Professional Documents
Culture Documents
Interpretasi Kebenaran Agama Dalam Cerita Setan Dan Temannya
Interpretasi Kebenaran Agama Dalam Cerita Setan Dan Temannya
Mello
Widjati Hartiningtyas & Wirdatun Nafi’ah
Pendahuluan
Hidup memunculkan pertanyaan-pertanyaan besar yang masih belum terjawab, seperti: dari
mana manusia berasal, apa makna hidup ini, dan ke mana manusia pergi setelah mati. Manusia
memiliki keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran (Atabik 2016). Karena itu mereka
mencarinya melalui ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Braun (dalam Nasrudin and Jaenudin,
2021) menyebutkan bahwa istilah agama sulit untuk didefinisikan secara konsensual. Ada terlalu
banyak pemaknaan yang terkadang berbeda satu sama lain (Hodge and McGrew 2005). Perbedaan
definisi ini antara lain dipengaruhi oleh pola akar kata, paradigma, deskripsi, dan pola
perlambangan yang berbeda (Alghozali dalam Shobir 2020).
Kata agama merupakan padanan kata dari istilah religion (Inggris) atau al-din (Arab). Religion
berasal dari kata relegere yang artinya memperhatikan dengan saksama (Wattimena 2020). Jadi
agama memiliki arti hidup yang penuh dengan perhatian terhadap kehendak dari yang ilahi.
Muhammad Abdullah Darraz (dalam Ahmadi, Hikmah, and Yudiawan 2021) mengartikan agama
(al-Dîn) sebagai keyakinan tentang suatu kewujudan Tuhan sebagai Dzat yang Maha Kuasa yang
layak untuk ditaati dan disembah. Bila ditilik dari akar katanya dalam bahasa Sanskrit, a berarti
tidak, dan gama berarti pergi (Nasrudin and Jaenudin, 2021). Sehingga agama artinya: tidak pergi,
tetap di tempat, dan diwariskan secara turun-temurun. Gama juga berarti kacau. Dengan
demikian, agama memiliki makna suatu kondisi yang membuat orang tidak kacau, tidak
berantakan, atau membuat orang tertib dan teratur dengan baik dalam seluruh aspek
kehidupannya.
Manusia punya kecendurangan untuk mempercayai keberadaan kekuatan lain di luar dirinya,
yang lebih besar darinya, dan menjadi sumber dan muasal kehidupan (Nasrudin and Jaenudin
2021, Wattimena 2020, ) Banyak penelitian budaya menunjukkan bahwa agama adalah hal
universal di berbagai peradaban manusia. Agama terjalin dalam kehidupan sehari-hari manusia
dan memperkayanya. Berbagai riset juga menunjukkan bahwa agama memberi sumbangan pada
kesejahteraan dan kebahagian manusia (Dister 2021). Berikut adalah beberapa peran agama bagi
manusia:
Untuk mengatasi frustrasi dan mengatasi ketakutan (Dister 2021)
Untuk menyediakan panduan moral dan ketertiban sosial sehingga manusia bisa hidup
bersama tanpa konflik atau perang di antaranya (Dister 2021; Wattimena 2020)
Untuk membebaskan manusia dari penderitaan (Musa Asy’arie dalam Ahmadi et al. 2021)
Untuk menjawab berbagai pertanyaan yang eksistensial dan memuaskan intelek yang
ingin tahu (Dister 2021; Nasrudin and Jaenudin 2021)
Sebagai konfirmasi untuk menerima adanya kekuatan di dalam alam semesta yang
mengendalikan dan menopang tata susila serta tata sosial masyarakat (Nasrudin and
Jaenudin 2021)
Untuk membantu manusia menghadapi kelemahan hidupnya dan memberikan dukungan
psikologis bagi dirinya (Keesing dalam Nasrudin and Jaenudin 2021).
Untuk menyediakan sesuatu yang tidak didapatkan manusia dari dunia eksternal atau
lingkungannya (Jung dalam Nasrudin and Jaenudin 2021).
Inti dari ajaran agama adalah sama (terutama agama-agama Abrahamik). Yang membedakan
adalah pemahaman dan tafsiran para pemeluknya. Sayangnya, tafsir agama sering dibaca secara
mutlak, berlaku untuk siapa pun, kapan pun, dan konteks apa pun, serta tidak boleh
dipertanyakan. Ketika suatu kelompok mengklaim bahwa pemahaman dan tafsirannya adalah
yang paling benar, saat itulah muncul kemungkinan terjadinya konflik (Wattimena, 2020; Lumban
Gaol 2021)
Beberapa unsur penting dalam cerita yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kebenaran
dan kepercayaan agama, serta tentunya kehadiran setan yang menjadi paradoks bagi ‘kebenaran’
dan ‘agama’. Pertama, marilah kita membahasa tentang kebenaran. Kamus Umum Bahasa
Indonesia mendefinisikan kebenaran sebagai 1) keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan
keadaan (hal) yang sesungguhnya 2) Sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada 3)
Kejujuran, kelurusan hati. Seperti yang telah disebutkan dalam pendahuluan di atas, manusia
mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama.
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan didapatkan dari serangkaian percobaan ilmiah dengan
metode tertentu dan pengamatan empiris. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak.
Kebenaran tersebut akan diterima selama belum ada fakta baru yang menentangnya. Kebenaran
dalam filsafat didapatkan melalui pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, spekulasi,
penilaian, dan perenungan. Kebenaran ini biasanya bersifat subyektif dan relatif (Rapar dalam
Atabik 2016). Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian
tentang sesuatu. Sementara itu, kebenaran dalam agama dianggap bersifat mutlak karena berasal
dari firman/ wahyu Tuhan dan sabda Nabi (Wiharto 2005; Handoko Harahap and Salminawati
2022; Nasrudin and Jaenudin 2021)
Mengenai kebenaran beragama, terkadang manusia lupa bahwa agama tak hanya melulu soal
pengamalan, tetapi juga pengalaman. Ajaran tanpa pengalaman spiritualitas membuat agama
menjadi tidak bermakna, hidup beragama menjadi sempit, sehingga manusia terjebak dalam
keberhalaan simbolis dan rentan melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri atau sesamanya
(Dister 2019; Wattimena 2020; Nasrudin and Jaenudin 2021).
Untuk menganalisis hal ini, penulis akan meminjam teori dekonstruksi Arkoun. Mohammed
Arkoun dikenal sebagai salah seorang filsuf modern Islam dan hampir seluruh pemikirannya
memengaruhi aliran reformasi dalam Islam. Meski dalam tulisannya, Arkoun banyak mengkritik
fundamentalisme Islam Arab; dalam makalah ini, penulis menggunakan teori Arkoun secara umum
untuk memaknai kebenaran dalam agama-agama Abrahamik.
Arkoun (dalam Bandur 2019) mengatakan bahwa kitab suci yang juga dianggap sebagai sabda
Allah tidak boleh berada jauh dari umat manusia yang memakainya. Teks-teks Kitab Suci
dihubungkan dengan konteks ruang dan waktu. Interpretasi baru bukannya abai pada aspek
historis, tetapi justru berusaha membebaskan diri dari nalar-nalar tradisional yang cenderung
destruktif. Arkoun mendekati Islam menggunakan “interpretasi historis-antropologis terhadap Al-
Qur’an”.
Pandangan Arkoun banyak dipengaruhi dekonstrusi metafisika kehadiran Jacques Derrida.
Dekonstruksi terbentuk dari kata rekonstruksi dan destruksi. Sederhananya, Arkoun mengkritik
otoritas agama dan Kitab Suci. Dia menyebutkan bahwa otoritas harus selalu memperhitungkan
pluralitas. Di luar otoritas yang mengklaim kebenaran tunggal, masih ada kebenaran-kebenaran
lain yang bersumber dari otoritas lain. Argumennya adalah: pemahaman manusia tentang sumber
kebenaran terbatas pada kekuatan logika dan Bahasa. Manusia hanya dapat memahami sebagian
kecil saja kebenaran sejati yang utuh.