PI sebesar 0,911.
6. Dari perhitungan, didapatkan nilai flow efficiency (FE) untuk skin 0 nilai FE
1, skin -1 nilai FE 1,474, skin -2 nilai FE 1,95 yang menandakan ada
perbaikan (stimulasi) dalam lubang sumur.
DAFTAR PUSTAKA

“Design of Service Matrix Acid Stimulation Treatment”, PT Halliburton


Indonesia, 2013.
Abdassa, Doddy, “Transient Well Tests”, PT. EOR Teknologi, Jakarta, 2005.
Allen, T.O., Robert, A.P., “Production Operation : Well Completion, Work Over
and Stimulation”, Second Edition, Volume 2, Oil and Gas Consultant
International Inc., Tulsa, Oklahoma, 1979.
Amyx, J.W., Bass D.M, Whiting, R. L; “Petroleum Reservoir Engineering:
Physical Properties “, McGraw-Hill Book Company, New York, 1960.
Bambang T, Ir. MSc., “Stimulation Acidizing and Hydraulic Fracturing”,
Seminar IATMI, Yogyakarta, 2005.
Brown, K. E., “The Technology of Artificial Lift Methods, Volume 1”, Petroleum
Publishing Co., Tulsa, Oklahoma, 1984.
Chan, K.S., “Water Control Diagnostic Plots”, SPE Annual Technical
Conference & Exhibition, Dallas, United States of America, 1995.
Economides, M. J., et.al, “Petroleum Production Systems”, Prentice Hall
Petroleum Engineering Series, Englewood Cliffs, New Jersey, 1994.
Production File., “Final Well Report Sumur MT-11”, JOB Pertamina-Medco
Tomori Sulawesi, 2013.
William, B. B., Gidleyy, J. L., Schechter, R. S., “Acidizing Fundamentals”, SPE
of AIME Inc., Dallas, 1979.

99

You might also like