You are on page 1of 8

1).

Terapi Non Farmakologi

a). Diet ketogenik

Diet ketogenik yang dikenakan oleh Wilder pada tahun 1921 merupakan diet ketogenik yang
paling sering digunakan untuk epilepsi, yaitu dengan pemberian lemak jenuh rantai panjang,
serta presentase protein dan karbohidrat yang rendah. Protokol ini terdiri dari lemak dan rasio
4:1 dengan gabungan protein dan karbohidrat. Pada diet tipe ini, pasien harus dirawat inap di
rumah sakit dan dipuasakan selama 24 jam sebelum memulai diet.

Total kalori yang diberikan pada diet ketogenik disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien.
Diet ketogenik trigliserida rantai panjang memberikan nutrisi berupa 3-4 gram lemak untuk
setiap 1 gram karbohidrat dan protein. Kelemahan dari diet ini adalah rendahnya tolerabilitas
dan tingginya angka drop out. Drop out terjadi karena diakibatkan timbulnya berbagai efek
samping gastrointestinal dan kesulitan konsumsi diet dikarenakan cita rasa yang kurang
menggugah selera. Efek samping gastrointestinal yang paling sering muncul berupa mual,
muntah, konstipasi dan diare. (Wisnu dkk.., 2017)
Pada diet ketogenik energi otak bukan dari glukosa sebagai hasil glikolisis, namun dari keton
sebagai hasil oksidasi asam lemak. Diet ketogenik dapat diberikan sebagai terapi adjuvan pada
epilepsi intraktabel. Diet ketogenik pada anak usia 6-12 tahun dapat mengakibatkan batu ginjal,
pertumbuhan lambat, dan fraktur (IDAI, 2016).

b). Tindakan bedah

Pembedahan dapat dipertimbangkan pada sebagian kecil penderita epilepsi yang masih
mengalami bangkitan epilepsi meskipun telah mendapat terapi kombinasi OAE, terdapat
kontraindikasi atau gagal dengan diet ketogenik. Pembedahan merupakan pilihan untuk pasien
yang tetap mengalami bangkitan epilepsi meskipun sudah mendapat lebih dari 3 jenis
antikonvulsan, adanya abnormalitas fokal, lesi epileptik yang menjadi pusat abnormalitas
epilepsi (Ikawati, 2011)

Tindakan bedah yang dianjurkan yaitu pada lobus temporalis, karena epilepsi yang disebabkan
oleh adanya lesi pada lobus temporalis paling sering terjadi dan seringkali tidak peka terhadap
penggunaan terapi anti epilepsi (Niantiarno, 2012). Tindakan bedah dapat berupa
pengangkatan area tempat bangkitan epilepsi bermula atau pengangkatan lesi yang menjadi
fokus epileptik (IDAI, 2016).

2). Terapi Farmakologi

Penggunaan obat anti epilepsi monoterapi lini pertama digunakan sebagai awal dimulainya
terapi pada epilepsi. Pemilihan dosis dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Jika bangkitan epilepsi tidak dapat dihetikan
dengan OAE lini pertama dosis maksimal, monoterapi lini kedua dimulai (Kemenkes, 2017).

Obat anti epilepsi merupakan tatalaksana utama pada epilepsi. Prinsip tatalaksana epilepsi
adalah tercapainya bebas bangkitan epilepsi tanpa mengalami reaksi simpang obat, sehingga
idealnya berupa monoterapi dengan dosis obat terendah yang dapat mengendalikan bangkitan
epilepsi. (Pressler dkk., 2021). Pendekatan terapi epilepsi yang baru didiagnosis telah
disepakati untuk memberikan OAE monoterapi. Ketika salah satu OAE tidak bekerja atau tidak
dapat menekan bangkitan epilepsi, pilihan obat kedua diberikan dengan tetap mempertahankan
OAE pertama. (Dijkman SC, dkk., 2016)
Obat yang digunakan pada terapi epilepsi disebut dengan obat anti epilepsi (OAE). Consensus
Guidelines on the Management of Epilepsy (2010) membagi OAE ke dalam tabel berikut ini :

Tabel 1. Daftar Obat Anti Epilepsi (OAE)


Jenis OAE sangat tergantung pada sifat serangan epilepsi, termasuk jenis epilepsi fokal atau
umum. Obat anti epilepsi telah diklasifikasikan kedalam tujuh kelompok kimiawi yaitu
barbiturat, hidantoin, oksazolidindion, suksinimid dan asetil urea (Levy dkk., 1995)

a) GABA-Glutamat dependent
Golongan obat ini bekerja dengan meningkatkan efek inihibisi GABA, dimana GABA
merupakan neurotransmitter inhibisi dan glutamat merupakan neurotransmitter eksikatori.
Dengan meningkatkan aktivitas reseptor GABA-ergik maka akan dihasilkan banyak
neurotransmitter GABA yang dapat memberikan efek penyeimbang terhadap efek eksikatori
dari glutamate (Waheed, 2016).

1. Benzodiazepin
Dalam golongan benzodiazepin terdapat banyak obat yang mempunyai efek anti epilepsi
yaitu clonazepam, diazepam dan lorazepam. Diazepam dan lorazepam mempunyai peranan
yang besar dalam penanganan status epileptikus. Klonazepam efektif dalam terapi kejang
absen dan kejang mioklonik pada anak. Efek samping utama obat golongan ini adalah rasa
kantuk dan letargi. Depresi pernafasan dan kardiovaskular dapat terjadi setelah pemberian iv
diazepam, klonazepam atau lorazepam, terutama jika sebelumnya telah diberi obat
antiepilepsi lain atau depresan pusat (McNamara, 2003).

2. Gabapentin dan Pregabalin

Gabapentin dirancang sebagai agonis GABA yang aktif terhadap pusat, kelarutannya yang
tinggi dalam lemak dimaksudkan untuk mempermudah transfernya melintasi sawar darah otak
(McNamara, 2003). Gabapentin semula dirancang untuk spasmolitik namun terbukti lebih
efektif untuk obat kejang. Pregabalin adalah analog GABA lainnya yang berkaitan erat dengan
gabapentin, obat tersebut telah terbukti mempunyai aktivitas anti kejang dan analgesik. Pada
pasien yang mendapat gabapentin dijumpai peningkatan konsentrasi GABA pad otak (Porter
& Meldrum, 2002).

3. Tiagabin

Tiagabin diindikasikan sebagai terapi adjuvan untuk kejang parsial dan efektif dalam dosis
yang berkisar dari 16-56 mg/hari, kadang diperlukan dosis hingga empat kali sehari (Porter &
Meldrum, 2002).

b). Inhibisi Efek Eksikatori Glutamat


Obat-obat dalam kategori ini mempunyai mekanisme kerja memblokade reseptor NMDA dan
AMPA yang merupakan reseptor yang melepaskan neurotransmitter eksikatori utama yaitu
glutamat. Dimana ketika reseptor tersebut diblokade maka konsentrasi glutamat akan
menurun beserta efek eksikatori- nya (Waheed, 2016).

1. Topiramat
Berdasarkan uji-uji klinis, telah dibuktikan topiramat efektif untuk kejang parsial dan kejang
tonik-klonik generalisata (Porter & Meldrum, 2002). Obat ini juga dapat digunakan untuk
sindrom Lennox-Gastaut dan mungkin efektif untuk spasme infantil dan bahkan kejang absen
(Utama & Ganiswarna, 2009). Efek samping yang sering muncul adalah somnolens, lelah,
berat badan turun dangugup (McNamara, 2003).

2. Fenobarbital

Merupakan obat yang efektif untuk pasien yang tidak mempunyai respon baik terhadap obat
antiepilepsi lain pada pengobatan kejang tonik- klonik, kejang parsial sederhana dan kejang
parsial kompleks. Mekanisme kerja fenobarbital adalah dengan menekan neuron abnormal
secara selektif, menghambat penyebaran dan rangsangan depolarisasi dengan cara menyekat
kanal Ca2+, memperlama pembukaan kanal Cl- dan menyekat respon eksikatorik yang
diinduksi oleh glutamat (Porter & Meldrum, 2002).

3. Felbamat

Uji penelitian double-blind acak menunjukkan bahwa felbamat efektif untuk kejang parsial dan
kejang menyeluruh sekunder yang sulit

dikendalikan, selain itu felbamat juga diketahui efektif pada pasien dengan sindrom Lennox-
Gastaut (McNamara, 2003). Meskipun efektif untuk kejang parsial pada sebagian pasien
namun obat ini dapat menyebabkan anemia aplastik dan hepatitis berat dengn angka kejadian
cukup tinggi sehingga dijadikan obat lini ketiga untuk kasus refrakter (Porter & Meldrum,
2002).

c. Blokade Kanal Natrium atau Kalsium


Mekanisme kerja obat kategori ini adalah memblokade kanal kalsium atau natrium yang
memicu depolarisasi. Dengan menghambat terbukanya kembali kanal Na+ (inaktivasi) maka
tidak dapat terjadi potensial aksi dan menurunkan serangan (McNamara, 2003). Selain itu
penghambatan efek kanal Ca2+ dan menunda aktifasi ion K+ keluar aksi potensial dapat
menyebabkan kenaikan periode refractory dan menurunnya cetusan ulangan (Wibowo & Gofir,
2011).

1. Fenitoin
Fenitoin adalah obat antiepilepsi nonsedatif tertua yang diperkenalkan pada tahun 1938 (Porter
& Meldrum, 2002) efektif untuk semua tipe serangan parsial dan serangan tonik-klonik tetapi
tidak efektif untuk serangan absen (McNamara, 2003). Natrium fenitoin (Phosphenytoin)
adalah prodrug dari fenitoin yang lebih larut dalam air dari pada fenitoin, dapat diberikan secara
intravena dan intramuskular serta memiliki waktu paruh 8 sampai 15 menit (McNamara, 2003).
Fosfenitoin merupakan ester disodium fosfat yang larut dalam air. Fosfenitoin dalam plasma
akan dikonversi menjadi fenitoin. Fosfenitoin dikembangkan untuk mengatasi permasalahan
sukar larut dan iritasi vena dalam pemberian intravena fenitoin. Larutan injeksi fenitoin harus
dengan pembawa propylenglikol dimana mempunyai efek samping hipotensi pada aritmia
jantung dan iritasi vena. Sedangkan fosfenitoin kompatibel dengan larutan umum yang
digunakan untuk injeksi. Dengan pemberian fosfenitoin akan terhindar dari efek samping yang
bisa ditimbulkan dari injeksi fenitoin dan terapi pilihan untuk status epileptikus. Dimana pada
pemberian injeksi intravena fosfenitoin, dalam tubuh molekul fosfat dipecah dari
biphosphatases phosfenitoin yang mengubah molekul fosfenitoin menjadi senyawa fenitoin
aktif (McNamara, 2005).

2. Karbamazepin
Karbamazepin digunakan untuk berbagai jenis epilepsi, baik digunakan sebagai obat tunggal
maupun kombinasi (Simon and Zieve, 2013). Efektif pada pengobatan kejang parsial dan
kejang tonik-klonik umum, karbamazepin juga obat utama untuk neuralgia trigeminal
(McNamara, 2005). Mekanisme obat ini adalah mengurangi perambatan impuls abnormal di
dalam otak dengan cara menghambat kanal natrium, sehingga menghambat timbulnya
potensial kerja yangberulang-ulang pada pasien epilepsi (Mycek et al., 2001). Selain
mengontrol kejang, karbamazepin dapat meringankan depresi dan meningkatkan kewaspadaan
(Simon and Zieve, 2013).
3. Lamotigrin
Selain efektif untuk kejang parsial, lamotigrin juga terbukti aktif untuk kejang mioklonik dan
kejang absen pada anak serta telah disetujui untuk mengontrol kejang pada sindron Lennox-
Gastault, selain itu juga efektif untuk gangguan bipolar (Porter & Meldrum, 2002). Efek
samping yang paling sering muncul adalah pusing, ataksia, pandangan kabur, mual dan
muntah, beberapa kasus sindrom steven-johnson serta koagulasi dalam pembuluh darah yang
menyebar telah dilaporkan (McNamara, 2005).

d). Mekanisme Kerja Blokade Kanal Kalsium tipe-


T
Kanal kalsium merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat
pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang
diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal
tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens(McNamara, 2005).

1. Asam Valproat

Asam valproat digunakan untuk generalized seizure, (termasuk mioklonus dan lena, seagai
drug of choice), sindrom Lennox-Gastaut, sindrom epilepsi pada anak dan kejang demam
(Hantoro, 2013). Mekanisme obat ini adalah dengan memblok efek konvulsi dari antagonis
GABA dan berinteraksi dengan metabolisme GABA di otak (Wibowo & Gofir, 2011). Dosis
awal sehari biasanya 15mg/kg dan ditingkatkan tiap interval seminggu 5mg/kg hingga
10mg/kg sampai dosis sehari maksimum 60mg/kg (Wells, 2009). Untuk beberapa pasien, dosis
25-30 mg/kg/hari sudah cukup namun ada juga yang membutuhkan 60mg/kg atau bahkan
lebih.Kadar terapi valproat berkisar antara 50𝜇𝑔/𝑚𝐿 hingga 100𝜇𝑔/𝑚𝐿.

2. Etosuksimid

Etosuksimid (zarotin) merupakan obat yang efektif pada pengobatan kejang absen, kejang
klonik namun tidak pada kejang atonik (McNamara, 2003). Obat ini bekerja dengan
menghambat kanal natrium dan kalium, menurunkan nilai ambang kalsium tipe T (Porter &
Meldrum, 2002) dan juga meningkatkan respon GABA (McNamara, 2003). Efek samping pada
obat ini adalah kantuk, sakit kepala, anoreksia dan mual (Tjay dan Rahardja, 2007).

Obat antiepilepsi (OAE) banyak digunakan sebagai obat jangka panjang terapi politerapi atau
sebagai monoterapi pada epilepsi dan indikasi lainnya dan terdiri dari sekelompok obat yang
sangat rentan terhadap interaksi. Politerapi dan potensi interaksi dengan obat lain meningkat
seiring bertambahnya usia, dan lansia adalah kelompok terbesar dengan epilepsi yang memiliki
risiko interaksi yang besar dengan obat yang biasa diresepkan (Nanau dan Neuman, 2013).

Interaksi obat merupakan fenomena umum yang diamati selama terapi kombinasi. Interaksi
obat dapat dihindari dengan memilih obat yang tidak berinteraksi. Jika alternatif tersebut tidak
tersedia, obat yang berinteraksi dapat diberikan bersama dengan memantau konsentrasi plasma
obat diikuti oleh penyesuaian dosis (Nanau dan Neuman, 2013).

Interaksi antara obat antiepilepsi, atau antara obat antiepilepsi dengan obat lain, dapat bersifat
farmakokinetik atau farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik melibatkan perubahan dalam
penyerapan, distribusi atau eliminasi, sedangkan interaksi farmakodinamik melibatkan
sinergisme dan antagonisme di lokasi aksi. Interaksi yang paling penting secara klinis dari obat
antiepilepsi dihasilkan dari induksi atau penghambatan metabolisme obat (Zaccara dan Perucca
2014).

Penyesuaian dosis OAE perlu dilakukan secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil dan dosis
ditingkatkan secara bertahap hingga serangan epilepsi dapat dikendalikan atau hingga muncul
gejala efek samping yang nyata. Pemantauan efek terapi dengan OAE perlu dilakukan karena
beberapa OAE mempunyai rentang terapi yang sempit, sehingga dengan sedikit saja perubahan
dosis maka dapat mempengaruhi terapi.

Tabel 2. Efek Samping dan Monitoring OAE


Dengan demikian peran tenaga kesehatan, khususnya Apoteker sangat diperlukan untuk
pemantauan efek obat pada pasien, dan memantau peran pasien dalam kepatuhan minum obat,
yang dapat berpengaruh pada keberhasilan terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Das, N., Dhanawat, M., & Shrivastava, S. K. 2013. An overview on antiepileptic drugs. Drug
Discoveries & Therapeutics, 6(4), 178–192. https://doi.org/10.5582/ddt.2012.v6.4.178
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI

Dijkman SC, Alvarez-Jimenez R, Danhof M, Pasqua OD. 2016. Pharmacotherapy in pediatric


epilepsy : from trial and error to rational drug and dose selection-a long way to go. Expert
Opinion on Drug Metabolism and Toxicology;12:1143-56.

Ekstein, D., Tirosh, M., Eyal, Y., & Eyal, S. 2015. Drug interactions involving antiepileptic
drugs: Assessment of the consistency among three drug compendia and FDA-approved labels.
Epilepsy and Behavior, 44, 218–224. https://doi.org/10.1016/j.yebeh.2015.02.009

Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE, dkk.. ILAE Official
Report: A practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia [Internet]. 2014 Apr [cited 2021
Mar 8];55(4):475–82. Available from: http://doi.wiley.com/10.1111/epi.12550
Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higurashi N, dkk.. Instruction manual
for the ILAE 2017 operational classification of seizure types. Epilepsia [Internet]. 2017 Apr 1
[cited 2021 Mar 24];58(4):531–42. Available
from: http://doi.wiley.com/10.1111/epi.13671
Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Cetakan Ketiga. Yogyakarta:
Bursa Ilmu

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/367/2017


Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Epilepsi pada Anak

Nanau RM dan Neuman MG. 2013. Adverse drug reactions induced by valproic acid. Clin
Biochem.

NICE Guideline on AEDs. 2014. NICE produces guidance for the treatment and management
of health conditions in England and Wales. Its guidance on epilepsy includes recommendations
for the drug treatment of different types of epilepsy and seizures.

NICE. 2018. Epilepsies : Diagnosis and Management. Epilepsies. CG137. pp. 1-99

Penovich, P.E., Stern, J.M., Becker, D.A., Long, L., Santilli, N., McGuire, L., dkk., 2021.
Epilepsy Treatment Complacency in Patients, Caregivers, and Healthcare Professionals.
Neurology: Clinical Practice, 10.1212/CPJ.0000000000001066.

PERDOSSI. 2016. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Airlangga University Press. Surabaya.

Pressler, R.M., Cilio, M.R., Mizrahi, E.M., Moshé, S.L., Nunes, M.L., Plouin, P., dkk., 2021.
The ILAE classification of seizures and the epilepsies: Modification for seizures in the neonate.
Position paper by the ILAE Task Force on Neonatal Seizures. Epilepsia, 62: 615–628.

Rishe W. 2015. Drug Use Evaluation 0f Antiepileptic Drugs in Outpatient Epilepsy. Clinic Of
Bishoft General Hospital, East Shoa, Ethiopia.

Rugg-Gunn FJ, Smalls JE. 2015. A Practical Guide to Epilepsy: Lecture Notes. Oxford:
International League Against Epilepsy.
Scheffer, I.E., Berkovic, S., Capovilla, G., Connolly, M.B., French, J., Guilhoto, L., dkk., 2017.
ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission for
Classification and Terminology. Epilepsia, 58: 512–521.

Sinaga N. 2018. Artikel Penelitian : Dosis Obat Anti epilepsi pada Respons Awal Pengobatan
Epilepsi Dose of Antiepileptic Drugs in Initial Response to Epilepsy Treatment ; 3(3):163–73.

Sparla, S., 2017. Valproic acid during pregnancy: Case report of a child with congenital
malformations due to fetal valproate syndrome, and a high unbound serum level of valproic
acid at birth. International Journal of Epilepsy, 4.

Suwarba IGNM. 2011. Insidens dan Karakteristik Klinik Epilepsi pada Anak. Sari Pediatri ;
13(2)

Topjian, A.A., Raymond, T.T., Atkins, D., Chan, M., Duff, J.P., Joyner, B.L., dkk., 2021. Part
4: Pediatric Basic and Advanced Life Support 2020 American Heart Association Guidelines
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics, 147:
e2020038505D.

Wibowo, S.dan Gofir, A. 2006. Obat Anti epilepsi. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press.

World Health Organization, 2019, Epilepsy: a Public Health Imperative. Geneva : WHO :
Library

You might also like