You are on page 1of 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kafein

2.1.1 Sifat Kimia Kafein

Kafein (1,3,7-trimethylxanthine) merupakan senyawa alkaloid golongan

xanthine (basa purin). Kafein merupakan salah satu komponen dari tanaman

nonalkoholik yang dapat diolah menjadi minuman ataupun makanan

(Fredholm, 2011). Selain itu, kafein adalah senyawa psikoaktif yang banyak

dikonsumsi di dunia. Kafein dapat dijumpai dalam berbagai sumber makanan

seperti kopi, teh, coklat, dan minuman ringan (softdrink). Kafein juga dapat

ditemukan diberbagai jenis obat seperti diuretik, analgesik, dan dekongestan

(Vanconselos et al., 2012).

Gambar12.1 Struktur Kimia Kafein


(Sumber: Fredholm, 2011)

2.1.2 Sumber Kafein

Kafein secara alami ditemukan di bagian tumbuhan seperti biji, daun,

dan buah pada beberapa jenis tanaman dengan konsentrasi yang bervariasi.

Kafein merupakan senyawa yang diproduksi oleh lebih dari 60 spesies

tanaman. Konsentrasi kafein terdapat paling banyak pada kopi (Vanconselos


et al., 2012). Berikut, kandungan kafein dalam berbagai jenis makanan dan

minuman:

Tabel12.1 Kandungan Kafein dalam Beberapa Produk Minuman,


Makanan, dan Obat (Mayo Clinic Staff, 2014)
Jenis Produk Kandungan Kafein (mg)
Jenis Kopi
Kopi tubruk (237 ml) 95-200
Kopi tubruk, decaffeinated (237 ml) 2-12
Kopi tubruk, instan (237 ml) 75-150
Kopi tubruk, instan, decaffeinated (237 ml) 2-4
Espresso, ala restaurant (30 ml) 47-75
Espresso, ala restaurant, decaffeinated (30 ml) 0-15
Kopi instan (237 ml) 27-173
Kopi instan, decaffeinated (237 ml) 2-12
Kopi khusus (latte atau mocha) (237 ml) 63-175
Jenis Teh (237 ml)
Teh hitam 14-70
Teh hitam, decaffeinated 0-12
Teh hijau 24-45
Teh instan dingin, dihidangkan dengan air 11-47
Es teh siap minum, dalam botol 5-40
Jenis Soft Drinks (355 ml)
A&W Root Beer 0
Coca-Cola 23-35
Diet Coke 23-47
Diet Pepsi 27-37
7UP 0
Pepsi 32-39
Sprite, regular, dan diet 0
Minuman Berenergi
Amp, regular atau sugar-free (237 ml) 71-74
Red Bull, regular atau sugar-free (248 ml) 79-80
Rockstar, regular atau sugar-free (237 ml) 75-80
Obat
Excerdin Extra Strength 1 tablet 60-65
NoDoz Max Strength 1 tablet 200
Cafergot, Migralam Anoquan, Aspir-code, BAC, 100
Darvon, Fiorinal
Caffin-TD, Caffedrine 250
Vivarin, Ver 200
Quick-Pep 140-150
Amostat, Anorexin, Appendrine, Nodoz, Wakoz 100
Permen
Cokelat chips 1 tablet 104
Cokelat hitam dilapisi biji kopi 28 buah 336
Energy mints 2 buah 95-200

2.1.3 Metabolisme Kafein

Kafein memiliki kecepatan absorbsi yang baik pada saluran

pencernaan dan mencapai kadar tertinggi dalam darah dalam 30 hingga 45


menit. Waktu paruh kafein sangat bervariasi antar individu karena sangat

dipengaruhi oleh berbagai faktor individual seperti umur, fungsi hati dalam

memetabolisme kafein, dan kehamilan. Pada orang dewasa, kafein memiliki

rerata waktu paruh antara 4 sampai 5 jam. Waktu paruh ini akan meningkat

pada penderita penyakit hati (96 - >100 jam), penggunaan kontrasepsi oral

(5-10 jam), bayi dan neonatus (30 jam) atau selama kehamilan (9-11 jam)

(Thorn et al., 2012).

Kafein dimetabolisme di hati oleh sistem enzim sitokrom P450

oksidase (lebih spesifik dikenal isozim 1A2/CYPIA2) menjadi tiga metabolik

dimethylxanthines, yang masing-masing memiliki efek sendiri pada tubuh

(Monteiro, 2016) :

 Paraxanthine (84%): memiliki efek lipolisis, yang menyebabkan

peningkatan gliserol dan bebas kadar asam lemak dalam plasma darah.

 Teofilin (4%): stimulasi sistem saraf pusat, yang digunakan untuk

melemaskan otot polos dari saluran pernapasan dan digunakan untuk

mengobati asma. Dosis terapi teofilin lebih besar diperoleh dari

metabolisme kafein. Memiliki efek diuretic.

 Theobromine (12%): menstimulasi sistem saraf pusat, namun kurang

signifikan dibandingkan dengan teofilin. Mendilatasi pembuluh darah.

Dalam keadaan normal, terdapat 4 mekanisme kafein pada aktifitas

seluler: antagonis reseptor adenosine, menginhibisi enzim fosfodiesterase,

modulasi reseptor GABA, dan regulasi ion kalsium intraseluler. Mekanisme

utama kafein adalah dengan menghambat reseptor adenosine secara

kompetitif pada tingkat sel. Hambatan ini memicu peningkatkan hormone

seperti norepinefrin, dopamin dan hormone serotonin (Monteiro, 2016).

Kafein (methylxanthines) mampu menghambat ke-empat tipe dari reseptor

adenosine (A1, A2A, A2B and A3), tapi sebagian besar kerja kafein
dimediasi dengan menghambat reseptor adenosine tipe A1 and A2A.

Sedangkan teofilin dan paraxanthine memiliki daya afinitas yang tinggi

terhadap reseptor A1, A2A, dan A2B namun merupakan antagonis yang

lemah bagi reseptor subtipe A3 (Monteiro, 2016). Sedangkan theobromine

memiliki afinitas yang lebih rendah dibangingkan dengan methylxanthine

pada reseptor A1 dan A2 (Monteiro, 2016).

Selain itu, kafein juga dapat bersifat kompetitif non-selektif reversibel

untuk menghambat enzim fosfodiesterase, terlebih lagi pada

fosfodiesterase-4 (PDE4). Hal ini dapat mencegah degradasi siklus cAMP

adenosine sehingga dapat meningkatkan konsentrasi cAMP. cAMP

merupakan komponen tranduksi sinyal yang penting pada respon selular

terhadap hormone dan neurotransmitter (Monteiro, 2016). Mekanisme yang

keempat, efek kafein dalam menghambat modulasi terhadap reseptor

GABA ini berpengaruh terhadap berbagai jalur transportasi ionik pada otak.

Terakhir, kafein berperan dalam pelepasan kalsium intraselular melalui

aktifasi reseptor ryanodine yang terdapat pada retikulum endoplasma

(Monteiro, 2016).
2.1.4 Efek Farmakologis Kafein

Gambar22.2 Metabolisme Kafein


Kafein dapat mempengaruhi berbagai proses dalam sel, seperti dapat merusak
DNA, mengganggu siklus sel, serta gangguan dalam sistem transportasi protein
(sumber:Calvo et al., 2009)

Kafein memiliki efek farmakologis dan biologis yang luas. Beberapa

efek menguntungkan dari kafein adalah kafein dapat membantu seseorang

untuk tetap terjaga, menjadi lebih fokus, produktif, dan dapat mengatasi stres

(Rogers et al., 2008).

Kafein merupakan senyawa yang berikatan dengan reseptor

adenosine dan reseptor ryanodine yang terdapat banyak pada sistem saraf

dan sistem kardiovaskular yang memiliki peran dalam regulasi pelepasan

kalsium intaselular, peredaran darah koronaria, dan angiogenesis (Yeh et al.,

2012). Penekanan terhadap reseptor adenosine juga dapat menyebabkan

peningkatan sekresi katekolamin: adrenalin, dopamin dan serotonin.

Peningkatan hormon-hormon tersebut dapat meningkatkan tekanan darah

dan juga menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah (Temple, 2009).

Kafein dapat bersifat sebagai vasodilator pembuluh darah jika

berikatan dengan reseptor ryanodine. Hal tersebut disebabkan karena ikatan


kafein dengan reseptor ryanodine dapat menginduksi pelepasan nitrat oksida

(NO) yang disintesis di reticulum endothelium pembuluh (Umemura et al.,,

2006). Nitrat oksida merupakan mediator yang paling penting disintesis oleh

sel endotel, yang merupakan vasodilator, anti-platelet, anti-proliferatif,

penurun permeabilitas, antiinflamatori, dan antioksidan. Namun, pada

penelitian yang dilakukan oleh Umemura et al., (2006), efek kafein sebagai

vasodilator dihambat sepenuhya oleh L-NMMA yang merupakan inhibitor dari

sintesa nitrat oksida. Fungsi lain dari dampak kafein ditunjukan pada gambar

2.2 dimana kafein juga berperan dalam berbagai mekanisme dalam sel

seperti kerusakan DNA dan gangguan transpor protein.

Kafein dapat melewati plasenta dan lapisan darah-otak dikarenakan

sifatnya yang hidrofobik (Yeh et al., 2012). Metabolit kafein, paraxanthine,

merupakan derivat xanthine yang merupakan sumber penting dari terjadinya

pembentukan radikal bebas (prooksidan) yang dapat meningkatkan keadaan

stres oksidatif yang dapat menginduksi kerusakan komponen seluler yang

bersifat ireversibel dan menyebabkan kematian sel melalui jalur apoptosis

intrinsik melalui mitokondria, sehingga memicu kerusakan DNA mitokondria,

disfungsi, dan peningkatan apoptosis sel. Selain itu, stress oksidatif juga

berperan dalam penurunan produksi nitrat oksida, sehingga dapat

menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah (Zalukhu et al.,

2016). Batas konsumsi kafein yang aman untuk ibu hamil adalah sebanyak

144 mg/hari (Chen et al., 2008).

2.2 Stres Oksidatif

Stres oksidatif merupakan ketidakseimbangan antara radikal bebas (pro-

oksidan) dengan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi umum, yaitu

kurangnya antioksidan dan atau produksi radikal bebas yang berlebihan (Rush et
al., 2005). Akibatnya intensitas proses oksidasi sel-sel tubuh normal menjadi

semakin tinggi dan dapat menimbulkan kerusakan yang lebih banyak. Radikal

bebas merupakan elemen hidrogen dengan satu proton dan satu elektron.

Radikal bebas juga dapat didefinisikan sebagai spesies kimia reaktif yang

memiliki elektron tidak berpasangan di orbital terluarnya, sehingga radikal bebas

akan berikatan dengan molekul di sekitarnya, seperti protein, lipid, karbohidrat,

dan asam nukleat (Zalukhu et al., 2016).

Radikal bebas paling banyak yang menyebabkan kerusakan sistem

biologis tubuh adalah Reactive-Oxygen Species (ROS). Molekul ROS dibentuk

oleh sel-sel organisme aerobik yang dapat menginiasi reaksi autokatalitik.

Molekul yang bereaksi dengan ROS akan diubah menjadi radikal bebas,

sehingga memperluas rantai kerusakan oksidasi. Radikal bebas yang berlebih

menyebabkan antioksidan seluler natural tidak kuat, sehingga memicu oksidasi,

dan berkontribusi terhadap kerusakan fungsional seluler (Zalukhu et al., 2016).

Akumulasi radikal oksigen pada sel dan modifikasi oksidatif molekul biologi

(lipid, protein, dan asam nukleat) berperan pada penuaan dan kematian sel

(Fusco et al., 2007). Pada kondisi normal, Reactive-Oxygen Species (ROS)

berperan sebagai “redox messenger” dalam pengaturan jalur interseluler. Stres

oksidatif terjadi jika produksi ROS alamiah tidak dapat diseimbangkan oleh

kapasitas antioksidan jaringan. ROS berlebihan dapat menginduksi kerusakan

komponen seluler yang bersifat ireversibel dan menyebabkan kematian sel

melalui jalur apoptosis intrinsik melalui mitokondria, sehingga memicu kerusakan

DNA mitokondria, disfungsi, dan peningkatan apoptosis sel (Zalukhu et al.,

2016).

Penurunan stres oksidatif dapat dicapai melalui tiga tahap, yaitu dengan

menurunkan pajanan ke polutan lingkungan yang mengandung oksidan,

meningkatkan jumlah antioksidan endogen dan eksogen, dan menurunkan stres


oksidatif dengan menstabilkan produksi dan efisiensi energi mitokondria. Stres

oksidatif endogen dapat dipengaruhi dengan dua cara, yaitu dengan mencegah

formasi ROS atau menghilangkan efek ROS dengan antioksidan (Zalukhu et al.,

2016). Antioksidan merupakan zat yang dapat membersihkan radikal bebas dan

mencegah radikal bebas merusak sel. Antioksidan memiliki efek protektif dengan

menetralkan radikal bebas yang bersifat toksik dengan memproduksi

metabolisme sel alami. Tubuh secara alami menghasilkan antioksidan, tapi

prosesnya tidak efektif 100% jika dalam keadaan produksi radikal bebas

melimpah di udara dan keefektifannya juga menurun karena penuaan (Sen et al.,

2010).

2.3 Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan suatu senyawa atau molekul yang mengandung

satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya. Ini menyebabkan

senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan dengan cara menyerang dan

mengikat elektron di sekitarnya. Apabila senyawa yang diikiat oleh senyawa

radikal bebas tersebut merupakan seyawa kovalen maka akan menjadi

berbahaya. Senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar

(bioakromolekul) seperti lipid, protein, polisakarida, dan DNA. Semakin besar

molekul yang mengalami kerusakan, semakin parah akibatnya. Kerusakan sel

akan berdampak negatif pada struktur dan fungsi sel tersebut (Winarsi, 2011).

Radikal bebas menyebabkan kerusakan sel dangan tiga cara, yaitu

peroksidasi komponen lipid dari membran sel dan sitosol sehingga menyebabkan

serangkaian reduksi asam lemak yang mengakibatkan kerusakan membran;

kerusakan DNA yang dapat menyebabkan mutasi DNA bahkan dapat

menimbulkan kematian sel; ketiga yaitu dengan modifikasi protein teroksidasi

oleh karena terbentuknya cross linking protein, melalui mediator sulfidril atas
beberapa asam amino labil seperti sistein, metionin, lisin, dan histidin.

Reaktivitas radikal bebas dapat dihambat melalui tiga cara, yaitu mencegah atau

menghambat pembentukan radikal bebas baru, menginaktivasi atau menangkap

radikal dan memotong propagasi (pemutusan rantai), serta memperbaiki (repair)

kerusakan akibat radikal (Winarsi, 2011).

2.4 Antioksidan

2.4.1 Definisi

Antioksidan dapat diartikan sebagai molekul yang mampu

menstabilkan atau menonaktifkan radikal bebas sebelum menyerang sel.

Antioksidan dapat menghambat atau menunda oksidasi sebuah substrat.

Oksidan endogen dapat dibedakan menjadi antioksidan endogen non-

enzimatik, dan antioksidan endogen enzimatik (Zalukhu et al., 2016). Pada

orang normal, antioksidan endogen akan menyeimbangkan produksi ROS.

Sumber terbanyak antioksidan berasal dari nutrisi terutama golongan fenol

(Rahman, 2007). Beberapa mekanisme kerja antioksidan nutrisional antara

lain berdasarkan Rahman (2007) :

1. Menetralisir radikal bebas.

2. Mengurangi konsentrasi peroksida dan memperbaiki membrane oksidasi.

3. Menetralisir ROS melalui metabolisme lipid, asam lemak bebas rantai

pendek, dan kolesterol ester.

2.4.2 Klasifikasi

Di dalam tubuh, terdapat dua kelompok antioksidan utama, yakni

antioksidan enzimatik dan antioksidan non-enzimatik. Dua kelompok tersebut

selanjutnya masih terbagi menjadi beberapa subgrup. Antioksidan enzimatik

terbagi menjadi pertahanan enzimatik primer dan sekunder. Berdasarkan


mekanisme kerja, antioksidan diklasifikasikan menjadi antioksidan primer,

sekunder, dan tersier (Sayuti dan Yenrina, 2015).

1. Antioksidan primer

Mencegah terjadinya reaksi inisiasi dengan cara bereaksi dengan radikal

bebas dan memutus reaksi berantai oksidasi serta mengubah radikal

bebas menjadi produk baru yang lebih stabil, lebih larut air, dan bisa

diekskresi tubuh. Contohnya antara lain enzim-2 SOD, katalase (Sayuti

dan Yenrina, 2015).

2. Antioksidan Sekunder

Menangkap radikal bebas dan mencegah reaksi berantai. Contohnya

antara lain Vitamin C, Vitamin E, betakaroten (Sayuti dan Yenrina, 2015).

3. Antioksidan Tersier

Memperbaiki kerusakan sel dan jaringan yang rusak akibat radikal bebas.

Contohnya antara lain enzim reduktase, kofaktor enzim (Q10), mineral

(zinc dan selenium), peptida (glutation), asam fenolik, asam fenolat, dan

senyawa nitrogen (asam urea) (Sayuti dan Yenrina, 2015).

2.5 Buah Delima (Punica granatum L.)

2.5.1 Deskripsi Buah Delima

Delima adalah tanaman buah-buahan yang dapat tumbuh hingga 5-8

meter. Tanaman ini diperkirakan berasal dari Iran, namun tanaman ini sudah

bisa banyak ditemukan di daerah Mediterania, Spanyol, Cina Selatan dan

Asia Tenggara (Sudjijo, 2014). Tanaman ini hidup pada tanah yang gembur,

dan tidak terendam dengan air. Delima sering ditanam sebagai tanaman hias,

obat atau konsumsi karena buahnya yang bisa dimakan. Delima memiliki

bentuk pohon perdu atau pohon kecil yang memiliki ketinggian dibawah 6

meter. Batang berkayu, ranting bersegi, percabangan banyak, lemah, berduri


pada ketiak daunnya, cokelat ketika masih muda, dan hijau kotor setelah tua.

Daun tunggal, bertangkai pendek, letaknya berkelompok. Helaian daun

bentuknya lonjong, pangkal lancip, ujung tumpul, tepi rata, pertulangan

menyirip, permukaan mengkilap, dengan panjang 1–9 cm, lebar 0,5–2,5 cm,

berwarma hijau (Sudjijo, 2014).

Buah delima dapat dikonsumsi yang mengandung dengan daging

buah yang berbentuk pulp. Ukuran diameter buah bervariasi dari 5 cm

hingga 12 cm dengan bentuk yang bulat, tebal dengan kulit yang berwarna

kemerahan (Sudjijo, 2014). Pada buah yang matang, buah akan terasa

asam karena ukuran pH yang rendah yaitu sebesar 4,4 dan kaya akan

kandungan polifenol. Pewarnaan pada buah delima disebabkan karena

adanya antosianin dan ellagitanin (Fernandes et al., 2015).

Gambar32.3 Buah Delima (Punica granatum L.)


(Sumber: Rukmana, 2003)

Berikut adalah klasifikasi buah delima berdasarkan USDA (diakses

Desember, 2019):

Kingdom  Plantae 

Subkingdom  Tracheobionta – tumbuhan berpembuluh


Superdivision  Spermatophyta – tumbuhan berbiji

Divisi  Magnoliophyta – tumbuhan berbunga


Kelas  Magnoliopsida – Dikotiledon
Subkelas  Rosidae
Ordo Myrtales

Famili  Punicaceae –Famili Pomegranate
Genus  Punica L. – pomegranate

Spesies  Punica granatum L. – pomegranate 

2.5.2 Kandungan Kulit Buah Delima

Pada penelitian Guo et al., (2003), kulit buah delima memiliki aktivitas

antioksidan yang paling tinggi dibandingkan dengan 28 jenis buah yang

sering dikonsumsi di China dengan menggunakan penilaian FRAP (ferric

reducing anti-oxidant power). Berikut ini adalah hasil penelitian Guo et al.,

(2003) mengenai aktivitas antioksidan pada 28 buah yang sering dikonsumsi

oleh masyarakat China:

Tabel22.2 Aktivitas Antioksidan pada 28 buah (mmol/100g) (Guo et.al.,


2003)
Buah Pulp Kulit Biji
Howthorn Berry 13.42 ± 0.74 29.25 ± 1.50 0.43 ± 0.03
Angco (Kurma China) 6.98 ± 0.29 16.69 ± 0.55 1.77 ± 0.13
Jambu 6.07 ± 0.69 10.24 ± 0.24 4.71 ± 0.13
Kiwi 4.38 ± 0.20 11.13 ± 0.23 -
Mulberry 4.11 ± 0.25 - -
Strawberi 3.29 ± 0.30 - -
Delima 3.10 ± 0.12 82.11 ± 4.01 0.72 ± 0.05
Lukan Tangerine 2.29 ± 0.13 6.94± 0.40 1.15 ± 0.02
Madu Tangerine 2.19 ± 0.08 5.44 ± 0.88 -
Jeruk 1.89 ± 0.19 5.69± 0.26 -
Lemon 1.43 ± 0.07 2.30 ± 0.12 0.91 ± 0.07
Ceri 0.99 ± 0.21 2.82 ± 0.29 0.77 ± 0.12
Kelengkeng 0.94 ± 0.05 3.98 ± 0.30 24.26 ± 2.79
Pisang rasa Apel 0.80 ± 0.05 3.24 ± 0.39 0.84 ± 0.09
Nanas 0.80 ± 0.08 2.01 ± 0.03 -
Pisang 0.73 ± 0.11 3.16 ± 0.16 -
Manggis 0.71 ± 0.01 8.09 ± 0.55 0.65 ± 0.06
Leci 0.59± 0.11 2.86 ± 0.12 22.36 ± 0.97
Kumquat 0.50 ± 0.05 0.25 ± 0.05 0.66 ± 0.03
Anggur 0.49 ± 0.04 11.02 ± 1.83 55.54 ± 1.62
Pomelo 0.39 ± 0.03 1.84 ± 0.04 -
Mangga 0.38 ± 0.08 10.13 ± 0.37 14.59 ± 0.55
Peach 0.38 ± 0.03 0.95 ± 0.08 1.17 ± 0.03
Aprikot 0.34 ± 0.07 0.79 ± 0.07 0.72± 0.09
Melon 0.24 ± 0.06 0.52 ± 0.07 0.31 ± 0.13
Pear 0.22 ± 0.03 0.89 ± 0.08 2.06 ± 0.09
Jingxin 0.16 ± 0.01 0.42 ± 0.11 10-1 ± 0.07
Persimon 0.14 ± 0.03 0.62 ± 0.01 1.48 ± 0.08

Pada penelitian yang dilakukan oleh Li et al. (2006), juga menunjukkan

bahwa kandungan fenol pada ekstrak kulit buah delima hampir 10 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan ekstrak daging buah delima itu sendiri. Tingginya

kandungan fenol pada ekstrak kulit buah delima ini menandakan bahwa

ekstrak kulit buah delima mengandung antioksidan yang lebih tinggi

dibandingan dengan ekstrak daging buahnya.

Tabel32.3 Perbandingan Kandungan Antioksidan Ekstrak Daging Buah


Delima dengan Ekstrak Kulit Buah Delima (Li et al., 2006)
Asam
Flavonoid Proanthocyanidins
Ekstrak Hasil (%) Fenol (mg/g) Askorbat Air (%)
(mg/g) (mg.g)
(mg/g)
14.5 17.2 0.85
Pulp 24.4 ± 2.7 5.3 ± 0.7 10.9± 1.1
± 1.7 ± 3.3 ± 0.02
59.1 0.99
Kulit 31.5 ± 3.0 249.4 ± 17.2 10.9 ± 0.5 8.0 ± 0.8
± 4.8 ± 0.02

Pada penelitian yang dilakukan oleh Tzulker et al., (2007),

menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan pada kulit buah delima dua kali

lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas antioksidan pada buah delima

secara keseluruhan. Kandungan zat tanin terhidrolisa yang terdapat kulit

buah delima bertanggung jawab sebanyak 92% terhadap aktivitas

antioksidan pada buah delima. Zat tanin terhidrolisa yang bertanggung jawab

atas aktivitas antioksidan tersebut adalah punicalagin, ellagic acid, gallagic

acid, dan punicalin. Punicalagin merupakan komponen utama pada kulit buah

delima. Kandungan punicalagin pada kulit buah delima 30x, 50x, dan 500x
lebih tinggi dibandingkan dengan punicalin, gallagic acid, dan ellagic acid

(Tzulker et al., 2007).

Flavonoid, punicalagin, punicalin dan gallagic acid memiliki fungsi

sebagai antiinflamasi, antiproliferasi, antiapoptosis sel serta antigenotoksik

(Tzulker et al., 2007; Lansky et al., 2007). Sedangkan ellagic acid dapat

memiliki fungsi sebagai anti-kanker yang dapat menghambat siklus sel

kanker serta apoptosis sel kanker. Mekanisme buah delima terhadap ROS

sampai saat ini masih belum jelas (Mena et al., 2011). Hal tersebut

disebabkan karena fitokimia dalam buah delima dapat mengatur ekspresi gen

yang menghasilkan antioksidan, sehingga dapat meningkatkan kadar protein

yang menimbulkan pertahanan endogen (Mena et al., 2011).

1.6 Vitamin C

1.6.1 Sifat kimia Vitamin C

Vitamin C atau senyawa asam L-ascorbic atau yang biasa dikenal

dengan asam askorbat, adalah karbohidrat dengan struktur enediol (Press,

2000). Vitamin C ini merupakan nutrisi esensial yang bisa didapatkan dari

berbagai makanan. Peran Vitamin C sebagai reduktan didapatkan dengan

mendonorkan elektron bebas ke suatu substrat sehingga Vitamin C sendiri

menjadi radikal ascorbyl, radikal bebas yang relatif stabil (Lykkesfeldt, 2019).

1.6.2 Farmakodinamik dan Farmakokinetik Vitamin C

Asam askorbat diabsorbsi oleh tubuh baik melalui transport aktif

maupun difusi sederhana. Transporter protein yang digunakan dalam sistem

transport aktif ialah Sodium-Dependent Active Transport subtipe Sodium-

Ascorbate Co-transporter (SVCTs) dan transporter Hexose atau yang lebih

dikenal dengan Glucose Transporters (GLUTs) (Wilson, 2005).


Terdapat dua jenis transporter SVCT, yaitu SVCT1 yang lebih banyak

ditemukan pada jaringan epithelial dan SVCT2 yang banyak ditemukan pada

otak, otot skeletal, plasenta, dan mata (Figueroa-Méndez and Rivas-

Arancibia, 2015).

Distribusi asam askorbat bervariasi dalam berbagai organ. Pada

plasma, askorbat dipertahankan sekitar 50 µmol/liter. Ada beberapa organ

yang menjaga konsentrasi askorbat lebih banyak dari organ lainnya, seperti

pada kelenjar pituitari dan kelenjar adrenal yang dapat menyimpan asam

askorbat hingga 2000 µmol/L disusul dengan otot yang dapat menyimpan

200 hingga 300 µmol/L (Padayatty dan Levine, 2016).

Ekskresi Vitamin C terjadi melalui ginjal dan keluar lewat urin. Pada

manusia sendiri, ketika asupan Vitamin C kurang, biasanya Vitamin C

diabsorbsi kembali di ginjal, tidak di eksresikan. Vitamin C diekskresikan

ketika kadarnya mencapai diatas 1.4 mg/dL (Oreopoulos et al., 1993).

Protein GLUT yang berperan dalam metabolisme Vitamin C dari ke 14

jenis GLUT ialah GLUT 1 yang terdistribusi secara luas pada endotel blood-

brain barrier yang dapat menjaga keseimbangan asam askorbat dalam otak,

GLUT 3 dengan afinitas tinggi pada neuron dan didapatkan juga pada

sperma, embrio serta leukosit, dan GLUT 4 yang didapatkan paling banyak

pada adiposa, otot skeletal dan otot jantung (Figueroa-Méndez and Rivas-

Arancibia, 2015).

Vitamin C dalam bentuk askorbat memiliki beberapa fungsi sebagai

substrat enzim maupun kofaktor dan donor elektron dalam tubuh, hal ini

sangat berperan dalam sintesis kolagen, carnitin, neurotransmitter, sintesis

dan katabolisme tirosin serta metabolism mikrosom (Gropper and Smith,

2013).
Enzim yang menggunakan Vitamin C sebagai kofaktor contohnya

ialah enzim hydroxylase (prolyl-3-hydroxylase, prolyl-4-hydroxylases, dan

lysyl hydrozylase) yang membantu proses hidroksilasi prolin dan lisin untuk

sintesa kolagen (Prockop dan Kivirikko, 1995). Vitamin C juga membantu

sintesa karnitin (yang berfungsi untuk transport asam lemak ke dalam

mitokondria untuk pembentukan ATP) bersama 2 enzim yaitu ε-N-trimethyl-L-

lysine hydroxylase dan γ-butyrobetaine hydroxylase (Ang et al., 2018).

Terdapat juga fungsi kafein yakni membantu biosintesis norepinefrin dari

dopamine yaitu sebagai koenzim dari enzim dopamine beta-hydroxylase

(Levine et al., 1991).

1.6.3 Efek Antioksidan Vitamin C

Vitamin C memiliki efek elektron donor yang terlarut dalam air. Vitamin

C dalam bentuk ASC (L-ascorbic acid) atau DHA (L-Dehydroascorbic acid)

memiliki berfungsi mendonor elektron untuk LOOH (lipid hydroperoxide) yang

merupakan hasil metabolisme oksidasi dari ROS (Kojo, 2005). Kemampuan

antioksidan Vitamin C ini sudah terbukti pada berbagai penelitian (Padayatty

dan Levine, 2016).

2.7 Zebrafish (Danio rerio)

2.7.1 Klasifikasi

Zebrafish merupakan ikan yang berukuran kecil, habitat spesiesnya di

air tawar dan aquarium. Zebrafish termasuk dalam kelompok famili ikan air

tawar Cyprinidae dan Kelas Actinopterygii, dan Subkelas Teleostei.

Dikatakan bahwa saat ini terdapat 44 spesies danionim yang tersebar sampai

dengan timur laut India, Bangladesh, dan Myanmar (Spence, 2006).


Gambar42.4 Zebrafish (Danio rerio)
(Sumber: Singleman dan Holtzman, 2014)

Berikut ini merupakan taksonomi Zebrafish menurut ITIS diakses

Desember, 2019:

Kingdom Animalia 

Subkingdom Bilateria 

  Infrakingdom Deuterostomia 

Filum Chordata 

Subfilum Vertebrata 

    Infrafilum Gnathostomata 

    Superkelas Actinopterygii  

  Kelas Teleostei 

   Superordo Ostariophysi 

  Ordo Cypriniformes 

Superfamili Cyprinoidea 

Famili Cyprinidae

Genus Danio Hamilton, 1822

Spesies Danio rerio (Hamilton, 1822) – zebra danio

Zebrafish memiliki beberapa keuntungan untuk dijadikan sebuah

subjek penelitian yakni memiliki fekunditas yang tinggi, pertumbuhan ex


utero yang cepat, serta dari segi ekonomi zebrafish tidak membutuhkan

banyak biaya (Selderslaghs et al., , 2009).

Penghitungan usia pada zebrafish dimulai sejak 1 jam setelah

pengambilan telur atau setelah lampu dinyalakan yang kemudian disebut

dengan 0 hpf (hours post fertilization). Zebrafish memiliki siklus hidup 14 jam

terang, dan 10 jam gelap yang disesuaikan dengan sistem kerja

kardiovaskularnya. Suhu optimal untuk perkembangan hewan model ini

adalah 28,5 ℃. Dalam pertumbuhannya, zebrafish dibagi menjadi 7 periode

pada tahap embriogenesisnya yang terjadi dalam waktu 3 hari yaitu; zigot,

cleavage, blastula, gastrula, segmentation, pharyngula, dan periode menetas

(Kimmel et al., 1995).

2.7.2 Karakteristik

Secara morfologi, zebrafish memiliki panjang tubuh <40 mm ukuran

panjang standar atau Standard Length (SL) yakni dari ujung hidung sampai

dengan daerah tulang kaudal. Ikan ini memiliki bentuk torpedo dengan tubuh

ramping, dengan mulut terminal oblique yang langsung menconet ke atas.

Rahang bawah lebih menonjol dibandingkan rahang atas dan letak mata

berada di tengah dan tidak terlihat dari atas. Perbedaan spesies didasarkan

pada garis lateral yang tidak lengkap pada dasar tulang pelvis, dua pasang

barbel, dan lima hingga tujuh garis longitudinal berwarna biru tua dari

belakang operkulum hingga sirip kaudal. Sirip anal biasanya bergaris sama,

sedangkan sirip bagian dorsal mempunyai garis dengan tepi berwarna biru

tua, dibatasi dengan putih. Pola warna tersebut didasarkan pada tiga tipe

pigmen yang berbeda, yakni melanofor biru tua, xanthofor emas, dan iridofor

(Spence, 2006).

Ikan jantan dan betina mempunyai warna yang sama, walaupun ikan

jantan mempunyai sirip yang lebih besar dengan pewarnaan warna kuning.
Pengidentifikasian jenis kelamin akan susah ditegakkan tanpa menggunakan

diseksi atau pembedahan, kemudian pada ikan betina gravid biasanya

mempunyai bentuk tubuh yang lebih bulat, dan paling mudah untuk

dibedakan dengan adanya papila genital kecil di depan sirip bagian anal

(Spence, 2006).

2.7.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Embrio

Pada table 2.4 dapat dijelaskan tahap perkembangan dari embrio

zebrafish. Tahap zigot, zebrafish terhitung pada 0 – ¾ hpf. Kemudian tahap

cleavage (¾ hpf), mulai terbentuk 2-7 sel yang terjadi secara cepat dan

tersinkronisasi antar individu. Pada tahap blastula (2¼ hpf), terjadi siklus sel

secara metasinkronis, dan pertumbuhan epiblast juga dimulai pada tahap ini.

Pada tahap gastrula (5¼ hpf) terjadi pergerakan involusi morfologis, dan

ekstensi bagian epiblast, hipoblas serta axis embrionik. Pada tahap

segmentasi (10 hpf) terjadi organogenesis primer, munculnya neuromere,

ekor dan segmen-segmen tubuh. Pada tahap pharyngula (24 hpf), aksis

tubuh zebrafish mulai lurus dari awal kurvatura dalam yolksac, timbulnya

sirkulasi, pigmentasi dan insang mulai terbentuk. Pada periode hatching (48

hpf) pertumbuhan embrio zebrafish berlangsung cepat. Pada fase ini,

organogenesis sudah mulai berkembang dan berlangsung hingga 72 hpf

(Kimmel et al., 1995). Hal ini mirip pada trisemester kehamilan pertama

mamalia dimana organogenesis terjadi sangat pesat pada fase ini. Ketika

mencapai 72 hpf, merupakan periode penyelesaian dari pembentukan

organogenesis primer, pertumbuhan kepala dan insang zebrafish yang terjadi

secara asinkronis. Waktu menetas zebrafish terjadi secara asinkronis, karena

cepat atau lambatnya waktu menetas tidak menentukan kecepatan

perkembangan zebrafish tersebut (Kimmel et al., 1995).


Telur zebrafish juga tampak transparan sejak fertilisasi hingga tahap

pharyngula pada saat jaringan mulai padat dan mulai adanya pigmentasi,

sehingga mudah untuk di observasi tanpa adanya obstruksi yang perlu

dilakukan (Selderslaghs, 2009). Zebrafish juga sensitif terhadap paparan

senyawa kimia sehingga cocok untuk dijadikan model untuk dilakukan suatu

penelitian. Zebrafish juga telah digunakan dalam berbagai model dalam

penelitian untuk melihat mekanisme dan menilai toksisitas suatu senyawa

kimia (Selderslaghs, 2009).

Keuntungan yang dimiliki zebrafish untuk dijadikan sebagai subyek

penelitian adalah fekunditasnya yang tinggi, pertumbuhan ex utero yang

cepat, serta dari segi ekonomi zebrafish tidak membutuhkan banyak biaya.

Selain itu kesamaan sekuen DNA zebrafish dan manusia mencapai 70% dan

82% penyakit pada manusia dapat diaplikasikan pada zebrafish (Gutiérrez-

Lovera et al., 2017).

Tabel42.4 Pertumbuhan dan perkembangan zebrafish (Kimmel, 1995)

Tahap Waktu Keterangan


Periode zigot (1 sel) 0 – ¾ hpf Telur yang baru difertilisasi berkembang
menjadi zigot, sitoplasma menuju kutub
untuk membentuk blastodisk

Periode pembelahan ¾ - 2 hpf Sel membelah menjadi 2,4,8,16, 32


(2 – 64 sel) sampai 64 set

Periode blastula 2¼-5¼ Embrio memasuki transisi midblastula,


hpf pembentukan yolk syncytial layer (YSL)
dari epiboly. Diawali dengan terbetuknya
kubah dan perubahan blastodisk menjadi
blastoderm

Periode gastrula 5 ¼ - 10 Epiboly sudah terbentuk secara


hpf sempurna, tail bud, aksis embrionik, dan
primary germ layer telah terbentuk
Periode segmentasi 10 – 24 Organogenesis awal dimulai. Diawali
hpf dengan neuron dan ginjal, telinga mulai
nampak, ekor anterior memanjang,
terjadi kontraksi miotom spontan.

Periode pharyngula 24 – 48 Aksis tubuh mulai lurus ditandai dengan


hpf kepala yang memendek dan mulai lurus.
Dimulainya pembentukan sirip. Jantung
mulai berdenyut, serta mulai muncul
sensitivitas terhadap rangsang taktil
Organogenesis terjadi pesat namun
perkembangan melambat seiring
bertambahnya usia.
Periode penetasan 48 – 72 Morfogenesis telah sempurna dan terjadi
hpf penetasan secara spontan menjadi larva.
Mulai aktif berenang dan mulai timbul
refleks menghindar pada rangsang taktil.

Periode Larva Berenang Bebas 120 dpf Pada usia ini larva zebrafish dapat
berenang bebas untuk mengeksplorasi
lingkungannya serta mencari makanan.

2.7.4 Respon Taktil

Respon taktil pada zebrafish menandakan bahwa pada fase tersebut,

larva sudah mulai mengalami perkembangan motorik. Respon ini muncul

pertama kali ketimbang berbagai jenis gerakan motorik lainnya, muncul

dimulai saat 17 jam pasca fertilisasi (Saint-Amant, L., 2006). Perkembangan

ini didahului dengan perkembangan akson dari spinal cord yang sudah mulai

terjadi sejak 15 jam pasca fertilisasi. Walaupun respon motorik dari larva

Zebrafish sudah muncul, namun respon ini hanya merupakan respon spontan

berupa gerakan melingkar dari ekor selama beberapa jam (Saint-Amant, L.,

2006; 2010).
Hingga saat mencapai 23 jam pasca fertilisasi, kemampuan motorik

larva zebrafish memungkinkan untuk diamati menggunakan respon sentuhan.

Hal ini dikarenakan mulai 21 jam pasca fertilisasi, koneksi baru antara saraf

sensoris dan juga saraf motorik mulai terbentuk (Saint-Amant, L., 2006).

Ketika telur menetas pada kurang lebih 48 jam pasca fertilisasi, kemampuan

motorik larva zebrafish masih belum dapat terlihat dengan baik, tetapi dapat

dipicu dengan memberikan respon taktil berupa sentuhan (Saint-Amant, L.,

2010).

2.7.5 Kemampuan Motorik

Kemampuan motorik dari larva zebrafish mulai dapat diamati mulai dari

17 jam pasca fertilisasi. Kemampuan motorik ini masih sangat awal, belum

matur seutuhnya dan bersifat spontan. Pergerakan yang terjadi hanya berupa

pembelokan ekor (coiling) untuk beberapa jam sampai pada tingkat maturitas

selanjutnya, mencapai 1 Hz pada 19 jam pasca fertilisasi dan mulai menurun

hingga 0.1 Hz pada 26 jam pasca fertilisasi. Gerakan spontan hewan ini

muncul seiring dengan perkembangan dari spinal cord, walaupun untuk

berbagai neuromotor mulai membentuk hubungan dengan jaringan otot,

dimulai dari 17 jam pasca fertilisasi. Sebelum mencapai 26 jam pasca

fertilisasi hanya tiga jenis motorneuron yang sudah terbentuk, yaitu jaras

primer kaudal, primer tengah, dan primer rostral dan bertambah seiring waktu

(Saint-Amant, L., 2006). Pada hari kedua pasca fertilisasi, kemampuan

motorik dari larva zebrafish menunjukkan kemampuan berenang secara terus

menerus dengan gerakan ekor hingga mencapai frekuensi 100 Hz. Pada hari

ke-tiga, terdapat fase intermiten dari gerakan ikan, terdapat fase dimana ikan

akan berenang dan terdapat fase dimana ikan akan diam secara periodik

(Saint-Amant, L., 2006).


Pada hari ke-empat, larva ikan memiliki kemampuan motoric yang

dapat diamati dengan baik yaitu slow swim dan burst swim. Slow swim

menunjukan gerakan rutin dari ikan tanpa adanya pemberian stimulasi dari

luar berupa respon taktil maupun adanya stimulan berbahaya seperti

predator (Saint-Amant, L., 2006). Burst swim menunjukan gerakan cepat, dan

diasosiasikan sebagai respon taktil akibat dari stimulasi tertentu. Pada hari

ke-lima perkembangan spinal cord dari larva zebrafish mengalami perubahan

yang signifikan dari hari pertama (Saint-Amant, L., 2006). Hal ini dapat

digunakan sebagai acuan terhadap kemampuan motorik ikan yang semakin

baik dan kompleks, walaupun seiring perkembangannya spinal cord dari

zebrafish ini akan mengalami maturasi lebih lanjut (Saint-Amant, L., 2010).

You might also like