berada pada posisi yang bukan lagi pada fase meraba-raba dalam kegelapan. Tetapi kita telah memasuki masa dimana negara telah mengaktifkan tombol darurat kepercayaan kepada rakyat. Pada periode abad ke-21 ini. Negara terlalu sibuk untuk menghitung laba dan kepentingannya sendiri baik itu keuntungan yang diperoleh dari kaum kapitalisme dan oligarki maupun kepentingan yang dijarah dari rumah rakyatnya sendiri. Bangsa kita seolah telah kehilangan kemampuan rasionalitasnya untuk memilih dan memilah antara yang negatif dan positif, antara yang baik dan buruk, antara yang haram dan halal, antara yang benar dan salah. Meski demikian di tengah kebuntuan untuk memilih dan memilah ini, kita dapat memahami daya pikat pengaruh gravitasi dari sudut yang negatif lebih kuat dibandingkan dengan daya tarik positif. Wilayah invasi nilai yang buruk lebih besar dari teritorial nilai baik itu sendiri. Jumlah kuantitas yang salah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang benar. Kita mengkritik dianggap sebagai tindakan kriminal yang dapat mengancam stabilitas negara, kita menghamba divonis sebagai patung yang tidak menyumbang apa- apa pada negara. Para juru kunci negara yang terdiri dari lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang seharusnya menjadi aktor utama untuk menjaga dan memajukan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Mereka justru menjadi pelaku-pelaku nomor satu yang memberikan sumbangsih yang sangat besar atas kekacauan dan kemerosotan bangsa ini. Para legislator bukannya sibuk untuk mengakomodasi kepentingan rakyat, tetapi mereka justru memiliki watak yang senang untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka ditugaskan untuk menjadi pelayan bagi kepentingan rakyat, tetapi kenyataannya mereka hanyalah abdi yang sangat tunduk dan patuh pada kelompok oligarki dan kapitalisme. Suara- suara rakyat ditelantarkan, tetapi bisikan- bisikan dari kaum oligarki dan kapitalisme diagungkan laksana perintah tuhan yang harus dijalankan secepat mungkin. Akibatnya tidak heran begitu banyak wajah-wajah peraturan perundang-undangan yang telah disahkan ke dalam kandang legislatif ini memiliki wajah yang serupa dengan orang tuanya yang berasal dari gen kapitalisme dan oligarkisme. Properti dan hak-hak rakyat seharusnya dilindungi secara utuh oleh mereka, tetapi mereka justru mencuri properti rakyatnya sendiri dan memperkosa secara membabi buta hak-hak rakyat tanpa rasa kasihan sedikit pun. Para Eksekutif pun memiliki kepribadian yang hampir sama dengan rekannya dari kubu Legislatif. Rakyat memandatariskan kepada mereka untuk bertanggung jawab, pada pelaksanaan peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup rakyat. Namun naasnya, justru mereka mengambil posisi membelokkan perahu, kemudian berlayar dan memutar kompas yang mengarahkannya pada titik jalur, yang mengupayakan peningkatan kesejahteraan pribadi ataupun pengoptimalan kebahagiaan kelompok. Kaum eksekutor hidupnya begitu sejahtera, tetapi rakyatnya hidupnya sangat miskin, saking miskinnya hingga kemiskinan itu sendiri telah menjalar sampai di depan istana negara. Kamar mandi kaum eksekutor ini besar dan luasnya sebesar dan seluas satu desa. Sementara rakyatnya memiliki rumah besar dan luasnya sebesar dan seluas rumah semut yang tentunya juga sangat kumuh, bahkan banyak yang tidak memiliki rumah sampai harus mempertaruhkan hidupnya untuk survival dan tidur di bawah kolom-kolom jembatan. Rakyatnya yang bertindak sebagai ibu kandung yang memberi tempat kepada mereka untuk menjadi eksekutif, berjuang di bawah panasnya terik matahari untuk mencari sesuap nasi, tapi pada sisi yang lain kalian malah sibuk untuk membuang nasi sebanyak mungkin karena terlalu kenyang. Mereka tidak sadar bahwa di balik perut mereka yang kenyang ada teriakan kelaparan yang menjerit histeris yang bertebaran di jalan-jalan bahkan tangisan kelaparan itu pun telah sampai di depan pintu rumah mereka yang mewah.