You are on page 1of 12

RIWAYAT HIDUP SYAIKH ABDUS SAMAD AL-PALIMBANI

SYAIKH ABDUS SAMAD AL-PALIMBANI adalah seorang tokoh sufi penulis kitab-kitab sufi
yang berasal dari Palembang. Abdus Shamad lahir pada 1116 H (1704) M dan wafat pada 1203
H (1789 M) dalam usia 85 tahun,[1] di Palembang.[butuh rujukan] Tentang nama lengkap
Syeikh Al-Falimbani, yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti
yang diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, dia bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani.
Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra
dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
(Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-
Falembani.

1. KELAHIRAN

Syekh Abdus Samad al-Palembani lahir pada 1116 H atau bertepatan pada tahun
1704 M. Beliau merupakan putra dari Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul
Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani dengan Radin Ranti.

Ayah beliau adalah ulama yang berasal dari Yaman yang dilantik menjadi Mufti
negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibu beliau adalah wanita
Palembang yang diperisterikan oleh Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya
menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.

2. WAFAT

Syekh Abdus Samad al-Palembani wafat tahun 1200 H atau bertepatan pada
tahun 1785 M.

3. PENDIDIKAN

Syekh Abdus Samad al-Palembani memulai pendidikan dasar dari ayahnya


sendiri, Syekh Abdul Jalil, di Kedah. Kemudian Syekh Abdul Jalil mengantar
semua anaknya ke pondok di negeri Patani. Zaman itu memang di Patani lah
tempat menempa ilmu-ilmu keislaman sistem pondok yang lebih mendalam lagi.

Mungkin Abdus Samad dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan Abdul
Qadir telah memasuki pondok-pondok yang terkenal, antaranya ialah Pondok
Bendang Gucil di Kerisik, atau Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala yang
semuanya terletak di Patani.

Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah
Syekh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang
diceritakan oleh beberapa orang tokoh terkemuka Kampung Pauh Bok itu
(1989), serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip terjemahan
Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani yang
ada.

Kepada Syekh Abdur Rahman Pauh Bok itulah sehingga membolehkan pelajaran
Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. Walau
bagaimana pun mengenai Syekh Abdus Samad al-Palimbani belajar kepada
Syekh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani itu belum pernah ditulis oleh siapa
pun, namun sumber asli didengar di Kampung Pauh Bok sendiri.

Sistem pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat dengan hafalan
matan ilmu-ilmu Arabiyah yang terkenal dengan ‘llmu Alat Dua Belas’. Dalam
bidang syariat Islam dimulai dengan matan-matan fiqh menurut Mazhab Imam
Syafi’i. Di bidang tauhid dimulai dengan menghafal matan-matan ilmu
kalam/usuluddin menurut paham Ahlus Sunah wal Jamaah yang bersumber dari
Imam Syekh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al-Maturidi.

Dia juga mempelajari ilmu sufi daripada Syekh Muhammad bin Samman, selain
mendalami kitab-kitab tasawuf daripada Syekh Abdul Rauf Singkel dan
Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Aceh. Oleh sebab dari kecil dia
lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam sejarah telah tercatat
bahawa dia adalah ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam
cabang ilmu tersebut.

Setelah Syekh Abdus Samad banyak hafal matan lalu dilanjutkan pula dengan


penerapan pengertian yang lebih mendalam lagi. Sewaktu masih di Patani lagi,
Syekh Abdus Samad telah dipandang alim, kerana dia adalah sebagai kepala
thalaah (tutor), menurut istilah pengajian pondok. Namun ayahnya berusaha
mengantar anak-anaknya melanjutkan pelajarannya ke Makkah.

Memang merupakan satu tradisi pada zaman itu walau bagaimana banyak ilmu
pengetahuan seseorang belumlah di pandang memadai, jika tak sempat
mengambil barakah di Mekah dan Madinah kepada para ulama yang dipandang
Wali Allah di tempat pertama lahirnya agama Islam itu.

Orang tua al-Palembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab yaitu


Makkah, dan Madinah. Di negeri barunya ini, dia terlibat dalam masyarakat
Jawa, dan menjadi teman seperguruan, menuntut ilmu dengan ulama Nusantara
lainnya seperti MuhammadArsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul
Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun dia menetap di Mekah, tidka
bermakna dia melupakan negeri leluhurnya. Syeikh Al-Falembani, menurut
Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial,
politik, dan keagamaan di Nusantara.

Sejak perpindahannya ke tanah Arab itu, Syekh Al-Palembani mengalami


perubahan besar berkaitan dengan intelektualitas dan spiritual. Perkembangan
dan perubahan ini tidak terlepas dari proses ´pencerahan´ yang diberikan para
gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan berwibawa dalam proses tersebut,
antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin
Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri.

Selain itu, tercatat juga dalam sejarah Al-Palembani berguru kepada ulama besar,


antaranya Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan
Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia, perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil
Haram dan tempat-tempat lainnya, ´mengangkat´ dirinya menjadi salah seorang
ulama Nusantara yang disegani dan dihormati di kalangan ulama Arab, juga
Nusantara.

Guru

1. Syekh Abdul Jalil


2. Syekh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok
3. Syekh Muhammad bin Samman
4. Syekh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani
5. Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani
6. Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi
7. dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri
8. Ibrahim Al-Rais
9. Muhammad Murad
10. Muhammad Al-Jawhari
11. Athaullah Al-Mashri

Penerus 

1. Syekh Muhammad Akib Bin Hasanuddin


2. Syekh Ahmad Khatib Sambas
3. Syekh Muhammad Nafis al-Banjari

4. MENGKRITIK TAREKAT YANG BERLEBIHAN

Meskipun mendalami tasawuf, tidak bermakna Syeikh Al-Palembani tidak kritis.


Dia dikatakan kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara
berlebihan. Dia selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan
oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang
terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh.

Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syekh Al-Palembani menulis


intisari dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah agung abad pertengahan,
Imam Al-Ghazali, yaitu kitab Lubab Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud
Diin), dan Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam
Al-Ghazali ini dinilainya secara ´moderat´ dan membantu membimbing mereka
yang mempraktikkan aliran sufi.

Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syekh Al-Palembani mengambil jalan


tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ´wahdatul wujud´
Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang
memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka
dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ´melihat´ Allah SWT sebagai
´penguasa´ mutlak.

Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup


besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf.

Banyak meriwayatkan cerita yang menarik ketika Syekh Abdus Samad berada di
negerinya Palembang. Oleh karena rasa bencinya kepada Belanda, ditambah pula
dengan peristiwa di atas kapal itu, dia bertambah kecewa karena melihat pihak
Belanda yang kafir telah memegang pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada
kuasa sedikit pun bagi Sultan.

Maka dia merasa tidak betah untuk tinggal di Palembang walaupun dia kelahiran
negeri itu. Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri tanpa
musyawarah dengan siapa pun, semata-mata memohon petunjuk Allah dengan
melakukan sholat istikharah. Keputusannya, dia mesti meninggalkan Palembang,
kembali ke Mekah.

Lantaran anti Belanda, dia tidak mau menaiki kapal Belanda sehingga terpaksa
menebang kayu di hutan untuk membuat perahu bersama-sama orang-orang
yang patuh sebagai muridnya. Walaupun sebenarnya dia bukanlah seorang
tukang yang pandai membuat perahu, namun dia sanggup mereka bentuk perahu
itu sendiri untuk membawanya ke Mekah. Tentunya ada beberapa orang
muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu.
Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan
keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat
dilupakan.

5. PULANG KE NUSANTARA

Setelah perahu siap dan kelengkapan berlayar cukup, maka berangkatlah Syekh


Abdus Samad al-Palembani dari Palembang menuju Mekah dengan beberapa
orang muridnya. Selama di Mekah, dia bergiat dalam pengajaran dan penulisan
kitab-kitab dalam beberapa bidang pengetahuan keislaman, terutamanya tentang
tasawuf, fikah, usuluddin dan lain-lain.

Untuk menunjukkan sikap antinya kepada penjajah, dikarangnya sebuah buku


tentang jihad. Buku yang penting itu berjudul Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul
Mu’minin fi Fadhail Jihadi fi Sabilillah wa Karamatul Mujtahidin fi Sabilillah.

Di sini terlebih dahulu diceritakan kepulangan dia ke nusantara.


Kepulangan Syekh Abdus Samad al-Palembani kali ini tidak ke Palembang tetapi
ke Kedah. Saudara kandungnya Syekh Wan Abdul Qadir bin Syekh Abdul Jalil
al-Mahdani ketika itu ialah Mufti Kerajaan Kedah. Seorang lagi saudaranya,
Syekh Wan Abdullah adalah pembesar Kedah dengan gelar Seri Maharaja Putera
Dewa.

Meskipun Syekh Abdus Samad al-Palembani lama menetap di Mekah, namun


hubungan antara mereka tidak pernah terputus. Sekurang-kurangnya mereka
berkirim surat setahun sekali, yaitu melalui mereka yang pulang setelah
melaksanakan ibadah haji.

Selain hubungan dia dengan adik-beradik di Kedah, Syekh Abdus Samad al-


Palembani turut membina hubungan dengan kaum Muslimin di seluruh Asia
Tenggara. Pada zaman itu hampir semua orang yang berhasrat mendalami ilmu
tasawuf terutama Tarekat Sammaniyah, Tarekat Anfasiyah dan Tarekat
Khalwatiyah menerima ilmu daripada dia.

Dia sentiasa mengikuti perkembangan di Tanah Jawi (dunia Melayu) dengan


menanyakan kepada pendatang-pendatang dari Pattani, Semenanjung Tanah
Melayu, dan negeri-negeri Nusantara yang di bawah penjajahan Belanda (pada
zaman itu masih disebut Hindia Belanda).

Ini terbukti dengan pengiriman dua pucuk surat kepada Sultan


Hamengkubuwono I, Sultan Mataram dan kepada Susuhunan Prabu Jaka atau
Pangeran Singasari Putera Amengkurat IV. Surat-surat tersebut jatuh ke tangan
Belanda di Semarang (tahun 1772 M).

Syekh Abdus Samad al-Palembani telah lama bercita-cita untuk ikut serta dalam
salah satu peperangan/pemberontakan melawan penjajah. Namun setelah
dipertimbangkan, dia lebih tertarik membantu umat Islam di Patani dan Kedah
melawan keganasan Siam yang beragama Buddha.

Sebelum perang itu terjadi, Syekh Wan Abdul Qadir bin Syekh Abdul Jalil al-
Mahdani, Mufti Kedah mengirim sepucuk surat kepada Syekh Abdus Samad al-
Palembani di Mekah. Surat itu membawa maksud agar diumumkan kepada
kaum Muslimin yang berada di Mekah bahawa umat Islam Melayu Patani dan
Kedah sedang menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan watan
(tanah air) mereka.

Dalam peperangan itu, Syekh Abdus Samad al-Palembani memegang peranan


penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik
mengatakan dia bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya tetapi dia
bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid, bertasbih,
bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang dan malam.

Banyak orang menuduh bahawa orang sufi adalah orang-orang jumud yang tidak
menghiraukan dunia. Tetapi jika kita kaji beberapa biografi ulama sufi,
termasuk Syekh Abdus Samad al-Palembani yang diriwayat ini adalah orang-
orang yang bertanggungjawab mempertahankan agama Islam dan tanah air dari
hal-hal yang dapat merosakkan Islam itu.

Golongan ini adalah orang yang berani mati dalam menegakkan jihad fi sabililah.
Mereka tidak terikat dengan sanak keluarga, material duniawi, pangkat dan
kedudukan dan sebagainya, mereka semata-mata mencintai Allah dan Rasul dari
segala apa pun juga.

Kepulangan Syekh Abdus Samad al-Palembani ke Kedah memang pada awalnya


bertekad demi jihad, bukan karena mengajar masyarakat mengenai hukum-
hukum keislaman walaupun dia pernah mengajar di Mekah. Akhirnya Syekh
Abdus Samad al-Palembani dan rombongan pun berangkat menuju ke Pattani
yang bergelar ‘Cermin Mekah’. Sayangnya kedatangan dia agak terlambat,
pasukan Pattani telah hampir lemah dengan keganasan Siam.

Sementara itu, Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani dan pengikut-pengikutnya


telah mengundurkan diri ke Pulau Duyung, Terengganu untuk menyusun semula
langkah perjuangan. Pattani telah patah dan kekuatan lenyap dengan itu Syekh
Abdus Samad al-Palembani pun berkhalwat di salah sebuah masjid di Legor. Ada
orang mengatakan dia berkhalwat di Masjid Kerisik yang terkenal dengan ‘Pintu
Gerbang Hang Tuah’ itu.

Para pengikut tasawuf percaya di sanalah dia menghilang diri tetapi bagi
kalangan bukan tasawuf, perkara ini adalah mustahil dan mereka lebih percaya
bahawa dia telah mati dibunuh oleh musuh-musuh Islam.

6. MURID-MURID BELIAU

Murid beliau yang menjadi ulama :


Wajihud Din Al-Ahdal

7. KARYA-KARYA

Syekh Abdus Samad al-Palembani tidak sebanyak karya sahabatnya, Syekh Daud


bin Abdullah al-Fathani. Ini karena Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani
memperoleh ilmu pengetahuan dalam usia muda dan umurnya juga panjang.
Sedangkan Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, maupun Sheikh Muhammad
Arsyad bin Abdullah al-Banjari umumnya jauh lebih tua daripada Sheikh Daud
bin Abdullah al-Fathani bahkan boleh dijadikan ayahnya.

Walau bagaimanapun, Syekh Abdus Samad al-Palembani  dan Syekh


MuhammadArsyad al-Banjari termasuk dalam klasifikasi pengarang yang
produktif. Syekh MuhammadArsyad al-Banjari terkenal dengan fiqhnya yang
berjudul Sabilul Muhtadin.

Syekh Abdus Samad al-Palembani adalah yang paling menonjol di bidang


tasawuf dengan dua buah karyanya yang paling terkenal dan masih beredar di
pasaran kitab sampai sekarang Hidayatus Salikin dan Siyarus Salikin. Kitab-kitab
karya beliau diantaranya:

1. Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.


2. Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
3. Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
4. Siyarus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil ‘Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
5. Al-‘Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
6. Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani.
7. Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Mu’minina fi Fadhailil Jihadi wa Karaamatil Mujtahidina fi
Sabilillah.
8. Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jum’ah
9. Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah
10. Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil ‘Alamin
11. ‘Ilmut Tasawuf
12. Mulkhishut Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah ‘Alaihis Shalatu was Salam
13. Kitab Mi’raj, 1201 H/1786 M.
14. Anisul Muttaqin
15. Puisi Kemenangan Kedah

Kelompok 3

1,risky maulana rasyid

2.m.izyan majdi

3.m.wafa maulana
4.arief rahman marom

5.hafizh fauzan syarif

6.aufa nanda

You might also like