Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Menyimak dari uraian tersebut diatas maka Naskah ini disusun dengan judul
“IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN
RESERSE KRIMINAL POLRES X GUNA MEWUJUDKAN KEADILAN
YANG SUBSTANSIF DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM YANG
PROFESIONAL”.
2
2. Permasalahan dan Persoalan
a. Permasalahan
Dari latar belakang tersebut diatas maka timbul suatu permasalahan
yaitu “Bagaimana Implementasi Restorative Justice oleh penyidik satuan
reskrim polres X guna mewujudkan keadilan yang substansif dalam rangka
penegakan hukum yang professional?”.
b. Persoalan
1) Bagaimana Implementasi Restorative Justice oleh penyidik satuan
reserse kriminal polres X dalam penanganan tindak pidana di tingkat
Polres saat ini ?
2) Apa faktor-faktor yang mempengaruhi ?
3) Bagaimana Implementasi Restorative Justice oleh penyidik satuan
reserse polres X dalam penanganan tindak pidana yang diharapkan ?
4) Bagaimana upaya peningkatan Implementasi Restorative Justice oleh
penyidik satuan reserse polres X dalam penanganan tindak pidana di
tingkat Polres ?
3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penulisan Naskah Karya Perorangan ini dibatasi pada hal-hal
yang berkaitan dengan Implementasi Restorative Justice baik dalam tahap
penyelidikan maupun penyidikan di satuan reserse kriminal polres X kecuali
penyelidikan maupun penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
yang diantaranya membahas hal-hal yang menyangkut tentang latar belakang, ,
implementasi dan mekanisme penyelesaian perkara dengan Restorative
Justice. syarat-syarat formil dan materiil , Kendala-kendala apa saja yang
dihadapi oleh penyidik Satuan Reskrim Polres X, serta upaya peningkatan
penerapan implementasi keadilan restorative (Restorative Justice) dalam
penanganan tindak pidana yang berlandaskan keadilan substansif.
3
4. Maksud dan Tujuan
a. Maksud
Penulisan Naskah Karya Perorangan ini dimaksudkan sebagai bahan
ujian persyaratan pendidikan Sespimmen dan sebagai pertimbangan serta
masukan bagi pimpinan di tingkat polres dan polda mengenai Penyelesaian
Perkara Pidana melalui Restorative Justice yang dimaksudkan
sebagai aktualisasi dari legitimasi hukum yang berkembang ditengah
masyarakat dalam menyelesaikan perkara tindak pidana yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat di luar proses pengadilan, dengan tetap
memperhatikan rasa keadilan masyarakat dalam rangka rasa keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum .
b. Tujuan
4
5. Metode dan Pendekatan
a. Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif
analysis, yaitu suatu proses penulisan dengan menggambarkan kondisi riil di
lapangan kemudian dikaji dengan menggunakan teori yang relevan guna
menemukan solusinya.
b. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan
kualitatif, yaitu mengumpulkan fakta, data dan informasi untuk penulisan
melalui studi kepustakaan seperti, makalah, majalah, pendapat pakar maupun
dari sumber-sumber kepustakaan lain yang dianggap relevan dengan kajian
permasalahan.
6. Tata Urut
BAB I PENDAHULUAN
BAB II LANDASAN TEORI
BAB III KONDISI FAKTUAL
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
BAB V KONDISI YANG DIHARAPKAN
BAB VI LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH
BAB VII PENUTUP
7. Azas – Azas
a. Azas Legalitas
b. Azas Opportunitas
c. Azas Subsidaritas
d. Azas Necesitas
e. Azas Ultimum Remidium
f. Azas Manfaat
g. Azas Keseimbangan
h. Azas Kepatutan
i. Azas Keadilan
5
8. Pengertian-pengertian
Untuk menghindari kesalahan penafsiran akan arti dari pada judul, maka
penulis akan memberikan definisi dari pada judul yaitu :
a. Implementasi
Adalah model penerapan teori, ajaran, petunjuk atau tehnik dalam
pelaksanaan atau praktek. (Kamus Populer Kepolisian: 2005 halaman 95).
b. Restorative Justice
Adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam
pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-
sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi
kepentingan masa depan.(Tonny F. Marshall)
c. Penyidik
Adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang
undang untuk melakukan penyidikan. (uu no 2 th 2002 ttg POLRI).
e. Polres
Adalah satuan operasional dasar dibawah Polda dan berwujud satuan
kerja dengan dilengkapi fungsi-fungsi operasional dan bertanggung jawab
kepada Kapolda. (Skep Kapolri No. Pol. : Skep/588 /VII/2005).
6
f. Keadilan substansif
g. Penegakan hukum
h. Profesional
Berasal dari kata profesi yang artinya sebagai suatu pekerjaan yang
memerlukan pendidikan lanjut di dalam science dan teknologi yang digunakan
sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai
kegiatan.(syafrudin nurdin)
1) Sociological Jurisprudence, salah satu tokoh dari aliran ini adalah Ehrlich,
menurutnya pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada
perundang-undangan, tetapi dalam masyarakat sendiri. Dalam aliran ini,
yang mempunyai peranan adalah “Living law”, yaitu hukum yang hidup
dalam masyarakat.
7
empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai
keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.
8
Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis
SWOT.
B. KONDISI FAKTUAL
9
2. Situasi Kesatuan
a. Personel
Kekuatan personel Polres X
1) Jumlah personil Polres X : 747 Orang
JML PENDIDIKAN
NO KET
PERS S2 S1 D3 SMA
1 54 1 14 1 38
10
Anggota Unit Reskrim Polsek Jajaran Polres X
JML PENDIDIKAN
NO KET
PERS S2 S1 D3 SMA
1 63 1 10 - 52
DIK JUR
JML
NO ILLEGAL ILLEGAL ILLEGAL CYBER PID JML
PERS IDENT
LOGING MINING FISING CRIME KOR
1 54 1 1 1 1 2 2 8
DIK JUR
JML
NO ILLEGAL ILLEGAL ILLEGAL CYBER PID JML
PERS IDENT
LOGING MINING FISING CRIM KOR
1 63 - - - - - - -
SEMINAR
JML KEJAH
NO GAK PEREMP CYBER GUL PID JML
PERS CJS TRAN
KUM & ANAK CRIM KOR
NAS
1 54 5 2 2 3 5 5 22
11
Data Personil Unit Reskrim Polsek Jajaran Polres X Yang Mengikuti
Seminar
SEMINAR
JML KEJAH
NO GAK PEREMP CYBER GUL JML
PERS CJS TRAN
KUM & ANAK CRIM PID KOR NAS
1 63 23 2 4 3 1 2 35
12
HADI
LP/49/VIII/2007/J RONI Pakaian
KUSNAN,
ateng/Res Ds.Sidogemah MANTORO, jemuran
23Th, Swasta,
7 Dmk/Sek Syg, ½ Sayung 29Th, Swasta, senilai Tahap II
Kauman
05/08/2007 Demak Ds.Sidogemah Rp.100.000,0
Kec.Babat
362 KUHP Sayung Demak 0
Grobogan
2008
FEBRUARI
LP/55/II/2008/Jat Jl.Raya Demak Rohadi,45 Suhadi Bin Dompet,KTP, Tahap II
8 eng/Res Demak – Semarang Th,Ds.Gro Mustakim,22 uang
(depan RM gol 3/3 Th,Swasta,Ds. Rp.8.000,00
362 KUHP Sahara) Kr.tengah Jatimulyo Bng
Demak Demak
APRIL
LP/09/IV/2008/Se Ds.Bogosari Nur Salim,60 Rohmad,33 Sepeda angin Tahap II
9 k Guntur Kec.Guntur Th,Ds.Bogosari Th,Swas senilai
24/04/2008 Demak Kec.Guntur ta,Ds.Temuros Rp.60.000,00
Demak o 3/6 Guntur
362KUHP Demak
MEI
LP/16/V/2008/Se Ds.Pundenarum Supardi,39 Samsuri,27 Pisang senilai Tahap II
10 k Karangawen Kec.Kr. Th,Swasta,Ds.P Th,Swas Rp.40.000,00
5/05/2008 Awen Demak undenarum ta,Ds.Pundena
Kr.awen Demak run Kr.awen
362 KUHP Demak
JULI
LP/88/VII/2008/S Area Hasyim Bin Joko Uang senilai Tahap II
11 ek Sayung persawahan Syafi’i,74 Pramono,33 Rp.65.000,00
14/07/2008 Dk.lengkong Th,Tani Th,Swasta,Kel
Sayung Demak Dk.Lengkong .Penggaron
362 KUHP Sayung Demak 4/2 Genuk
Semarang
AGUSTUS
LP/99/VIII/2008/J Pasar Sayung Surahmi,40 Kafid Bin Tas Warna Tahap II
12 ateng/Res Demak Demak Th,Swasta,Dk.S Yahya,26 biru berisi 1
ayung Tempe Th,Swasta,Ds. sarung dan
1/4 Sayung Kudu Genuk tutup botol
Semarang Sprite senilai
Rp.20.000,00
LP/A/03/VIII/200 Parkiran Masjid Susandi,23 As’ad Bin 1Buah Helm Tahap II
13 8/Sek Dmk Kota Agung Demak Th,POLRI,Aspo Sunari,20 Kerugian
15/08/2008 lres Demak Th,Swasta,Ds. Rp.100.000,0
Babalan 1/8 0
362 KUHP Wedung Dmk
NOVEMB
LP/22/XI/2008/Se Ds.Karangsari Ulfah Binti Sugiarti,42 Uang Senilai Tahap II
14 k Karangtengah kec.Kr.tengah Muhson,28 Th,Tani, Rp.75.000,00
18/ XI/2008 Demak Th,Swasta,Ds.K ds.Tipuran 9/7
arangsari Kec.Kadipuro
362 KUHP Kec.Kr.tengah Bantul
Demak
2009
JANUARI
LP/04/I/2009/Sek Ds.Purwosari Sohib,53 Mardi Bin Sepeda Angin Tahap II
15 Sayung Kec.sayung Th,Swasta,Ds.P Kartoyo,37 senilai
13/01/2009 Demak urwosari 1/2 Th,buruh,Kel. Rp.200.000,0
Kec.Sayung Karangayu 0
362 KUHP Demak Semarang
Barat
LP/07/I/2009/Sek Toko Rizki Andy Arnold Bin 3 Pres Rokok Tahap II
13
16 Mranggen Kel.Batursari Hermawanto,34 Hendricus,13 Sampoerna
19/01/2009 2/33 Mranggen Th,Swasta,Kel. Th,pelajar,Ds. senilai
Demak Batursari Batyrsari Rp.273.000,0
362 KUHP Mranggen Mranggen 0
Demak Demak
FEBRUARI
LP/34/II/2009/Jtg/ Ds.Karangrejo Muhamad Nasikun,60 6 Rokok Tahap II
17 Res Dmk Rt 3/2 Rosyidi,30 Th,Swasta,Ds. senilai
13/02/2009 Wonosalam Th,Ds.Karangre Sidoharjo Rt Rp.70.000,00
Demak jo 3/2 1/4
362 KUHP Wonosaalam Kec.Guntur
Dmk Demak
MARET
LP/65/III/2009/Jtg Musholla Al Junaka,60 Azis,17 Uang tunai Tahap II
18 /Res Dmk Ittihad Th,Swasta,Ds.J Th,Pelajar, senilai
21/03/2009 Ds.Jogoloyo ogoloyo Ds.Dempet Rp.150.000,0
Wonosalam Wonosalam Demak 0
362 KUHP Demak Demak
JULI
LP/70/VII/2009/S Musholla M.Hanif,23 Ahmad Kotak amal Tahap II
19 ek Mranggen Jl.Pungkuran Th,Mahasiswa,J Zuhri,16 berisi uang
11/07/2009 Mranggen l.Pungkuran 2/2 Th,Ds.Prampe Rp.175.000,0
Demak Mranggen lan 1/5 0
362 KUHP Demak Sayung
Demak
DESEMBER
20 LP/82/XII/2009/S Ds.Karangmlati Akhmad Syaiful Daryono,57 Tabung Gas 3 Tahap II
ek Dmk Kota 5/1 Demak Ridlo,35 Th,Swsata,Ds. Kg senilai
1/12/2009 Th,Swasta,Ds.K Sidomukti Rp.200.000
arangmlati Tuban
362 KUHP Demak
2010
NOVEMB
LP/363/XI/2010/J Ds.Sidorejo 3/2 Lutfil Nafi Sepeda angin Tahap II
21 tg/Res Dmk Sayung Demak Khakim,17 Mubarok,13 senilai
16/11/2010 Th,Swsata,Ds.Si Th,Swasta,Ta Rp.200.000
dorejo 3/2 mbakbulusan
362 KUHP Sayung Demak 3/2
Karangtengah
Demak
2011
FEBR
LP/44/II/2011/Jtg/ Kp.Jobor 3/3 Sujarwo,45 Agung,13 Uang tunai Tahap II
22 Res Demak Kadilangu Th,Swsata,Kp.J Th,pelajar,Kp. senilai
7/02/2011 Demak obor 3/3 Petek Rp.150.000
Kadilangu Kel.Kadilangu
362 KUHP Demak Demak
MARET
NOVEMB
LP/362/XI/2011/J Masjid Jami Al- SUWASI, 48Th, BAIDHOWI, Uang kotak Tahap II
23 tg/ Res demak Ikhlas Swasta, 52Th, Swasta amal senilai
05/11/2011 Bogorame Kp.Bogorame (Tukang Rp.10.000
Mangunjiwan Mangunjiwa Becak)
362 KUHP Demak Kota Demak Tlogorejo
Wonosalam
Demak
LP/385/XI/2011/J Ds.Poncoharjo Nur Siyam Endang,27 Pakaian Tahap II
14
24 tg/Res demak Bonang Demak Fitriyani,25 Th,Swasta senilai
25/11/2011 Th,Swasta Ds.Poncoharj Rp.200.000
Ds.Poncoharjo o Bonang
362 KUHP Bonang Demak Demak
2012
MEI
LP/200/V/2011/Jt Di Salon Vika RUBIYANTI MASKAN, Mencuri uang Tahap II
25 g/ Res Demak Kp.Beguron Binti SARWIN, 40Th, Swasta, senilai
30/05/2012 Bintoro Demak Swasta, 31Th, Ds.Tlogorejo Rp.100.000
Ds.Tunggul Wonosalam
Pencurian Pandeyan Demak
362 KUHP Nalumsan Kab.
Jepara
INDEKS ANGGARAN
NO PROGRAM / GIAT VOLUME KET
(Rp) (Rp)
1 FUNGSI DOKKES :
15
8 HONOR PNBP ( Inafis ) 12 Tb 400.000. 4.800.000
b) Tingkat penyidikan
(1) Menerima adanya laporan atau pengaduan dari Masyarakat atau di
temukan sendiri oleh petugas .
(2) Menerbitkan surat perintah penyidikan sebagai dasar untuk melakukan
penyidikan.
(3) Melakukan gelar perkara rencana penyidikan.
(4) Melakukan pemeriksaan saksi-saksi
(5) Mengumpulkan alat bukti
(6) Melakukan pemeriksaan kepada tersangka
16
(7) Melakukan gelar perkara hasil penyidikan.
(8) Menyelesaikan Berkas Perkara
(9) Mengirim Berkas Perkara kepada Jaksa Penuntut Umum
17
2. Penyidik Polres X hanya menafsirkan hukum secara kaku atau ketat
sesuai dengan kepastian hukum namun tidak mempertimbangkan nilai
kemanfaatan dan keadilan yang menjadi di ciptakan hukum itu sendiri.
3. Penafsiran hukum penyidik Polres X masih berdasarkan rules and logic,
mengesampingkan realitas sosial yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat yang mengamanatkan penafsiran hukum berdasarkan analisis
non hukum ( penafsiran sosiologis )
4. Kuatnya aliran positivisme hukum sebagai arus utama (mainstream)
dilingkungan penyidik Polres Demak, telah melupakan ketentuan hukum
yang terdapat dalam pasal 16 ayat (1) huruf l UU No. 2 tahun 2002
tentang Polri yang menentukan bahwa aparat atau petugas Kepolisian
berdasarkan kewenangan diskresi yang dimilikinya dapat mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
5. Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polres X dalam rangka
pemberian keadilan (dispencing of justice) justru memunculkan
kesenjangan antara penegakkan hukum yang dilakukan dengan tuntutan
keadilan masyarakat, karena mengesampinkan hukum yang hidup
dimasyarakat (the living law dari Eugen Erlich)
18
III. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI
RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN RESERSE KRIMINAL
POLRES X
1. Intern
a. Kekuatan
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
2. Undang - Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang menyebutkan tugas pokok Polri sebagai pemelihara
keamanan dan ketertiban, penegak hukum dan melindungi, mengayomi
dan melayani masyarakat.
3. Perkap No. 12 th 2009 tentang pengawasan dan pengendalian penanganan
perkara pidana di lingkup Polri.
4. Perkap No. 14 th 2012 tanggal 25 Juni 2012 tentang manajemen
penyidikan tindak pidana.
5. DIPA Polri tentang Reskrim.
b. Kelemahan
1) Masih kurangnya kesamaan persepsi tentang implementasi penyidikan
tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice di satuan reserse
Polres X.
2) Masih kurangnya kualitas dan kuantitas personil dalam implementasi
penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice di
satuan reserse Polres X.
3) Masih rendahnya pemahaman anggota tentang implementasi penyidikan
tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice di satuan reserse
Polres X.
4) Belum adanya peningkatan kemampuan dan keterampilan personel
Polri yang bertugas di bidang penegakan hukum tentang implementasi
penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice di
satuan reserse Polres X secara profesional.
19
6) kekhawatiran atau ketakutan penyidik akan dipersalahkan oleh pimpinan
atau atasan penyidik dan dipermasalahkan pada pengawasan dan
pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal Polri yang
menggunakan parameter formal prosedural.
2. Ekstern
a. Peluang
1) Adanya keinginan masyarakat untuk hidup aman dan tenteram, dan
menyelesaikan permasalahan tidak harus melalui jalur pengadilan.
2) Atensi dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang mendukung
tentang implementasi penyidikan tindak pidana yang berorientasikan
Restorative Justice di satuan Reserse Kriminal Polres X.
3) Dukungan institusi dan kelembagaan hukum yang terdiri dari Jaksa
Penuntut Umum, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Pengacara yang
saling terjalin dan saling ketergantungan dalam proses pelaksanaan dan
penegakan hukum tentang implementasi penyidikan tindak pidana yang
berorientasikan Restorative Justice di satuan reserse Polres X.
4) Adanya Anggapan masyarakat terhadap Polri bahwa Polri bertanggung
jawab atas keamanan dan ketertiban.
5) Kebijakan dan strategi Polri yang disusun dalam Grand Strategi Polri
2005-2025, Reformasi Birokrasi Polri Gelombang I dan II, serta Program
Revitalisasi Polri sebagai pedoman dalam rangka meningkatkan kinerja
pada kesatuan di lingkungan Polri dalam melaksanakan.
6) Pengawasan internal (Itwas, Propam, Wassidik) dan eksternal
(Kompolnas, Ombudsman, Komisi III DPR RI, Media Massa, LSM) yang
telah berjalan selama ini dapat menumbuhkan motivasi seluruh anggota
Polri khususnya penyelidik, penyidik pembantu dan penyidik Polri
b. Ancaman
1) Sikap masyarakat yang apatis terhadap implementasi penyidikan tindak pidana yang
berorientasikan Restorative Justice yang dijalankan di satuan reserse Polres Demak.
20
2) Belum tercantumnya implementasi penyidikan tindak pidana yang
berorientasikan Restorative Justice dalam aturan hukum yang formal.
3) Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap program-program Polri.
4) Masyarakat merasa tujuan akhir implementasi Restorative Justice adalah
milik Polri saja.
5) Pemberitaan media massa yang tidak berimbang tentang pelaksanaan tugas
pokok Polri yang lebih dominan pada tugas penegakan hukum terutama
pemberitaan yang bersifat negatif dibandingkan dengan yang positif.
21
d) Pemenuhan sarana dan prasarana terutama kelengkapan fasilitas
monitoring (CCTV dan recording) dalam ruang pemeriksaan guna
menjamin transparansi dan akuntabilitas.
e) Penyusunan penjabaran ketentuan peraturan perundang-undangan
yang belum terakomodasi untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
tugas penegakan hukum.
f) Reward and punishment secara konsisten terhadap penyidik dan
penyidik pembantu dalam rangka memberikan motivasi guna
meningkatkan kinerja.
g) Pendidikan yang berkualitas dan berbasis kompetensi dalam rangka
menghasilkan aparat penegak hukum khususnya penyidik/penyidik
pembantu Polres Demak yang profesional, bermoral dan modern.
b. Anggaran
Untuk mendukung pelaksanaan tugas petugas Reskrim, maka harus
didukung anggaran yang memadai, di antaranya anggaran tentang:
1 FUNGSI DOKKES :
22
d. VER luar 100 Org 500.000. 50.000.000
c. Matlog
Adapun dukungan material logistik yagn harus di miliki oleh Satuan
Reserse Kriminal Polres X sebagai berikut :
23
d. Metode
1) Adanya buku petunjuk tentang Manajemen Tindak Pidana
2) Adanya buku petunjuk tentang Hak-hak tersangka.
3) Adanya buku petunjuk koordinasi antara CJS
4) Adanya buku petunjuk SP2HP
5) Adanya buku petunjuk/SE MA tentang tata cara penanganan Tindak
Pidana Ringan
2. Eksternal
a. Jaksa Penuntut Umum
1) Adanya komunikasi dan pendekatan dengan Jaksa penuntut umum.
2) Adanya dialog para pejabat CJS di Polres tentang pentingnya Restorative
Justice
3) Adanya pertemuan rutin untuk membahas penerapan Restorative Justice
b. Hakim
1) Adanya kerjasama dan memberikan masukan dalam rangka penerapan
Restorative Justice
2) Terjalin kemitraan dalam mengaplikasikan Penerapan Restorative Justice
untukmewujudkan keadilan yang substansif.
c. Pengacara
1) Adanya dukungan dari pengacara/advokat dalam penerapan Restorative
Justice
2) Ikut serta secara aktif memberikan masukan dalam penerapan Restorative
Justice guna mewujudkan rasa keadilan Masyarakat
d. Masyarakat
1) Adanya partisipasi aktif dari tokoh masyarakat baik tokoh formal dan non
formal dalam penerapan Restorative Justice.
2) Ikut mendukung dan membantu dalam penyelesaian perkara antara yang
berperkara dalam wadah Restorative Justice.
24
3. PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE
a. Kriteria dan jenis tindak pidana
1) Kriteria
a) Tidak ada batasan usia tersangka dalam tindak pidana yang di
lakukan
b) Kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pidana tersebut tidak
mengakibatkan luka berat dan hilangnya nyawa seseorang, atau
hanya kerugian materi yang kecil.
c) Tindak pidana tersebut bukan perbuatan tindak pidana narkotika.
d) Tindak Pidana yang diselesaikan adalah tindak pidana ringan dan
atau tindak pidana lainnya yang menimbulkan kerugian pada
individu.
e) Tindak pidana yang dilakukan diselesaikan dengan cara
musyawarah dengan mempertemukan pihak yang berperkara serta
melibatkan pranata sosial dan atau tokoh tokoh masyarakat dan atau
tokoh agama dan atau tokoh adat setempat.
f) Pelaku tindak pidana bukan merupakan seorang residivis
g) Tindak pidana yang dilakukan tidak termasuk dalam tindak pidana
yang merugikan keuangan atau perekonomian Negara, mengancam
keamanan negara, dan simbol-simbol Negara.
h) Tindak Pidana yang dilakukan telah disepakati oleh kedua belah
pihak yang berperkara untuk dilakukan penyelesaian diluar
pengadilan.
2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi
a) Formil
(1) Pihak-pihak yang berperkara (pelaku dan korban) membuat
surat pemyataan penyelesaian perkara diluar peradilan.
(2) Pihak pelapor/korban mencabut laporan / pengaduan.
(3) Apabila terjadi ketidak puasan para pihak yang berperkara
setelah dilakukan diluar mekanisme pengadilan maka
dilakukan penyelesaian sesuai prosedur hukum yang berlaku.
25
(4) Dibuat Berita acara tentang penyelesaian perkara di luar
Peradilan yang di tandatangani oleh pihak yang berperkara,
penyidik dan para saksi maupun tokoh masyarakat yang
hadir.(pasal 75 ayat 3 KUHAP).
(5) Pen yel esai an perkara diluar pengadila n dilakukan
dengan tuj uan tidak untuk mencari keuntungan
pribadi dan kelompok namun bert ujuan demi
keadil an dan kem anfaat an antara kedua belah pihak.
b) Materil
(1) Tindak Pidana yang dapat diselesaikan diluar pengadilan
adalah tindak pidana ringan atau tindak pidana yang kerugian
ekonominya kecil yang tidak berdampak social.
(2) Penyelesaian perkara pidana dengan Restorative Justice di
dahului dengan rekonsiliasi dengan mempertemukan kedua
belah pihak yang berperkara yang melibatkan tokoh agama,
tokoh masyarakat maupun tokoh adat setempat.
(3) Dalam menyelesaikan perkara perlu di perhatiakan faktor
kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian yang ditimbulkan,
serta bukan merupakan perbuatan yang berulang (residive)
atau penggabungan tindak pidana (samenloop).
(4) Selain perkara pidana, pekara yang dapat diselesaikan dengan
Restorative Justice adalah perkara yang berada pada area
pidana dan perdata (Twilight Area).
(5) Pelaku buakn termasuk seorang residivis, apabila pelaku
seorang residivis maka harus dilanjutkan proses hukum
sesuai peraturan / hukum yang berlaku.
(6) Tindak pidana yang menimbulkan kerugian secara individu
(bukan kerugian terhadap keuangan/perekonomian Negara).
b. Mekanisme penanganan perkara
1) Prinsip-prinsipnya
26
a) Penyelesaian perkara pidana dengan Restorative Justice didasarkan
atas kehendak dari pihak-pihak yang berperkara dan bukan paksaan
dari pihak manapun.
b) Penyelesaian perkara pidana dengan cara Restorative Justice dapat
dilakukan di setiap masing-masing unit di Satuan Reskrim.
c) Untuk perkara pidana yang tidak dapat di selesaikan dengan
Restorative Justice maka penyidik wajib melakukan penyidikan
lanjutan.
d) Penyelesaian perkara secara Restorative Justice diselesaikan diunit
dimana laporan/ pengaduan ditangani.
2) Tahapan penanganan
a) Sebelum Laporan Polisi dibuat :
(1) Melakukan pengkajian terhadap perkara yang akan di
laporkan.
(2) Melakukan analisa guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyelesaian perkara di luar pengadilan serta
menilai dampak yang mungkin bisa timbul.
(3) Membuat Berita Acara tentang tindakan-tindakan yang telah
dilakukan penyidik dalam rangka Restorative Justice
(4) Membuat surat pemberitahuan kepada pihak-pihak yang
berperkara dan kepada tokoh masyarakat tentang teiah
diselesaikannya perkara tersebut melalui metode Restorative
Justice.
b) Saat proses penyelidikan:
(1) Menerima adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat
(2) Menerbitkan surat perintah penyelidikan yang di tanda
tangani oleh pejabat yang berwenang.
(3) Membuat laporan hasil penyelidikan sebagai hasil telah
melakukan tindakan penyelidikan
(4) Melakukan gelar tentang rencana tindak lanjut dari hasil
penyelidikan.
27
(5) Mengundang atau pemberitahuan kepada terlapor dan pelapor
termasuk tokoh masyarakat guna di lakukan penyelesaian di
luar pengadilan
(6) Melakukan tindakan rekonsiliasi dengan pihak yang bertikai
yang difasilitasi oleh penyidik.
(7) Melakukan gelar terhadap hasil kesepakatan sementara yang
telah dihasilkan.
(8) Mem bu a t b eri t a a c a ra p en ye l e sa i a n p e rk ar a ya n g
d i t a n d a t a n g a n i o l e h p i h a k - p i h a k y a n g berperkara,
penyidik dan pihak Iainnya.
(9) Meregistrasikan penyelesaian perkara diluar
peradilan atau Restorative Justice dalam buku Register
Penyelesaian Perkara.
(10) Menerbitkan Surat Perintah Penghentian penyelidikan
berdasarkan keseppakatan damai antara pihak-pihak yang
bersengketa.
c) Saat proses penyidikan
(1) Menerima adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat
(2) Menerbitkan surat perintah penyidikan yang ditanda tangani
oleh pejabat yang berwenang
(3) Melakukan gelar tentang rencana penyidikan yang akandi
lakukan
(4) Membuat laporan hasil penyidikan yang telah dilakukan
(5) Membuat gelar perkara tentang hasil penyidikan.
(6) Mengundang atau memanggil tersangka (terlapor) dan saksi
(korban)
(7) Memfasilitasi upaya penyelesaian secara Restorative Justice
kepada para pihak yang berperkara.
(8) Penyelesaian perkara dapat melibatkan peran pihak ketiga
(Polmas, Tomas. Toga, dan ketua Iingkungan) guna
28
mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan nilai-nilai
kearifan local yang berlaku
(9) Melakukan gelar perkara dari hasil rekonsiliasi yang dilakukan
(10) Membuat berita acara hasil gelar perkara
29
(5) Mencatat dalam buku registrasi penyelesaian perkara diluar
peradilan atau Restorative Justice dalam buku Register
Penyelesaian Perkara.
(6) Menerbitkan Surat Perintah Penghentian
penyidikan dengan alasan :
(a) Bukan Tindak Pidana, tidak cukup bukti, demi hukum
sebagaimana pasal 109 ayat (2) KUHAP.
(b) Laporan/pengaduan dicabut melalui Restorative
Justice berdasarkan Diskresi Kepolisian ( Pasal 18 UU
No. 2 tahun 2002).
(8) Mengirim surat kepada Jaksa Penuntut Umum tentang
penyelesaian perkara pidana melalui Restorative
Justice, dengan melampirkan administrasi yang
diperlukan
30
g) Adanya administrasi penyilidikan/penyidikan di setiap tingkatan
penyilidikan maupun penyidikan
4) Sistem pengawasan
a) Secara struktural
b) Secara fungsional:
(1) itwasda (selaku quality insurance dan pengawas internal)
(2) Pengemban fungsi Propam (Kasiewas,
Kasipropam, dan Bid Propam )
c) Metode pengawasan
(1) Standar operasional penyelidikan/penyidikan sesuai SOP
(2) Laporan Hasil Penyelidikan
(3) Laporan hasil Penyidikan
(4) Laporan hasil Gelar Perkara
(5) Laporan Kemajuan penanganan perkara
(6) Laporan penyelesaian perkara.
(7) Supervisi dan Asistensi
d) Sistem Laporan
(1) Setiap satuan pengemban fungsi penyidikan (unit Reskrim
Polsek, dan Sat Reskrim Polres) membuat buku register
penyelesaian perkara secara Restorative Justice
(2) Setiap satuan pengemban fungsi penyidikan (unit Reskrim
Polsek, dan Sat Reskrim Polres) melaporkan setiap
penyelesaian perkara secara Restorative Justice.
31
V. LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH GUNA IMPLEMENTASI
RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN RESERSE POLRES X
1. Visi
“Postur Polri yang Profesional sebagai Pelindung, Pengayom dan Pelayan
Masyarakat”
2. Misi
Berdasarkan pernyataan visi sebagaimana tersebut diatas, selanjutnya
dijabarkan dalam bentuk misi Polri kedepan dalam pelaksanaan tugas pokoknya,
baik di bidang pembangunan kekuatan, pembinaan kekuatan maupun kegiatan
operasional yang terdiri dari :
a. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayyanan kepada masyarakat
(meliputi aspek security, surety, safety dan peace ).
b. Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preemtif dan
preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan
hukum masyarakat ( Low Abiding Citizen Ship ).
c. Menegakan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung
supremasi hukum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian
hukum dan rasa keadilan.
d. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap memperhatikan
norma dan nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
e. Mengelola sumberdaya manusia Polri secara profesional untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri sehingga dapat emndorong meningkatnya gairah kerja
guna mencapai kesejahteraan masyarakat.
f. Meningkatkan upaya konsolidasi kedalam ( Internal Polri ) sebagai upaya
menyamakan visi dan misi Polri kedepan.
g. Memelihara solidaritas institusi Polri dari berbagai pengaruh eksternal yang
sangat merugikan organisasi.
h. Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah konflik guna
menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
32
i. Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat
yang bhineka tunggal ika. Pergeseran paradigma pengabdian Polri yang
sebelumnya cenderung digunakan sebagai alat penguasa kearah mengabdi bagi
kepentingan masyarakat telah membawa berbagai implikasi perubahan yang
mendasar.
3. Tujuan
33
b. Mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan Restorative
Justice memberikan peran masyarakat yang lebih luas. Dalam mekanisme
penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan Restorative Justice, maka
posisi masyarakat bukan hanya sebagai peserta pelaku atau peserta korban saja.
Masyarakat dapat diberikan peran yang lebih luas untuk menjadi pemantau atas
pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara
pidana melalui pendekatan ini. Pelaksanaan kegiatan ini dapat dilakukan
dengan berbagai cara misalnya memantau upaya rehabilitasi. Memantau
pelaksanaan pertanggungjawaban pelaku, yang dapat berwujud barbagai
bentuk seperti perbaikan benda/sarana yang rusak, pengembalian barang,
pemenuhan denda adat dan lain sebagainya.
c. Proses penanganan perkara dengan pendekatan restoratif justice dapat
dilakukan secara cepat dan tepat. Karena tidak melalui prosedur birokrasi yang
berbelit-belit maka proses penyelesaian perkara pidana terutama yang
diselesaikan diluar lembaga pengadilan baik didalam sistem peradilan pidana
maupun penyelesaian oleh masyarakat sendiri atau bahkan oleh lembaga adat
dapat dilakukan dengan singkat. Suatu model penyederhanaan sistem
penyelesaian suatu perkara pidana. Dalam Hukum acara pidana di Indonesia
memang dikenal beberapa model mekanisme penyelesaian perkara pidana
melalui peradilan biasa atau peradilan singkat. Namun terlihat bahwa
mekanisme itu belum menjawab kebutuhan masyarakat sebagaimana dalam
paparan diatas. Berangkat dari evaluasi atas penyelesaian perkara pidana
dengan menggunakan prinsip yang ada dalam Restorative Justice sebagai
ukuran dalam menilai kasus-kasus tersebut, sedikit banyak nilai-nilai utama
yang menjadi pilar dalam penyelesaian perkara pidana telah diterapkan
meskipun dengan sejumlah kelemahan yang timbul atas pemahaman suatu
pendekatan Restorative Justice yang belum menyeluruh seperti pelibatan
pelaku dan korban, asas pra duga tak bersalah, persamaan dalam pencapaian
proses penyelesaian dan upaya pencapaian penyelesaian yang mengacu kepada
tujuan dari Restorative Justice yaitu mengacu kepada kebutuhan pelaku,
korban dan masyarakat dalam memperbaiki relasi sosial antara mereka.
34
Dalam melihat kemungkinan penerapan keadian restoratif, penulis melihat
bahwa Basic PrincipleThe Use Of Restoratif Justice mengamanatkan bahwa
pendekatan ini dapat diterapkan dalam bingkai penegakan hukum sehingga
tercipta penegakan hukum yang professional dan proporsional . Hal ini
menandakan bahwa bila di Indonesia pendekatan ini akan dipakai sebagai
bagian dari mekanisme penyelesaian perkara pidana, maka sistem peradilan
pidana yang ada harus disesuaikan hingga bisa menjangkau dan mewadahi
mekanisme penyelesaan perkara pidana melalui pendekatan ini.
35
a. Teori atau aliran sociological Jurisprudence
Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat
hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat.
Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan
antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the
living law). Pound menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi
kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian
yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam
kaitannya dengan penerapan hukum Pound menjelaskan tiga langkah yang
harus dilakukan :
1. menemukan hukum
2. menafsirkan hukum
3. menerakan hukum
36
gemacht, est ist und wird mit dem Volke” atau terjemahannya bahwa hukum
itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Oleh
karena itu hukum selalu berkembang dan terus berkembang dari masa ke masa
seiring dengan pekembangan masyarakat itu sendiri. Hal ini tentunya
memungkinkan muncul ilmu-ilmu baru dalam menerapkan hukum,karena ilmu
hukum sifatnya bukan final yang tidak bisa berubah tetapi sebaliknya bisa
berubah-ubah sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Sedangkan menurut aliran atau teori utilitarian, yaitu sebuah teori yang
menyatakan bahwa setiap hukum dalam arti peraturan yang dibuat, maka harus
mempunyai nilai guna bagi masyarakat. Salah satu tokohnya yang terkenal
adalah jeremy Bentham, dengan pendapatnya ” The aim of law is The Greatest
happiness for the greatest number”. Menurut aliran ini sesuatu peraturan
perundangan-undangan harus di bentuk untuk membawa manfaat kepada
masyarakat maka apabila peraturan tersebut tidak membawa manfaat perlu
dilakukan pengkajian yang mendalam tentang produk peraturan tersebut,
Penydik Polres Demak dalam melakukan penyidikan tentunya harus membawa
manfaat dan nilai keadilan kepada masyarakat, penerapan undang-undang yang
di gunakan untuk sebagai dasar membawa kepastian hukum belum tentu
membawa kemanfaatan dan keadilan, dimana idealnya adalah kepastian hukum
dan rasa keadilan.
37
Agenda reformasi birokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah
bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Keadilan adalah
inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara
matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian
yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai
dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP.
38
dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum. Penyidikan oleh
penyidik satuan reserse criminal Polres Demak masih dalam taraf pengejaran
kepastian hukum, namun mengabaikan azas kemanfaatan serta keadilan,
seorang pelaku tindak pidana haruslah dihukum meskipun tindak pidana
tersebut hanya mengakibatkan kerugian ekonomi yang kecil
Satjipto Rahardjo (1993) mengatakan bahwa dalam pertukaran
(interchange-interaction) dengan masyarakat atau lingkungannya, ternyata
polisi memperlihatkansuatu karakteristik yang menonjol dibandingkan dengan
yang lain (hakim, jaksa dan pengacara). Polisi adalah hukum yang hidup atau
ujung tombak dalam penegakkan hukum pidana. Dalam melakukan
penangkapan dan penahanan misalnya, polisimenghadapi atau mempunyai
permasalahan sendiri. Pada saat memutuskan untukmelakukan penangkapan
dan penahanan, polisi sudah menjalankan pekerjaan yang multifungsi, yaitu
tidak hanya sebagai polisi tetapi sebagai jaksa dan hakim sekaligus.
Penyidikan tersebut sangat rawan dan potensial untuk terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penyimpangan polisi (police
deviance) baik dalam bentuk police corruption maupun police brutallity.
Internal Polrisendiri telah melakukan otokritik terhadap hal tersebut yang
mengungkapkan praktik penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat atau
petugas Polri, terutama dalampelaksanaan kewenangan penyidikan.
39
hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan
spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh
determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan
disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan
Kasus-kasus yang nilai kerugian sangat kecil serta tidak berdampak
social yang luas, perlu adanya empati dari penyidik Polres X untuk di
selesaikan di luar jalur pengadilan,hal ini akan lebih membawa kemanfaaan
serta keadilan antara pihak-pihak yang berperkara. Sehingga mampu mengubah
penegakan hukum yang lebih profesional.
40
Dalam pasal ini menjelaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
Bertolak dasar dari beberapa pasal yang tercantum dalam UUD 1945
tersebut, maka penegakan hukum pidana di Polres Demak sebagai bagian dari
proses peradilan pidana seharusnya tidak semata-mata di dasarkan pada asas
legalitas formal menurut pasal 1 KUHP, yang hanya mengakui UU sebagai
sumber hukum (sumber pemidanaan). Dari dasar hukum di atas pun dapat
terlihat bahwa supremasi hukum atau kepastian hukum tidak diartikan semata-
mata sebagai supremasi /kepastian menurut undang-undang. Di dalam UUD
NRI 1945 tidak di gunakan istilah” kepastian hukum” atau “ penegakan
hukum” saja, tetapi “kepastian hukum yang adil” (pasal 28 D UUD NRI 1945)
atau “ menegakkan hukum dan keadilan” (pasal 24 ayat 1 UUD NRI 1945)
41
Dalam berbagai peretemuan ilmiah/seminar nasional, penelitian ilmiah,
dan kenyataan/realita juga menghendaki di pelihara dan di hormatinya nilai-
nilai kebiasaan/nilai-nilai budaya luhur yang ada di masyarakat, Dengan
demikian adalah sangat wajar apabila nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
itupun termasuk kepentingan hukum yang seharusnya di lindungi/di pelihara
dan oleh karena itu juga menjadi tujuan penegakan hukum.
Perlu kami catat bahwa secara konstitusioanl UUD NRI 1945 tidak
pernah menyatakan bahwa kepastian hukum itu identik dengan kepastian
undang-undang. Dengan selalu digunakannya kata “hukum dan keadilan”
secara bersamaan memberiakn arti bahwa makna “supremasi/penegakan
hukum” bukan semata-mata “supremasi/penegakan undang-undang” saja,
tetapi mengandung makna substansif yaitu supremasi/penegakan nilai-nilai
substansif/materiel.
Oleh karena itu penerapan asas legalitas dalam KUHP warisan belanda
dalamkonteks sistem hukum nasional seharusnya jangan di artikan semata-
mata sebagai kepastian/kebenaran/keadilan formal undang-undang tetapi harus
lebih mendalam sebagai kepastian/kebenaran/keadilan nilai-nilai substansif.
42
Sehubungan denga hal di atas, patut di renungi pendapat Prof. Douglas
N Husak mengenai asas legalitas dalam tulisannya “Fidelity to law cannot be
construed merely as fidelity to statutory law, but must be understood as fidelity
to the principle of justice that underline statutory law. (Kebenaran hukum tidak
dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang,tetapi harus
dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang).
Penegakan Hukum
Restorative Justice
oleh Penyidik
43
Restorative Justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana
dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial.
Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan.Johnstone,
mencatat beberapa kebaikan dari Restorative Justice system, yaitu:
a. Bagi korban, Restorative Justice system lebih mampu member atau memenuhi
secara lebih baik kebutuhan dan rasa puas dibandingkan dengan proses
peradilan pidana biasa.
b. Bagi pelaku, Restorative Justice system member kesempatan meraih kembali
rasa hormat masyarakat daripada terus-menerus dicaci.
a. Segi Represif
Dengan diterapkannya konsep Restorative Justice system, maka yang
diutamakan adalah kepentingan pelaku, korban dan masyarakat. Tindakan
refresif yang dapat dilakukan dalam hal ini untuk si pelaku di berikan fasilitas
untuk di rehabilitasi, untuk korban di beri kompensasi dan untuk masyarakat
sendiri secara otomatis kepentingannya dalam hal keamanan akan lebih
terjamin.
b. Segi Preventif
Dengan diterapkannya konsep penegakan hukum dalam Restorative
Justice system, yang dalam pelaksanaannya atau prakteknya, mengupayakan
agar si pelaku dan korban saling bertemu di hadapan anggota masyarakat yang
lain, dan setelah itu, si pelaku disuruh untuk meminta maaf dan berdasarkan
kesepakan dari anggota masyarakat yang lain, si pelaku baru ditentukan
“balasan” dari perbuatannya. Biasanya, balasan tersebut bisa berupa
rehabilitasi, atau balasan langsung terhadap korban dalam arti si pelaku disuruh
44
untuk membayar kerugian si korban, sehingga keseimbangan masyarakat pun
tetap terjaga.
5. Kebijakan
Bahwa proses reformasi nasional, telah membawa perubahan di dalam
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai lembaga yang dinamis, Polri
pun telah menampakan hasil aspek struktural dan instrumental yang
memantapkan kedudukan dan susunan Polri dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia, serta semakin mengemukakan paradigma baru sebagai Polisi
yang berwatak sipil (Civilian Police).
Sementara itu pembenahan aspek kultural masih berproses, antara lain
melalui ; pembenahan kurikulum pendidikan, sosialisasi nilai-nilai Tribrata dan
Catur Prasetya, Kode Etik Profesi untuk mewujudkan jati diri Polri sebagai
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Sikap perilaku anggota Polri belum sepenuhnya mencerminkan jati diri
sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Penampilan Polri masih
menyisakan sikap perilaku yang arogan, cenderung menggunakan kekerasan,
diskriminatif, kurang responsif dan belum profesional khususnya dalam
penegakan hukum masih merupakan masalah yang harus dibenahi secara terus
menerus. Mereformasi diri dan kembali sebagai organisasi yang independen
sesuai dengan fungsinya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat
serta sebagai aparat penegak hukum yang profesional.
Keberhasilan reformasi Polri tersebut, yang di jabarkan menjadi reformasi
birokrasi polri khususnya dalam penegakan hokum yang professional dalam
menangani kasus-kasus yang tergolong kecil tidak hanya ditentukan oleh Polri
semata, tetapi juga didukung oleh peran serta masyarakat, karena peran serta
masyarakat sangat penting dalam penerapan restorative justice dalam
45
mewujudkan Polri yang profesional yang mampu menjawab tantangan masa
depan, sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
Sebagai langkah awal reformasi birokrasi Polri, telah memberikan
motivasi berbagai perubahan Polri, mulai dari aspek struktural, instrumental dan
kultural yang hingga saat ini perubahan tersebut masih bergulir menuju Polri yang
profesional, berwibawa dan dipercaya oleh masyarakat.
46
Sosialisasi tentang implementasi pendekatan atau
konsep keadilan restorative (Restorative Justice)
dalam penanganganan tindak pidana secara
kontinyu.
- Mengikutsertakan anggota untuk mengikuti
seminar/work shop tentang Restorative Justice
sehingga tercapai keadilan yang substansif.
(c) Wasdal
Agar dalam pelaksanaan tidak terjadi kerancuan
dan perbedaan persepsi dalam pelaksanaan perlu
dilaksanakan pengawasan dan pengendalian mulai dari
rencana kegiatan sampai dengan laporan hasil kegiatan,
dengan membagi perwira yang ada untuk mengawasi.
4) Anggaran
Menambah anggaran dengan membuat usulan dalam Renja /
RKA-KL.
5) Matlog
a) Memberdayakan sarana dan prasarana yang sudah ada.
b) Usulkan pengajuan kebutuhan ke Kesatuan Atas / Polda.
6) Methode
a) Pelatihan secara berjenjang di Polres sampai dengan tingkat
Polsek / Pospol.
b) Sosialisasi
c) Wasdal
d) Reward and punishment
a. Langkah-langkah Strategis eksternal
1) Kejaksaan
a) Peran kejaksaan dalam penegakan hukum pidana
48
unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian.
Jadi yang diperiksa adalah materi perkaranya.
Meneliti adalah apakah semua persyaratan formal
telah dipenuhi oleh penyidik dalam membuat berkas
perkara, yang antara lain perihal identitas
tersangka, locus dan tempus tindak pidana serta
kelengkapan administrasi semua tindakan yang
dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan.
(c) Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b
KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110
ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan (2)
KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa
hasil penyidikan kurang lengkap (P-18), penuntut umum
segera mengembalikan berkas perkara itu kepada
penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi (P-19).
Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan
penyidikan tambahan sebagaimana petunjuk penuntut
umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3)
KUHAP.
(d) Bila berkas perkara telah dilengkapi sebagaimana
petunjuk, maka menurut ketentuan Pasal 139 KUHAP,
penuntut umum segera menentukan sikap apakah suatu
berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau
tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (P-21).
(e) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal 14
huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal tersebut yang
dimaksud dengan “tindakan lain” adalah antara lain
meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan melihat
secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik,
penuntut umum dan pengadilan.
49
(f) Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum
berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan dapat
dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum
secepatnya membuat surat dakwaan untuk segera
melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk
diadili.
(g) Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP, penuntut
umum menerima penyerahan tanggung jawab atas berkas
perkara, tersangka serta barang bukti. Bahwa proses
serah terima tanggung jawab tersangka disini sering
disebut Tahap 2, dimana di dalamnya penuntut umum
melakukan pemeriksaan terhadap tersangka baik
identitas maupun tindak pidana yang dilakukan oleh
tersangka, dapat melakukan penahanan/penahanan
lanjutan terhadap tesangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2)
KUHAP dan dapat pula melakukan penangguhan
penahanan serta dapat mencabutnya kembali.[19]
b) Bila melihat tugas dan wewenag jaksa penuntut umum yang telah
disampaikan di atas, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh jaksa
penuntut umum baik dalam proses pra penuntutan maupun
penuntutan sesungguhnya dilakukan atas dasar keadilan dan
kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Penegakan
hukum demi keadilan tersebut tentu juga mencakup adil bagi
terdakwa, adil bagi masyarakat yang terkena dampak akibat
perbuatan terdakwa dan adil di mata hukum, dengan begitu dengan
sendirinya apa yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam
rangka penegakan hukum adalah untuk mencapai tujuan hukum
yakni kepastian hukum, menjembatani rasa keadilan dan
kemanfaatan hukum bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu
peran Penuntun umum dalam penerapan Restorative Justice juga
50
sangat penting, karena penuntut umum akan mempelajari dan
menilai apakah berkas perkara layak untuk di sidangkan atau tidak
demi terwujudnya tujuan dari hukum itu sendiri yaitu selain untuk
mencapai kepastian hukum juga untuk mencari kemanfaatan dan
keadilan. Peran penuntut umum dalam mendukung penerapan
Restorative Justice dapat di lakukan dengan cara:
(1) Memberikan sosialisasi Restorative Justice yang telah
dilakukan oleh penyidik Polres Demak kepada seluruh jaksa
penuntut umum sehingga ada kesamaan pemahaman tentang
restorative justice.
(2) Mengadakan pertemuan secara rutin antara penyidik dan
penuntut umum dalam diskusi dan dialog di Polres sehingga
menyadari dan memahami tentang Restorative Justice.
51
c) Meningkatkan perhatian dan pengertian masyarakat terhadap
pelaksanaan tugas Polri khususnya dalam menyelesaikan
permaslahan criminal dengan Restorative Justice.
d) Mengarahkan masyarakat untuk membangun kultur/budaya kearah
yang positif dalam setiap penyelesaian perkara criminal.
b. STRATEGI
Sedangkan strategi untuk mewujudkan implementasikan pendekatan
atau konsep keadilan restorative (Restorative Justice) dalam penanganganan
tindak pidana , dapat dilaksanakan melalui :
1) Strategi Internal (Polri)
a) Mengembangkan sistem pembinaan sumber daya manusia khusus
bagi Anggota reserse kriminal Polres X yang meliputi : Rekruitment,
Pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para penyidik/penyidik
pembantu, Pembinaan karier secara berjenjang, Penilaian kinerja
baik perorangan maupun kesatuan, Penghargaan dan penghukuman,
menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan
Restorative Justice secara bertahap sesuai dengan kualifikasi yang
dibutuhkan.
b) Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan
Penyidikan.
c) Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam
melaksanakan tugas .
d) Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang
kondusif bagi implementasi pendekatan atau konsep keadilan
restorative (Restorative Justice) dalam penanganan tindak pidana.
52
b) Membangun dan membina kemitraan dengan tokoh masyarakat
maupun tokoh agama rangka memberikan dukungan bagi penerapan
Restorative Justice
c) Meningkatkan program-program sosialisasi implementasi
pendekatan atau konsep keadilan restorative (Restorative Justice)
dalam penanganganan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik
Polres Demak
d) Menyelenggarakan program implementasi pendekatan atau konsep
keadilan restorative (Restorative Justice) dalam penanganan tindak
pidana pada kasus tertentu sehingga secara bertahap dapat
diimplementasikan di semua jajaran Polsek di Polres Demak
VI. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dan pembahasan-pembahasan di atas maka dalam
penulisan makalah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Penyidik polres X dalam melakukan penyidikan masih berfikir atau berpaham
positivisme, artinya penyidik menerapkan hukum hanya sebatas dalam
penerapan pasal-pasal yang tercantum dalam hukum materiel, namun
mengabaikan rasa keadilan masyarakat, banyak kasus yang dilanjutkan sampai
proses pengadilan meskipun kasus tersebut tergolong kasus-kasus yang
kerugian ekonominya sangat kecil. Hal ini terjadi di karenakan salah satunya
adalah pendidikan maupun sumber daya penyidik/penyidk pembantu yang
belum memahami hakekat dari tujuan hukum yaitu selain kepastian hukum
hukum bertujuan untuk mancari kemanfaatan maupun untuk mencapai
keadilan, penyidik belum memahami apa itu yang di sebut dengan Restorative
Justice karena kurangnya pendidikan/pelatihan tentang Restorative Justice.
b. Dalam penerapan Restorative Justice banyak faktor-faktor yang mempengaruhi
penerapan Restorative Justice baik itu yang bersifat dari luar maupun dari
dalam yang meliputi kekuatan, kelemahan, kesempatan maupun ancaman.
53
c. Kondisi penyidikan di Polres X di harapkan dapat mengimplementasikan
Restorative Justice, hal ini sesuai dengan tujuan adanya hukum,selain untuk
menjamin kepastian hukum hukum juga berguna untuk mencari keadilan serta
kemanfaatan. Dasar teori serta penerapan Restorative Justice bisa mengacu
pada sociological jurisprudence yang menerangkan bahwa hukum yang baik
haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat,
hukum progressif oleh prof Satjipto Raharjo yang menerangkan bahwa
menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan
(according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam
(to very meaning) dari undang-undang atau hukum,serta pasal-pasal yang
tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Penerapan Restorative Justice diharapkan mampu membawa keadilan
yang substansif sehingga penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik
Polres X diharapkan semakin profesional.
d. Guna menerapkan Restorative Justice maka diperlukan langkah-langkah baik
itu langkah-langkah yang bersifat internal maupun ekternal, langkah internal
di antaranya meliputi kebijakan kapolres, peningkatan personil baik kuantitas
maupun kualitas, pemenuhan material logistic, pemenuhan anggaran, serta
metode sedangkan langkah eksternal dengan cara peningkatan kerjasama
dengan kejaksaan maupun tokoh masyarakat. Selain itu juga di terapkan
strategi dalam implementasi restorative justice yang meliputi strategi internal
maupun strategi eksternal.
2. Rekomendasi
a. Untuk menghindari rasa ketidakadilan masyarakat dimana kasus kriminal yang
selalu dibawa ke ranah peradilan maka penyidik Polres Demak perlu
menerapkan Restorative Justice di tingkat penyelidikan maupun penyidikan
dengan mempedomani syarat-syarat implementasi restorative justice, dengan
diterapkan restorative justice maka di harapakan terwujudnya penegakan
hukum yang professional serta pelayanan prima kepada masyarakat sesuai
program Reformasi Birokrasi Polri.
b. Untuk mendukung penerapan restorative justice maka perlu di dukung sumber
54
daya manusia penyidik maupun penyidik pembantu yang memadai baik kuanti
tas maupun kualitas, oleh karena itu perlu penambahan penyidik maupun
penyidik pembantu sesuai dengan DSPP serta peningkatan kualitas penyidik
/penyidik pembantu dengan cara mengikutsertakan mengikuti seminar,
lokakarya, diskusi yang berkaitan dengan restorative justice serta perekrutan
penyidik melalui accessment center yang diantaranya meliputi standart
pendidikan penyidik maupun penyidik pembantu. Selain peningkatan sumber
daya penyidik maka perlu ditingkatkan juga sarana prasarana serta anggaran
guna menunjang implementasi restorative justice. Serta peningkatan kerjasama
antara sesama penegak hukum termasuk dengan tokoh masyarakat tentang
persamaan pandangan dalam penerapan restorative justice.
c. Untuk menjamin adanya keseragaman dalam implementasi Restorative Justice
di lingkungan Polda Jateng khususnya di Polres Demak, diperlukan suatu
norma atau kaidah untuk menjamin kesamaan tindakan penyidik dalam
penerapan konsep Restorative Justice pada penegakan hukum pidana,dan juga
untuk memberikan legitimasi kepada penyidik Polri agar segala tindakan yang
dilakukan dalam implementasi restorative untuk kepentingan penyidikan tidak
dicap ilegal dan menyimpang dari hukum acara yang berlaku. Hal ini
diantaranya di keluarkannya SOP (standart operasional prosedur) dalam
penerapan restorative justice serta perumusan kelengkapan administrasi
penyidikan dalam penerapan implementasi restorative justice.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat
(Hukum Pidana Formal), Jakarta: Penerbit Restu Agung, buku 2, 2006.
Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Esmi Warassih, Prana Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang : PT Suryandaru Utama,
2005.
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta : 2010.
Friedman, W, Teori dan Filsafat Hukum. Telaah Krisis Atas Teori-teori Hukum, Terjemahan M.
Arifin, Jakarta : Rajawali, 1990.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Ed. Kesatu, Jakarta:
Sarana Bakti Semesta, 1985.
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : The
Habibie Center, 2002.
Prodjohamidjojo, Martiman, Penyelidikan dan Penyidikan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal – Pasal Terpenting dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Gramedia, 2003.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan
Hukum), Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2007.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2006.
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta Publishing,
2009.
Wignjosoebroto Soetandyo, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Bayu
Media, April, 2008.
PERATURAN/ UNDANG-UNDANG
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Sinar Grafika, 2004.
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,Sinar
Grafika, 2004.
56
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Direktorat Penyuluhan
Hukum Dep. Kehakiman RI, Jakarta, 1986.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang - Undang
Hukum Acara Pidana, Direktorat Penyuluhan Hukum Departemen Kehakiman,
Jakarta, 1986.
Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Sinar Grafika, 2006.
LAIN-LAIN/ INTERNET
http://hukumonline.com.2010.
http://depkumham.go.id.2010.
http://www.jateng.polri.go.id
http://www.legalitas.org.2010.
http://www.polri.go.id
MAKALAH
Garuda Wiko, "Penegakan Hukum, Pembaharuan Hukum dan Rancang Bangun Hukum
Progresif", Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Univeristas Tanjungpura, Pontianak, 29 Oktober 2009.
57