Professional Documents
Culture Documents
Hanifah N - RA - Revisi 1 - Kajian Regulasi
Hanifah N - RA - Revisi 1 - Kajian Regulasi
“JUDUL”
KOP
Disusun oleh :
Nama : Hanifah Nisrina
NIP : 199805042020122008
Jabatan : Perekayasa Ahli Pertama
Instansi : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
“JUDUL”
XXXXXX XXXXXX
NIP. ZZZZZZZZZZZ NIP. ZZZZZZZZZZ
KATA PENGANTAR
Blablabla
Ttd
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................I-1
KATA PENGANTAR...........................................................................................I-2
DAFTAR ISI.........................................................................................................I-3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................I-4
1.1 Latar Belakang.................................................................................I-4
1.2 Tujuan Rancangan Aktualisasi.........................................................I-6
1.3 Manfaat Rancangan Aktualisasi.......................................................I-7
1.4 Profil Instansi...................................................................................I-7
BAB II RANCANGAN AKTUALISASI..........................................................II-8
2.1 Identifikasi Isu................................................................................II-8
2.2 Penetapan Core Isu.......................................................................II-14
2.3 Penentuan Penyebab Core Isu......................................................II-21
2.4 Gagasan Kreatif Penyelesaian Core Isu.......................................II-21
2.5 Matriks Rancangan Aktualisasi....................................................II-22
2.6 Matriks Rekapitulasi Rencana Habituasi NND PNS (ANEKA). .II-22
BAB III RENCANA JADWAL KEGIATAN AKTUALISASI........................III-1
3.1 Kesimpulan....................................................................................III-1
3.2 Saran..............................................................................................III-2
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................xiv
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Blablabla
I.2 Tujuan Rancangan Aktualisasi
Tujuan rancangan aktualisasi ini yaitu sebagai berikut:
1. Blablabla
2. Blablabla
3. Blablabla
I.3 Manfaat Rancangan Aktualisasi
Manfaat rancangan aktualisasi ini yaitu sebagai berikut:
1. Blablabla
2. Blablabla
3. Blablabla
I.4 Profil Instansi
I.4.1 Profil Pusat Teknologi Lingkungan
BPPT merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang
berada di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi / Badan Riset dan
Inovasi Nasional yang mempunyai tugas di bidang pengkajian dan penerapan
teknologi. Pusat Teknologi Lingkungan pada Deputi Bidang Teknologi
Pengembangan Sumber Daya Alam terletak di Gedung 820 Teknologi Sistem
Kebumian (Geostech), Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan.
PTL telah melewati berbagai tantangan di tahun lalu. Berbagai layanan,
inovasi dan kreasi telah dihasilkan untuk mendukung program pemerintah dalam
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang
menjadi salah satu tujuan dalam dokumen Sustainable Development Goals
(SDGs). Dokumen ini mencakup 17 tujuan dengan 169 capaian untuk
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, diantaranya adalah tujuan SDGs
ke 6: menjamin akses air bersih dan sanitasi yang layak, dan tujuan SDGs ke 9:
infrastruktur yang kuat, industrialisasi berkelanjutan dan inovasi.
Untuk mendukung pencapaian kedua tujuan SDGs ini, pada tahun ini dan
tahun – tahun sebelumnya, PTL telah berkontribusi dalam pembangunan pilot
project Instalasi Pengolahan Air siap minum bagi masyarakat yang ditempatkan
diberbagai lokasi di Indonesia. Pembangunan pilot project ini sekaligus
mendukung pencapaian RPJMN 2015-2019 yakni tercapainya 100% akses air
minum yang layak bagi masyarakat. PTL juga telah membangun Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) baik untuk industri maupun perkantoran
menggunakan teknologi unggulan BPPT di beberapa lokasi, serta pilot project
pemantauan kualitas lingkungan air dan udara perkotaan.
Selain itu, PTL juga telah melaksanakan beberapa aktivitas kaji terap
lainnya dalam bidang teknologi lingkungan. Berbagai inovasi baru dalam bidang
teknologi lingkungan juga telah diraih PTL pada tahun lalu, dari yang paling besar
yaitu pembangunan Pilot Project Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa),
inovasi unit pengolah air siap minum bergerak (Mobile Arsinum) hingga inovasi
teknologi pengolahan air siap minum yang kaya akan sentuhan IT
(ARSINUMLite). Pembangunan PLTSa merupakan metoda alternatif yang bisa
digunakan untuk mengatasi permasalahan sampah perkotaan melalui pemusnahan
sampah secara cepat, signifikan dan ramah lingkungan. Pembangunan ini telah
dilaksanakan sejak tahun lalu dan akan terus dioperasikan pada tahun ini.
Demikian halnya inovasi Mobile ARSINUM, telah diaplikasikan dan dirasakan
manfaatnya dalam membantu penyediaan air minum bagi masyarakat terdampak
gempa di Lombok dan Palu melalui kegiatan Bakti Sosial dan Bakti Teknologi
BPPT.
Dengan dukungan 100 sumber daya manusia yang kompeten dalam
berbagai bidang keahlian, terdiri dari para peneliti, perekayasa dan fungsional
lainnya. Pada tahun ini, PTL berkomitmen untuk terus "berlari mengejar prestasi"
melalui hilirisasi inovasi, teknologi, serta layanan untuk meningkatkan daya saing
menuju kemandirian bangsa. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya
manusia menjadi perhatian utama PTL dalam upaya pencapaian tujuan di tahun
ini maupun di tahun-tahun mendatang.
I.4.2 Struktur Organisasi
Berdasarkan Peraturan Kepala BPPT Nomor 009 Tahun 2015, Tentang
Organisasi dan Tata Kerja BPPT tertanggal 27 Oktober 2015, pada Bab VI, pasal
116 dan 117 bahwa Pusat Teknologi Lingkungan terdiri atas:
a. Bagian Program dan Anggaran
b. Kelompok Jabatan Fungsional : Pengendalian Pencemaran Lingkungan,
Konservasi dan Pemulihan Lingkungan, serta Tata Kelola Lingkungan
1
Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 h. 156.
4. menunjukan sikap dan perilaku yang konsisten dan dapat diandalkan
sebagai penyelenggara pemerintahan (Pusat Pembinaan Program dan
Kebijakan Pengembangan Kompeteni ASN LAN RI, 2021).
BAB II
RANCANGAN AKTUALISASI
II.1 Identifikasi Isu
Instansi yang dimaksud pada analisis ini adalah Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi. Isu ini dipilih berdasarkan prioritas isu yang terjadi di unit
Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Berikut adalah ketiga isu prioritas yang didapatkan, yaitu:
1. Belum adanya kajian regulasi terkait penanganan limbah baterai
Dalam perkembangan, setelah diundangkan UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai upaya untuk mewujudkan
pengelolaan limbah B3, Pemerintah telah mengundangkan Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Peraturan Pemerintah Limbah B3), sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999. Kemudian
diubah kembali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dan didukung oleh
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2009
Tentang Tata Laksana Perizinan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun Serta Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun oleh Pemerintah Daerah.
Sejauh ini, kajian regulasi spesifik terkait penanganan limbah baterai
belum ada. Hal ini dibuktikan dengan telah dilakukannya berbagai
wawancara langsung dengan pihak – pihak yang bersangkutan. Belum
adanya kajian regulasi penanganan limbah baterai, berkaitan dengan salah
satu program yang merupakan Penilaian Kinerja BPPT dan masuk dalam
tupoksi PTL dalam mengeksplor tata cara mengolah limbah baterai terkhusus
di proses recycling-nya. Program yang dimaksud adalah Work Package (WP)
1.1 Kajian Lingkungan Limbah Baterai yang terdapat pada STKK Green
Economy 2021 yang berkoordinasi dan bekerjasama dengan beberapa unit
dan lembaga lainnya, yaitu Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya
Mineral (PTPSM) BPPT, Pusat Teknologi Material (PTM) BPPT, LIPI,
UNS, dan Unpad. Kajian regulasi terkait penanganan limbah baterai penting
untuk menjadi landasan utama dalam tata cara pengelolaan limbah baterai,
penyimpanan limbah baterai, hingga pengolahan limbah baterai dari hasil
proses recycling.
Gambar 2.1
OFK STKK Green Economy 2021
Jika dilihat berdasarkan materi Manajemen ASN, maka belum adanya
kejelasan terkait kajian regulasi penanganan limbah baterai menyebabkan
perkembangan yang dilakukan oleh tim menjadi lambat karena dalam setiap
rangkaian kegiatan diperlukan landasan regulasi yang tepat dalam penentuan
keputusan rancang desain pengolahan limbah daur ulang baterai dan
memerlukan kajian mendalam terhadap regulasi terkait. Kemudian, jika
dikaitkan dengan materi Whole of Government, maka dalam pelaksanaan
program ini, tim WP1.1 berkoordinasi dengan banyak pihak dalam
keberlangsungan kegiatannya, termasuk dalam pengumpulan informasi
terkait kajian regulasi penanganan limbah baterai. Jika isu ini tidak segera
diselesaikan, maka akan menyebabkan kurang maksimalnya kinerja pegawai
yang diakibatkan oleh tidak adanya kajian regulasi yang berkaitan dengan
penanganan limbah baterai dan berujung pada tidak tercapainya target
kegiatan program WP 1.1 dengan maksimal.
2. Belum adanya rancangan desain konseptual limbah proses daur
ulang baterai
Isu ini merupakan salah satu output utama dari program Work Package
(WP) 1.1 Kajian Lingkungan Limbah Baterai yang terdapat pada STKK
Green Economy 2021. Faktor utama yang menjadikan hal ini menjadi suatu
isu adalah masih minimnya studi literatur terkait rancang desain limbah
proses daur ulang baterai di Indonesia, bahkan di dunia. Hal ini dibuktikan
dengan telah dilakukannya studi literatur, namun masih sedikit sekali
penelitian yang membahas spesifik terkait permasalahan ini, sehingga sulit
untuk mendapatkan referensi data sekunder dari hasil referensi jurnal nasional
maupun internasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian regulasi
terkait penanganan limbah baterai dan kajian karakteristik limbah baterai
secara spesifik dengan unit kerja dan instansi lain untuk dapat merancang
desain limbah proses daur ulang baterai tersebut.
Hal yang menjadi salah satu hambatan besar dalam pelaksanaannya
program ini adalah kurangnya pengalaman maupun kompetensi di bidang
limbah baterai yang dibuktikan dengan latar belakang pendidikan pegawai
yang bukan merupakan lulusan metalurgi, melainkan teknik elektro, teknik
mesin, teknik lingkungan, teknik kimia, dan teknik perencanaan wilayah dan
kota. Hal ini menyebabkan kurang maksimalnya kinerja pegawai dalam
pelaksanaan kegiatan program karena harus melakukan kajian literatur secara
mendalam dimulai dari pengetahuan mendasar terlebih dahulu dan
membutuhkan waktu yang cukup lama karena memang tidak memiliki
pengetahuan dasar terkait pengolahan limbah dari proses daur ulang baterai.
Namun, telah dilakukan transfer knowledge dan mengikuti berbagai webinar
dari unit kerja atau instansi lain sebagai upaya dalam peningkatan kapasitas
dan kompetensi pegawai.
Gambar 2.2
Koordinasi antara BPPT dengan LIPI
Hal ini dapat dikaitkan dengan materi Manajemen ASN yang memegang
teguh nilai – nilai dasar ASN, menjaga reputasi dan integritas ASN, serta
melaksanakan tugas dengan jujur, bertanggungjawab, dan berintegritas tinggi.
Jika dikaitkan dengan materi WoG, maka isu ini dapat dihubungkan dengan
kategori Integrasi tipe joint working, yaitu kolaborasi sementara. Namun,
masih diperlukan penguatan koordinasi dan kerjasama yang baik antar unit
kerja atau instansi lain agar dapat terjalin hubungan yang dapat
mempermudah seluruh pihak. Apabila permasalahan tersebut tidak
diselesaikan dengan segera, maka akan menyebabkan beberapa dampak, di
antaranya yaitu: (1) perkembangan program yang lambat diakibatkan
kurangnya kompetensi pegawai dalam bidang tersebut; (2) miskomunikasi,
koordinasi yang kurang baik, dan permasalahan manajerial lainnya
menyebabkan tidak efektif dan efisiennya pelaksanaan program, sehingga
diperlukan waktu diskusi yang berkepanjangan; (3) serta kurang maksimalnya
kinerja pegawai yang dapat berujung pada tidak tercapainya target kegiatan
program WP 1.1 dengan maksimal.
3. Kurangnya kesadaran akan bahaya limbah baterai terhadap
lingkungan dan kesehatan manusia
BPPT sebagai lembaga pengkajian dan penerapan (jirap) yang akan
berusia 43 tahun pada Agustus mendatang ini telah melahirkan berbagai
inovasi berbasis teknologi. Inovasi berbasis teknologi, tentu tidak lepas dari
penggunaan ribuan baterai yang kemudian tidak dikelola dengan baik dan
berpotensi menimbulkan dampak bahaya bagi lingkungan dan kesehatan
manusia. Ditambah lagi dengan pemerintah yang saat ini mendorong
pengembangan baterai kendaraan listrik dengan diwujudkannya Peraturan
Presiden No. 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan
Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Pusat Teknologi Lingkungan yang
berkecimpung pada bidang lingkungan, seharusnya menjadi pelopor bagi unit
– unit lain, lembaga lain, dan menjadi contoh pada masyarakat untuk dapat
mengelola limbah baterai sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun
kenyataannya, menurut observasi penulis, pegawai PTL sendiri masih banyak
menggunakan perangkat elektronik yang membutuhkan baterai dan belum
terkelola dengan baik. Padahal, setiap orang yang menghasilkan limbah B3
wajib melakukan pemantauan kegiatan pemanfaatan limbah B3 (Permenlhk
No. P18 / MENLHK / SETJEN / KUM.1 / 8 / 2020).
Berdasarkan hasil wawancara dengan senior, PTL telah memiliki kotak
penyimpanan baterai bekas sementara sejak tahun 2014 yang diperuntukkan
untuk membuang limbah e-waste yang ada di lingkungan PTL dan telah tidak
memiliki nilai jual, seperti baterai bekas yang kemudian akan dikirimkan ke
instansi pengolah limbah B3 (fasilitator B3). Namun, kotak penyimpanan
baterai bekas sementara tersebut tidak dimanfaatkan dengan maksimal karena
tidak adanya pengelolaan untuk menjalankan program tersebut. Hal ini
menyebabkan tidak adanya perkembangan dan pemanfaatan dari kotak
penyimpanan baterai bekas sementara, sehingga kotak tersebut dibiarkan
tidak terkelola hingga saat ini. Padahal, menurut PP No. 101 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, batas maksimal
penyimpanan sementara limbah B3 adalah 180 hari pada tempat yang
terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung; serta memiliki penerangan
dan ventilasi. Namun, menurut observasi penulis, kenyataannya di PTL
sendiri, baterai bekas pakai yang ada di kotak penyimanan tersebut tidak
dikemas sebagaimana mestinya yang tertera dalam peraturan dan jumlah
baterai tidak bertambah ataupun berkurang, serta tidak dikirimkan ke
fasilitator B3 sebagai tahap lanjutan setelah disimpan sementara.
Gambar 2.3
Kotak Penyimpanan Baterai Bekas
Dalam pengelolaan limbah baterai bekas pakai hingga pengiriman baterai
bekas pakai ke fasilitas pengolahan limbah B3, terdapat tata cara dan aturan
tertentu dalam pelaksanaannya, maka penting untuk unit PTL sebagai pilot
project dalam pelaksanaan pengelolaan limbah baterai yang baik dan benar,
untuk itu diperlukan sosialisasi ataupun SOP yang sederhana dan mudah
dimengerti agar dapat diterapkan pada unit kerja lainnya yang dimulai dengan
penanaman pembiasaan di internal unit terlebih dahulu.
Jika dilihat berdasarkan materi manajemen ASN, maka pegawai PTL
belum dapat melaksanakan kebijakan terkait pengelolaan limbah B3 dengan
baik dan perlu dilakukan sosialisasi untuk dapat mengelola limbah B3 dengan
sebagaimana mestinya. Jika dilihat berdasarkan materi whole of government,
maka belum terlaksananya pelayanan regulatif yang baik. Dengan belum
tersosialisasikan dengan baik terkait regulasi yang telah ada, menandakan
lemahnya pelayanan publik yang telah berjalan.
Jika perbaikan pengelolaan baterai bekas tidak segera diselesaikan, maka
akan menyebabkan persebaran aliran limbah B3 terkhusus baterai bekas tidak
terdata atau terkelola dengan baik oleh pihak pengelola atau pengolah B3,
sehingga menyulitkan pihak pengelola atau pengolah B3 untuk melacak
persebaran baterai bekas untuk diolah kembali. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya penumpukan baterai bekas yang tidak terkelola dengan baik yang
kemudian memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan
manusia.
4. Belum optimalnya diseminasi teknologi Pusat Teknologi Lingkungan
melalui media sosial
Banyak sekali manfaat yang didapatkan dari diseminasi produk inovasi
teknologi BPPT menggunakan media sosial, namun hal ini tidak berbanding
lurus dengan kemampuan para pegawai BPPT dalam penggunaan media
sosial, terkhususnya pegawai yang masih belum fasih menggunakan media
sosial, atau bahkan tidak mempunyai media sosial sama sekali. Untuk
mengubah suatu kebiasaan yang sehari – harinya tidak menggunakan media
sosial, tentu akan sulit jika diharuskan mempelajari hal baru, yang mana
merupakan hal sulit bagi yang awam media sosial. Hal ini juga dapat
diakibatkan dari beberapa faktor, misalnya handphone atau perangkat
elektronik yang kurang memadai, rendahnya minat dan niat untuk
mempelajari hal baru, yaitu media sosial, serta sibuknya pegawai – pegawai
BPPT, sehingga kurang dapat mengalokasikan waktu untuk mempelajari hal
baru. Faktor lain yang terjadi adalah kurangnya dorongan untuk melakukan
diseminasi teknologi itu sendiri. Namun, tahun ini telah dilakukan salah satu
upaya dalam pengoptimalan diseminasi teknologi PTL, yaitu dengan
memasukkan diseminasi teknologi PTL melalui media sosial di dalam SKP
yang harus dicapai oleh pegawai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat
nyata dan dapat diukur.
Apabila pemaksimalan penggunaan media sosial untuk mempublikasikan
hasil inovasi dan teknologi BPPT tidak diselesaikan, maka dapat
mengakibatkan tidak tercapainya tujuan awal penggunaan media sosial
sebagai upaya dalam diseminasi produk inovasi teknologi BPPT ke
masyarakat publik. Jika produk inovasi teknologi BPPT dapat terpublikasi
dengan baik dan menyeluruh terhadap masyarakat, maka dapat dikaitkan
dengan prinsip – prinsip pelayanan publik, yaitu yang bersifat partisipatif,
transparan, responsif, dan akuntabel terhadap tugas dan fungsinya.
5. Belum optimalnya sistem informasi laboratorium Pusat Teknologi
Lingkungan sebagai salah satu media pelayanan publik
Laboratory Information Management System (LIMS) sebagai salah satu
bentuk pelayanan publik yang disediakan PTL BPPT yang belum terancang
dengan sempurna. Sistem informasi laboratorium PTL ini merupakan sistem
berbasis website yang menyediakan berbagai jenis pelayanan uji laboratorium
yang disediakan untuk publik serta konsultasi pelayanan sebagai upaya
menghemat waktu dan mengefisienkan penggunaan kertas saat registrasi.
Namun, pelayanan di PTL juga terpusat menjadi satu pintu melalui unit
khusus di BPPT, yaitu Pusat Pelayanan Teknologi (Pusyantek). Namun,
dalam website Pusyantek, jenis pelayanan uji laboratorium yang tercantum
belum spesifik dan detail, maka dibentuk LIMS yang digunakan sebagai
media untuk menunjukkan dan menjelaskan bentuk detail jenis pelayanan uji
laboratorium tersendiri dan dijelaskan secara rinci.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pegawai yang bertugas
di laboratorium, belum optimalnya sistem informasi laboratorium Pusat
Teknologi Lingkungan ini diakibatkan karena terbatasnya pegawai yang
memiliki kompetensi dasar dalam hal merancang dan mendesain website.
Menurut penulis, diperlukan suatu rancangan sistem informasi dan pelayanan
untuk melengkapi sistem LIMS pada saat ini, namun tetap membutuhkan
programmer untuk dapat mengeksekusi rancangan sistem informasi ke dalam
program website tersebut. Kendala ini dapat dikaitkan dengan materi
Manajemen ASN dalam penyusunan kebutuhan anggota organisasi yang tidak
sesuai dengan kompetensi. Permasalahan ini juga dapat dikaitkan dengan
materi whole of government, di mana pelayanan publik seharusnya dapat
dilakukan satu pintu secara menyeluruh dan detail karena merupakan salah
satu bentuk pelimpahan wewenang dari PTL ke Pusyantek dalam hal
pelayanan publik, sehingga tidak perlu dibuatkan website yang sama. Hal ini
mengindikasikan belum maksimalnya bentuk integrasi antara PTL dan
Pusyantek. Jika permasalahan ini tidak segera diselesaikan, maka dapat
mengakibatkan jenis pelayanan publik yang disediakan PTL tidak
tersampaikan hingga ke masyarakat secara langsung, sehingga
mengakibatkan masyarakat untuk mendatangi langsung ke unit kerja tanpa
mengikuti sistematika alur pelayanan publik yang seharusnya.
II.2 Penetapan Core Isu
Berdasarkan isu yang telah diidentifikasi, kemudian dilakukan analisis
untuk menilai kualitas dan menentukan prioritas isu, sehingga isu terpilih itulah
yang akan dicarikan gagasan kreatif alternatif pemecahannya. Teknik analisis isu
yang digunakan adalah teknik tapisan isu dengan alat bantu penetapan kriteria
APKL (Aktual – Problematik – Kekhalayakan – Layak). Sebelum dapat dilakukan
teknik tapisan isu, maka terlebih dahulu perlu dibuat deskripsi masing – masing
kriteria dan indikator penilaian yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 – 2.3.
Tabel 2.1
Deskripsi Kriteria Aktual
Nilai Indikator Deskripsi Indikator
Sedang terjadi dan masih hangat dibicarakan
5 Sangat aktual
dalam 1-3 bulan terakhir
Sedang terjadi dan masih hangat dibicarakan
4 Aktual
dalam 4-6 bulan terakhir
Sedang terjadi dan masih hangat dibicarakan
3 Cukup aktual
dalam 7-9 bulan terakhir
Sedang terjadi dan masih hangat dibicarakan
2 Kurang aktual
dalam setahun terakhir
Isu yang terjadi sudah tidak hangat
1 Tidak aktual
dibicarakan lagi
Tabel 2.2
Deskripsi Kriteria Problematik
Nilai Indikator Deskripsi Indikator
5 Sangat problematik Harus dicarikan solusinya dalam 1 bulan
4 Problematik Harus dicarikan solusinya dalam 3 bulan
3 Cukup problematik Harus dicarikan solusinya dalam 6 bulan
2 Kurang problematik Harus dicarikan solusinya dalam setahun
1 Tidak problematik Tidak harus dicarikan solusi
Tabel 2.3
Deskripsi Kriteria Khalayak
Nilai Indikator Deskripsi Indikator
Berdampak pada hajat hidup seluruh
5 Sangat khalayak
masyarakat Indonesia
4 Khalayak Berdampak pada hajat hidup instansi BPPT
3 Cukup khalayak Berdampak pada hajat hidup unit kerja PTL
Berdampak pada hajat hidup sekelompok
2 Kurang khalayak
tertentu
1 Tidak khalayak Tidak berdampak pada siapapun
Tabel 2.4
Deskripsi Kriteria Layak
Nilai Indikator Deskripsi Indikator
Isu masuk akal, realistis, relevan, dan dapat
5 Sangat layak
dibahas sesuai tugas dan tanggung jawab
Isu masuk akal, realistis, relevan, namun
4 Layak tidak dibahas sesuai tugas dan tanggung
jawab
Isu masuk akal, realistis, namun tidak
3 Cukup layak relevan, dan tidak dibahas sesuai tugas dan
tanggung jawab
Isu masuk akal, namun tidak realistis, tidak
2 Kurang layak relevan, dan tidak dibahas sesuai tugas dan
tanggung jawab
Isu tidak masuk akal, tidak realistis, tidak
1 Tidak layak relevan, dan tidak dibahas sesuai tugas dan
tanggung jawab
Berdasarkan deskripsi masing – masing kriteria dan indikator penilaian yang
dapat dilihat pada Tabel 2.1 hingga 2.4, dapat dilakukan analisis isu APKL yang
dapat dilihat pada Tabel 2.5 sebagai berikut.
Tabel 2.5
Kriteria APKL
Kriteria
No Identifikasi Isu Jumlah Prioritas
A P K L
Belum adanya kajian regulasi penanganan limbah
1 5 5 4 5 19 II
baterai
Belum adanya rancangan desain konseptual limbah
2 5 4 4 5 18 III
proses daur ulang baterai
3 Kurangnya kesadaran akan bahaya limbah baterai 5 5 5 5 20 I
Belum optimalnya diseminasi teknologi PTL melalui
4 5 4 3 5 17 IV
media sosial
Belum optimalnya sistem informasi laboratorium PTL
5 3 3 5 16 V
sebagai salah satu media pelayanan publik