You are on page 1of 25

REFARAT

MENINGITIS PURULENTA

Refarat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior
(KKS) di bagian Ilmu Kedokteran Syaraf di RSUD Dr.Rm. Djoelham Binjai

Disusun Oleh :

Muhammad Reza Handra

102118086

Pembimbing :

dr. Filemon Tarigan, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KEDOKTERAN SYARAF

RSUD. Dr.R.M. DJOELHAM BINJAI

TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji beserta syukur kehadirat Allah SWT, yang akhirnya
saya dapat menyelesaikan refarat ini yang berjudul “Meningitis Purulenta”.
Refarat ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
senior pada bagian Ilmu Kedokteran Syaraf Fakultas Kedokteran Universitas
Batam.

Kami mengucapkan terimakasih kepada dr. Filemon Tarigan, Sp. S selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan petunjuk serta semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan refarat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan


refarat ini, untuk itu kritik dan saran dari pembaca kami harapkan. Semoga refarat
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Binjai, 3 Oktober 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI ...........................................................................................................3

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................4

BAB II. PEMBAHASAN........................................................................................6

2.1 Anatomi.......................................................................................................6

2.2 Definisi........................................................................................................8

2.3 Epidemiologi...............................................................................................8

2.4 Etiologi........................................................................................................9

2.5 Patogenesis................................................................................................10

2.6 Manifestasi Klinis.....................................................................................12

2.7 Penegakan Diagnosis................................................................................13

2.8 Pemeriksaan Penunjang............................................................................14

2.9 Diagnosa Banding.....................................................................................17

3.0 Penatalaksanaan........................................................................................18

3.1 Komplikasi................................................................................................22

3.2 Prognosis...................................................................................................22

BAB III. KESIMPULAN ......................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Meningitis purulenta merupakan infeksi purulen akut di ruang
subarakhnoid yang diikuti oleh reaksi inflamasi sistem saraf pusat yang dapat
menyebabkan koma, aktivitas kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark
iskemik. Menings, ruang subarakhnoid, dan parenkim otak dapat terlibat dalam
proses reaksi inflamasi ini. Penyakit ini dapat mengenai semua usia dengan
predileksi usia sangat muda dan sangat tua.
Meningitis purulenta merupakan penyakit di seluruh dunia dengan tingkat
mortalitas dan morbiditas yang tinggi yang berkisar antara 10-30%. Angka
mortalitasnya yaitu 5% pada anak, 25% pada neonatus, dan 25% pada dewasa. Di
Amerika Serikat, pada penelitian tahun 1995 menunjukkan bahwa insidensi
penyakit ini telah berkurang sebanyak 0,2 kasus per 100.000 populasi, terutama
disebabkan oleh peningkatan penggunaan vaksin meningokokus. Dimana saja di
seluruh dunia, angka insidensi tetap tinggi terutama di negara berkembang seperti
Afrika Barat dimana dijumpai 213.658 kasus meningitis yang menyebabkan
21.830 orang meninggal antara tahun 1996-1997.
Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari
septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodrom atau gejala awalnya berupa
infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di
nasofaring. Baik menimgokokus, hemofilis influenza maupun pneumokokus dapat
menjadi penyebab otitis media. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi
dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut.
Meningitis purulenta termasuk dalam kegawatdaruratan medis dengan
inflamasi menings sebagai bentuk respon imun tubuh tehadap infeksi bacterial.
Bila tidak ditangani, mortalitasnya sampai 100%, meskipun sudsh diobati dengan
antibiotik, insiden kematian mencapai 5-10%. Di dunia, resiko timbul sequel

4
neurologis pada pasien mencapai 20%. Diagnose sedini mungkin dan penanganan
tepat sangat diperlukan.
Yang masih menjadi pertanyaan di antara komunitas medis yaitu
bagaimana terapi untuk meningitis purulenta yang efektif bagi anak dan dewasa
yang mengalami penyakit ini untuk meminimalisasi komplikasi dan permasalahan
yang berhubungan seperti kehilangan pendengaran dan sekuele neurologis.
Komplikasi jangka panjang, seperti defisit kognitif, epilepsi, hidrosefalus, dan
tuli, yang dialami oleh seperempat pasien. Antibiotik telah menjadi standar terapi
bagi pasien, tetapi penggunaan terapi kortikosteroid ajuvan masih dipertanyakan.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Anatomi

Menings
Otak dan medulla spinalis diselimuti meningss yang melindungi struktur
saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal.
Meningss terdiri dari tiga lapis, yaitu:
1. Lapisan Luar (Durameter)
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,
medulla spinalis, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter terbagi
lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak
(periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan
tengkorak untuk membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan
diafragma sella.
2. Lapisan Tengah (Arakhnoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi
cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara
durameter dan arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan
jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah
arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan menings serta
dipenuhi oleh cairan serebrospinal.
3. Lapisan Dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini
melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan
diantara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang
ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak
ke sumsum tulang belakang.

6
Gambar 1. Meningss

2.2. Meningitis Purulenta

7
2.2.1. Definisi
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang
bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh
bakteri spesifik maupun virus. Meningitis purulenta merupakan infeksi SSP pada
meanings dengan penyebab utama bakteri non spesifik (Haemophilus influenza
tipe B/ Hib, Streptococcus pneumonia, etc) yang ditandai dengan demam bersifat
akut (>38oC rektal atau 38oC aksilar) disertai dengan satu atau lebih gejala
misalnya kaku kuduk, penurunan kesadaran dan tanda Kernig atau Brudzinski.

2.2.2. Epidemiologi
Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena
sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna. Puncak insidensi kasus
meningitis karena Haemophilus influenzae di negara berkembang adalah pada
anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak
usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk
Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus
meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun. Insidens Rate pada usia <
5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun penggunaan vaksin,
Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000. Di Uganda (2001-2002) Insidens Rate
meningitis Hib pada usia < 5 tahun sebesar 88 per 100.000.
Di Indonesia sendiri kasus tersangka meningitis purulenta sekitar
158/100.000 per tahun, dengan etiologi Hib 16/100.000 dan bakteri lain
67/100.000, angka yang tinggi bila dibandingkan dengan negara maju.
Penyebab utama meningitis purulenta adalah Haemophilus influenzae tipe
B (Hib) dan Streptococcus pneumonia (invasive pneumococcal disease/IPD).
Insiden meningitis purulenta di negara maju sudah menurun sebagai akibat
keberhasilan imunisasi Hib dan IPD.
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-
ekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan
jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara
yang sedang berkembang dibandingkan pada negara maju. Insidensi tertinggi

8
terjadi di daerah yang disebut dengan the African Meningitis belt, yang luas
wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia meliputi 21 negara.
Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-20 per
100.000 penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara periodik. Di daerah
Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang disebabkan oleh
Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000 penduduk.
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasus-
kasus infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan Amerika Utara
insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada musim dingin dan musim semi
sedangkan di daerah Sub-Sahara puncaknya terjadi pada musim kering.
Meningitis yang disebabkan oleh Pneumococcus paling sering menyerang
bayi di bawah usia dua tahun. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri
Pneumokokus 3,4 kali lebih besar pada anak kulit hitam dibandingkan yang
berkulit putih.

2.2.3. Etiologi
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal
dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan
gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat.
Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan
umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh E.Coli,
S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun
(balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus.
Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria
meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun)
disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan
Listeria.
Meningitis purulenta paling sering disebabkan oleh Meningococcus,
Pneumococcus dan Haemophilus influenza. Meningitis Meningococcus yang
sering mewabah di kalangan jemaah haji dan dapat menyebabkan karier
disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup A,B,C,X,Y,Z dan W 135. Grup

9
A,B dan C sebagai penyebab 90% dari penderita. Di Eropa dan Amerika Latin,
grup B dan C sebagai penyebab utama sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya
adalah grup A. Wabah meningitis Meningococcus yang terjadi di Arab Saudi
selama ibadah haji tahun 2000 menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup
W135 dan 36% serogroup A. Hal ini merupakan wabah meningitis
Meningococcus terbesar pertama di dunia yang disebabkan oleh serogroup W135.
Secara epidemiologi serogrup A,B,dan C paling banyak menimbulkan penyakit.

2.2.4. Patogenesis
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita
dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan
cairan tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada
penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui
pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk
secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan
memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput
otak dan otak.
Proses terjadinya meningitis purulenta melalui jalur hematogen dengan
tahap-tahap:
1. Bakteri melekat pada sel epitel nasofaring (kolonisasi)
2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit
dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakterimia
4. Bakteri masuk untuk beberapa hari pertama penyakit. Bakteri ini resisten
terhadap penisilin, kurang lebih dalam 30-35% kasus merupakan Hib resisten
penisilin. 30 % memiliki sekuele yang lama. Pemberian dexametasone
sebagai pengobatan awal mengurangi mobiditas dan sekuele.

10
Gambar 2. Patogenesis
Langkah - langkah patogenesis meningitis bakteri :
1. kolonisasi bakteri
2. menginvasi aliran darah
3. sisanya akan memperbanyak diri
4. menyebabkan bakterimia, melalui aliran darah dan otak.
5. menginvasi menings dan sistem saraf pusat
6. selanjutnya, bakteri dapat menginduksi dan meningkatkan permeabilitas
darah, pembatas otak
7. pleocytosis (peningkatan jumlah sel)
8. menyebabkan edema dan meningkatkan tekanan intracranial
9. melepaskan senyawa proinflamasi dari infeksi sel darah putih dan sel
inang lainnya.
10. akhirnya, proses ini menyebabkan cedera neuronal.

11
Penyebaran bakteri dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan
organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya di abses otak, otitis
media, mastoiditis, trombosis sinus kavernosus dan sinusitis. Penyebaran kuman
bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi
bedah otak. Invasi kuman-kuman kedalam ruang sub arakhnoid menyebabkan
reaksi radang pada piamater dan araknoid, CSS (cairan serebrospinal) dan sistem
ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit
polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.
Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu
kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar
mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam
terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-
neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen
menyebabkan kelainan kranialis.

2.2.5. Manifestasi Klinis


Pada anak, gambaran klinis berbeda dengan dewasa. Umumnya meningitis
purulenta terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan
pernapasan, kejang, napsu makan berkurang, minum sangat kurang,
konstipasi, diare. Biasanya disertai septikemia dan pneumonitis. Kejang
terjadi pada ± 44% anak dengan penyebab haemophilus influenza, 25%
oleh sreptokokus pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi
meningokok. Gangguan kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma.
Selain itu dapat terjadi koagulasi intravaskiularis deseminata (DIC).
Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku kuduk, tanda kernig, Bruzinski,
pontanela menonjol untuk sementara waktu belum timbul.

12
Pada dewasa, permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri
kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan
punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas.
Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi,
dan takikardi karena septikemia. Gangguan kesadaran berupa letargi sampai
koma yang dalam dapat dijumpai pada penderita. Nyeri kepala bisa hebat sekali,
rasanya seperti mau pecah dan bertambah hebat bila kepala digerakan. Nyeri
kepala dapat disebabkan oleh proses radang pembuluh darah meningeal,
tetapi dapat juga disebabkan oleh peningkatan tekanan intra kranial yang
disertai fotofobia dan hiperestesi. Suhu badan makin meningkat, tetapi jarang
disertai gemetar (chills). Kejang terjadi sekitar 20% kasus, koma 5 – 10%
kasus dan berakibat prognosis yang buruk, dan kelumpuhan saraf kranial
pada 5% kasus.
2.2.6. Penegakan Diagnosis
Diagnosis meningitis purulenta ditegakkan dari anamnesis serta
pemeriksaan fisik dan dibantu oleh pemeriksaan laboratorium serta radiologis.
Saat datang ke rumah sakit, kebanyakan pasien telah mengalami meningitis
selama 1-7 hari. Gejala yang dialami termasuk demam, konfusi, muntah, nyeri
kepala, serta kekakuan pada leher.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya demam dan tanda-tanda
infeksi parameningeal sistemik, seperti abses kulit atau otitis. Ruam petekie
dijumpai pada 50-60% pasien dengan meningitis N meningitides. Tanda iritasi
meningeal dijumpai pada sekitar 80% kasus, tetapi sering tidak dijumpai pada
pasien yang terlalu muda dan terlalu tua, atau dengan kesadaran yang terganggu
sebelumnya. Tanda-tanda tersebut yaitu kaku kuduk pada fleksi pasief, fleksi paha
saat memfleksikan leher (tanda Brudzinski), dan tahanan pada ekstensi pasif dari
lutut dengan fleksi sendi panggul (tanda Kernig). Tingkat kesadaran, jika berubah,
dalam rentang konfusi ringan sampai koma. Tanda neurologis fokal, kejang, dan
paralisis nervus kranialis dapat dijumpai.

13
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan
protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat,
cairan keruh, jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun,
kultur (+) beberapa jenis bakteri.
Dapat dijumpai adanya defisit fokal dengan bukti peningkatan sel dari
250-100.000 sel/mm3, tetapi biasanya 1000-10.000 sel/mm3. Neutrofil
mendominasi (85-95% dari total hitung jenis sel), tetapi peningkatan proporsi sel
mononuklear ditemukan pada infeksi yang berkepanjangan, khususnya pada
meningitis yang diterapi tidak adekuat. Hitung sel >50.000 sel/mm 3 meningkatkan
kemungkinan adanya abses otak yang ruptur ke ventrikel. Dapat dijumpai
peningkatan jumlah total leukosit di cairan serebrospinal dalam 18-36 jam setelah
inisiasi terapi antibiotik.
Konsentrasi glukosa cairan serebrospinal lebih rendah dibandingkan
dengan serum. Glukosa CSS normal antara 45-80 mg/dl pada pasien dengan
glukosa serum 70-120 mg/dl, atau sekitar 65% glukosa serum. Konsentrasi
glukosa CSS di bawah 40 mg/dl merupakan keadaan yang abnormal.
Hiperglikemia meningkatkan konsentrasi glukosa CSS dan keadaan ini akan
menyamarkan penurunan konsentrasi glukosa CSS. Oleh karena itu paling baik
ditentukan dengan rasio glukosa CSS:serum. Rasio glukosa CSS:serum normal
yaitu 0,6. Rasio glukosa CSS:serum kurang dari atau sama dengan 0,4 merupakan
prediktif tinggi terhadap meningitis purulenta.
Nilai normal konsentrasi protein di CSS sisterna dan ventrikular berkisar
dari 13-30 mg/dl pada dewasa, dan dari 20-170 mg/dl pada neonatus. Peningkatan
konsentrasi protein CSS biasanya dijumpai pada meningitis purulenta, tetapi
konsentrasi protein CSS akan meningkat pada semua proses yang merusak sawar
darah otak. Ketika punksi lumbal menyebabkan trauma konsentrasi protein CSS
akan meningkat 1 mg/dl untuk setiap 1000 eritrosit yang ada per kubik mm.

14
Peningkatan konsentrasi laktat pada meningitis purulenta pertama kali
diketahui pada tahun 1925. Konsentrasi asam laktat CSS telah ditunjukkan
penggunaan klinisnya untuk membantu membedakan meningitis tuberculosis dan
meningitis purulenta dengan meningitis viral. Konsentrasi asam laktat ≥ hingga 35
mg/dl merupakan prediktif yang tinggi terhadap adanya meningitis purulenta atau
meningitis tuberkulosa.
Dalam keadaan pleositosis CSS, konsentrasi C-reactive protein (CRP) >
100 ng/ml berguna untuk mengidentifikasi meningitis purulenta. CRP telah
dilaporkan memiliki sensitivitas 100% dan spesivisitas 94% dalam membedakan
meningitis purulenta dari meningitis non-purulen pada bayi (4 minggu atau lebih)
dan anak-anak.
Tabel 1. Temuan pada pemeriksaan CSS pada meningitis

Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap
Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur. Pada Meningitis
Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.

Pemeriksaan Radiologis
Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus
paranasal, gigi geligi) dan foto thoraks. Foto thoraks dapat dilakukan untuk

15
melihat tanda-tanda pneumonia atau cairan di dalam paru. Sebanyak 50% pasien
dengan meningitis pneumokokal dibuktikan mengalami pneumonia pada foto
thoraks.
Peran yang paling penting dari CT scan pada pasien dengan meningitis
yaitu untuk mengidentifikasi kontraindikasi punksi lumbal dan komplikasi yang
memerlukan intervensi bedah saraf segera, seperti hidrosefalus simptomatik,
empiema subdural, dan abses serebral. CT scan dengan kontras juga dapat
mendeteksi komplikasi seperti thrombosis vena, infark, dan ventrikulitis.
Ventrikulitis merupakan komplikasi meningitis purulenta yang umum dijumpai
pada neonatus. Enhancement ependimal dapat dijumpai pada CT scan dengan
kontras.
Nilai CT scan dalam diagnosis dini empiema subdural dan efusi masih
kontroversial, karena modalitas ini tidak dapat mendeteksi meningitis, khususnya
CT scan tanpa kontras pada stadium awal penyakit. Hasil yang normal dari CT
scan tidak dapat mengesampingkan adanya meningitis akut.
CT scan dapat menunjukkan penyebab infeksi meningeal. Hidrosefalus
obstruktif dapat terjadi dengan perubahan inflamasi kronik pada ruang
subarakhnoid atau pada kasus obstruksi ventricular. Defek struktur otorinologik,
kongenital, dan kalvaria pasca trauma juga dapat dievaluasi.

Gambar 3. Serebritis dan pembentukan abses pada pasien dengan meningitis purulenta. CT
scan dengan kontras, potongan aksial dilakukan 1 bulan setelah bedah dan menunjukkan
adanya massa kecil, ring-enhanced, hipoattenuasi (abses rekuren) di ganglia basalis (panah)

16
dan kumpulan cairan subdural berbentuk lentiformis dengan enhanced meningss (anak
panah)

MRI dengan kontras merupakan modalitas paling sensitif untuk diagnosis


meningitis purulenta karena pemeriksaan ini dapat membantu mendeteksi adanya
dan luasnya proses inflamasi di menings begitu juga dengan komplikasinya. MRI
tanpa kontras yang dilakukan pada pasien dengan meningitis purulenta tanpa
komplikasi menunjukkan hasil yang kurang bermakna.

Gambar 4. Sinusitis frontalis, empiema, dan pembentukan abses pada pasien dengan
meningitis purulenta. T2-weighted axial MRI menunjukkan sinusitis frontalis, defek tulang
(panah), dengan edema kortikal (anak panah), dan kumpulan cairan subdural
oksipitoparietal kanan (empiema).

2.2.8. Diagnosa banding


1. Ensefalitis, Peradangan SSP yang disebabkan oleh virus dan
mikroorganisme yang non purulent, memiliki gejala muntah,
kejang, demam mendadak, penurunan kesadaran, dan perubahan
perilaku.
2. Meningismus, pada meningismus juga terjadi iritasi meningieal, nyeri
kepala, kaku kuduk, tanda kernig, kejang dan koma. Meningismus
kebanyakan terdapat pada bayi dan anak yang lebih besar,
dengan gejala tiba-tiba panas, terdapat tonsilitis, pneumonia, pielitis,
dapat terjadi bersamaan dengan apendisitis akut, demam tifoid,

17
erisipelas, malaria, batuk rejan. Pada CSS tidak terdapat kuman,
sedangkan jumlah sel dan kadar glukosa normal. Umumnya gejala-
gejala hilang dalam beberapa hari dan tidak meninggalkan gejala
sisa.
3. Meningitis aseptik, merupaka radang selaput otak yang akut dan
bersifat self limited. Dalam CSS terdapat peningkatan limfosit, tetapi
CSS tetap steril dan kadar glukosa normal.
4. Meningitis tuberkulosa, memberikan gambaran klinis yang
hampir sama, namun dapat dibedakan dengan pemeriksaan lumbal
pungsi, dengan gambaran CSS yang serous dan jumlah sel antara 10
– 500 /mm3 dan kebanyakan limfosit. Kadar glukosa rendah, antara 20
– 40 mg%. Kadar klorida < 600 mg%.
5. Infeksi lain, abses otak, abses intrakranial atau spinal epidural,
endokarditis bakteri disertai emboli, empiema subdural dengan atau
tromboflebitis dan tumor otak dapat menunjukan gejala-gejala yang
sama. Untuk membedakannya tergantung atas pemeriksaan CSS.

2.2.9. Penatalaksanaan
Jika pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya kelainan neurologis
fokal atau papiledema, punksi lmbal harus dilakukan sesegera mungkin. Jika
cairan serebrospinal tidak jernih, terapi antibiotik dimulai tanpa penundaan.
Ketika tanda fokal atau papiledema dijumpai, pemeriksaan kultur darah sebaiknya
dilakukan, antibiotik dimulai, dan CT scan dilakukan. Jika dari CT scan tidak
dijumpai lesi fokal yang akan menyebabkan kontraindikasi untuk dilakukannya
punksi lumbal, punksi lumbal dapat dilakukan.
Pilihan antibiotik inisial yaitu secara empiris, berdasarkan pada usia dan
faktor predisposisi pasien. Terapi disesuaikan seperti yang diindikasikan jika
pewarnaan Gram atau pemeriksaan kultur dan sensitivitas telah tersedia. Punksi
lumbal dapat diulang untuk menilai respon terhadap terapi. Cairan serebrospinal
harus steril selama 24 jam. Penurunan pleositosis serta penurunan proporsi
leukosit PMN harus terjadi dalam 3 hari.

18
Regimen terapi empiris untuk meningitis purulenta ditunjukkan pada tabel
di bawah ini:

Tabel 2. Terapi Empiris Meningitis Purulenta

FAKTOR PASIEN TERAPI EMPIRIS

 Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam


atau
Dewasa <50 tahun  Cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam
ditambah dengan vancomycin 15
mg/kgBB IV setiap 8-12 jam
 Ampisilin 2 g IV setiap 4 jam
ditambah dengan ceftriaxone 2 g
IV setiap 12 jam atau
Dewasa > 50 tahun
 Cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam
ditambah dengan vancomycin 15
mg/kgBB IV setiap 8-12 jam
 Ampisilin 2 g IV setiap 4 jam
ditambah dengan ceftazidime 1 g
Gangguan imunitas seluler IV setiap 8 jam ditambah dengan
vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap
8-12 jam
 Vancomycin 15 mg/kgBB IV
Bedah saraf, cedera kepala, atau
setiap 8-12 jam ditambah dengan
CSF shunt
ceftazidime 1 g IV setiap 8 jam

Regimen terapetik spesifik organisme untuk meningitis purulenta


termasuk untuk meningitis yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia,
Haemophillus influenza, Neisseria meningitides, Listeria monocytogenes,

19
Streptococcus agalactie, Enterobacteriaceae, dan Pseudomonas aeruginosa
ditampilkan pada tabel di bawa ini.

Table 3. Regimen Terapi Antibiotik Spesifik Organisme

ORGANISME REGIMEN TERAPI

Sensitif Penisilin
 Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam atau
ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam
 Ceftriaxon 2 g IV setiap 12 jam atau
cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam
 Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau
cefotaxime 2 g IVsetiap 4-6 jam ditambah
dengan vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap
Streptococcus pneumonia 8-12 jam
 Durasi terapi: 10-14 hari
Sensitif Ceftriaxone
 Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau
cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam ditambah
dengan vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap
8-12 jam atau rifampin 600 mg PO/IV/hari
 Durasi terapi 10-14 hari

Haemophillus influenza Negatif beta laktamase:


 Ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam
 Durasi terapi: 7 hari
Positif beta laktamase:
 Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau
cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam

20
 Durasi terapi: 7 hari
 Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam atau
ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam
Neisseria meningitides  Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau
cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam
 Durasi terapi: 7 hari
 Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam atau
ampisilin 2 g IV setiap 4-6 jam ditambah
Listeria monocytogenes dengan 3-5 mg/kgBB IV perhari dibagi
setiap 8 jam
 Durasi terapi: ≥ 21 hari
 Penisilin G 4 juta U IV setiap 4 jam
ditambah dengan gentamisin 3-5 mg/kgBB
Streptococcus agalactie IV per hari, dibagi setiap 8 jam, jika
diperlukan
 Durasi terapi: 14-21 hari
 Ceftriaxone 2 g IV setiap 12 jam atau
cefotaxime 2 g IV setiap 4-6 jam ditambah
Enterobacteriaceae dengan gentamicin 3-5 mg/kgBB IV per hari
dibagi setiap 8 jam
 Durasi terapi: 21 hari
 Ceftazidime 1 g IV setiap 8 jam atau
cefepime 2 g IV setiap 8 jam ditambah
Pseudomonas aeruginosa dengan 3-5 mg/kgBB IV per hari dibagi
setiap 8 jam
 Durasi terapi: 21 hari

Sitokin inflamasi seperti IL-1,6 dan TNF-alfa meningkatkan respon CSS


terhadap pelepasan produk dinding sel bakteri aktif. Hal ini akan menyebabkan
eksaserbasi inflamasi dan kerusakan sawar darah otak lebih lanjut. Berdasarkan

21
hal di atas, terapi ajuvan kortikosteroid telah dicoba. Pada 4 penelitian prospektif,
placebo controlled trials pada anak lebih dari 2 bulan, terapi tambahan dengan
deksametason menghasilkan penurunan sekuele audiologik dan neurologic.
Namun, kebanyakan pasien anak terinfeksi dengan H.influenza dan keuntungan
terapi glukokortikoid tidak dapat diaplikasikan pada anak yang terinfeksi
organism lain seperti S.pneumonia.
Keuntungan glukokortikoid ajuvan pada dewasa belum jelas. Terapi
tersebut akan menurunkan penetrasi beberapa antibiotik seperti vancomycin ke
CSS. Oleh karena itu, terapi deksametason direkomendasikan pada anak lebih dari
2 bulan yang mengalami meningitis purulenta, terutama H.influenza, anak yang
tidak divaksinasi terhadap H.influenza, atau ditemukannya kokobasil gram
negative pada pewarnaan Gram CSS. Deksametason diberikan dengan dosis 0,15
mg/kg IV, setiap 6 jam selama 4 hari. Pada dewasa, penggunaan glukokortikoid
terbatas pada pasien dengan konsentrasi bakteri yang tinggi di CSS dan bukti
peningkatan tekanan intrakranial. Dosis 0,15 mg/kgBB IV setiap 6 jam
direkomendasikan.

2.2.10. Komplikasi
Dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan
yang terlambat. Komplikasi yang mungkin ditemukan ialah efusi subdural,
empiema subdural, ventrikulitis, abses serebri, skuele neurologis berupa paresis atau
paralisis sampai deserebrasi, hidrosefalus akibat sumbatan pada jalannya atau resorbsi
atau produksi CSS yang berlebih, gangguan elektrolit. Pada pengawasan yang
lama mungkin akan ditemukan tanda-tanda retardasi mental, epilepsi maupun
meningitis berulang.

2.2.11. Prognosis
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas
meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami
sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan

22
kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan
mental, dan 5 – 10% penderita mengalami kematian.

23
BAB III
KESIMPULAN

Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang


bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh
bakteri spesifik maupun virus. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat
lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan
dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih
berat.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita
dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan
cairan tenggorok penderita. Penyebaran bakteri dapat pula secara
perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput
otak. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur
terbuka atau komplikasi bedah otak. Gejala yang dialami termasuk demam,
konfusi, muntah, nyeri kepala, serta kekakuan pada leher.
Jika pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya kelainan neurologis
fokal atau papiledema, punksi lmbal harus dilakukan sesegera mungkin. Jika
cairan serebrospinal tidak jernih, terapi antibiotik dimulai tanpa penundaan.
Pilihan antibiotik inisial yaitu secara empiris, berdasarkan pada usia dan faktor
predisposisi pasien. Terapi disesuaikan seperti yang diindikasikan jika pewarnaan
Gram atau pemeriksaan kultur dan sensitivitas telah tersedia. Deksametason
diberikan dengan dosis 0,15 mg/kg IV, setiap 6 jam selama 4 hari.

24
DAFTAR PUSTAKA
Brian M, Greenwood MD. 2010. Corticosteroids in Acute Bacterial
Meningitis. The New England Journal of Medicine. Available from :
www.NEJM.org.
Dhamija RM, Bansal J. 2009. Bacterial Meningitis (Meningoencephalitis):
A Review. JIACM
Incesu, Lutfi. James G. Imaging in Bacterial Meningitis. 2013. Available
from : www. Medscape.com.
Meissadona G, Soebroto AD, Estiasari R,. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana
Meningitis Bakterialis. CDK-244/vol, 22 no. 1
Poblano P, Artega C. 2012. Early Neuroligic Outcame and EEG of Infants
with Bacterial Meningitis. National University of Mexico: Mexico City.p.
Siddiqui, EU. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. In :
MENINGITIS. 2012. Aga Khan University Hospital : Pakistan.p.
Smith, DS. 2013. Bacterial Meningitis Organism-Specific Therapy.
Available from : ww.Medscape.com
Stoddard J.J, DeTora L.M. 2012. Strategies for the Prevention of
Meningitis. Marburg University : Germany.p.

25

You might also like