You are on page 1of 16
KONTINUITAS DAN DIS-KONTINUITAS. SENI PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG DI MALANG Oleh Robby Hidajat Abstrak ‘Kontinuitas bersandar pada teori fungsional-struktural, yang menyatakan baka kesenian dalam masyarakat mempunyai fangs teremtu dan sangat| berkait dengan hajat hidup masyarakinya, Tetapi tidak demikian dengan ppandangan Des-Kootinuitas yang memandang bahwa seni pertunjukan Fhadir dari waktu-kewakty berdasarkan kemampuan “negosiasi_ruang~ ‘waktu", sehingga hadir sebagai sebuah “rahmentasi” yang dari wakta ‘ewaktu mempunyai “actor-aktorintelektual” yang mengimplementaikan Isat, keinginan, motivasi, ilmu pengetahuan dan ketrampilan, dan berbagai kepentingan poits yanu mengaejala pada zamannya, Wayang Topeng di Malang jika dicermati dati prospetsif Des- ‘Konstruksi akan menampakan sebagai mezaik, atau sebagai “laiyer” yang, ntar potongan satu dengan potongan lain scbenarnnya beri sendir, sat sama lain tidak memiliki kaitan yang bersifat kontinutas. Satu sama lain dapat disebut sebagai zejala adaptatf, difusi, atau Kohesi budaya yang ‘menggejala untuk membangun sebuah pengokohan. Tetapi pola-pola Konstruksisosial organisatoris tersebut tidak adit sebagai sebuah liakronistik. Tetapi menunjukan sebuah potongan masa yang satu sama Jain tidak saling herd atas kekuatan masing-masing Katakunei: Konstruksi, Seni pertunjukan, Wayang, Topeng, Istilah “Perkembangan” perlu disimak lebih intensif, mengingat isl tersebut dimaknai schagai sebuah pelipat gandaan, bertambah maju, dikenal semakin luas; besar, atau kuat (Kaus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 538). Tentunya di antara pengertian tersebut ‘mengisyaratkan “ada pokok" yang tumbuh secara berkesinambungan, Pandangan tersebut ‘merupakan teori yang sangat popular di fingkungan pengkajian Seni di Indonesia. Salah ibidang teri tersebut adalah Prof. Dr. RM, Soedarsono, satu paka ‘Teosi tersebut sangat intens mencermati fenomena kesenian yang ditropong dari sisi Kontinitas (kebersinambungan), teori tersebut secara teknis: memifokuskan pada aspek “fingsi kesenian”,artinya ranah pengkajiannys lebih condong ke aspek sosiologis- historik; hal ini memandang “material” secara diakronis, ttapi lebih menekankan pada pola penurunan genetikan interlektual dan Kebiassan budaya sebuah masyarakat pandanyan strukturalisme menekankan pada aspek Sintakmatis-Paradigmatik. Seperti pikiran Soenarto Tomer dalam salah satu makalabnya sebagai berikut kesenian topeng Pan Jabung, Kedungmonggo, dan tempat-tempat lan di sekitar Malang, adalah sisa-sisa peninggalan Topeng Panji dari zaman Singasari ddan Majapahit. Dengan melalui Kemungkin ~ kemungkian pasang surat, (tidak rmustilahil lebih banyak surutnya, dan bahkan pun berjlan terputus-putus untuk kkemudian bersinambungan lag), kesenian Topeng Pan itu berkembang secara lami dari masa ke masa, sumpai akhiraya mencapai wujud yang sekarang Karena perkembangannya yang alami itu, maka sedikit banyak menyimpan ‘orsinalitasnnya (Timoer, 1989: 13) Wayang topeng yang muncul di Jawa Timur di angeap sebag aka” yang, rmemberikan bentuk dan warna pads betbagai jenis wayang topeng yang berkembang di Jawa, Hal ini menyiratkan adanys ‘uapaya mencermati eksistensial wi topeng wetanan” dalam rang. lingkup multidsipliner, maka hal tersebut mengisyaratkan adanya sebuah cara pandang lama yang bersifat onservatif Artinya nilai-nilai lama yang berkembang dalam masyarakat sebagai satu-satunya upaya Konstrukti. Hal tersebut tidak terlalu “berdosa” dan memang secara fungsional semua orang masih; mendang sebush kebutuhan “primer”, Untuk memberikan sebuah alternatif cara pandang yang berbeds penulis menyodorkan sub topik yang akan dikemukakan pada makalah ini, yaitu Kontinuitas dan Dis-kontinutas Wayang Topeng Di Malang, Topik ini dimaksudkan ‘memaparkan tentang “kebersinambungan dan ketidak berkesimbanguan”. Sebab selama ini sudah banyak tulisantulisan yang mencoba mencermati fenomena kontinuitas (kebersinambungan), artinya semua persoalan diarahkan mencari “akar”, pokok dari sebuah permasalahan pertumbuban wayang topeng di Malang, serta mencari pola-pola pencabangan tentang gaya dan berbagai perbedaan yang ade KONTINUSITAS: “mode!” Membangun Struktur Sebagaimana telah dikemukakan di depan, bahwa teori “kontinitas” menjadi ddasar untuk mencari sebuah model Konstruktuf dari seni pertanukan yang masih dapat dlireproduksi pada masa kini, Pikiran tersebut membentuk sikap yang selalu mencari pembenaran tentang feriomena masa kin, sehingga seolah-olehfeniomena masa kin tidak ‘mampu membangun eksistensilnya seni, Pola pemiki un “kontiitas” tersebut dapat Alisimak seperti pernyataan Soenarto Timoer, sebagai berikut Topeng Panji Jabung dan Kedunumonggo yang sekarang.Jadisetelah 40 tahun lebih tidak mengalami perubahan busana yang berart. Maka tidak jauh meleset kiranya, kalau kita berasumi, bahwwa 40 tahunan sebelumnya 1938 (berdasarkan penelitian TH. Pigeaud) atau lebih, mungkin seabad, dua abod, tiga ahad, atau ‘empat abad sckalipun, mengingat kemiripannya dengan corak dandanan busana yang dipahatkan pada relief candi candi Jawa Timur, Keadaannya masib tetap sma dengan eoraknya yang sekarang. Dengan demikian perunjukan Topenw, Panji dari Fabung dan Kedhungmonggo boleh dikatakan masih memiliki ‘orsinaitasnnya (Timer. 1979'80- 21) ‘Shing terjadi pola pembenaran yang sifatnya fokloris, seperti pemyataan M. Soleh Adipramono pimpinan Padepokan Seni Mangundharmo dari Dusun Tulus Besar ~ Tumpang adalah salah satu Keturunan dalang topeng bernama Kik Tistonoto, M. Soleh Adipramono yakin bahwa tokoh bernama Reni dari Dusan Palawijen se zaman dengan ‘okoh topeng dari Pucangsongo bernana Kik Ruminten ik Tirtanoto Tirtonoto pemah bercesta pada M. Soleh Adipramono, sebagai berikut Ketika tejadi banjr kali Amprong, sungal yang bermateair di pegunungan Tenggyer Ruminten seorang penduduk Desa Pucangsonggo, kecamatan Pancokusumo persi melihat sawahynya yang tergenang air. Wakto itu air ‘masih pasang, sawah-sawah di desa it semuanya terendam, bahkan di boeberapa bagian diterjang derasnya air bab, Tiba-tiba didekat Ruminten terdapat potongan kayu, penduduk se tempat menyebut dengan istilah: Duel Batang kayu yang hanyut itu kemudian diambil; dengan harapan dapat dligunakan_Fediang (perapian untuk penghangat ruangan) Setelah ayy tersebutdikeringkan, kemudian dibakar. Temyata kayu tersebut tidak termakan api. Kemudian timbul nit untuk dijadikan topeng. Dari potongan kayu yang ‘kurang lebih SO Cm itu dibelah dan dipotong menjadi 4 bagian, masing-masing dlijadikan topenz Kiana, Gunurgsari, Panji Asmorobangun, dan Pairajara (Adipramono, wawancara tanggal 3 Januari 2003), ‘Topeng-topeng itulah dianygap pertama kal sebayai “eikal bakal” keberadaan Wayang Topeng di Pueangsanga sekitar awal abad XX, Bisa jadi keberadsan topeng, «i Pucangsanga tersebut yang pernah dicatat oleh Th, Pigeaud dari keterangan seorans, Jurah bernama Surtruno, di Pucangsanga, Kek Ruminten adalah kemenakan dari Resi, Pengukir topeng dari Dusun Palawijen, Pigeaud mencatat; Pada tahun 1928 di Kabupaten Malang terdapat 21 koleksitopeng, Pemain-pemain topeng yang tekenal asalnya dari desa Pucangsongo di -kecamatan Tumpang; di zaman dabula kepala desa tersebut, yang bernama Saritruno, terkenal Karena pandai menari topeng, Belum lama in di Malang lan sekitarnya semua pemuda dan priyayi hans dapat menari topeng; Karena, itu pada pesta-pesta tidak jarang tari topeng dilakukan oleh para privavi..topeng masih dibuat di kecamatan Karangploso(sekarang termasuk ‘wilayah keeamatan Belimbing ~ Kota Malang) (Pigeaud. 1938: 217). Karimoen pimpinan Wayang Topeng Asmorobangun di Desa Ketungmonguo (87 th) juga membenarkan bahwa pemahat topeng yang terkenal di Malang. dari Karangploso ysitu di Desa Palawijen, sekara Kecamaten Blimbing Kota Malang yang bemama: Reni, Reni adalah guru dari Gurawan dari Dusun Mbangeran Wijiombo ~ Gunungkawi. Chattam AR mendapat data tentang orang yang bernanma "Gurawan” adalah, Sejarawan Onghokam, juga mencatat kisah tentang Reni dan kelompok Wayang Topeng dari daerah lain, Onghokham juga secara khusus mencertakan tentang Reni, kaitannya dengan tokoh wayang topeng dari Desa Jabung, sebagti berikur In the 1930's a well to do peasant called Reni lve in this village, he was om of the gretest topeng carvers of the Malang style and led one ofthe best wavang topeng troupers of his time. In today’s wavang topeng world of Motang the village of Polowtdjen is best noun as Renn's village. J as ay the wayang topeng achieved one of is hig pois. This developmen was certainly partly die to the parronage of the then bupatt of Malang, RAA. Soeriae ‘ainingrat, who supplied Reni with his maarials (gold leaf, good point, wood) ‘ana helped set arusnk standards (Onghokharn, 1972) Pertunjukan wayang topeng di daerah Malang sejak zaman popuolaritas Reni telah tersebar di banyak tempat, khususnya di desa-desa, Soenarto Timoer juga rmemperhatikan pessebaran Wayang Topeng, meliputi; Wajak, Dampit, Sengareng, [Ngajum, dan di daerah lainnya. (Tomer, 1989) Oleh sebab itu, tidak mustahil jika sokitar tahun tahun 1970-80-an mash ditemukan informasi tentang keberadaan tokoh- tokoh wayang topeng yang tersebar di berbagai desu di Kabupaten Malang. Seperti itemukannya salah satu tokoh wayang topeng yang berusia 100 tahun (1985) yang bbernama Wiji dari Desa Kopral Sumberpucung. Wiji memiliki sejumlah pengalaman ‘yang pada umumnya tidak berbeda dengan tokoh-tokoh Wayang Topeng yang lain, seperti halnya Reni, Mbah Wiji yang pernah dikenal sebagai dslang wayang topeng, pengukir topeng, dan penari. Topens-topengaya banyak dibeli oleh perkumpulan ‘Wayang Topeng di Desa Fenggala, Kecamatan Kepanjen Seorang penari dan pemabat topeng, bernama Kusnan Ngaisa, lahir tahun 1928 di dusun Slelir, desa Bakolan Krajan, kota Malang. Sekarang Kusnan Ngaisah tidak lagi menekuni Wayang Topeng, arena membuat topeng tidak dapat ‘memberikan penghasilan yang cukup. Sehingya Kusnan mem menjadi tukang kayu, dan bangunan, Kussan Ngsisah bethenti menjadi penari topeng, pengukir topeng dan sekaligus pempinan wayang topeng di desanya sejak tahun 1960-an, Karena wayang topeng terdesak popularitas Ludruk, akibatnya tanggapan menjadi berkurang. Di samping itu juga sangat sukar melakukan kaderisasi; para pemuda di desanya sudah tidak tertarik: menjadi penari Perital perkembangan wayang fopeny di Dusun Slelir. Kusnan banyak belajar dari kakek mertuanya, yaitu. nha (kakek) Nata. Penduduk se tempat menyebut Yai ‘Naw. Yai Nata adalah salah seorang pengukir kayu termasuk piawai mengukir topeng, Waktu itu, Yai Nava juga mengenal pengukir topens dan sekaligus penari topeng mg terkenal bernama Reni dari Polowijen Jika Reni tinggal di daerah Malang bagian utara, sedangkan Yad Nava tingua ddaerah Malang sebelah Barat. Schingga perkumpalan topeng yang ada di Malang agian barat dan sel n memesan topeng dai Yai Nata, Termasuk perkumpulan ‘Wayang Topeng dari Desa Jatiguwi, Kecamatan Sumberpucung, Keberadaan wayang topeng di Dusun Seleir berasal dari seorang pelatih dari Desa Panjer, Turen, Kabupaten Malang. Waktu itu sektar tahun 1930-an, Kusnan masih kecil, belum Khitan, Tapi sudah sering melihat orang berati menari, waktu itu xyang membuatkan perlengkatan pentas;termasuk topeng adalah Fai Nava (Kusnan "Naaisah, wawancara tanggal 9 Januari 2003). ‘Temyatasekitar tahun 1930-an, di Malang cukup banyak perkumpulan wayang topeng, satu perkumpulan dengan perkumpulan lainnya saling berhubungan. Kontak antara satu perkumpulan dengan perkumpulan lain dikarenakan oleh perlengkapan ‘yang tidak dapat dibuat sendiri, Khususnya topeng, Di samping berkaitan dengan aspek pelaihan tari, Seperti Samut sebagai penari Gunungsari, bersama dengan kik Tirtonoto anak dari kik Rusmaman; penari gagahan dan juga pengendang, dan kik Rokhim yang mengembangkan Wayang Topeng di Malang bagian Timur hingga {tahun 1970-an ( Murgiyanto & Munardi, 1978179: 31), salah seorang guru SMK IX (d/h SMKI) Surabaya yang mula tahun Munar 1072 ‘tertarik dengan Keberadaan wayang topeng di Malang, Kemudian beliou rmengadakan peng: seniman-seniman pertunjukan yang tergabung di Dewean Kesenian Surabaya. Sejak fan perkembangan wayang topeng di Malang, Kemudian pada saat itu, AM Munardisecara khusus mencurahkan perhatiannya pada perkembangan ‘wayang topeng di Malang, bahkan telah menulis sebush buku tentang Wayang ‘Topeng Malang bersama Sal Murgiyanto, Tulisannya mengimformasikan sejumlah Jokasi yang memiliki perkumpulan wayang topeng, sebagai berikut Di masa lalu pertunjukan Topeng Malang auaknya tesebar huas di bberbauai wilayah kebupaten Malang, Dampit, Precet, Wajak, Nyajum, ‘Tatiguwi, Senggreng, Pucangsanga, Jabung, dan Kedungmongoo, Akan tetapi sekarang (akhir tahun 1970-an) kecuali di Jabung dan Kedungmongso, ‘ehidupan wayang topeng di daerah-daerah Isin nampak telah sangat menarun ‘arena beberapa sebab, sehingua dewasa ini para pemain dari desa-desa yang lain banyak yang kenmudian beryabung dengan rombonzan wayang topeng dari lua desa yang diseburkan terakhir:Jabung, Kecamtan Jabung bekas Kawedanan Tumpang dan desa Kedungmonggo - Karangpandan, Kecamatan PPakisai bekas Kawedanan Kepanjen, (Murgiyanto & Munardi, 197879: 7-8) Sepanjang tahun 1980-an hingwa tahun 1990-an, partisipasi masyarakat dan juge sejumlah instansi swasta dan pemerintah sangat besar, hal ini dibubtikan adanya usaha- "saa pemasyarakatan kembali pertunjukan wayang topeng yang ada di berbagai daerah, Kini perkumpulan yang masih dapat tampil adalah: Perkumpulan Wayang topens “Karya Bak” dari Desa Jabung yang diketuai oleh Paro, perkumpulan wayang topens “Srimarga Utama” dari Desa Glagahdowo yang dipimpin ole Rasimoen, perkumpulaa \wayang topeng “Asmarabangun” dari Desa Kedungmonggo, dan perkumpulan wayang topeng “Candrakirana” dari Desa Jambuer pimpinan Barjo Djiyono, dan Padepokan Seni Mangun Dharma pimpinan Moch Soleh Adipramono, CChattam AR seorang seniman Wayang Topeng, salah satu murid dati Karimoen ‘menceritakan peribal salah seorang tokol wayang topeng bemans, Wij dari Dusin Kopral, Sukowilangun. Wiji merupakan salah satu tokoh yang sejajar dengan Reni atau Yai Nata. Karena Wijisudah berusia lebih dari 90 tahun, maka tidak banyak diketahui oleh seniman muda di Malang. Wii baru diketahui ketokohannya oleh Seniman-seniman (ari di Malang sekitar tahun 1985 Waktu itu Wij sudaly berusia sekitar 110 tabun lebih (Cahun 1985, Waktu Wiji Masih muda seringkali pentas-di penda Kabupaten Malang, Waktu itu yang menjadi Bupati di Malang adalah Raden Djapan (sekitar tahun 1950- am). Wiji menceritakan pada Chattam AR, petkumpulan wayang topeng yang Aipimpinnya menyelenguarakan pentas terakhic di pendapa Kabupaten Malang sekitar fahun 1960, Setelah itu, banyak anggotanya yang memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi ke Sumatra (Chatam AR, wawancara 3 Maret 2003). Pada akhir tahun 2000, perkumpulan wayang topeng yang —masih ati? ppementasan berasal dari dua dese 1) Peckumpulan Wayang Topens Asmararhangun dari Du in Kedungmonggo, Kecamatan Pakissji, (2) Perkumpulan wayang topeng Sri _Margansama dari Dusun Geladahdowo, Kecamatan Turmpang, Selain dua perkumpulan tersebut, jza ada dua perkumpulan yang termasuk perkumpulan topeng cukup tua di Malang, Tetapi karena mengalami Kendala regenerasi, ‘maka perkumpulan tersebut tidak dapat mengadakan pentas secara intensif. Perkumpulan wayang topeng yang mulai surat tersebut adalah (1) Perkumpala Wayang Topeng Galnh Candrakirana dati Desa Fambuwer-Kecamatan Sumberpucung pimpian Bardjo Djiyono, dan (2) Perkumpulan Wayang Topeng Wira Baki’ dari Desa Jabung-Kecamatan Tumpa 1 pimpinan Pardo. Keempat perkumulan Wayang Topeng yang dikemukskan tersebut secara bervariasi memilki repertoar konvensional, ya kisah romantik yang disebut “Lakon 1) Rabine Pan, 2) Saimbara Sadalanang. (3) Walangwati— Walangsumirang, (4) Gunungsari Kembar, (5) Panji Laras, (6) Panji Kembar, (7) Kayu Apyun, (8) Wadhal Werdhi (9) Lembu Gumarang, (10) Molatih Putih Edan, (11) Sekar Tengyek Lunge Jangue, (12) Bader Panji”. Adapun lakon-lakon yang diangyap traisiona, teri d Bang Sisik Kencana, (13) Gajah Abub atau Kudanarawangsa Menyimak laporan Pigeaud (1938) pemukiman dan pesekonomian di Malang, suudah berkembang. Laporan beberapa Bupati yang memimpin daerah Malang (Kab), tercatat nama sebayai berikut: Raden Tumenggung Notodiningrat I (1819-1839), Raden Ario Adipati Notoginingrat Il (1940-1884) Raden Tumenggung Notoniningrat I (1804), Raden Adipati Soerioadiningrat I otay Raden Sarip (..-1934), Ario Adipati Sam (1934-1945), Raden Soedono (..1980). Priode pen diambang zaman Kemerdekaan Republik Indonesia. rintahan Bupati Malang Berdasarkan informasi Pigeaud (1938) dari Bupati Malang Adipati_Ario Surioadiningrat (wayang topeng di Kabupaten Malang tersebar di berbagai desa, sunggubpun Pigeaud (1998) melaporkan atas infiomesi dati Bupati Malang Adipati Ario Surioadiningrat 1 (1898-1934). Memunjukan, bahwa topenu: merupakan yang dipatuhi oleh masyarakat di Malang. Di samping itu dimungkinkan pada wwakru itu benar-benar menjadi sebuah sarana upacara, sehingya wayang topeny benar- bbenar mempu mengkonstruksi pikran masyarakat ke masa silam; ‘Topeng pada mulanya dibuat dalam upacara kematian sebagai gzambaran orang xyang meningwal, yang kemudian dibuat sebagai zamibaran roh nenek moyans, ‘Maksud dari sebuah pertunjukan topeng pada awalnya adalah untuk “menghadirkan arwah nenek moyang” untuk menengok kerabat dan kaluarga yang masih hidup, dan dengan memakai kostum topeny sera perhiasan- perhiasan tertentu yang lain, penaritopeng tersebut secara sementara ‘menyediakan drinya sebagai wadab atau rumah “roh” lelubur tersebut (Murgiyantyo, Sal & AM. Munardi, 1979/80: 20-21) Soenarto Timoer memberikan penegasan sebagai berikut Wayang mengemukakan tamsil bart mistri Kehidupan dengan ‘menampilkan tokoh-tokoh yang dianggap mempersonfikasikan nenek moyang [eluhur, Saya rasa istilah Belanda “Schimmenspel” lebih kena, Karena “roh orang yang meninggal” Ini sesuai dengan pula kehidupan budaya masyarakat animist yang memaja rob nenek moyang yang sudah meninggal (Timoer, 1og9: 8) Suhardjo Parto dalam sebuah atikelnya berjudul: Bua Animiseme Tetaph ‘Shamanisme menjelaskan tentang wayang dan topeng, berdasarkan pandangan Eliade (1974), sebagai berikut \Wayang dalam trdistshamanisme berhubungan dengan pewarnaan ‘alah, dan hal ini berkaitan dengan upays mengelabuhi arwah orang mat jika shaman mengantarkannya menuju ke dunia arwah, Tarian shaman dan ‘pewarnaan wajah telah mendasari tari topeng shamanistik(Parto, 1984 303). ‘Murgiyanto & Munardi menjelaskan perihal pembuatan topeng sebagai rumah roh dan upacara kematian, sebagai berikut ‘Topeng pada mulanya dibuat dalam upacara kematian sebagai ‘zambaran orang yang meninggal, yang kemudian dibuat sebagai gambaran roh ‘nenek moyang. Maksud dari sebuah pertunjukan topeng pada awalnya adalah untuk menghadirkan arwah nenek moyang” untuk menengok Kerabat dan kaluarga yang masihhidup, dan dengan memakai kostum topeng serta perhiasan-perhiasan tertentu yang lan, pena topeng tesebut secara sementara menyediakan diinya sebagai wadah atau rumah “roh' leluhur tersebut (Murgiyanto & Munardi, 1979/88: 20-21), DISKONTIUNITAS, Demikianiah, pola pikir “kontinuitas” yang sudah terbentuk dalam pikiran smasyarakat secara las. Hal ini juga dapat dibenarkan, Karena Kehidupan masa lalu tbenang mera” dengan segala sesuatu ya sedang dinikmati pada masa koi Sungguhpun demikian, setiaknya perlu berhentisejenak, dan merenung sesaat, serta ‘mengenali benat tentang kesadaraan kita pada saat ‘Apa yang kita pikitkan pada saat ini adalah sebuah pernyataan, sebuah ungkapan, sebuah gagasan yang memberikan arti penting agar kita mampu menghaditkan eksistensi secara otonom, Masa lalu adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat ditapuskan, tetapi masa depan adalah sebuah Kenyataan yang. juga tidak dapat diolak stax disangkal. Masa lalu yang. lewat ‘mengkonstruk piktan sehingga kita memahami tentang “dunia” (dunia yang kita sada), suunggulipun belum tentu ity merupakan realitas. Seperti pikirantersebut di bawal ini Modernisasi dan pes n di dalam dua dekade terakhi ini telah membawa ‘masyarakat kontemporer kita ke dalam berbagai sisi realitas-realitas baru Keehidupan, seperti kenyataan, kesenangan, keterpesonaan, kesempuraan penampilan, kebebasan hastat. Akan tetapi, moderiasi dan pembangunan itu sebalinya telah menyebabkan kita Kehilangan realis-ralitas masa lalu besecta kearifan-kearifan masa lampau yang ada di baliknya, yang justr lebih berharg ppembangunan diri kita sebagsi manusia, seperti rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spiritualitas, semangat moralitas, dan semangat komunitas (Piliang, 1998: 29) Kutipan ini menunjukan, bahwa pikiran kita benar-benar disibukan untuk berusaha menarik gars linier masa lalu dan melekakan sebagai sebuah tanda serv; bahkan lebih dari pada itu seolak-oleh menjadi igyarat agar apa yang mengalir deras bagaikan gelombang tampa ada tanggul penahan, Semua yang pernah ada akan terseret dan berserakan tampa atti, atau tidak mampw digunakan untuk menandat atau memberika ati yang lebih besar pada kehidupan mass kin Penulis mencoba untuk memahami pikiran tersebut tidak dengan emosionsl tetapi menyadari bala hidup ini adalah sebuah proses “dialestika” yang menempatkan “fungsi” berhadapan dengan “kepeotingan”. “Fungsi" dapat berkait dengan aktifitas dan ‘material dan kepentingan metupakan motor penggerak yang bias menyeret ke arah tertenty, ‘Teori fungsional progres ini melekat pada ern modern dan konsep-konsep pembangunan. Oleh karens itu dibutubkan sebuah sikap memandang dan peru sejenak menyadari tentang sesuatw yang telah kite alami, Apa yang telah mendorong ternyata tidak memiliki hubungan tinier dengan masa falu; demikian pula apa yang akan kita lami tidak memiliki hibungan, hokum sebab akibat sebagai sebuah dosmatis dapat dipertimbangkan, Tetapi jangkautan kedapan untuk bukan seperti seekor kuda_ yang, rmenarik grobaknya, Semuanya bagaikan lapis (ayer) yang satu dengan yang lain saling berdiri sendiri; Kekterkatan hanyalah sebuah realitas dialetika antara “fungsi” dan “kepemingan” Ketespisahan (Kesenjangan) ity memberikan arti penting untuk zamannya, bukan bagian masa lalv dan bukan untuk masa depan, Fenomena itu sekerang; saat schuah proses sosial dan Kesadaran kita saling bertautan secara intraktif berdasarkan esepakatan dalam memfungsikan. Sehingga apa yang sedang kita lakukan sebenarnya, tidak ada yang “hilang” atau “yang bertambah”. Realitas ada yang mampu kita pahami pada saat ini Pemshaman ini pera untuk di coba di trapkan agar dapat meliha sebuah realitas seni pertunjukan; karena kesadaranpikie dengan cara “kontiunitas” adalah sebuah tas yang stidaknya ppembenaran realias yang sedang terjai sekarang. Padangan ini memang sangat suit obawa “kepentingan” untuk memberikan kekustan dalam ‘untuk dimula, arena keterzantungan pikiran kita dengan pola pikir sebelumnya sangat besar; hal ini mengingat aha sera apa yang telah terbangun dalam pikiran kita adalah dikonstruksi oleh masa lalu, Tetapi bagsimana sebenaranya kita smandang reaitas yang kita sadari sekarang dapat dimaknai sesuai dengan jwa zaman kin ‘Wayang topeny Malang paca masa kini, setidaknya dapat dipenggal pada sebuah tid lapis sel ikomandani oleh AM Munatdi BA. far tahun 1970-an, ysitu dimulai dari edanya ekspedisi dari DKS yang Munardi salah seorang guru SMK IX (@/h SMK1) Surabaya yang mula tahun 1072 tertarik dengan keberadaan wayang topeng di Malang, Kemudian Munardi mengadakan pengamatan perkembangan wayang topeng di Malang bersama seniman= seniman pertunjukan yany tergabung di Dewean Kesenian Surabaya, Sejak saat itu, AM Munardisecara khusus mencurahkan pethatiannya pada perkembangan topeng di Malang, Munardi kemudian berguru pada beberapa tokoh wayang topeng di daerah ‘Timur, salah satunya adalah Samud. Penari legendaries yang memiliki pemahaman teknis yang bagus Sepotong data awal ini dapat disimak, bahwa kedatangan AM. Munardi BA ke Malang adalah sebuah upaya infentarisir materi untuk Kepentingan kreatvitas dan materi pengajaran di SMKI; hal ini terdorong oleh menearian warna khas SMKI Surabaya agar ‘memiliki identias lokal yang jelas. Pemburuan ini sangatjelas, bawa bentuk dan sajian \wayang topeng yang dipelajari AM. Munardi BA tidak mencari aspek-aspek orsinalitas, fetapi_mencoba untuk mengangkat material yang -memiliki kemampuan untuk: Alikembangkan sebagai modal kreatif di samping mudah « tuk dipelajari oleh siswa SSM waktu itu Maka pada masa penjclajahan wayang topeng di Malang pada era tahun 1970-an ity diwarai oleh sepitit pencarian materi Kreati' dan Kebutuhan materi pengajaran, Sehingea wayang topeng yang terangkat tidak menampakan aspek “magis dan religiusitasnya”, Mereka yang mempelajari atau yang menarikan sama sekali tidak ‘menyadari aspek fingsi komunikasi spiritual penghormatan arwah nenek moyang, Demikion juga para “maicenas” yang meletakan sikap sebagai “penyelamat” bbudaya dan dengan dalih mengambil cepat-cepat segala yang masih dapat diselamatkan, Energi yang dikobarkan untuk kepentingan tersebut tidak memberikan hasil seperti yang, dlibarapkan sebagai usaha Konservasi. Hal ini telah dibuktikan, bahwa hadimya Koori (Konservatori) pada tahun 1960-an yang berhasrat menciptaken ttik sambung agar tidak terjadi pemutusan budaya, Tetapi yang terjadi adalah sebuah percepatan dan ataw pengikisan secara lebih nyata, Fenomena dan cara bersifat inilah yang oleh Pilliang di sesalkan, maka dibutubkan upaya baru untuk bersikap “bara” dalam memandang sesuata sehingua “fungsi” dan “kepentingan” melahirkan nilai-ila, kearian, atau moralitas yang, sesuai der sn wa zamannya, Fenomena yang dapat disimak dari sepengusl cara bersikap, seperti menculny “wayang topeng anak-anak” di lingkungan Wa} Kedung ddewasa sudah mulzi tidak bersemangat, Kemudian muncul pemain wayang topeng anak: x Topeng Asmorobangun dari Dusin monggo Pakisji, Menginjak tahun 2004, ketika anak wayang topeng_ yang yang dil oleh Handoyo anak Taslan Harsono. Pada penggalan fenomena dimasalalu tidak terekam adanya “wayang topeng anak-anak”. Pada ssi pandangan “kontinuitas” hal ini berilai posit arena dapat dimaknai sebagai Kemajuan,Tetapi tidak demikian dalam pandangan “DisKontinuitas". Fenomena ini adalah sebuah petuang bagi orang dewasa agar dapat menempatkan pertunjukan “wayang topeng anak-anak” ini sebagai alternatit Jka benar-benar para wayang dewasa sudah tidak menaruhperhatikan pada kemampuannya; karena apa yang mercka miliki sudah tidak lagi membe mn arti penting dalam konstelasi sosial dan ritual penyangys kesejatraaan batin Munculnya “wayang topeng anak-anak” tidak teekait dengan fungsi wayang, topeng pada masa lalu, atau pada dekade tahun 1970-an yang mampu menghantar Wayang Topeng Asmorobangun hingua menjapai pada popularitasnya pada trap nasional. Fenomena yang lain, yaitu ustha M Soleh AP dalam membenahi Wayang Topens, Malang agar tampak lebih cantik dengan cara mengembangkan pada aspek penysjan dan dekorasi pangoung; dengan mengusung lakon “Panji Reni” . Sungguhpun penyajian \wayang topeng dari Padepokan Seni Mangundharmo tersebut didukung oleh penari- penari é Pakisji, Hal ini tidak dapat dimaknai sebags Sti Margoutomo dari Dusun Glagahdowo yan Kelompok Wayang Topeng Asmorobangun é perkembangan linier dari wayang topen, berpadu dengan Wayang. Topeng Asmorobangua dari Dusun Kedungmonggo Pakisai Fenomena ini adalah realitas yan menjemput wisatawan. Karena ada usahe kuat 4 dacrah Tulus Besar (Malang bagian timur) menjadi desa wisata yang memberikan dukungan wisatawan naik ke Gunung Bromo. Oleh sebab itu Padepokan Sen Mangundharmo memberikan dukungan secara produtif; dengan restorasi penyajian \wayang topeng malang. Sehingga fenomens in tidak juga dapat dimaknai sebagai sebush “perkembangan” yang bersifit linier, tetapi ini adslah sebuah pemenggalan atau Pemotongan dari kontinitas wayang topeng tradisional menjadi penyajian wayang, topeng yang bersifat romantik Kedua usaha tersebut di atas dapat dipandangan positif dalam pengertian usaha “pengembangan” kesenian tadisional Tetapi dalam tropong pandangan DisKontinuitas, fenomena tersebut adalah akibat signivikan dari perubahan cara menyikapi kesen tradisional, Maka dalam hal ini “perubs dapat dimaknai sebagai perkembangan) sebenamys ti Kk selalu datang atau diakibatkan dari pengaru ddesakan dari luar,tetap lebih dikarenakan oleh sikap dan cara berpikir kita; setidaknya disebabkan karena kesadaran yang dipicu oleh realitas masa kini dalam pemperlakukan kesenian. Maka dalam hal ini tentunya tidak dapst dimaknai: bahwa apa yang kita lokukan sekarang mempunyiai kaitan yang bersifat paradigmatik terhadap realitas masa late. DisKonstruksi merupakan sebuah cara memandang fenomena sosial; dengan ‘memberikan signal bagi mereka yang berusaha untuk membangun sebuah Konstruks linier (kootinuitas). Sebab dari sebuah masa waktu tertentu ada. sebuah sekuatan komulatif yang mengkonstruk pemahaman umum; setidaknya kekuatan yang telah rmencapai ttik esensial membutubkan sebuah pengakuan (legitimasi). Hal ini telah Aibuktikan oleh para sejaravan Konstruktitistik, bahwa mereka yang memegang Kekuasian cendrung membangun image prospektif dan merajut secara fenomena masa lala sebagai be Maka usaha AM. Munardi BA menggali Wayang Topeng Malang adalah sebuah n dari masa kn peng Energi AM Munardi BA sebagai ttk temu antara pengalan 1 usahanya mendapatkan support dari Devan Kesenian Surabaya (pemerintah) pribadinya sebagai penari ddan sekaligus Koreourafer menemukan tempat berlabuh; penggalan ini menyadarkan kita bahwa peristiva dan proses perjumpsan AM. Munardi BA dengan Wayans Topeng Malang adalah scbuah proses tranformasi fungsi yang mampu menjalin sebuah proses Uialogis dengan konsep besar pen Jh dalam upaya “pelestarian budaya”, sudah barang tentu dalam pengukuban pristiva tersebut melibatkan lembaga pendidikan seni tari (Konservatori Tari Surabaya). Dari pada itu muneul beberap karya sebaga mater pengicikan dan pengembaraan kreatf siswa-siswi Konservatori Tari Surabaya, Dialektika fangsi dan spirit penggalian seni taradisional mengoyak beberapa sendi koavesionalitas dilingkungan para pemangku tradisi Wayang Topeng Malang; sungguhpun usahanya rmendapatkan sambutan yang hangat dari sahabatnya; Sal Mk sivanto, Schinaga pengalsman selama hampir 10 tahun bergelut dengan Wayang Topeng Malang di bukukan Ketika AM. Munardi BA tidak lagi mampu mendialekan fungsi dan spiit ppemerintah dalam penygalian seni taradsional, maka semuanya sirna, Kermudian muncul fungsi baru dan berdialek deng Topeng di Gunungkawi menygeliat; menciptakan ivent spektakuler yaitu prosesi Ritual spirit yang lain; di penghujung tahun 2000-an Wayang Topeng sehingga muncul sebuah ritual pemandian (iamasan) topeng. Tradisi ersebut tidak lasim, tetapi nasi yang sedang berproses di lingkungan masyarakat Gunungkawi ‘menciptakan sebuah pemahaman baru. Mereka memaknai Kembali apa yang telah mereka miki sebagai aktrai ritual sem Sekallagi; sebuah proses metamorfosis yang melemparkan jubah tragisi yang Fapuk dan menggantikan dengan spirit baru, makna lain; sussana lain; den Kepentingan lain yang terus mendekati pada per aan yang lebih kongkrit sebagai re yang mewakili zamannya, Wayang Topeng Malang tidak lagi menjadi kaidah yan Penting dalam mengalirkan nilai-nilai,tetapi menjadi sangat berharga sebagai sumber realitas yang muncul berhadapan dengan perubahan Sungsi sosial seni pertunjukan, Maka siapapun yang sedang menggeluti seni pertunjukan tradisional, secara terus rmenerus senantiasa berusaha melakukan proses “dialogis” dan menghayati_spitit zamannya; proses metamorfosis menjadi pernyataan yang, lebih nyata sebagai sebush fenomena kerja yang bernilaifinensial; seni adalah sebuah et itas “kerja” bukan lagi “sarana bakti puja” atau “ngayah”. Hal ersebut tidak dapat sing dipertemtangkan. Maka pandngan fungsional menyatakan sebagai pergeseran; atau ali fungsi. Tetapi dalam Pengandan Des-Kontinuitas adalah sebagai “shuen”; prahmentasi baru yang sedang rmengadakan degosiasi dengan polo pikir masyarakat pendukungnnya Cara pendang Des-Kontinuitas membuka realitas dengan menyingkirkan jauh= jauh pandangan bahwa manusia (seniman) adalah pelaku budaya, sehingua realitas yang Aiatami hanya semata-mata karena “pola” yang. seolah-ofeh tampak satu sama lain saling ‘memerankan dirinya dalam konteks budayanys; orentasi pada makna mitos, kelembagaan atistik yang_memiliki makna konvensional, Pandangan Des-Kontinuitas benar-benar ‘menaruh pergumulan realita dan nilainilaisesuai dengan kebutuhan dalam memecahkan persoalan sosial pada zamannya; maka nilai-nila atau kearifan masolalu bisa jadi hanya sebagai “pernyataan”, tetapi bukan sebayai sprit yany dapat mengatasi pesoalan sosial masa Kini DAFTAR PUSTAKA, Hidajat, Robby. 2004, Wayang Topeng Malong Di Dusan Kedungmonggo, Desa ‘Karangpandan, Kajian Struktural ~ Simblik Pertunjukan Tradisional di Malan, Jawa Timur. Tesis S-2 Program Studi Kajian Seni STSI Surakarta Hidajat, Robby, 2008. Wayung Topeng Malang: Malang: Gantar Gumelar berkerjasama ‘dengan Jurusan Seni & Desain Fak. Sastra UM Hidajat, Robby, 2004 “Wayang Topeng Malany Di Dusun Kedungmonggo, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji- Kebupaten Malang Jawa Timur” Artikel Jamal Dewa Ruci. Surakarta; Pascasarjana STSI Surakarta, Suttisno, Mug & Putranto, Hendar, 2005. feori-Teori Kebucvaun. Yogyakarta: Kanisius Sumardj, Jakob. 2002, Arkeologi Budava Indonesia. Bandung: Qalar, Muraivaniyo, Sal & AM. Munardi, 1979/80. Topeng Malang, Jakarta:Departemen Pendidikan dan kebudayaan ~ Direktorat Jendral Kebudayaan 20 ~21 Onghokham. 1972. “The Wayang Topeng of Malaag’, dalam Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, 1972 Panto, 1984 Piliang, Vaseaf Amir, 1998, Dunc yong Dilipat, Bandung: Mizan Soenarto Timoer, “Asal-Usul dan identtas Pertunjukan Wayang Topeng Di Jawa Timur” Makalah Temu Budaya, 27-28 Peberuari 1989), Surabaya: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, 13. t0 Timoer. 197980. Wavaang Topeng Dhalang Java Timur, Jakarta: Prove Sasana Buya Jakarta departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wido, Soerjo Minarto, 2008, Struktur Simbolik Tari Topeng Patih pada Pertunjukan Dramatari Wayang Topeng Malang di Dusun Kedunemonago Desa Karangpoandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang. Tesis S-2 Program Studi Pendidikan Seni, [tidak diterbitkan] Semarang: Universitas Negeri Semarang Soen

You might also like