You are on page 1of 8

Interpretasi Terhadap Kebenaran Agama dalam Cerita “Setan dan Temannya” karya Anthony de

Mello
Widjati Hartiningtyas & Wirdatun Nafi’ah

Pendahuluan
Hidup memunculkan pertanyaan-pertanyaan besar yang masih belum terjawab, seperti: dari
mana manusia berasal, apa makna hidup ini, dan ke mana manusia pergi setelah mati. Manusia
memiliki keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran (Atabik 2016). Karena itu mereka
mencarinya melalui ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Braun (dalam Nasrudin and Jaenudin,
2021) menyebutkan bahwa istilah agama sulit untuk didefinisikan secara konsensual. Ada terlalu
banyak pemaknaan yang terkadang berbeda satu sama lain (Hodge and McGrew 2005). Perbedaan
definisi ini antara lain dipengaruhi oleh pola akar kata, paradigma, deskripsi, dan pola
perlambangan yang berbeda (Alghozali dalam Shobir 2020).
Kata agama merupakan padanan kata dari istilah religion (Inggris) atau al-din (Arab). Religion
berasal dari kata relegere yang artinya memperhatikan dengan saksama (Wattimena 2020). Jadi
agama memiliki arti hidup yang penuh dengan perhatian terhadap kehendak dari yang ilahi.
Muhammad Abdullah Darraz (dalam Ahmadi, Hikmah, and Yudiawan 2021) mengartikan agama
(al-Dîn) sebagai keyakinan tentang suatu kewujudan Tuhan sebagai Dzat yang Maha Kuasa yang
layak untuk ditaati dan disembah. Bila ditilik dari akar katanya dalam bahasa Sanskrit, a berarti
tidak, dan gama berarti pergi (Nasrudin and Jaenudin, 2021). Sehingga agama artinya: tidak pergi,
tetap di tempat, dan diwariskan secara turun-temurun. Gama juga berarti kacau. Dengan
demikian, agama memiliki makna suatu kondisi yang membuat orang tidak kacau, tidak
berantakan, atau membuat orang tertib dan teratur dengan baik dalam seluruh aspek
kehidupannya.
Manusia punya kecendurangan untuk mempercayai keberadaan kekuatan lain di luar dirinya,
yang lebih besar darinya, dan menjadi sumber dan muasal kehidupan (Nasrudin and Jaenudin
2021, Wattimena 2020, ) Banyak penelitian budaya menunjukkan bahwa agama adalah hal
universal di berbagai peradaban manusia. Agama terjalin dalam kehidupan sehari-hari manusia
dan memperkayanya. Berbagai riset juga menunjukkan bahwa agama memberi sumbangan pada
kesejahteraan dan kebahagian manusia (Dister 2021). Berikut adalah beberapa peran agama bagi
manusia:
 Untuk mengatasi frustrasi dan mengatasi ketakutan (Dister 2021)
 Untuk menyediakan panduan moral dan ketertiban sosial sehingga manusia bisa hidup
bersama tanpa konflik atau perang di antaranya (Dister 2021; Wattimena 2020)
 Untuk membebaskan manusia dari penderitaan (Musa Asy’arie dalam Ahmadi et al. 2021)
 Untuk menjawab berbagai pertanyaan yang eksistensial dan memuaskan intelek yang
ingin tahu (Dister 2021; Nasrudin and Jaenudin 2021)
 Sebagai konfirmasi untuk menerima adanya kekuatan di dalam alam semesta yang
mengendalikan dan menopang tata susila serta tata sosial masyarakat (Nasrudin and
Jaenudin 2021)
 Untuk membantu manusia menghadapi kelemahan hidupnya dan memberikan dukungan
psikologis bagi dirinya (Keesing dalam Nasrudin and Jaenudin 2021).
 Untuk menyediakan sesuatu yang tidak didapatkan manusia dari dunia eksternal atau
lingkungannya (Jung dalam Nasrudin and Jaenudin 2021).
Inti dari ajaran agama adalah sama (terutama agama-agama Abrahamik). Yang membedakan
adalah pemahaman dan tafsiran para pemeluknya. Sayangnya, tafsir agama sering dibaca secara
mutlak, berlaku untuk siapa pun, kapan pun, dan konteks apa pun, serta tidak boleh
dipertanyakan. Ketika suatu kelompok mengklaim bahwa pemahaman dan tafsirannya adalah
yang paling benar, saat itulah muncul kemungkinan terjadinya konflik (Wattimena, 2020; Lumban
Gaol 2021)

Benarkah Kebenaran Agama Tidak Dapat Diganggu Gugat?


Situasi itulah yang tersirat dalam cerita “Setan dan Temannya” berikut:

Pada suatu hari setan berjalan-jalan dengan seorang temannya.


Mereka melihat seseorang membungkuk dan memungut sesuatu dari jalan.
“Apa yang ditemukan orang itu?” tanya si teman.
“Sekeping kebenaran,” jawab setan.
“Itu tidak merisaukanmu?” tanya si teman.
“Tidak,” jawab setan. “Saya akan membiarkan dia menjadikannya kepercayaan agama.”

Beberapa unsur penting dalam cerita yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kebenaran
dan kepercayaan agama, serta tentunya kehadiran setan yang menjadi paradoks bagi ‘kebenaran’
dan ‘agama’. Pertama, marilah kita membahasa tentang kebenaran. Kamus Umum Bahasa
Indonesia mendefinisikan kebenaran sebagai 1) keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan
keadaan (hal) yang sesungguhnya 2) Sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada 3)
Kejujuran, kelurusan hati. Seperti yang telah disebutkan dalam pendahuluan di atas, manusia
mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama.
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan didapatkan dari serangkaian percobaan ilmiah dengan
metode tertentu dan pengamatan empiris. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak.
Kebenaran tersebut akan diterima selama belum ada fakta baru yang menentangnya. Kebenaran
dalam filsafat didapatkan melalui pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, spekulasi,
penilaian, dan perenungan. Kebenaran ini biasanya bersifat subyektif dan relatif (Rapar dalam
Atabik 2016). Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian
tentang sesuatu. Sementara itu, kebenaran dalam agama dianggap bersifat mutlak karena berasal
dari firman/ wahyu Tuhan dan sabda Nabi (Wiharto 2005; Handoko Harahap and Salminawati
2022; Nasrudin and Jaenudin 2021)
Mengenai kebenaran beragama, terkadang manusia lupa bahwa agama tak hanya melulu soal
pengamalan, tetapi juga pengalaman. Ajaran tanpa pengalaman spiritualitas membuat agama
menjadi tidak bermakna, hidup beragama menjadi sempit, sehingga manusia terjebak dalam
keberhalaan simbolis dan rentan melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri atau sesamanya
(Dister 2019; Wattimena 2020; Nasrudin and Jaenudin 2021).
Untuk menganalisis hal ini, penulis akan meminjam teori dekonstruksi Arkoun. Mohammed
Arkoun dikenal sebagai salah seorang filsuf modern Islam dan hampir seluruh pemikirannya
memengaruhi aliran reformasi dalam Islam. Meski dalam tulisannya, Arkoun banyak mengkritik
fundamentalisme Islam Arab; dalam makalah ini, penulis menggunakan teori Arkoun secara umum
untuk memaknai kebenaran dalam agama-agama Abrahamik.
Arkoun (dalam Bandur 2019) mengatakan bahwa kitab suci yang juga dianggap sebagai sabda
Allah tidak boleh berada jauh dari umat manusia yang memakainya. Teks-teks Kitab Suci
dihubungkan dengan konteks ruang dan waktu. Interpretasi baru bukannya abai pada aspek
historis, tetapi justru berusaha membebaskan diri dari nalar-nalar tradisional yang cenderung
destruktif. Arkoun mendekati Islam menggunakan “interpretasi historis-antropologis terhadap Al-
Qur’an”.
Pandangan Arkoun banyak dipengaruhi dekonstrusi metafisika kehadiran Jacques Derrida.
Dekonstruksi terbentuk dari kata rekonstruksi dan destruksi. Sederhananya, Arkoun mengkritik
otoritas agama dan Kitab Suci. Dia menyebutkan bahwa otoritas harus selalu memperhitungkan
pluralitas. Di luar otoritas yang mengklaim kebenaran tunggal, masih ada kebenaran-kebenaran
lain yang bersumber dari otoritas lain. Argumennya adalah: pemahaman manusia tentang sumber
kebenaran terbatas pada kekuatan logika dan Bahasa. Manusia hanya dapat memahami sebagian
kecil saja kebenaran sejati yang utuh.

Cara lain memandang kebenaran agama


Dalam perkembangannya, agama saat ini tidak lagi berada dalam kesadaran manusia, namun
sudah bergeser dalam kebudayaan (Waggoner dalam Nasrudin and Jaenudin 2021). Karena ayat-
ayat dalam kitab suci berupa teks yang berasal dari masa lalu. maka perlu mengkontekstualisasikan
dan mengaktualusasikan makna dan penjelasannya pada pengalaman saat ini (Ankersmit dalam
Ahmadi et al. 2021). Pemahaman agama perlu dilakukan lintas ilmu. Mendalami ilmu pengetahuan
bukanlah tindakan yang berlawanan dengan kepercayaan agama. Siswati (Ahmadi et al. 2021),
Wijaya (Lumban Gaol 2021), serta Handoko Harahap dan Salminawati (2022) sepakat bahwa ilmu
pengetahuan justru meningkatkan pemahaman dan pengetahuan manusia tentang agama secara
lebih rasional, sehingga manusia tidak terjerembab takhayul semata. Begitu juga dengan
mempelajari agama lain. Alih-alih menggoyahkan iman, hal itu akan mencegah orang menilai
agama lain secara apriori dan membuka dialog sehat antaragama. Penilaian yang didasarkan pada
ketidaktahuan dan kebencian hanya akan membuat pemeluk agama terlihat bodoh dan tidak
bertanggung jawab (Muzakkir dalam Ahmadi et al. 2021)
Agama adalah sesuatu yang kompleks dan kaya, serta memiliki unsur filosofis dan sejarah yang
luas dan dalam. Pemahaman ini seharusnya memunculkan sikap rendah hati, toleransi, dan
kebijaksanaan. Wibowo (dalam Lumban Gaol 2021) mengutip pandangan J. B. Banawiratma yang
mengatakan bahwa setiap agama berada di dunia dan hanya bisa mengungkapkan diri dalam
bentuk duniawi. Kesadaran bahwa dirinya berada di dunia dan dalam “bentuk duniawi” membawa
agama pada kesadaran akan keterbatasan dirinya. Agama sejauh apa pun ia mengklaim kebenaran,
jika ia masih berada dalam situasi duniawi, maka ia terkena sifat duniawi dan ikut terpengaruh
oleh duniawi (dalam pengertian netral).
William James, salah seorang pelopor Psikologi Agama mengingatkan agar dalam memahami
agama, manusia membedakan aspek institusional dan aspek personal agama. Aspek institusional
mengatur peribadatan, teologi, praktik perayaan, organisasi eklesiastikal. Sementara aspek
personal merefleksikan disposisi internal individu pemeluknya ( Nasrudin and Jaenudin 2021).
Senada dengan pendapat tersebut, Ismail dalam Shobir (2020) mengatakan bagi individu
pemeluknya, agama berfungsi menentukan arah dan tujuan hidup. Sedangkan secara sosiologis,
agama mengatur hubungan antar manusia dan berinteraksi dengan aspek-aspek kehidupan
masyarakat lainya, seperti politik, ekonomi, sosial, kepemimpinan. Artinya, agama bersifat
operasional-fungsional. Bakhtiar (dalam Atabik 2016) menambahkan bahwa pengetahuan agama
mengajarkan cara berhubungan dengan Tuhan (hubungan vertikal/ hablun min Allah) dan cara
berhubungan dengan sesama manusia (hubungan horizontal/ hablun min al-nas).
Untuk kembali mengingatkan akan hubungan antarmanusia dalam agama, Erich fromm (dalam
Nasrudin and Jaenudin, 2021) menekankan pentingnya sisi humanis dalam agama. Pengalaman
beragama tak hanya fokus pada hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dengan pengalaman
kesatuan dengan semua makhluk, yang didasarkan pada prinsip keterkaitan seseorang dengan
dunia yang dipahaminya dengan pikiran dan cintanya. Dengan begitu manusia dapat
mengembangkan kemampuan untuk mencintai orang lain dan dirinya sendiri, serta
mengembangkan solidaritas seluruh makhluk hidup.
Penutup
Cara memandang agama dari aspek yang berbeda itulah yang lantas menimbulkan diferensiasi
agama dan spiritualitas. Banyak orang yang kemudian menganggap spiritualitas sebagai hal yang
baik sementara agama adalah hal yang buruk. Padahal keduanya berkaitan erat satu sama lain.
Diferensiasi agama dan spiritualitas serta usaha untuk mendefinisikannya juga menimbulkan
perdebatan panjang. Pendek kata, semua pihak sepakat bahwa mereka belum menemukan kata
sepakat. Namun untuk menutup makalah ini, penulis akan meminjam definisi sementara tentang
spiritualitas dan agama yang diungkap oleh Pargament dan rekan-rekannya (Pargament et al,
2012).
Spiritualitas adalah proses mencari yang suci. “Yang suci” di sini tidak harus merujuk pada
Tuhan. Yang suci bisa termasuk kepercayaan, praktik, dan pengalaman. Istilah yang suci bisa
dilihat, dialami dan dianalisis dengan banyak cara. Orang bisa mencari tujuan yang suci, kerajaan
suci di bumi, mengabdi pada sosok suci, dan usaha menghindari penghakiman hari akhir/
kebinasaan. Kata “pencarian” menandakan bahwa perjalanan belum selesai. Di dalam spiritualitas
ada transformasi individu.
Sementara itu, agama adalah pencarian makna yang muncul dari institusi yang ditetapkan dan
didesain untuk memfasilitasi spiritualitas. Jadi bisa kita lihat bahwa persamaan spiritualitas dan
agama adalah: yang suci, dinamis, dan proses pencarian. Artinya, agama dan spiritualitas menjadi
bagian dari perjalanan seumur hidup seseorang.
Kembali ke cerita “Setan dan Temannya”, marilah kita tidak melupakan kemunculan kata
“sekeping”. Hal ini menjadi pengingat bahwa karena akal budi yang terbatas, manusia hanya
mampu memahami sekeping kebenaran akan Tuhan (Kant dan Arkoun juga menyatakan pendapat
serupa). Jangan lupa juga bahwa seperti hidup yang dinamis dan terus bergerak hingga
kesudahannya, begitu pula proses kita mencari dan memahami kebenaran. Merasa telah
menemukan kebenaran sejati, akan membuat kita untuk berhenti mencari, berpuas diri, dan
malah sibuk menghakimi.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Ahmadi, Afroh Nailil Hikmah, and Agus Yudiawan. 2021. “Ilmu Dan Agama Dalam
Perspektif Filsafat Ilmu.” Al-Fikr: Jurnal Pendidikan Islam 7(1):12–25. doi:
10.32489/alfikr.v7i1.108.
Atabik, Ahmad. 2016. “Teori Kebenaran Prespektif Filsafat Ilmu.” Jurnal Akuntansi Multiparadigma
7(1):81–90.
Bandur, Hironimus. 2019. “KEBENARAN AGAMA ( Kontribusi Pemikiran Mohammed Arkoun Dalam
Studi Agama-Agama).” Alternatif 1(1):165–79.
Dister, N.S. 2021. Psikologi Agama: Tentang Segi Insani Ima dan Agama- Pengalaman dan
Motivasi Beragama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Handoko Harahap, Fiki Robi, and Salminawati. 2022. “Konsep Kebenaran Berdasarkan Tinjauan
Filsafat, Agama Dan Ilmu Pengetahuan.” Journal Of Social Research 1(3):724–30. doi:
10.55324/josr.v1i3.82.
Hodge, David R., and Charlene Chen McGrew. 2005. “Clarifying the Distinctions and Connections
between Spirituality and Religion.” Social Work & Christianity 32(1):1–21.
Lumban Gaol, Rumondang. 2021. “Kebebasan Yang Memerdekakan: Sumbangsih Pemikiran
Filsafat Anarkisme Epistemologis Paul K. Feyerabend Terhadap Pemahaman Radikalisme
Agama.” Aradha: Journal of Divinity, Peace and Conflict Studies 1(2):145. doi:
10.21460/aradha.2021.12.703.
Mahoney, Annette, and Edward P. Shafranske. 2012. “Envisioning an Integrative Paradigm for the
Psychology of Religion and Spirituality.” APA Handbook of Psychology, Religion, and
Spirituality (Vol 1): Context, Theory, and Research. 1:3–19. doi: 10.1037/14045-001.
Nasrudin, E. & Jaenudin, U. 2021. Psikologi Agama Dan Spiritualitas: Memahami Perilaku
Beragama dalam Perspektif Psikologi. Bandung: Lagood Publishings
Shobir, Labib Muzaki. 2020. “Spiritualitas Dalam Perspektif Agama-Agama: Sebuah Pencarian Titik
Temu.” Indonesian Journal of Humanities and Social Sciences 1(2):119–30.
Wattimena, R.A.A. 2020. Untuk semua yang beragama: Agama dalam Pelukan Filsafat, Politik, dan
Spiritualitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Wiharto, Mulyo. 2005. “Kebenaran Ilmu, Filsafat Dan Agama.” Forum Ilmiah Indonusa 2(3):1–10.
Sumber online:
Biografi dan Pemikiran Mohammed Arkoun Tentang Dekonstruksi & Historitas Al-Quran -
JUMAL AHMAD (ahmadbinhanbal.com)

You might also like