E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.

1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

GROWTH PERFORMANCE OF CATFISH (Clarias

gariepenus) CULTURED OF HIGH DENSITY WITH
BIOFLOC SYSTEM

Petrus Hary Tjahja Soedibya1, Emyliana Listiowati1, Taufik Budhi Pramono1, Norman Arie
Prayogo2, R. Taufan Harisam2
1
Aquaculture, Faculty of Fisheries and Marine Science, Jenderal Soedirman University, Indonesia
2
Center of Maritime Bioscience, Jenderal Soedirman University, Indonesia

Abstract. Catfish is a species of freshwater fish that contains a source of

protein and it has economic value and has become one of the famous
commodities in Indonesia. Biofloc can be one alternative waste fixers
intensive cultivation for reduce the waste of inorganic nitrogen and also
provide additional protein for increase growth and feed efficiency. This
study was to determine the effect of high stocking densities on the growth
performance of african catfish in biofloc system. This study used
completely randomized design (CRD) with different stocking densities in
the system biofloc T1.(1000/m3), T2.(1500/m3), T3.(2000/m3), and T4.
(2500/m3). Animal trials were using jouvenile african catfish with an
average weight of 1.06±0.3g, which maintained in a pool tarpoulin cage
with water volume ±2000L for 50 days with feeding ratio 3% of the weight
biomass. The results showed a significantly different effect (P<0.05)
against the value of hepatosomatic index, absolute growth and daily
growth rate, but the result not significant at spesific growth rate. The
second treatment (T2) showed the best results than others in the growth
rate and daily growth rate with a value of 6.45±3.1g for absolute growth
and 0.13±0.06g for daily growth rate. The four treatment showed the best
results than others in the hepatosomatic index with value 4.7 ± 1.8%. These
findings demonstrate a role of biofloc technology in catfish aquaculture.

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang mengandung
sumber protein dan bernilai ekonomis serta menjadi salah satu komoditas
unggulan di Indonesia. Bioflok dapat menjadi salah satu alternatif pemecah
limbah budidaya intensif untuk mengurangi limbah nitrogen anorganik dan
juga memberikan tambahan protein untuk meningkatkan pertumbuhan dan
efisiensi pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh padat
tebar tinggi terhadap kinerja pertumbuhan ikan lele dumbo dalam sistem
bioflok. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan padat tebar yang berbeda pada sistem bioflok T1.(1000/m3), T2.
(1500/m3), T3.(2000/m3), dan T4.(2500/m3). Hewan uji menggunakan
ikan lele dumbo muda dengan bobot rata-rata 1,06±0,3g, yang dipelihara
dalam kolam terpal dengan volume air ±2000L selama 50 hari dengan rasio
pemberian pakan 3% dari bobot biomassa. Hasil penelitian menunjukkan
pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap nilai indeks
hepatosomatik, pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian, tetapi
hasilnya tidak signifikan pada laju pertumbuhan spesifik. Perlakuan kedua
(T2) menunjukkan hasil yang paling baik dibandingkan perlakuan lainnya
pada laju pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian dengan nilai
6,45±3,1g untuk pertumbuhan mutlak dan 0,13±0,06g untuk laju
pertumbuhan harian. Keempat perlakuan menunjukkan hasil yang paling
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018
baik dibandingkan yang lain pada indeks hepatosomatik dengan nilai 4,7 ±
1,8%. Hasil penelitian ini menunjukkan peran teknologi bioflok dalam
budidaya ikan lele

1 INTRODUCTION
Catfish is a species of freshwater fish that contains a source of protein and it has
economic value. Catfish has become one of the commodities that serve as food ingredients
into the food menu like in Indonesia. fishery commodities continues to increase each year
so that the need for innovation in order to increase production [1]. Catfish production
progress over the last few years show results very significantly by 21.82% per year from
69386 tonnes in 2005 to 145 099 tonnes in 2009. During the 2010-2014 rise in catfish fish
production increased by 450%, or an average increase by 35% per year which in 2010
amounted to 270.6 thousand tons increased to 900.000 tons in 2014.

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang mengandung sumber protein
dan memiliki nilai ekonomis. Ikan lele telah menjadi salah satu komoditas yang dijadikan
sebagai bahan makanan didalam menu makanan seperti di Indonesia. Komoditas perikanan
terus meningkat setiap tahunnya sehingga perlu adanya inovasi dalam rangka peningkatan
produksi [1]. Kemajuan produksi ikan lele selama beberapa tahun terakhir menunjukkan
hasil yang sangat signifikan sebesar 21,82% per tahun dari 69386 ton pada tahun 2005
menjadi 145.099 ton pada tahun 2009. Selama tahun 2010-2014 kenaikan produksi ikan lele
meningkat sebesar 450% atau rata-rata meningkat sebesar 35 % per tahun yang pada tahun
2010 sebesar 270,6 ribu ton meningkat menjadi 900.000 ton pada tahun 2014.

1
Corresponding author: hary_tjahja@yahoo.co.id

© The Authors, published by EDP Sciences. This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons
Attribution License 4.0 (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/).
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

Limited natural resources such as water and land, making intensification as the option
most likely to increase aquaculture production [6]. Many studies have been carried out to
develop reproduction and culture techniques for C. Gariepinus [2,3,4]. Intensive
aquaculture systems are characterized by an increase in the density of fish and additional
food from outside. On the cultivation environment is good and sufficient feed, an increase
in density will result in increased production of aquaculture [5]. Moreover, the
intensification of aquaculture, especially stocking rate increase unfavorable impact on the
preservation of health and the environment in the form of environmental degradation
cultivation. Environmental degradation caused by organic waste from feed residue and dirt,
the waste is generally dominated by inorganic nitrogen compounds are toxic.
Keterbatasan sumber daya alam seperti air dan tanah, menjadikan intensifikasi sebagai
pilihan yang paling memungkinkan untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya [6].
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan teknik reproduksi dan budidaya
C. Gariepinus [2,3,4]. Sistem budidaya intensif ditandai dengan peningkatan kepadatan
ikan dan penambahan pakan dari luar. Pada lingkungan budidaya yang baik dan pakan yang
cukup, peningkatan kepadatan akan mengakibatkan peningkatan produksi budidaya. Selain
itu, intensifikasi budidaya perikanan, khususnya tingkat kepadatan memberikan dampak
yang kurang baik terhadap kelestarian kesehatan dan lingkungan berupa degradasi
lingkungan budidaya. Degradasi lingkungan disebabkan oleh limbah organik dari sisa
pakan dan kotoran, limbah tersebut umumnya didominasi oleh senyawa nitrogen anorganik
yang bersifat racun.

Biofloc technology can be one alternative waste fixers in intensive cultivation, this
technology is the most profitable to reduce the waste of inorganic nitrogen, this technology
can also provide additional protein for animal feeding to increase growth and feed
efficiency. Biofloc is a combination of macro-and microorganisms including bacteria,
microalgae, fungi, protozoa, metazoan, and nematodes. Floc biomass formed in bodies of
water may be consumed by fish as additional sources of feed and as water purifier.
Teknologi bioflok dapat menjadi salah satu alternatif pemecah limbah dalam budidaya
intensif, teknologi ini paling menguntungkan untuk mengurangi limbah nitrogen anorganik,
teknologi ini juga dapat memberikan tambahan protein untuk pakan ternak untuk
meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan. Bioflok adalah kombinasi makro dan
mikroorganisme termasuk bakteri, mikroalga, jamur, protozoa, metazoan, dan nematoda.
Biomassa flok yang terbentuk di badan air dapat dikonsumsi oleh ikan sebagai sumber
pakan tambahan dan sebagai penjernih air

Several studies have shown that the application of biofloc technology plays a role to
improve water quality, biosecurity, productivity, feed efficiency, and reduce production
costs through lowered feed expenses. Theoretically and practically, the application of
biofloc technology improves water quality by controlling ammonia concentrations and
improving nutrient consumption as it is consumed by the organism cultured [8]. Floc
biomass formed in bodies of water may be consumed by fish as additional sources of feed
and as water purifier. Bacteria as main component of biofloc is capable to produce
polyhydroxybutyrate (PHB) which is useful in aquaculture. The advantages of PHB are an
energy reserve for fish, digestible in intestine, increasing unsaturated fatty acid, and
increasing growth of fish [7]. Therefore, the aim of this study was to evaluate growth rates
of African catfish, Clarias gariepenus juveniles treated with high density bioflocs system.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi bioflok berperan untuk

meningkatkan kualitas air, biosekuriti, produktivitas, efisiensi pakan, dan menekan biaya
produksi melalui penurunan biaya pakan. Secara teoritis dan praktis, penerapan teknologi
bioflok meningkatkan kualitas air dengan mengontrol konsentrasi amonia dan
2
 E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

meningkatkan konsumsi nutrisi yang dikonsumsi oleh organisme budidaya [8]. Biomassa
flok yang terbentuk di badan air dapat dikonsumsi oleh ikan sebagai sumber pakan
tambahan dan sebagai penjernih air. Bakteri sebagai komponen utama bioflok mampu
menghasilkan polihidroksibutirat (PHB) yang berguna dalam budidaya. Kelebihan PHB
adalah sebagai cadangan energi bagi ikan, mudah dicerna di usus, meningkatkan asam
lemak tak jenuh, dan meningkatkan pertumbuhan ikan [7]. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi laju pertumbuhan ikan lele dumbo muda Clarias gariepenus
yang diberi perlakuan sistem bioflok dengan kepadatan yang tinggi.

2 MATERIAL AND METHODS

Experimental Fish
Catfish (C. gariepinus) with size approximately 1.06±0.3g/ fish was used as tested
material with different stocking density. For seven days prior to treatment, catfish was
cultured in a pool terpaulin cage. Volume of each pool was 2,3 m 3, filled with 2000 L well
water, equipped with aerator system with minimum water exchange. The experiments
divided into 4 groups, which were 1.(1000/m3), 2.(1500/m3), 3.(2000/m3), and 4.(2500/m3).
The fish was treatment for 50 days. Sampling to measure fish growth was conducted once
every day. During the research, fish were fed on commercial pellet (protein 37% and fat
10%) as much as 3% of total body weight daily. The water temperature, dissolved oxygen,
pH , Ammonia, nitrite and nitrate were monitored every weeks. The sample of water was
taken every week to calculate the amount of phytoplankton. Every sampling time, 6 fish
captured for the replicant samples.
Ikan Percobaan
Ikan lele (C. gariepinus) dengan ukuran kurang lebih 1,06±0,3g/ekor digunakan sebagai
bahan uji dengan padat tebar yang berbeda. Selama tujuh hari sebelum perlakuan, ikan lele
dipelihara di dalam kolam terpal. Volume masing-masing kolam adalah 2,3 m 3, diisi dengan
air sumur 2000 L, dilengkapi dengan sistem aerator dengan pertukaran air minimum.
Percobaan dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu 1.(1000/m 3), 2.(1500/m3), 3.(2000/m3), dan 4.
(2500/m3). Ikan tersebut dirawat selama 50 hari. Pengambilan sampel untuk mengukur
pertumbuhan ikan dilakukan setiap hari sekali. Selama penelitian, ikan diberi pakan pellet
komersial (protein 37% dan lemak 10%) sebanyak 3% dari total bobot badan setiap hari.
Suhu air, oksigen terlarut, pH , Amoniak, nitrit dan nitrat dipantau setiap minggu.
Pengambilan sampel air dilakukan setiap minggu untuk menghitung jumlah fitoplankton.
Setiap kali pengambilan sampel, diambil 6 ekor ikan untuk dijadikan sampel .

Specific growth rate

This parameter was calculated as the weight of the fish after 50 days, calculation was
conducted using equation by Abdel-Wahab et al., [9]:
SGR = (Ln Wt-Ln Wo)/t x 100%

Parameter ini dihitung sebagai berat ikan setelah 50 hari, perhitungan dilakukan dengan
menggunakan persamaan Abdel-Wahab et al., [9]:
SGR = (Ln Wt-Ln Wo)/t x 100%

3
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

SGR expressed as %/day, Wo and Wt were the weight of the fish during the day of
measurement (t) and initial stage (o) expressed as gram (g), while experiment period was
expressed as day (t).
SGR dinyatakan dalam %/hari, Wo dan Wt adalah berat ikan pada hari pengukuran (t) dan
tahap awal (o) dinyatakan dalam gram (g), sedangkan masa percobaan dinyatakan sebagai
hari (t).

Daily growth rate

This parameter was calculated as the weight of the fish after 50 days, calculation was
conducted using equation by Abdel-Wahab et al., [9]:
Laju Pertumbuhan Harian
Parameter ini dihitung sebagai berat ikan setelah 50 hari, perhitungan dilakukan dengan
menggunakan persamaan Abdel-Wahab et al., [9]:

(𝖶𝑡−𝖶0)
DGR = 𝑡 (2)
DGR expressed as g/day, W0 and Wt were the weight of the fish during the day of
measurement (t) and initial stage (o) expressed as gram (g), while experiment period was
expressed as day (t).

DGR dinyatakan dalam g/hari, W0 dan Wt adalah berat ikan pada hari pengukuran (t)
dan tahap awal (o) dinyatakan dalam gram (g), sedangkan masa percobaan dinyatakan
sebagai hari (t).

Absolute Growth
This parameter was calculated as the weight of the fish after 50 days, calculation was
conducted using equation by Abdel-Wahab et al., [9] :
Pertumbuhan Mutlak
Parameter ini dihitung sebagai berat ikan setelah 50 hari, perhitungan dilakukan dengan
menggunakan persamaan Abdel-Wahab et al., [9]:

AG = Wt – W0 (3)
AG expressed as g, W0 and Wt were the weight of the fish during the day of
measurement (t) and initial stage (o) expressed as gram (g).
AG dinyatakan sebagai g, W0 dan Wt adalah berat ikan selama hari pengukuran (t) dan
tahap awal (o) dinyatakan sebagai gram (g).

Hepatosomatic Index
This parameter was calculated as the weight of the fish after 50 days, calculation was
conducted using equation by Abdel-Wahab et al., [9]:

4
 E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

%HSI = WL /Wb*100 (12)

HSI expressed as %, WL were the weight of the liver during the day of measurement and
Wt were the weight of the fish during the day of measurement expressed as gram (g).
Parameter ini dihitung sebagai berat ikan setelah 50 hari, perhitungan dilakukan
dengan menggunakan persamaan Abdel-Wahab et al., [9]:
%HSI = WL /Wb*100
HSI dinyatakan dalam %, WL adalah berat hati pada hari pengukuran dan Wt adalah
berat ikan pada hari pengukuran dinyatakan dalam gram (g).

Data analysis
Data from specific growth rate, daily growth rate and absolute growth was statistically
measured using one-way analysis of variance using SPSS software (versi 17.00) at
confidence interval of 95% (p<0.05). LSD test was following when significant difference
present. Data of water quality was analyzed in description.

Analisa Data

Data laju pertumbuhan spesifik, laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak
diukur secara statistik menggunakan analisis varians satu arah dengan menggunakan
software SPSS (versi 17.00) pada selang kepercayaan 95% (p<0,05). Uji LSD dilakukan
setelah ada perbedaan yang signifikan. Data kualitas air dianalisis secara deskripsi

3 RESULTS AND DISCUSSION

Specific growth rate

In catfish, specific growth rate (SGR) on 50 days biofloc treatment were 0.87-1.15
(Figure 1). The peak level of SGR (1.15) was recorded at 50 days treatment on group 4
(2500/m3). SGR in catfish was increased based on biofloc density treatment. Growth of
fish depends on several factors: the type of fish, genetic nature and the ability to use food,
disease resistance and supported by environmental factors such as water quality, feed and

5
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

space or stocking density [10]. Although the quality of the water can affect the growth rate,
but in general the quality of the water treatment biofloc in this study showed good results so
that the water quality is not a factor for the low growth rate of fish biofloc treatment. Fish
growth can occur if the amount of feed nutrients are digested and absorbed by fish greater
than the amount required for maintenance of the body [11]

3. Hasil dan Pembahasan

Laju Pertumbuan Spesifik
Pada ikan lele, laju pertumbuhan spesifik (SGR) pada perlakuan bioflok 50 hari adalah
0,87-1,15 (Gambar 1). Tingkat puncak SGR (1,15) tercatat pada perlakuan 50 hari pada
kelompok 4 (2500/m3). SGR pada ikan lele meningkat berdasarkan perlakuan kepadatan
bioflok. Pertumbuhan ikan tergantung pada beberapa faktor: jenis ikan, sifat genetik dan
kemampuan menggunakan makanan, ketahanan terhadap penyakit dan didukung oleh faktor
lingkungan seperti kualitas air, pakan dan ruang atau kepadata stok [10]. Meskipun kualitas
air dapat mempengaruhi laju pertumbuhan, namun secara umum kualitas air pengolahan
bioflok pada penelitian ini menunjukkan hasil yang baik sehingga kualitas air tidak menjadi
faktor rendahnya laju pertumbuhan ikan perlakuan bioflok. Pertumbuhan ikan dapat terjadi
jika jumlah nutrisi pakan yang dicerna dan diserap oleh ikan lebih besar dari jumlah yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan tubuh.

2.5
2 1,15±0,7a
1,13±0,5a 1,02±0,6a

1.5 0,87±0,5a
SGR

1
0.5
0
1 2 3 4
Treatment

Gambar 1. Laju Pertumbuhan Spesifik Ikan Lele (C. gariepinus) Yang Dibudidayakan Kepadatan
Tinggi Dengan Sistem Bioflok. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). 1).
Padat tebar 1000/m3 pada sistem bioflok, 2 Padat tebar 1500/m 3 pada sistem bioflok 3. Padat
tebar 2000/m3 pada sistem bioflok dan 4. Padat tebar 2500/m3 pada sistem bioflok.

The Specific Growth Rate (SGR) of all treatment were not significantly. In this study,
showed that the value of SGR of all treatment were high. The addition of Bacillus sp., cells
into the feed had positive impact on fish digestive system due to exogenous enzymes
released by the cells, thus expenditure energy was more effective during digestion [12].
Energy difference resulting from this process can be used for the growth. Ekasari et al
(2016) mentioned that the increasing growth rate of aquatic organisms provided with
probiotic in their feed was related to higher enzymatic digestion activity together with
vitamin synthesis, therefore, digestibility and organism weight were also increased.
Spesific growth rate value in all treatment of the obtained values average of
1.04±0.12%/day. one treatment shows that at low stocking density generate value growth
also lower. it is suspected because the space that is wide enough to make the fish a lot of
activities so that a lot of energy used for activity and metabolic processes than for growth .
In line with the statement Soedibya [14, energy used for metabolic processes very high, so
6
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

the energy portion reserved growth to be reduced.

Specific Growth Rate (SGR) semua perlakuan tidak berbeda nyata. Dalam penelitian
ini, menunjukkan bahwa nilai SGR semua perlakuan tergolong tinggi. Penambahan sel
Bacillus sp., ke dalam pakan berdampak positif pada sistem pencernaan ikan karena enzim
eksogen yang dikeluarkan oleh sel, sehingga pengeluaran energi lebih efektif selama
pencernaan [12]. Selisih energi yang dihasilkan dari proses ini dapat digunakan untuk
pertumbuhan. Ekasari et al (2016) menyebutkan bahwa peningkatan laju pertumbuhan
organisme akuatik yang diberi probiotik dalam pakannya berkaitan dengan aktivitas
pencernaan enzimatik yang lebih tinggi bersama dengan sintesis vitamin, sehingga
kecernaan dan bobot organisme juga meningkat. Nilai laju pertumbuhan spesifik pada
semua perlakuan diperoleh nilai rata-rata 1,04±0,12%/hari. Salah satu perlakuan
menunjukkan bahwa pada padat tebar rendah menghasilkan nilai pertumbuhan yang juga
lebih rendah. Hal ini diduga karena ruang yang cukup luas membuat ikan banyak
beraktivitas sehingga banyak energi yang digunakan untuk aktivitas dan proses
metabolisme dibandingkan untuk pertumbuhan. Senada dengan pernyataan Soedibya [14],
energi yang digunakan untuk proses metabolisme sangat tinggi, sehingga porsi energi yang
dicadangkan untuk pertumbuhan menjadi berkurang.

Daily growth rate

The average daily growth rate in the one treatment of 0.09 ± 0.02 g/day, two treatments
of 0.13±0.06g/day, three treatments of 0.10±0.04g / day and the treatment of four of
0,10±0,03 g / day. ANOVA test based on the value of daily growth rate of catfish (Clarias
gariepinus) showed a significantly (P <0.05), followed by further test of LSD. Average
daily growth value based Least Significant Difference test showed that the first treatment
was significantly different to two treatments. Treatment of two significantly different with
the other treatment. Two treatment showed best growth results seen from the average
absolute growth was 0.13 ± 0.03 g. The average value of daily growth rate in the treatment
of two highest than the other treatments. It is believed to be related to the carrying capacity
(carrying capacity of the environment), the higher stocking densities used, the carrying

7
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

capacity decreases [15]. Competition in obtaining food is thought to be one cause of

declining daily growth rate in the treatment of the three, although food is available but the
fish can not reach due to space limitations. This can lead to stress which results in
decreased appetite [12]. Reduction appetite resulted in low nutrients entering and absorbed
in the body of the fish. As a result, the energy obtained from the overhaul of these nutrients
is only used for fishing activities, whereas the energy for growth is reduced so that the
growth of fish decreased.

Tingkat Pertumbuhan Harian

Rata-rata laju pertumbuhan harian pada perlakuan satu sebesar 0,09 ± 0,02 g/hari,
perlakuan dua sebesar 0,13±0,06g/hari, perlakuan tiga sebesar 0,10±0,04g/hari dan
perlakuan empat sebesar 0,10±0,03 g / hari. Uji ANOVA berdasarkan nilai laju
pertumbuhan harian ikan lele (Clarias gariepinus) menunjukkan signifikan (P<0,05),
dilanjutkan dengan uji lanjut LSD. Nilai rata-rata pertumbuhan harian berdasarkan uji Beda
Nyata Terkecil menunjukkan bahwa perlakuan pertama berbeda nyata dengan dua
perlakuan. Perlakuan keduanya berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan dua
menunjukkan hasil pertumbuhan terbaik dilihat dari rata-rata pertumbuhan mutlak 0,13 ±
0,03 g. Nilai rata-rata laju pertumbuhan harian pada dua perlakuan paling tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diyakini terkait dengan daya dukung
lingkungan, semakin tinggi padat penebaran yang digunakan, semakin berkurangi daya
dukungnya [15]. Persaingan dalam memperoleh pakan diduga menjadi salah satu penyebab
menurunnya laju pertumbuhan harian pada perlakuan ketiga, walaupun pakan tersedia
namun ikan tidak dapat menjangkau karena keterbatasan ruang. Hal ini dapat menyebabkan
stres yang mengakibatkan nafsu makan menurun [12]. Berkurangnya nafsu makan
mengakibatkan rendahnya nutrisi yang masuk dan terserap dalam tubuh ikan. Akibatnya
energi yang diperoleh dari perombakan unsur hara tersebut hanya digunakan untuk kegiatan
mencari makanan, sedangkan energi untuk pertumbuhan berkurang sehingga pertumbuhan
ikan menurun.

0.25
0.2 1,13±0,5b

1,02±0,6a
0.15 0,09±0,5a
1,15±0,7a
DGR

0.1
0.05
0
1 2 3 4
Treatment
Gambar 2. Laju Pertumbuhan Harian Ikan Lele (C. gariepinus) Yang Dibudidayakan Dengan
Kepadatan Tinggi Dengan Sistem Bioflok. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
(p<0,05). (1. Padat tebar 1000/m3 dalam sistem bioflok, 2 Padat tebar 1500/m 3 dalam sistem
bioflok 3. Padat tebar 2000/m3 dalam sistem bioflok dan 4. Padat tebar 2500/m 3 dalam sistem
bioflok)

Treatment two with a stocking density of 1500/m3 able to utilize the feed is well
evidenced by the value of daily growth rate higher than the one treatment, the treatment of
three and four treatments. The feed given to each of equal treatment that is equal to 3% of
the body weight of fish. Fish body weight at the two higher treatment so that the amount of
8
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

feed given to more than one treatment, treatment of three and four treatments. Therefore,
the energy produced was greater, the energy obtained from the feed is used for the body's
activity and growth. Contributions floc is available for 24 hours also affect growth. Flocs
contains nutrients needed by fish, one of which is a protein. Protein floc in the treatment of
two higher at 22.24%, while on the treatment, the treatment of three and four treatment
floknya protein content of 19.25%, 15.83% and 21.60% with a protein content of feed
(pellets) which given the same on each treatment which amounted to 28.75%. The protein
content of different floc this is one cause of fish growth rate is different for each treatment.
Perlakuan dua dengan padat tebar 1500/m3 mampu memanfaatkan pakan dengan baik
dibuktikan dengan nilai laju pertumbuhan harian lebih tinggi dari perlakuan satu, perlakuan
tiga dan perlakuan empat. Pakan yang diberikan pada masing-masing perlakuan sama yaitu
sebesar 3% dari bobot badan ikan. Bobot badan ikan pada perlakuan dua lebih tinggi
sehingga jumlah pakan yang diberikan lebih dari perlakuan satu, perlakuan tiga dan
perlakuan empat. Oleh karena itu energi yang dihasilkan lebih besar, energi yang diperoleh
dari pakan digunakan untuk aktivitas dan pertumbuhan tubuh. Kontribusi flok yang tersedia
selama 24 jam juga mempengaruhi pertumbuhan. Flok mengandung nutrisi yang
dibutuhkan oleh ikan, salah satunya adalah protein. Protein flok pada perlakuan dua lebih
tinggi sebesar 22,24%, sedangkan pada perlakuan satu, perlakuan tiga dan perlakuan empat
kandungan protein floknya sebesar 19,25%, 15,83% dan 21,60% dengan kandungan protein
pakan yang diberikan sama pada masing-masing perlakuan yaitu sebesar 28,75%.
Kandungan protein flok yang berbeda inilah yang menjadi salah satu penyebab laju
pertumbuhan ikan berbeda untuk setiap perlakuan.

Absolute Growth
Absolute growth value in the treatment of the obtained values of 4.76±1.3 g, while the
treatment of the two obtained values of 6.45±3.1 g, and the treatment was 5.14±2.2 g three
and four treatments of 5.14±2.2 g. Based on ANOVA test, the value of the absolute growth
of african catfish (Clarias gariepinus) were cultivated at high stocking density with biofloc
system showed significantly different results. Absolute growth value based Least
Significant Difference test showed that the first treatment was significantly different to two
treatments. Treatment of two significantly different with the other treatment. Two treatment
showed best growth results seen from the average absolute growth is 6.45 ± 3.1 g.

Pertumbuhan Mutlak
Nilai pertumbuhan mutlak pada perlakuan pertama diperoleh nilai sebesar 4,76±1,3 g,
sedangkan pada perlakuan dua diperoleh nilai 6,45±3,1 g, dan perlakuan ketiga sebesar
5,14±2,2 g dan perlakuan empat sebesar 5,14±2,2 g. Berdasarkan uji ANOVA, nilai
pertumbuhan mutlak ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dibudidayakan pada padat
tebar tinggi dengan sistem bioflok menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Uji Beda Nyata
Terkecil berdasarkan nilai pertumbuhan mutlak menunjukkan bahwa perlakuan pertama
berbeda nyata dengan perlakuan dua. Perlakuan dua berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Perlakuan dua menunjukkan hasil pertumbuhan terbaik dilihat dari rata-rata
pertumbuhan mutlak yaitu 6,45 ± 3,1 g.

9
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

12
6,45±3,1b
10
Absolute Growth8
5,14±2,2a5,41±1,9a
4,76±1,3a
6
4
2
0
1 2 3 4
Treatment

Gambar 3. Pertumbuhan Mutlak Lele dumbo (C. gariepinus) yang dibudidayakan dengan kepadatan
tinggi dengan sistem bioflok. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). (1.
Pada tebar 1000/m3 dalam sistem bioflok, 2 Padat tebar 1500/m3 dalam sistem bioflok 3. Padat
tebar 2000/m3 dalam sistem bioflok dan 4. Padat tebar 2500/m3 dalam sistem bioflok)

Growth performance in the third and fourth treatment showed that the higher density,
growth was even more low absolute weight. This is in accordance with the opinion of
Hickling [17] which states that fish growth will be faster when kept at low stocking density
which would otherwise be slow when a solid high stock density. Increased density will be
followed by a decrease in growth (critical standing crop) and if it has to some extent
(carrying capacity) growth is to be stopped altogether. Factors that affect the carrying
capacity include water quality, feed, and the size of the fish. Space and food supply are
factors that also affect the growth of fish, where the fish will grow better if both of these
factors can be met, and otherwise growth will slow if one or both are lacking. This result
indicated that Biofloc was able to increase growth. Similar result also indicated by another
research using inoculating heterotrophic bacteria addition into biofloc-based culture media
for catfish was able to increase the survival rate and growth performance [12].
Kinerja pertumbuhan pada perlakuan tiga dan empat menunjukkan bahwa semakin
tinggi kepadatan, pertumbuhan bobot mutlak semakin rendah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hickling [17] yang menyatakan bahwa pertumbuhan ikan akan lebih cepat bila
dipelihara pada padat tebar rendah yang sebaliknya akan lambat bila padat tebar tinggi.
Peningkatan kepadatan akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan dan jika sudah sampai
batas tertentu pertumbuhan terhenti sama sekali. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya
dukung antara lain kualitas air, pakan, dan ukuran ikan. Ruang dan persediaan makanan
merupakan faktor yang juga mempengaruhi pertumbuhan ikan, dimana ikan akan tumbuh
lebih baik jika kedua faktor tersebut dapat terpenuhi, dan sebaliknya pertumbuhan akan
melambat jika salah satu atau keduanya kurang. Hasil ini menunjukkan bahwa Bioflok
mampu meningkatkan pertumbuhan. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh penelitian lain
yang menggunakan inokulasi penambahan bakteri heterotrofik ke dalam media budidaya
berbasis bioflok untuk ikan lele yang mampu meningkatkan tingkat kelangsungan hidup
dan kinerja pertumbuhan [12].

Biofloc which also serves as a source of natural food fish available 24 hours in the
maintenance of an effect on the growth of the body. The nutritional content of different
flocks on each pool resulted in an absolute growth of fish each different treatment. Protein
is available in all four treatment tends to be higher than other treatments that is equal to
28.75% of feed pellets and floc protein analysis results in the amount of 21.60%. This
causes excess protein, so there is no storage repository for amino acids. Therefore, foods
containing excess amino acids will be used immediately to meresintesis body proteins and
other nitrogen compounds. The carbon skeleton oxidized or converted to glucose or fats,
10
 E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

and amino group is converted into ammonia [13].

Bioflok yang juga berfungsi sebagai sumber pakan alami ikan tersedia 24 jam dalam
pemeliharaan yang berpengaruh pada pertumbuhan tubuh. Kandungan nutrisi yang berbeda
pada setiap kelompok flok pada masing-masing kolam mengakibatkan pertumbuhan mutlak
ikan setiap perlakuan berbeda. Protein tersedia pada perlakuan empat cenderung lebih
tinggi dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 28,75% pakan pellet dan hasil analisis
protein flok sebesar 21,60%. Hal ini menyebabkan kelebihan protein, sehingga tidak ada
tempat penyimpanan asam amino. Oleh karena itu, makanan yang mengandung asam amino
berlebih akan segera digunakan untuk meresintesis protein tubuh dan senyawa nitrogen
lainnya. Kerangka karbon dioksidasi atau diubah menjadi glukosa atau lemak, dan gugus
amino diubah menjadi amonia [13].

Hepatosomatic Index (%)

Hepatosomatic index (HSI) value in the treatment of the obtained value of 3.3 ± 1.5%,
while the treatment of the two obtained a value of 3.7 ± 1.8%, and the treatment of the three
at 3.5 ± 1.4% and the treatment of four of 4.7 ± 1.8%. Based on ANOVA test,
hepatosomatic index value of african catfish (Clarias gariepinus) were cultivated at high
stocking density with biofloc system showed significantly different results. Furthermore,
the test results Least Significant Difference, the index value hepatosomatic showed that the
treatment of the significantly different from the treatment of four and is equal to the
treatment of two and three, the treatment of two significantly different from the treatment of
four and the same as the treatment of one and three, and treatment three significantly

Indeks Hepatosomatik

Nilai indeks Hepatosomatik pada perlakuan satu diperoleh nilai 3,3 ± 1,5%, sedangkan
pada perlakuan dua diperoleh nilai 3,7 ± 1,8%, dan pada perlakuan ketiga sebesar 3,5 ±
1,4% dan pada perlakuan empat sebesar 4,7 ± 1,8%. Berdasarkan uji ANOVA, nilai indeks
hepatosomatik ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dibudidayakan pada padat tebar
tinggi dengan sistem bioflok menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Selanjutnya hasil uji
Beda Nyata Terkecil, nilai indeks hepatosomatik menunjukkan bahwa perlakuan satu
berbeda nyata dengan perlakuan empat dan sama dengan perlakuan dua dan tiga, perlakuan
dua tidak berbeda nyata dengan perlakuan empat, sama dengan perlakuan satu dan tiga, dan
perlakuan tiga berbeda nyata dengan perlakuan empat seperti perlakuan satu dan dua yang
berbeda nyata. Perlakuan empat berbeda nyata dengan perlakuan satu, dua dan tiga.

11
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

different treatments four and equal treatment with one and two. The four treatments
significantly different from the treatment of one, two and three.

7 4,7±1,8b

Hepatosomatic Index 6 3,7±1,8b

3,31±1,5a 3,5±1,4a
5
4
3
2
1
0
1 2 3 4
Treatment
Gambar 4. Indeks hepatosomatik ikan lele (C. gariepinus) dibudidayakan dengan kepadatan tinggi
dengan sistem bioflok. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). (1. Kepadatan
pengolahan 1000/m3 dalam sistem bioflok, 2 Kepadatan pengolahan 1500/m3 dalam sistem bioflok 3.
Kepadatan pengolahan 2000/m3 dalam sistem bioflok dan 4. Kepadatan pengolahan 2500/m3 dalam
sistem bioflok)

The liver is an important organ which secretes material for the process of digestion.
Material reserve nutrients commonly found in liver cells are fat and glycogen granules. In
general, the liver serves as the metabolism of carbohydrates, fats and proteins as well as a
place to produce bile [18]. One of the sources of energy used in the fish while maintaining
its development comes from the heart. The fish feed supply shortage in addition to its
metabolism is reduced, the fish did not get enough energy source, so it will use an energy
source that comes from the heart. Hepatosomatic index value in the treatment of the first,
second and third tend to be lower than the fourth treatment. It is suspected that more fish
using existing reserves of energy in the body compared to the fourth treatment. This is
consistent with the statement Lenhardt et al. [19], the index hepatosomatic used to describe
the distribution of energy in fish, namely the decrease in the index value hepatosomatic.
This indicates that the presence of energy reserves in the liver is used to maintain the body's
metabolism.

Hati merupakan organ penting yang mensekresikan materi untuk proses pencernaan.
Bahan nutrisi cadangan yang biasa ditemukan di sel hati adalah lemak dan butiran glikogen.
Secara umum, hati berfungsi sebagai tempat metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
serta tempat untuk memproduksi empedu. Salah satu sumber energi yang digunakan pada
ikan dengan tetap mempertahankan perkembangannya berasal dari hati. Kekurangan suplai
pakan ikan selain metabolismenya berkurang, ikan tidak mendapatkan sumber energi yang
cukup, sehingga akan menggunakan sumber energi yang berasal dari hati. Nilai indeks
hepatosomatik pada perlakuan pertama, kedua dan ketiga cenderung lebih rendah
dibandingkan perlakuan keempat. Diduga ikan lebih banyak menggunakan cadangan energi
yang ada di dalam tubuhnya dibandingkan dengan perlakuan keempat. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Lenhardt et al. [19], indeks hepatosomatik digunakan untuk
menggambarkan distribusi energi pada ikan, yaitu penurunan nilai indeks hepatosomatik.
Hal ini menandakan bahwa adanya cadangan energi di hati digunakan untuk menjaga
metabolisme tubuh.

The fourth treatment showed the best hepatosomatic index value is 4.7 ± 1.8%. It is
suspected that the fish on the fourth treatment at a density of 2500 head/m3 tend not many
activities due to limited space for stocking density is very high, so much energy is stored in
12
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

the liver than used to perform the activity. Furthermore, the results of the proximate
analysis of protein content in the pellet given was quite high at 28.75%. In addition, the fish
in the treatment of the fourth gain additional nutrients from the floc that act as natural food
sources are available for 24 hours. Based on the results of the proximate analysis of the
nutrient content of floc on media pisciculture fourth treatment showed a fairly high value
protein content reached 21.60 %. This shows that the four treatments, nutrition fish have
been met so that the metabolism of many stored in the liver. Hepatosomatic index is usually
used to indicate a problem in nutrition, because of the relative size of the liver correlated
with the state of nutrition given to the quality of the fish [9]. Increased value HSI showed
increased amounts of nutrients are absorbed and subsequently cause the amount of nutrients
accumulated in the liver increased [20].
Perlakuan keempat menunjukkan nilai indeks hepatosomatik terbaik yaitu 4,7 ±
1,8%. Diduga ikan pada perlakuan keempat pada kepadatan 2500 ekor/m3 cenderung tidak
banyak beraktivitas karena keterbatasan ruang karena padat penebaran sangat tinggi,
sehingga banyak energi yang tersimpan di hati dibandingkan digunakan untuk melakukan
aktivitas tersebut. Selanjutnya hasil analisis proksimat kandungan protein pada pelet yang
diberikan cukup tinggi yaitu 28,75%. Selain itu, ikan pada perlakuan keempat mendapatkan
tambahan nutrisi dari floc yang berperan sebagai sumber pakan alami yang tersedia selama
24 jam. Berdasarkan hasil analisis proksimat kandungan nutrisi flok pada media
pemeliharaan keempat perlakuan menunjukkan nilai kandungan protein yang cukup tinggi
mencapai 21,60 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada keempat perlakuan, nutrisi ikan telah
terpenuhi sehingga metabolismenya banyak tersimpan di hati. Indeks hepatosomatik
biasanya digunakan untuk menunjukkan masalah gizi, karena ukuran relatif hati berkorelasi
dengan keadaan gizi yang diberikan terhadap kualitas ikan [9]. Peningkatan nilai HSI
menunjukkan peningkatan jumlah nutrisi yang diserap dan selanjutnya menyebabkan
jumlah nutrisi yang terakumulasi di hati meningkat [20].

The results are consistent with research that has been done by the Soedibya et al. [21]
showed that the index value hepatosomatic resulting from maintenance on the system
biofloc with a stocking density of fish catfish 500/m3 significantly different from the
stocking density 250/m3 and 375/m3, dense stocking higher yield index value

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Soedibya dkk.
[21] menunjukkan bahwa nilai indeks hepatosomatik hasil pemeliharaan pada sistem
bioflok dengan padat tebar ikan lele 500/m 3 berbeda nyata dengan padat tebar 250/m 3 dan
375/m3, hasil nilai indeks hepatosomatik yang lebih baik pada padat tebar yang lebih tinggi

13
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

hepatosomatic better for allegedly fishing save more energy than is used to move because
of the limited space due to high stocking density. Sadekarpawar and Parikh [22] states that
the liver is a metabolic organ in fish that HSI values can also be used as a biomarker in
detecting environmental conditions of test animals. Hepatosomatic high index value does
not always show high growth anyway, since fish growth is also affected by other factors
such as environmental and genetic.
karena menangkap mangsa lebih menghemat energi daripada yang digunakan untuk
bergerak karena keterbatasan ruang akibat padat penebaran yang tinggi. Sadekarpawar dan
Parikh [22] menyatakan bahwa hati merupakan organ metabolisme pada ikan yang nilai
HSI-nya juga dapat digunakan sebagai biomarker dalam mendeteksi kondisi lingkungan
hewan uji. Nilai indeks hepatosomatik yang tinggi tidak selalu menunjukkan pertumbuhan
yang tinggi pula, karena pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti
lingkungan dan genetik.

Abundance of phytoplankton
The abundance of plankton in a biofloc is more common than phytoplankton groups.
Where, plankton from Microcystis and Coelosphaerium genus belongs to a group of
phytoplankton that is Cyanophyceae class. Phytoplankton growth was supported by the
availability of nutrients. The higher the content of nutrient in the water, the more abundant
phytoplankton that spurred the growth of zooplankton. The phytoplankton of the class
Cyanophyceae or blue-green algae was highly abundant because this type of phytoplankton
was easy to grow in water with high nutrients in the form of N, P and K. Besides, this type
of algae is normally used by the trophic structure or organism as a source of food (Bernardi
and Giussani, 1990).
Kelimpahan Fitoplankton
Kelimpahan plankton dalam suatu bioflok lebih umum daripada kelompok fitoplankton.
Dimana plankton dari genus Microcystis dan Coelosphaerium termasuk dalam kelompok
fitoplankton yaitu kelas Cyanophyceae. Pertumbuhan fitoplankton didukung oleh
ketersediaan unsur hara. Semakin tinggi kandungan nutrisi di dalam air, maka fitoplankton
semakin melimpah sehingga memacu pertumbuhan zooplankton. Fitoplankton dari kelas
Cyanophyceae atau alga biru-hijau sangat melimpah karena fitoplankton jenis ini mudah
tumbuh di air dengan nutrisi tinggi berupa N, P dan K. Selain itu, jenis alga ini biasanya
digunakan oleh organisme trofik. struktur atau organisme sebagai sumber makanan
(Bernardi dan Giussani, 1990).

14
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

Tabel 1.Kelimpahan fitoplankton pada budidaya ikan lele dengan sistem bioflok

Kelimpahan Fitoplankton (ind/l)

Nomor Kelas
T1 T2 T3 T4
Chlorophyceae
1 Actinastrum sp. 392 1124 1400 865
2 Scenedesmus sp. 589 1463 1186 2122
3 Pediastrum sp. 107 250 375 811
4 Diatoma sp. 9 18 0 0
5 Characium sp. 0 0 36 0
Chyanophyceae
6 Oscillatoria sp. 999 829 1828 936
7 Coelosphaerium sp. 2961 2550 3380 2809
8 Spirulina sp. 0 214 178 0
9 Anabaena sp. 0 0 45 0
Jumlah 5057 6448 8428 7543

Biofloc technology, forming a floc from organic material life, is fused into clumps
consisting of various water microorganisms including bacteria, algae, fungi, protozoa,
metazoan, rotifers, nematodes, Gastrotricha, and other organisms that are suspended by
detritus. Giving molasses in a biofloc could supply organic C in continuity or in accordance
with the content of nitrogen in the water. Thus, the content of nutrients like N, P and K will
be abundant in the biofloc. The abundance of the nutrient content can lead to the growth of
plankton in the form of Phy (plants) that will make the growth of zooplankton sustainable.
The research conducted by Andrian (2010) about the growth of plankton in various types of
different animal manure that contains nutrients such as nitrogen, phosphorus, and potassium
shows that plankton will be easy to grow in a pool that has much nutrient content of 1.00
ppm N, P 0, 80 ppm and 0.4 ppm K.
Teknologi bioflok, membentuk flok dari kehidupan bahan organik, menyatu menjadi
rumpun yang terdiri dari berbagai mikroorganisme air termasuk bakteri, alga, jamur,
protozoa, metazoan, rotifera, nematoda, Gastrotricha, dan organisme lain yang tersuspensi
oleh detritus. Pemberian molase dalam bioflok dapat mensuplai bahan organic karbon (C)
secara berkelanjutan atau sesuai dengan kandungan nitrogen di dalam air. Dengan demikian,
kandungan nutrisi seperti N, P dan K akan melimpah di dalam bioflok. Melimpahnya
kandungan nutrisi tersebut dapat menyebabkan tumbuhnya plankton berupa Phy (tanaman)
yang akan membuat pertumbuhan zooplankton berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan
oleh Andrian (2010) tentang pertumbuhan plankton pada berbagai jenis kotoran hewan yang
berbeda yang mengandung unsur hara seperti nitrogen, fosfor, dan kalium menunjukkan
bahwa plankton akan mudah tumbuh pada kolam yang memiliki kandungan unsur hara
sebanyak 1,00 ppm. N, P 0, 80 ppm dan 0,4 ppm K.

According Avnimelech [8], biofloc is generally can be formed from the residue of
feed, metabolism, and feces from aquaculture. Residual feed and fecal waste water will
produce inorganic nitrogen. The inorganic nitrogen can be converted into single cell protein

Menurut Avnimelech [8], bioflok umumnya dapat terbentuk dari sisa pakan,
metabolisme, dan feses dari budidaya. Sisa pakan dan air buangan tinja akan menghasilkan
nitrogen anorganik. Nitrogen anorganik dapat diubah menjadi protein sel tunggal

15
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

with the addition of carbon material water and can be used to feed fish, shrimp and plankton.
The condition of C:N ratio is balanced in cultivation media. Heterotrophic bacteria will
utilize N, both in organic and inorganic form for the growth of plankton so that the
concentration of N in the water is reduced. Comparison between the carbon (C) and nitrogen
(N) (C:N ratio) is very important to note in biofloc system so that bacteria can grow well and
it will affect the growth of phytoplankton.

dengan penambahan bahan karbon air dan dapat digunakan untuk pakan ikan, udang dan
plankton. Kondisi rasio C:N seimbang dalam media budidaya. Bakteri heterotrof akan
memanfaatkan N, baik dalam bentuk organik maupun anorganik untuk pertumbuhan plankton
sehingga konsentrasi N dalam air berkurang. Perbandingan antara karbon (C) dan nitrogen (N)
(C:N ratio) sangat penting diperhatikan dalam sistem bioflok agar bakteri dapat tumbuh
dengan baik dan akan mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton.

10000
8000
Phytoplankt

6000
4000
on

2000
0
T1 T2 T3 T4
Treatment

Gambar 5. Kelimpahan fitoplankton pada budidaya ikan lele dengan sistem bioflok

Plankton may experience changes in community composition (succession) as a result of

changes in physical (light intensity and temperature), chemical (nutrients, water quality, and
toxins), and biological (competition and predation) condition. This opinion is justified by
Reynolds (1990), who stated that phytoplankton abundance change is a response to
environmental variables such as temperature, light, nutrient availability, and the abundance
of predator. Odum (1971) in Pratiwi et al. (2010), states that an ecosystem is developed from
time to time. It is occurred by stimulus in the form of nutrients and it is characterized by the
change of the genus that is dominant.

Plankton dapat mengalami perubahan komposisi komunitas (suksesi) sebagai akibat dari
perubahan fisik (intensitas cahaya dan suhu), kimia (nutrisi, kualitas air, dan toksin), dan
biologis (kompetisi dan predasi). Pendapat ini dibenarkan oleh Reynolds (1990), yang
menyatakan bahwa perubahan kelimpahan fitoplankton merupakan respon terhadap variabel
lingkungan seperti suhu, cahaya, ketersediaan nutrisi, dan kelimpahan predator. Odum (1971)
dalam Pratiwi dkk. (2010), menyatakan bahwa suatu ekosistem berkembang dari waktu ke
waktu. Hal ini terjadi karena adanya stimulus berupa nutrisi dan ditandai dengan perubahan
genus yang dominan.

The dominance of plankton in a biofloc was mostly composed of groups of

phytoplankton especially Cyanophyceae class of Microcystis genus and the difference in the
dynamics of plankton that occurred during the treatment period. However, not all plankton
could be found in significant amount in each pool per week. In addition, differences in the

16
 E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018
dynamics of plankton in biofloc pool were quite diverse as seen from the difference in the
amount of plankton abundance on a weekly basis for each pool. In each week of observation,
the phytoplankton of Cyanophyceae class showed the highest abundance thatwas varied in
each pond.

Dominasi plankton dalam suatu bioflok sebagian besar terdiri dari kelompok fitoplankton
terutama kelas Cyanophyceae dari genus Microcystis dan perbedaan dinamika plankton yang
terjadi selama masa perlakuan. Namun, tidak semua plankton dapat ditemukan dalam jumlah
yang signifikan di setiap kolam per minggu. Selain itu, perbedaan dinamika plankton di kolam
bioflok cukup beragam terlihat dari perbedaan jumlah kelimpahan plankton setiap minggunya
untuk masing-masing kolam. Pada setiap minggu pengamatan, fitoplankton kelas
Cyanophyceae menunjukkan kelimpahan tertinggi yang bervariasi di setiap kolam.

Water quality

Water quality in every treatment were analyzed. Ammoniac on 50 days biofloc treatment
were 0.70-13.01 ppm, Nitrat were 2.17-12.17 ppm, nitrit 0.03-3.66 ppm, DO were 7.4-8
ppm, Temperature were 25-29 0, and pH were 5-7 (Table 2). The peak level of Ammoniac
(13.01) was recorded at group 4 (2500/m3), the peak level of Nitrat (12.17) was recorded at
group 1 (1500/m3), and the peak level of nitrit (3.66) was recorded at group 2 (2500/m3).
For the DO, temperature and pH, every treatment group had a same condition.
Ammonia is a major end product of protein breakdown in fish. The fish will digest the
protein in the feed and excrete ammonia through their gills and urine. Ammonia in the
cultivation environment is also derived from the decomposition of organic material such as

Kualitas Air

Kualitas air di setiap perlakuan dianalisis. Amoniak pada perlakuan bioflok 50 hari adalah
0,70-13,01 ppm, Nitrat 2,17-12,17 ppm, nitrit 0,03-3,66 ppm, DO 7,4-8 ppm, Suhu 25-290,
dan pH 5-7 (Tabel 2). Kadar puncak Amoniak (13,01) tercatat pada kelompok 4 (2500/m3),
kadar puncak Nitrat (12,17) tercatat pada kelompok 1 (1500/m3), dan kadar puncak nitrit
(3,66) tercatat pada kelompok 2 (2500/m3). Untuk DO, suhu dan pH, setiap kelompok
perlakuan memiliki kondisi yang sama.

Amonia adalah produk akhir utama pemecahan protein pada ikan. Ikan akan mencerna
protein dalam pakan dan mengeluarkan amonia melalui insang dan urinnya. Amonia di
lingkungan budidaya juga berasal dari dekomposisi bahan organik seperti:

17
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

food remains, dead algae, and aquatic plants [28]. At the beginning of the study of ammonia
ranged 8.63-13.005mg/L. High levels of ammonia caused by the accumulation of the
metabolism of the fish and the unconsumed feed consumed. Once that happens a gradual
decline in each treatment until the end of the study of ammonia ranged 0.7488-7.6123mg/L.
According to Green and Schrader (2015) that the increased levels of ammonia in the culture
system can be affected by pH and temperature. At low water pH (acidic) ammonia tend to
be more in the form of NH4+, while the high water pH (alkaline) ammonia tend to be more
in the form of NH3. At low water temperatures tend to be more ammonia in the form of
NH4+, while the high water temperatures tend to be more ammonia in the form of NH3.

sisa makanan, alga mati, dan tanaman air [28]. Pada awal penelitian kadar amonia berkisar
8,63-13.005mg/L. Tingginya kadar amoniak disebabkan oleh akumulasi hasil metabolisme
ikan dan pakan yang tidak terkonsumsi. Setelah itu terjadi penurunan bertahap pada setiap
perlakuan sampai akhir penelitian kadar amonia berkisar 0.7488-7.6123mg/L. Menurut
Green dan Schrader (2015) bahwa peningkatan kadar amonia dalam sistem kultur dapat
dipengaruhi oleh pH dan suhu. Pada pH air rendah (asam) amoniak cenderung lebih banyak
dalam bentuk NH4+, sedangkan pH air tinggi (basa) amoniak cenderung lebih dalam bentuk
NH3. Pada suhu air rendah cenderung lebih banyak amonia dalam bentuk NH4+, sedangkan
pada suhu air tinggi cenderung lebih banyak amonia dalam bentuk NH3.

Table 2. Water quality during maintenance

Temperatur
Ammoniac DO
Treatment Nitrat (ppm) Nitrit (ppm) pH
(ppm) (ppm) (oC)

1 0.70-10.98 5.49-12.17 0.03- 2.11 7.6-8 25-29 5-7

2 7.61-8.64 4.32-11.96 0.06-3.66 7.6-8 25-29 5-7

3 0.83-8.77 5.48-10.90 0.08-2.11 7.6-8 25-29 5-7

4 0.75-13.01 2.17-11.03 0.03-2.00 7.4-8 25-29 5-7

Nitrite is a result of the oxidation of ammonia in a nitrification process which is then

converted into nitrate [27[. The measurement results nitrite levels were obtained at the start
of the maintenance ranges 0.0323-0.0792 mg/L. The concentration of nitrite tend to
fluctuate to indicate the occurrence of nitrification in maintenance media. The occurrence of
nitrification in maintenance media can be seen by comparing the value of ammonia, nitrite,
and nitrate, which the current value of high ammonia nitrite then the value is low and vice
versa. According to Mosha et al. [16], the main effect of nitrite compounds in the body of
the fish is a change in the transport of oxygen and the oxidation of compounds in tissue.
Ferric ion oxidizes nitrite which converts hemoglobin into methemoglobin. Methemoglobin
low ability to bind and transport oxygen from aquatic environments throughout the body
causing the fish to experience hypoxia (lack of oxygen) and cyanosis (blue skin bruising and
because of the blood on hold). The high increase in the concentration of nitrite nitrogen in
the first treatment that stocking density 2.000 head per pond, thought to be one of the factors
that cause high levels of mortality in the treatment.

Nitrate (NO3) is the main form of nitrogen in natural waters and is a major nutrient for
plant growth and algae. Nitrates are highly soluble in water and are stable. This compound
is produced from the oxidation of nitrogen compounds in the water is perfect. Nitrification

18
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018
which is the process of oxidation of ammonia to nitrite and nitrate is an important process in
the nitrogen cycle and takes place in aerobic conditions. The oxidation of ammonia to nitrite
made by the bacteria Nitrosomonas, while the oxidation of nitrite to nitrate made by the
bacteria Nitrobacter. Both types of bacteria are a chemotrophic bacteria, ie bacteria that
obtain energy from a chemical process . Nitrate is an end product of the nitrification
process. Nitrates are not toxic for fish except in very high concentrations (>100 mg/L).
Under anaerobic conditions, nitrate can be removed with the aid of denitrifying bacteria will
convert nitrates into nitrogen gas. The observation of the nitrate content of water
pisciculture media during the study in Figure 8 shows that the concentration of nitrate
nitrogen all treatments tend to fluctuate with the patterns and values are almost the same.
Nitrates have 1.000-3.000 ppm limit value so it is rarely the cause of death in fish[27].

Nitrit merupakan hasil oksidasi amoniak dalam proses nitrifikasi yang kemudian
diubah menjadi nitrat [27[. Hasil pengukuran kadar nitrit yang diperoleh pada awal
pemeliharaan berkisar 0,0323-0,0792 mg/L. Konsentrasi nitrit yang cenderung fluktuatif
mengindikasikan terjadinya nitrifikasi pada media pemeliharaan. Terjadinya nitrifikasi pada
media pemeliharaan dapat dilihat dengan membandingkan nilai amonia, nitrit, dan nitrat,
dimana saat ini nilai amonia nitrit tinggi maka nilai rendah dan sebaliknya. Menurut Mosha
dkk. [16], efek utama senyawa nitrit dalam tubuh ikan adalah perubahan transportasi
oksigen dan oksidasi senyawa dalam jaringan. Ion besi mengoksidasi nitrit yang mengubah
hemoglobin menjadi methemoglobin. Rendahnya kemampuan methemoglobin untuk
mengikat dan mengangkut oksigen dari lingkungan perairan ke seluruh tubuh menyebabkan
ikan mengalami hipoksia (kekurangan oksigen) dan sianosis (kulit biru memar dan karena
darah tertahan). Tingginya peningkatan konsentrasi nitrit nitrogen pada perlakuan pertama
yaitu padat tebar 2.000 ekor per tambak, diduga menjadi salah satu faktor penyebab
tingginya tingkat kematian pada perlakuan.

Tabel 2. Kualitas air selama pemeliharaan

Perlakuan Ammonia Nitrat Nitrit DO Suhu pH
(ppm) (ppm) (ppm) (ppm)
1 0,70-10,98 5,49-12,17 0,03-2,11 7,6-8 25-29 5-7
2 7,61-8,64 4,32-11,96 0,06-3,66 7,6-8 25-29 5-7
3 0,83-8,77 5,48-10,90 0,08-2,11 7,6-8 25-29 5-7
4 0,75-13,01 2,17-11,03 0,03-2,00 7,4-8 25-29 5-7

19
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

Dissolved Oxygen plays an important role in the culture system, especially in intensive
aquaculture systems that employ biofloc. This is because the metabolic activity of microbes
to decompose the organic material requires sufficient amount of oxygen continuously
(Green and Matthew., 2017). The results of the measurement of dissolved oxygen (DO) in
the water used for pisciculture C. gariepenus at 7.4 to 8 ppm which is still appropriate
quality standards applied cultivation Government Regulation No.28 Year 2001. Oxygen
levels are not only important for the metabolic activity cells but also can affect the structure
of floc. According to Wilen and Balmer [24], the dissolved oxygen concentration is higher,
floc size will be larger and more compact so that it will more easily be used as feed by fish.
Oksigen terlarut memainkan peran penting dalam sistem budidaya, terutama dalam
sistem budidaya intensif yang menggunakan bioflok. Hal ini dikarenakan aktivitas
metabolisme mikroba untuk menguraikan bahan organik membutuhkan jumlah oksigen
yang cukup secara terus menerus (Green dan Matthew., 2017). Hasil pengukuran oksigen
terlarut (DO) pada air yang digunakan untuk budidaya ikan C. gariepenus sebesar 7,4
sampai 8 ppm yang masih sesuai baku mutu budidaya yang diterapkan Peraturan Pemerintah
No.28 Tahun 2001. Kadar oksigen tidak hanya penting untuk aktivitas metabolisme sel
tetapi juga dapat mempengaruhi struktur flok. Menurut Wilen dan Balmer [24], konsentrasi
oksigen terlarut semakin tinggi, ukuran flok akan lebih besar dan lebih kompak sehingga
akan lebih mudah digunakan sebagai pakan oleh ikan.

The pH value of the water reflects a balance between acids and bases in water. The
observation of the pH value of maintenance media showed that at the beginning of the
maintenance of the pH value is quite low, but in the middle of maintenance, normal pH
value in the range of 6.8 to 7.0. According Boyd [25], a pH below 6.5 or greater than 9.0
can reduce the ability of fish reproduction and growth. While the pH value ranging from 6-
9 maintenance media, it is still in line with the range of water quality standard for
cultivation in Government Regulation No. 82 Year 2001.

Nilai pH air mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa dalam air. Pengamatan
nilai pH media pemeliharaan menunjukkan bahwa pada awal pemeliharaan nilai pH cukup
rendah, namun pada pertengahan pemeliharaan nilai pH normal berada pada kisaran 6,8 –
7,0. Menurut Boyd [25], pH di bawah 6,5 atau lebih besar dari 9,0 dapat menurunkan
kemampuan reproduksi dan pertumbuhan ikan. Sedangkan nilai pH media pemeliharaan
berkisar antara 6-9, masih sesuai dengan kisaran baku mutu air untuk budidaya dalam
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001.
Temperature is a factor that affects the growth and survival of fish. The water
temperature will affect the rate of growth, the rate of metabolism and appetite of fish [25].
The difference in temperature that occurs during pisciculture looks quite volatile, which in
the early morning just 25ºC temperature maintenance, then increased fairly high at 28ºC,
and then stabilized until the end of the study. According Green and Schrader [23], optimal
temperature range for catfish farming is 25-30ºC. So that the temperature fluctuations that
occur during maintenance is still in normal condition with a range that can be tolerated by
fish. Temperature affects the various chemical reactions in the body of water, including the
effect on the solubility of oxygen in water and metabolism of fish, so it will affect fish
growth [26]. Fluctuations in temperature also affects the activity of bacteria in media
biofloc maintenance. The high activity of bacteria characterized by decreasing the amount
of oxygen in the afternoon, when the temperature reached the peak or the maximum value.
The high activity of these bacteria is offset by the addition of molasses as a carbon source
to be converted into cellular proteins of bacteria in the afternoon after feeding. At the time
of low temperature, high oxygen solubility, and vice versa. In addition, the temperature
also affects the strength and morphology floc. The optimal temperature to maintain the
stability of flocks ranged between 20-25ºC, while the temperature is too high (> 35 ° C)
may cause a decrease in the stability of the floc [26].

20
 E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan
hidup ikan. Suhu air akan mempengaruhi laju pertumbuhan, laju metabolisme dan nafsu
makan ikan. Perbedaan suhu yang terjadi selama pemeliharaan ikan terlihat cukup
fluktuatif, dimana pada pagi hari suhu pemeliharaan adalah 25ºC, kemudian meningkat
cukup tinggi pada 28ºC, dan kemudian stabil sampai akhir penelitian. Menurut Green dan
Schrader [23], kisaran suhu optimal untuk budidaya ikan lele adalah 25-30ºC. Sehingga
fluktuasi suhu yang terjadi selama pemeliharaan masih dalam kondisi normal dengan
kisaran yang dapat ditoleransi oleh ikan. Suhu mempengaruhi berbagai reaksi kimia di
dalam badan air, termasuk pengaruh terhadap kelarutan oksigen dalam air dan metabolisme
ikan, sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Fluktuasi suhu juga mempengaruhi
aktivitas bakteri dalam pemeliharaan media bioflok. Tingginya aktivitas bakteri ditandai
dengan menurunnya jumlah oksigen pada sore hari, saat suhu mencapai puncak atau nilai
maksimal. Tingginya aktivitas bakteri ini diimbangi dengan penambahan molase sebagai
sumber karbon untuk diubah menjadi protein seluler bakteri pada sore hari setelah makan.
Pada saat suhu rendah, kelarutan oksigen tinggi, dan sebaliknya. Selain itu, suhu juga
mempengaruhi kekuatan dan morfologi flok. Suhu optimal untuk menjaga stabilitas flok
berkisar antara 20-25ºC, sedangkan suhu yang terlalu tinggi (>35 °C) dapat menyebabkan
penurunan stabilitas flok [26].

4 Conclusions
In summary, the bioflocs system can enhance growth of juvenile catfish C.
batrachus. Density of biofloc have played an important role in promoting growth in
catfish, however this deserve further investigations

4. Kesimpulan

Kesimpulannya, sistem bioflok dapat meningkatkan pertumbuhan lele C. batrachus

muda. Kepadatan bioflok memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan
ikan lele, namun hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

The first author would like thank to Ministry of Research, Technology and Higher Education of the
Republic of Indonesia for providing research funding of the study.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia yang telah memberikan dana penelitian untuk penelitian ini.

References
1 Hermawan, A., Sudaryono, and S. Prayitno. Journal of Aquaculture Management and
Technology. 3, 35-42 (2014)
2 Fagbenro, O. and Jauncey, K. Biores. Tech. 51, 29-35 (1995)
3 Richter, C.J.J., Eding, E.H., Verreth, J.A.J. and Fleuren, W.L.G. Blackwell Science,
Cambridge, pp. 242-277. (1995).
4 ÇEK, Fiehriban and Erdal Yilmaz. Turk J Zool. 31, 35-46 (2007)
5 Shafrudin, D.,Yuniarti., and M, Setiawati. Jurnal Akuakultur Indonesia. 5, 137-147 (2006)

21
E3S Web of Conferences 47, 02002 (2018) https://doi.org/10.1051/e3sconf/20184702002
SCiFiMaS 2018

6 Asaduzzaman, M., M,A, Wahab., M,C,J, Verdegem., S, Huque., M,A, Salam., dan M,E,
Azim. Akuakultur. 280: 117–123 (2008)
7 De Schryver., P. R. Crab., T, Defoirdt, N. Boon, dan W. Verstraete. Akuakultur. 277,
125–137 (2008)
8 Avnimelech, Y. Akuakultur. 176, 227-235 (1999)
9 Abdel-Wahab A. Abdel-Warith, El-Sayed M.I. Younis, Nasser A. Al-Asgah. Saudi
Journal of Biological Sciences 23, 404–409 (2016)
10 Hepher. B. and Y. Pruginin. Commercial fish farming: With special reference to fish
culture in Israel. (John Wiley and Sons, New York, 1981)
11 Amon P. Shoko, Samwel M. L., and Yunus D. Mgaya. Effect of stocking density on
growth performance, survival, production, and financial benefits of African sharptooth
catfish (Clarias gariepinus) monoculture in earthen ponds. Journal Journal of Applied
Aquaculture Volume 28, Issue 3. 2016.
12 Yusuf, M. W., N. B. P. Utomo., M. Yuhana., Widanarni. Journal of Fisheries and Aquatic
Science. 10, 523-532 (2015)
13 Julie Ekasaria, Muhammad A.S., Wiyoto W., Ratih F. H., Gilang S. L., Rosi S.,
Muhammad A. and Muhammad Z. J. Aquaculture Volume 464, 1 2016
14 Soedibya PHT. Variasi Fisiologis Ikan Gurami (Oshpronemus gouramy Lac.) dalam
Menghadapi Ketersediaan Sumber Pakan [Disertasi]. (Bogor: Institut Pertanian Bogor.
1999)
15 Onada OA, Ogunola OS Effects of Catfish (Clarias gariepinus) Brood-stocks Egg
Combination on Hatchability and Survival of Fish Larvae. J Aquac Res Development 2,
(2017)
16 Mosha S.S., Kang’ombe J., Jere W., Madalla N. J Aquac Res Development 7, 441 (2016)
17 Hickling, C.F. Budidaya Ikan. (London : Faber and Faber. P : 348.
1971) 18 Farhat and Mukhtar A.K. Jurnal Akuakultur Terapan. 23, (2011)
19 Lenhardt, Mirjana., I. Jarić., P. Cakić., G. Cvijanović., Z. Gačić., J. Kolarević. Turk. J.
Vet. Anim. Sci. 33, 209-214 (2009)
20 Bekeh A.F., Olatunji A.E., Bassey W.K. Jurnal Pengembangan Sumberdaya Perairan. 6, 378 (2015).
21 Soedibya, P. H. T., E. Listiowati. Prosiding Seminar Nasional Percepatan Desa
Berdikari Melalui Pemberdayaan Masyarakat Dan Inovasi Teknologi. (LPPM Unsoed
Purwokerto. 2014)
22 Sadekarpawar, S., dan P. Parikh. Jurnal Dunia Zoologi 8 ,110-118 (2013)
23 Green B.W., dan Schrader KK. Jurnal Pengembangan Sumberdaya
Perairan. 6, 314, (2015) 24 Wilen, B. M. dan P. Balmer. Water Research
33,391-400 (1999)
25 Boyd, C. E. dan Likhtykopper. Manajemen Kualitas Air di Tambak (Budidaya Ikan.
Auburn: University Alabama, 1981 )
26 Kuhn, D.D., Lawrence, A.L., Boardman, G.D., Patnaik, S., Marsh, L., dan Flick G.J.
Akuakultur. 303, 28-33 (2010)
27 Green B. W. dan Matthew E. M. Jurnal Akuakultur terapan. 29, (2017)

22