Professional Documents
Culture Documents
Askep Gerontik Tiar Tn.a
Askep Gerontik Tiar Tn.a
A DENGAN
PRIORITAS MASALAH KEBUTUHAN DASAR GANGGUAN
RASA AMAN DAN NYAMAN (NYERI) HERNIA NUKLEUS
PULPOSUS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Praktik Profesi Ners dalam
stase Keperawatan Gerontik
PEMBIMBING:
Ns. Royani, M.Kep
DISUSUN OLEH:
Ruth Tiar Nauli
NIM 202207032
GERONTIK
A. Definisi Lansia
Usia lanjut adalah kelompok yang mengalami suatu proses perubahan yang
bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade. Usia lanjut merupakan tahap
perkembangan normal yang akan dialami oelh setiap individu yang mencapai
usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari (Notoatmodjo,
2007)
Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia
yang dimulai dari usia 60 tahun hingga hampir mencapai 120 atau 125 tahun
(W. Pipit Festi, 2018).
Lansia merupakan dua kesatuan fakta sosial dan biologi. Sebagai suatu fakta
sosial, lansia merupakan suatu proses penarikan diri seseorang dari berbagai
status dalam suatu struktur masyarakat. Secara fisik pertambahan usia dapat
berarti semakin melemahnya manusia secara fisik dan kesehatan (Priyanto,
2000). Menurut undang-undang RI No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal
19 ayat 1 bahwa manusia lanjut usia adalah seseorang yang karean usianya
mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial. Perubahan ini akan
memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan (khoriyah, 2011).
B. Klasifikasi Lansia
Menurut Maryam (2008), lima klasifikasi lansia antara lain :
1. Pra lansia seseorang yang berusia 45-59 tahun
2. Lansia seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3. Lansia resiko tinggi seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan
4. Lansia potensial lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dana tau
kegiatan yang masih dapat menghasilkan barang/jasa
5. Lansia tidak ptensial lansia yang tidak berdaya mecari nafkah, sehingga
hidupnya bergntung pada bantuan orang lain.
C. Tipe Lansia
Menurut Maryam (2008), beberapa tipe lansia bergantung pada karakter,
pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisi, mental, sosial, dan ekonominya.
Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman menyesuaikan diri dengan perubahan
jaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Menggati kegitan yang hilang dengan yang baru dan selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,
tidak sabra, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkeritik, dan banyak
menuntu.
4. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan
melakukan pekerjaan apa saja
5. Tipe bingung
Keget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,
acuh tidak acuh
D. Tugas Perkembangan Lansia
Seiring tahap kehidupan, lansia memeliki tugas perkembangan khusus. Menurut
Potter dan Perry (2005), tujuh katagori utama tugas perkembangan lansia
meliputi:
1. Menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik, dan kesehatan
Lansia harus menyesuaikan dengan perubahan fisik seiring terjadinya
penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi. Hal ini dikaitkan
dengan penyakit, tetapi hal ini adalah normal
2. Menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan
Lansia umumnya pensiun dari pekerjaan purna waktu, dan oleh karena itu
mungkin perlu untuk menyesuaikan dan membuat perubahan karena
hilangnya peran bekerja.
3. Menyesuaikan terhadap kematian pasangan
Mayoritas lansia dihadapkan pada kematian pasangan, teman, dan kadang
anaknya, kehilangan ini sering suit diselesaikan, karean apalagi bagi lansia
yang menggantungkan hidupnya dari seseorang yang meninggalkannya dan
sangat berarti bagi dirinya.
4. Menerima diri sendiri sebagai individu lansia
Beberapa lansia menemukan kesulitan untuk menerima diri sendiri selama
penuaan. Mereka dapat memperlihatkan ketidakmampuannya sebagai
koping dengan menyangkal penurunan fungsi, meminta cucunya untuk tidak
memanggil meraka “nenek” atau menolak meminta bantuan dalam dalam
tugas yang menempatkan keamanan meraka pada resiko yang besar.
5. Mempertahankan kepuasan pengaturan hidup
Lansia dapat merubah rencana kehidupannya. Misalnya kerusakan fisik
dapat mengharuskan pindah kerumah yang lebih kecil dan untuk seorang
diri
6. Mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa
Lansia sering memerlukan penetapan hungan kembali dengan anak-anaknya
yang telah dewasa.
7. Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup
Lansia harus belajar menerima aktivitas dan minat baru untuk
mempertahankan kualitas hidupnya. Seseorang yang sebelumnya aktif
secara sosial sepanjang hidupnya mungkin merasa relative mudah untuk
bertemu orang baru dan mendapat miant baru. Akan tetapi seseorang yang
introvert dengan sosilisasi terbatas, mungkin menemui kesulitan bertemu
orang baru selama pensiun.
A. Definisi
Hernia Nucleus Pulposus (HNP) adalah turunnya kandungan annulus fibrosus
dari diskus intervertebralis lumbal pada spinal canal atau rupture annulus
fibrosus dengan tekanan dari nucleus pulposus yang menyebabkan kompresi
pada element saraf. Pada umumnya HNP pada lumbal sering terjadi pada L4-
L5 dan L5-S1. Kompresi saraf pada level ini melibatkan root nerve L4, L5, dan
S1. Hal ini akan menyebabkan nyeri dari pantat dan menjalar ketungkai. Kebas
dan nyeri menjalar yang tajam merupakan hal yang sering dirasakan penderita
HNP. Weakness pada grup otot tertentu namun jarang terjadi pada banyak grup
otot (Lotke dkk, 2008).
B. Etiologi
Penyebab dari Hernia Nucleus Pulposus (HNP) biasanya dengan meningkatnya
usia terjadi perubahan degeneratif yang mengakibatkan kurang lentur dan
tipisnya nucleus pulposus. Annulus fibrosus mengalami perubahan karena
digunakan terus menerus. Akibatnya, annulus fibrosus biasanya di daerah
lumbal dapat menyembul atau pecah (Moore dan Agur, 2013)
Hernia nucleus pulposus (HNP) kebanyakan juga disebabkan oleh karena
adanya suatu trauma derajat sedang yang berulang mengenai discus
intervertebralis sehingga menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Pada
kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkat, dan gejala ini disebabkan
oleh cidera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan atau bahkan
dalam beberapa tahun. Kemudian pada generasi diskus kapsulnya mendorong
ke arah medulla spinalis, atau mungkin ruptur dan memungkinkan nucleus
pulposus terdorong terhadap sakus doral atau terhadap saraf spinal saat muncul
dari kolumna spinal (Helmi, 2012).
C. Patofisiologi
Pada tahap pertama sobeknya annulus fibrosus bersifat sirkum ferensial.
Karena adanya gaya traumatic yang berulang, sobekan tersebut menjadi lebih
besar dan timbul sobekan radial. Apabila hal ini telah terjadi, maka risiko HNP
hanya menunggu waktu dan trauma berikutnya saja. Gaya presipitasi itu dapat
diasumsikan sebagai gaya traumatik ketika hendak menegakkan badan waktu
terpeleset, mengangkat benda berat dan sebagainya.
Menjebolnya (herniasi) nucleus pulposus dapat mencapai ke korpus tulang
belakang diatas atau di bawahnya. Bisa juga menjebol langsung ke kanalis
vertebralis. Menjebolnya sebagian nucleus pulposus ke dalam korpus vertebra
dapat dilihat pada foto rontgen polos dan dikenal sebagai nodus schmorl.
Sobekan sirkum ferensial dan radial pada annulus fibrosus diskus
intervertebralis berikut dengan terbentuknya nodus schmorl merupakan
kelainan yang mendasari low back pain subkronis atau kronis yang kemudian
disusul oleh nyeri sepanjang tungkai yang dikenal sebagai ischialgia atau
siatika. Menjebolnya nucleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa
nucleus pulposus menekan radiks yang bersama- sama dengan arteria
radikularis yang berada dalam lapisan dura. Hal itu terjadi jika penjebolan
berada disisi lateral. Setelah terjadi HNP, sisa discus intervertebralis
mengalami lisis, sehingga dua korpus vertebra bertumpang tindih tanpa
ganjalan (Muttaqin, 2008).
D. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis utama yang muncul adalah rasa nyeri d punggung bawah
disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan. HNP terbagi atas HNP sentral dan
lateral. HNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid, parestesia dan
retensi urine. Sedangkan HNP lateral bermanifestasi pada rasa nyeri dan nyeri
tekan yang terletak pada punggung bawah, di tengah-tengah area bokong dan
betis, belakang tumit, dan telapak kaki. Kekuatan ekstensi jari kelima kaki
berkurang dan reflex achiller negative. Pada HNP lateral L5-S1 rasa nyeri dan
nyeri tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral pantat, tungkai
bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kelemahan m. gastrocnemius
(plantar fleksi pergelangan kaki), m. ekstensor halusis longus (ekstensi ibu jari
kaki). Gangguan reflex Achilles, defisit sensorik pada malleolus lateralis dan
bagian lateral pedis (Setyanegara dkk, 2014).
E. Anatomi Fungsional sendi Tulang Belakang
1. System Tulang Vertebra
Tulang belakang adalah struktur lentur sejumlah tulang yang disebut
vertebra. Diantara tiap dua ruas vertebra terdapat bantalan tulang rawan.
Panjang rangkaian vertebra pada orang dewasa dapat mencapai 57 sampai
67 cm. seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah
tulang-tulang terpisah dan 9 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang.
Vertebra dikelompokkan dan dinilai sesuai dengan daerah yang
ditempatinya, tujuh vertebra cervikalis, dua belas vertebra thoracalis, lima
vertebra lumbalis, lima vertebra sacralis, dan empat vertebra koksigeus
(Pearce, 2009). Susunan tulang vertebra terdiri dari: korpus, arcus,
foramen vertebrale, foramen intervertebrale, processus articularis superior
dan inferior, processus transfersus, spina, dan discus intervertebralis.
a. Korpus
Merupakan lempeng tulang yang tebal, agak melengkung
dipermukaan atas dan bawah (Gibson, 2003). Dari kelima kelompok
vertebra, columna vertebra lumbalis merupakan columna yang paling
besar dan kuat karena pusat pembebanan tubuh berada di vertebra
lumbalis (Bontrager dan Lampignano, 2014).
b. Arcus
Menurut Gibson (2003) Arcus vertebra terdiri dari:
a) Pediculus di bagian depan: bagian tulang yang berjalan kea rah
bawah dari corpus, dengan lekukan pada vertebra di dekatnya
membentuk foramen intervertebrale.
b) Lamina di bagian belakang: bagian tulang yang pipih berjalan ke
arah belakang dan ke dalam untuk bergabung dengan pasangan dari
sisi yang berlawanan.
c. Foramen vertebrale
Merupakan lubang besar yang dibatasi oleh korpus di bagian depan,
pediculus di bagian samping, dan lamina di bagian samping dan
belakang.
d. Foramen intervertebrale
Merupakan lubang pada bagian samping, di antara dua vertebra yang
berdekatan dilalui oleh nervus spinalis yang sesuai.
e. Processus Articularis Superior dan Inferior
Membentuk persendian dengan processus yang sama padavertebra di
atas dan di bawahnya.
f. Processus Transversus
Merupakan bagian vertebra yang menonjol ke lateral.
g. Discus Intervertebralis
Merupakan cakram yang melekat pada permukaan korpus dua
vertebrae yang berdekatan, terdiri dari annulus fibrosus, cincin
jaringan fibrokartilaginosa pada bagian luar, dan nucleus pulposus, zat
semi-cair yang mengandung sedikit serat dan tertutup di dalam
annulus fibrosus.
F. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Dengan Masalah Kebutuhan Dasar
Nyeri
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang
bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional klien pada
saat ini dan waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respon klien
saat ini dan waktu sebelumnya. Tujuan dari pengkajian adalah untuk
menyusun data dasar mengenai kebutuhan, masalah kesehatan, dan respon
klien terhadap masalah (Potter & Perry, 2010).
Pengkajian nyeri yang faktual (terkini), lengkap dan akurat akan
memudahkan perawat di dalam menetetapkan data dasar, dalam
menegakkan diagnose keperawatan yang tepat, merencanakan terapi
pengobatan yang cocok, dan memudahkan perawat dalam mengevaluasi
respon klien terhadap terapi yang digunakan. (Prasetyo, 2010).
Saat mengkaji nyeri, perawat harus sensitif terhadap tingkat kenyamanan
klien. Apabila nyeri bersifat akut atau parah, ada kemungkinan klien dapat
dapat member penjelasan yang terinci tentang pengalaman nyerinya secara
keseluruhan. Selama episode nyeri akut, tindakan perawat yang terutama
adalah mengkaji perasaan klien, menetapkan respon fisiologis klien
terhadap nyeri dan lokasi nyeri, tingkat keparahan dan kualitas nyeri.
Untuk klien yang mengalami nyeri kronik, cara pengkajian yang paling
baik adalah dengan memfokuskan pengkajian pada dimensi perilaku,
afektif, kognitif, perilaku dari pengalaman nyeri dan pada riwayat nyeri
tersebut atau konteks nyeri. (Potter & Perry, 2005).
Pengkajian nyeri yang dilakukan meliputi pengkajian data subjektif dan
data objektif:
A. Data Subjektif
a. Faktor pencetus (P: provocate)
Perawat mengakaji tentang penyebab atau stimulus-stimulus nyeri
pada klien, dalam hal ini perawat juga dapat melakukan observasi
bagian-bagian tubuh yang mengalami cedera. Apabila perawat
mencurigai adanya nyeri psikogenik maka perawat harus dapat
mengeksplore perasaan klien dan menanyakan perasaan-perasaan
apa yang dapat mencetuskan nyeri.
b. Kualitas (Q: Quality)
Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang diungkapkan
oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan nyeri dengan kalimat -
kalimat: tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-pindah, seperti
tertindih, perih, tertusuk dan lain-lain, di mna tiap-tiap klien
mungkin berbeda-beda dalam melaporkan kualitas nyeri yang
dirasakan.
c. Lokasi (R: Region)
Untuk mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta klien untuk
menunjukkan semua bagian / daerah yang dirasakan tidak nyaman
oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik, maka perawat
dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri dari titik yang
paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit apabila nyeri yang
dirasakan bersifat difus (menyebar).
d. Keparahan (S: Severe)
Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan karakteristik
yang paling subjektif. Pengkajian ini klien diminta untuk
menggambarkan nyeri yang dirasakan sebagai nyeri ringan, nyeri
sedang atau berat. Skala deskirptif verbal (Verbal Descriptor Scale,
VDS) merupakan salah satu alat ukur tingkat keparahan yang lebih
bersifat objektif. Skala deskriptif verbal ini merupakan sebuah garis
yang terdiri dari beberapa kalimat pendeskripsi yang tersusun
dalam jarak yang sama sepanjang garis. Kalimat pendeskripsi ini
diranking dari tidak ada nyeri sampai nyeri paling hebat.Skala
numeric (Numerical Rating Scale, NRS) digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata.Dalam hal ini, pasien menilai nyeri
dengan skala 0 sampai 10.Angka 0 diartikan kondisi klien tidak
merasakan nyeri, angka 10 mengindikasikan nyeri paling berat
yang dirasakan klien.Sebagian besar skala menggunakan renatang
0-10, dimasukkannya kata-kata penjelas pada skala dapat
membantu beberapa klien yang mengalami kesulitan dalam
menentukannya nilai nyerinya.Klien diminta untuk menunjukkan
skala nilai yang paling baik mewakili intensitas nyerinya.
Keterangan:
0 = Tidak nyeri
1-2-3 = Nyeri ringan
4-5 = Nyeri sedang
6-7 = Nyeri hebat
8-9 = Nyeri sangat hebat
8-10 = Nyeri terhebat
e. Durasi (T: time)
Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan,
durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat menanyakan.
1) Kapan nyeri mulai dirasakan?
2) Sudah berapa lama nyeri dirasakan?
3) Apakah nyeri yang dirasakan terjadi pada waktu yang sama
setiap hari?
4) Seberapa sering nyeri kambuh?
5) Faktor yang memperberat / memperingan nyeri.
B. Data objektif
Data objektif didapatkan dalam mengobservasi respon pasien terhadap
nyeri. Respon pasien terhadap nyeri berbeda-beda, dapat dikategorikan
sebagai berikut.
a. Respon perilaku
Respon perilaku yang ditunjukkan klien yang mengalami nyeri
bermacam-macam. Respon perilaku terhadap nyeri yang biasa
ditunjukkan oleh pasien antara lain: merubah posisi, mengusap
bagian yang sakit, menggeretakan gigi, menunjukkan ekspresi
wajah meringis, mengerutkan alis, ekspresi verbal menangis,
mengerang, mengaduh, menjerit, meraung.
b. Respon fisiologis terhadap nyeri
Perawat perlu untuk mengkaji klien berkaitan dengan adanya
perubahan- perubahan pada respon terhadap nyeri untuk
mendukung diagnose dan membantu dalam memberikan terapi
yang tepat. Adapun respon fisiologis terhadap nyeri, yaitu:
Respon simpatik:
- Peningkatan frekuensi pernapasan
- Dilatasi saluran bronkiolus
- Peningkatan frekuensi denyut jantung
- Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan tekanan
darah)
- Peningkatan kadar glukosa darah
- Diaforesis
- Peningkatan tegangan otot
- Dilatasi pupil
- Penurunan motilitas saluran cerna
Respon parasimpatik:
- Pucat
- Ketegangan otot
- Penurunan denyut jantung atau tekanan darah
- Pernapasan cepat dan tidak teratur
- Mual dan muntah
- Kelemahan dan kelelahan
c. Respon afektif
Respon afektif juga perlu diperhatikan oleh seorang perawat di
dalam melakukan pengkajian terhadap pasien gangguan rasa nyeri.
Ansietas (kecemasan) perlu digali dengan menanyakan pada pasien
seperti: Apakah Anda saat ini merasakan cemas? Selain itu adanya
depresi, ketidaktertarikan dari lingkungan perlu diperhatikan.
2. Analisa Data
Data dasar adalah kumpulan data yang berisikan mengenai status
kesehatan klien, kemampuan klien untuk mengelola kesehatan terhadap
dirinya sendiri, dan hasil konsultasi dari medis atau profesi kesehatan
lainnya.Data Fokus adalah data tentang perubahan-perubahan atau respon
klien terhadap kesehatan dan masalah kesehatannya serta hal-hal yang
mencakup tindakan yang dilaksanakan terhadap klien.Selama pengkajian,
data di kumpulkan dari berbagai sumber, divalidasi dan diurut ke dalam
kelompok yang membentuk pola.Data dasar secata kontinu direvisi sejalan
dengan perubahan dalam fisik status dan emosi klien.Hal ini juga
mencakup hasil laboratorium dan diagnostic.Selama langkah ini, perawat
menggunakan pengetahuan dan pengalaman, menganalis dan
menginterpretasi dan menarik konklusi tentang kelompok dan pola data
(Potter & Perry, 2006).
Menurut buku SDKI edisi 1 D.0077 batasan karakteristik untuk diagnose
keperawatan nyeri akut dan kronis adalah.
Batasan karakteristik untuk nyeri akut
a) Tampak meringis
b) Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri)
c) Gelisah
d) Frekuensi nadi meningkat
e) Sulit tidur
f) Tekanan darah meningkat
g) Pola nafas berubah
h) Nafsu makan berubah
i) Proses berfikir terganggu
j) Menarik diri
k) Berfokus pada diri sendiri
l) Diaphoresis
3. Rumusan masalah
Sebelum merumuskan diagnosa keperawatan, perawat mengidentifikasi
masalah perawatan kesehatan umum klien. Namun, sebelum memberikan
perawatan masalah harus ditetapakan secara lebih spesifik. Untuk
mengidentifikasi kebutuhan klien, perawat harus lebih dulu menentukan
apa masalah kesehatan klien dan apakah masalah tersebut potensial atau
aktual (Potter & Perry, 2006).
Terdapat dua diagnosa keperawatan utama yang dapat digunakan untuk
menggambarkan nyeri pada klien, yaitu:
a. Menurut buku SDKI edisi 1 D.0077 nyeri akut didefinisikan
pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung
kurang dari 3 bulan.
b. SDKI D.0078 Nyeri kronis didefinisikan pengalaman atau
emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas
ringan hingga berat dan konstan, yang berlangsung lebih dari 3
bulan.
4. Perencanaan
Perencanaan, yang merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan,
adalah salah satu kategori perilaku keperawatan. Pada langkah ini, perawat
menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi klien dan
merencanakan intervensi keperawatan. Perencanaan membutuhkan
pemikiran kritis, yang diterapkan melalui pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah (Potter & Perry, 2010).
Menurut Wilkinson (2012), intervensi keperawatan pada pasien dengan
diagnosa keperawatan nyeri akut dan nyeri kronis adalah:
1. Nyeri akut :
a) Lakukan pengkajian yang komprehensif meliputi lokasi,
karekteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.
b) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan.
c) Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa
lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat
prosedur.
d) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya, hipnosis,
relaksasi, terapi musik, distraksi, terapi aktivitas, kompres hangat
atau dingin, dan masase sebelum, setelah, dan jika memungkinkan
selama aktivitas yang menimbulkan nyeri; sebelum nyeri terjadi
atau meningkat; dan bersama penggunaan tindakan peredaan nyeri
yang lain.
e) Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri
dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui
televisi, radio, tape, dan interaksi dengan pengunjung.
f) Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
pasien terhadap ketidaknyamanan (misalnya, suhu ruangan,
pencahayaan, dan kegaduhan).
g) Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respon
pasien terhadap analgesik (misalnya, “Obat ini akan mengurangi
nyeri Anda”).
h) Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman dan
aktivitas lain untuk membantu relaksasi (lakukan perubahan posisi,
masase punggung, dan relaksasi).
i) Gali bersama pasien faktor yang dapat menurunkan atau
memperberat nyeri.
2. Nyeri Kronis :
a) Pantau tingkat kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri pada
interval tertentu.
b) Tentukan dampak pengalaman nyeri pada kualitas hidup
(misalnya, tidur, selera makan, aktivitas, kognisi, alam perasaan,
hubungan, kinerja, dan tanggung jawab peran).
c) Tawarkan tindakan meredakan nyeri untuk membantu pengobatan
nyeri (misalnya, umpan balik biologis, teknik relaksasi, dan masase
punggung).
d) Tingkatkan istirahat dan tidur yang adekuat untuk memfasilitasi
peredaan nyeri.
e) Bantu pasien dalam mengidentifikasi tingkat nyeri yang beralasan
dan dapat diterima.
f) Berikan pengobatan sebelum aktivitas untuk meningkatkan
partisipasi, namun evaluasi bahaya sedasi.
g) Pertimbangkan untuk merujuk pasien, keluarga dan orang terdekat
pada kelompok pendukung dan sumber-sumber lainnya, sesuai
kebutuhan.
h) Berikan informasi yang akurat untuk meningkatkan pengetahuan
dan respon keluarga terhadap pengalaman nyeri.
i) Periksa tingkat ketidaknyamanan bersama pasien, catat perubahan
dalam catatan medis paien, informasikan petugas kesehatan lain
yang merawat pasien.
j) Dorong pasien untuk mendiskusikan pengalaman nyerinya.
k) Pastikan pemberian analgesik atau strategi nonfarmakologi
sebelum dilkakukanprosedur yang menimbulkan nyeri.
l) Gunakan tindakan pengontrol nyeri sebelum nyeri bertambah
berat.
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN Tn. A DENGAN
PRIORITAS MASALAH KEBUTUHAN DASAR GANGGUAN
RASA AMAN DAN NYAMAN (NYERI) HERNIA NUKLEUS
PULPOSUS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Praktik Profesi Ners dalam
stase Keperawatan Gerontik
PEMBIMBING:
Ns. Royani, M.Kep
DISUSUN OLEH:
Ruth Tiar Nauli Sihombing
NIM 202207032
V. Pengkajian
1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Tn. A kurang mengetahui bahwa kesehatan itu penting untuk dikontrol. Tn.
A mengatakan selalu cek kondisi kesehatannya di panti pniel bintaro. Tn. A
mempunyai riwayat merokok ataupun minum-minuman keras.
2. Pola nutrisi
Tn. A mengatakan nafsu makan baik, makan 3 kali sehari dengan menu
seimbang. Tn. A mengatakan minum ± 2 liter/hari.
3. Pola eliminasi
Tn. A mengatakan BAB tidak lancar 3 hari sekali dan BAK lancar 5 – 7 kali
sehari dengan warna jernih kekuningan.
Keterangan:
0: Mandiri
1: Alat bantu
2: Dibantu orang lain
3: Dibantu orang lain dan alat
4: Tergantung total.
Interpretasi hasil: 22
> 23 : Aspek kognitif dari fungsi mental
baik 18 – 22 : Kerusakan aspek fungsi mental ringan
≤ 17 : Terdapat kerusakan aspek fungsi mental berat
Intepretasi :
20-40 : tidak ada depresi
41-60: depresi ringan
61-80: depresi sedang
81-100 : depresi berat
ANALISA DATA
No Data Problem Etiologi
1. DS :
Trauma
- Klien mengatakan nyeri
Pasca operasi
dibagian punggung tulang
belakang, merasa
kesakitan ketika duduk
Peradangan
terlalu lama durasi nyeri
medula spinal
terus menerus tidak dapat
diprediksi
- Klien mengatakan kaki
Kandungan air
sering kebas dan suka Agen pencedera
nucleus pulposus
kram fisik
menurun
Trauma pasca
DO : operasi
- Klien tampak gelisah,
Nukleus pulposus
ekspresi wajah yang
terdorong
menahan rasa
kesakitan
- Tangan kanan dan kaki
Ujung saraf spinal
kanan mengalami stroke
tertekan
- TTV TD : 140/80 mmHg,
RR: 20 x/mnt, N : 80 x/mnt,
S : 360C
Nyeri kronis
P : Nyeri timbul setiap
(D.0078)
waktu ga bisa
diprediksi
Q : Nyeri terasa seperti
ditusuk - tusuk
R : Nyeri dirasakan pada
bagian punggung tulang
belakang
S : Skala nyeri 7
T : Nyeri dirasakan terus
menerus
2 DS :
- Klien mengatakan nyeri Nyeri
memburuk jika mengangkat
kaki dan merubah posisi
- Klien mengatakan nyeri Keterbatasan
semakin terasa ketika duduk pergerakan Hambatan
terlalu lama ektremitas bawah mobilitas fisik,
- Klien mengatakan nyeri jika penurunan masa
bergerak di tempat tidur otot
DO: Pergerakan lambat
- Klien terlihat pergerakan
lambat saat miring ke kiri
- Kekuatan otot ekstremitas Gangguan atau
atas bawah 3 (gerakan hambatan
normal melawan gravitasi) mobilitas fisik
- Nyeri saat bergerak (D.0054)
DIAGNOSA KEPERAWATAN
2 1. Mengidentifikasi kesiapan S:
dan kemampuan menerima - Klien mengatakan
15.00
informasi mampu menggerakkan
WIB
2. Mengidentifikasi indikasi ekstremitas
dan kontraindikasi - Klien mengatakan
mobilisasi mengerti cara mobilisasi
3. Monitor kemajuan pasien O:
dalam melakukan - Klien mampu
mobilisasi mendemonstrasikan cara
4. Ajarkan cara mobilisasi dan rentang
mengidentifikasi sarana dan gerak
prasarana yang mendukung - Kekuatan otot
untuk mobilisasi di rumah meningkat
5. Mengajarkan cara A : Masalah gangguan
mengidentifikasi mobilitas fisik teratasi sebagian
kemampuan mobilisasi P : Intervensi dihentikan
6. Demonstrasikan cara
mobilisasi di tempat tidur
7. Demonstrasikan cara
melatih rentang
gerak
8. Anjurkan pasien/keluarga
meredomenstrasikan
mobilisasi miring kanan
miring kiri latihan rentang
gerak sesuai yang telah
didemonstrasikan