You are on page 1of 19

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

BAB I PENDAHULUAN
Diare yang disebabkan oleh infeksi usus merupakan isu global dan menjadi penyebab utama morbiditas di seluruh dunia. Di negara-negara berkembang, diare infeksi sering menonaktifkan, dan telah diperkirakan bahwa 2-4 juta episode diare infeksi terjadi setiap tahun di negara-negara berkemban; dengan morbiditas dan tingkat kasus kematian tertinggi pada anakanak di bawah usia 5 tahun. Sebuah studi epidemiologi terbaru dari Komisi Nasional untuk Penyakit Pencernaan (National Commission for Digestive Diseases) melaporkan bahwa tingkat rawat inap dari infeksi pencernaan yang disesuaikan menurut umur meningkat sebesar 92,8% antara tahun 1979 (76,1 per 100.000) dan 2004 (146,7 per 100.000). Meskipun terjadi percepatan penelitian bakteriologi melalui pengkodean seluruh genom bakteri serta adanya peningkatkan pemahaman tentang patogenesis penyakit infeksi, kolitis infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh dunia. Kolitis infeksi dapat disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, dan parasit patogen. Di negara berkembang dengan sanitasi yang relatif buruk, infeksi bakteri dan parasit patogen enterik lebih umum dibandingkan dengan virus patogen. Banyak mikroba patogen yang menyebabkan kolitis infeksi bersifat invasif dan menginfiltrasi mukosa, mengakibatkan reaksi inflamasi akut dengan rusaknya barier epitelial; terdapat lendir, sel-sel darah merah, dan sel darah putih pada tinja. Gejalanya dapat berupa diare dengan atau tanpa disentri, sakit perut, dan demam ringan. Mikroba patogen penting yang menyebabkan kolitis infeksi termasuk Entamoeba histolytica, Shigella, Escherichia coli patogen, Mycobacterium tuberculosa, dan Clostridium difficile. Walaupun sejumlah patogen lain juga dapat menyebabkan kolitis infeksi, mikroba-mikroba yang telah disebutkan di atas bersifat signifikan berdasarkan titik pandang epidemiologi dan lebih umum terjadi.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab dapat diklarifikasikan sebagai berikut: a. Kolitis Infeksi, misalnya: Shigellosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit. b. Kolitis Non-Infeksi, misalnya: Kolitis ulseratif, penyakit Crohn's, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simple colitis). Pembahasan ini difokuskan pada kolitis infeksi yang sering ditemukan di Indonesia sebagai daerah tropik, yaitu kolitis amebik, shigellosis, infeksi E.coli patogen, kolitis tuberkulosa, serta kolitis pseudomembran. Infeksi E.coli patogen dilaporkan sebagai penyebab utama diare kronik di Indonesia.

2.1. KOLITIS AMEBIK (AMEBIASIS KOLON) Batasan Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica. Epidemiologi Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host sekaligus resevoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya. Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

Patofisiologi E. histolytica memiliki bentuk pseudopod, merupakan parasit protozoa tidak berflagel yang dapat menyebabkan proteolisis dan lisis jaringan, juga menginduksi apoptosis sel host-nya. Manusia dan primata non-manusia merupakan satu-satunya host bagi E. histolytica. Menelan kista E. histolytica yang berasal dari lingkungan akan diikuti dengan eksistasi pada ileum terminal atau kolon, dan berubah bentuknya menjadi trofozoit yang sangat motil. Saat kolonisasi di mukosa kolon, trofozoit dapat menghasilkan kista yang kemudian dieksresikan melalui feces atau dapat pula menembus barrier mukosa usus sehingga dapat masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke hati, paru, serta bagian tubuh lainnya. Kista yang dieksresikan akan mencapai lingkungan dan melengkapi siklus ini. Berdasarkan pola isoenzimnya, E. histolytica dibagi menjadi golongan zymodeme patogenik dan zymogene nonpatogenik. Walaupun mekanismenya belum seluruhnya jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan cara mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti pemakan steroid memudahkan invasi parasit ini. Penglepasan bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses ini berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undetermined, kedalaman ulkus mencapai submukosa atau lapisan submuskularis. Tepi ulkus menebal dengan sedikit reaksi radang. Mukosa di antara ulkus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis. Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan imunitas cell-mediated amibisidal berupa makrofag lymphokine-activated setra limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan membentuk massa yang disebut ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Manifestasi klinis yang sering dijumpai berupa diare berdarah dan nyeri abdominal. Hanya 10-30% pasien dengan disentri amuba disertai dengan demam. Penurunan berat badan dan anoreksia dapat terjadi.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

Kolitis fulminan atau nekrosis biasanya bermanifestasi sebagai diare berdarah yang berat, nyeri abdominal yang luas disertai dengan adanya peritonitis dan demam. Faktor predisposisi dari kolitis fulminan ini meliputi nutrisi yang kurang, kehamilan, penggunaan kortikosteroid, dan usia yang sangat muda. Selain itu, terdapat beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis yaitu:  Carrier (cyst passer): Ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri dalam waktu 1 tahun, sisanya (10%) berkembang menjadi kolitis ameba.  Disentri Ameba Ringan: Kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan umum pasien baik.  Disentri Ameba Sedang: Kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan nyeri spontan.  Disentri Ameba Berat: Diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia.  Disentri Ameba Kronik: Gejala menyerupai disentri ameba ringan diselingi dengan periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna. Diagnosis Pada pasien yang dicurigai mengidap amebiasis kolon, pertama kali diperiksa adanya eritrosit dalam tinja, bila positif, pemeriksaan dilanjutkan. Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis, dilakukan minimal 3 spesimen tinja yang terpisah untuk mencari adanya bentuk trofozoit. Untuk identifikasi kista dilakukan pemeriksaan tinja dengan pengecatan trichrome, bila perlu dengan teknik konsentrasi tinja. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap ameba, positif pada 85-95% pasien dengan infeksi ameba yang invasif. Pemeriksaan endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien amebiasis akut. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum dilakukan terapi. Ulkus yang terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas, dengan dasar yang melebar
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

(undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan. Mukosa di sekitar ulkus biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat ditemukan pada dasar ulkus dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian diperiksa dengan mikroskop setelah diberi larutan garam fisiologis. Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambaranya sangat bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma tampak sebagai filling defect. Diagnosis Banding Kolitis amebik sangat perlu dibedakan dengan kolitis ulserosa atau kolitis Crohn karena pemberian kortikosteroid pada klitis amebik menyebabkan penyebaran organism dengan cepat dan dapat menimbulkan kematian pasien. Diagnosis banding yang lain adalah kolitis karena infeksi Shigella, Salmonella, Campylobacter, Yersenia, E. coli patogen, dan kolitis pseudomembran. Komplikasi Berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan striktur. Penatalaksanaan  Karier asimtomatik Diberi obat yang bekerja, di lumen usus (luminal agents) antara lain : Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg 3 kali sehari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari.  Kolitis ameba akut Metronidazol 750 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari, ditambah dengan obat luminal tersebut diatas.  Amebiasis ekstra-intestinal (misalnya: abses hati ameba) Metronidazol 750 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu macam obat.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

2.2. DISENTRI BASILER (SHIGELLOSIS) Batasan Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella. Epidemiologi Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek, kurang air, dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik, infeksi Shigella merupakan 10-15% penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relatif sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fekal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan dan minuman yang terkontaminasi. Di daerah tropis termasuk Indonesia, disentri biasanya meningkat pada musim kemarau di mana S. flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di negaranegara Eropa dan Amerika Serikat prevalensinya meningkat dimusim dingin. Prevalensi infeksi oleh S. flexnerii di negara tersebut telah menurun sehingga saat ini S. Sonnei adalah yang terbanyak. Mikrobiologi Shigella termasuk kelompok enterobacteriaceae, yang bersifat gram negatif, anaerob fakultatif dan sangat mirip dengan Eschericia coli. Beberapa sifat yang membedakan kuman ini dengan E. coli adalah kuman ini tidak bergerak aktif, tidak memproduksi gas dalam media glukosa dan pada umumnya laktosa negatif. Dikenal 4 species Shigella dengan berbagai serotipenya yaitu: S. dysentriae (12 serotipe), S. flexnerii (14 serotipe), S. boydii (15 serotipe), dan S. sonnei (1 serotipe). Keempat spesies Shigella itu secara berurutan disebut sebgai golongan A, B, C, dan D. Penyebaran geografik dan kerentanan terhadap antimikroba bervariasi tergantung dari speciesnya. S. dysentriae serotype 1 dapat menyebabkan epidemi yang mematikan, S. boydii terbatas pada daerah India, sedangkan S.flexnerii serta S. sonnei memiliki prevalensi pada negara berkembang. S. flexnerii merupakan bakteri gram negatif yang enteroinvasif, yang bertanggung jawab terhadap endemi disentri basiler di seluruh dunia.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

Patofisiologi Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak (tidak cair), disertai eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorphonuclear (PMN) dan darah. Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis dapat juga terserang. Pada kasus yang sangat berat dan mematikan kuman dapat ditemukan juga pada lambung serta usus halus. Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak di dalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel di sekitarnya melalui mekanisme cell to cell transfer. Walaupun lesi awal terjadi di lapisan epitel, respon inflamasi lokal yang menyertainya cukup berat, melibatkan leukosit PMN dan makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan arsitektur jaringan, dan ulserasi mukosa. Bila penyakit berlanjut terjadi penumpukan sel inflamasi pada lamina propia, dengan abses pada kripta merupakan gambaran yang utama. S. dysentriae, S. flexneri, dan S. sonnei menghasilkan eksotoksin antara lain ShET1, ShET2, toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel mukosa kolon dan memperberat gejala klinis. Kuman Shigella jarang melakukan penetrasi ke jaringan di bawah mukosa sehingga jarang menyebabkan bakteriemia. Walaupun demikian pada keadaan malnutrisi dan pasien immuno-compromized dapat terjadi bakteriemia. Selain itu dapat pula terjadi kolitis hemoragik. Manifestasi Klinis Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis Shigellosis bervariasi. Lama gejala rata-rata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Populasi yang memiliki resiko tinggi terhadap shigellosis meliputi: y y Anak-anak di pusat-pusat penitipan anak (<5 tahun) dan pengasuh mereka Pria homoseksual

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

y y

Wisatawan internasional Orang yang hidup dalam kondisi yang penuh sesak dengan fasilitas sanitasi yang buruk dan suplai air bersih yang tidak memadai (misalnya, kamp-kamp pengungsian, tempat penampungan bagi pengungsi)

Orang dengan infeksi immunodeficiency virus (HIV)

Gejala-gejala shigellosis meliputi: y Onset yang mendadak dari kram perut, demam tinggi, muntah, anoreksia, dan diare cairan dalam jumlah banyak. Kejang dapat merupakan manifestasi awal. y Nyeri abdominal, tenesmus, urgency, inkontinensia fekal, dan diare sedikit berlendir dengan darah merah terang dapat terjadi. Tanda-tanda shigellosis meliputi: y Peningkatan suhu (setinggi 1060 F) dilaporkan terdapat pada sepertiga kasus dan didapatkan adanya tanda toksik umum. y Takikardi dan takipneu dapat merupakan sekunder dari demam dan dehidrasi. Bergantung dari derajat dehidrasinya; membran mukosa yang kering, hipotensi, capillary refill time yang memanjang, dan penurunan turgor kulit dapat terjadi. y Ketegangan perut biasanya terjadi di bagian tengah dan bawah, juga dapat terjadi pada seluruh bagian perut. Pada anak-anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk dan letargi. Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami gejala shigellosis yang intermiten. Diagnosis Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri abdomen bawah, rasa panas rektal, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dan bahan tinja segar atau hapus rektal. Sigmoidoskopi dapat memastikan diagnosis adanya kolitis, namun pemeriksaan tersebut umumnya tidak diperlukan, karena menyebabkan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

pasien merasa sangat tidak nyaman. Indikasi untuk melakukan sigmoidoskopi adalah bila segera dilakukan kepastian diagnosis apakah gejala yang terjadi merupakan disentri atau manifestasi akut kolitis ulserosa idiopatik. Dalam keadaan tersebut, biopsi harus dikerjakan dalam waktu 4 hari dari saat gejala. Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat. Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulseratif. Demikian pula pemeriksaan barium enema, sigmoidoskopi, dan histopatologi juga tidak dapat membedakannya. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat. Diagnosis Banding Salmonelosis, sindrom diare karena E. coli, kolera, kolitis ulserosa. Penatalaksanaan  Mengatasi Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Sebagian besar pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan rehidrasi intravena.  Antibiotik Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat, diare persisten serta perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman di daerah tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah: * Ampisilin 4 x500 mg per hari, atau * Kontrimoksazol 2 x 2 tablet per hari, atau * Tetrasiklin 4 x 500 mg per hari selama 5 hari. Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah banyak yang resisten dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan antibiotik lain seperti golongan kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien dengan gejala klinik yang berat.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

 Pengobatan simptomatik Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus seperti narkotika dan derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi terjadinya megakolon toksik. Obat simptomatik yang lain di berikan sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetik-antipiretik dan antikonvulasi.

2.3. INFEKSI ESCHERICHIA COLI (PATOGEN) Batasan Infeksi kolon oleh serotipe Escherichia coli tertentu (O157:H7) yang menyebabkan diare berdarah/tidak. Epidemiologi Karena pemeriksaan laboratorium untuk E.coli patogen jarang dilakukan, maka angka kejadiannya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan di Amerika Serikat sekitar 21.000 orang terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika Serikat , E.coli (O157:H7) lebih sering di isolasi pada pasien diare dibandingkan dengan Shigella demikian juga pada pasien diare kronik di Jakarta. E.coli patogen tersebut didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan ke manusia sehingga menyebabkan KLB (kejadian luar biasa/outbreak) adalah lewat daging yang terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian digiling dan kurang baik dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah lewat air minum yang tercemar, tempat berenang yang tercemar dan antar manusia. Masa inkubasi rata-rata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1-8 hari. E.coli patogen dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun tidak pernah ditemukan pada orang sehat (bukan flora normal pada manusia). Patofisiologi Berbeda dengan peran penting dari kebanyakan E. coli pada usus manusia, E. coli patogen bertanggung jawab terhadap spektrum yang luas dari penyakit manusia. E. coli muncul sebagai penyebab penting dari diare, dengan fenotip serta mekanisme patogen yang beragam. Hemolytic-uremic syndrome (HUS) merupakan komplikasi yang berbahaya pada infeksi enterik strain spesifik E. coli.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

10

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

Terdapat 5 fenotip dari E. coli diaregenik yang telah diketahui; setiap fenotip memiliki patogenesis yang berbeda. Fenotipnya meliputi:
y y y y y

Enterotoxigenic E coli (ETEC) Enterohemorrhagic E coli (EHEC) Enteropathogenic E coli (EPEC) Enteroinvasive E coli (EIEC) Enteroaggregative E coli (EAEC)

ETEC menempel pada mukosa usus halus melalui beberapa fimbrial colonization factor antigens (CFAs) yang berbeda. Sekali kolonisasi terjadi, satu atau dua dari enterotoksin tersebut (heat labile toxin [LT] dan heat stable toxin [ST]) akan dilepaskan. Toksin ini akan membawa cairan serta elektrolit keluar dari mukosa usus halus. ST dilaporkan sebagai toksin yang lebih virulen. LT dekat hubungannya dengan struktur dan fungsi enterotoksin yang diekspresikan oleh Vibrio cholerae. EHEC, yang juga dikenal sebagai Shiga-toxin producing E. coli (STEC) mencetuskan lesi attaching and effacing (AE) pada usus besar. Saat berada di dalam kolon, EHEC melepaskan toksin yang dikenal sebagai Shiga-like toxin (Stx). Stx berhubungan dengan toksin Shiga dari Shigella dysenteriae dan bersifat sitotoksik terhadap endotel pembuluh darah. Sirkulasi sistemik dari Stx dapat berpotensial menyebabkan HUS namun tidak menyebabkan kolitis hemoragik EHEC. E. coli O157:H7 merupakan EHEC yang paling virulen. HUS terdiri atas trias anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, dan insufisiensi renal. HUS biasanya berkembang pada minggu ke-2 (hari ke-2 sampai 14), seringkali setelah diare teratasi. Pasien terlihat pucat, lemah, iritabilitas, oliguri, dan anuria. EPEC juga menghasilkan lesi AE, namun juga dapat dihasilkan tanpa adanya Stx. Patogenesisnya meliputi kolonisasi pada usus halus, diikuti dengan pembentukan lesi AE dan sekret. Patogenesis EIEC serupa dengan species Shigella. EIEC menginvasi sel epitel usus besar, menghasilkan enterotoksin sekretogenik dan kematian sel epitel kolon. Enterotoksin ini biasanya tidak memfermentasikan laktosa dan bertanggung jawab terhadap respon inflamasi lokal di kolon.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

11

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

EAEC menempel pada usus halus dan besar melalui aggregative adherence fimbriae (AAFs) diikuti dengan kolonisasi. Kolonisasi ini menghasilkan enterotoksin dan sitotoksin, yang kemudian merusak mukosa intestinal. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis infeksi E.coli patogen sangat bervariasi, dapat berupa: infeksi asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis), SHU, purpura trombositopenik sampai kematian. Gejala klinisnya berupa nyeri abdomen yang sangat (severe abdominal cramp), diare yang kemudian diikuti diare berdarah dan sebagian dari pasien disertai nausea (mual) dan vomiting (muntah). Pada umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau normal, sehingga dapat dikelirukan sebagai kolitis non infeksi. Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun sebagian pasien tidak mengandung darah sama sekali. Pada pemeriksaan kolonoskopi didapatkan gambaran mukosa yang edematous dan hiperemia, kadang-kadang ditemukan ulserasi superficial. pseudomembran sehingga menyerupai infeksi C. difficile. Pemeriksaan patologi menunjukkan gambaran infeksi atau iskemik dengan pola patchy kadang-kadang dijumpai mikrotrombi fibrin. Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU (sekitar 6% dari pasien) antara 2-12 hari dari onset diare. SHU ditandai dengan anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal, dan gejala saraf sentral. Komplikasi neurologik berupa kejang, koma, hemiparesis, terjadi pada sekitar seperempat dari pasien SHU. Sedangkan hemodialisis diperlukan oleh sekitar setengah dari pasien. Faktor resiko terjadinya SHU antara lain: balita/manula, diare berdarah, febris, leukosit yang meningkat, pengobatan dengan obat anti motilitas. Prediktor keparahan SHU antara lain meningkatnya jumlah leukosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat timbul anuria, usia dibawah 2 tahun, mortalitas antara 3-5%. Purpura trombositopenik mempunyai gejala yang mirip dengan SHU namun dengan gejala gagal ginjal dan kelainan neurologik yang lebih ringan. Biasanya ditemukan pada dewasa.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

Dapat dijumpai pula

12

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

Diagnosis Setiap pasien dengan diare berdarah seyogyanya dicurigai sebagai infeksi E. coli patogen. Demikian pula pada pasien dengan kemungkinan tertular E. coli patogen walupun mengalami diare tanpa darah juga patut dicurigai. Kultur dengan agar sorbitol-MacConkey dan aglutinasi dengan O157 anti serum merupakan sarana yang murah untuk memastikan diagnose infeksi E. coli patogen. Diagnosis Banding Kolitis pseudomembranosa dan kolitis infeksi yang lain. Penatalaksanaan Pengobatan infeksi E.coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan suportif dan simptomatik. Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat antibiotik dan obat yang menghambat motilitas. Di samping itu pemberian kontrimoksazol di laporkan tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme dan komplikasi SHU.

2.4. KOLITIS TUBERKULOSA Batasan Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae. Epidemiologi Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberkulosis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Patofisiologi Penyebab terbanyak Mycobacterium tuberculosae, biasanya lewat tertelannya sputum yang mengandung kuman. Kadang-kadang akibat minum susu yang tercemar Mycobacterium bovis. Terdapat hubungan tingginya frekuensi tuberkulosis saluran cerna dengan beratnya tuberkulosis paru. Secara patologis, TB gastrointestinal ditandai oleh peradangan dan fibrosis dari dinding usus dan kelenjar getah bening regional. Ulserasi mukosa merupakan hasil dari nekrosis patch Peyer, folikel getah bening, dan trombosis pembuluh darah. Pada tahap ini,
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

13

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

masih dimungkinkan terjadi perubahan reversibel dan penyembuhan tanpa jaringan parut. Saat penyakit ini berkembang, ulserasi berkonfluen, dan fibrosis yang luas menyebabkan penebalan dinding usus, fibrosis, dan lesi massa pseudotumor. Pembentukan striktur dan fistul dapat terjadi. Permukaan serosa mungkin menunjukkan adanya massa nodular dari tuberkel. Mukosa meradang dengan hiperemi dan edema yang serupa pada penyakit Crohn. Dalam beberapa kasus, aphthous ulcer dapat dilihat dalam usus besar. Kaseasi mungkin tidak selalu terlihat sebagai granuloma, terutama di mukosa, tapi hampir selalu terlihat pada kelenjar getah bening regional. Timbul 3 bentuk kelainan pada kolitis tuberkulosa, yaitu: 1. Ulseratif pada 60% kasus, lesi aktif berupa tukak superfisial. 2. Hipertrofik pada 10% kasus, bentuk lesinya parut fibrosis, dan massa yang menonjol menyerupai karsinoma. 3. Ulserohipertrofik pada 30% kasus, terdapat ulserasi dengan fibrosis yang merupakan bentuk penyembuhan. Semua bagian saluran cerna dapat terinfeksi, namun lokasi yang tersering (8590% kasus) adalah di daerah ileosekal. Manifestasi Klinis Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksi, demam ringan, penurunan berat badan atau teraba masa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungkin hanya berasal dari kuman yang tertelan bersama sputum. Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman tuberkulosis di jaringan, baik dengan pemeriksaan mikroskopik langsung atau atas hasil kultur biopsi jaringan. Sedangkan diagnosis dugaan adanya kolitis tuberkulosa adalah bila didapatkan tuberkulosis paru aktif dengan penyakit ileosekal.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

14

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

Pada pemeriksaan barium enema dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi lekuk mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau masa mirip keganasan di sekum. Mungkin pula terbentuk fistula di usus halus. Kolonoskopi merupakan pemeriksaan yang paling penting untuk membantu menegakkan diagnosis kolitis tuberkulosa. Dengan kolonoskopi didapatkan visualisasi lesi secara langsung, sekaligus ditemukan penyempitan lumen, dinding kolon yang kaku, ulserasi dengan tepi iregular dan edematous. Tes tuberkulin untuk menunjang diagnosis tuberkulosis paru di daerah endemik kurang bernilai. Diagnosis Banding Penyakit Crohn, amebiasis, diverticulitis, dan karsinoma kolon. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi berupa perdarahan, perforasi, obstruksi intestinal, terbentuknya fistula, dan sindrom malabsorpsi. Komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi parsial yang kemudian berkembang menjadi obstruksi total. Penatalaksanaan Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberkulosis seperti pada pengobatan tuberkulosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang-kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti tuberkulosis yang sering dipakai adalah: * INH 5-10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari. * Etambutol 15-25 mg/kgBB atau 900-1200 mg sekali sehari. * Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400-600 mg sekali sehari. * Pirazinaimid 25-3 mg/kgBB atau 1,5-2 g sekali sehari.

2.5. KOLITIS PSEUDO MEMBRAN Batasan Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

15

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

mukosa. Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik sebab umumnya timbul setelah menggunakan antibiotik. Etiologi Walaupun umumnya timbul sebagai komplikasi pemakainan antibiotik, namun kolitis pseudomembran ini telah ditemukan sebelum era antibiotik. Yang dianggap sebagai kuman penyebab adalah Clostridium difficile, toksin yang dikeluarkan mengakibatkan kolitis. Mekanisme pasti antibiotik menjadikan usus lebih rentan terhadap C. difficile belum jelas. Penjelasan yang paling mungkin adalah penekanan flora usus normal oleh antibiotik memberikan kesempatan tumbuh dan terbentuknya koloninsasi C. difficile disertai pengeluaran toksin. Epidemiologi C. difficile ditemukan di tinja 3-5% orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun di kolonnya. Kolitis pseudomembran bisa mengenai semua tingkat umur. Kemungkinan tidak dilaporkannya kolitis pseudomembran karena untuk menegakkan diagnosis perlu

kolonoskopi dan pemeriksaan toksin kuman di tinja. Penularan bisa secara kontak langsung lewat tangan atau perantaraan makanan minuman yang tercemar. Semua jenis antibiotik kecuali aminoglikosida intravena, potensial menimbulkan kolitis pseudomembran, namun yang paling sering adalah ampisilin, klindamisin, dan sefalosporin. Patofisiologis C. difficile menimbulkan kolitis dengan cara toxin-mediated. Kuman mengeluarkan dua toksin utama, yaitu toksin A dan toksin B. Toksin A merupakan enterotoksin yang sangat berpengaruh terhadap semua kelainan yang terjadi, sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan tidak melekat pada mukosa yang masih utuh. Sebanyak 75% isolat C. difficile menghasilkan kedua toksin tersebut. Kuman yang tidak menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis maupun diare. Pemeriksaan toksin A dan toksin B diambil dan sediaan tinja, dengan metode ELISA masing-masing spesifitasnya 98.6% dan 100%. Manifestasi Klinis Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari setelah antibiotik digunakan, tetapi mungkin pula baru muncul setelah antibiotik dihentikan. Gejala yang paling sering dikeluhkan ialah diare cair disertai kram perut. Diare yang terjadi dapat ringan, tetapi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

16

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

biasanya banyak, sampai 10-20 kali sehari. Mual dan muntah jarang ditemukan. Sebagian pasien mengalami demam walaupun dapat terjadi hiperpireksia, umumnya suhu tidak melampaui 380C. Terdapat leukositosis, sering sampai 50.000/mm. Pada beberapa pasien mungkin hanya diawali demam dan leukositosis, sedangkan diare baru muncul stelah beberapa hari kemudian. Temuan lain meliputi nyeri tekan abdomen bawah, edema, dan hipoalbuminemia. Yang lebih sering terjadi adalah kolitis ringan. Pada kasus yang berat dapat terjadi komplikasi berupa dehidrasi, edema anasarka, gangguan elektrolit, megakolon toksik, atau perforasi kolon. Penggunaan narkotik atau antiperistaltik dapat meningkatkan resiko megakolon. Diagnosis Jika perlu ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik perlu dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. Diagnosis kolitis pseudomembran dapat cepat dibuat dan akurat dengan melakukan pemeriksaan kolonoskopi. Sensitivitasnya tinggi dan merupakan alat diagnosis definitif. Jika ditemukan lesi khas kolitis pseudomembran, seyogyanya dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Secara tipikal, diawali dengan lesi kecil (2-5 mm) putih atau kekuningan, diskret, timbul, mukosa di antaranya sering terlihat normal atau mungkin menunjukkan berbagai derajat eritema, granularitas, dan kerapuhan. Jika lesi membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu-abuan dan jika diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa di bawahnya mengalami ulserasi. C. difficile tumbuh pada 95% biakan tinja pasien kolitis pseudomembran yang terdiagnosis secara kolonoskopi. Hasil biakan positif tidak diagnostik, karena pasien yang berada di rumah sakit tanpa kolitis ditemukan biakan C. difficile positif sebesar 10-25%. Sebagai standar baku adalah ditemukannya toksin B di tinja, sehubungan dengan efek sitopatik pada kultur jaringan. Karena pemeriksaan ini memakan waktu dan mahal, biasanya cukup memeriksa terdapatnya toksin A dengan metode ELISA. Gambaran histopatologi kolitis pseudomembran bervariasi tergantung beratnya penyakit dan saat kapan biopsi dikerjakan. Price dan Dvies membagi lesi menjadi 3 tipe yaitu:

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

17

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

 Tipe I, lesi vulkano, dengan gambaran nekrosis epithelial fokal disertai PMN dan fibrin tersebar di dalam lumen.  Tipe II, lesi glandular, dengan pelebaran kelenjar disertai PMN dan musin, dilapisi pseudomembran, mukosa sekitarnya tidak terkena.  Tipe III, lesi nekrosis, dengan nekrosis mukosa total disertai mukosa yang dilapisi pseudomembran yang tebal. Diagnosis Banding Kolitis pseudomembranosa perlu dibedakan dengan kasus diare akibat kuman patogen lain, efek samping penggunaan obat yang bukan antibiotik, kolitis non-infeksi, dan sepsis intra abdominal. Penatalaksanaan Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga menjadi penyebab, juga obat yang menggangu peristaltik, dan mencegah penyebaran nosokomial. Pada kasus yang ringan keadaan sudah bisa teratasi dengan penghentian antibiotik disertai pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus dengan gejala-gejala yang lebih berat seyogyanya dilakukan pemeriksaan deteksi toksin C. difficile dan terapi spesifik per oral menggunakan metronidazol atau vankomisin. Kolitis ringan sampai sedang: metronidazol dengan dosis per oral 250-500 mg 4x sehari selama 7-10 hari. Kolitis berat: vankomisin dengan dosis per oral 125-500 mg 4x sehari selama 7-14 hari. Alternatif pengobatan: kolestiramin dengan dosis per oral 4 gram 3x sehari selama 5-10 hari. Kolestiramin digunakan untuk mengikat toksin yang dihasilkan C. difficile, tetapi obat ini juga mengikat vankomisin. Pada kasus yang berhasil disembuhkan, ternyata dalam beberapa minggu atau bulan kemudian sebanyak 15-35% kambuh. Dianjurkan setelah pengobatan spesifik diusahakan kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman laktobasilus atau ragi (Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

18

Kolitis Infeksi

Putri Lestari (406100093)

DAFTAR PUSTAKA
Aberra, Faten. Clostridium Difficile Colitis. Medscape Reference. 2011. http://emedicine.medscape.com/article/186458-overview Anand, Mahesh Kumar Neelala. Tuberculosis, Gastrointestinal. Medscape Reference. 2011. http://emedicine.medscape.com/article/376015-overview Kroser, Joyann. Shigellosis. Medscape Reference. 2011. http://emedicine.medscape.com/article/182767-overview Lacasse, Alexandre. Amebiasis. Medscape Reference. 2011. http://emedicine.medscape.com/article/212029-overview Madappa, Tarun. Escherichia Coli Infections. Medscape Reference. 2011. http://emedicine.medscape.com/article/217485-overview Navaneethan, Udayakumar; Ralph A. Giannella. Infectious Colitis. Medscape News. 2011. http://www.medscape.com/viewarticle/737810 Oesman N. Kolitis Infeksi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Interna Publishing, hlm. 213; 2001.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Periode 21 Maret 2011 28 Mei 2011

19

You might also like