You are on page 1of 119

Vol. 4 No.

1, April 2020 ISSN 2598-6201

JURNAL
KAJIAN
JEPANG
Diterbitkan oleh:

Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia


Vol. 4 No. 1, April 2020 ISSN : 2598-6201

JURNAL KAJIAN JEPANG


©PSJ UI, 2020

Editor-in-Chief :
Diah Madubrangti

Managing Editor :
Rouli Esther

Editorial Board :
Ohgata Satomi (Kyushu International University)
Kano Hiroyoshi (The University of Tokyo)
I Ketut Surajaya (Universitas Indonesia)
Bachtiar Alam (Universitas Indonesia)
Bambang Wibawarta (Universitas Indonesia)
Hamzon Situmorang (Universitas Sumatera Utara)
Nadia Yovani (Universitas Indonesia)
Shobichatul Aminah (Universitas Gadjah Mada)

Editors :
Lea Santiar
Himawan Pratama
Susy Aisyah Nataliwati
Mega Alif Marintan

Published by :
Pusat Studi Jepang (Center for Japanese Studies) Universitas Indonesia
Kampus UI Depok, INDONESIA 16424

Telephone/ Fax :
(021) 786-3547 / (021) 786-3548

i
FOREWORD (KATA SAMBUTAN)

Salam sejahtera bagi kita semua!


Puji syukur kami sampaikan kepada Allah SWT, Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1 Aprill 2020 terbit sesuai dengan agenda penerbitan sebagai
jurnal ilmiah Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (PSJ UI).
Sesuai dengan peraturan penerbitan jurnal ilmiah yang berlaku, PSJ
UI saat ini sedang dalam upaya meningkatkan statusnya untuk menjadikan
jurnal ilmiahnya menjadi jurnal elektronik dalam upaya menuju ke arah
jurnal ilmiah terakreditasi nasional. Dalam upaya meningkatkan jumlah
artikel ilmiah mengenai studi Jepang dari perspektif multidisiplin, kami aktif
mengajak para peneliti kajian studi Jepang untuk mengirimkan tulisan hasil
penelitiannya ke redaksi jurnal kami. Penerbitan jurnal edisi April 2020 ini
memuat; 1). Artikel tentang penelitian kajian strategi penerjemahan humor
pada novel Harry Potter and the Philosopher’s Stone. Pernerjemahan humor
bahasa Jepang yang memerlukan strategi penerjemahan khusus dengan
memperhatikan adanya kesenjangan budaya barat dan budaya timur dan
diperlukan strategi menempatkan kewajaran penerjemahannya bagi
pembaca sebagai prioritas utama; 2). Artikel penelitian tentang konsep ibu
ideal di Jepang pada era 90-an yang cenderung dapat menyebabkan
tergoncangnya nilai-nilai ibu ideal; 3). Artikel penelitian karya sastra
mengenai salah satu media yang diterbitkan pada masa pendudukan Jepang
di Indonesia dengan tema-tema sekitar masa Perang Pasifik pada tahun
1944; 4). Artikel penelitian tentang analisis garai-go dan katakana-go pada
slogan iklan kosmetik; 5) Artikel terakhir mengenai penelitian sejarah
Jepang era Restorasi Meiji berfokus pada sejarah pergantian dari era Bakufu
ke era modernisasi Jepang.
Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih kepada para penulis,
tim editor, dan semua pihak yang telah bekerja keras pada penerbitan jurnal
ini.

Depok, April 2020


Selamat dan sukses!

Dr. Diah Madubrangti


ii
KATA PENGANTAR (EDITOR’S NOTE)

Di tengah-tengah masa pandemi COVID-19 yang membuat kita


harus melakukan karantina mandiri, Jurnal Kajian Jepang volume 4 nomor
1 edisi April 2020 hadir menjumpai pembaca sekalian. Pada edisi kali ini,
Jurnal Kajian Jepang memuat lima artikel dan satu resensi buku yang
diharapkan dapat membuka wawasan tentang studi Jepang dari berbagai
perspektif: sejarah, sastra, dan linguistik.
Tulisan pertama “Strategi Penerjemahan Humor Pada Novel Harry
Potter and The Philosopher’s Stone Terjemahan Bahasa Jepang” ditulis oleh
Abigail Geraldine Sininta, alumni program studi Jepang FIB UI dan Lea
Santiar, pengajar pada program studi Jepang FIB UI. Dalam tulisan ini,
Abigail Geraldine Sininta dan Lea Santiar membandingkan teks asli novel
Harry Potter and The Philosopher’s Stone dalam bahasa Inggris dan novel
terjemahan bahasa Jepangnya serta mencoba melakukan analisis kritis
terkait penerjemahan humor dalam novel ini.
Tulisan kedua “Ryosai Kenbo atau Anti Ryosai Kenbo?:
Penggambaran Tokoh Ibu dalam Novel Kokuhaku karya Minato Kanae”
ditulis oleh Avidya Sekar Saga, alumni program studi Jepang FIB UI dan Rouli
Esther Pasaribu, pengajar pada program studi Jepang FIB UI. Dalam
tulisannya, Avidya Sekar Saga dan Rouli Esther Pasaribu mencoba melihat
bagaimana tokoh ibu digambarkan dalam novel Kokuhaku, apakah
mengikuti nilai-nilai ideal ryosai kenbo (istri yang baik, ibu yang bijak) atau
malah mendekonstruksi nilai-nilai tersebut dan mengaitkannya dengan
kondisi masyarakat Jepang kontemporer dalam melihat sosok ibu.
Tulisan ketiga “Karya Sastra Propaganda dalam Majalah Djawa
Baroe” ditulis oleh Fithyani Anwar, mahasiswa tingkat doktoral dalam
bidang sastra Jepang di Tsukuba University. Dalam tulisan ini, Fithyani
Anwar menelusuri strategi propaganda yang terselip dalam karya sastra
penulis Jepang yang dimuat di majalah Djawa Baroe pada masa
pendudukan Jepang di Indonesia.
Tulisan keempat “Analisis Penggunaan Gairai-Go dan Katakana-Go
dalam Catchprase di Iklan Kosmetik Jepang” ditulis oleh Lisda Nurjaleka, staf
pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang, Universitas Negeri
Semarang. Dalam tulisan ini, Lisda Nurjaleka melihat seberapa jauh
pemakaian gairai-go (kata-kata serapan bahasa asing) dan katakana-go
(kata-kata yang ditulis dengan huruf katakana) dalam menarik minat
pembaca terhadap iklan kosmetik di Jepang.
Tulisan kelima “Upaya Modernisasi Sebelum Era Modernisasi di
Jepang: Restorasi Meiji Sebagai Hasil Kesepakatan Nasional” ditulis oleh
Susy Ong, staf pengajar pada Program S2 Kajian Jepang SKSG UI. Dalam
tulisan ini, Susy Ong melakukan penelusuran sejarah modernisasi Jepang, di
mana sebelum restorasi Meiji, sebenarnya upaya melakukan modernisasi
itu sudah ada dan restorasi Meiji bukan hal yang muncul secara tiba-tiba
tetapi memang sudah melalui upaya-upaya modernisasi sebelumnya.
Jurnal Kajian Jepang volume 4 no 1 juga menghadirkan satu resensi
buku SHAKAI KAIZO SeratusTahun Reformasi Jepang 1919-2019 Dari
Demokrasi ke Reformasi karya Susy Ong. Resensi buku ini ditulis oleh Rouli
Esther Paasaribu, staf pengajar Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan managing editor Jurnal
Kajian Jepang Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia.
Harapan kami, semoga Jurnal Kajian Jepang Volume 4 nomor 1
dapat menjadi salah satu bahan bacaan untuk menambah pengetahuan
tentang studi Jepang, terutama di masa pandemi ini. Salam sehat dan tetap
semangat untuk kita semua dalam memproduksi dan mendistribusikan
pengetahuan!

Depok, April 2020


Managing Editor

Rouli Esther Pasaribu

iv
TABLE OF CONTENTS (DAFTAR ISI)

FOREWORD (KATA SAMBUTAN) ________________________________________ ii


EDITOR’S NOTE (KATA PENGANTAR) __________________________________ iii-iv
TABLE OF CONTENTS (DAFTAR ISI) _____________________________________ v

STRATEGI PENERJEMAHAN HUMOR PADA NOVEL HARRY POTTER AND THE


PHILOSOPHER’S STONE TERJEMAHAN BAHASA JEPANG__________________1
Abigail Geraldine Sininta, Lea Santiar

RYOSAI KENBO ATAU ANTI RYOSAI KENBO?: PENGGAMBARAN TOKOH IBU


DALAM NOVEL KOKUHAKU KARYA MINATO KANAE______________________30
Avidya Sekar Saga, Rouli Esther Pasaribu

PROPAGANDA PERANG DALAM KARYA SASTRAWAN JEPANG PADA MAJALAH


DJAWA BAROE________________________________________________________52
Fithyani Anwar

ANALISIS PENGGUNAAN GAIRAI-GO DAN KATAKANA-GO DALAM CATCHPHRASE


DI IKLAN KOSMETIK JEPANG_____________________________________ 73
Lisda Nurjaleka

UPAYA MODERNISASI SEBELUM ERA MODERNISASI DI JEPANG RESTORASI MEIJI


SEBAGAI HASIL KESEPAKATAN NASIONAL _______________________________91
Susy Ong

BOOK REVIEW (ULASAN BUKU) :


SHAKAI KAIZO Seratus Tahun Reformasi Jepang 1919-2019 Dari Demokrasi ke
Reformasi (Susy Ong) ________________________________________________107

AUTHORS PROFILE (PROFIL PENULIS)_____________________________________110

WRITER’S GUIDANCE (PANDUAN PENULISAN)_____________________________112

v
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Strategi Penerjemahan Humor Pada Novel


Harry Potter and the Philosopher’s Stone Terjemahan Bahasa
Jepang

Abigail Geraldine Sininta


Lea Santiar

Abstract
This study attempts to identify the translation strategies deployed by the Japanese
translator in the process of translating humor through a large cultural gap between
England and Japan and examines how culture plays a part in the translation process.
Humor as a culture-specific concept requires special attention in the process of its
translation to other languages. In the case of the translation of Harry Potter and the
Philosopher’s Stone, this issue is amplified by its status as a children’s book. Through
analytic-descriptive method of study and based on Newmark’s translation strategies
theory, the results of this study shows that the translator chose to translate humor
in Harry Potter and the Philosopher’s Stone with domestication ideology, an
ideology that puts naturalness to the reader as main priority at the expense of
preserving the foreign cultural elements of the original text.

Keywords: humor, translation strategies, children’s literature, culture

1. Pendahuluan
Seri novel Harry Potter karya J.K. Rowling adalah seri novel anak yang
menceritakan kisah seorang anak kecil bernama Harry Potter. Harry yang
sudah menjalani sebelas tahun hidupnya sebagai manusia biasa tiba-tiba
mendapat surat penerimaan dari sekolah sihir Hogwarts. Salah satu faktor
besar menyebarnya popularitas seri novel ini adalah penerjemahan novel ini
ke dalam 67 bahasa, yang memudahkan akses pembaca di seluruh dunia
untuk menikmati kisah Harry Potter, termasuk pembaca-pembaca setia di
Jepang.
Banyak tantangan yang harus dihadapi penerjemah dalam
menerjemahkan seri novel Harry Potter. Penerjemahan buku harus

1
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

memerhatikan target pasar pembaca, yaitu anak-anak yang belum memiliki


pengetahuan umum yang luas. Unsur budaya Inggris yang sangat kental
dalam seri novel Harry Potter menjadi hambatan untuk membawa
pengalaman membaca Harry Potter yang utuh ke luar Inggris, sebab dalam
usia belianya banyak anak-anak yang belum mengenali budaya selain
budayanya sendiri, terlebih lagi untuk membawa seri ini ke Jepang yang
memiliki budaya yang jauh berbeda dengan Inggris.
Sebagai bagian dari budaya, bahasa dan proses penerjemahan tentu
dipengaruhi oleh budaya. Newmark (1988) mengatakan bahwa dalam proses
penerjemahan, sebuah teks dapat ditarik ke sepuluh arah, yaitu 1) gaya
penulisan penulis BSu (bahasa sumber), 2) norma BSu, 3) budaya BSu, 4) latar
dan tradisi BSu, 5) target pembaca BSa (bahasa sasaran), 6) norma BSa, 7)
budaya BSa, 8) latar dan tradisi BSa, 9) fakta dan kebenaran, 10) penerjemah.
Pengaruh budaya besar dalam konsep-konsep tersebut, termasuk norma,
latar, dan tradisi.
Humor sendiri dalam ilmu penerjemahan dianggap sebagai Culture-
Specific Concept (CSC) atau konsep budaya spesifik. Alexander (1977)
mengatakan sulit bagi humor untuk menyeberang ke mancanegara dan tidak
selalu lolos proses penerjemahan antar bahasa. Orang-orang dari budaya
yang berbeda akan menertawakan hal-hal yang berbeda. Gaya humor yang
umum di Jepang seperti boke-tsukkomii mungkin tidak dapat mudah diterima
di negara lain dan sebaliknya. Humor memiliki akar yang kuat dalam budaya
dan ideologi suatu masyarakat (Xeni: 2013).
Tantangan dalam menerjemahkan humor dalam novel Harry Potter
and the Philosopher’s Stone ditambah pula dengan statusnya sebagai buku
anak-anak. Shavit (1981) menyebutkan beberapa hal yang menjadi
pertimbangan penerjemah dalam menerjemahkan buku anak-anak, yaitu 1)
keterkaitan terhadap model yang sudah ada, 2) pengadaptasian dengan level
pemahaman anak-anak dan norma moral, 3) kompleksitas teks asli, 4) peran
buku anak-anak sebagai media transfer ideologi, dan 5) peran buku anak-
anak dalam memperkaya kosa kata anak. Selain itu, Xeni (2013)
menyebutkan beberapa isu yang mempengaruhi proses penerjemahan buku
anak-anak, di antaranya hilangnya identitas penerjemah, status yang rendah,
kurangnya royalti, serta kesulitan dalam penerjemahan.

2
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Knuth (2012) mengamati buku anak-anak di Inggris sepanjang dua


setengah abad dan mengambil kesimpulan bahwa dalam buku anak-anak
Inggris terdapat pengajaran nilai-nilai yang disebut dalam satu wadah yaitu
“Englishness”. Nilai-nilai yang termasuk dalam Englishness berevolusi dari era
ke era, namun satu pola yang selalu ada termasuk dalam era kontemporer
saat J.K. Rowling mempublikasikan Harry Potter adalah nilai keberanian,
heroisme, liberalisme, dan individualisme. Para penulis buku anak-anak di era
kontemporer Inggris menekankan pencarian kebenaran dalam diri sendiri,
tidak semata-mata mengikuti norma-norma sosial, dan pengembangan diri
hingga mencapai potensi diri maksimal.
Sementara itu menurut Kelley (2008), peneliti buku anak-anak
multikultural, meski budaya Jepang multidimensional dan mendapat
pengaruh dari berbagai konsep filosofis, terdapat empat nilai utama yang
menjadi fondasi sistem sosial Jepang yaitu harmoni, empati, kesetiaan dan
kesabaran. Keempat nilai ini berakar pada kepercayaan Shinto dan diajarkan
kepada anak-anak, salah satu caranya melalui buku anak-anak. Demikian
dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai ini pun mempengaruhi pula proses
terjemahan buku anak-anak, khususnya dari budaya yang memiliki
kesenjangan budaya yang jauh seperti Inggris dan Jepang.
Penelitian mengenai penerjemahan humor dalam Harry Potter sudah
pernah dilakukan sebelumnya. Salah satunya adalah artikel Translation
Techniques and Equivalence in the Indonesian Translation of Humor in Harry
Potter and the Sorcerer's Stone tulisan Issy Yuliasri dan Yudi Hartono yang
membahas penerjemahan humor pada novel Harry Potter and the Sorcerer’s
Stone (versi Inggris Amerika) dan penerjemahannya ke dalam bahasa
Indonesia dalam Harry Potter dan Batu Bertuah. Artikel ini menggunakan
teori strategi penerjemahan Molina-Albir dan juga menganalisis ekuivalensi
penerjemahan. Ditemukan bahwa penerjemah bahasa Indonesia
menggunakan 14 strategi penerjemahan yang didominasi dengan
penerjemahan harafiah yang mengakibatkan humor cukup banyak yang
hilang dalam proses penerjemahan.
Issy Yuliasri dan Pamela Allen juga menulis artikel Humour loss in the
Indonesian translation of Harry Potter and the Sorcerer’s Stone yang
menganalisis pengurangan tingkat humor pada novel Harry Potter and the

3
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Sorcerer’s Stone (versi Inggris Amerika) setelah melalui proses penerjemahan


ke dalam bahasa Indonesia dalam Harry Potter dan Batu Bertuah.
Penggunaan pendekatan interpretatif-komunikatif oleh penerjemah
menyebabkan berkurangnya tingkat kelucuan dalam teks sasaran.
Studi lainnya adalah skripsi Analisis Penerjemahan Humor dalam
Novel Harry Potter and the Chamber of Secrets oleh Trilia Fitriani yang
menganalisis novel kedua dalam seri Harry Potter, Harry Potter and the
Chamber of Secrets (versi Inggris) dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia yaitu Harry Potter dan Kamar Rahasia. Analisis strategi
penerjemahan dilakukan menggunakan teori penerjemahan Nida, kemudian
humor dikelompokkan menurut karakteristiknya. Hasil studi ini menunjukkan
bahwa strategi yang paling banyak dipakai adalah strategi penerjemahan
harafiah. Penerjemah berusaha mempertahankan humor dalam bentuk
aslinya.
Studi yang telah meneliti Harry Potter and the Philosopher’s Stone
(versi Inggris) dan penerjemahannya dalam bahasa Jepang Harii pottaa to
kenja no ishi salah satunya adalah skripsi Penerjemahan Kata “Think” dalam
Novel Harry Potter and the Philosopher’s Stone Terjemahan Bahasa Jepang
oleh Heriani Yulia Putri. Studi ini meneliti proses penerjemahan kata, di
dalamnya termasuk strategi penerjemahan, tetapi pendekatan yang dipakai
lebih ke arah morfologi, dan ditemukan bahwa ada 3 kategori besar hasil
terjemahan: morfem bebas secara leksikal, morfem bebas secara situasional,
dan morfem terikat secara situasional.
Penelitian ini akan menggunakan teori strategi penerjemahan
Newmark untuk menganalisis data dan melihat implikasi budaya dibalik
pemilihan strategi penerjemahan pada korpus. Korpus yang dianalisis adalah
teks asli dalam bahasa Inggris dan terjemahannya ke dalam bahasa Jepang.
Tidak ada analisis pengurangan humor dan analisis proses penerjemahan
secara morfologi.
Penulis menggunakan metode penelitian analisis deskriptif dengan
menganalisis data yang diperoleh dan menjelaskannya secara deskriptif.
Pengumpulan dan pemerolehan data dilakukan melalui studi kepustakaan
dari sumber primer yaitu buku dalam BSu Harry Potter and The Philosoper’s
Stone (HPSS) dan buku dalam BSa「ハリーポッターと賢者の石」(Harii

4
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

pottaa to kenja no ishi) (HPKI). Penulis memakai referensi yang berasal dari
berbagai buku, tesis, jurnal, makalah konferensi, serta artikel dari internet.
Sampel data diambil dari empat bab dalam Harry Potter and the
Philosopher’s Stone terbitan Inggris (Bloomsbury) yaitu bab 2, 6, 11, dan 15.
Novel yang terdiri dari 17 bab dibagi menjadi 4 bagian dan kemudian dipilih
satu bab dari tiap bagian yang dinilai penulis memiliki konten humoris
terbanyak, sehingga distribusi data merata. Data dari novel yang sudah
diseleksi kemudian dinilai tingkat humornya oleh 25 responden yang berasal
dari Inggris melalui sebuah kuesioner. Responden diminta untuk menilai data
tersebut dari skala 1 hingga 4, di mana 1 adalah “tidak lucu”, 2 adalah “sedikit
lucu”, 3 adalah “cukup lucu” dan 4 adalah “sangat lucu”. Data yang dianggap
layak sebagai konten humoris adalah data selain data yang mayoritas
mendapat respons 1 atau “tidak lucu”. Melalui proses ini didapat sejumlah
21 data konten humoris dari novel Harry Potter and the Philosopher’s Stone
untuk dianalisis. Analisis data humoris dilakukan dengan tahapan seperti
berikut:

1. Menerjemahkan teks bahasa Inggris dan bahasa Jepang ke dalam


bahasa Indonesia dengan metode penerjemahan setia dalam
upaya mempertahankan makna dan nuansa pada TSu (teks
sumber) maupun TSa (teks sasaran) sebaik-baiknya.
2. Mengidentifikasi strategi penerjemahan yang dipakai menurut
teori strategi penerjemahan Newmark (1988).
3. Mengklasifikasikan data sesuai dengan strategi penerjemahan
yang dipakai.
4. Menyimpulkan hasil analisis data.

Ada dua tujuan penelitian ini dibuat. Pertama adalah untuk


menganalisis strategi penerjemahan yang digunakan penerjemah untuk
menerjemahkan humor pada novel Harry Potter and the Philosopher’s Stone
ke dalam bahasa Jepang. Kedua, untuk melihat ideologi apa yang digunakan
penerjemah untuk menerjemahkan konten bermuatan budaya.

5
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

2. Landasan Teori
Analisis strategi penerjemahan dilakukan berdasarkan teori strategi
penerjemahan Newmark (1988) yang mencakup 8 strategi yang tersusun
dalam diagram sebagai berikut:

Gambar 1.1 Diagram V strategi penerjemahan Newmark

Newmark dalam Machali (2000) membagi 8 strategi tersebut menjadi


dua kategori yaitu strategi penerjemahan yang berorientasi pada bahasa
sumber dan bahasa sasaran. Masing-masing kategori memiliki empat
strategi.
Strategi penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber
meliputi:

1. Penerjemahan kata demi kata


2. Penerjemahan harafiah
3. Penerjemahan setia
4. Penerjemahan semantis

Strategi penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran


meliputi:

1. Adaptasi (termasuk saduran)


2. Penerjemahan bebas
3. Penerjemahan idiomatik
4. Penerjemahan komunikatif

Newmark (1988) menyebutkan bahwa pada penerapannya strategi


yang paling kerap digunakan adalah penerjemahan komunikatif dan

6
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

semantik. Perbedaan di antara kedua strategi ini sendiri tipis dan dalam
aplikasinya pun serupa. Dalam buku Approaches to Translation, Newmark
memperjelas perbedaan kedua strategi tersebut sebagai berikut:

Penerjemahan Semantis Penerjemahan Komunikatif


Berusaha untuk membawa seutuhnya Berusaha untuk menghasilkan efek yang
makna kontekstual pada teks asli dengan semirip mungkin dengan yang didapatkan
struktur semantik dan sintaktik Bsa pembaca teks aslinya
Lebih mulus, simpel, jelas, terarah, Lebih rumit, canggung, detail,
konvensional. Setia pada satu ruang terkonsentrasi. Lebih berfokus pada jalan
bahasa. Menggunakan kata-kata yang lebih pikir daripada intensi penutur
umum
Lebih setia pada bentuk dan alur asli TSu, Mengambil inti dari teks dan menulisnya
sebisa mungkin mempertahankan teks sebagaimana alaminya dalam BSa. Tidak
dalam bentuk yang dimaksudkan penulis menjadikan bentuk dan alur TSu sebagai
patokan atau pegangan
Adanya pergeseran makna Adanya penambahan makna

Pergeseran makna menurut Simatupang (1999) dapat terjadi karena


adanya perbedaan dalam sudut pandang budaya.
Penelitian ini akan menggunakan definisi humor dari Koestler (1964)
yaitu “stimulasi yang memancing refleks humor” dengan alasan fungsional
untuk mempermudah identifikasi data dan memberi parameter yang jelas
untuk menilai dan mengelompokkan data.

Foreignisasi dan Domestikasi dalam Penerjemahan


Proses penerjemahan elemen budaya suatu teks dipengaruhi oleh
ideologi-ideologi penerjemahan. Berdasarkan suatu ideologi penerjemahan,
penerjemah dapat memilih seberapa banyak dari budaya sumber yang dapat
terbawa ke hasil penerjemahan dan dikonsumsi masyarakat luas. Salah satu
paham ideologi penerjemahan adalah foreignisasi dan domestikasi yang
dikonsepkan oleh peneliti penerjemahan Lawrence Venuti dalam bukunya
The Translator's Invisibility: A History of Translation (1995).
Penerjemah yang memilih ideologi domestikasi menerjemahkan teks
dengan kenaturalan bagi pembaca sebagai prioritas utama, sehingga elemen-
elemen budaya suatu teks diadaptasi demi kemudahan pembaca dalam

7
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

target demografi. Di satu sisi, domestikasi memangkas elemen budaya dalam


satu teks, sehingga pembaca tidak mendapatkan pemahaman mengenai
budaya BSu.
Sementara itu, pemilih ideologi foreignisasi menjaga "rasa asing"
pada suatu teks meski sudah melewati proses penerjemahan, sehingga
pembaca tetap mendapat akses terhadap budaya baru. Venuti (1993)
mengadvokasikan ideologi foreignisasi dengan tujuan menahan laju
etnosentrisme dan rasisme. Tantangan yang timbul dalam ideologi ini adalah
bagaimana cara mempertahankan bentuk ekspresi budaya BSu tetapi pada
saat yang sama membuat tulisan yang tetap bisa dibaca kalangan luas.
Newmark (1981) mengatakan strategi penerjemahan semantik
termasuk salah satu bentuk manifestasi dari ideologi foreignisasi (Yang,
2014). Penerjemahan yang berdasarkan ideologi foreignisasi akan berusaha
untuk menjaga teks sebisa mungkin sebagaimana ada dalam bentuk aslinya,
dengan kata lain, cenderung menggunakan strategi-strategi yang berfokus
pada BSu. Sedangkan penerjemahan yang menggunakan strategi-strategi
yang berfokus pada BSa adalah penerjemahan yang berdasarkan ideologi
domestikasi.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Penerjemahan yang Berfokus pada Bahasa Sumber
Setelah melalui proses identifikasi dan pengelompokan data,
ditemukan dua strategi penerjemahan yang berfokus pada BSu yang
digunakan penerjemah, yaitu penerjemahan harafiah dan penerjemahan
semantis. Tidak seluruhnya dari penggunaan strategi yang berfokus pada BSu
dilakukan untuk menjaga rasa asing atau konten budaya dalam teks.

3.1.1 Penerjemahan Harafiah


Pada data penerjemahan harafiah yang ditemukan pada korpus,
terdapat indikasi ideologi foreignisasi dengan ciri upaya pertahanan budaya
BSu.

8
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

(1) Penerjemahan harafiah dan ideologi foreignisasi dalam penerjemahan


mantra

‘Sunshine, daisies, butter “Matahari, bunga aster,


mellow, mentega lembut,

Turn this stupid, fat rat yellow.’ Ubahlah tikus bodoh dan gemuk
ini kuning.”
He waved his wand, but
nothing happened. Scabbers Ia mengayunkan tongkatnya,
stayed grey and fast asleep. tetapi tidak terjadi apa pun.
Scabbers tetap abu-abu dan
tertidur pulas.

「お陽さま、雛菊、溶ろけ “Sang matahari, bunga aster,


たバター。デブで間抜けな mentega lembut. Ubahlah tikus
ねずみを黄色に変えよ」 gemuk dan bodoh ini kuning.”

ロンは杖を振った。でも何 Ron mengayunkan tongkatnya.


も起こらない。スキャバー Tetapi tidak terjadi apa pun.
ズは相変わらずねずみ色で Scabbers tetap abu-abu dan
tertidur pulas.
グッスリ眠っていた。

HPPS Hlm. 79
Gambar 3.1 Perubahan font pada
HPKI Hlm. 158
TSa
dalam penerjemahan mantra
Pada data ini Ron yang ditantang Hermione untuk melakukan sihir
mencoba mengubah warna tikusnya Scabbers menjadi kuning dengan
mantra yang diberi tahu oleh kakaknya George. Tetapi Ron sebenarnya ditipu
oleh George sebab mantra tersebut palsu dan bukan mantra sihir yang
sesungguhnya, dan mantra sihir ini pun terdengar cukup jenaka.
Bahwa Ron sedang mengucapkan mantra dalam bahasa Inggris
terlihat jelas dari penggunaan rima dan adanya sampiran yang tidak
bermakna. Penggunaan rima dalam mantra-mantra dalam dunia fiksi Inggris

9
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

sudah ada sejak Macbeth karya Shakespeare yang ditulis pada abad 19 dan
hingga saat ini masih berlanjut. Sementara itu, mantra pada bahasa Jepang
umumnya memiliki elemen-elemen onomatope, metafora, pengulangan
kata dan penggunaan kosakata lamaii. Elemen-elemen tersebut tidak terlihat
pada hasil penerjemahan. Indikasi bahwa teks tersebut adalah mantra
terletak pada penggunaan font huruf yang berbeda dalam bentuk cetak TSa.
Tidak ada penjelasan bahwa teks tersebut adalah mantra dalam teks itu
sendiri.
Penerjemah tidak berusaha mengadaptasi bentuk mantra dengan
budaya BSa dan memilih untuk menerjemahkan seluruh teks apa adanya,
mempertahankan elemen budaya BSu dan tidak memperhatikan estetika dan
konteks. Hanya ada perubahan dari struktur gramatikal untuk menyesuaikan
dengan tatanan bahasa Jepang. Tidak ada penjelasan tambahan mengenai
elemen budaya dalam teks.

3.1.2 Penerjemahan Semantis


Dari total tujuh data penerjemahan semantis, tidak terlihat secara
signifikan adanya intensi penerjemah untuk mempertahankan elemen
budaya asli BSu. Mayoritas data dalam kelompok ini memang tidak memiliki
muatan budaya yang besar di dalamnya sehingga tidak diperlukan adanya
proses adaptasi dan penerjemah memilih strategi penerjemahan semantis.
Salah satu data yang tidak memerlukan proses adaptasi budaya
adalah data berikut.

(2) Penerjemahan semantis, ideologi foreignisasi

‘Hullo, Bane,’ said Hagrid… ‘…you seen “Hei, Bane,” kata Hagrid... “...kau ada
anythin’ odd in here lately? Only melihat sesuatu yang aneh di sini akhir-
there’s a unicorn bin injured – would akhir ini? Hanya saja ada unicorn yang
yeh know anythin’ about it?’ sedang terluka—ada yang kamu tahu
soal itu?”
Bane walked over to stand next to
Ronan. He looked skywards. Bane berjalan kemudian berdiri di
samping Ronan. Ia melihat ke arah
‘Mars is bright tonight,’ he said simply. langit.

10
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

‘We’ve heard,’ said Hagrid grumpily. “Mars malam ini terang,” katanya
dengan sederhana.

“Kami sudah dengar,” kata Hagrid


dengan kesal.

「やあ、ベイン。」...「最近この辺 “Hei, Bane.” ... “Akhir-akhir ini apa kau


で何かおかしな物を見んかったか tidak melihat apa pun yang aneh di
?実はユニコーンが傷つけられて sekitar sini? Sebenarnya ada unicorn
な……おまえさん何か知らんかい? yang terluka... ada yang kamu tahu
」 tidak soal itu?”

ベインはロナンのそばまで歩いて Bane berjalan ke sisi Ronan, berdiri di


sebelahnya dan melihat ke langit.
いき、隣に立って空を見上げた。
“Malam ini Mars terang,” sekian ucap
「今夜は火星が明るい」ベインは
Bane.
それだけ言った。
“Aku sudah dengar itu,” Hagrid kesal.
「もうそれは聞いた」ハグリッド
は不機嫌だった。

HPPS Hlm. 185


HPKI Hlm. 372

Sebelum dialog ini, Hagrid telah menanyakan pada centaur lainnya,


Ronan, apakah ia menyadari sesuatu yang aneh di hutan. Ronan tidak
menjawab pertanyaan Hagrid, melainkan berkata “Malam ini Mars terang”.
Hal itu terjadi lagi saat Hagrid menanyakan pertanyaan yang sama pada Bane.
Tidak ada pergeseran makna yang signifikan dan penerjemah berusaha untuk
mempertahankan bentuk asli TSa, meski ada perubahan bentuk dan
perbedaan pemilihan kata yang masih dapat ditolerir. Teks juga tidak
memiliki elemen budaya yang harus melalui proses adaptasi.
Sementara itu, ada beberapa data yang mengandung konsep-konsep
budaya khas Inggris, namun konsep tersebut telah mendunia dan familier
bagi anak-anak di Jepang, sehingga tidak perlu melalui proses adaptasi
budaya.

11
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

(3) “Marmalade”. Penerjemahan semantis, ideologi foreignisasi

‘When they say every flavour, they “Saat mereka bilang semua rasa,
mean every flavour – you know, you get maksud mereka memang semua rasa—
all the ordinary ones like chocolate and maksudnya, kau bisa dapatkan yang
peppermint and marmalade, but then biasa-biasa seperti coklat dan
you can get spinach and liver and tripe. peppermint dan marmalade, tapi
George reckons he had a bogey- kemudian kau bisa dapat bayam dan
flavoured one once.’ hati dan babat. George yakin dia pernah
makan rasa upil satu kali.”

「百味って、ほんとになんでもあ “Semua rasa maksudnya benar-benar


りなんだよ――そりゃ、普通のもあsemuanya ada—maksudnya, yang
るよ。チョコ味、ハッカ味、マー biasa juga ada kok. Rasa coklat, rasa
マレード味なんか。でも、ほうれ mint, rasa marmalade misalnya. Tapi,
んそう味とか、レバー味とか、臓 ada juga rasa seperti rasa bayam, rasa
物味なんてのがあるんだ。ジョー hati, rasa babat. George pernah bilang,
dia pernah dapat yang dia yakini itu
ジが言ってたけど、鼻くそ味に違
rasa upil.”
いないってのに当たったことがあ
るって」

HPPS Hlm. 78
HPKI Hlm. 155-156

Ron sedang menjelaskan pada Harry mengenai Bertie-Botts’ Every


Flavor Beans, kudapan manis penyihir yang berbentuk seperti permen jelly
bean, tetapi varian rasanya termasuk rasa-rasa yang aneh dan menjijikkan.
Every Flavor Beans diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh penerjemah
menjadi “ 百 味ビーンズ ” (hyakumi biinzu) yang secara harafiah berarti
“seratus rasa” tapi juga dapat diartikan sebagai “semua rasa”.
Marmalade, sebuah varian selai yang terbuat dari kulit jeruk, adalah
makanan yang sangat umum ditemui di Inggris, kerap disebut “king of toast”
(raja roti panggang) dan dianggap sebagai salah satu makanan yang pasti ada
dalam menu sarapan Inggris tradisionaliii. Popularitasnya di Jepang tidak
sebesar di Inggris, namun marmalade kerap disajikan dalam menu makan

12
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

siang anak-anak di sekolah, sehingga dapat diasumsikan anak-anak Jepang


familier dengan konsep tersebut. Sebagai perbandingan, penerjemah bahasa
Indonesia dalam novel terjemahan Harry Potter dan Batu Bertuah memilih
untuk menggunakan kata “selai”, sebab pembaca Indonesia dianggap tidak
familier dengan konsep marmalade.

(4) “Red card”. Penerjemahan semantis, ideologi foreignisasi

‘Send him off, ref! Red card!’ “Keluarkan dia, wasit! Kartu merah!”

‘This isn’t football, Dean,’ Ron “Ini bukan sepak bola, Dean,” Ron
reminded him. ‘You can’t send people mengingatkan dia. “Kau tidak bisa
off in Quidditch – and what’s a red mengeluarkan orang di Quidditch—dan
card?’ apa itu kartu merah?”

「退場させろ。審判!レッドカー “Keluarkan, wasit! Kartu merah!”


ドだ!」
“Ini bukan yang disebut sepak bola,
「サッカーとかいうものじゃない Dean,” Ron menenangkan dia. “Di
んだよ、ディーン」ロンがなだめ Quidditch tidak ada pengeluaran
た。「クィディッチに退場はない pemain. Omong-omong, kartu merah
んだよ。ところで、レッドカード itu apa?”
って何?」

HPPS Hlm. 138


HPKI Hlm. 175

Dean Thomas adalah siswa Gryffindor yang merupakan seorang


muggleborn (penyihir yang lahir di keluarga manusia biasa), sehingga
olahraga yang paling familier dengannya sebagai anak awam di Inggris adalah
sepak bola. Sementara, sepak bola tidak ada di dunia penyihir, sehingga Ron
yang lahir di keluarga penyihir tidak memahami konsep-konsep sepak bola
seperti kartu merah. Kartu merah tidak digunakan di Quidditch.
Kartu merah adalah konsep yang unik di sepak bola, cabang olahraga
yang paling populer di Inggris. Pemain yang mendapatkan kartu merah harus
keluar dari permainan. Arti kartu merah tidak dijelaskan pada TSu dan juga
tidak perlu dijelaskan dalam terjemahan bahasa Jepang, sebab sepak bola

13
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

pun sangat populer di Jepang dan anak-anak Jepang sudah familier dengan
konsep tersebut. Sebagai perbandingan, dalam versi Inggris Amerika Harry
Potter and the Sorcerer’s Stone, ditambahkan penjelasan mengenai fungsi
kartu merah (“In soccer you get shown the red card and you’re out of the
game!”) sebab sepak bola tidak populer di Amerika dan anak-anak pada
umumnya tidak familier dengan konsep tersebut.

3.2 Strategi Penerjemahan yang Berfokus pada Bahasa Sasaran


Setelah melalui proses identifikasi dan pengelompokan data,
ditemukan tiga strategi penerjemahan yang berfokus pada BSu yang
digunakan penerjemah, yaitu penerjemahan bebas, penerjemahan
komunikatif, dan penerjemahan semantis. Tidak seluruh data menunjukkan
indikasi upaya domestikasi budaya yang signifikan.

3.2.1 Penerjemahan Bebas


Penggunaan strategi penerjemahan bebas ditemukan sebanyak satu
kali.

(5) Penerjemahan bebas, ideologi domestikasi

...news that he was playing Seeker had ...kabar bahwa ia bermain menjadi
leaked out somehow, and Harry didn’t Seeker telah bocor entah bagaimana,
know which was worse – people telling dan Harry tidak tahu yang mana yang
him he’d be brilliant or people telling lebih buruk—orang-orang yang berkata
him they’d be running around padanya ia akan bermain dengan hebat
underneath him, holding a mattress. atau orang-orang yang berkata padanya
mereka akan berlarian di bawahnya,
membawa matras.

ハリーがシーカーだという「極秘 ...rahasia bahwa Harry adalah Seeker


」はなぜかとっくに漏れていた。 entah bagaimana bocor dengan cepat.
きっとすばらしいプレーをするだ Ada orang-orang yang berharap dia
ろうね、と期待されたり、みんな dapat bermain dengan hebat, ada
がマットレスを持ってハリーの下 orang-orang yang mencibirnya dan
を右往左往するだろうよ、とけな berkata akan membawa matras sambil
mondar-mandir di bawah Harry—bagi
されたり――ハリーにとってはどっ

14
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

ちもどっちでありがたくなかった Harry, yang mana pun itu tidak ia


。 syukuri.

HPPS Hlm. 133


HPKI Hlm. 164

“News” yang berarti “berita” diterjemahkan menjadi “極秘” (gokuhi)


yang berarti “rahasia” karena sebelum teks di atas dijelaskan bahwa Harry
adalah “senjata rahasia” Gryffindor untuk memenangkan pertandingan
Quidditch dengan Slytherin. Penerjemah BSa memilih untuk mengulang kata
“rahasia” tersebut dalam teks ini ketimbang menggunakan kata “berita”.
Dalam hal ini, penerjemah telah memilih untuk tidak mencoba menjaga
bentuk asli TSu. Selain itu, struktur asli kalimat TSu pun sudah tidak terlihat
pada TSa. Penerjemah mengambil inti dari TSa dan memparafrasakannya.
Pemilihan penggunaan strategi ini dapat dipertanyakan, sebab bahasa
Jepang sendiri memiliki padanan kalimat yang lebih mendekati TSu. Namun,
pada saat yang sama, pemilihan untuk menggunakan strategi ini pun menjadi
indikasi bahwa dalam penerjemah memilih ideologi domestikasi dalam
proses penerjemahan.

3.2.2 Penerjemahan Komunikatif


Analisis dan pengelompokan data menemukan sejumlah dua belas
data yang menggunakan strategi penerjemahan komunikatif. Alasan
penggunaan strategi ini pun beragam, dan tidak seluruhnya menyangkut
adaptasi konsep budaya spesifik.
Salah satu data yang mengadaptasi konsep budaya spesifik adalah
data berikut.

(6) “Ickle Ronnie” menjadi “ロニー坊や”

Penerjemahan bebas, ideologi domestikasi

‘Ron, you’ve got something on your “Ron, ada sesuatu di hidungmu.”


nose.’

15
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

The youngest boy tried to jerk out of Anak laki-laki bungsu itu mencoba
the way, but she grabbed him and untuk menghindar, tetapi ibunya
began rubbing the end of his nose. menariknya dan mulai mengusap ujung
hidungnya.
‘Mum – geroff.’ He wriggled free.
“Ibu—menjauhlah.” Ia menggeliat
‘Aaah, has ickle Ronnie got somefink keluar.
on his nosie?’ said one of the twins.
“Aaah, ada cecuatu di idungnya Ronnie
‘Shut up,’ said Ron. kecil?” kata seorang dari kembaran itu.

“Diam,” kata Ron.

「ロン。お鼻になんかついてるわ “Ron. Ada sesuatu di hidungmu.”


よ」
Ibunya menangkap erat anak laki-laki
すっ飛んで逃げようとする末息子 bungsu yang mencoba menghindar dan
を、母親ががっちり捕まえて、鼻 kabur itu, kemudian mulai mengusap
の先を擦りはじめた。 ujung hidungnya.

「ママ、やめて」 “Mama, hentikan.”

Ron menggeliat dan kabur.


ロンはもがいて逃れた。
“Wah wah, dedek Ronnie, ada cecuatu
「あらあら、ロニー坊や、お鼻に
di hidungnya ya?” olok seorang dari
なんかちゅいてまちゅか?」と双
kembaran itu.
子の一人がはやしたてた。
“Diam!” kata Ron.
「うるさい!」とロン。

HPPS Hlm. 72
HPKI Hlm. 143-144

Ibu keluarga Weasley sangat protektif dan memanjakan anak-


anaknya, namun hal tersebut sering membuat anak-anaknya malu jika
terlihat di publik, terutama anak-anaknya laki-laki. Ron adalah anak laki-laki
bungsu di keluarga Weasley dan sebagai anak bungsu, ibunya masih sangat
terlewat perhatian terhadap dia, memeluknya dan mengusap hidungnya di

16
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

depan publik, membuat Ron merasa malu. Kedua kakak kembarnya, Fred dan
George, mengolok situasi tersebut.
“Ickle” adalah bahasa slang khas Inggris untuk “little” yang memiliki
konotasi kekanak-kanakan yang ironis, seperti mengolok. Panggilan “ickle
Ronnie” diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang menjadi “ロニー坊や” (ronii
bouya). “Bouya” berarti “anak laki-laki” dan dalam penggunaannya
menyugestikan orang yang dipanggil belum dewasa secara emosional. Hal ini
bisa diterima dalam memanggil anak-anak kecil, tetapi penggunaan “bouya”
untuk memanggil orang dewasa memiliki kesan menghina. Kesan menghina
ini diperjelas oleh berubahnya “said” di TSu menjadi “ は や し た て た ”
(hayashiteta) di bahasa Jepang yang berarti mengolok.
Selain itu, terdapat beberapa data yang diproses dengan strategi
penerjemahan komunikatif karena konten dalam TSu dianggap tidak sesuai
dengan nilai moral Jepang.

(7) Pemanggilan orang tua dengan “woman”.

Penerjemahan komunikatif, ideologi domestikasi

‘Fred, you next,’ the plump woman “Fred, selanjutnya kamu,” kata wanita
said. berisi itu.

‘I’m not Fred, I’m George,’ said the boy. “Aku bukan Fred, aku George,” kata
‘Honestly, woman, call yourself our anak itu. “Benar-benar ya, perempuan,
mother? Can’t you tell I’m George?’ kau sebut dirimu ibu kami? Tak bisakah
kau tahu aku George?”
‘Sorry, George, dear.’
“Maaf, George, sayang.”
‘Only joking, I am Fred,’...
“Hanya bercanda. Aku Fred.”

「フレッド、次はあなたよ」とふ “Fred, selanjutnya kamu ya,” wanita


っくらおばさんが言った。 berisi itu berkata.

「僕フレッドじゃないよ。ジョー “Aku bukan Fred, lho. Aku George.


ジだよ。まったく、この人ときた Benar-benar ya, orang ini, kalau begini
ら、これでも僕たちの母親だって

17
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

よく言えるな。僕がジョージだっ jangan kau sebut dirimu ibu kami. Tak


てわからないの?」 bisakah kau tahu aku George?”
iv
「あら、ごめんなさい、ジョージ “Ah, maaf ya, George-chan .”
ちゃん」
“Bercanda kok. Aku Fred.”
「冗談だよ。僕フレッドさ」

HPPS Hlm. 70
HPKI Hlm. 139

Fred dan George Weasley adalah kembar identik yang hampir tidak
bisa dibedakan. Keserupaan mereka menjadi sebuah running gagv dalam seri
novel Harry Potter di mana Fred kerap berpura-pura menjadi George dan
sebaliknya.
Kata “perempuan” dalam TSu diubah menjadi “orang ini” di TSa.
Perubahan pemilihan kata ini ada kemungkinan terpengaruh oleh budaya
Jepang yang berbeda dinamika keluarganya dengan budaya Inggris.
Menyebut orang tua dengan kata “perempuan” dianggap lancang dalam
budaya Asia khususnya Jepang, sedangkan hal tersebut masih dapat diterima
dalam budaya Inggris.
Pada data ini pun terlihat penggunaan strategi penerjemahan
komunikatif untuk menerjemahkan kata-kata yang tidak memiliki padanan
kata yang sesuai dalam BSa. Kata panggilan sayang “dear” di TSu lesap dan
diubah menjadi imbuhan “ ち ゃ ん ” (-chan) pada “George-chan” di TSa.
Bahasa Jepang memang tidak memiliki kata panggilan sayang yang digunakan
untuk anak-anak dan pada umumnya orang tua memilih untuk memanggil
anaknya menggunakan imbuhan “-chan” pada namanya.
Pada data berikut, strategi penerjemahan komunikatif dipakai untuk
mengkomunikasikan tingkat keformalan bahasa agar terlihat jelas pada
pembaca TSa.

(8) Penerjemahan komunikatif, ideologi domestikasi


‘Now, you two – this year, you behave “Sekarang, kalian berdua—tahun ini,
yourselves. If I get one more owl telling jaga perilaku kalian. Kalau aku

18
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

me you’ve – you’ve blown up a toilet menerima satu burung hantu lagi yang
or –’ memberitahuku kalian telah—kalian
telah meledakkan toilet atau—“
‘Blown up a toilet? We’ve never blown
up a toilet.’ “Meledakkan toilet? Kami belum pernah
meledakkan toilet.”
‘Great idea though, thanks, Mum.’
“Ide bagus tapinya, makasih, mama.”

「さて、あなたたち……今年はお行 “Nah, kalian... tahun ini bersikaplah yang


儀よくするんですよ。もしも、ま baik. Kalau seandainya, ada lagi surat
たふくろう便が来て、あなたたち burung hantu datang, kalian... kalian
が……あなたたちがトイレを吹き飛 telah meledakkan toilet atau apalah
ばしたとか何とかいったら……」 itu...”

「トイレを吹っ飛ばすだって?僕 “Meledakkan toilet? Kami tidak pernah


melakukan itu.”
たちそんなことしたことないよ」
“Ide bagus lho. Mama, makasih.”
「すげえアイデアだぜ。ママ、あ
りがとさん」

HPPS Hlm. 73
HPKI Hlm. 145

Fred dan George Weasley dikenal sebagai sepasang siswa nakal yang
memiliki hobi mengerjai siswa-siswi Hogwarts dengan penemuan-penemuan
sihir mereka yang jenaka. Oleh karena itu, ibunya Molly sering dikirimi surat
peringatan dari sekolah mengenai tingkah laku mereka, tetapi Fred dan
George tidak memedulikan peringatan-peringatan tersebut dan tetap
berbuat sesuka hati mereka.
Penggunaan “thanks” yang adalah bentuk kasual dari “thank you”
menambah kesan bahwa Fred dan George menganggap ringan peringatan-
peringatan dari sekolah dan ibu mereka sendiri. Intensi ini dipertahankan
dalam hasil terjemahan dengan penggunaan “ありがとさん” (arigatosan)
yang merupakan bentuk kasual dari “ありがとう” (arigatou).
Sebaliknya, ada pula penambahan tingkat keformalan bahasa oleh
pihak penerjemah.

19
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

(9) Penerjemahan komunikatif, ideologi domestikasi

‘...And look after Ron.’ “...dan jagalah Ron.”

‘Don’t worry, ickle Ronniekins is safe “Jangan khawatir, Ronniekins kecil


with us.’ aman bersama kami.”

‘Shut up,’ said Ron again. “Diam,” kata Ron lagi.

...ロンの面倒見てあげてね」 “...awasi tingkah Ron untukku ya.”

「心配御無用。はなたれロニー坊 “Tidak perlu Anda khawatir. Dedek


やは、僕たちにまかせて」 Ronnie yang ingusan ini diserahkan saja
pada kami.”
「うるさい」とロンがまた言った
。 “Diam,” kata Ron lagi.

HPPS Hlm. 73
HPKI Hlm. 145

Molly Weasley kembali meminta anak-anaknya Fred dan George


untuk menjaga adik kecil mereka Ron, yang kembali disambut dengan
sindiran dari Fred dan George.
“Don’t worry” yang berarti “jangan khawatir” adalah bahasa sehari-
hari, tetapi dalam bahasa Jepang diterjemahkan menjadi “ 心配御 無用 ”
(shinpai gomuyou) yang juga berarti “jangan khawatir” tetapi berbentuk
keigo atau bahasa hormat. Penambahan formalitas ini menambah kesan
mengolok dan memanjakan Ron, sebab dengan ini Fred dan George
terdengar seperti pelayan atau penjaga yang menghormati dan meninggikan
posisi Ron.
Terdapat data di mana ada penambahan kata untuk membuat dialog
lebih natural.

(10) Penerjemahan komunikatif, ideologi domestikasi

20
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

...their younger sister began to cry. ...adik perempuan mereka mulai


menangis.
‘Don’t, Ginny, we’ll send you loads of
owls.’ “Jangan, Ginny, kami akan kirimkan
banyak burung hantu.”
‘We’ll send you a Hogwarts toilet seat.’
“Kami akan kirimkan kamu kursi toilet
‘George!’
Hogwarts.”
‘Only joking, Mum.’ “George!”

“Hanya bercanda, mama.”

...妹のジニーが泣き出した。 ...adik perempuan mereka Ginny mulai


menangis.
「泣くなよ、ジニー。ふくろう便
をドッサリ送ってあげるよ」 “Jangan menangis, Ginny. Kami akan
kirimkan banyak surat burung hantu
「ホグワーツのトイレの便座を送 untukmu, ya.”
ってやるよ」
“Akan [kami] kirimkan kursi toilet
「ジョージったら!」 Hogwarts untukmu, ya.”

「冗談だよ、ママ」 “George, ih!”

“Bercanda kok, mama.”

HPPS Hlm. 73
HPKI Hlm. 147

Ginny, satu-satunya anak perempuan di keluarga Weasley dan juga


anak bungsu, sedang mengantarkan kakak-kakaknya untuk berangkat ke
Hogwarts sebab umurnya masih belum cukup untuk bersekolah.
“George” diubah bentuk menjadi “ジョージったら” (jooji ttara) di
mana penambahan “ttara” setelah nama menunjukkan kejengkelan penutur
terhadap lawan bicaranya, dalam situasi ini Molly Weasley pada anaknya
George. Indikasi kejengkelan ini juga terdapat pada TSu dalam bentuk
pemiringan huruf, dan meski dalam TSa pun huruf sudah ditebalkan, tetap

21
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

oleh penerjemah ditambahkan kata-kata agar terdengar lebih natural pada


pembaca TSa.
Beberapa data menggunakan strategi penerjemahan komunikatif
untuk memperhalus konten kekerasan dalam teks.

(11) Penerjemahan komunikatif, ideologi domestikasi

‘So – after that obvious and disgusting “Jadi—setelah sedikit kecurangan yang
bit of cheating –’ jelas dan menjijikkan itu—“

‘Jordan!’ growled Professor “Jordan!” Profesor McGonagall


McGonagall. menggeram.

‘I mean, after that open and revolting “Maksudku, setelah pelanggaran yang
foul –’ terang-terangan dan menjijikkan itu—“

‘Jordan, I’m warning you –’ “Jordan, aku memperingatkanmu—“

‘All right, all right. Flint nearly kills the “Baiklah, baiklah. Flint hampir
Gryffindor Seeker, which could membunuh Seeker Gryffindor itu, yang
happen to anyone, I’m sure, so... pastinya bisa terjadi ke semua orang, aku
yakin, jadi...”

「えー、誰が見てもはっきりと、 “Ya, setelah kecurangan yang jelas bisa


胸くその悪くなるようなインチキ dilihat semua orang dan juga nyelekit hati
の後……」 itu...”

「ジョーダン!」マクゴナガル先 “Jordan!” Profesor McGonagall


生がすごみをきかせた。 menunjukkan amarahnya.

「えーと、おおっぴらで不快なフ “Eee, setelah foul yang terang-terangan


dan tidak mengenakkan itu...”
ァールの後……」
“Jordan, kalau kamu tidak berhenti—“
「ジョーダン、いいかげんにしな
いと――」 “Baiklah, baiklah, aku mengerti. Flint
hampir tidak sengaja membunuh Seeker
「はい、はい、了解。フリントは
dari Gryffindor. Kesalahan yang bisa saja
グリフィンドールのシーカーを殺 terjadi pada semua orang ya, pastinya...”
しそうになりました。誰にでもあ

22
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

り得るようなミスですね、きっと
。...

HPPS Hlm. 138


HPKI Hlm. 175-176

Sebelum dialog terjadi, Marcus Flint, pemain Quidditch di tim


Slytherin, dengan sengaja menabrak Harry yang sedang fokus mengejar
golden snitch demi memenangkan pertandingan. Harry terpelanting dan
hampir jatuh dari sapu terbangnya. Lee Jordan sang komentator yang juga
merupakan siswa Gryffindor tidak bisa menyembunyikan amarahnya, meski
seharusnya ia mengambil posisi netral sebagai komentator. Kepala
asramanya, Profesor McGonagall, memarahi kesubjektifannya.
Terjadi penambahan makna pada “kills” yang hanya berarti
“membunuh” menjadi “殺しそうになりました” (koroshisou ni narimashita)
yang artinya “tidak sengaja membunuh”. Penambahan ini menghilangkan
unsur intensi membunuh yang ada pada TSu dan mengurangi kesan
kekerasan dalam teks.
Terakhir, terdapat penerjemahan idiom di BSu menjadi idiom di BSa.

(12) Penerjemahan komunikatif, ideologi domestikasi

‘This is it.’ “Ini dia.”

‘The big one,’ said Fred Weasley. “Yang besar,” kata Fred Weasley.

‘The one we’ve all been waiting for,’ “Yang sudah kita nanti-nantikan,” kata
said George. George.

‘We know Oliver’s speech by heart,’ “Kita tahu pidato Oliver luar kepala,”
Fred told Harry. ‘We were in the team kata Fred pada Harry. “Kita masuk tim
last year.’ tahun lalu.”

「いよいよだ」 “Akhirnya tinggal sebentar lagi.”

「大試合だぞ」フレッド・ウィー “Pertandingan yang besar,” Fred


ズリーが声を張り上げた。 Weasley mengangkat suara.

23
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

「待ち望んでいた試合だ」ジョー “Pertandingan yang sudah kita nanti-


ジ・ウィーズリーが続けた。 nantikan,” lanjut George Weasley.

「オリバーのスピーチなら空で言 “Kita tahu pidato Oliver luar kepala.


えるよ。僕らは去年もチームにい Soalnya kita masuk tim tahun lalu,” kata
たからね」 Fred kepada Harry.

フレッドがハリーに話しかけた。

HPPS Hlm. 136


HPKI Hlm. 170

Dialog terjadi sebelum pertandingan Quidditch antara Gryffindor dan


Slytherin. Ketua tim Quidditch Gryffindor, Oliver Wood, sedang menaikkan
moral timnya dengan pidato singkat, namun pidato yang ia berikan sama
setiap tahun, sehingga Fred dan George Weasley yang juga ada di tim tahun
lalu masih mengingat pidato Oliver dan mengoloknya dengan
mengucapkannya dahulu sebelum Oliver.
Idiom “know by heart” yang berarti “hafal di luar kepala”
diterjemahkan menjadi “空で言える” (sora de ieru) yang secara harafiah
berarti “bisa dikatakan di langit” dan merupakan idiom yang juga berarti
“hafal di luar kepala”. Penerjemah memilih untuk mencari idiom dengan
makna sepadan dalam BSu.

3.2.3 Penerjemahan Idiomatik


Pada 21 data yang sudah dikelompokkan, terdapat dua kali
penggunaan strategi penerjemahan idiomatik pada dua data yang secara
keseluruhan diterjemahkan dengan strategi penerjemahan komunikatif dan
ideologi domestikasi.

(13) “胸くその悪くなる” (munekuso no waruku naru)

‘So – after that obvious and disgusting “Jadi—setelah sedikit kecurangan yang
bit of cheating –’ jelas dan menjijikkan itu—“

24
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

‘Jordan!’ growled Professor “Jordan!” Profesor McGonagall


McGonagall. menggeram.

‘I mean, after that open and revolting “Maksudku, setelah pelanggaran yang
foul –’ terang-terangan dan menjijikkan itu—“

‘Jordan, I’m warning you –’ “Jordan, aku memperingatkanmu—“

‘All right, all right. Flint nearly kills the “Baiklah, baiklah. Flint hampir
Gryffindor Seeker, which could membunuh Seeker Gryffindor itu, yang
happen to anyone, I’m sure, so... pastinya bisa terjadi ke semua orang, aku
yakin, jadi...”

「えー、誰が見てもはっきりと、 “Ya, setelah kecurangan yang jelas bisa


胸くその悪くなるようなインチキ dilihat semua orang dan juga nyelekit hati
の後……」 itu...”

「ジョーダン!」マクゴナガル先 “Jordan!” Profesor McGonagall


生がすごみをきかせた。 menunjukkan amarahnya.

「えーと、おおっぴらで不快なフ “Eee, setelah foul yang terang-terangan


dan tidak mengenakkan itu...”
ァールの後……」
“Jordan, kalau kamu tidak berhenti—“
「ジョーダン、いいかげんにしな
いと――」 “Baiklah, baiklah, aku mengerti. Flint
hampir tidak sengaja membunuh Seeker
「はい、はい、了解。フリントは
dari Gryffindor. Kesalahan yang bisa saja
グリフィンドールのシーカーを殺 terjadi pada semua orang ya, pastinya...”
しそうになりました。誰にでもあ
り得るようなミスですね、きっと
。...

HPPS Hlm. 138


HPKI Hlm. 175-176

Pada data ini, kata “disgusting” yang bukan idiom diterjemahkan


menjadi “胸くその悪くなる” (munekuso no waruku naru) yang secara

25
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

harafiah berarti “membuat dada tidak enak” namun juga merupakan sebuah
idiom untuk perasaan jijik. Kata “munekuso” sendiri berarti dada dan sangat
jarang dipakai di luar pemakaian untuk idiom ini.

(14) “痛い目を見せる” (itai me wo miseru)

Hard work and pain are the best Kerja keras dan rasa sakit adalah guru
teachers if you ask me … It’s just a pity yang terbaik menurutku... sayang sekali
they let the old punishments die out … mereka membiarkan hukuman-
hang you by your wrists from the ceiling hukuman seperti dulu hilang...
for a few days, I’ve got the chains still in menggantung pergelangan tanganmu
my office, keep ’em well oiled in case di loteng beberapa hari, aku masih ada
they’re ever needed … rantai-rantainya di kantorku, tetap rutin
melumasinya siapa tahu akan
dibutuhkan...

「……私に言わせりや、しごいて、 “...Kalau menurutku, obat terbaik


痛い目を見せるのが一番の薬だよ adalah membuat seseorang kesulitan
――昔のような体罰がなくなって、 dan bekerja keras... Sayang sekali
まったく残念だ……手首をくくって hukuman-hukuman seperti dulu sudah
天井から数日吊るしたもんだ。今 tidak ada... dulu pergelangan tanganmu
でも私の事務所に鎖は取ってある diikat dan digantung di loteng beberapa
hari. Bahkan sekarang pun ada rantai di
がね……万一必要になった時に備え
kantorku... untuk suatu saat jika
てピカピカに磨いてあるよ――」
diperlukan, selalu disiapkan dengan
dipoles hingga mengkilap—“

HPPS Hlm. 181


HPKI Hlm. 364

Pada data ini, “pain” yang bukan idiom diterjemahkan menjadi “痛い
目を見せる” (itai me wo miseru) yang secara harafiah berarti “menunjukkan
mata kesakitan” tetapi juga merupakan idiom yang berarti “membuat
seseorang kesulitan”.

4. Kesimpulan
Setelah melalui proses analisis data, didapat bahwa dalam proses
penerjemahan humor dalam novel Harry Potter and the Philosopher’s Stone

26
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

ke dalam bahasa Jepang, penerjemah menggunakan lima jenis strategi sesuai


teori Newmark, yaitu penerjemahan harafiah, penerjemahan semantis,
penerjemahan komunikatif, penerjemahan idiomatik, dan penerjemahan
bebas. Dari total 21 data, sejumlah 7 data dikelompokkan sebagai hasil
strategi penerjemahan semantis dan 1 data sebagai hasil strategi
penerjemahan harafiah, sedangkan sejumlah 12 data termasuk hasil strategi
penerjemahan komunikatif dan 1 data termasuk hasil strategi penerjemahan
bebas. Selain itu, pada data terjemahan komunikatif, terdapat dua kali
penggunaan strategi penerjemahan idiomatik.
Kecenderungan penggunaan strategi yang berfokus pada BSa
menandakan bahwa penerjemah beralaskan ideologi domestikasi dalam
penerjemahan. Ideologi domestikasi pun tercermin dalam hasil
penerjemahan di mana terdapat pergeseran-pergeseran makna yang
dipengaruhi oleh proses adaptasi untuk budaya setempat, meskipun ada
padanan kata dalam bahasa Jepang yang lebih mencerminkan teks asli. Hasil
penerjemahan dengan strategi yang berfokus pada BSu pun tidak
menunjukkan usaha yang signifikan untuk mempertahankan budaya BSu
dalam TSa.
Meski ada argumen yang kuat untuk penggunaan ideologi foreignisasi
seperti yang diajukan Venuti, pada kasus ini, ideologi domestikasi lebih
banyak diterapkan untuk mengadaptasi pada moral dan standar konten pada
budaya setempat, serta untuk menambahkan efek humor pada teks sasaran
sesuai dengan kaidah bahasa dan budaya setempat. Dalam hal ini, menurut
penulis, penggunaan ideologi domestikasi oleh penerjemah sudah
merupakan pilihan yang tepat agar buku ini lebih dapat diterima oleh
masyarakat dan dinikmati oleh pembaca. Meski demikian, tetap penting
untuk tidak mengikis habis seluruh elemen budaya pada teks asli agar anak-
anak terbuka terhadap budaya-budaya lain dan dapat mengapresiasinya.
Keterbatasan studi ini di antaranya adalah status peneliti yang
bukanlah penutur asli bahasa Jepang maupun Inggris, sehingga ada
kemungkinan terdapat kesalahpahaman dalam interpretasi teks dan konteks
budaya. Selain itu, data hanya diambil dari beberapa bab yang mewakili
seluruh buku. Studi ini menggunakan teori strategi penerjemahan Newmark
yang sudah memiliki kerangka implikasi budaya, tetapi teori strategi

27
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

penerjemahan ini sulit digunakan untuk menganalisis unit bahasa yang lebih
kecil dan lebih cocok digunakan untuk menganalisis unit bahasa yang lebih
besar seperti paragraf. Sementara, humor sering kali terkandung hanya
dalam beberapa kalimat atau kata saja.
Penelitian lanjutan dalam topik ini dapat menganalisis humor buku
secara keseluruhan untuk memperkuat konsistensi dan argumen. Ada
baiknya pula untuk mengkaji jika teori-teori strategi penerjemahan lainnya
yang bersifat lebih spesifik seperti teori Morina-Albir dapat disangkutkan
dengan ideologi penerjemahan dan implikasi budaya agar bisa mendapat
hasil yang lebih detail dan mendalam.

Catatan
i
Gaya humor di mana seseorang (boke) bertingkah bodoh dan kebodohan itu
dijabarkan oleh seorang lainnya (tsukkomi)
ii
Kato, S. (2007). Sekai dai hyakka jiten [Ensiklopedia besar dunia]. Tokyo:
Heibonsha.
iii
Warren, J. (2017, February 24). Is marmalade toast? The history of Britain's
breakfast favourite. Daily Express. Diambil dari
https://www.express.co.uk/life-style/life/771268/marmelade-toast-history-
sales-down-british-breakfast
iv
Imbuhan nama yang menunjukkan afeksi atau rasa sayang.
v
Lelucon yang diulang berkali-kali dalam sebuah karya.

Daftar Pustaka
Alexander, R.J. (1997). Aspects of Verbal Humour in English. Tubingen: Gunter
Narr Verlag.
Fitriani, T. (2008). A Study of Humor Translation in J.K. Rowling’s Harry Potter
and the Chamber of Secrets as Translated by Listiana Srisanti.
Universitas Andalas, Padang.
Kato, S. (2007). Sekai dai hyakka jiten [Ensiklopedia besar dunia]. Tokyo:
Heibonsha.
Kelley, J.E. (2008). Harmony, Empathy, Loyalty, and Patience in Japanese
Children's Literature, The Social Studies, 99:2, 61-70.

28
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Knuth, R. (2012). Children's literature and British identity: Imagining a people


and a nation. Plymouth: Scarecrow Press.
Koestler, A. (1964). The Art of Creation. London: Hutchinson.
Machali, R. (2000). Pedoman bagi penerjemah. Jakarta: Grasindo.
Newmark, P. (1981). Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press
Newmark, P. (1988). A Textbook of Translation. London: Prentice Hall
Internasional
Putri, H.Y. (2018). Penerjemahan Kata “Think” dalam Novel Harry Potter and
the Philosopher’s Stone Terjemahan Bahasa Jepang. Universitas
Indonesia, Depok.
Shavit, Z. (1981). Translation of Children's Literature as a Function of Its
Position in the Literary Polysystem. Poetics Today, 2(4), 171-179.
Simatupang, M.D.S. (1999). Pengantar Teori Terjemahan. Jakarta: Depdiknas
Venuti, L. (1993). Translation as cultural politics: Regimes of domestication in
English, Textual Practice, 7:2, 208-223.
Warren, J. (2017, February 24). Is marmalade toast? The history of Britain's
breakfast favourite. Daily Express. Diambil dari
https://www.express.co.uk/life-style/life/771268/marmelade-toast-
history-sales-down-british-breakfast
Xeni, E. (2013). Humor Translation Norms, Strategies and Approaches in
Children’s Literature. Aston University, Birmingham.
Yang, L. (2014). The Application of Foreignization and Domestication in the
Translation, ICELAIC 2014: International Conference on Education,
Language, Art and Intercultural Communication (pp. 324). Atlantis
Press.
Yuliasri, I., & Hartono, R. (2014). Translation techniques and equivalence in
the Indonesian translation of humor in Harry Potter and the
Sorcerer’s Stone. Translating Asia: Then and Now. Bangkok.
Yuliasri, I., & Allen, P. (2019). Humour loss in the Indonesian translation of
Harry Potter and the Sorcerer’s Stone. Indonesian Journal of Applied
Linguistics, 9:1, 119-127

29
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Ryosai Kenbo Atau Anti Ryosai Kenbo?:


Penggambaran Tokoh Ibu dalam Novel Kokuhaku
Karya Minato Kanae

Avidya Sekar Saga


Rouli Esther Pasaribu

Abstract
The concept of ideal mother in Japan called ryousai kenbo (good wife, wise mother)
was reproduced in the post-war era with the name sengyou shufu (full-time
housewife) and kyouiku mama (education mother). The economic crisis in the 90s
in Japan had shaken the internalized values in society, including the ideal mother's
values. After the lost decade era, Japanese people began to question the values of
the ideal mother. The purpose of this research is to find out how the characters of
the mother in Kokuhaku novel were constructed. The research method used is
analysis descriptive. The result of this research has shown that the three characters
of the mother in the novel have some things in common, they tried to fulfill the ideal
mother's standard values in society but ended up failing in fulfilling the ideal
mother's standard values. It can be concluded that Kokuhaku novel written by
Minato Kanae that published in 2008 presents a critique of the internalization of the
ideal mother’s values in contemporary Japanese society.

Keyword: Ideal mother, Motherhood, Gender Roles, Ryousai kenbo, Kokuhaku


novel

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Ibu merupakan sosok yang penting dalam keluarga. Masyarakat
mempunyai standar tersendiri terhadap ibu agar ia dapat dikatakan sebagai
ibu ideal. Gosh (2016) dalam jurnalnya mengutip pernyataan Lawler (2002)
bahwa masyarakat menginginkan perempuan yang secara ‘alami’ dapat
mengasuh dan mendidik anak dengan baik, dan menolak ibu yang tidak
memberikan kasih sayang, single, yang bekerja, dan yang masih remaja,
karena dinilai ‘tidak alami’ dan merupakan hal yang menyimpang dari sosok

30
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

ibu yang seharusnya. Winnicot (1953) dalam Gosh (2016) menyebutkan


adanya gagasan mengenai “ibu yang cukup baik” yaitu yang “seluruh
hidupnya terikat dengan kehidupan anak”. Sebaliknya jika seorang ibu
memiliki sifat “maskulin” atau “yang sibuk dengan urusannya sendiri” maka
seorang ibu pantas Untuk dikritik. Ibu yang ideal juga dikonstruksikan sebagai
sosok yang memberikan kenyamanan, kehangatan, dan rasa aman. Ibu
dianggap sebagai sosok yang satu-satunya dapat mengurus keluarga
terutama anak dengan baik, sosok yang bertanggung jawab atas nasib
seorang anak, dan mengorbankan segalanya demi membuktikan cinta
kepada keluarga. Sosok ibu seperti inilah yang dinilai paling mulia di dalam
segala lapisan masyarakat menembus batas ras dan budaya (Chira, 1998,
hlm. 48).
Konsep ibu ideal di Jepang mulai muncul pada akhir zaman Meiji.1
Konsep ibu ideal di Jepang dikenal dengan sebutan “ryousai kenbo” atau “istri
yang baik, ibu yang cerdas”. Sebelumnya, pada zaman Edo (1604-1868),
konsep “ibu yang cerdas” ini tidak terlalu penting karena pada saat itu peran
ibu hanya sebatas fungsi biologisnya saja yaitu untuk melahirkan anak,
termasuk untuk menjalankan fungsi-fungsi sosialnya, yaitu mengasihi,
membesarkan, dan mendidik anak mereka. Adanya gagasan “ibu yang
cerdas” ini membuka jalan untuk perluasan pendidikan bagi perempuan
(Koyama, 2012, hlm. 11).
Setelah Restorasi Meiji (1868), perempuan diizinkan untuk dapat
mengenyam pendidikan secara resmi. Walaupun sebenarnya di akhir tahun
1890-an jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan masih rendah,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa gagasan untuk dapat menciptakan “ibu
yang cerdas” inilah yang kemudian menjadi penggerak untuk pendirian
sekolah khusus bagi perempuan2. Pendidikan dianggap penting bagi
perempuan karena bukan hanya berguna untuk mendidik generasi
selanjutnya, namun juga sebagai aktualisasi diri perempuan (Lukminaite,
2015, hlm. 14).
Walaupun pada masa pra-perang3, posisi perempuan masih di bawah
laki-laki, namun setelah perang dunia II keadaan tersebut mulai berubah. Hal
ini dimulai dari perubahan konstitusi Jepang pada tahun 1947, dengan
adanya penghapusan sistem ie4 dan persamaan hak bagi setiap penduduk

31
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Jepang. Perempuan dapat mengakses pendidikan yang setara dengan laki-


laki dan tidak ada lagi pemisahan sistem pendidikan antara perempuan dan
laki-laki.
Setelah Jepang memasuki masa Lost Decade,5 tatanan masyarakat
Jepang mulai tergoncang yang menyebabkan pergeseran peran gender.
Konsep “ayah bekerja, ibu di rumah” tidak berlaku lagi karena banyak
perempuan yang kemudian selain menjadi ibu rumah tangga juga
mempunyai pekerjaan di luar. Ibu yang telah memiliki karir yang mapan,
dihadapkan pada dilema di mana ibu tidak dapat mengasuh dan mendidik
anaknya secara maksimal karena panjangnya waktu dalam bekerja.
Dalam karya sastra Jepang, konstruksi ibu ideal juga diperlihatkan
dalam beberapa karya, misalnya cerita pendek Onna (Woman, 1942) karya
Ushijima Haruko. Pengalaman mothering6 menjadi tolok ukur dalam
menjadikan diri seorang ibu menjadi ibu yang ideal. Novel Choji (Child for
Fortune, 1978) karya Tsushima Yuko dan cerita Museiran (The Unfertilized
Egg, 2004) karya Hasegawa Junko menghadirkan seorang ibu yang merasa
dirinya telah menjadi wanita sempurna jika mereka merasakan kehamilan.
Ketiga karya sastra tersebut pada intinya menggambarkan bagaimana ibu
dikatakan sempurna dan ideal dengan pengalaman kehamilan, memiliki anak
dan menyerahkan hidupnya untuk keberlangsungan hidup sang anak dan
tidak menyebutkan hal-hal yang dapat merampas gelarnya sebagai ibu ideal.
Berbeda dari karya-karya tersebut, novel Kokuhaku (Confessions, 2008)
karya Minato Kanae,7 yang merupakan novel dengan genre psychological-
thriller dan merupakan novel debut Minato Kanae ini menawarkan warna
baru dalam menanggapi stereotipe ibu ideal. Novel ini menentang konstruksi
ibu ideal dengan cara menggambarkan sosok ibu yang bertentangan dengan
konstruksi ibu ideal tersebut.
Novel Kokuhaku ini, bercerita tentang seorang guru bernama Yuko
Moriguchi yang memiliki satu orang anak perempuan bernama Manami.
Suatu hari Manami ditemukan meninggal di kolam renang sekolah tempat
Yuko mengajar. Yuko mengetahui bahwa anaknya bukan meninggal secara
tidak sengaja, melainkan dibunuh oleh dua orang muridnya sendiri, yang
bernama Naoki dan Shuuya. Hal ini menyebabkan Yuko akhirnya melakukan
pembalasan dendam kepada Naoki dan Shuuya dengan cara yang tidak

32
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

terduga. Cerita di dalam novel ini mengambil sudut pandang dari masing-
masing tokoh yang terlibat, termasuk di antaranya ibu Naoki dan ibu Shuuya.
Tokoh-tokoh ibu dalam novel ini pada awalnya digambarkan sebagai
ibu ideal di dalam masyarakat, yaitu dengan digambarkan sebagai sosok ibu
yang mengabdikan diri untuk keluarga, mengorbankan diri untuk anak.
Namun tokoh-tokoh ibu tersebut justru digambarkan berakhir sebagai sosok
ibu yang menyimpang dari nilai-nilai ibu ideal yang sesuai dengan standar
masyarakat. Hal ini yang menarik perhatian penulis untuk meneliti tentang
bagaimana sosok ibu dikonstruksikan di dalam novel Kokuhaku.

1.2 Studi Terdahulu


Penelitian yang membahas konstruksi ibu dalam novel Kokuhaku belum
pernah dilakukan sebelumnya. Namun, terdapat penelitian terdahulu yang
mengangkat tema ibu dengan data primernya berupa karya-karya sastra
Jepang. Penelitian tersebut membahas tentang bagaimana sosok ibu
digambarkan dalam karya-karya sastra Jepang dan bagaimana peran dari
karya-karya sastra tersebut dalam membentuk ideologi ibu ideal di dalam
masyarakat. Karya-karya sastra memiliki peran penting dalam menyebarkan
konsep ibu ideal kepada masyarakat melalui narasi-narasi yang dibangun
sehingga konsep tersebut dapat tertanam kuat di benak masyarakat. Seperti
misalnya Tsushima Yuko di mana karya-karyanya banyak mengangkat tema
kehamilan dan melahirkan sebagai peran utama seorang ibu (McKinlay,
2002). Penelitian Saeki (1998) juga memperlihatkan bagaimana karya-karya
sastra Jepang menggambarkan perubahan image ibu, terutama pada karya-
karya sastra di awal era pra-Meiji 8 yang didominasi penulis laki-laki seperti
Hitorine (Sleeping Alone, 1724) karya Yanagisawa Kien, Yari no gonza kasane
katabira (Gonza The Lancer, 1717), Shinju ten no amijima (The Love Suicides
of Amijima, 1721), dan Onna goroshi abura no jigoku (The Woman-Killer and
The Hell of Oil, 1721) karya Chikamatsu Monzaemon, Koshoku gonin onna
(Five Women Who Loved Love, 1686) karya Ihara Saikaku dan mengulas
kembali perubahan gambaran ibu tradisional Jepang dari sudut pandang
perempuan.
Berbicara mengenai ibu ideal, tak akan pernah lepas dari peran biologis
ibu itu sendiri untuk dapat melahirkan anak. Hal ini dibahas oleh Enomoto

33
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

(1998) yang mengeksplorasi bagaimana novel Choji (Child of Fortune, 1978)


karya Tsushima Yuko melihat peran seorang ibu, yaitu hamil dan melahirkan
dapat membentuk identitas baru dari diri seorang perempuan yang
tercermin dari tokoh utama novel tersebut. Sejalan dengan Enomoto,
Seaman (2010) juga menyoroti salah satu karya Hasegawa Junko yang
berjudul Museiran (The Unfertilized Egg, 2004) di mana kehamilan adalah
tujuan utama dari tokoh utama. Kehamilan dipandang sebagai bentuk
penciptaan diri dan pengembangan diri alih-alih hanya sekadar menciptakan
makhluk lain yang dapat dikendalikan dengan cinta kasih ibu.
Selain itu, Taniguchi (2011) menjelaskan fantasi keibuan yang dialami
ibu dalam kaitannya dengan hubungan ibu dan anak, di mana terdapat
dependensi antara ibu anak yang terproyeksi dari legenda yamamba9 di
Jepang dalam karya sastra seperti Sushi (1939) karya Okamoto Kanoko,
Yamamba (1973) karya Kanai Mieko, dan Yamauba no bishou (The Smile of
Mountain Witch, 1976) karya Oba Minako. LeGare (2016) juga meneliti topik
yang sama dengan Taniguchi yaitu tentang fantasi keibuan. LeGare
menjelaskan representasi ibu dalam novel Haha no kouru ki (Longing for
Mother, 1919) karya Tanizaki Junichiro, Kouya hijiri (The Holy Man of Kouya
Mount, 1900) karya Izumi Kyouka, Ningyou ai (Doll Love, 1976) karya
Takahashi Takako, dan 9 nen mae no inori (Prayers from Nine Years Ago,
2014) karya Ono Masatsugu, di mana tokoh-tokoh ibu dapat menjadi sosok
ideal sekaligus menyimpang dari tatanan sosial. Kono (2013) dalam
penelitiannya menggambarkan tokoh utama dalam cerita pendek Onna
(Woman, 1942) karya Ushijima Haruko yang memiliki identitas sebagai ibu
digunakan untuk mengeksplorasi tujuan dari negara dan kekaisaran Jepang,
serta dampaknya terhadap negara kolonialnya, yaitu Manchuria.
Berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya, yang membahas
perkembangan karya-karya sastra dengan tema ibu, peran biologis ibu,
fantasi keibuan dalam hubungan dengan anak dan masyarakat, dan identitas
ibu bagi negara, dalam penelitian ini penulis akan membahas gambaran ibu
dalam novel Kokuhaku yang mempertanyakan konsep ibu ideal. Dalam novel
ini, terdapat tiga tokoh yang digambarkan telah berusaha untuk memenuhi
ekspektasi-ekspektasi masyarakat dalam menjadi ibu ideal, namun justru
berakhir menjadi tragedi bagi tokoh-tokoh ibu itu sendiri. Berdasarkan hal ini,

34
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

penelitian ini akan melihat bagaimana tokoh-tokoh ibu dalam novel


Kokuhaku dikonstruksikan jauh dari nilai-nilai ibu ideal.

1.3 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah salah satu cara dalam
mengumpulkan data dalam penelitian sastra. Metode ini dilakukan dengan
cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis
(Ratna, 2013, hlm. 53). Fakta-fakta tersebut berupa narasi-narasi dalam
novel, dapat berupa pernyataan langsung dari pengarang maupun dari dialog
tokoh lain, digunakan sebagai instrumen untuk melihat bagaimana sosok ibu
dalam novel Kokuhaku ini digambarkan.

1.4 Landasan Teori


Penelitian ini menggunakan konsep motherhood dan konsep ryousai
kenbo di Jepang untuk menganalisis permasalahan penelitian. Hays (1996)
dalam Gross (1998) mengatakan bahwa ia tidak ingin menyalahkan
motherhood sebagai bentuk opresi terhadap perempuan, sehingga ia
menawarkan motherhood sebagai “the ideology of intensive mothering”.
Pada intinya intensive mothering menggambarkan ibu ideal sebagai seorang
yang mengasuh anak dengan membimbing secara profesional, penuh emosi,
dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk anak. Ibu yang terlibat dalam
“intensive mothering” akan merasa bersalah jika meninggalkan anak mereka.
Rasa bangga akan pencapaian ibu yang lain seperti bekerja di luar rumah,
sering dilemahkan oleh ambivalensi tentang moralitas dari pilihan mereka
dan cukup tidaknya peran mereka dalam menjadi ibu. Sampai saat ini,
ideologi motherhood mengharuskan perempuan untuk mengorbankan diri
mereka sendiri untuk anak dan suami, selain dari itu maka akan dipandang
tidak layak dan tercela secara moral.
Konsep ryousai kenbo atau “istri yang baik, ibu yang cerdas”
merupakan standar ibu ideal di Jepang. Konsep ryousai kenbo diciptakan oleh
pemerintah Jepang di awal tahun 1900an sebagai konsep ideal perempuan
Jepang. Konsep ini menuntut perempuan Jepang untuk dididik seluas-luasnya
sehingga ia dapat berfungsi sebagai pembimbing dan pendidik bagi anak-

35
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

anaknya dan dapat menjadi pendamping yang baik bagi suaminya, serta
mampu bergerak di luar rumah saat ia dibutuhkan (Fujimura-Fanselow, 1991,
hlm. 1).
Untuk menganalisis karya sastra, penulis menggunakan teori kritik
sastra feminis. Kritik sastra feminis muncul sebagai akibat dari adanya
gerakan feminisme di dunia. Tujuan dari feminisme adalah meningkatkan
kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan
kedudukan serta derajat laki-laki (Djajanegara, 2000, hlm. 4). Menurut
Kolodny dalam Djajanegara (2000), mereka yang menekuni bidang sastra
pasti menyadari bahwa karya sastra, yang pada umumnya hasil tulisan laki-
laki, menampilkan stereotipe perempuan sebagai istri dan ibu yang setia dan
berbakti, perempuan manja, pelacur dan perempuan dominan. Citra-citra
perempuan seperti itu ditentukan oleh aliran-aliran sastra dan pendekatan-
pendekatan tradisional yang tidak cocok dengan keadaan karena penilaian
demikian tentang perempuan tidak adil dan tidak teliti. Padahal perempuan
mempunyai perasaan-perasaan yang sangat pribadi, seperti penderitaan,
kekecewaan, atau rasa tidak aman yang hanya bisa diungkapkan oleh
perempuan itu sendiri. Hal-hal ini yang membuat pendekatan kritik sastra
feminis sesuai untuk mengungkap permasalahan penggambaran perempuan
dalam suatu karya sastra.

2. Pembahasan
2.1 Tokoh Yuko sebagai Ibu Tunggal
Salah satu tokoh ibu dalam novel Kokuhaku adalah Yuko Moriguchi.
Yuko Moriguchi, di dalam novel Kokuhaku diceritakan sebagai seorang guru
yang ingin balas dendam atas kematian putrinya, Manami yang dibunuh oleh
dua orang muridnya sendiri. Murid-muridnya tahu bahwa Yuko adalah
seorang ibu tunggal, karena ia sering membawa anaknya ke sekolah. Di hari
perpisahannya dengan murid-muridnya, Yuko secara tiba-tiba memberi
pernyataan bahwa ia adalah seorang ibu tunggal, seperti yang ditunjukkan
dalam ungkapan berikut ini:

36
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

みんなも知っているように、私はシングルマザー、未婚の母でした。四
歳だった娘、愛美の父親にあたる人とは結婚が決まっていました。
(Minato, 2008, hlm. 19)

Terjemahan:

Seperti yang kalian ketahui, aku adalah ibu tunggal dan ibu yang tidak
menikah. (Aku hamil) Sebelum aku dan ayah Manami berencana untuk
menikah.

Dari ungkapan di atas, Yuko menunjukkan keberaniannya sebagai


seorang perempuan untuk memberikan pernyataan kepada semua orang
bahwa ia adalah seorang ibu tunggal. Menjadi ibu tunggal berarti ia
menunjukkan bahwa ibu yang memimpin keluarga dan menantang persepsi
bahwa hanya laki-laki yang dapat menjadi kepala keluarga, walaupun
masyarakat memandang ibu tunggal sebagai sesuatu yang menyimpang dari
gambaran ibu yang ideal. Tetapi, di sisi lain Yuko menunjukkan bahwa jauh di
lubuk hatinya ia sangat menginginkan pernikahan. Ia memandang
pernikahan sebagai satu-satunya jalan untuk dirinya dapat menjadi seorang
perempuan ideal dan menjadi jalur untuk ia dapat mengabdi sebagai seorang
istri dan ibu.
Calon suami Yuko bernama Sakuranomi. Walaupun Sakuranomi telah
terinfeksi virus HIV yang mengakibatkan ia divonis penyakit AIDS, Yuko tetap
menemaninya karena bagaimanapun juga ia adalah calon ayah dari anak
yang dikandungnya. Keinginan Yuko untuk dapat menikah dengan
Sakuranomi sangat kuat, sehingga ia mengesampingkan fakta bahwa calon
suaminya telah terinfeksi HIV. Hal ini ditunjukkan dalam ungkapan berikut:
私は彼に結婚しようと言いました。お互いが状況を理解し合っていれば
日常生活に大きな支障をきたすこともありませんし、それから生まれて
くる子供のためにも父親はいてほしいと思ったからです。しかし彼は頑
なにそれを拒みました。(Minato, 2008, hlm. 21)

Terjemahan:

Karena aku ingin ia menjadi ayah bagi anakku, aku berkata padanya bahwa
aku ingin menikah (dengannya). Sepanjang kami berdua paham akan
keadaan, kami akan menemukan cara untuk menghadapi masalah. Tetapi, ia
menolak dengan keras.

37
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Ungkapan di atas menunjukkan posisi Yuko di sini bahwa ia rela untuk


mempertaruhkan apapun asalkan mereka berdua dapat hidup bersama
dalam kehidupan rumah tangga. Yuko di sini, masih terkungkung dalam
sistem masyarakat patriarki, karena ia berpikir bahwa suamilah yang
seharusnya menjadi kepala keluarga. Selain itu, Yuko juga ingin agar Manami
dapat tumbuh dengan didampingi oleh sosok ayah. Ada perasaan di dalam
diri Yuko jika ia tidak menikah dengan Sakuranomi, terutama adanya
perasaan bersalah kepada anaknya jika ia tumbuh tanpa didampingi oleh
seorang ayah walaupun kemungkinan anaknya masih dapat diterima di
masyarakat, seperti yang digambarkan dalam ungkapan berikut:

確かに、父親のいない子供も偏見を受けるかもしれない。それでもまだ
、社会的にはこちらの方が受け入れられるのではないか。 (Minato, 2008,
hlm. 22)

Terjemahan:

Tentu saja, seorang anak (yang tumbuh) tanpa ayah juga bisa mendapatkan
prasangka (buruk). Namun, bukankah hal ini dapat diterima secara sosial?

Yuko khawatir dengan kehidupan Manami nanti di masyarakat. Ibu


tunggal di Jepang dinilai memiliki kehidupan yang miskin. Hal ini karena posisi
perempuan di Jepang masih di bawah laki-laki sehingga berpengaruh pada
bagaimana perempuan diperlakukan, Perempuan cenderung mempunyai
pekerjaan yang tidak tetap, namun mereka tetap melakukan beberapa
pekerjaan untuk dapat tetap memenuhi kebutuhannya. 10 Hal ini dapat
berpengaruh pada anak-anak mereka, di mana anak-anak yang diasuh oleh
ibu tunggal dipandang tidak dapat mengakses pendidikan yang lebih tinggi
sehingga mereka berakhir mendapatkan pekerjaan yang buruk di masa
depan. Nilai-nilai yang dibebankan masyarakat inilah yang tidak hanya
menimpa Yuko tetapi juga kepada anaknya yang dapat berakibat ke masa
depannya.
Keinginan Yuko untuk menikah telah kandas, keinginan Yuko untuk
menjadi ibu ideal bagi Manami pun bukan tanpa hambatan. Sebagai ibu
tunggal, Yuko mempunyai pekerjaan yang mapan yaitu sebagai guru. Sangat

38
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

berbeda dari stigma masyarakat yang menilai bahwa ibu tunggal cenderung
mempunyai pekerjaan yang tidak tetap.

一歳になった愛美を保育所に預け、私は仕事に復帰しました […] 普段は六


時まで延長してもらい、仕事を早く切り上げて迎えにいていたのです。
(Minato, 2008, hlm. 23)

Terjemahan:

Ketika Manami berumur 1 tahun, aku menitipkannya ke tempat penitipan


anak dan kembali mengajar […] Biasanya (mereka) bersedia menjaga Manami
sampai pukul 6 sore dan saya menyelesaikan pekerjaan (di sekolah) dengan
cepat.

Dari ungkapan di atas, Yuko dihadapkan dengan pekerjaan dengan


waktu bekerja yang panjang, yaitu mengajar dan kemudian rapat dengan
rekan di sekolah tempat ia mengajar sampai pukul enam sore. Hal ini
membuat dirinya sering meninggalkan Manami, sehingga peristiwa
pembunuhan itu dapat terjadi. Konsep ibu ideal mengharuskan ibu untuk
mengabdikan dirinya untuk anak. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan ryousai
kenbo maka ibu seharusnya berperan sebagai pendidik bagi anaknya dengan
seluruh waktunya demi kesuksesan anak di masa depan.

3.2 Tokoh Ibu Naoki sebagai Ibu yang Mencoba Membunuh Anaknya
Tokoh ibu selanjutnya merupakan ibu dari pelaku pembunuhan putri
Yuko yang bernama Naoki Shitamura. Naoki diceritakan sebagai salah satu
pembunuh yang telah membunuh anak dari Yuko, yaitu Manami. Yuko
membalas dendam dengan membuat Naoki meminum susu yang telah ia
suntik dengan darah Masayoshi, yang mana darah itu telah terkontaminasi
virus HIV. Dengan kondisi anaknya yang depresi akibat mengetahui ia telah
meminum susu yang telah terkontaminasi HIV, ibu Naoki dengan sabar
merawat Naoki selayaknya ibu ideal yang mengabdikan dirinya untuk
anaknya.

39
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Ibu Naoki sendiri merupakan tokoh ibu yang digambarkan sebagai


sosok ibu ideal. Ibu Naoki mengikuti jejak ibunya yang juga merupakan model
istri yang baik dan ibu yang cerdas bagi dirinya dan kakak laki-lakinya. Ibu
Naoki adalah tipikal ibu rumah tangga yang masih teropresi oleh sistem
patriarki masyarakat Jepang. Menurutnya menjadi ibu yang bekerja di ranah
domestik merupakan kewajibannya sebagai seorang perempuan. Pembagian
peran gender dalam keluarga, bahwa ibu mengurus rumah dan ayah bekerja
di luar, sangat jelas ia tunjukkan. Ibu Naoki menunjukkan bahwa ia tidak
mempunyai harapan lain, selain menjadikan dirinya sebagai ibu rumah
tangga yang mengurus anak, seperti pada ungkapan di bawah ini:

また、父が何を煩いもなく仕事に没頭できるよう、家庭内の揉め事は必
ず自分で解決するように努めていました […] 母の教えの通りにしていれば
、間違いはないのです。(Minato, 2008, hlm. 140)

Terjemahan:

Selain itu, (Ibu saya) selalu berusaha untuk dapat menghadapi masalah di
dalam rumah, sehingga ayah saya dapat berkonsentrasi dalam pekerjaannya
[…] Saya (merasa) tidak akan ada masalah jika saya mengikuti apa yang ibu
ajarkan.

Ibu Naoki yang hanya bekerja di ranah domestik menyebabkan relasi


ibu dan anak antara Naoki dan ibu Naoki menjadi semakin kuat. Ibu Naoki
sangat menyayangi Naoki, sehingga ia bersedia melakukan apapun demi
melindungi Naoki, walaupun sebenarnya ia tahu bahwa Naoki telah berbuat
salah. Bentuk pengorbanan inilah yang berusaha ditunjukkan ibu Naoki,
selama itu menurutnya masih berada di jalur untuk menjadi ibu yang baik
bagi anaknya.

主人は「警察に報告した方がいい」と言いました。とんでもありません
。直樹が共犯の罪に問われたらどうするつもりなのだ、と訊ねましても
、直樹のためにもそうした方がいいと言うのです。男親はこれだから困

40
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

ります。私は主人に事件のことを報告したことを後悔します。やはり、
直樹は私が守ってやらなければなりません。(Minato, 2008, hlm. 130)

Terjemahan:

Suamiku berkata, “Lebih baik laporkan ke polisi.” Benar-benar (jawaban) tak


terduga. Aku berkata mungkin saja Naoki dapat ditangkap sebagai kaki tangan
pelaku kejahatan, tetapi ia pikir hal tersebut merupakan hal yang tepat –
bahkan untuk Naoki. Inilah sebabnya aku merasa repot karena orang tua laki-
laki seperti ini. Aku menyesal telah memberitahu kasus ini kepadanya.
Bagaimanapun juga aku harus melindungi Naoki.

Dari ungkapan di atas, ibu Naoki menunjukkan adanya kewajiban dari


peran seorang ibu untuk melindungi anaknya apapun yang terjadi. Di sini ibu
Naoki mengalami krisis kepercayaan terhadap suaminya sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pengabdiannya kepada anak lebih besar
daripada pengabdian yang ia tunjukkan kepada suaminya. Ibu Naoki
menunjukkan bahwa ia dapat berdiri di atas kakinya sendiri dalam
mengambil keputusan. Menjadi ibu yang mengabdi kepada anak adalah hal
penting dan menjadi kewajiban bagi ibu Naoki.
Ibu Naoki telah menunjukkan segala hal untuk dapat membuktikan
bahwa dirinya adalah sosok ibu yang baik dan ibu ideal bagi keluarganya.
Mulai dari melindungi Naoki, tetap mengurus Naoki yang sedang depresi
mengetahui bahwa susu yang ia minum telah disuntikkan darah
terkontaminasi dengan darah HIV, maupun membereskan kekacauan yang
disebabkan oleh Naoki, yang tak jarang justru melukai harga dirinya. Seperti
saat Naoki membuat keonaran di minimarket dengan mengoleskan darahnya
ke rak-rak makanan, ibu Naoki rela bertanggung jawab dengan membeli
semua barang yang telah disentuh Naoki dan bersedia membersihkan darah
Naoki yang berceceran. Namun, beban yang ibu Naoki pikul semakin berat
dan hal tersebut akhirnya memicu dirinya untuk bertindak di luar akal sehat,
yaitu membunuh Naoki sendiri.

もう、私の愛した直樹はいないのです。人間としての心を失い、殺人者
として開き直る息子に、母親の私がしてやれることは一つしかありませ
ん […] 私は直樹を連れて、みんなより一足先に、好きだった父と母のとこ
ろへ行きますね。(Minato, 2008, hlm. 165)

41
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Terjemahan:

Ia bukan lagi Naoki yang kucintai. Ia telah kehilangan akal sehatnya sebagai
manusia dan telah menjadi pembunuh. Hanya ada satu hal yang bisa
kulakukan sebagai ibu […] Aku akan pergi ketempat ayah dan ibu, dan
membawa Naoki bersamaku.

Dari ungkapan di atas, Ibu Naoki hendak membunuh Naoki karena ia


tidak mampu lagi menanggung beban yaitu mengurus Naoki. Sifat Naoki
telah berubah dari yang semula ia kenal sebagai anak yang manis dan
penurut menjadi anak yang suka berbuat onar dan seperti orang gila.
Perubahan sifat Naoki adalah bentuk tantangan bagi ibu Naoki sendiri
sebagai ibu yang selama ini mengabdikan diri kepada anak. Ibu Naoki diuji
apakah ia tetap akan menjadi ibu yang baik bagi Naoki, atau justru akan
menyerah ke keadaan.
Namun, ibu Naoki akhirnya memilih untuk membunuh Naoki. Di dalam
cerita justru Naoki berbalik membunuh ibunya, tetapi bagaimanapun juga
gagasan untuk membunuh itu pertama kali muncul oleh ibu Naoki. Tindakan
membunuh dapat dimaknai sebagai kritik dari nilai-nilai ibu ideal di
masyarakat. Niat membunuh yang muncul secara sadar mengindikasikan
bahwa ibu Naoki sebenarnya sudah tidak peduli dengan nilai-nilai ibu ideal.
Masyarakat menuntut ibu untuk selalu bersikap lembut dan penyayang,
tetapi di satu sisi ibu juga berhak menentukan untuk menjadi ibu yang seperti
apa. Dalam kasus ini, ibu Naoki awalnya adalah ibu yang baik bagi Naoki
karena ia ingin masyarakat dapat melihatnya sebagai ibu yang sesuai dengan
standar ibu ideal. Tetapi akibat beban nilai yang berat, Ibu Naoki sudah tidak
mampu menahan beban tersebut dan berakhir dengan melepaskan semua
atribut ibu idealnya.

2.3 Tokoh Jun sebagai Ibu yang Meninggalkan Keluarga


Tokoh terakhir yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Jun Yasaka,
ibu dari Shuuya Watanabe, murid yang membunuh Manami. Tokoh Jun
digambarkan sebagai seorang perempuan yang meninggalkan cita-citanya
menjadi seorang peneliti di bidang teknik elektro demi mengabdikan diri
pada keluarga. Suaminya memiliki toko elektronik dan sehari-sehari ia
membantu suaminya melayani pembeli, serta mengurus anak mereka satu-

42
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

satunya, Shuuya. Shuuya menggambarkan ibunya yang sangat cerdas dan


kuliah sampai jenjang doktor meninggalkan keahliannya untuk menjadi ibu
rumah tangga.

それをきっかけに二人は結婚し、自分が生まれた。いや、順番は逆だっ
たかもしれない。課題を残したまま、博士課程を修了した母親は、磨き
続けてきた才能を生かすことなく、この田舎町にやってきたのだ。
(Minato, 2008, hlm. 236)

Terjemahan:

Karena hal itu kemudian mereka menikah, dan lahirlah aku. Atau mungkin hal
tersebut (justru) menjadi kebalikan. Ibuku yang telah menyelesaikan studi
doktoralnya kemudian meninggalkan penelitiannya begitu saja, melupakan
talentanya, dan datang ke kota kecil ini.

Dari ungkapan di atas, Jun mempunyai cita-cita yaitu menjadi peneliti.


Feminisme menganjurkan perempuan untuk dapat mengembangkan potensi
diri seluas-luasnya agar ia mampu mandiri dan dapat berdiri sejajar dengan
laki-laki di masyarakat (Djajanegara, 2000, hlm. 56). Hal itu tidak terjadi pada
diri Jun. Setelah ia menyelesaikan studi doktoralnya ia justru tidak
meneruskan harapannya menjadi seorang peneliti.
Awal mula ia menikah dengan suaminya adalah akibat dari pertemuan
mereka saat keduanya menjadi pasien di rumah sakit. Diceritakan tidak lama
setelah itu, mereka menikah dan mempunyai anak Shuuya. Di sini
dapat diambil kesimpulan bahwa Jun secara tidak langsung
menunjukkan kerelaannya untuk menjadi seorang istri, dan bersedia
mengikuti nilai-nilai standar ibu ideal di masyarakat dengan meninggalkan
segala urusannya di bidang akademik.

「修ちゃんは、とっても頭のいい子。ママが果たせなかった夢を託せる
のは、修ちゃんだけよ」[…] 母親は父親に内緒で論文を書き上げ、それを
アメリカの学会に送った。(Minato, 2008, hlm. 236)

43
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Terjemahan:

“Kamu adalah anak yang pintar, Shuuya. Hanya Shuuya yang bisa ibu percayai
untuk menggapai mimpi yang tidak pernah akan bisa ibu capai.” […] Ibu
menulis makalah penelitian tanpa sepengetahuan ayahku dan
mengirimkannya ke konferensi di Amerika.

Ungkapan di atas bukan hanya menunjukkan bagaimana Jun adalah ibu


yang bertanggung jawab, tetapi lebih dari itu, ia teropresi dengan sistem
patriarki. Jun memilih untuk tunduk kepada suaminya, karena konsep ibu
ideal yang mengharuskan ibu bekerja di dalam rumah dan mengurus anak,
sehingga mimpinya untuk meneruskan karir sebagai peneliti harus terhenti.
Tindakan diam-diam yang dilakukan Jun menunjukkan tidak adanya
kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri. Padahal dalam feminisme,
perempuan dituntut untuk mandiri dan bebas menyuarakan pendapatnya.
Hal tersebut karena Jun hidup di masyarakat dengan sistem patriarki yang
kuat. Suaminya menjadi pihak yang dominan dalam pengambilan keputusan.
Setelah itu, Jun memutuskan untuk mengikuti nilai-nilai standar ibu
ideal. Jun mengabdikan dirinya untuk mengasuh Shuuya dan berbakti kepada
suaminya dengan membantu berjualan di toko. Bahkan Jun menolak untuk
kembali menjadi peneliti di universitas tempat sebelumnya ia menimba ilmu,
meskipun profesornya sendiri yang mengajak Jun untuk kembali ke
universitas. Universitas dan penelitian merepresentasikan harapan dan cita-
cita Jun. Setelah menikah, prioritas Jun berubah menjadi hanya suami dan
anaknya, seperti yang tergambar pada ungkapan di bawah ini:

しばらくすること、母親がいた研究室の教授だという男が、彼女に大学
に戻るよう説得しにきた […] しかし、母親は申し出を断った。独身であれ
ば、すぐにでも戻りたいが、今私は、子供を置き去りにして出て行くこ
とはできない。そう言って。(Minato, 2008, hlm. 236)

Terjemahan:

Tidak lama setelah itu, seorang profesor dari laboratorium penelitiannya yang
lama datang dan mengajaknya kembali ke universitas […] Tetapi, ibuku

44
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

menolaknya. Ia berkata bahwa ia akan kembali jika ia belum menikah, tetapi


sekarang ia adalah seorang ibu yang tidak bisa meninggalkan anaknya (demi
penelitiannya).

Selama ia menjadi ibu, Jun banyak mendidik Shuuya dengan ilmu-ilmu


tekniknya. Ia banyak memberitahu Shuuya yang masih kecil teori-teori dari
ilmuwan-ilmuwan sains. Hal yang tidak lazim diberikan kepada anak kecil
yang bahkan belum lancar membaca. Dari sini kita dapat menyimpulkan
bahwa Jun memendam keinginan untuk dapat kembali ke karirnya sebagai
peneliti, dan ia berusaha menumpahkan perasaan tersebut ke Shuuya.
Berangkat dari hal ini, kemudian Jun mulai mempertanyakan apakah benar
ia ingin menjadi seorang ibu? Menjadi ibu bukanlah apa yang ia inginkan,
walaupun ia sudah berusaha sekeras apapun, tekadnya untuk kembali
menjadi peneliti lebih kuat. Shuuya, anaknya sendiri, adalah simbol dari
beban yang ia pikul selama ini dalam usahanya menjadi ibu ideal, seperti yang
tergambar dalam ungkapan di bawah ini:

「あんたさえいなければ」そう言って。彼女は毎日のように手を上げる
ようになった。(Minato, 2008, hlm. 237)

Terjemahan:

“Jika saja kamu tidak ada,” hal yang akan ia (ibu) katakan ketika ia akan
memukulku.

Dari ungkapan-ungkapan di atas, dapat kita lihat bahwa Jun terbebani


oleh nilai-nilai standar ibu ideal yang ada di masyarakat. Penolakan yang ia
ucapkan sebelumnya tidak berhasil membuatnya bertahan dan akhirnya
mendobrak semua pertahanan yang telah ia bangun sebelumnya sebagai ibu
ideal bagi anaknya, dan memutuskan untuk pergi.

別れの前日、二人で最後の外出をすることになった。(Minato, 2008,
hlm. 239)

45
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Terjemahan:

Sehari sebelum berpisah, kami berdua memutuskan untuk pergi bersama


untuk terakhir kalinya.

Kepergian ibu Shuuya menunjukkan bahwa ia telah gagal menjadi ibu


yang baik bagi Shuuya dan lebih memilih untuk menyerah. Jun berpikir bahwa
karirnya lebih penting sehingga ia rela meninggalkan identitasnya sebagai
ibu. Anak dan suami bukan lagi prioritasnya dan dengan begitu Jun telah
menentang apa yang masyarakat sebut sebagai konsep ibu ideal.

2.4 Tidak Menjadi Ibu Ideal: Persamaan antara Tokoh Yuko, Ibu Naoki,
Jun
Tokoh-tokoh ibu di atas memiliki dua persamaan yaitu pertama mereka
ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah ibu yang baik dan seorang
perempuan yang sesuai dengan prinsip ryousai kenbo, dan mereka sama-
sama memiliki kegagalan dalam menghadirkan konsep ibu ideal dalam diri
mereka. Pada tokoh pertama, yaitu Yuko, menjadi seorang ibu tunggal
membuat Yuko tidak masuk ke dalam syarat menjadi ryousai kenbo, namun
di awal ia berusaha menunjukkan bahwa ia dapat menjadi ibu yang baik
untuk anaknya dan menunjukkan keinginan untuk mengabdi kepada suami.
Tokoh kedua, yaitu ibu Naoki, digambarkan sebagai sosok ibu ideal dan
merupakan model istri yang baik. Tokoh ketiga, yaitu, Jun, di awal ingin
menunjukkan bahwa ia adalah istri dan ibu yang baik bagi suami dan anaknya
dengan bersedia untuk meninggalkan karir dan mengabdikan diri untuk
keluarga.
Namun, ketiga tokoh ibu ini kemudian tidak mampu mempertahankan
identitas ibu ideal yang telah mereka bangun sejak awal. Terbukti dari
bagaimana tokoh-tokoh ibu ini kemudian bertindak tidak sesuai dengan
norma ibu ideal yang diharapkan di dalam masyarakat Jepang. Yuko dengan
status ibu tunggal dan berakhir dengan anaknya yang dibunuh karena ia
tinggal bekerja, ibu Naoki yang tidak sanggup menghadapi perilaku Naoki dan
berencana untuk membunuh Naoki, namun justru berbalik menjadi dirinya
sendiri yang dibunuh oleh Naoki, dan Jun yang akhirnya memilih

46
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

meninggalkan anaknya untuk mengejar kembali karir yang ia tinggalkan demi


menikah dan melahirkan Shuuya.
Sejak masa sebelum perang sampai pasca perang, ryousai kenbo
sebagai standar ibu ideal di Jepang direproduksi, pertama-tama dengan
sebutan ryousai kenbo, lalu sengyo shufu dan kyoiku mama. Setelah Jepang
memasuki masa lost decade, konstruksi ibu ideal ini perlahan-lahan mulai
goncang. Hal ini disebabkan karena kondisi ekonomi Jepang yang mulai
menurun, yang berdampak pada aspek sosial budaya masyarakat Jepang, dan
membuat masyarakat Jepang mulai mempertanyakan nilai-nilai yang selama
ini terinternalisasi, termasuk di dalamnya nilai-nilai ibu ideal. Konstruksi laki-
laki dan perempuan yang bertentangan dengan laki-laki dan perempuan ideal
berdasarkan masyarakat patriarki Jepang mulai bermunculan di masa lost
decade ini. Novel Kokuhaku yang terbit pada tahun 2008, dapat dibaca
sebagai sebuah refleksi untuk memikirkan ulang dan mempertanyakan
internalisasi nilai-nilai ibu ideal dalam masyarakat Jepang.
Penggambaran tokoh-tokoh ibu yang jauh dari kesan ideal tidak
dipaparkan secara langsung oleh Kanae Minato, melainkan digambarkan
melalui berbagai peristiwa yang dialami oleh anak dari tokoh ibu dalam novel
ini, seperti menjadi seorang pembunuh dan anak yang menjadi korban
pembunuhan tersebut. Namun, bukan berarti dari awal cerita Minato
menggambarkan bahwa tokoh-tokoh ibu tersebut bukanlah sosok ibu ideal.
Di awal cerita justru tokoh-tokoh ibu tersebut digambarkan sebagai sosok ibu
yang ingin menjadi ibu ideal. Hal ini digambarkan dari berbagai usaha yang
mereka lakukan seperti keinginan untuk menikah agar anak mendapatkan
sosok ayah, berkorban untuk anak, dan meninggalkan karir demi keluarga.
Tetapi, kegagalan mereka untuk memenuhi standar ibu ideal dapat dibaca
sebagai bentuk kritik yang mempertanyakan seberapa besar signifikansi
norma ibu ideal itu sendiri di dalam tatanan masyarakat Jepang dilihat dari
sudut pandang perempuan yang menjalaninya.

3. Kesimpulan
Dalam penelitian ini, telah dilakukan penelusuran gambaran tokoh-
tokoh ibu di dalam novel Kokuhaku karya Minato Kanae. Dari penelusuran
tersebut, dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh ibu dalam novel Kokuhaku
ini digambarkan tidak sesuai dengan prinsip ibu ideal dalam masyarakat

47
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Jepang. Masyarakat secara umum menggambarkan ibu ideal sebagai sosok


yang penyayang, lemah lembut, rela berkorban untuk anak, feminin, dan
bukan seorang orang tua tunggal.
Dari penelitian ini, dapat ditarik dua aksi yang menonjol, yaitu, yang
pertama adalah keinginan tokoh-tokoh ibu yang ingin menjadi ibu ideal, dan
yang kedua adalah kegagalan tokoh-tokoh ibu dalam menjadi ibu ideal.
Kegagalan tersebut yang kemudian membuat tokoh-tokoh ibu tersebut
dipandang bukan merupakan ibu ideal. Benang merah dari kedua aksi ini
adalah kritik terhadap konsep ibu ideal itu sendiri. Kritik yang ingin
disampaikan adalah bagaimana konsep ibu ideal tersebut justru menjadi
beban bagi tokoh-tokoh ibu sehingga walaupun tokoh-tokoh ibu tersebut
telah berjuang demi menjadi ibu yang baik, namun adanya nilai-nilai ibu ideal
dari masyarakat yang harus dipenuhi oleh tokoh-tokoh ibu, akhirnya
membuat tokoh-tokoh ibu tersebut menyerah dan berakhir dengan tidak
mampu menjadi sosok ibu ideal.
Dalam penelitian ini, penulis menyadari masih ada beberapa
kekurangan. Kekurangan tersebut di antaranya adalah belum dapat
memperlihatkan bagaimana sistem patriarki dan segala kompleksitasnya
bekerja. Hal ini disebabkan karena sedikit sekali penceritaan dari sisi tokoh
laki-laki (suami) itu sendiri. Meskipun terdapat narasi mengenai tindakan dari
tokoh laki-laki (suami), namun tetap saja yang berbicara adalah tokoh
perempuan (ibu atau istri), sehingga penulis kesulitan dalam melihat relasi
antara tokoh perempuan dan tokoh laki-laki untuk dapat menjelaskan cara
kerja sistem patriarki tersebut. Kompleksitas sistem patriarki dapat dijadikan
sebagai tema lanjutan untuk penelitian novel ini. Selain itu, fokus penelitian
dapat juga dikembangkan dengan melihat bagaimana keadaan perempuan-
perempuan Jepang di kehidupan nyata dengan adanya nilai-nilai standar ibu
ideal, terutama pada masa saat novel Kokuhaku ini terbit, demi mendapatkan
alasan yang lebih jelas mengapa tokoh-tokoh ibu di dalam Kokuhaku ini
memiliki keinginan untuk dapat memenuhi nilai-nilai standar ibu ideal.

Catatan
1. Akhir zaman Meiji disini mengacu pada periode setelah perang
Jepang-Cina tahun 1895.

48
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

2. Sekolah khusus perempuan (jogakkoo) yang didirikan oleh


pemerintah Jepang dengan lama studi kurang lebih 4-5 tahun dan
mulai masuk di usia kurang lebih 12-13 tahun (tingkatan SMP).
3. Kata perang dalam istilah pra-perang mengacu pada masa perang
dunia II (1939-1945).
4. Sistem ie adalah sistem keluarga di Jepang yang bersifat patrilineal
(Hall & Beardsley, 1965, hlm. 78)
5. Lost Decade atau ushinawareta juunen (1990-2000) adalah masa di
mana Jepang mengalami perlambatan ekonomi, restrukturisasi
perusahaan, dan meningkatnya tingkat pengangguran, ditambah lagi
dengan tumbuhnya rasa kecemasan sosial budaya secara kolektif.
6. Aktifitas ibu yang menitikberatkan pada mengawasi anak (terutama
bayi) yang masih bergantung pada ibu, mengasuh, dan merawat
kebutuhan fisik dan emosi, dan membantu anak bersosialisasi.
7. Minato Kanae adalah penulis novel bergenre crime dan thriller asal
Jepang. Sampai saat ini ia telah menelurkan 10 karya salah satunya
adalah novel Kokuhaku. Minato Kanae dijuluki sebagai “the queen of
iyamisu”. Iyamisu atau eww-mystery adalah subgenre dari horror fiksi
yang lebih mengedepankan sisi gelap dari diri manusia.
(https://www.goodreads.com/author/show/6426380.Kanae_Minato
, diakses tanggal 23 April 2019)
8. Era pra-Meiji (periode antara 1600-1868) memiliki karakteristik
menjembatani Jepang dari ranah tradisional menuju ke era modern.
(Walker, 2015, hlm. 124)
9. Yamamba merupakan makhluk mitologi Jepang yang diceritakan
dengan sosok seperti nenek tua dengan tampilan mengerikan, dan
sering mengelabui para pendaki gunung. Sering dikaitkan dengan
cerita rakyat Ubasute yama atau kisah tentang membuang
perempuan tua ke gunung. (http://yokai.com/yamauba/, diakses
pada tanggal 28 Mei 2019)
10. Keterangan tersebut merupakan hasil wawancara The Washington
Post dengan Yukiko Tokumaru sebagai pihak yang menjalankan Child
Poverty Action Osaka, yaitu sebuah organisasi non-pemerintah yang
bertujuan untuk membantu keluarga yang membutuhkan.

49
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

(https://www.washingtonpost.com/world/asia_pacific/in-japan-
single-mothers-struggle-with-poverty-and-with-
shame/2017/05/26/01a9c9e0-2a92-11e7-9081-
f5405f56d3e4_story.html, diakses tanggal 13 Mei 2019)

Daftar Pustaka
Chira, S. (1998). A Mother’s Place: Taking the Debate about Working Mothers
Beyond Guilt and Blame. New York: HarperCollins.
Djajanegara, S. (2000). Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Enomoto, Y. (1998). The Reality of Pregnancy and Motherhood for Women:
Tsushima Yuko's "Choji" and Margaret Drabble's "The
Millstone". Comparative Literature Studies, 35(2), 116-124.
Fujimura-Fanselow, K. (1991). The Japanese Ideology of “Good Wives and
Wise Mothers”: Trends in Contemporary Research. Gender & History,
3(3), 345–349.
Ghosh, B. (2016). The Institution of Motherhood: A Critical Understanding.
Gross, E. (1998). Motherhood in Feminist Theory. Affilia, 13(3), 269-272.
Hall, J. W., & Beardsley, R. K. (1965). Twelve Doors to Japan. McGraw-Hill.
Kono, K. (2013). From the "Nikutai" to the "Kokutai": Nationalizing the
Maternal Body in Ushijima Haruko's "Woman". U.S.-Japan Women's
Journal, (45), 69-88.
LeGare, J. E. (2016). Great Mirror of Motherly Love: Maternal Fantasy,
Mystic Mothers, and Reflected Selves in Modern and Contemporary
Japanese Fiction. Arts & Sciences Electronic Theses and Dissertations.
823.
Lukminaite, S. (2015). Developments in female education of Meiji Japan as
seen from Jogaku Zasshi's editorials by Iwamoto Yoshiharu. Annals of
“Dimitrie Cantemir” Christian University Linguistics, Literature and
Methodology of Teaching, 14(1), 9–21.
McKinlay, M. (2002). Unstable Mothers: Redefining Motherhood in
Contemporary Japan. Intersections: Gender, History and Culture in the
Asian Context, Issue 7.
Minato, K. (2008). Kokuhaku. Tokyo: Futabasha.

50
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Ratna, N. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.
Seaman, A. (2010). Two for One: Pregnancy and Identity in Hasegawa
Junko's "The Unfertilized Egg". Japanese Language and
Literature, 44(1), 1-20.
Koyama, S. (2012). Ryosai kenbo : The educational ideal of 'good wife, wise
mother' in modern japan.
Taniguchi, K. (2011). Maternal Fantasies: Psychoanalysis and Contemporary
Retellings of the Yamamba Legends. University of Emory Electronic
Theses and Dissertation.
Walker, B. (2015). Early Modern Japan, 1600–1800. In A Concise History of
Japan (Cambridge Concise Histories, pp. 124-142). Cambridge:
Cambridge University Press.
Watanabe, K. (1999). Reading "Little Women", Reading Motherhood in
Japan. Feminist Studies, 25(3), 699-709.

51
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Propaganda Perang dalam Karya Sastrawan Jepang


Pada Majalah Djawa Baroe

Fithyani Anwar

Abstract
This paper examines five works by Japanese writers and published in Djawa
Baroe from 1st January to 15th March 1944. It consists of four short stories and one
play: these are Kichizo ke Medan Perang by Hino Ashihei, Di Tempat Asuhan
Garuda by Niwa Fumio, Batu by Kawai Tetsukichi, Prajurit Nogiku by Kikuchi Kan,
and the play, Perkawinan 25 Tahun, by Sasaki Takamaru. This paper discusses the
propaganda themes related to the Greater East Asia War (1942-1945, often called
the Pacific War). By using qualitative methods and literature studies, data related to
the propaganda theme of each work is collected and then analyzed to find the
relation of each work to the conditions of the Indonesian society at that time. The
main themes found in the story include nationalism, voluntary and sincerity
attitude, and dedication for the Japanese military government while instilling hatred
for the Dutch East Indies government. With very different settings and storylines,
each work explicitly or implicitly supporting the Greater East War so considered very
relevantly to be published in Djawa Baroe.

Keywords: War propaganda, Japanese writer, Djawa Baroe magazine, Japanese


occupation

1. Pendahuluan
Kesusastraan Perang di Jepang mulai muncul sejak tahun 1931, tetapi
mengalami perkembangan pasca dimulainya Perang Jepang-Tiongkok Kedua
(日中戦争 Nicchu Sensō) pada tahun 1937 hingga berakhirnya Perang Asia
Timur Raya (大東亜戦争 Daitōa Sensō) pada tahun 1945 (Keene, 1978).
Genre kesusastraan ini dipelopori oleh para penulis Jepang yang turut ke
medan perang, baik sebagai jurnalis perang ataupun sebagai serdadu militer.
Penulis yang terkenal di antaranya adalah Hino Ashihei, Hayashi Fumiko, Abe
Tomoji dan Takeda Rintaro. Hasil reportasenya mereka tuangkan ke dalam
bentuk novel ataupun cerpen dan selanjutnya dipublikasikan di Jepang.

52
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Selain karya-karya penulis tersebut, di dalam negeri Jepang sendiri, tulisan-


tulisan yang membangkitkan patriotisme dan nasionalisme masyarakat
Jepang berkembang dengan pesat.
Perang Asia Timur Raya yang lebih umum disebut sebagai Perang
Pasifik (太平洋戦争 taiheiyō sensō) dimulai dengan serangan kepada pihak
Inggris ke Semenanjung Malaya dan serangan kepada pihak Amerika Serikat
ke Pearl Harbour pada 8 Desember 1941. Singapura yang merupakan markas
besar jajahan Inggris, jatuh ke tangan pasukan militer Jepang pada 15
Februari 1942 (Kurasawa, 2016). Penyerangan kemudian diperluas ke
wilayah Hindia-Belanda atau Indonesia. Setelah berhasil menguasai Tarakan
pada tanggal 13 Januari 1942, pasukan Jepang mulai menduduki daerah-
daerah lain di Indonesia. Pendaratan di tiga titik di Pulau Jawa pada tanggal
1 Maret 1942 membuahkan kemenangan Jepang atas Indonesia. Pemerintah
militer Jepang resmi berkuasa sejak tanggal 8 Maret 1942. Pemerintah militer
Jepang yang disebut Gunseikanbu membentuk Sendenbu (Departemen
Propaganda) (Kartodirdjo, 1975).
Sepanjang masa kurang dari 3,5 tahun Pendudukan Jepang atas
Indonesia, beberapa media cetak yang terbit di antaranya surat kabar Asia
Raya dan majalah Djawa Baroe. Majalah Djawa Baroe yang terbit dua kali
dalam satu bulan sejak Januari 1943 hingga Agustus 1945, mencapai total
jumlah 63 edisi dengan artikel yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan
Bahasa Jepang. Penggunaan dua bahasa ini dimaksudkan agar dapat
dipahami oleh pembaca Indonesia dan pembaca Jepang (Kurasawa, 1991).
Selain dari segi bahasa, perbedaan mencolok antara Djawa Baroe dengan
surat kabar atau majalah lain di zaman itu adalah halaman-halamannya yang
didominasi oleh foto. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pendiriannya
yang dimuat di edisi perdana 1 Januari 1943, yaitu:

Madjallah “Djawa Baroe” akan memberikan teroetama sekali loekisan: jang


benar tentang Nippon, daerah kema’moeran bersama di Selatan, dengan
Djawa sebagai poesatnja, dan djoega dari bagian lain dari doenia, Gambar.
itoe adalah boekti jang senjata-njatanja, karena ia meloekiskan kebenaran
dan tidak dapat berdjoesta.

(“Tjita2 “Djawa Baroe”, January 1, 1943)

53
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Penerbitan majalah bergambar seperti Djawa Baroe mengikuti tren


penerbitan majalah bergambar yang dimulai di Jerman. Ada banyak majalah
bergambar yang diterbitkan oleh Jepang selama masa perang antara lain
Taiyō* dan Hōmu Raifu*. Perusahaan penerbitan Asahi Shinbun yang
bertugas di Jawa menerbitkan majalah Djawa Baroe dan Perusahaan
penerbitan Mainichi Shinbun yang bertugas di Filipina menerbitkan majalah
Shinseiki* (Inoue, 2009). Majalah Djawa Baroe tidak hanya dijual di Jawa,
tetapi juga di Sumatera. Oplah penjualan pada Januari 1943 mencapai 35.000
eksemplar (Himemoto, 2018).
Djawa Baroe memuat beragam artikel, baik politik berupa berita
perang Jepang di berbagai wilayah di Asia, maupun sosial budaya berupa
artikel mengenai kehidupan masyarakat di Jepang, ulasan film, pelajaran
Bahasa Jepang dan karya-karya sastra. Beberapa karya sastrawan Indonesia
yang dimuat antara lain cerpen Setinggi-tinggi Terbang Bangau karya Andjar
Asmara, Radio Masyarakat karya Rosihan Anwar, dan puisi Zaman Baru karya
Usmar Ismail. Rosidi (1969) menyebut masa Pendudukan Jepang sebagai
saat-saat yang mematangkan bahasa dan kesusastraan Indonesia.
Penggunaan Bahasa Indonesia yang tadinya dibatasi oleh pemerintah Hindia
Belanda, menjadi semakin intens di masa Pendudukan Jepang. Seniman dan
sastrawan Indonesia dikerahkan untuk membuat lagu-lagu, sajak maupun
sandiwara yang dapat membangkitkan semangat dan menambah
kepercayaan orang kepada keunggulan balatentara Dai Nippon. Usaha
pemerintah militer Jepang ini adalah bentuk propaganda melalui media seni
dan sastra.
Sastropoetro (dalam Wasono, 2007) menyimpulkan pengertian
propaganda sebagai suatu penyebaran pesan yang terencanakan secara
saksama untuk mengubah sikap, pandangan, pendapat dan tingkah laku dari
penerimanya/ komunikan sesuai dengan pola yang ditentukan komunikator.
Jika dikaitkan dalam konteks perang Asia Timur Raya, pemerintah militer
Jepang bertindak sebagai komunikator yang menyebarkan pesan
menyangkut kebijakan perangnya kepada masyarakat Indonesia yang
menjadi komunikan. Propaganda yang dilancarkan melalui berbagai media
berguna untuk menggiring opini masyarakat Indonesia ke arah yang sesuai
dengan keinginannya. Pendirian Sendenbu merupakan wujud keseriusan

54
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

pemerintah militer Jepang melihat propaganda sebagai elemen penting


dalam upaya mewujudkan kemenangannya.
Pada 1 April 1943, Sendenbu mendirikan Kantor Pusat Kebudayaan (
啓民文化指導所 Keimin Bunka Shidōsho). Kantor ini dikepalai oleh Kepala
Sendenbu dan terbagi atas 5 bagian yaitu kesusastraan, kesenian, lukisan dan
ukiran, musik, sandiwara dan film. Terkait dengan sastra dan seni, tujuan
pendiriannya adalah untuk memelihara kesenian klasik dan kesenian asli
Indonesia. Selain itu, Keimin Bunka Shidōsho berusaha menyebarkan
kesenian dan kebudayaan Nippon. (“Pusat Kebudayaan Melangkah”, April
15, 1943).
Terhitung setahun sejak terbitnya Djawa Baroe pada 1 Januari 1943,
karya sastra yang dimuat terbatas pada karya penulis Indonesia. Namun
begitu, pada edisi 1 Januari hingga 15 Maret 1944, Djawa Baroe memuat lima
karya penulis Jepang. Karya tersebut antara lain empat cerpen yang berjudul
Kichizo ke Medan Perang karya Hino Ashihei, Di Tempat Asuhan Garuda
karya Niwa Fumio, Batu karya Kawai Tetsukichi, Prajurit Nogiku karya Kikuchi
Kan, dan satu naskah drama dua babak berjudul Perkawinan 25 Tahun
(dimuat bersambung di dua edisi) karya Sasaki Takamaru. Kelima karya ini
berlatar waktu Jepang di masa perang. Cerpen Kichizo ke Medan Perang,
Batu dan Prajurit Nogiku berlatar Jepang di masa Perang Jepang-Tiongkok
Kedua, sementara cerpen Di Tempat Asuhan Garuda dan drama Perkawinan
25 Tahun berlatar Jepang berlatar Perang Asia Timur Raya. Setelah edisi 15
Maret 1944, Djawa Baroe kembali diisi oleh cerpen karya penulis Indonesia.
Mengenai penelitian sebelumnya sehubungan dengan karya penulis
Jepang di Indonesia pada zaman pendudukan Jepang, Anwar (2015) dalam
tulisannya membahas tentang resepsi drama Jepang karya Kikuchi Kan yang
berjudul Chichi Kaeru「父帰る」 Ayahku Pulang di Indonesia. Dari biografi
singkat Kikuchi Kan dalam majalah Djawa Baroe edisi 15 Februari 1944,
diketahui bahwa drama ini pernah dimainkan di Pusat Kebudayaan Jakarta
(Keimin Bunka Shidōsho). Usmar Ismail yang saat itu merupakan staf bagian
kesusastraan di Keimin Bunka Shidōsho, membuat naskah drama adaptasi
untuk drama ini yang diberi judul Ayahku Pulang. Pasca perang, di tahun 1951
Usmar Ismail memfilmkan drama adaptasi ini dengan judul Dosa Tak
Berampun. Selanjutnya, pada tahun 1987 Misbach Yusa Biran juga membuat

55
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

skenario film yang diberi judul Ayahku. Drama ini hingga saat ini masih
dimainkan dan diperlombakan di teater sekolah atau kampus di Indonesia.
Dewi (2015) menganalisis muatan propaganda dalam berbagai
bentuk karya sastra yang dimuat di majalah Djawa Baroe. Bentuk karya sastra
yang dimaksud adalah syair, cerpen, cerita bersambung, essai, drama, dll.
Kelima karya penulis Jepang yang disebutkan sebelumnya juga dibahas tetapi
dalam porsi yang sangat singkat. Dalam kesimpulannya, muatan propaganda
yang ditampilkan antara lain gambaran akan keburukan Barat, ajakan untuk
membantu Jepang mendukung perang, dan gambaran Jepang sebagai
harapan baru bagi Indonesia.
Caradea (2019) memfokuskan penelitiannya pada dua cerpen dalam
Djawa Baroe yaitu Kichizo ke Medan Perang dan Di Tempat Asuhan Garuda.
Kedua cerpen ini dianalisis menggunakan teori analisis struktural-semiotik.
Kedua cerpen diuraikan unsur-unsur pembentuknya lalu dimaknai tanda-
tandanya. Dalam kesimpulannya, pada cerpen Kichizo ke Medan Perang,
ditemukan propaganda politik dengan teknik menumbuhkan hubungan
kepentingan dari pelaku propaganda terhadap objek propagandanya dan
pada cerpen Di Tempat Asuhan Garuda ditemukan propaganda ideologi
dengan teknik penanaman sugesti yang tersembunyi.
Selain penelitian-penelitian yang telah disebutkan, banyak ditemukan
penelitian lain yang membahas mengenai propaganda di zaman Jepang,
tetapi objeknya adalah sandiwara, film, ataupun lagu. Misalnya, Maruyama
(2016) yang memfokuskan penelitian pada lagu-lagu yang dimuat di Djawa
Baroe untuk mengungkap karakteristik lagu-lagu yang populer di zaman
tersebut, dan Hutari (2009) yang membahas mengenai propaganda melalui
media sandiwara modern di zaman Jepang.
Jepang menerapkan sensor yang sangat ketat terhadap karya-karya
penulis Indonesia yang dapat diterbitkan di media cetak. Tulisan yang
dianggap bertentangan dengan tujuan pemerintahan militer Jepang dilarang
untuk dimuat. Bahkan penulis yang karangannya dilarang, dimasukkan ke
dalam daftar hitam orang-orang yang dicurigai. Jassin (1985)
menggambarkan bagaimana penulis Indonesia berusaha melepaskan diri dari
sensor dengan jalan simbolik, yaitu menyelipkan sindiran halus di dalam

56
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

karyanya dalam bentuk simbolik. Makin keras sensor Jepang, maka makin
hati-hati dan teliti pula para penulis dalam mencari makna di balik kata-kata.
Yang menjadi objek dalam tulisan ini adalah kelima karya penulis
Jepang yang telah disebutkan sebelumnya. Sehubungan dengan ketatnya
sensor yang dilakukan oleh Sendenbu terhadap penulis Indonesia di zaman
Pendudukan Jepang, pada tulisan ini dibahas mengenai bagaimana
keterkaitan antara tema dalam kelima karya penulis Jepang tersebut dengan
propaganda perang Asia Timur Raya yang sedang gencar dilakukan oleh
Sendenbu saat itu. Dengan menggunakan metode kualitatif dan studi
pustaka, data terkait tema propaganda pada tiap karya dikumpulkan lalu
dianalisis untuk menemukan relasi setiap karya dengan kondisi soal
masyarakat Indonesia di masa itu.

2. Pembahasan
2.1 Pengorbanan Demi Perang dalam Cerpen Kichizo ke Medan Perang
Cerpen dengan judul asli Kitjizo Kemedan Perang (「軍馬吉蔵の出
征」Gunba Kichizō no Shusse) karya Hino Ashihei dimuat di Djawa Baroe
pada edisi 1 Januari 1944. Hino Ashihei (火野葦平, dalam Djawa Baroe ditulis
Josihei Hino) adalah nama pena dari Tamai Katsunori (1907-1960). Dalam
biografi pengarang di Djawa Baroe disebutkan bahwa ketika masih sekolah,
dia pernah memenangkan penghargaan Akutagawashō*. Tidak lama setelah
pecah perang antara Jepang dan Tiongkok, Hino turut maju ke medan perang
sebagai serdadu. Karya yang ditulisnya di medan perang adalah novel
Gandum dan Serdadu yang membuatnya menjadi penulis terkemuka di
kalangan kesusastraan Perang (Djawa Baroe, January 1, 1944).
Cerpen Kichizo ke Medan Perang adalah potongan cerita dalam novel
Tanah dan Serdadu. Novel ini merupakan salah satu dari novel trilogi serdadu
(兵隊三部作 heitai sanbusaku) karya Hino, yaitu Mugi to Heitai『麦と兵隊
』Gandum dan Serdadu (1938), Tsuchi to Heitai『土と兵隊』Tanah dan
Serdadu (1938), dan Hana to Heitai『花と兵隊』Bunga dan Serdadu (1939).
Trilogi ini menjadi best seller di Jepang di masa itu.
Di cerpen ini, tokoh Aku dalam suratnya untuk adiknya menceritakan
mengenai kesehariannya di atas kapal induk yang sedang menuju ke medan

57
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

perang. Kapal yang membawa Aku telah mengarungi lautan berhari-hari


sehingga membuat para serdadu mulai merasa sangat bosan. Yang paling
memprihatinkan bagi Aku adalah kondisi kuda-kuda yang ditempatkan
berdesak-desakan di dek paling bawah. Tersedia cukup makanan dan air,
tetapi kuda-kuda tersebut sulit menggerakkan badan dan tidak terkena sinar
matahari sama sekali sehingga tampak semakin kurus. Beberapa di antaranya
akhirnya mati.
Kuda-kuda tersebut mengingatkan Aku pada seorang kenalannya
bernama Uhei Yoshida. Uhei tidak memiliki anak sehingga dia menyayangi
kudanya yang diberi nama Kichizo dengan sepenuh hati. Tidak lama setelah
perang meletus, Kichizo ditetapkan ikut maju ke medan perang oleh
pemerintah militer. Uhei merasa sangat sedih karena harus melepaskan
Kichizo. Ketika Aku akan berangkat ke medan perang, Uhei berpesan agar
mencari Kichizo dan memberi kabar jika menemukannya. Aku telah berkali-
kali berusaha mencari Kichizo tetapi belum juga menemukannya.
Di sini dapat dilihat bagaimana semangat cinta tanah air melalui
pengorbanan demi perang yang dilakukan oleh Uhei. Uhei digambarkan
sangat sedih ketika harus melepaskan kuda kesayangannya. Meskipun
demikian, Uhei dengan ikhlas melepaskan Kichizo. Demi menunjukkan
kebanggaan atas terpilihnya Kichizo, Uhei membeli panji bertuliskan
“Selamat Kitjizo menjerboe kemedan perang” lalu dipasang di depan
rumahnya, menyuruh istrinya menjahitkan senninbari* untuk Kichizo dan
bahkan membuat pesta sederhana sebelum menyerahkan Kichizo kepada
pihak militer.
Pesan mengenai dukungan untuk perang yang terkandung dalam
cerpen Kichizo ke Medan Perang karya Hino Ashihei dapat juga dilihat pada
salah satu artikel yang dimuat di Djawa Baroe. Pada artikel ini disebutkan
bahwa penduduk Jawa telah berikhtiar untuk membantu balatentara Dai
Nippon dalam memenangkan perang dan mewujudkan kemakmuran
bersama Asia Raya (“Menoejoe ke Pembangoenan”, January 1, 1943). Pada
artikel yang sama terdapat pidato Ir. Sukarno di tanggal 8 Desember 1942
pada hari peringatan genap setahun peperangan Asia Timur Raya. Isi
pidatonya sebagai berikut,

58
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

“Agar soepaja kita mendjadi satoe bangsa yang koeat, jang sanggoep
membantoe Dai Nippon, jang sedang berdjoeang dengan tenaga sendiri
didalam perang Asia Raya sekarang, maka kita ra’yat Indonesia haroeslah
ditempah dan dilatih.”

Pada Djawa Baroe edisi 1 Maret 1944, dimuat beberapa foto kaum
perempuan yang sedang menanam padi di sawah dan memanen jagung di
ladang yang diberi judul “Oesaha Menambah Hasil Boemi”. Disebutkan di situ
tentang masyarakat Jawa baik tua dan muda, kaum perempuan dan anak-
anak giat berusaha meningkatkan hasil bumi untuk mengalahkan Amerika
dan Inggris (March 1, 1944). Melalui kisah tokoh Uhei dalam cerpen ini,
pembaca Djawa Baroe diminta untuk bekerja sama mendukung pemerintah
militer Jepang.
Cerpen Kichizo ke Medan Perang karya Hino Ashihei memang berlatar
Perang Tiongkok-Jepang Kedua tetapi tema yang dibawanya tetap memiliki
kaitan yang erat dengan Perang Asia Timur Raya. Indonesia di masa
Pendudukan Jepang berperan dalam mendukung militer Jepang dengan
menyuplai minyak dan sumber-sumber daya alam serta sumber daya
manusia. Karena itu, kehadiran tulisan dengan tema pengorbanan demi
kepentingan perang Jepang sangat sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia di masa itu.

2.2 Semangat Pantang Menyerah dalam Cerpen Di Tempat Asuhan


Garuda
Cerpen dengan judul asli Ditempat Asoehan Garoeda (「海鷲の揺籃
地にて」Umiwashi no Yoranchi nite) karya Niwa Fumio dimuat di Djawa
Baroe pada edisi 15 Januari 1944. Niwa Fumio (丹羽文雄, dalam Djawa
Baroe ditulis Hoemio Niwa, 1904-2005) adalah salah satu penulis Jepang yang
sangat aktif di masa perang. Dalam biografinya di Djawa Baroe, dituliskan
bahwa ia terkenal pandai melukiskan perasaan-perasaan serta gerak hati
(Djawa Baroe, January 15 1944).
Salah satu karyanya berjudul Ayu「鮎」Ikan Ayu terbit dalam buku
Kumpulan Karya Sastra yang Sukses: Memperingati 50 Tahun Penerbitan
Chuōkōron* yang terbit pada tahun 1935. Karya-karyanya yang lain di
にえ
majalah Chuōkōron antara lain Aru Onna no Nie 「 或 る 女 の 牲 」

59
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Pengorbanan Seorang Wanita pada Agustus 1940 dan Kaisen 「 海 戦 」


Pertempuran Laut pada bulan November 1942. Sama seperti Hino Ashihei,
Niwa Fumio juga turut ke medan perang. Sebagai bagian dari jurnalis
Angkatan Laut, Niwa Fumio banyak menuliskan pengalaman yang dialaminya
selama pertempuran Asia Timur Raya. Setelah menelusuri beberapa karya
Niwa berupa novel dan kumpulan cerpen, penulis belum menemukan
tulisannya yang memuat cerpen Di Tempat Asuhan Garuda yang berlatar
perang di atas Samudera Hindia ini.
Di dalam cerpen ini, tokoh Kapten Nakamura menceritakan
pengalamannya ketika memimpin pesawat terbang pengintai di atas
Samudera Hindia. Pertempuran sedang berlangsung dengan sengit ketika
kapal Kapten Nakamura tidak dapat mendengarkan isyarat morse. Karena
itulah saat mereka kembali ke tempat yang dijanjikan, kapal induk tidak
terlihat. Sementara itu, bahan bakar kapal tinggal sedikit sehingga Kapten
Nakamura meminta pilot untuk turun mendarat ke permukaan air agar ia
dapat memperbaiki baterai mesin morse.
Dengan susah payah Kapten Nakamura memperbaiki mesin morse
itu. Sebanyak tiga kali mereka naik ke udara namun terpaksa turun lagi
karena mesin itu kembali rusak. Mereka terombang-ambing di atas
Samudera Hindia. Pilot pesawat telah kehilangan kepercayaan diri sedangkan
Kapten Nakamura juga kehilangan harapan dan mulai berpikir tentang
kematian. Setelah memutuskan untuk kembali terbang dan berusaha
mencari posisi kapal induk, akhirnya mereka berhasil menemukannya.
Pada cerpen ini dapat dilihat bagaimana semangat juang pantang
menyerah yang ditunjukkan oleh Kapten Nakamura. Tiga kali mereka harus
bolak-balik turun ke permukaan air untuk memperbaiki mesin morse. Pada
kali keempat mesin morse rusak dan mereka turun untuk memperbaikinya,
sempat muncul rasa putus asa di hatinya. Namun demikian dia berpikir,

… Ketika itoe seakan ada jang mengosong didalam perasaan saja. Hanjalah
yang saja kesalkan mati jang sia-sia. Sebab… boekankah so’al mati tjoema
tambahan bagi hidoep. Djadi boekan so’al pokok? Kami berpikir dan
memang kami diadjarkan, mati haroes dipandang sebagai “oekoeran
penghabisan dalam penghabisan”, kalau djalan semoea telah boentoe”.
(Niwa, January 15, 1944.)

60
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

“… boekan berbakti kepada Negeri namanja dengan sekali mati, boekan…,


melainkan semangat kami ialah berbakti kepada Negeri dengan sembilan
kali mati…”

(Niwa, January 15, 1944)

Pada kutipan ini terlihat bagaimana prinsip pantang menyerah yang


dimiliki oleh Kapten Nakamura. Semangatnya untuk berbakti dengan sekuat
tenaga kepada negara, membuatnya mampu melawan rasa putus asa yang
muncul sehingga pada akhirnya mereka berhasil selamat.
Dalam perang Asia Timur Raya, Jepang menghadapi banyak musuh
antara lain Amerika Serikat, Britania Raya yang terdiri dari beberapa negara,
Belanda maupun Tiongkok. Dalam kondisi yang demikian, tema yang dibawa
oleh cerpen Di Bawah Asuhan Garuda sangat penting khususnya bagi
pembaca Indonesia di masa itu. Semangat pantang menyerah dan keinginan
untuk terus berusaha perlu digaungkan di tengah kondisi perang yang sangat
berat seperti itu.

2.3 Semangat Pengabdian kepada Negara dalam Cerpen Batu


Cerpen dengan judul asli Batoe (「石」Ishi) karya Kawai Tetsukichi
dimuat di Djawa Baroe pada edisi 1 Februari 1944. Kawai Tetsukichi (河合哲
吉, dalam Djawa Baroe ditulis Tetsoekitji Kawai) adalah nama pena dari
Shimizu Minoru (lahir tahun 1912, tahun kematin tidak diketahui). Cerpen
Batu merupakan bagian dari cerpen berjudul sama yang diterbitkan dalam
majalah Chuōkōron pada edisi bulan Mei 1943.
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang serdadu muda yang sedang
menjalani latihan di barak militer sebelum berangkat ke medan perang.
Kekalahan dalam pertandingan penentuan pada suatu hari membuatnya
sangat terpukul karena itu berarti dia harus pulang ke kampungnya. Dia
merasa sangat sedih saat mengingat harapan-harapan besar yang
digantungkan padanya. Terbayang di matanya wajah ibunya jika dia pulang
kampung sebelum menjadi Jōtōhei (kopral muda).
Saat dia terduduk di lapangan rumput, Hanchō (kepala unit) yang tadi
melawannya saat pertandingan datang menghampiri. Melihat kesedihan di

61
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

matanya, Hanchō memberinya nasehat dan sebuah batu berlumpur. Hanchō


berkata bahwa batu itu lebih baik dari bintang 3 dan menjadi bukti bahwa
dirinya juga adalah seorang Jōtōhei. Hanchō memintanya mendekatkan batu
itu di badannya dan meraba batu itu setiap merasa kesusahan. Dia menjadi
sangat terharu dan merasakan seolah-olah tenaga dan semangat mengalir ke
dalam dirinya dari tangan Hanchō.
Tidak berbeda dengan cerpen Di Bawah Asuhan Garuda karya Niwa
Fumio, cerpen Batu juga menekankan bahwa seorang serdadu militer tidak
boleh merasa putus asa.

“… Tegoehkanlah hatimoe! Sekarang koekatakan kepadamoe: Engkau


mendjadi Djotohei jang oetama! Malah peradjoerit jang lebih dari Djotohei!

(Kawai, 1 Februari, 1944: 30)

Setelah berkata demikian, Hanchō memberikan sebuah batu berlumpur dari


lapangan barak. Wajah serdadu muda itu terlihat kaget.

“Memang batoe. Batoe asal dari ksatrian ini. Batoe dari ksatrian jang soedah
menggembleng semangat berpoeloeh djoeta peradjoerit. Ksatrian jang tiap
detik tiada berhenti mendjaga pandji kehormatan balatentara.”

(Kawai, Februari1, 1944)

Tema utama dalam cerpen ini adalah semangat pengabdian kepada


negara. Tokoh serdadu muda itu sangat terpukul karena terpaksa pulang
tanpa menunjukkan pengabdiannya kepada negara di medan perang. Batu di
dalam cerpen ini menyiratkan makna bahwa siapapun tanpa kecuali dapat
berperan dalam perang. Sama seperti batu di lapangan barak yang tampak
tidak ada artinya, tetapi ternyata memegang peran yang penting dalam
mempersiapkan prajurit sebelum berangkat ke medan pertempuran. Tokoh
serdadu muda tersebut tidak perlu bersedih karena tidak dapat memberi
sumbangsih secara langsung di medan perang. Setelah pulang kembali ke
kampung halamannya, dia dapat berguna dalam mendukung Jepang meraih
kemenangan dengan berbagai cara sesuai kemampuannya karena
perjuangan sekecil apapun, akan bermakna dalam perang.

62
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Sepanjang masa Pendudukan Jepang di Indonesia, masyarakat


Indonesia dimobilisasi untuk membantu perang dengan berbagai cara.
Misalnya untuk memenuhi pasokan bahan bakar pesawat, masyarakat
diminta untuk menanam pohon Jarak di halaman masing-masing (“Tjara
Menanam Djarak”, December 1, 1943). Selain itu, pada Djawa Baroe dimuat
banyak foto-foto yang memperlihatkan rakyat Indonesia tanpa pandang usia
secara aktif bekerja membantu keperluan perang. Para laki-laki dilatih untuk
bekerja di industri seperti pembuatan kapal perang, ban, dan juga dalam
pembuatan jalan dan infrastruktur lainnya. Sementara itu, kaum perempuan
dilatih untuk bekerja di industri besar seperti pembuatan benang ataupun
industri rumah tangga.
Cerpen Batu karya Kawai Tetsukichi berlatar Perang Jepang-Tiongkok
Kedua, tetapi masih relevan jika dikaitkan dengan Perang Asia Timur Raya
khususnya Pendudukan Jepang di Indonesia. Peranan Indonesia di zaman itu
adalah sebagai penyuplai kebutuhan perang militer Jepang sehingga tema
pengabdian dan perjuangan yang dibawa oleh cerpen ini sesuai untuk dibaca
oleh pembaca Indonesia di zaman tersebut.

2.4 Sikap Sukarela dan Ikhlas dalam Cerpen Perajurit Nogiku


Cerpen dengan judul asli Peradjoerit Nogikoe ( 「 野 菊 の 兵 士 」
Nogiku no Heishi) karya Kikuchi Kan dimuat di Djawa Baroe edisi 15 Februari
1944. Kikuchi Kan (菊池寛, dalam Djawa Baroe ditulis Kan Kikoetji, 1888-
1948) memiliki nama asli Kikuchi Hiroshi. Kikuchi merupakan penulis naskah
drama, cerpen dan juga essai yang sangat produktif di Jepang. Sama seperti
Hino Ashihei, Kikuchi juga menjadi jurnalis di masa perang. Dia adalah pendiri
dua penghargaan yang sangat bergengsi di dunia kesusastraan Jepang yaitu
Akutagawashō dan Naokishō*.
Cerpen Perajurit Nogiku yang dimuat di Djawa Baroe merupakan
bagian dari cerpen berjudul sama yang pertama kali dimuat di majalah Fujin
Kurabu* edisi Maret 1939. Cerpen ini kemudian diterbitkan kembali dalam
buku Nogiku no Heishi: Shōsetsushu Shinpan『野菊の兵士: 小説集 新版』
Perajurit Nogiku: Kumpulan Cerpen Edisi Baru karya Kikuchi Kan pada tahun
1942.
Cerpen ini bercerita tentang dua orang gadis bernama Haruyo dan
adiknya Piako. Pada suatu hari datanglah surat dari Takagi Hidehiko,

63
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

heitaisan (serdadu) yang sedang bertugas di medan perang di Tiongkok yang


menerima kantung penghiburan (imon bukuro*) dari mereka berdua.
Dalam suratnya, Hidehiko menyatakan kegembiraannya menerima
imon bukuro dari Haruyo dan Piako. Setelah itu, Haruyo dan Hidehiko terus
saling berkirim surat hingga satu saat sebelum pertempuran besar di Hsu-
Chou, dalam suratnya Hidehiko meminta Haruyo untuk menikah dengannya
jika dia kembali dengan selamat. Beberapa waktu setelah perang berakhir,
datanglah surat dari Hidehiko dari dalam negeri Jepang yang mengabarkan
bahwa dia terluka parah dan bermaksud untuk mengakhiri hubungannya
dengan Haruyo. Haruyo merasa sangat sedih dan memutuskan untuk pergi
menemui Hidehiko.
Cerpen ini juga berlatar waktu Perang Jepang-Tiongkok Kedua.
Selama masa itu, masyarakat Jepang membuat imon bukuro yang diisi
bermacam-macam barang yang kemudian dikirim ke medan perang sebagai
hiburan bagi para serdadu. Hal ini menggambarkan dukungan segenap
masyarakat Jepang demi kemenangan di medan perang. Serupa dengan
pesan tersirat Hanchō di cerpen Batu, tokoh Haruyo dan Piako di cerpen
Prajurit Nogiku berusaha menunaikan kewajiban mereka demi perang sesuai
dengan kemampuannya dengan membuat imon bukuro.
Imon bukuro dari Haruyo dan Piako sebenarnya sangat sederhana
karena hanya berisikan barang-barang tidak penting seperti misalnya gula-
gula karamel, gambar bintang film, dan majalah wanita yang sudah lama. Hal
itu sangat berbeda dengan imon bukuro yang dikirimkan oleh keluarga
Hidehiko yang sangat berada. Meskipun demikian, dalam suratnya Hidehiko
menuliskan sebagai berikut,

“Saja seorang peradjoerit jang beroentoeng sekali menerima kantung


penghiboer, diboeat oleh doea orang saudara, dengan perasaan jang ichlas.

… Saja batja, bahwa saudara berdoea bekerdja goena keloearga. Oleh


karena itoe poelalah kantoeng-penghiboer sebagai tanda keichlasan
saudara-saudara itoe lebih-lebih terasa meresap disanoebari. (Kikuchi, 15
Februari 1944: 28)

64
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Keikhlasan yang ditunjukkan oleh Haruyo dan Piako melalui imon


bukuro itu mereka kirimkan ke serdadu yang tidak mereka kenal dapat
ditangkap oleh Hidehiko. Dia mengungkapkan rasa terima kasih dan
penghargaan yang mendalam kepada Haruyo dan Piako.
Pada salah satu artikel di surat kabar Asia Raya, dituliskan sebagai
berikut:
Sebagai samboetan pada “Hari Pembangoenan Asia Timoer Raja” dan
oentoek membantoe oesaha perang, maka pada tanggal 9 Desember akan
diselenggarakan pengoempoelan dan penjerahan barang logam toea, besi
toea dan sebagainja dengan soekarela. (“Penjerahan Barang Logam”,
December 2, 1944)

Kata “sukarela” sering sekali digunakan dalam setiap propaganda


Jepang di zaman ini. Seperti yang terlihat pada artikel di atas, masyarakat
diminta untuk memberi sumbangan berupa logam dan besi tua untuk
membantu perang secara sukarela. Para pekerja paksa yang disebut rōmusha
pun juga dianggap sebagai tenaga kerja “sukarela” sebagai bentuk
pengabdian kepada negara (Kurasawa, 2015).
Tema pengorbanan secara sukarela dan ikhlas melalui imon bukuro
yang ditunjukkan oleh tokoh Haruyo dan Piako pada cerpen Perajurit Nogiku
sejalan dengan isi propaganda pemerintah militer Jepang di masa itu. Seluruh
masyarakat diminta secara sukarela dan ikhlas berkorban demi kemenangan
Jepang pada perang Asia Timur Raya.

2.5 Kebencian terhadap Belanda dalam Drama Perkawinan 25 Tahun


Drama dua babak dengan judul asli Perkawinan 25 Tahoen(「銀婚式
」Ginkonshiki) karya Sasaki Takamaru ini dimuat di Djawa Baroe secara
bersambung pada edisi tanggal 1 dan 15 Maret 1944. Sasaki Takamaru (佐
々木孝丸, dalam Djawa Baroe ditulis Takamaroe Sasaki, 1898-1986) adalah
tokoh kesusastraan Jepang dalam dunia sastra Proletar Jepang, khususnya
sebelum perang. Di Djawa Baroe, tidak terdapat biografi pengarang Sasaki
Takamaru seperti yang ada pada 4 cerpen penulis Jepang sebelumnya. Sama
seperti Kikuchi Kan yang aktif menulis, setidaknya ada 11 tulisan Sasaki yang
dimuat di majalah sastra proletar Bungei Sensen* dan Senki* hingga tahun

65
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

1942. Naskah drama Perkawinan 25 Tahun yang dimuat di Djawa Baroe


secara berseri pada edisi tanggal 1 dan 15 Maret 1944 telah lebih dahulu
terbit di Jepang pada majalah Kokumin Engeki* di bulan Januari 1943.
Drama ini berlatar daerah Harajuku Tokyo di rumah keluarga
Midorigawa. Babak pertama berlatar waktu 2 Maret 1942, sehari setelah
pendaratan pasukan Jepang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dari
percakapan tokoh-tokoh di dalam cerita, diketahui bahwa 24 tahun yang lalu,
Yoshinosuke Midorikawa dan istrinya Sono ikut dalam rombongan orang
Jepang yang membuka daerah Selatan. Akan tetapi, setelah 9 tahun, Sono
memutuskan kembali ke Jepang membawa dua putranya Ichiro dan Jiro serta
putri bungsunya Hana. Sementara itu, Yoshinosuke tetap bertahan di Jawa.
Di Jepang, sambil membesarkan anak-anaknya, Sono belajar di sekolah
kedokteran hingga berhasil menjadi dokter perempuan.
Babak kedua berlatar waktu sebulan setelahnya. Surat kabar pada
bagian radio pada hari itu mengumumkan akan mengadakan wawancara
dengan “Perintis Jalan di Jawa” dan nama Yoshinosuke Midorigawa tertulis
di situ. Mengetahui hal tersebut, anak-anak Sono menyiapkan kejutan
perayaan 25 tahun perkawinan orang tua mereka. Di saat wawancara radio,
Yoshinosuke Midorigawa bercerita tentang dirinya yang telah datang untuk
membuka Jawa sejak 24 tahun yang lalu. Dia mengungkapkan rasa harunya
karena Jepang berhasil mengusir Belanda dari tanah Jawa. Tidak lupa di akhir
pembicaraan dia menyapa istri dan ketiga anaknya.
Jika dibandingkan dengan keempat karya penulis Jepang lain
sebelumnya, naskah drama Perkawinan 25 Tahun ini sangat berbeda.
Perbedaan yang pertama ada pada latar tempat yaitu Jepang dan Indonesia.
Perbedaan berikutnya ada pada latar waktu yaitu pasca keberhasilan
pendaratan Jepang di Jawa pada tanggal 1 Maret 1942. Jika dirunut
waktunya, Yoshinosuke beserta istri dan rombongannya tiba di Jawa pada
tahun 1918. Pada masa itu, terjadi migrasi orang-orang Jepang ke Indonesia
yang dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebelum tahun 1930an, ciri
utama masyarakat Jepang saat itu adalah berdagang. Pusat kegiatan
perdagangan terbesar saat itu ada di Surabaya Jawa Timur (Goto, 1998).

66
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Tema yang utama dalam drama ini adalah rasa benci terhadap
pemerintahan Belanda. Hal tersebut dapat dilihat pada perkataan Sono
sebagai berikut,

“Aku boekannja meninggalkan soeamikoe karena memang soeka begitu. Tidak…


tapi aku tidak maoe menaroeh anak-anak dinegeri dimana orang-orang Belanda
sombong…”
“Sebab itoe kepada anak-anak jang nanti akan meneroeskan hendak diberikan
pendidikan sebagai orang Nippon jang oetama… akan tetapi pendek kata,
biasanja kanak-kanak jang lahir dan dididik dinegeri asing, meskipoen sebetulnja
mewariskan darah nenek mojang, tapi kalau begitoe sadja tiada mengerti benar
akan kemoeliaan Tanah Air dan tiada dapat merasakan sjoekoer akan Tanah
Airnja.”
(Sasaki, March 1, 1944)

Dari sini dapat dilihat gambaran kehidupan orang-orang Jepang yang


bermigrasi ke wilayah Hindia Belanda saat itu. Di bawah pemerintahan
militer Hindia Belanda, mereka diperlakukan sebagai masyarakat kelas
bawah dan mendapat diskriminasi dalam berbagai hal, termasuk dalam
bidang pendidikan dan ekonomi.
Selain itu, Yoshinosuke dalam wawancara radio juga mengungkapkan
perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda,

Boeah oesaha keringat orang-orang Nippon di Djawa jang bekerdja radjin


dengan bersoesah pajah sekaligoes disita oleh perboeatan sewenang-
wenang pemerintah Hindia-Belanda…

… kami rasakan dan saksikan senjata-njatanja, bahwa demikiankah isi


sebenarnja perikemanoesiaan jang diseboet-seboet oleh bangsa Eropah
itoe?

(Sasaki, 15 Maret 1944: 30)

Hal ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi sebelum meletusnya


perang Asia Timur Raya. Setelah negosiasi antara pemerintah Hindia Belanda

67
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

dan Jepang (September 1940- Juni 1941) putus dan tentara Jepang mulai
menduduki Indocina, aset-aset orang Jepang dibekukan. Di Indonesia, orang-
orang Jepang secara diam-diam dievakuasi dengan kapal-kapal kembali ke
Jepang. Sebelum pulang, mereka menjual propertinya dengan sangat murah
dan menutup usahanya. Sekitar 2000 orang Jepang yang masih tertinggal
menjadi tawanan (Kurasawa, 2016).
Selain propaganda untuk membenci Belanda, pada cerpen ini juga
diperlihatkan perhatian besar yang dimiliki oleh tokoh Sono terhadap
masyarakat pedesaan Jawa di saat itu. Hal ini dapat dilihat pada perkataan
Ichiro sebagai berikut,

Maksoed iboe beladjar, nanti soepaja bergoena didesa-desa di Djawa…


Disitoe kalau orang beranak sekonjong-konjong disekitarnja tidak ada bidan
jang pintar. … Nanti kalau kembali ke Djawa akan dipenoehi kekoerangan
itoe. Doeloe pernah iboe bercerita. Wah tjita2 iboe boekan main, tinggi
sekali. (Sasaki, 1 Maret 1944:31)

Gambaran kehidupan orang-orang Jepang di Indonesia sebelum dan


setelah meletusnya Perang Asia Timur Raya yang sangat detil dan nyata serta
kenyataan tidak dimuatnya biografi pengarang Sasaki Takamaru di Djawa
Baroe, menyiratkan ada kemungkinan Sasaki sendiri saat itu berada di
Indonesia. Akan tetapi, penulis belum menemukan data pendukung
mengenai hal tersebut.
Naskah drama Perkawinan 25 Tahun yang berlatar Indonesia dan
Jepang serta mengangkat cerita yang sangat relevan dengan kehidupan
masyarakat Indonesia khususnya Pulau Jawa di masa itu, membuat tema
cerita lebih mudah dipahami oleh pembaca Indonesia. Pada waktu
dimuatnya drama ini di Djawa Baroe, Pendudukan Jepang baru memasuki
tahun ketiga. Pemerintah militer melakukan berbagai propaganda untuk
meyakinkan masyarakat Indonesia. Salah satu propagandanya adalah
menanamkan kebencian kepada pemerintah Hindia Belanda yang telah
menjajah Indonesia selama lebih dari 300 tahun sebelum Jepang berhasil
mengusirnya dari Indonesia.

68
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

3 Kesimpulan
Dari analisis yang dilakukan terhadap lima karya penulis Jepang yaitu
empat cerpen yang masing-masing berjudul Kichizo ke Medan Perang karya
Hino Ashihei, Di Tempat Asuhan Garuda karya Niwa Fumio, Batu karya Kawai
Tetsukichi, Prajurit Nogiku karya Kikuchi Kan, dan satu naskah drama dua
babak berjudul Perkawinan 25 Tahun karya Sasaki Takamaru ditemukan
bahwa setiap karya membawa pesan propaganda yang berbeda-beda. Tema
utama yang ditemukan antara lain pengorbanan demi perang, sikap sukarela
dan ikhlas, semangat pengabdian kepada negara, serta kebencian terhadap
Belanda. Meskipun dengan setting dan alur cerita yang sangat berbeda,
masing-masing karya secara tersurat ataupun tersirat memberi pesan
dukungan terhadap pemerintahan militer Jepang sehingga sesuai untuk
dimuat di Djawa Baroe sebagai alat propaganda bagi pembaca di Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa.
Tulisan ini membatasi analisis pada tema propaganda yang dibawa
oleh masing-masing karya, sedangkan mengenai masyarakat yang menjadi
latar belakang dalam cerita tidak dibahas secara mendetail. Khusus naskah
drama Perkawinan 25 Tahun karya Sasaki Takamaru, banyaknya detil-detil
dalam cerita yang relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia dan Jepang
di masa Pendudukan Jepang sangat menarik untuk dianalisis dalam
penelitian selanjutnya.

Endnotes

Akutagawashō ( 芥 川 賞 ): penghargaan sastra yang paling bergengsi di Jepang.


Penghargaan ini diprakarsai oleh Kikuchi Kan untuk mengenang sastrawan ternama
sekaligus sahabatnya Akutagawa Ryunosuke. Akutagawashō diberikan kepada
penulis pendatang baru.

Bungei Sensen (文芸戦線): majalah kesusastraan proletar yang terbit pada tahun
1924- 1932. Di dalamnya banyak memuat faham marxisme.

Chuōkōron (中央公論): majalah bulanan kesusastraan yang bersejarah. Majalah ini


terbit sejak tahun 20 Meiji hingga saat ini.

69
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Hōmu Raifu「ホーム・ライフ」: majalah bergambar yang terbit di Jepang pada


Agustus 1935- Desember 1940. Majalah ini fokus pada hal-hal yang bersifat seni.

Imon bukuro (慰問袋): kantung penghiburan yang dikirimkan kepada serdadu di


medan perang. Isinya adalah barang-barang keperluan sehari-hari berupa handuk,
sabun, makanan maupun obat-obatan. Pada kantung itu dilampirkan juga surat dan
alamat pengirim.

Kokumin Engeki (國民演劇): majalah khusus drama yang terbit pada 1941-1943

Naokishō ( 直 木 賞 ): penghargaan dalam bidang kesusastraan. Naokisho juga


diprakarsai oleh Kikuchi Kan. Naokishō diberikan kepada penulis fiksi popular.

Senki (戦旗): majalah kesusastraan proletar yang terbit di Jepang pada tahun 1928-
1931. Majalah ini fokus pada peningkatan kesejahteraan buruh dan petani.

Senninbari (千人針, Jarum seribu orang): berdasarkan catatan kaki pada cerpen
Kichizo ke Medan Perang, merupakan kain penutup perut yang dibuat untuk
anggota keluarga yang akan berangkat perang. Kain ini menjadi jimat yang dipercaya
dapat melindungi dari peluru musuh.

Shinseiki ( 新 世 紀 ): majalah bergambar yang terbit di Filipina pada zaman


Pendudukan Jepang. Majalah ini ditulis dalam Bahasa Tagalog.

Taiyo (太陽): majalah bergambar yang terbit di Jepang pada Januari 1895-Februari
1928. Isinya bervariasi termasuk politik, ekonomi dan sosial.

Ucapan Terima Kasih


Riset ini didukung oleh Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia (BUDI) melalui
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti),
bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Daftar Pustaka
Anwar, Fithyani。「インドネシアにおける菊池寛の戯曲「父帰る」の
受容」、『愛文』第 50 号、2015 年 12 月、1-14 頁。

70
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Caradea, Miranda Avisca. “Propaganda Jepang dalam Cerpen Kitjizo ke


Medan Perang dan Di Tempat Asoehan Garoeda dalam majalah
Djawa Baroe”, Skripsi Sarjana FIB, Universitas Airlangga, 2019.
http://repository.unair.ac.id/id/eprint/88775 (diakses 10 Mei 2020)
Dewi, Fitriana Puspita. (2015). Bentuk Propaganda Jepang di Bidang Sastra
pada Majalah Djawa Baroe Semasa Kependudukan Jepang di
Indonesia 1942-1945. JIA Vol. 2 No. 1 April 2015.
Goto, Kenichiro. (1998). Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hutari, Fandy. (2009). Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas
Sandiwara Modern Masa Jepang. Yogyakarta: Ombak
Jassin, H.B. (1985). Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai
Pustaka
Kartodirdjo, Sartono & Notosusanto, Nugroho. (1975). Sejarah Nasional
Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kawai, Tetsukichi. (1944, February 1). Batoe. Djawa Baroe, p. 30.
Keen, Donald. (1978). The Barren Years. Japanese War Literature.
Monumenta Nipponica, Vol. 33 No. 1, pp.67-112.
from http:/www.jstor.org/stable/2384256 (diakses 27 Februari 2019)
Kikuchi, Kan. (1944, February 15). Prajurit Nogiku. Djawa Baroe, p. 28.
Kurasawa, Aiko. (2015). Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan
1942-1945. Depok: Komunitas Bambu.
Kurasawa, Aiko. (2016). Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya: Sejarah
dengan Foto yang Tak Terceritakan. Depok: Komunitas Bambu.
Kurasawa, Aiko. (1991). Kata Pengantar Djawa Baroe (倉沢愛子「解題」『
ジャワ・バル』復刻版、龍渓書舎、1991 年) p. 15.
Niwa, Fumio. (1944, January 15). Ditempat Asoehan Garoeda. Djawa Baroe,
pp. 29-30.
Rosidi, Ajip. (1969). Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Bandung: Penerbit
Binatjipta.
Sasaki, Takamaru. (1944, March 1). Perkawinan 25 Tahoen. Djawa Baroe, p.
28.

71
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Sasaki, Takamaru. (1944, March 15). Perkawinan 25 Tahoen. Djawa Baroe, p.


30.
Wasono, Sunu. (2007). Sastra Propaganda. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
井上
裕子『戦
時グラフ雑誌の宣伝戦―十五年戦争下の「日本」イメー
ジ』、2009年、
青弓社、12頁。
姫本由美子「日本占領下インドネシアで読まれた刊行物―知識人と
その他に分断された社会を映し出した鏡―」、『アジア太平洋
討究』第 34 号、2018 年 10 月、167-212 頁。
火野葦平「前書」『土と兵隊』1938 年、改造社、7 頁。
丸山彩・織田康孝「日本軍政下のジャワにおける歌 : グラフ雑誌『ジ
ャワ・バル Djawa Baroe』を素材に」、『立命館大学人文科学
研 究 所 紀 要 』 第 107 号 、 2016 年 3 月 、 25-48 頁 、
doi/10.34382/00004474

Artikel Koran
Menoedjoe ke Pembangoenan Djawa Baroe, dengan Membantoe kepada Dai
Nippon…. (1943, January 1). Djawa Baroe, p. 4.
Penjerahan Barang Logam dan Bidji Djarak. (1944, December 2). Asia Raya,
p.2.

Poesat Keboedajaan Melangkah (1943, April 15). Djawa Baroe, p. 8.

Oesaha Menambah Hasil Boemi. (1944, January 1). Djawa Baroe, p. 14.

Tjara Menanam Djarak. (1943, December 1). Djawa Baroe, p. 10.

Tjita2 “Djawa Baroe”. (1943, January 1). Djawa Baroe, p. 3.

72
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Analisis Penggunaan Gairai-go dan Katakana-go dalam


Catchphrase di Iklan Kosmetik Jepang

Lisda Nurjaleka

Abstract

This study aims to examines and analyse gairai-go and katakana-go usage on
catchphrases of cosmetic advertisement (CM or commercial message, pamphlets,
others). The commercial Message (CM) that focuses on this study refers to short
advertisement broadcasting that flows in the TV programs, also a video that spread
in the mass media. Moreover, it also clarifies how gairai-go plays a role in the
cosmetics advertisement. Also, we analyze the use of gairai-go linguistically.
Therefore, we collect and investigate cosmetic advertisement catchphrases posted
on commercials on TV and brochures as primary data. The results show that gairai-
go and katakana-go found abundance in catchphrases on cosmetics
advertisements. Moreover, the frequency of a noun as a gairai-go and katakana-go
also higher. Furthermore, a word that frequently occurred in catchphrases in
cosmetics advertisements considered as a noun, the usage of gairai-go and
katakana-go as `noun` in catchphrases commonly found.

Keywords: gairai-go, katakana-go, catchphrases, cosmetic advertisement

1. Pendahuluan
Iklan menurut kamus bahasa Jepang berisi tentang konten, layanan,
bisnis dan lainnya mengenai suatu produk. Perusahaan membuat iklan
melalui media seperti commercial message (CM), pamphlet dan lainnya,
untuk memperkenalkan produk baru kepada konsumen. Penelitian ini
membahas tentang produk iklan berbentuk commercial message (CM) dan
bentuk media cetak. Media iklan di sini merupakan siaran iklan pendek yang
diputar sebelum dan sesudah program radio atau siaran televisi, berupa iklan
pendek yang disiarkan. Produk iklan lainnya yang menjadi objek penelitian
adalah iklan media cetak yang diwakili dengan pamflet.

73
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Dalam sebuah iklan, kita sering melihat apa yang disebut dengan
catchphrase frasa yang membuat orang memperhatikan produk tersebut.
Catchphrase (atau disebut juga dengan catch-copy) merupakan kalimat
berbentuk frasa atau ungkapan bisa juga berbentuk jingle atau nyanyian yang
digunakan untuk mengumumkan atau mempromosikan produk apa saja
khususnya digunakan sebagai iklan.
Ikegami (1982) menyatakan bahwa suatu kata-kata dalam iklan akan
dapat menarik perhatian. Dalam hal ini, kata-kata di dalam iklan atau promosi
memiliki karakteristik yang sama seperti kata-kata yang digunakan dalam
puisi. Di dalam ungkapan pada iklan atau promosi, menggunakan gambar
yang dibuat oleh mereka dan dinilai lebih baik daripada objek nyata
kemudian ditunjukkan melalui suatu ungkapan. (Ikegami, 1982)
Jika dilihat Iklan kosmetik di Jepang penuh dengan istilah asing.
Secara umum, penggunaan gairai-go terlihat canggih dan menciptakan
suasana modern. Goto (2000) menyatakan bahwa dengan menggunakan
istilah pinjaman (gairai-go) dalam suatu iklan maka dapat memperluas citra
produk perusahaan tersebut. Oleh karena itu, penggunaan istilah pinjaman
(gairai-go) dalam periklanan merupakan salah satu strategi iklan di Jepang.
Catchphrase (slogan) juga dibutuhkan di media iklan seperti kosmetik untuk
menarik hati customer yang kebanyakan wanita untuk membeli produk
tersebut. Dalam hal ini, catchphrase menggunakan bahasa pilihan berbentuk
ungkapan yang memberikan kesan kuat kepada konsumen atas produk
perusahaan tersebut. Catchphrase dapat ditemui seperti dalam iklan pendek
(CM) televisi atau iklan media cetak seperti pamphlet. Karaktersitik dari
catchphrase ini adalah jumlah kata yang singkat dan biasanya hanya terdiri
dari kurang lebih 10 kata. Catchphrase juga biasanya mengandung fitur
singkat dari produk tersebut.
Baru-baru ini sering terlihat penggunaan catchphrase di media iklan
yang menggunakan kata-kata asing atau kata kata serapan. Penelitian kali ini,
khususnya produk iklan kosmetik wanita menjadi target penelitian
dikarenakan iklan kosmetik terlihat banyak menggunakan gairai-go dan
katakana-go Seberapa seringkah frekuensi penggunaan gairai-go dan
katakana-go tersebut di dalam iklan kosmetik akan menjadi tujuan dari
penelitian ini. Penulis akan memfokuskan penggunaan gairai-go dan

74
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

katakana-go hanya pada catchphrase yang menjadi slogan atau symbol dari
produk-produk tersebut. Selain itu, penelitian ini akan melalui pendekatan
secara linguistik bagaimana peran gairai-go dan katakana-go, dan
bagaimana penggunaannya. Untuk itu, objek penelitian kali ini adalah
catchphrase pada suatu iklan kosmetik yang ada dalam CM televisi dan iklan
media cetak berbentuk pamflet.

2. Tinjauan Pustaka
Kitazawa (2016) menganalisis penggunaan ungkapan seperti dalam
“ensiklopedia catchphrase iklan surat kabar” yang membahas tentang
ungkapan yang tidak biasa pada catchphrase iklan seperti penggunaan
partikel pada non-kata benda. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa
prosentase penggunaan delapan jenis catchphrase pada non-kata benda
seperti (frasa setara kalimat, kata seru, stem kata kerja adjektif, bentuk
akhiran adjektif, bentuk akhiran verba, onomatope, modifier, dan kata
keterangan pada umumnya) cukup tinggi. Selain itu, ditemukan juga
karakteristik partikel yang mengikat.
Kuremoto et al. (2007) menyatakan bahwa melalui catchphrase
perusahaan ingin konsumen memahami bagaimana produk dan gambaran
perusahaan. Tetapi pada kenyataannya, ada variasi yang berbeda di antara
konsumen dalam penafsiran pesan yang dikirimkan oleh perusahaan. Oleh
karena itu, perusahaan membuat apa yang disebut dengan catchphrase
untuk menangkap keindahan dari gagasan atau pemikiran disebut juga
dengan “pluralitas interpretasi” dengan mempertimbangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat interpretasi pluralisme tersebut.
Lu (2016) juga dalam penelitiannya menganalisis tentang bentuk-
bentuk catchphrase. Terdapat dua jenis bentuk kalimat di dalam iklan yaitu
interjeksi dan kata benda. Di dalam suatu catchphrase biasanya terdiri dari
kalimat seperti kalimat perintah, kalimat tanya atau kalimat biasa.
Adakalanya bentuk kalimat seperti non-deskriptif juga dapat dijadikan
catchphrase.
Watanabe (1985) menganalisis empat jenis majalah, kemudian
melihat berapa frekuensi dari kosakata yang digunakan dalam iklan kosmetik
bahasa Jepang, kemudian membandingkannya dengan iklan bahasa Inggris.

75
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa frekuensi penggunaan kata sifat


cukup tinggi, dan jenis kata sifat yang digunakan di iklan bahasa Inggris lebih
kaya dan bervariasi daripada iklan bahasa Jepang.
Dari beberapa penelitian di atas dapat kita simpulkan bahwa, retorika
catchphrase adalah level kosakata terbentuk dari gabungan partikel dan
sintaksis non-kata benda. Selain itu, catchphrase biasanya menggunakan kata
yang mempunyai beragam makna. Pada level kalimat, ditemukan bahwa
ungkapan iklan menggunakan kalimat sederhana, dan ungkapan iklan
berbentuk non-deskriptif.
Di dalam penelitian sebelumnya, data masih berupa majalah ataupun
surat kabar. Akan tetapi, penelitian ini menggunakan dua jenis media yaitu
berupa media iklan televisi dan media cetak (pamflet). Adapun alasan kedua
media tersebut dipilih adalah karena mewakili kedua bentuk media
berbentuk media tulisan dan lisan. Penelitian ini juga akan mengklasifikasikan
data gairaigo dan katakana-go sesuai dengan kelas kata.
Pembatasan masalah akan digunakan dalam penelitian ini. Peneliti
mengambil data catchphrase dari dua jenis media yaitu media iklan dan
media cetak yang diwakili dengan pamflet. Bentuk iklan televisi yang gunakan
adalah berbentuk commercial messeage (CM). Penelitian ini akan
memfokuskan kepada penggunaan gairai-go dan katakana-go dalam iklan
kosmetik di Jepang.

3. Metode Penelitian
Data primer pada penelitian ini adalah catchphrase yang terdapat
pada iklan kosmetik dengan merk ternama Jepang seperti Shiseido, dr. cilabo,
Kose, Kanebo, Sofina SK II. Penulis akan menganalisis penggunaan gairai-go
dan katakana-go dari catchphrase tersebut kemudian
mengklasifikasikannya. Data catchphrase yang kami dapat dari pamflet dan
iklan CM ini dikumpulkan kemudian ditulis ulang. Penelitian ini bertujuan
untuk mengklarifikasi bagaimana penggunaan gairai-go dan katakana-go
yang ada dalam catchphrase tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan mencari
frekuensi kemunculan gairai-go dan katakana-go dalam suatu catchphrase di
media iklan televise dan cetak. Kemudian, peneliti menganalisis bentuk kelas

76
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

kata masing-masing gairai-go dan katakana-go yang dikumpulkan untuk


melihat dominan kelas kata yang muncul.
Penelitian ini dilaksanakan dari mulai bulan November 2016 sampai
dengan Januari 2017. Tabel 1 di bawah ini adalah rangkuman merk-merk
produk kosmetik yang menjadi target penelitian.

Tabel 1 Jumlah target produk dan nama produk brand kosmetik

No Brand Nama produk Jumlah produk

1 Shiseido Maquillage, Haku, Elixir, MAQUIA, 87


PRIOR, Benefique, Playlist, lainnya.

2 Dr. Cilabo Aqua Collage, Enrich-Lift, KPO, BB Lip 21


Gloss, Super Cellulite shape, UV & White,
Sensitive Line, 4D Botolium, lainnya.

3 KOSE Sekkisei, INFINITY, ESPRIQUE, 49


ASTABLANC, FASIO, ELSIA, Nature & Co.,
lainnya.

4 KANEBO L’EQUIL, COFFRET D’OR, KATE, DEW 34


Beaute, EVITA, Freshel, lainnya.

5 SOFINA SOFINA Lift Professional, ALBLANC, 18


Beaute, Primavista, AUBE, lainnya.

6 SK II PITERA, R.N.A., Illume, GENOPTICS, 90


Change Destiny, lainnya.

Total 299

Untuk menganalisis data tersebut, penulis mengumpulkan catchphrase


yang ada di dalam iklan kosmetik (CM dan pamphlet). Setelah catchphrase
dikumpulkan, kemudian penulis menulis ulang. Setelah itu
mengklasifikasikan gairai-go dan katakana-go berdasarkan jenis kelas
katanya.

77
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

4. Hasil dan Pembahasan


Dari total porduk iklan kosmetik yang terkumpul sebanyak 299 buah,
ditemukan catchphrase yang menggunakan gairai-go dan katakana-go
sejumlah 174 kalimat. Jumlah gairaigo dalam kedua media iklan pamflet dan
CM denganotal 182 kata, dan katakana-go yang ditemukan sebanyak 71 kata.
Bentuk campuran antara gairai-go maupun katakana-go dengan kanji juga
ditemukan. Total untuk bentuk campuran tersebut adalah 18 kata.

4.1 Penggunaan Gairai-go dan Katakana-go Pada Catchphrase dalam


Media Pamphlet
Tabel 2 di bawah ini merupakan klasifikasi penggunaan gairai-go dan
katakana-go pada catchphrase dalam media pamphlet. Ditemukan sejumlah
128 bentuk gairaigo dan 49 kata bentuk katakana-go, serta 12 kata bentuk
campuran antara gairai-go dan bentuk kanji.

Tabel 2.1 Jumlah gairai-go dan katakana-go serta bentuk campuran yang ada
pada masing-masing produk kosmetik pada pamflet.

No Brand Produk Gairai-go Katakana- Campuran


go

1 SHISEIDO MAQUILLAGE 6 1

HAKU 3

ELIXIR 1 1 1

MAQUIA 1 1

PRIOR 5 1

BENEFIQUE 8 1 1

2 Dr. AQUA- 2 2
CILABO COLLAGEN

Enrich-Lift 16 10 1

78
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

GLOBAL 10 2 1

3 KOSE SEKKISEI 13 7
Supreme

INFINITY 1

ESPRIQUE 6 2 1

ASTABLANC 1 2

4 KANEBO L’EQUIL 9 3

COFFRET 2
D’OR

DOLTIER 1

DEW 1 1

5 SOFINA SOFINA 1
Lift
Professional

ALBLANC 1

6 SK II PITERA 12 1 1

R.N.A. 8 5

Illume 1 2 2

GENOPTICS 22 5 3

Total 128 49 12

Total dari 299 jenis produk kosmetik, dapat kita lihat pada tabel 2 di atas,
gairai-go banyak ditemukan dalam pamflet produk iklan kosmetik.
Penggunaan variasi gairai-go juga banyak ditemukan di setiap produknya,
seperti dalam produk GENOPTICS (SKII), ditemukan penggunaan kata gairai-

79
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

go yang bervariasi dengan total 22 kata. Hal ini dapat kita lihat bahwa produk
tersebut menggunakan gairai-go terbanyak dibandingkan produk lain. SK II
merupakan merk kosmetik Jepang ternama. Brand mereka terkenal di
seluruh dunia, sehingga produk iklan tersebut mempunyai kesan
menginternasional. SKII banyak menggunakan gairai-go dalam proses
pengiklanannya. Tidak hanya SK II, penggunaan gairaigo juga cukup tinggi
dibandingkan dengan katakana-go.
Collins (1992) menyatakan bahwa, tujuan dari iklan Jepang adalah
memperlihatkan kepada customer bahwa produk perusahaan mereka dapat
dipercaya; mempunyai kualitas tinggi dan dengan menggunakan gairai-go
akan terlihat lebih keren dan berkualitas tinggi. Oleh karena itu, dalam
produk kosmetik, erusahaan berlomba-lomba untuk banyak menampilkan
slogan-slogan atau catchphrase yang dapat meningkatkan image produk
mereka. Salah satunya adalah penggunaan gairai-go.
Sedangkan, menutur tabel 2 di atas, penggunaan katakana-go tidak
sebanyak gairai-go. Akan tetapi terlihat bahwa iklan kosmetik menggunakan
katakana-go dengan jumlah yang tidak lebih dari 38% jumlah gairai-go.
Penggunaan katakana-go dilakukan dengan asumsi simplifikasi perusahaan
terhadap kanji-kanji pada istilah istilah khusus, serta digunakan untuk
membuat konsumen tertarik terhadap produk, karena fungsi dari
catchphrase dalam suatu iklan adalah memberikan pesan yang indah dan
menarik terhadap konsumen. Katakana digunakan sebagai pengganti kanji
juga selain dirasakan mudah untuk ditulis dan simplikasi dalam sebuah iklan.
Dalam tabel 2 juga dapat kita lihat bawaha gairai-go yang sering
digunakan adalah 「 オ イ ル , “oiru” 」 = Minyak 、 「 ケ ア , “kea” 」
=perawatan,「オーラ, “o-ra”」=aura、「メイク, “meiku”」= make-up、
「クリーム, “kuri-mu”」= Cream、「マスク, “masuku」= masker、「カ
バー, “kaba-“」= cover, dan lainnya. Dapat disimpulkan bahwa gairai-go
tersebut menjadi ciri khas kosakata yang digunakan pada produk iklan
kosmetik, khususnya yang ada dalam catchphrase. Selain itu, terlihat
penggunaan yang seragam dari kosakata tersebut pada semua merk
kosmetik Jepang dengan produk yang bervariasi. Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa perusahaan dan pembuat iklan tersebut

80
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

mempunyai kesepahaman atas gairai-go apa saja yang digunakan untuk


meningkatkan brand mereka.
Adapun bentuk katakana-go yang ditemukan juga seragam di semua
catchphrase pada pamflet iklan kosmetik tersebut. Kosakata seperti 「ハリ,
“hari”」= bersinar「シミ, “Shimi”」= flek「ツヤ, “tsuya”」= mengkilap,
dan lainnya banyak ditemukan ditulis dengan menggunakan huruf katakana
dan tidak dengan kanji. Penggunaan gairai-go dan katakana-go dalam
catchphrase tersebut selain untuk menarik perhatian, juga untuk simplifikasi.
Sehingga kanji-kanji tersebut menjadi mudah dipahami oleh konsumen.
Penulis juga menemukan, katakana-go 「ハリ, hari」yang penggunaannya
banyak ditemukan di semua iklan produk kosmetik.
Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa dengan banyaknya temuan
kosakata yang dituliskan dalam bentuk gairai-go dan katakana-go, kita dapat
melihat bahwa brand kosmetik Jepang mempunyai keseragaman penulisan
untuk mengiklankan produk-produknya. Hal ini juga didukung dengan
keseragaman bentuk dan penggunaan gairai-go dan katakana-go pada
masing-masing produk iklan kosmetik.

4.2 Penggunaan Gairai-go dan Katakana-go dalam Iklan Commercial


Message (CM)
Tabel 3 di bawah ini menunjukkan klasifikasi gairai-go dan katakana-go
dalam catchphrase pada iklan commercial message (CM). Secara keseluruhan
ditemukan sebanyak 82 kalimat catchphrase yang di dalamnya terdiri dari 54
kata gairai-go, 22 kata katakana-go dan juga 6 kata campuran.

Tabel 3 Jumlah gairai-go dan katakana-go serta bentuk campuran yang ada
pada masing-masing produk kosmetik dalam CM

No Brand Produk Gairai-go Katakana- Bentuk


go campuran

1 SHISEIDO 1

PLAYLIST 4

81
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

MAQUILLAGE 7 1

PRIOR 2

ELIXIR 1 1

2 KOSE ESPRIQUE 6

SEKKISEI 2

FASIO 4 1 1

ELSIA 5 4 3

3 KANEBO DEW 2

COFRET D’OR 4 2 1

KATE 2

EVITA 1

MEDIA 2

4 SOFINA AUBE 7 1
Couture

Primavista 1 1

Primavista 1
DEA

JENNE 1 1

1 1

5 SK II Change 2
Destiny

PITERA 2 1

LXP 1

82
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

R.N.A. 2 1

STEM POWER 1

SK II COLOR 1

Total 54 22 6

Seperti yang terlihat pada tabel 3, penggunaan paling banyak ditemukan


pada iklan CM adalah bentuk gairai-go sebanyak 54 kata, selanjutnya adalah
bentuk katakana-go sebanyak 22 kata dan bentuk campuran sebanyak 6
kata. ‘Kose’ dan ‘Shiseido’ dalam setiap produknya sering menggunakan
gairai-go, sedangkan ‘SK II’ jika dibandingkan dengan merk lain cukup sedikit
penggunaan gairai-go. Selain itu, pemilihan gairai-go yang ditemukan dalam
media CM adalah kata 「 ク リ ア , “kuria” 」 = clear 「 ク レ ン ジ ン グ ,
“kurenjingu” 」 = cleansing/pembersih dan 「メイク , “meiku” 」= riasan.
Sehingga kita dapat menyimpulkan dari penggunaan gairai-go pada keenam
brand kosmetik di atas adalah 「メイク , “meiku” 」 = riasan 「クリア ,
“kuria”」= clear dan「カバー, “kaba-“」= cover sering ditemui. Kata-kata
ini juga sering digunakan dalam media iklan pamflet.
Penggunaan katakana-go di dalam catchphrase pada media iklan CM,
ditemukan hanya 22 kata, di dalamnya selain bentuk onomatope 1 1 yang
sering dilambangkan dalam katakana, dapat dilihat juga bentuk kata sifat
seperti 「カワイイ, “Kawaii”」= Lucu「キレイ, “kirei”」= cantic dalam hal
ini muncul pada produk iklan kosmetik. Selain dua kata sifat tersebut,
penggunaan katakana-go yang sering ditemukan adalah 「ハリ, “hari”」=
bersinar「ツヤ, “tsuya”」= mengkilap「シミ, “shimi”」= flek. Penggunaan
ketiga kata katakana-go ini dimungkinkan karena ketiga kata tersebut
merupakan kata-kata yang berkaitan dengan kosmetik. Dan diasumsikan
digunakan sebagai kata untuk menarik perhatian. Bahasa Jepang akhir-akhir
ini banyak menggunakan kata-kata serapan dari luar, sehingga prosentase
penggunaan gairai-go meningkat.

83
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

4.3. Klasifikasi Kelas Kata Gairai-go dan Katakana-go dalam Catchphrase


Berikutnya, kita akan membahas peranan gairai-go dan katakana-go
pada catchphrase ditinjau dari sisi linguistik. Di sini, kita akan menganalisis
dan mengklasifikasikan kelas kata gairai-go dan katakana-go di masing-
masing merk kosmetik.

4.3.1. Klasifikasi Kelas Kata Kata Benda untuk Gairai-go dan Katakana-go
Penelitian ini menemukan total sejumlah 271 kata yang terdiri dari
gairai-go, katakana-go dan bentuk campuran yang terdapat dalam
catchphrase iklan. Terdapat kelas kata jenis kata benda kurang lebih 233 kata
atau sebanyak 86% dari jumlah keseluruhan. Dapat dilihat pada tabel 4
berikut ini adalah klasifikasi masing-masing gairai-go dan katakana-go pada
media CM dan pamphlet iklan kosmetik.

Tabel 4 menununjukkan gairai-go dan katakana-go yang menunjukkan kelas


kata sebagai kata benda.

No Pamflet CM

Gairai-go Katakana- Bentuk Gairai- Katakana- Bentuk


go campuran go go campuran

1 107 44 12 50 14 6

Seperti yang dapat kita lihat pada tabel 4, total gairai-go dan katakana-
go pada catchphrase banyak ditemukan dan dikategorikan sebagai kata
benda. Untuk masing-masing pembagiannya, dapat kita lihat sebagai berikut:
gairai-go sebanyak 157 kata (67.4%), dan katakana-go sebanyak 58 kata
(25%) dan bentuk campuran sebanyak 18 kata (8%). Dari hasil tesebut dapat
kita lihat bahwa gairai-go dalam catchphrase di kedua media CM dan pamflet
tersebut paling banyak ditemukan.
Selain itu, gairai-go dengan bentuk kata benda yang sering digunakan
masing-masing dari urutan terbanyak sebanyak 9 kata adalah kata benda 「
ケア, “kea”」= perawatan, 6 buah kata 「クリーム, “kuri-mu”」= cream,
dan masing-masing 5 buah kata benda 「クリア, “kuria”」= clear, 「メイ

84
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

ク, “meiku”」= riasan. Adapun yang sering digunakan sebagai kata benda


untuk kategori katakana-go adalah 「ハリ , “hari” 」,= bersinar「ツヤ ,
“tsuya”」=mengkilap「キメ, “kime”」= kasar/kesat. Masing-masing kata
benda tersebut menggambarkan kosakata di dalam iklan kosmetik. Terlihat
juga adanya kesepakatan dan keseragaman penggunaan kosakata tersebut
oleh masing-masing merk kosmetik di sini. Selain tingginya penggunaan
gairai-go sebagai kata benda, penulis juga menemukan bahwa variasi
penggunaan gairai-go sangat beragam. Penggunaan kata benda 「ケ ア ,
“Kea”」= care, menjadi penggunaan terbanyak pada produk iklan kosmetik
dan dapat dianggap paling universal. Hal ini dikarenakan, kosmetik digunakan
sebagai produk perawatan, dalam penelitian ini fokus kepada produk
kosmetik wanita. Kata benda ini menjadi istilah yang lumrah dan sering
ditemukan. Dengan kemunculan terbanyak yaitu sembilan kali. Hal ini terjadi
karena, produk iklan khususnya kosmetik wanita ingin menonjolkan kata 「
ケア, “kea”」atau perawatan dalam produk-produk unggulan mereka.
4.3.2. Klasifikasi Kelas Kata Kata kerja (Verba) untuk gairai-go dan
katakana-go

Klasifikasi kelas kata selanjutnya adalah jenis kata kerja atau verba.
Jumlah gairai-go dan katakana-go dengan jenis kelas kata kata kerja cukup
sedikit. Tabel 5 di bawah ini, menunjukkan klasifikasi gairai-go dan katakana-
go dengan jenis kelas kata kata kerja.

Tabel 5 menunjukkan gairai-go dan katakana-go dalam kelas kata sebagai kata
kerja.

No Pamflet CM

Gairai-go Gairaigo

16 3

Pada tabel 5 di atas dapat kita lihat bahwa, hanya menemukan satu jenis
katakana-go dalam bentuk kelas kata kata kerja, yaitu 「ハマる, “hamaru”
」 = Candu. Penulisan kata kerja katakana-go ini cukup berbeda karena

85
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

adanya pencampuran penulisan antara hiragana dan katakana. Pada data


catchphrase yang dikumpulkan terdapat total 19 buah kata gairaigo, dengan
pembagian 16 buah kata dalam media pamflet dan 3 kata gairai-go dalam
bentuk iklan CM. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan gairai-
go dengan jenis kelas kata kata kerja sangat sedikit. Hal ini disebabkan gairai-
go pada umumnya digunakan pada kelas kata-kata benda.
Berdasarkan dari tabel 5 di atas juga kita dapat melihat 2 buah kata kerja
bentuk gairai-go yang paling banyak digunakan adalah 「サポート, “sapo-
to”」= Support dan 「カバー, “Kaba-“」= Cover dengan masing-masing
penggunaan sebanyak 3 buah kata.
4.3.3. Klasifikasi Kelas Kata kata sifat untuk gairai-go dan katakana-go
Tabel 6 dibawah ini menunjukkan klasifikasi kata sifat bentuk i-keiyoushi
dan na-keiyoushi.
Tabel 6 klasifikasi kelas kata kata sifat untuk gairai-go dan katakana-go

No Pamflet CM

Gairai-go Katakana-go Katakana-go

1 2 5

Jika dilihat dalam tabel 6 di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan


gairai-go dan katakana-go dengan jenis kelas kata kata sifat sangat sedikit
bahkan jika dibandingkan dengan kata kerja. Dalam media iklan pamflet
ditemukan hanya satu kata sifat gairai-go yaitu 「ハ—ド」= Hard dan tidak
ditemukan dalam media commercial message (CM). Sedangkan untuk kata
sifat jenis katakana-go, dapat dilihat total penggunaan untuk kedua jenis
media iklan kosmetik tersebut sebanyak 7 kata dengan penggunaan kata sifat
dengan urutan terbanyak adalah kata 「キレイ, “kirei”」= cantic sebanyak
4 kali, 「プレシャス , “Pureshasu”」= Berharga sebanyak 2 kali, diikuti
masing-masing 1 buah kata sifat 「ズルイ, “Zurui”」= licikdan 「カワイイ,
“Kawaii”」= lucu. Hal ini dapat disimpulkan bahwa, pada iklan kosmetik
jarang menggunakan kelas kata kata sifat untuk gairai-go dan katakana-go.

86
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Jika dilihat dari penggunaan kata sifat pada iklan produk kosmetik, dapat
disimpulkan bahwa kebanyakan kata sifat ini digunakan untuk menegaskan
suatu kalimat atau catchphrase. Selain itu, fenomena penggunaan katakana-
go untuk kedua jenis kata sifat 「キレイ, “Kirei”」= cantik「カワイイ
“Kawaii”」= lucu sering juga ditemukan tidak hanya pada sebuah iklan. Hal
ini juga diasumsikan bahwa adanya pergeseran penulisan dengan bentuk
katakana yang berfungsi untuk simplifikasi. Diperlukan adanya penelitian
lebih jauh lagi mengenai penggunaan 「キレイ, “Kirei” 」= cantic,「カワイ
イ “Kawaii” 」= lucu sebagai Katakana-go yang berfungsi sebagai simplifikasi.
Akan tetapi fenomena katakana-go muncul tidak hanya dalam penggunaan
produk iklan saja.

4.3.4. Klasifikasi Kelas Kata onomatope untuk gairai-go dan katakana-go


Di dalam media iklan kosmetik berbentuk commercial message dan
pamflet ini, ditemukan juga bentuk kelas kata onomatope dalam bentuk
katakana-go. Tabel 7 di bawah ini menunjukkan penggunaan katakana-go
yang ditemukan dalam catchphrase dalam iklan kosmetik.
Tabel 7 klasifikasi kelas kata onomatope untuk gairai-go dan katakana-go

No Pamflet CM

Katakana-go Katakana-go

6 3

Di dalam penggunaan onomatope bahasa Jepang, penulisan banyak


menggunakan katakana, dan bukan merupakan kata serapan. Total
ditemukan 9 buah kata onomatope dalam iklan kosmetik bentuk commercial
message (CM) dan bentuk pamflet. Penggunaan jenis onomatope dalam
catchphrase ini juga cukup sedikit ditemukan. Akan tetapi dapat kita
simpulkan bahwa pada catchphrase produk iklan kosmetik juga
menggunakan onomatope yang diasumsikan untuk menarik perhatian
kustomer.

87
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

5. Kesimpulan
Penggunaan gairai-go dan katakana-go pada catchphrase dalam produk
iklan kosmetik dapat disimpulkan cukup banyak. Selain itu, frekuensi
penggunaan gairai-go dan katakana-go dengan kelas kata kata benda sangat
tinggi. Temuan ini dimungkinan berbeda jika dibandingkan dengan data lain
atau jenis iklan produk lain. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai hal ini.
Selain itu, penulis menemukan beberapa gairai-go berikut ini yang
kemunculannya cukup tinggi di dalam bidang kosmetik. Contohnya seperti
kata 「オイル “oiru”」= minyak「ケア “kea”」= care「オーラ “o-ra”」=
aura「メイク “meiku”」=riasan,「クリーム “kuri-mu”」=cream「マスク
“masuku”」= masker「カバー “kaba-“」= cover dan lainnya. Gairai-go
tersebut dapat disimpulkan sebagai kata-kata khusus pada produk kosmetik.
Kemudian, ditemukan juga penggunaan katakana-go dalam catchphrase
iklan kosmetik seperti 「ハリ “hari”」=bersinar「シミ “Shimi”」=flek「ツ
ヤ “Tsuya” 」 =mengkilap dan lainnya. Ketiga katakana-go tersebut
merupakan istilah yang sering muncul dalam data catchphrase pada iklan
kosmetik. Kata-kata tersebut sengaja ditulis dalam huruf katakana yang
dimaksudkan untuk menjadi pusat perhatian, karena salah satu fungsi
catchphrase adalah membuat konsumen merasa tertarik pada produk
tersebut.
Adapun frekuensi kemunculan kelas kata di dalam catchphrase iklan
kosmetik adalah bentuk kata benda yang melampaui 80% lebih dari jumlah
data yang ditemukan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini
yaitu gairai-go dan katakana-go dalam catchphrase iklan produk kosmetik,
kelas kata yang paling umum adalah bentuk kata benda. Kami juga
menemukan tidak hanya penggunaan gairai-go dan katakana-go saja tapi,
penggunaan campuran antara gairai-go dengan bentuk kanji ataupun
katakana-go dengan bentuk kanji, walaupun secara kuantitas cukup sedikit.
Beberapa contoh bentuk campuran yang ditemukan dalam iklan kosmetik
adalah seperti 「かたつむりエキス “Katasumuri Ekisu”」= ekstrak siput、
「カサつく “Kasatsuku”」= kering dan lainnya. Kata-kata ini hanya dapat
ditemukan sebagai kata khusus pada iklan-iklan kosmetik.
Data penelitian ini, peneliti batasi hanya meneliti enam buah merk
terkenal Jepang seperti “Shiseido”, “Dr. CIlabo”, “Kose”, “Kanebo”, “Sofina”,

88
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

dan “SK II”. Dengan pertimbangan, keenam produk kosmetik Jepang tersebut
sering kita lihat di media iklan seperti iklan televisi seperti commercial
message (CM) maupun media cetak. Dapat dilihat bahwa penggunaan gairai-
go dan katakana-go dilakukan secara mengglobal dan mempunyai
keseragaman dalam pemakaian penulisan dan jenis. Keseragaman
penggunaan penggunaan gairai-go dan katakana-go di sini penulis
asumsikan selain untuk simplifikas penulisan, penggunaan gairai-go dan
katakana-go juga untuk menampilkan kemutakhiran atau untuk terlihat
mewah.
Data penelitian ini, tentunya hanya memfokuskan pada iklan kosmetik.
Jika ditinjau dari segi linguistik yaitu klasifikasi kelas kata, penulis
menemukan penggunaan kata benda yang sangat banyak dibandingkan kelas
kata lain. Sebagai pertimbangan untuk penelitian selanjutnya, bentuk gairai-
go dan katakana-go yang ditemukan pada penelitian ini bisa dikaji dari segi
semantik, dikarenakan adanya kemungkinan perbedaan makna antara
gairai-go bahasa Jepang dengan makna dalam kata aslinya dalam bahasa
asing. Selain itu, klasifikasi secara detail asal kata gairai-go juga cukup
menarik untuk dianalisis. Terakhir, pembentukan bentuk campuran yang
tidak banyak ditemukan kali ini belum mendapatkan penjelasan dan analisis
yang lebih mendalam. Sehingga terbuka kesempatan untuk melakukan
kajian lanjutan.

Catatan
1
KBBI: onomatope adalah kata tiruan bunyi

Referensi
池上嘉彦(1982)『言葉の詩学』岩波書店

北澤尚(2016)「広告キャッチコピーにおける破格の表現についての一考察」
『東京学芸大学紀要(人文社会科学系)』(Ⅰ)(67),pp.35-48.

後藤いく子(2000)「現代日本語における英語からの借用語の現状」『東
海女子短期大学紀要』26, pp. 57-71

89
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

呉本彰子・赤岡仁之(2007)「広告コピーの解釈多元性に関する研究983え
――美容関連製品のキャッチコピーをケースにして――」『武庫川
女子大学紀要(人文・社会科学)』(55), pp.99-105.

呂晶(2013)「広告表現の語用論的機能に関する一考察:平述文を中心に」『
北海道大学研究論集』(13),pp.271-283.

呂晶(2016)「広告における非述定文に関する一考察:統語語用論の観点から
」『北海道大学研究論集』(15),pp.161-178.

渡辺(1985)「広告に使われる語彙の日米比較」『産業経営』(11).早稲田大学
産業経営研究所,」pp.119-136.

Collins, Robert J. (1992). Japan-think Ameri-think. New York: Penguin.

Referensi Website

http://www.shiseido.co.jp/ (Last view on 26 Desember 2016)


http://www.ci-labo.com/ (Last view on 27 Desember 2016)
https://www.kose.co.jp/jp/ja/index.html ( Last view on 27 Desember
2016)
http://www.kanebo-cosmetics.co.jp/ (Last view on 28 Desember 2016)
http://www.sofina.co.jp/ (Last view on 28 Desember 2016)
http://www.sk-ii.jp/ja/index.aspx (Last View on 29 Desember 2016)
https://kbbi.web.id/onomatope (last view on 14 October 2019)

90
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Upaya Modernisasi Sebelum Era Modernisasi di Jepang


Restorasi Meiji Sebagai Hasil Kesepakatan Nasional

Susy Ong

Abstract
Meiji Restoration, or the regime change in 1868, is generally regarded as the starting
point of the modernization process in Japan, when the conservative government
(Tokugawa regime, or Bakufu) hostile to the West (or modernity) was replaced by
Meiji government which was most aggressive in learning from the West, and
succeeded in modernize Japan. However, those who hold this historical view simply
neglected the era of change predating Meiji Restoration, i.e. the Bakumatsu era,
1853-1868. In this paper, I will focus on Bakumatsu era and discuss about Bakufu’s
efforts to send students, legally, to European countries; and local governments in
southern Japan (Satsuma and Choshu), while attacking Bakufu with the slogan
‘Sonno Joi’ (respect the emperor, expel the barbarians), also sent students to Europe
and America, illegally, for studies. After the change of regime in 1868, those former
Bakufu students, together with those formerly sent abroad illegally for study,
worked together to promote the modernization in Japan. I argue that we should
stop consider Bakufu as a conservative regime vis a vis Meiji regime, and realize that
the slogan Sonno Joi is fallacious; and thus, putting more emphasis on the process
rather than the result of Japan’s modernization.

Keywords: modern education before modern era, Bakumatsu, modern education


by Bakufu, the fallacy of Sonno Joi

Pendahuluan
Restorasi Meiji tahun 1868 sering kali dinilai sebagai titik awal
modernisasi Jepang, dengan argumen bahwa pada tahun tersebut terjadi
pergantian pemerintahan, dari rezim Tokugawa yang anti Barat dan tertutup,
ke pemerintahan aliansi Satsuma-Choshu (pemerintahan lokal di selatan
Jepang) yang proaktif belajar dari Barat1.
Hal ini merupakan versi pemerintahan Meiji (dan pemerintah Jepang
sekarang) untuk me-legitimasi tindakan mereka merebut kekuasaan dari

91
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Bakufu2, sekaligus mengklaim keberhasilan pembangunan ekonomi, industri


dan militer Jepang pasca restorasi Meiji sebagai jasa dari pemerintahan Meiji.
Namun pada kenyataan, di antara tokoh-tokoh penting dalam
pemerintahan Meiji, justru terdapat sejumlah mantan petinggi Bakufu, yang
sudah berulang kali dikirim oleh Bakufu ke Eropa dan Amerika, untuk tugas
belajar dan atau sebagai anggota delegasi diplomatik. Begitu pula dengan
para pemimpin tertinggi pemerintahan Meiji, yang sebelum tahun 1868
gencar menyerang Bakufu dengan slogan ‘sonno joi’ (menjunjung tinggi
kaisar dan mengusir orang barbar/ Eropa), tapi pada waktu yang bersamaan
justru nekat3 berangkat ke Eropa untuk belajar.
Tulisan ini bertujuan memaparkan bahwa pergantian rezim yang kita
kenal sebagai Restorasi Meiji, dapat berjalan dengan mulus karena adanya
kesamaan persepsi antara para tokoh Tokugawa dengan tokoh Satsuma-
Choshu, bahwa Jepang sangat tertinggal dibanding negara-negara Barat
(Amerika dan negara-negara Eropa), dan bahwa Jepang harus berusaha
untuk maju, dimulai dengan membuka diri dan belajar dari negara-negara
Barat. Oleh karena itu, pertikaian antara rezim yang berkuasa dan ‘kubu
pemberontak’ relatif tidak signifikan, dan pergantian rezim dapat berjalan
yang mulus. Kesamaan persepsi tersebut dibangun oleh pengalaman yang
sama, yaitu pengalaman berkunjung ke Eropa. Dengan kata lain, keberhasilan
proyek modernisasi di Jepang pasca Restorasi Meiji, adalah karena adanya
SDM yang telah disiapkan sebelum Bakufu runtuh.

1. Bakufu Menerapkan Kebijakan Sakoku?


1.1 Bakufu Tidak Pernah Mengeluarkan Kebijakan Sakoku
Restorasi Meiji di tahun 1868 seringkalinya digambarkan sebagai
kekalahan rezim Tokugawa yang menjalankan kebijakan yang disebut sakoku
(secara harafiah artinya mengunci negeri), yaitu menutup diri terhadap
perkembangan dan kemajuan dunia.
Namun sebenarnya, Bakufu tidak pernah mengeluarkan kebijakan yang
diberi nama ‘sakoku.’ Pada awal abad ke-17, semua orang Portugis, termasuk
pedagang Portugis, diusir dari Jepang dengan tuduhan menyebarkan agama
Kristen (Katolik) dan mengancam pemerintahan Tokugawa; sedangkan
pedagang Belanda, yang hanya datang dengan tujuan berdagang, diizinkan
untuk mendirikan kantor dagang di sekitar kota Nagasaki di Jepang selatan,

92
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

namun dengan syarat hanya boleh berdagang dengan pemerintahan


Tokugawa. Sebagai imbalan atas izin dagang tersebut, Bakufu mewajibkan
kepala kantor dagang Belanda di Nagasaki untuk menyusun dan
menyampaikan laporan tahunan mengenai perkembangan dunia. Laporan
tersebut disebut fusetsusho (風説書 ). Melalui Fusetsusho, Bakufu dapat
mengetahui perkembangan dunia dan mengambil keputusan diplomatik.
Misalnya, pedagang Inggris sebelumnya tidak dilarang untuk berdagang
dengan Jepang. Namun, melalui fusetsusho, Bakufu memperoleh informasi
bahwa raja Inggris Charles II, pada tahun 1662 telah menikah dengan putri
Catherine dari Braganza (Portugal) yang beragama Katolik. Pada tahun 1673,
pedagang Inggris datang ke Nagasaki dan minta izin untuk berdagang dengan
Jepang, namun ditolak oleh Bakufu dengan alasan Jepang menolak
berdagang dengan negara yang memiliki relasi Katolik. Selain pedagang
Belanda, para pedagang Cina dan Korea juga diizinkan berdagang dengan
Jepang, karena kedua negara tersebut tidak ada kaitannya dengan kekuatan
Katolik4.

1.2 Sakoku, Istilah yang Diciptakan oleh Penerjemah


Sejak awal abad ke-17, Bakufu hanya mengizinkan pedagang Belanda
untuk berdagang dengan Jepang (bakufu) dan menetap di Nagasaki. Di dalam
rombongan pedagang Belanda tersebut, ada sejumlah personel orang
Jerman. Pada tahun 1690-92, seorang dokter Jerman, Engelbert Kampfer
(1651-1715), pernah bertugas di kantor dagang Belanda di Nagasaki. Selain
Jepang, Kampfer pernah berkunjung ke sejumlah negeri di Asia. Setelah
kembali ke Jerman, ia menulis buku tentang negeri-negeri Asia yang pernah
dikunjunginya. Buku tersebut ditulis dalam bahasa Latin, dengan judul
Amoenitatum Exoticarum (Perjalanan ke Negeri-Negeri yang Eksotik).
Abad ke 15-16 adalah era pergolakan di Eropa, antara kekuatan Katolik
dengan kekuatan Protestan. Negeri Jerman pun terlibat dalam peperangan
yang menyengsarakan kehidupan rakyat. Dengan latar belakang sejarah itu,
Kampfer justru melihat kebijakan Bakufu yang melarang perdagangan
dengan negeri asing sebagai kebijakan yang menjamin perdamaian negeri
dan ketentraman hidup rakyat Jepang.

93
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Bab yang membahas mengenai Jepang, diberi judul “Regnum Japoniae


optima ratione, ab egress civium, & exterarum gentium ingressu
&communion, clausum (Jepang yang melarang rakyatnya pergi ke luar negeri
dan melarang orang asing datang ke Jepang, melarang perdagangan dan
menutup negeri, berdasarkan pemahaman yang terbaik)”5.
Pada tahun 1727, sebagian dari isi buku tersebut, termasuk bab
tentang Jepang, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Johann Caspar
Scheuchzer. Bab yang membahas tentang kebijakan Bakufu yang melarang
orang asing (Eropa) masuk ke Jepang dan melarang orang Jepang untuk pergi
ke luar negeri, diberi judul “An enquiry, whether it be conductive for the good
of the Japanese empire, to keep it shut up, as it now is, and not to suffer its
inhabitants to have any commerce with foreign nations, either at home or
abroad”6.
Buku tersebut kemudian juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda,
dan menarik perhatian Bakufu. Pada akhir abad ke-18, Bakufu
memerintahkan Shizuki Tadao, seorang penerjemah pemerintah, untuk
menerjemahkan buku tersebut. Shizuki mengambil inisiatif untuk tidak
menerjemahkan judul bab tersebut secara harafiah, tetapi menggunakan
istilah yang ia ciptakan sendiri, yaitu sakoku-ron (sa=mengunci; koku=negeri;
ron=argumen).
Hasil terjemahan tersebut diajukan ke Bakufu pada tahun 1801.
Ternyata kemudian Bakufu malah menjadi yakin bahwa kebijakan yang
selama ini dijalankan adalah kebijakan sakoku, dan merasa wajib untuk
mempertahankannya7.

2. Upaya Bakufu untuk Membangun Sumber Daya Manusia


2.1 Akademi Angkatan Laut modern di Nagasaki, 1855-1859
Setelah dipaksa di bawah todongan meriam untuk menandatangani
perjanjian persahabatan dengan Amerika pada tahun tahun 1854, Bakufu
segera minta bantuan pemerintah Belanda, melalui kepala kantor dagang
Belanda di Nagasaki, agar membantu Jepang mendidik SDM dan membangun
angkatan laut.
Permintaan tersebut segera disanggupi oleh raja Belanda. Pada tahun
1855, rombongan instruktur ilmu angkatan laut dari Belanda tiba di Nagasaki,

94
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

untuk memberi pendidikan mengenai ilmu pengetahuan modern terkait


angkatan laut, kepada murid-murid Jepang yang mendapat tugas belajar dari
Bakufu maupun pemerintahan lokal di sekitar Nagasaki.
Sekolah tersebut berjalan hingga tahun 1859, ketika Bakufu
memutuskan untuk memindahkannya ke Edo (ibu kota) dan para murid hasil
didikan instruktur Belanda tersebut diangkat sebagai instruktur. Tindakan
tersebut diambil untuk menghemat pembayaran honor para instruktur
Belanda dan honor para interpreter orang Jepang (ファン・カッテンディ
ーケ著、水田信利訳『長崎海軍伝習所の日々』平凡社、1994).

2.1 Pengiriman Pelajar ke Eropa


Bakufu menyadari bahwa untuk modernisasi Jepang, diperlukan SDM
di berbagai bidang. Setelah melakukan persiapan, pada tahun 1862,
rombongan yang terdiri dari 15 orang pelajar berangkat ke Belanda. Mereka
ditugaskan untuk belajar ilmu-ilmu sosial, ilmu kedokteran serta ilmu
pengetahuan modern lainnya. Selanjutnya, pada tahun 1865 dan 1866,
berturut-turut dikirimkan 7 pelajar ke Rusia dan 14 pelajar ke Inggris dan 10
pelajar ke Perancis.
Tidak lama setelah mereka kembali dari studi di Belanda, terjadi
pergantian kekuasaan di Jepang, yang dikenal dengan sebutan Restorasi
Meiji; pemerintahan baru melakukan modernisasi=westernisasi secara
besar-besaran. Para mantan pelajar yang mendapat tugas belajar dari
Bakufu, menjadi tulang punggung dari proyek modernisasi tersebut, karena
ilmu pengetahuan mereka sangat dibutuhkan (「江戸時代の日蘭交流 6
. 幕 末 オ ラ ン ダ 留 学 生 」 https://www.ndl.go.jp/nichiran/s2/s2_6.html
(di-akses tanggal 10 Agustus 2019).

3. Upaya Kelompok Oposisi untuk Membangun Sumber Daya Manusia


Ketika Bakufu dipaksa menandatangani perjanjian dagang dengan
negara-negara Eropa pada tahun 1858, banyak penguasa lokal menentang,
dengan alasan bahwa datangnya orang asing (Eropa) menodai kesucian
negeri Jepang. Slogan yang mereka dengungkan adalah sonno joi (secara
harafiah artinya menjunjung tinggi kaisar dan mengusir orang barbar).

95
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Dua pemerintah lokal yang paling lantang dalam kampanye anti bakufu
adalah Satsuma di pulau Kyushu dan Choshu di bagian selatan pulau Honshu.

3.1 Pengiriman Pelajar ke Inggris dan Amerika oleh Satsuma


Pada tahun 1862, terjadi insiden bentrokan antara rombongan
penguasa Satsuma (sekarang: prefektur Kagoshima) dengan orang Inggris di
dekat Edo8. Bentrokan tersebut berlanjut menjadi bentrokan bersenjata di
mana Inggris mengirim armada yang terdiri dari 7 kapal perang dan
menyerang wilayah Satsuma (sekarang: prefektur Kagoshima). Dari
bentrokan tersebut, pihak Satsuma menyadari bahwa Inggris terlalu kuat;
percuma menantang Inggris untuk adu kekuatan; lebih baik berteman
dengan dan belajar dari Inggris9.
Tahun 1865, penguasa Satsuma menyetujui pembiayaan dan
pengiriman pelajar ke Inggris untuk menimba ilmu pengetahuan modern.
Karena Bakufu masih memberlakukan peraturan melarang orang Jepang
untuk keluar negeri (kecuali ada penugasan dari Bakufu), maka para pelajar
dari Satsuma harus berangkat secara illegal. Mereka menumpang kapal yang
disediakan oleh Thomas Glover, seorang pedagang Skotlandia yang mulai
berdagang di Nagasaki sejak 1859.
Rombongan yang terdiri dari 15 orang pemuda ini kuliah di University
College di London; mereka didampingi oleh 3 orang staf dan 1 orang
penerjemah. Mereka belajar ilmu sejarah, matematika, ilmu eksakta dan
sebagainya10. Setelah rombongan pertama berangkat ke Inggris, petinggi
Satsuma kembali merencanakan perjalanan studi ke Amerika. Karena
keterbatasan biaya, hanya 5 orang pemuda yang dipilih dan diberangkatkan.
Kepergian mereka ke Amerika difasilitasi oleh Samuel Robbins Brown,
seorang pendeta Amerika yang bertugas sebagai guru bahasa Inggris di
Yokohama. Ketika mereka tiba di Amerika, ternyata ada 6 orang pelajar
Satsuma yang sebelumnya dikirim ke Inggris, sudah pindah ke Amerika. Atas
bantuan Samuel Robbins Brown, mereka diterima dan belajar di alma mater
Brown di Massachussetts (森孝晴「長澤鼎、アメリカに生きる ニュ
ーヨーク州からカリフォルニア州へ」『国際文化学部論集』(鹿児
島国際大学)第 18 巻第 3 号(2017 年 12 月)).

96
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

3.2 Choshu Five


Choshu (sekarang: prefektur Yamaguchi) di tahun 1860an merupakan
wilayah yang paling anti asing (=anti kebijakan Bakufu yang mengizinkan
perdagangan dengan negara-negara Eropa dan Amerika). Tapi ternyata
pemimpin Choshu justru juga mengirim dan membiayai para 5 pemuda untuk
studi ke Inggris pada tahun 1863, lebih awal daripada rombongan Satsuma.
Sama seperti para pelajar dari Satsuma, mereka harus menyelundup
keluar dari Jepang dengan kapal asing. Di Inggris, mereka belajar di University
College di London. Ketika mendengar kabar bahwa Choshu sedang siap-siap
berperang dengan pasukan gabungan 4 negara Eropa, 2 di antara pelajar di
Inggris, yaitu Ito Hirobumi dan Inoue Kaoru, segera kembali ke Jepang untuk
persuasi, menyakinkan pimpinan Choshu bahwa berperang dengan negara-
negara Eropa tidak mungkin menang.

4. Pejabat Meiji di Eropa dan Amerika


Pergantian rezim pada tahun 1868, tidak menimbulkan resistensi
berarti dari para mantan pejabat Bakufu. Ini adalah karena banyak di antara
mereka telah berkesempatan untuk berkunjung ke Eropa dan Amerika,
menyaksikan langsung kemajua negara-negara tersebut, dan sekaligus
menyadari betap Jepang tertinggal; dan karena itu, mereka sependapat
bahwa Jepang harus membuka diri, dan berubah.

4.1 Misi ke Amerika


Pada tahun 1858, Bakufu menandatangani perjanjian perdagangan
dengan 5 negara, termasuk Amerika. Pada tahun 1860, Bakufu mengirim misi
ke Amerika untuk menyerahkan dokumen perjanjian yang telah diratifikasi.
Ini merupakan misi pertama Bakufu ke luar negeri.
Misi ini beranggotakan 77 orang; para pejabat tinggi menumpang kapal
perang Amerika, Powhatan. Untuk mengantisipasi jika terjadi kecelakaan
pada Powhatan, kapal uap Kanrinmaru, yang baru dibeli oleh Bakufu dari
pemerintah Belanda, juga dikerahkan. Ini juga merupakan kesempatan
pertama bagi para mantan pelajar di Akademi Angkatan Laut Nagasaki, untuk
mempraktekkan ilmu yang telah mereka pelajari dari instruktur Belanda.

97
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Selama kunjungan sekitar 3 bulan di berbagai kota di Amerika, para


pejabat Jepang, baik pusat maupun daerah, benar-benar sadar akan
dahsyatnya kesenjangan peradaban antara Jepang dengan Amerika. Mereka
semakin terpacu untuk membangun SDM melalui pendidikan.

4.2 Misi ke Eropa


Pada tahun 1858, Bakufu menandatangani perjanjian perdagangan
dengan 5 negara Barat (Inggris, Amerika, Belanda, Perancis dan Rusia);
setelah itu, perjanjian yang sama juga ditandatangani dengan pemerintah
Portugsi (1860) dan Prusia (1861). Berdasarkan perjanjian tersebut,
pelabuhan dan kota di Jepang akan dibuka untuk orang asing untuk
berdagang dan menetap. Berita ini memicu kegelisahan sosial serta sentimen
anti pemerintah. Untuk meredam gejolak tersebut, pada tahun 1862, Bakufu
mengutus misi ke Eropa, dengan tujuan negosiasi dengan pemerintah
Belanda, Inggris, Perancis, Prusia (sekarang menjadi Jerman) dan Portugis
untuk menunda pelaksanaan perjanjian tersebut.
Delegasi ini beranggotakan 38 orang, berangkat ke Eropa dengan
menumpang kapal uap milik angkatan laut Inggris, Odin. Perundingan kurang
berhasil, karena negara-negara Eropa bersikeras menuntut hak untuk
berdagang di Jepang, sesuai dengan kesepakatan di dalam perjanjian.
Namun, para anggota misi ini berkesempatan memperluas wawasan selama
di Eropa, terutama di Inggris. Mereka berkunjung ke Expo London, gedung
parlemen, istana Buckingham, Museum Britania Raya, Kantor Telegram,
pabrik senjata angkatan laut, galangan kapal, pabrik senapan dan sebagainya,
serta meninjau sistem perkeretaapian di Inggris (「1862 年第 2 回ロンドン
万 博 日 本 人 が は じ め て 見 た 万 博 」
https://www.ndl.go.jp/exposition/s1/1862-1.html (di-akses 21 Agustus
2019).

4.3 Delegasi Perundingan ke Eropa, tahun 1864


Sejak pelabuhan di Jepang dibuka untuk perdagangan dengan luar
negeri, berulang kali terjadi kerusuhan anti pemerintah dan serangan
terhadap orang asing. Oleh karena itu, pada tahun 1864, Bakufu mengirim
delegasi perundingan ke Eropa, dengan tujuan meminta persetujuan agar

98
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

pelabuhan dagang utama di Jepang waktu itu, Yokohama, dinyatakan


tertutup bagi pedagang asing.
Negara pertama yang dikunjungi adalah Perancis, karena delegasi
tersebut juga mengemban tugas negosiasi dengan pemerintahan Perancis
terkait ganti rugi untuk perwira Perancis yang dibunuh oleh gerombolan
preman Jepang beberapa waktu yang lalu.
Selama di Perancis, para anggota delegasi menyadari betapa
tertinggalnya Jepang dibandingkan dengan Perancis, dan bahwa jika Jepang
ingin maju, maka harus proaktif membuka diri terhadap dunia Barat. Oleh
karena itu, mereka merasa tidak perlu mendatangi negara lain untuk
negosiasi, dan dari Perancis, mereka langsung pulang 11.

4.4 Expo Paris, tahun 1867


Pada tahun 1867, Bakufu menerima surat undangan dari Kaisar
Napoleon III dari Perancis, untuk ikut serta dalam pameran di Expo Paris.
Dalam menjawab undangan tersebut, terjadi persaingan antara Bakufu
dengan 2 pemerintah lokal yang paling berpengaruh di Jepang waktu itu,
yaitu Satsuma dan Saga. Akhirnya, delegasi Jepang diwakili oleh 3 kelompok,
yang masing-masing menamakan diri ‘pemerintahan Kanto,’ ‘pemerintahan
Satsuma’ dan ‘pemerintahan Saga.’
Delegasi dari Jepang dipimpin oleh adik kandung dari Shogun
Tokugawa Yoshinobu, yaitu Tokugawa Akitake. Mereka berhasil mencuri
perhatian para pengunjung dengan kerajinan tangan Jepang, yang terkesan
eksotik bagi orang Eropa (「1867 年第 2 回パリ万博 万博にも娯楽を」
https://www.ndl.go.jp/exposition/s1/1867.html (di-akses 22 Agustus 2019)).

5. Ketersediaan SDM Unggul Menjelang Restorasi Meiji


Restorasi Meiji menandai peralihan pemerintahan, dari Bakufu ke
pemerintahan baru yaitu aliansi Satsuma-Choshu. Pemerintahan baru
menghadapi ancaman penjajahan oleh kekuatan Barat (terutama secara
ekonomi)12 dan rendahnya kualitas SDM. Di akhir era Meiji (1912), Jepang
telah menjadi negara industri, bukan hanya bebas dari ancaman penjajahan,
tetapi sudah memiliki tanah jajahan (pulau Taiwan, semenanjung Korea, dan
secara de facto, wilayah Manchuria di Cina Utara). Tingkat literasi untuk
rakyat usia muda juga meningkat tajam, ditandai dengan partisipasi sekolah

99
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

dasar (waktu itu lama studi 4 tahun) mencapai 100% (斉藤泰雄(国立教育


政策研究所)「初等義務教育制度の確立と女子の就学奨励 日本の
経験」広島大学教育開発国際協力研究センター『国際教育協力論集
』 第 13 巻 第 1 号 ( 2010 ) 、 41 - 55 頁 ( https://home.hiroshima-
u.ac.jp/cice/wp-content/uploads/2014/02/13-1-04.pdf di-akses 25
Agustus 2019).
Di antara tokoh-tokoh berpengaruh di era Meiji, tercatat sejumlah
mantan pejabat Bakufu yang pernah belajar ke Eropa, yaitu:

1. Enomoto Takeaki, menjabat Menteri Pertanian dan Perdagangan,


Menteri Pendidikan dan Menteri Luar Negeri
2. Tsuda Mamichi, hakim agung pada pengadilan tinggi dan pejabat
tinggi di Kementerian Luar Negeri
3. Nishi Amane, tokoh yang paling berjasa memperkenalkan filsafat
Barat di Jepang (sekaligus pencipta istilah bahasa Jepang untuk
padanan istilah filfasat Barat)
4. Toyama Masakazu, rektor Universitas Imperial Tokyo dan menteri
Pendidikan
5. Hayashi Tadasu, Menteri Luar Negeri, berjasa dalam mewujudkan
aliansi Jepang-Inggris; Kikuchi Dairoku, ahli matematika terkemuka di
Jepang.

Shibusawa Eiichi, yang dijuluki sebagai peletak pondasi sistem


kapitalisme di Jepang, karena telah membantu mendirikan lebih dari 500
perusahaan, adalah mantan pejabat Bakufu yang ikut dalam delegasi ke Expo
Paris di tahun 1867. Demikian pula Fukuzawa Yukichi, tokoh yang paling
berpengaruh di Jepang dalam menanamkan semangat untuk maju dan
berubah, adalah anggota delegasi Bakufu ke Amerika (1860) dan ke Eropa
(1862) (門松秀樹『明治維新と幕臣 「ノンキャリア」の底力』中公
新書新社、2014).
Para penentang Bakufu, yang pernah mendengungkan slogan anti
asing, tapi sebenarnya diam-diam justru nekad pergi ke Eropa untuk belajar,
juga berhasil mengembangkan karir berkat pengalaman studi di Eropa.
Beberapa di antaranya adalah seperti yang tertera di bawah ini:

100
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Mantan pejabat atau pelajar yang dikirim oleh Satsuma:

1. Godai Tomoatsu, pengusaha nasional, pendiri bursa saham Osaka dan


kamar dagang dan industri Osaka
2. Mori Arinori, Menteri Pendidikan yang pertama, salah seorang dari 6
tokoh pendidikan terkemuka di Jepang
3. Terashima Munenori, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pendidikan
4. Yuji Sadamoto, pengusaha yang berhasil membudidayakan kentang di
pulau Hokkaido.
5. Asakura Moriaki, tokoh penting dalam modernisasi industry
pertambangan di Jepang
6. Yoshihara Shigetoshi, gubernur bank sentral Jepang (Bank of Japan)
yang pertama
Mantan pelajar yang dikirim oleh Choshu:

1. Ito Hirobumi, perdana menteri Jepang yang pertama


2. Inoue Kaoru, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pertanian dan Perdagangan dan Menteri Luar Negeri
3. Yamao Yozo, Menteri Perindustrian
4. Inoue Masaru, berjasa dalam pengembangan sistem perkeretaapian
di Jepang sehingga dijuluki Bapak perkeretaapian Jepang
5. Endo Kinsuke, tokoh yang mempelopori usaha percetakan uang
negara di awal era Meiji13.

Kesimpulan
Dengan menelaah peristiwa-peristiwa di Jepang selama dekade
menjelang tahun 1868, kita dapat menyimpulkan bahwa Restorasi Meiji
bukan semata-mata suatu peristiwa sejarah, tetapi konsekuensi dari
tindakan-tindakan yang diambil selama sekitar satu dekade sebelumnya, baik
oleh pemerintah (Bakufu) maupun kubu anti pemerintah. Baik Bakufu
maupun kubu anti Bakufu sama-sama menyadari bahwa Jepang sangat
tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan Amerika, dan
ketertinggalan tersebut hanya dapat dikejar melalui pembinaan SDM,
dengan cara mengirim para pemuda Jepang ke negara-negara Eropa untuk
belajar.

101
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Fakta ini sekaligus mematahkan argumen bahwa Bakufu bersikap


konservatif dan tertutup terhadap kemajuan dunia, bertolak belakang
dengan pemerintahan Meiji yang antusias untuk belajar dari Barat. Bahwa
terdapat banyak tokoh nasional pendorong modernisasi pasca Restorasi
Meiji adalah mantan pelajar yang dikirim oleh Bakufu untuk studi di Eropa,
membuktikan kontribusi rezim sebelum Restorasi Meiji terhadap
keberhasilan modernisasi Jepang.
Sebelum Restorasi Meiji, kubu Satsuma dan Choshu sebagai kekuatan
anti Bakufu, gencar mendengungkan slogan anti asing (Sonno Joi),
mengecam Bakufu karena mengizinkan orang asing berdagang di Jepang,
ternyata diam-diam mereka justru mengirim para pemuda ke Eropa untuk
studi. Ini membuktikan bahwa slogan Sonno Joi adalah omong kosong belaka.
Setelah berhasil menjatuhkan Bakufu dan mendirikan pemerintahan baru di
tahun 1868, pemerintahan baru berhasil menjalankan proyek modernisasi
dengan cukup lancar, karena para pemimpin sudah dipersiapkan
sebelumnya, dengan studi di Eropa.
Dengan demikian, terlihat jelas adanya kesinambungan antara periode
sebelum dan sesudah Restorasi Meiji; para pemimpin nasional yang menjadi
pengambil keputusan di era Meiji, adalah mereka yang telah dipersiapkan
sebelum era Meiji, melalui pendidikan di negara-negara Eropa, sehingga
memiliki wawasan dan kompetensi dalam membangun negara Jepang
modern.
Baik Bakufu maupun kubu anti Bakufu ternyata memiliki persepsi yang
sama, yaitu bahwa Jepang sangat tertinggal dari negara-negara Barat, dan
oleh karena itu Jepang harus proaktif belajar dari Barat; persepsi tersebut
ditindak-lanjuti dengan mengirim para pemuda untuk belajar ke Eropa, agar
setelah kembali, mereka dapat memimpin proyek modernisasi Jepang. Fakta
sejarah ini menunjukkan bahwa modernisasi Jepang dimulai dari kesadaran
akan ketertinggalan negeri sendiri, dilanjutkan dengan tekad untuk maju
melalui belajar dari negara lain, dan setelah kembali dari studi di negara lain,
mengimplementasikan hasil studi ke dalam proyek modernisasi nasional.

102
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

Catatan Kaki:
1
I Ketut Surajaya. Pengantar Sejarah Jepang I. Jakarta, Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, 1993.
2
Bakufu adalah sebutan untuk pemerintahan yang berkedudukan di kota Edo (sekarang:
kota Tokyo) dan berlangsung sejak tahun 1603 sampai dengan tahun 1868. Selama
periode tersebut, negeri Jepang yang kita kenal sekarang (minus pulau Hokkaido di utara
dan kepulauan Okinawa di selatan) terbagi menjadi sekitar 250 Han (wilayah otonom),
namun semua Han tetap tunduk pada pemerintahan pusat di Edo. Jumlah Han sekitar
250, karena sepanjang periode tersebut, jika ada Han yang pemimpinnya membangkang
terhadap perintah Bakufu, atau ada Han yang mana pemimpinnya tidak ada ahli waris
(putra), maka Han tersebut akan diambil alih oleh Bakufu, sehingga jumlah Han
berkurang dari waktu ke waktu.
3
Bakufu menerapkan kebijakan melarang orang Jepang pergi ke luar negeri, kecuali utusan
pemerintah. Orang Jepang yang pergi ke luar negeri tanpa izin dari pemerintah, berarti
melakukan tindakan melawan hukum, dengan ancaman hukuman pidana.
4
相澤理「江戸幕府が鎖国していたという大きなウソ 歴史研究よりも一歩
早い「東大の日本史」(https://toyokeizai.net/articles/-/129161;diakses tanggal
1 Agustus 2019)
5
渡辺直樹「ケンペルの「……国を鎖している日本」論‐志筑忠雄訳「鎖国論」と
啓蒙主義ヨーロッパ」『宇都宮大学国際学部研究論集』2015 年、第 39 号、23 ペ
ージ
6
同上、25 ページ
7
大島明秀「『鎖国祖法』という呼称」熊本県立大学文学部『九州大学学術
情報リポジトリ』第 55 号、2010 年 4 月、29-34 ページ
8
Pada bulan September 1862, di daerah Namamugi (sekarang masuk kota
Yokohama) di dekat Edo (sekarang: kota Tokyo), iring-iringan petinggi Satsuma
berpapasan dengan 4 orang pedagang Inggris yang sedang plesir dengan naik
kuda. Pihak Satsuma memberi isyarat agar mereka turun dan kuda. Orang-orang
Inggris tersebut mengira diri mereka disuruh meminggir, sehingga mereka tidak
turun dari kuda. Ini dianggap menghina petinggi Jepang, sehingga 4 orang Inggris
tersebut diserang dan dilukai. Setelah mendapat laporan, pihak kedutaan Inggris
menuntut Satsuma untuk ganti rugi dan menghukum pelaku penyerangan.
9
Menanggapi insiden bentrokan di Namamugi (dalam sejarah Jepang dikenal sebagai
Insiden Namamugi (名麦事件), pada awal tahun 1863, Inggris mengirim armada
angkatan laut ke Kagoshima untuk menggempur Satsuma. Perlengkapan senjata Satsuma
jauh dari memadai, sehingga kalah telak. Dari kekalahan tersebut, para petinggi Satsuma
menyadari Inggris terlalu kuat untuk dilawan, dan sebaiknya bersekutu dengan Inggris

103
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020
agar bisa maju. Sejak itu, justru terjalin aliansi Satsuma-Inggris, yang berlanjut hingga
kerja sama untuk menjatuhkan rezim Bakufu. (Ian RUXTON. Ernest Satow’s Early Years in
Japan (1862-9) (Part 1)) https://core.ac.uk/download/pdf/147424251.pdf (di-akses 20
Agustus 2019)
10
http://nakanishi-shuppan.co.jp/murahashi-00/murahashi-03/ (di-akses 20
Agustus 2019)
11
‘Setelah tiba di pelabuhan Marseille, rombongan diantar ke hotel. Oleh staf hotel,
kami dipersilakan masuk ke kamar yang kecil sekali. Kami semua kesal, karena
merasa diremehkan. Tetapi begitu kami masuk kamar, pintu langsung ditutup, dan
ternyata kamar itu naik. Astaga! Ternyata itu elevator! Kami semua menangis
karena menyadari betapa besarnya kesenjangan ekonomi dan teknologi antara
Jepang dengan Eropa.’(米倉誠一郎『イノベーターたちの日本史 近代日本
の創造的対応』(Creative Response Entrepreneurial History of Modern Japan)東
洋経済新報社、2017、142-3 ページ)
12
Pada tahun 1858, Bakufu dipaksa menandatangani perjanjian perdagangan
dengan Amerika, Inggris, Perancis, Rusia dan Belanda. Menurut perjanjian-
perjanjian tersebut, pihak Jepang tidak berhak menetapkan bea masuk untuk
komoditas impor, dan orang asing (=Eropa dan Amerika) yang melakukan tindakan
criminal di Jepang, tidak boleh diadili oleh pihak yang berwenang di Jepang. Ini
berarti kedaulatan Jepang sebagai negara merdeka, dibatasi. Akibat ketentuan
mengenai bea masuk, produk dalam negeri Jepang menjadi sulit bersaing dengan
komoditas impor; hak kekebalan hukum pada warga negara asing, memaksakan
superioritas bangsa-bangsa Barat, yang merupakan ciri khas negeri jajahan.
13
「英国へ渡った幕末留学生たち 長州ファイブと薩摩スチューデント」
http://www.news-digest.co.uk/news/features/10582-choshu-five-and-satsuma-
students.html (di-akses 28 Agustus 2019)

Daftar Pustaka
Literatur dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
1. I Ketut Surajaya. Pengantar Sejarah Jepang I. Jakarta, Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1993
2. Ian RUXTON. Ernest Satow’s Early Years in Japan (1862-9) (Part 1)
(Received November 29, 1996.

104
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

https://core.ac.uk/download/pdf/147424251.pdf (di-akses 20
Agustus 2019)
Literatur dalam bahasa Jepang

1. 相澤理「江戸幕府が鎖国していたという大きなウソ 歴史研
究よりも一歩早い「東大の日本史」
(https://toyokeizai.net/articles/-/129161;diakses tanggal 1 Agustus
2019)
2. 渡辺直樹「ケンペルの「……国を鎖している日本」論-志筑忠雄
訳「鎖国論」と啓蒙主義ヨーロッパ」『宇都宮大学国際学部
研究論集』2015 年、第 39 号
3. 大島明秀「『鎖国祖法』という呼称」熊本県立大学文学部『
九州大学学術情報リポジトリ』第 55 号、2010 年 4 月
4. ファン・カッテンディーケ著、水田信利訳『長崎海軍伝習所
の日々』平凡社、1994
5. 「 江 戸 時 代 の 日 蘭 交 流 6 . 幕 末 オ ラ ン ダ 留 学 生 」
https://www.ndl.go.jp/nichiran/s2/s2_6.html (di-akses tanggal 10
Agustus 2019)
6. 森孝晴「長澤鼎、アメリカに生きる ニューヨーク州からカ
リフォルニア州へ」『国際文化学部論集』(鹿児島国際大学
)第 18 巻第 3 号(2017 年 12 月)
7. 「 薩 摩 藩 派 遣 英 国 留 学 生 」 http://nakanishi-
shuppan.co.jp/murahashi-00/murahashi-03/ (di-akses 20 Agustus
2019)
8. 「1862 年第 2 回ロンドン万博 日本人がはじめて見た万博」
https://www.ndl.go.jp/exposition/s1/1862-1.html (di-akses 21
Agustus 2019)
9. 米倉誠一郎『イノベーターたちの日本史 近代日本の創造的
対応』(Creative Response Entrepreneurial History of Modern Japan)
東洋経済新報社、2017
10. 「 1867 年 第 2 回 パ リ 万 博 万博にも娯楽を」
https://www.ndl.go.jp/exposition/s1/1867.html (di-akses 22
Agustus 2019)

105
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

11. 斉藤泰雄(国立教育政策研究所)「初等義務教育制度の確立
と女子の就学奨励 日本の経験」広島大学教育開発国際協力
研究センター『国際教育協力論集』第 13 巻第 1 号(2010)
https://home.hiroshima-u.ac.jp/cice/wp-
content/uploads/2014/02/13-1-04.pdf (di-akses 25 Agustus 2019
12. 門松秀樹『明治維新と幕臣 「ノンキャリア」の底力』中公
新書新社、2014
13. 「英国へ渡った幕末留学生たち 長州ファイブと薩摩スチュ
ーデント」http://www.news-digest.co.uk/news/features/10582-
choshu-five-and-satsuma-students.html (di-akses 28 Agustus 2019)

106
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

BOOK REVIEW (ULASAN BUKU)

Judul buku : SHAKAI KAIZO Seratus Tahun Reformasi Jepang 1919-2019 Dari
Demokrasi ke Reformasi
Penulis : Susy Ong
Tahun terbit : 2019
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
ISBN : 978-623-00-0264-9
Pengulas : Rouli Esther Pasaribu

Buku SHAKAI KAIZO Seratus Tahun Reformasi Jepang 1919-2019 Dari


Demokrasi ke Reformasi karya Susy Ong mengulas langkah-langkah konkret
apa saja yang dilakukan oleh pemerintah Jepang bekerjasama dengan tokoh
masyarakat, pengusaha dan akademisi dalam meningkatkan taraf hidup
rakyat Jepang mulai dari awal abad 20 hingga pasca perang dunia II. Selama
ini anggapan umum-termasuk yang diyakini orang Indonesia- adalah bangsa
Jepang maju karena mereka adalah bangsa yang memiliki budaya kerja keras
dan pantang menyerah. Dengan menggunakan pendekatan historis, buku ini
mencoba membongkar kekeliruan berpikir di atas: bahwa bangsa Jepang
maju bukan karena memiliki budaya kerja keras, tetapi karena ada program-

107
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

program konkret yang diupayakan pemerintah dan tokoh masyarakat yang


dilaksanakan secara cepat, konsisten dan berkesinambungan.
Jika kita melihat bangsa Jepang sebagai bangsa maju yang sangat
rasional, ternyata itu tidak terjadi dengan sendirinya, tapi melalui
pembentukan yang konsisten dari waktu ke waktu. Kita mungkin tidak dapat
membayangkan bahwa negara maju seperti Jepang pernah bergelut dengan
masalah kerusuhan massa skala nasional yang dipicu oleh inflasi dan
kesulitan hidup yang dialami rakyatnya. Pada tahun 1918, terjadi kerusuhan
dan penjarahan besar-besaran di Jepang, dan dari 45 provinsi yang ada di
Jepang pada saat itu, hanya dua provinsi yang luput dari kerusuhan tersebut.
“Selain faktor inflasi dan kesulitan hidup, kerusuhan di tahun 1918 juga dipicu
oleh pengaruh paham demokrasi (hak protes) dari Eropa dan paham
sosialisme (tuntutan akan keadilan sosial), akibat Revolusi Rusia di tahun
1917 (berdirinya negara sosialis pertama di dunia).” (Ong 2019:v-vi).
Hal menarik yang dapat kita pelajari dari penelusuran sejarah Jepang
ini adalah pemerintah Jepang tidak berlama-lama menunggu untuk
mengatasi persoalan ini. Pemerintah Jepang tidak membiarkan kerusuhan
dan penjarahanl ini semakin membesar atas nama demokrasi atau
kebebasan hak untuk menyatakan pendapat. Apa yang dilakukan pemerintah
pada saat itu adalah “mulai merumuskan dan mengimplementasikan
sejumlah kebijakan sosial, yaitu intervensi ke dalam kehidupan sosial bahkan
individu. (Ong 2019:vi).
Buku ini menjelaskan secara lugas apa saja kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintah dalam mereformasi rakyatnya agar memiliki hidup yang
lebih berkualitas, mandiri dan mampu menyejahterakan dirinya sendiri serta
bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Beberapa poin penting yang
dirumuskan adalah pentingnya rekreasi dan pendidikan luar sekolah, serta
pasca perang dunia II, pemerintah menaruh perhatian besar untuk
melakukan reformasi pendidikan.
Satu hal yang nyata tergambar dari penelusuran sejarah ini adalah
pemerintah selalu mengajak akademisi untuk merumuskan kebijakan dan
bergandengan tangan dengan tokoh masyarakat dan pengusaha untuk
menyejahterakan para pekerja. Contohnya, ketika menyusun kebijakan
untuk rekreasi, pemerintah menugaskan akademisi untuk melakukan riset

108
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

terlebih dahulu agar dapat menyusun media rekreasi yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakatnya. Jika sekarang kita melihat di Jepang ada
fasilitas olahraga untuk publik yang memadai, perpustakaan kota dan daerah
dengan koleksi buku yang lengkap, museum dengan pemanfaatan maksimal
sebagai sarana rekreasi dan pembelajaran mandiri yang dilengkapi dengan
berbagai pameran dan program menarik, adanya kegiatan matsuri atau
festival di setiap komunitas masyarakat agar para anggota masyarakat dapat
berkumpul untuk menari, menyanyi dan makan bersama…itu semua bukan
hal-hal yang memang sudah ada dari dulu, karena karakter bangsa Jepang
yang gemar belajar atau gemar hidup sehat. Sebaliknya, semua fasilitas di
atas memang sengaja dibangun dan dirancang oleh pemerintah berdasarkan
riset yang dilakukan oleh akademisi dan kerjasama dari pengusaha dan tokoh
masyarakat, demi membentuk karakter masyarakat Jepang yang senang
belajar, memiliki pola hidup sehat, dan cukup terpenuhi kebutuhan
rekreasinya.
Buku ini ditutup dengan sebuah kesimpulan yang mengajak kita untuk
mempertanyakan kembali bagaimana selama ini kita memandang Jepang:
“Poin terakhir, melanjutkan argumen saya dalam buku SEIKATSU KAIZEN
Reformasi Pola Hidup Jepang (Elex Media Komputindo, 2017), bahwa orang
Jepang adalah manusia, bukan dewa; Jepang unggul BUKAN DARI SONONYA,
dan BUKAN KARENA MEMILIKI BUDAYA/NILAI TRADISIONAL YANG UNGGUL.
Justru sebaliknya, Jepang unggul karena mau membuang tradisi demi
mengejar kemajuan. Jika poin ini dapat diterima, maka seharusnya kita
mengubah sikap selama ini, dari MENGAGUMI Jepang, menjadi berusaha
MENIRU Jepang; bukan meniru SEMANGAT Jepang (bagaimana caranya
meniru SEMANGAT?), tetapi meniru PROGRAM KERJA KONKRIT Jepang; agar
ke depan, kita dapat mengejar ketertinggalan sehingga dapat sejajar dengan
Jepang dalam hal sosial-ekonomi-politik.” (Ong 2019:257-258).
Buku ini cocok dibaca oleh akademisi/mahasiswa khususnya dalam
bidang studi Jepang dan pembaca umum yang ingin berpikir kritis dan
menaruh perhatian serta minat pada Jepang dan studi sejarah, ilmu sosial,
dan kemasyarakatan.

109
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

AUTHORS PROFILE (PROFIL PENULIS)

Abigail Geraldine Sininta has graduated from Japanese Studies Department,


Faculty of Humanities Universitas Indonesia in 2020. She has studied at
Exchange Student Program Tokyo University of Foreign Studies for one year,
from 2018 to 2019. Her research interest include Japanese language and
translation studies. E-mail address: abigail_geraldine@yahoo.com

Avidya Sekar Saga has graduated from Japanese Studies Department, Faculty
of Humanities Universitas Indonesia in 2019. Her research interest include
Japanese modern literature, especially on female representation in Japanese
contemporary literary works. E-mail address: avidyasekars@gmail.com

Fithyani Anwar is a lecturer at Japanese Department, Faculty of Cultural


Sciences, Hasanuddin University. She is currently taking Doctoral Program at
the International and Advanced Japanese Studies, University of Tsukuba. She
completed her undergraduate program at Japanese Literature Department,
Faculty of Letters, Padjadjaran University (2005), and master program at
Graduate School of Law and Letter, Ehime University (2014). Her research
focused on Japanese Literature during Japanese Occupation of Indonesia.
Email address: fithy_unhas@yahoo.com

Lea Santiar is a lecturer at Japanese Studies Program and a member of


Linguistics Department, Faculty of Humanities, Universitas Indonesia. Her
interest is in Japanese Linguistics and Teaching Japanese as a Foreign
Language, mainly in teaching reading comprehension. She completed her
Doctoral Course from Universitas Negeri Jakarta, and her Master Degree
from Naruto University of Education, Japan. E-mail address:
santiarlea@gmail.com, lealas@ui.ac.id

Lisda Nurjaleka is a lecturer at Japanese Education Program, Faculty of


Language and Art, Universitas Negeri Semarang. Her research interest
includes sociolinguistic and Japanese language pragmatic. E-mail address:
lisda_nurjaleka@yahoo.com

Rouli Esther Pasaribu is a lecturer at Japanese Studies Program/Department


of Literature, Faculty of Humanities, Universitas Indonesia. She completed

110
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

her PhD at Osaka University, majoring in Japanese women literature and


gender studies. Her recent research includes women and aging in Japanese
literature, the portrayal of masculinity and femininity in Japanese television
dramas, and Indonesian elderly care migrant workers in Japan. E-mail
address: rouliesther@gmail.com, rouliesther@ui.ac.id

Susy Ong is a lecturer at Japanese Studies Master Program, School of


Strategic and Global Studies, Universitas Indonesia. She completed her PhD
at Graduate School of Social Sciences, Hitotsubashi University, majoring in
Japanese history. Her reseach interest include national campaign for life style
reform in postwar Japan. Her latest publication is a monograph Shakai Kaizo-
100 Tahun Reformasi di Jepang 1919-2019, published by Elex Media
Komputindo in 2019. E-mail address: susy.ong66@gmail.com

111
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

WRITER’S GUIDELINE (PANDUAN PENULISAN)

Ketentuan Umum

1. Batas akhir pengumpulan artikel untuk edisi April adalah tanggal 31


Januari di tahun yang sama, sedangkan untuk edisi Oktober adalah
tanggal 31 Juli di tahun yang sama.
2. Artikel dapat ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, atau Jepang.
3. Artikel dikirim dalam bentuk file word (.doc atau .docx).
4. Penulis diminta untuk mengirimkan biografi dalam bahasa Inggris
dengan bentuk narasi yang memuat riwayat pendidikan, daftar
penelitian terkini, minat penelitian, afiliasi, dan alamat e-mail.
Biografi dibuat dalam 100-150 kata.
5. Artikel dikirimkan via e-mail ke alamat
jurnal.kajianjepang@gmail.com Dengan
CC kepada alamat e-mail berikut :
himawan.pratama@gmail.com
rouliesther@gmail.com
mega.marintan@gmail.com

Format Penulisan Umum Artikel

1. Artikel ditulis dalam format kertas B5 dengan setting margin normal


(batas kiri, kanan, atas, bawah 2,54 cm), dan spasi 1,15 (antar paragraf
tidak perlu ditambahkan satu spasi).
2. Urutan penulisan artikel adalah judul, nama penulis, abstrak,
pendahuluan (mencakup masalah penelitian, penelitian terdahulu,
dan metodologi), pembahasan, kesimpulan, daftar pustaka, endnote
(jika ada), dan biografi penulis.
3. Format penulisan judul adalah sebagai berikut:
1. Judul ditulis dengan ukuran huruf 14pt dan dicetak tebal (bold)
2. Untuk artikel berbahasa Indonesia/ Inggris huruf besar hanya
digunakan di awal kata.
3. Nama penulis ditulis di bawah judul dengan jarak satu spasi dari
judul dan ukuran huruf 12pt.

112
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 4 No. 1, April 2020

4. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris maksimal 200 kata dengan


kata kunci 3-5. Ukuran huruf 11pt Calibri (body).
4. Catatan tambahan dibuat dalam format endnote dengan jenis huruf
Calibri (Body) ukuran 10pt.
5. Daftar pustaka mengikuti sistem penulisan APA. Daftar pustaka
berbahasa Jepang dibuat tetap dalam bahasa Jepang (tidak perlu
diubah ke dalam alfabet).
6. Penulisan kutipan diberi jarak satu spasi dari paragraf di atas dan di
bawahnya.
7. Penulisan kutipan dibuat dengan indent 0,37 cm dan kanan 4,03 ch.
8. Tabel, grafik, diagram (jika ada) ditulis dengan ukuran huruf 10pt.
9. Judul tabel, grafik, diagram dicetak tebal (bold) dengan ukuran 10pt.

Format Penulisan Berdasarkan Bahasa

Bahasa
Indonesia/Inggris Bahasa Jepang

Jumlah kata/ karakter 10.000-12.000


(isi artikel) 4.000-6.000 kata karakter (字)

Jumlah kata/ karakter Maksimal 120


(abstrak) Maksimal 200 kata karakter (字)

Jenis huruf Calibri (Body) MS Mincho

Jenis huruf (isi artikel) 12pt 11pt

Ukuran huruf
(kutipan) 10pt 10pt

Penanda awal
paragraf 1 tab 1 spasi

113

You might also like