You are on page 1of 13

PENYELESAIAN KONFLIK LAHAN DIKOTA JAMBI AKIBAT

KETIDAKJELASAN PENETAPAN KAWASAN HUTAN


OLEH :
ANDI SITTI WAHIDAH
NIM : P3600214027
 DASAR HUKUM
 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
 Alinea IV
 “ Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial”.
 DASAR HUKUM
 UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3)
 “Memberikan mandat kepada Negara agar pemanfaatan Bumi
(tanah), air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
sebesar-besarnya digunakan untuk menciptakan kemakmuran
bagi rakyat Indonesia.
 DASAR HUKUM
 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1991 Tentang Kehutanan
 Pasal 3
 “ Penyelenggaraan Kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan”
 Pasal 1 Angka 6
 “ Hutan adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat
 Pasal 4 Ayat 3
 Pasal 4 ayat (3)
 “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hutan adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya serta tidak bertentangan kepentingan
nasional.
 KONFLIK LAHAN.
DI JAMBI terdapat beberapa konflik mengenai
lahan yaitu :
1. Warga suku Anak Dalam Jambi menginap di Komnas
HAM di Jakarta menuntut hak- hak mereka yang
terampas perusahaan, mereka menuntut BPN
mencabut HGU PT.Asiatic Persada yang telah
menguasai lahan mereka pada akhir tahun 2014.
2. Konflik di Senyawang Jambi berupa Klaim Masyarakat
atas hak tanah adat pada konsensi Hutan Tanaman
Industri (HTI) PT.Wira Karya Sakti (WKS) , Sinarmas
Forestry (SMF), yang menanam akasia dan mulai
memasuki daur ketiga saat konflik memanas.
 Center for Internasional Forestry Research (CIFOR)
menyatakan negara Indonesia perlu memiliki resolusi
konflik dalam mengatasi lahan antara masyarakat lokal
(adat) dan Perusahaan. (Safrin Salam, 2019)Karena
dengan pengembangan bisnis yang memanfaatkan
lahan luas berpotensi besar bersinggungan bahkan
merampas wilayah kelola warga.(S. Salam et al., 2019)
 Menurut Firard : Hutan tanaman Industri bakal
berkembang memenuhi tuntutan akan serat pangan dan
energi di masa depan, dalam data FAO bahwa perluasan
hutan tanaman terjadi besar-besaran yaitu mencapai 5 juta
hektar per tahun.(Safrin Salam, S.H., M.H.,, Nurwita
Ismail, SH., MH.,, Faharudin, SH., MH,, Nuragifah,
S.H., M.H.,, Erni Dwita Silambi, S.H., M., H, Shinta
Nurhidayati Salam, S.H., M.H.,, Rosnida, S.H., M.H.,,
Sulaiman, S.H., M.H., 2019)
 Hal tersebut terjadi tumpang tindih klaim kepemilikan lahan
dengan masyarakat lokal/adat, hingga berpeluang konflik dengan
perusahaan hutan tanaman industri sampai berujung kriminalisasi.
 Data kementrian lingkungan hidup dan kehutanan hingga 2014
menunjukkan terdapat 10 juta hektar izin pemanfaatan HTI, dari
analisis lahan yang dimanfaatkan baru 5,7 juta hektar. Salah satu
penyebab pemanfaatan minim karena banyak tumpang tindih klaim
kepemilikan lahan dengan masyarakat, yang tinggal disekitar dan
dalam kawasan hutan.
 Optimalisasi pemanfaatan 10 juta hektar ini diperkirakan bisa meningkatkan eskalasi
konflik berpotensi akan muncul : kekerasan, ketidak adilan, kerugian ekonomi,
keterbatasan pembangunan pada tingkat lokal dan merosot kredibilitas negara dalam
keadilan dan kapasitas penegakan hukum.

 CARA PENYELESAIAN KONFLIK.


 Konflik yang terjadi di derah Jambi tersebut diselesaikan dengan Resolusi Konflik.
Dengan Resolusi Konflik bisa mencegah atau menekan konflik yang terjadi yaitu dengan
cara Mediasi. Mediasi adalah salah satu resolusi konflik digunakan diberbagai negara
termasuk Indonesia menangani konflik pertanahan dengan jalan Mediasi, walaupun
dalam penerapannya belum terlalu menunjukkan hasil yang memuaskan.
 Dengan resolusi konflik tidak hanya menghentikan kekerasan namun solusi jangka
panjang sebagai upaya mengubah paradigma hubungan sosial hingga muncul
keharmonisan dan saling percaya bagi para pihak.
 Untuk mencegah konflik harus ada inisiatif pemerintah daerah
memberikan masukan atau terobosan kebijakan yang tidak merusak
hutan, juga tidak memberikan izin perusahaan mengelola kawasan
dihutan.
 Resolusi dengan cara mediasi akan menyelesaiakan konflik diluar
pengadilan dengan menggunakan musyawarah mufakat duduk sila
berdiskusi dengan kepala dingin tanpa kekerasan
 Pemerintah jambi juga mengeluarkan SK Gubenur sebagai dasar hukum
pembentukan tim terpadu penyelesian konflik

 HAL-HALYANG MENYEBABKANTERJADINYA KONFLIK TANAH


 Menurut kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang
menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertipikat tanah yang tidak jelas, akibatnya
adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki
sertipikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidak seimbangan
dalam Distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian
maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara
ekonomi, politis maupun sosiologi . Dalam hal ini masyarakat bawah
khususnya Petani/penggarap tanah memikukl beban yang paling berat.
Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi
yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan
tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil
alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada
bukti formal (sertipikat), tanpa memperhatikan produktivitas
tanah. Akibatnya secara Legal (de jure) Boleh jadi banyak tanah
bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar,
karena mereka telah membelinya dari para petani pemilik tanah,
tetapi tanah tersebut lama diterlantarkan begitu saja . Mungkin
sebagian orang mengaggap remeh dengan memandang sebelah
mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini adalah
persoalan yang harus segera dicarikan solusinya . Kenapa
demikian ? Karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya
konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus
dipertaruhkan.
 KESIMPULAN
 Faktor utama terjadinya konflik lahan adat masyarakat
setempat adanya pemberian ijin bagi perusahaan pengelola
hutan dan tumpang tindih peraturan serta ketidak jelasan
penetapan kawasan hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Safrin Salam, S.H., M.H.,, Nurwita Ismail, SH., MH.,, Faharudin, SH., MH,, Nuragifah, S.H., M.H.,, Erni Dwita Silambi,
S.H., M., H, Shinta Nurhidayati Salam, S.H., M.H.,, Rosnida, S.H., M.H.,, Sulaiman, S.H., M.H., C. P. C. L. E. (2019).
Perkembangan Filsafat Hukum Kontemporer. In Zifatama Jawara (Vol. 1). Retrieved from
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=Rf7_DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=safrin+salam&ots=dyJnLMI
Dop&sig=AE8OshGsfZZZ12UxAZEOgzkFvVM&redir_esc=y#v=onepage&q=safrin salam&f=false
Salam, S., Parawansa, S. S. R., Mursanto, D., Karim, L. M., Ernawati, L., Gurusi, … Raf, N. (2019). Corporate legal
responsibility against environmental damage. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 343(1).
https://doi.org/10.1088/1755-1315/343/1/012137
Salam, Safrin. (2019). Land Registry: Communal Rights Certificate and the Problem in Indonesia. In J. S. Robbi Rahim, Ansari
Saleh Ahmar, Rahmat Hidayat (Ed.), WESTECH 2018: Proceedings of 1st Workshop on Environmental Science, Society and
Technology (pp. 462–483). https://doi.org/10.4108/eai.8-12-2018.2283977

You might also like