You are on page 1of 27

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

LATIHAN NAFAS DALAM

Disusun Oleh
Nama : Jean Dorkas Rahadat
NIM : P07120218066

CI INSTITUSI CI LAHAN

(...........................................) (................................................)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALUKU
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN TUAL
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ansietas merupakan perasaan takut yang tidak jelas disertai perasaan


ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan. Seseorang merasa
bahwa dirinya sedang terancam (Stuart, 2016). Kecemasan merupakan suatu hal yang
biasa terjadi pada pasien yang akan menjalani pembedahan maupun anestesi.
Kecemasan yang terjadi pada pasien pre operasi yang akan menjalani anestesi dapat
dirasakan sejak pasien dijadwalkan untuk menjalani operasi hingga waktu operasi tiba
(Pefbrianti dkk, 2018).

Pasien di rumah sakit seringkali merasa cemas dikarenakan gejala-gejala penyakit


yang dirasakan pasien dan prosedur medis yang harus dijalani terkadang sangat rumit
sehingga membuat pasien merasa khawatir. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat kecemasan pasien, antara lain: usia pasien, pengalaman pasien, konsep diri
dan peran, kondisi medis, tingkat pendidikan, akses informasi, proses adaptasi, tingkat
sosial ekonomi, dan jenis tindakan (Stuart, 2012). Kecemasan dapat menimbulkan
adanya perubahan secara fisik maupun psikologis yang akhirnya mengaktifkan saraf
otonom simpatis sehingga meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dan akhirnya
dapat merugikan pasien itu sendiri karena akan berdampak pada pelaksanaan operasi
(Muttaqin, 2009).

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit atau gangguan


metabolik dengan karakteristik hipeglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi urin
insulin atau kedua-duanya, dimana gejala umum dari Diabetes Melitus adalah
poliuria, polifagia, polydipsia (ADA, 2017). Permasalahan penyakit DM baik di dunia
maupun di Indonesia dari tahun ketahun mengalami peningkatan, yang tergantung
dengan pengobatan dan pemberian insulin. Selain itu tindakan yang dilakukan adalah
mengatasi komplikasi lanjut dari penyakit DM tersebut (PERKENI, 2015)

Data Internasional of Diabetik Federation (IDF), bahwa kasus DM di dunia


mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Dimana tahun 2013 ada
sebanyak 382 juta kasus, tahun 2016 naik menjadi 415 juta kasus, tahun 2018 naik
menjadi 425 juta kasus, dan tahun 2019 naik menjadi 463 juta kasus. Sementara data
IDF, tahun 2019 menunjukan bahwa dari 10 negara dengan jumlah penderita DM
tertinggi Indonesia menduduki posisi ke 7 setelah Negara Cina, India, dan Amerika
Serikat dengan jumlah kasus terbanyak 10,7 juta. Provinsi Maluku berdasarkan hasil
RISKESDAS tahun 2018 menunjukan angka prevalensi DM adalah 1,1%.

Data Kementerian Kesehatan RI (2019), prevalensi DM untuk umur 55-64 tahun


di tahun 2013 ada sebanyak 4,8 juta, terjadi peningkatan pada tahun 2018 dengan
jumlah 6,3 juta. Untuk umur 65-74 tahun, di tahun 2013 ada sebanyak 4,2 juta, dan
terjadi peningkatan pada tahun 2018 dengan jumlah 6,0 juta, untuk umur 75 tahun,
tahun 2013 ada sebanyak 2,8 juta, tahun 2018 terjadi peningkatan kasus dengan
jumlah 3,3 juta. Peningkatan kasus ini dipengaruhi oleh faktor antara lain: sering lupa,
obat tidak tersedia difasilitas layanan kesehatan, minum obat tradisional, tidak tahan
efek samping obat, tidak rutin berobat, merasa sudah sehat.

Dampak yang sering di temukan pada penderita penyakit DM yaitu, kerusakan


saraf (Neuropati). Akibatnya adalah saraf tidak bisa mengirim atau mengahantar
pesan-pesan rangsangan implus saraf, salah kirim atau terlambat kirim, sehingga
keluhan yang sering timbul bisa bervariasi, mungkin nyeri pada tangan dan kaki atau
gangguan pencernaan, bermasalah dengan kontrol buang air besar atau kencing, dan
sebagainya. Pencegahan atau perawatan mandiri yang dilakukan pada pasien selama
berada di rumah adalah, atur pola makan, dan latihan fisik.

Hasil penelitian oleh Suciati (2014) menunjukkan bahwa dari 28 responden


sebagian besar (64,3%) mengalami kecemasan sedang. Dalam penelitian Wei et all
(2014) menemukan bahwa hampir 15 % pasien dengan Diabetes Mellitus memiliki
komplikasi sindrom kecemasan, dan juga menunjukkan adanya korelasi Diabetes
Mellitus terhadap kecemasan. Penelitian lainnya yang dilakukan Yanes et all (2014)
didapatkan hasil bahwa tingkat kecemasan pada pasien DM adalah kecemasan ringan
sebanyak 12,5% dan tingkat kecemasan sedang dan berat masing-masing 43,8%
Kecemasan merupakan kondisi dimanan emosi yang menimbulkan rasa tidak nyaman
pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar - samar disertai dengan
perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu hal yang
belum jelas (Stuart & Laraia, 2009).
Gejala 3 fisiologis diantaranya adalah : jari tangan dingin,denyut jantung semakin
cepat, berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak nyenyak,
dada sesak nafas. Gejala yang bersifat mental adalah : ketakutan merasa akan ditimpa
bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, hati tidak tentram, ingin lari dari
kenyataan (Kusumawati, 2010)

Data diatas menggambarkan bahwa masih banyaknya masalah ansietas yang


terdapat dimasyarakat pada pasien Diabetes Mellitus, untuk menangani masalah
tersebut di perlukan peran tenaga kesehatan khususnya perawat kesehatan jiwa.
(Keliat, 2013). Menurut NIC (2013) penanganan ansietas dengan menginstruksikan
klien menggunakan teknik mengontrol kecemasan seperti teknik relaksasi nafas
dalam, relaksasi benson, teknik distraksi, teknik hipnotis lima jari dan teknik
pendekatan spiritual.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada keluarga dengan


Diabetes Melitus?

C. Tujuan

Menggambarkan asuhan keperawatan pada klien dan keluarga dengan Diabetes


Melitus
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Diabetes Melitus (DM)

a. Pengertian

Diabetes mellitus (DM) adalah keadaan hiperglikemik kronik disertai berbagai


kelainan metabolik akibat gangguan hormonal. Kadar glukosa dalam darah kita
biasanya berfluktuasi, artinya naik turun sepanjang hari dan setiap saat, tergantung
pada makanan yang masuk dan aktivitas fisik seseorang (Mistra, 2005). DM
merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang di tandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah (Hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya (Smeltzer & Bare, 2015).

b. Etiologi

1. Diabetes Melitus Tipe I


 Faktor –Faktor Genetik

Umumnya penderita DM tidak mewarisi type 1 namun mewarisi sebuah


predisposisi atau sebuah kencendrungan genetik kearah terjadinya DM type
1. Kecendrungan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki type
antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA ialah kumpulan gen
yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi & proses imunnya
(Smeltzel dan Bare, 2015)

 Faktor-faktor Imunnologi

Pada DM type 1 terdapat fakta adanya sebuah respon autoimun ini adalah
respon abnormal tubuh secara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggap sebagai jaringan asing

 Lingkungan

Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan
destruksi sel beta
2. Diabetes Melitus Tipe 2

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan


sekresi insulin pada DM tipe 2 masih belum diketahui. Faktor genetik
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.

Faktor-faktor resiko :

 Usia (Resistensi Insulin cenderung meningkat pada usia diatas 40-65 thn).

 Obesitas

 Riwayat keluarga.

c. Klasifikasi Diabetes Melitus (DM)

1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM tipe 2 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus) dapat terjadi


karena adanya kerusakan sel beta, biasanya menyebabkan kekurangan insulin
absolut yang disebabkan oleh proses autoimun atau idiopatik. Umumnya
penyakit ini berkembang kearah ketoasidosis diabetik yang menyebabkan
kematian. DM tipe 1 terjadi sebanyak 5-10% dari semua DM dan dicirikan
dengan onset yang akut.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

DM tipe 2 atau NIDDM (Non-Insulin Dependent Diabetes Melitus) dapat terjadi


karena kerusakan progresif sekretorit insulin akibat resistensi insulin. DM tipe 2
juga merupakan salah satu gangguan metabolik dengan kondisi insulin yang di
produksi oleh tubuh tidak cukup jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di
jaringan tidak berespon terhadap insulin tersebut.

3. Diabetes Melitus Tipe Tertentu

DM tipe tertentu ini dapat terjadi karena penyebab lain, misalnya defek genetik
pada fungsi sel-beta, defek pada kerja insulin, penyakit eksokrin pancreas
(seperti fibrosis kristik dan pankreatitis), penyakit metabolik endokrin, infeksi,
sindrom genetik lain dan HIV/AIDS atau setelah transpaltasi organ.

4. Diabetes Melitus Gestasional


Merupakan DM yang didiagnosis selama masa kehamilan, dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan. Terjadi pada 2-5% semua
wanita hamil tetapi hilang saat melahirkan.

d. Faktor-Faktor Predisposisi

1. Keturunan

2. Ras Atau Etnis

3. Obesitas

4. Metabolic Syndrome

5. Kurang Gerak Badan

6. Penyakit Lain

7. Usia

8. Riwayat Diabetes Pada Kehamilan

DM dapat melahirkan bayi besar dengan berat badan lebih dari 4 kg.

9. Infeksi

10. Stress

11. Obat-obatan

e. Patofisiologi

Menurut Tambayong (2000), bahwa DM terjadi karena proses penuaan, gaya


hidup, infeksi, keturunan, obesitas dan kehamilan akan menyebabkan kekurangan
insulin atau tidak efektifnya insulin sehingga sehinga terjadi gangguan
permeabilitas glukosa di dalam sel. Di samping itu juga dapat disebabkan oleh
karena keadaan akut kelebihan hormone tiroid, prolaktin dan hormon pertumbuhan
dapat menyebabkan peningkatan glukosa darah. Peningkatan kadar hormon–
hormon tersebut dalam jangka panjang terutama hormon pertumbuhan dianggap
diabetogenik (menimbulkan diabetes).

Hormon–hormon tersebut merangsang pengeluaran insulin secara berlebihan oleh


sel-sel beta pulau lengerhans paankreas, sehingga akhirnya terjadi penurunan
respon sel terhadap insulin dan apabila hati mengalami gangguan dalam mengolah
glukosa menjadi glikogen atau proses glikogenesis maka kadar gula dalam darah
akan meningkat. Dan apabila ambang ginjal dilalui timbullah glukosuria yang
menyebabkan peningkatan volume urin, rasa haus tersimulasi dan pasien akan
minum air dalam jumlah yang banyak (polidipsi) karena glukosa hilang bersama
urin, maka terjadi kehilangan kalori dan starvasi seluler, selera makan dan orang
menjadi sering makan (polifagi).

f. Gejala Dan Keluhan Diabtes Melitus

1. Banyak Kencing

2. Rasa Haus

3. Berat Badan Turun

4. Rasa Flu Dan Lemah

5. Mata kabur

6. Luka yang sukar sembuh

7. Rasa baal dan kesemutan

8. Gusi merah dan bengkak

9. Kulit kering dan gatal

10. Mudah kena infeksi

11. Gatal pada kemaluan

g. Komplikasi Diabetes Melitus

1. Kerusakan saraf (Neuropati)

2. Kerusakan ginjal (Nefropati)

3. Kerusakan mata

4. Penyakit jantung

5. Hipertensi

6. Stroke
7. Impotensi

h. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

1. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diarahkan untuk mencapai tujuan berikut


ini:

 Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral)

 Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai

 Memenuhi kebutuhan energi

 Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan


mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara
yang aman dan praktis

 Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat

2. Latihan Senam Kaki Diabetik

3. Pemantauan Glukosa Dan Keton

4. Terapi Insulin

5. Pendidikan

B. KONSEP ANSIETAS

1. Pengertian Ansietas

Ansietas adalah suatu perasaan takut yang berasal dari eksternal atau internal
sehingga tubuh memiliki respons secara perilaku, emosional, kognitif, dan fisik
(Videbeck, 2011). Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang
samar disertai respon otonom (sumber tidak diketahui oleh individu) sehingga
individu akan meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi (NANDA, 2015).
Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan
perasaan tidak berdaya dan respons emosional terhadap penilaian sesuatu. Gangguan
ansietas adalah masalah psikiatri yang paling sering terjadi di Amerika Serikat
(Stuart, 2013).
Gangguan ansietas dapat membuat individu mengalami gangguan pikiran atau
konsentrasi. Mereka menjauhi situasi yang dapat membuat individu tersebut
khawatir (American Psychological Assosiation, 2017). Menurut Videbeck (2011)
individu yang mempunyai gangguan kecemasan menunjukkan perilaku yang tidak
biasanya seperti panik tanpa alasan, takut pada objek tanpa alasan, tindakan tanpa
bisa dikontrol sering 12 terulang, atau kekhawatiran luar biasa yang tidak bisa
dijelaskan.Ansietas juga berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka, kehidupan
sosial, dan pekerjaan mereka.

2. Penyebab Ansietas

Menurut Stuart (2013) terdapat tiga faktor penyebab terjadinya ansietas, yaitu :

a) Faktor biologis/ fisiologis, berupa ancaman yang mengancam akan kebutuhan


sehari-hari seperti kekurangan makanan, minuman, perlindungan dan keamanan.
Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine, obat-obatan yang
meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gamaaminobutirat (GABA), yang
berperan penting dalam mekanisme terjadinya ansietas. Selain itu riwayat
keluarga mengalami ansietas memiliki efek sebagai faktor predisposisi ansietas.

b) Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan benda/ orang
berharga, dan perubahan status sosial/ ekonomi.

c) Faktor perkembangan, ancaman yang menghadapi sesuai usia perkembangan,


yaitu masa bayi, masa remaja dan masa dewasa. 13 Selain tiga hal di atas, Jiwo
(2012) menambahkan bahwa individu yang menderita penyakit kronik seperti
diabetes melitus, kanker, penyakit jantung dapat menyebabkan terjadinya
ansietas. Penyakit kronik dapat menimbulkan kekhawatiran akan masa depan,
selain itu biaya pengobatan dan perawatan yang dilakukan juga akan menambah
beban pikiran.

3. Respons terhadap

Ansietas Menurut Stuart (2013) ada 4 respons tubuh terkait ansietas yaitu respons
fisiologis, respons perilaku, respons afektif, dan respons kognitif.

4. Patofisiologi
Ansietas Sistem syaraf pusat menerima suatu persepsi ancaman. Persepsi ini timbul
akibat adanya rangsangan dari luar dan dalam yang berupa pengalaman masa lalu
dan faktor genetik. Kemudian rangsangan dipersepsi oleh panca indra, diteruskan
dan direspon oleh sistem syaraf pusat melibatkan jalur cortex cerebri – limbic
system – reticular activating system – hypothalamus yang memberikan impuls
kepada kelenjar hipofise untuk mensekresi mediator hormonal terhadap target organ
yaitu kelenjar adrenal yang kemudian memicu syaraf otonom melalui mediator
hormonal yang lain (Owen, 2016).

5. Tingkat Ansietas

Menurut Halter (2014) ada 4 klasifikasi tingkat ansietas yaitu ansietas ringan,
ansietas sedang, ansietas berat, dan panik.

a) Ansietas Ringan Penyebab dari ansietas ringan biasanya karena pengalaman


kehidupan sehari-hari dan memungkinkan individu menjadi lebih fokus pada
realitas. Individu akan mengalami ketidaknyamanan, mudah marah, gelisah,
atau adanya kebiasaan untuk mengurangi ketegangan (seperti menggigit kuku,
menekan jari-jari kaki atau tangan). Menurut Asmadi 16 (2008) respons
fisiologis yang terjadi pada ansietas ringan yaitu nadi dan tekanan darah sedikit
meningkat, adanya gangguan pada lambung, muka berkerut, dan bibir
bergetar.Respons kognitif dan afektif yang terjadi yaitu gangguan konsentrasi,
tidak dapat duduk tenang, dan suara kadang-kadang meninggi.

b) Ansietas Sedang Pada ansietas sedang, lapang pandang individu menyemit.


Selain itu individu mengalami penurunan pendengaran, penglihatan, kurang
menangkap informasi dan menunjukkan kurangnya perhatian pada lingkungan.
Terhambatnya kemampuan untuk berpikir jernih, tapi masih ada kemampuan
untuk belajar dan memecahkan masalah meskipun tidak optimal. Respons
fisiologis yang dialami yaitu jantung berdebar, meningkatnya nadi dan
respiratory rate, keringat dingin, dan gejala somatik ringan (seperti gangguan
lambung, sakit kepala, sering berkemih). Terdengar suara sedikit bergetar.
Ansietas ringan atau ansietas sedang dapat menjadi sesuatu yang membangun
karena kecemasan yang terjadi merupakan sinyal bahwa individu tersebut
membutuhkan perhatian atau kehidupan individu tersebut dalam keadan bahaya.
17
c) Ansietas Berat Semakin tinggi level ansietas, maka lapang pandang seseorang
akan semakin menurun atau menyempit. Seseorang yang mengalami ansietas
berat hanya mampu fokus pada satu hal dan mengalami kesulitan untuk
memahami apa yang terjadi. Pada level ini individu tidak memungkinkan untuk
belajar dan memecahkan masalah, bahkan bisa jadi individu tersebut linglung
dan bingung. Gejala somatik meningkat, gemetar, mengalami hiperventilasi, dan
mengalami ketakutan yang besar.

d) Panik Individu yang mengalami panik sulit untuk memahami kejadian di


lingkungan sekitar dan kehilangan rangsangan pada kenyataan. Kebiasaan yang
muncul yaitu mondarmandir, mengamuk, teriak, atau adanya penarikan dari
lingkungan sekitar. Adanya halusinasi dan persepsi sensorik yang palsu (melihat
seseorang atau objek yang tidak nyata). Tidak terkoordinasinya fisiologis dan
adanya gerakan impulsif. Pada tahap panik ini individu dapat mengalami
kelelahan. 18 Menurut Maramis (2003) gangguan panik ditandai dengan
serangan ansietas sekitar 15-30 menit per episode. Selama serangan panik,
individu merasa sangat ketakutan disertai jantung berdebar, nyeri dada, perasaan
tercekik, berkeringat, gemetar, mual, pusing, perasaan yang tidak real, dan takut
mati. Serangan panik dapat terjadi secara spontan. Frekuensinya bervariasi tiap
individu

6. Rentang Respon Ansietas

Ansietas memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek membahayakan,
yang bergantung pada tingkat ansietas, lama ansietas yang dialami, dan seberapa
baik individu melakukan koping terhadap ansietas.

Menurut Peplau (dalam, Videbeck, 2008) ada empat tingkat kecemasan yang
dialami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik.

1. Ansietas ringan adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan
membutuhkan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan membantu
individu memfokuskan perhatian untuk belajar, menyelesaikan masalah,
berpikir, bertindak, merasakan, dan melindungi diri sendiri.

Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas ringan adalah sebagai berikut :

a. Respons fisik
 Ketegangan otot ringan

 Sadar akan lingkungan

 Rileks atau sedikit gelisah

 Penuh perhatian

 Rajin

b. Respon kognitif

 Lapang persepsi luas

 Terlihat tenang, percaya diri

 Perasaan gagal sedikit

 Waspada dan memperhatikan banyak hal

 Mempertimbangkan informasi

 Tingkat pembelajaran optimal

c. Respons emosional

 Perilaku otomatis

 Sedikit tidak sadar

 Aktivitas menyendiri

 Terstimulasi

 Tenang

2. Ansietas sedang merupakan perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu yang
benar-benar berbeda; individu menjadi gugup atau agitasi.

Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas sedang adalah sebagai berikut:

a. Respon fisik :

 Ketegangan otot sedang

 Tanda-tanda vital meningkat


 Pupil dilatasi, mulai berkeringat

 Sering mondar-mandir, memukul tangan

 Suara berubah : bergetar, nada suara tinggi

 Kewaspadaan dan ketegangan menigkat

 Sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung

b. Respons kognitif

 Lapang persepsi menurun

 Tidak perhatian secara selektif

 Fokus terhadap stimulus meningkat

 Rentang perhatian menurun

 Penyelesaian masalah menurun

 Pembelajaran terjadi dengan memfokuskan

c. Respons emosional

 Tidak nyaman

 Mudah tersinggung

 Kepercayaan diri goyah

 Tidak sabar

 Gembira

C. Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Diabetes Melitus (DM)

Asuhan keperawatan keluarga merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam praktek


keperawatan yang diberikan pada klien sebagai anggota keluarga pada tatanan komunitas
dengan menggunakan proses keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan dalam
lingkup wewenang serta tanggung jawab keperawatan (WHO, 2014).

Asuhan keperawatan keluarga adalah suatu rangkaian yang diberikan melalui praktik
keperawatan dengan sasaran keluarga. Asuhan ini bertujuan untuk menyelesaikan
masalah kesehatan yang dialami keluarga dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan, yaitu sebagai berikut (Heniwati, 2008) :

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah awal pelaksanaan asuhan keperawatan, agar diperoleh


data pengkajian yang akurat dan sesuai dengan keadaan keluarga. Sumber informasi
dari tahapan pengkaajian dapat menggunakan metode wawancara keluarga, observasi
fasilitas rumah, pemeriksaan fisik pada anggota keluarga dan data sekunder.

Hal-hal yang perlu dikaji dalam keluarga adalah :

a. Data Umum

Pengkajian terhadap data umum keluarga meliputi :

1. Nama kepala keluarga

2. Alamat dan telepon

3. Pekerjaan kepala keluarga

4. Pendidikan kepala keluarga

5. Komposisi keluarga dan genogram

6. Tipe keluarga

7. Suku bangsa

8. Agama

9. Status sosial ekonomi keluarga

10. Aktifitas rekreasi keluarga

b. Riwayat dan tahap perkembangan keluarga meliputi :

1. Tahap perkembangan keluarga saat ini ditentukan dengan anak tertua dari
keluarga inti.
2. Tahap keluarga yang belum terpenuhi yaitu menjelaskan mengenai tugas
perkembangan yang belum terpenuhi oleh keluarga serta kendala mengapa
tugas perkembangan tersebut belum terpenuhi.

3. Riwayat keluarga inti yaitu menjelaskan mengenai riwayat kesehatan pada


keluarga inti yang meliputi riwayat penyakit keturunan, riwayat kesehatan
masing-masing anggota keluarga, perhatian terhadap pencegahan penyakit,
sumber pelayanan kesehatan yang biasa digunakan keluarga serta pengalaman-
pengalaman terhadap pelayanan kesehatan.

4. Riwayat keluarga sebelumnya yaitu dijelaskan mengenai riwayat kesehatan


pada keluarga dari pihak suami dan istri.

c. Pengkajian Lingkungan

1. Karakteristik rumah

2. Karakteristik tetangga dan komunitas RW

3. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat

4. Sistem pendukung keluarga

d. Struktur keluarga

1. Pola komunikasi keluarga yaitu menjelaskan mengenai cara berkomunikasi


antar anggota keluarga.

2. Struktur kekuatan keluarga yaitu kemampuan anggota keluarga mengendalikan


dan mempengaruhi orang lain untuk merubah perilaku.

3. Struktur peran yaitu menjelaskan peran dari masing-masing anggota keluarga


baik secara formal maupun informal.

4. Nilai atau norma keluarga yaitu menjelaskan mengenai nilai dan norma yang
dianut oleh keluarga yang berhubungan dengaan kesehatan.

e. Fungsi keluarga

a. Fungsi afèktif, yaitu perlu dikaji gambaran diri anggota keluarga, perasaan
memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota
keluarga lain, bagaimana kehangatan tercipta pada anggota keluarga dan
bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling menghargai.

b. Fungsi sosialisai, yaitu perlu mengkaji bagaimana berinteraksi atau hubungan


dalam keluarga, sejauh mana anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya
dan perilaku.

c. Fungsi perawatan kesehatan, yaitu meenjelaskan sejauh mana keluarga


menyediakan makanan, pakaian, perlu dukungan serta merawat anggota
keluarga yang sakit. Sejauh mana pengetahuan keluarga mengenal sehat sakit.
Kesanggupan keluarga dalam melaksanakan perawatan kesehatan dapat dilihat
dari kemampuan keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatan keluarga,
yaitu mampu mengenal masalah kesehatan, mengambil keputusan untuk
melakukan tindakan, melakukan perawatan kesehatan pada anggota keluarga
yang sakit, menciptakan lingkungan yang dapat meningkatan kesehatan dan
keluarga mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan yang terdapat di
lingkungan setempat.

d. Pemenuhan tugas keluarga. Hal yang perlu dikaji adalah sejauh mana
kemampuan keluarga dalam mengenal, mengambil keputusan dalam tindakan,
merawat anggota keluarga yang sakit, menciptakan lingkungan yang
mendukung kesehatan dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang
ada.

f. Stres dan koping keluarga

1. Stressor jaangka pendek dan panjang

 Stressor jangka pendek yaitu stressor yang dialami keluarga yang


memerlukan penyelesaian dalam waktu kurang dari 5 bulan.

 Stressorr jangka panjang yaitu stressor yang dialami keluarga yang


memerlukan penyelesaian dalam waktu lebih dari 6 bulan.

2. Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi/ stressor

3. Strategi koping yang digunakan keluarga bila menghadapi permasalahan.

4. Strategi adaptasi fungsional yang divunakan bila menghadapi permasalah


5. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan terhadap semua anggotaa keluarga. Metode yang


digunakan pada pemeriksaan fisik tidak berbeda dengan pemeriksaan fisik di
klinik. Harapan keluarga yang dilakukan pada akhir pengkajian, menanyakan
harapan keluarga terhadap petugas kesehatan yang ada.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakstabilan kadar glukosa darah (D.O27)

b. Gangguan pola tidur (D.055)

c. Intoleransi aktifitas (D.056)

d. Defisit pengetahuan (D.0111)

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat


didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome)
yang diharapkan. Sedangkan tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas
spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi
keperawatan.

Tindakan pada intervensi keperawatan terdiri atas observasi, terapeutik, edukasi


dan kolaborasi (PPNI, 2018) Menurut Nurarif & Kusuma (2015) dan Tim pokja SDKI
PPNI (2017).

No SDKI SLKI SIKI

1. Ketidakstabilan Setelah dilakukan tindakan Manejemen Hiperglikemia


Kadar Glukosa keperawatan 3x24 jam (1.03115)
Darah diharapkan kadar glukosa
Observasi
darah berada pada rentang
normal dengn kriteria  Identifkasi kemungkinan
hasil: penyebab hiperglikemia

 Kesadaran  Identifikasi situasi yang


meningkat (5) menyebabkan kebutuhan
insulin meningkat (mis.
 Mengantuk
penyakit kambuhan)
menurun (5)
 Monitor kadar glukosa
 Pusing menurun
darah, jika perlu
(5)
 Monitor tanda dan gejala
 Lelah/lesu
hiperglikemia (mis.
menurun (5)
poliuri, polidipsia,
 Rasa lapar polivagia, kelemahan,
menurun (5) malaise, pandangan kabur,

 Mulut kering sakit kepala)

menurun (5)  Monitor intake dan output

 Rasa haus menurun cairan

(5)  Monitor keton urine, kadar

 Kadar glukosa analisa gas darah,

dalam urine elektrolit, tekanan darah

membaik (5) ortostatik dan frekuensi


nadi
 Jumlah urine
Terapeutik
membaik(5)
 Berikan asupan cairan oral

 Konsultasi dengan medis


jika tanda dan gejala
hiperglikemia tetap ada
atau memburuk

 Fasilitasi ambulasi jika


ada hipotensi ortostatik
Edukasi

 Anjurkan olahraga saat


kadar glukosa darah lebih
dari 250 mg/dL

 Anjurkan monitor kadar


glukosa darah secara
mandiri

 Anjurkan kepatuhan
terhadap diet dan olahraga

 Ajarkan indikasi dan


pentingnya pengujian
keton urine, jika perlu

 Ajarkan pengelolaan
diabetes (mis. penggunaan
insulin, obat oral, monitor
asupan cairan,
penggantian karbohidrat,
dan bantuan professional
kesehatan)

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
insulin, jika perlu

 Kolaborasi pemberian
cairan IV, jika perlu

 Kolaborasi pemberian
kalium, jika perlu

I27o; Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Tidur (1.5174)


dlljaF keperawatan 3x24 jam
ahjsjdPola Tidur diharapkan pola tidur Observasi:
halop membaik dengan kriteria
 Identifikasi pola aktivitas
jjfuaP hasil:
dan tidur
Wao
 Keluhan sulit tidur
 Identifikasi faktor
meningkat (5)
pengganggu tidur (fisik
 Keluhan sering dan/atau psikologis)
terjaga meningkat
 Identifikasi makanan dan
(5)
minuman yang
 Keluhan tidak puas mengganggu tidur (mis.
tidur meningkat (5) kopi, teh, alkohol,
makanan mendekati
 Keluhan pola tidur
waktu tidur, minum
berubah meningkat
banyak air sebelum tidur)
(5)
 Identifikasi obat tidur
 Keluhan istirahat
yang dikonsumsi
tidak cukup
meningkat (5) Terapeutik:

 Modifikasi lingkungan
(mis. pencahayaan,
kebisingan, suhu, matras,
dan tempat tidur)

 Batasi waktu tidur siang,


jika perlu

 Fasilitasi menghilangkan
stres sebelum tidur

 Tetapkan jadwal tidur


rutin

 Lakukan prosedur untuk


meningkatkan
kenyamanan (mis. pijat,
pengaturan posisi, terapi
akupresur)

 Sesuaikan jadwal
pemberian obat dan/atau
tindakan untuk
menunjang siklus tidur-
terjaga

Edukasi

 Jelaskan pentingnya tidur


cukup selama sakit

 Anjurkan menepati
kebiasaan waktu tidur

 Anjurkan menghindari
makanan/minuman yang
mengganggu tidur

 Anjurkan penggunaan
obat tidur yang tidak
mengandung supresor
terhadap tidur REM

 Ajarkan faktor-faktor
yang berkontribusi
terhadap gangguan pola
tidur (mis. psikologis:
gaya hidup, sering
berubah shift bekerja)

 Ajarkan relaksasi otot


autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya

Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Energi (1.05178)


keperawatan 3x24 jam
Aktivitas diharapkan toleransi Observasi:
aktivitas meningkat
 Identifikasi gangguan
dengan kriteria hasil:
fungsi tubuh yang
 Kemudahan dalam mengakibatkan kelelahan
melakukan
 Monitor pola dan jam
aktivitas sehari-
tidur
hari meningkat (5)
 Monitor kelelahan fisik
 Kekuatan tubuh
dan emosional
bagian atas dan
bawah meningkat Edukasi
(5)  Anjurkan tirah baring

 Keluhan lelah  Anjurkan melakukan


menurun (5) aktivitas secara bertahap

 Dispnea saat Terapeutik:


aktivitas menurun
 Sediakan lingkungan
(5)
nyaman dan rendah
stimulus

 Lakukan latihan rentang


gerak pasif dan/atau aktif

 Berikan aktivitas distraksi


yang menenangkan

 Fasilitasi duduk di sisi


tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan ahli


gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

Defisit Setelah dilakukan tindakan Edukasi Kesehatan (1.12383)


keperawatan 3x24 jam
Pengetahuan Observasi:
diharapkan tingkat
pengetahuan membaik  Identifikasi kesiapan dan

dengan kriteria hasil: kemampuan menerima


informasi
 Perilaku sesuai
anjuran meningkat  Identifikasi faktor-faktor

(5) yang dapat meningkatkan


dan menurunkan motivasi
 Kemampuan
perilaku perilaku hidup
menjelaskan
bersih dan sehat
pengetahuan suatu
topik menurun (5) Terapeutik:

 Pertanyaan tentang  Sediaakan materi dan

masalah yang media pendidikan

dihadapi menurun kesehatan

(5)  Jadwalkan pendidikan

 Persepsi yang kesehatan sesuai

keliru terhadap kesepakatan

masalah menurun  Berikan kesempatan


(5) untuk bertanya

 Menjalani Edukasi
pemeriksaan yang
 Jelaskan faktor risiko yang
tidak tepat
dapat mempengaruhi
menurun (5)
kesehatan
 Perilaku menurun
 Ajarkan perilaku hidup
(5)
bersih dan sehat

 Ajarkan strategi yang


dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat

4. Implementasi

Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana


keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Kodim, 2015).
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses
pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan
kegiatan komunikasi (Dinarti & Muryanti, 2017).

5. Evaluasi

Berdasarkan Kodim (2015) evaluasi adalah tindakan untuk melengkapi proses


keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Evaluasi dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan SOAP (Subyektif, Obyektif, Analisa dan Planning) dan
untuk penetuan pencapaian tujuan pada tahap evaluasi adalah dengan cara
membandikan SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Associaton (ADA), 2013. Diabetes Bacic, Tersedia dalam


Http://www.diabetes.org/diabetes-bacics. Diakses 11 Februari 2021.

Baughman, dkk. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta. EGC. Tersedia dalam https://books.google.co.id/books?id Diakses 20 Maret
2021

Bilous. 2002. Seri kesehatan bimbingan dokter pada diabetes. Jakarta: Dian Rakyat.

Brunner & Suddarth, 2018. Keperawatan medical-bedah Brunner & Sunddarth edisi 12. Alih
bahasa oleh Devi Yulianti & Amelia Kimin. Jakarta: EGC.

Damayanti, S. 2015. Diabetes Mellitus & penatalaksanaan keperawatan Diabetes


bacic.Tersedia dalam http://www.diabetes.org/diabetes-bacic. Diakses 20 Maret 2021

Kementerian Kesehatan RI 2019. Pusat Data dan Informasi 2019. Jl. HR Rusana Said Blok
X5 Kav. 4-9. Jakarta Selatan. Tersedia dalam https://pusdation.kemenkes.go.id. Diakses
20 Maret 2021

Menurut Tim,Pokja PPNI DPP SDKI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi
1:Jakarta : DPP PPNI

Menurut Tim, Pokja PPNI DPP SDKI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi 1:Jakarta : DPP PPNI

Menurut Tim,Pokja PPNI DPP SDKI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi
1:Jakarta : DPP PPNI

Mistra. 2005. 3 Jurus Melawan Diabetes Mellitus, Jakarta: Puspa Swara

PERKENI, (2015). Konsensus Pengelolaan dan pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. Jakarta: PERKENI.

Smeltzer, S.C dan B,G Bare. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & dan
Suddarth, Jakarta:EGC

Tambayong. 2000. Patofisiologi, Edisi Kedua. Jakarta: EGC.


Tandra. 2008. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. Yogyakarta: Nuha Medika.

You might also like