You are on page 1of 28
MIKOSIS PARU PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2017 BABI PENDAHULUAN Penyakit infeksi masih menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk infeksi jamur atau mikosis. Mikosis paru adalah gangguan paru (termasuk saluran napas) yang disebabkan oleh infeksi, kolonisasi jamur, maupun reaksi hipersensitif terhadap jamur. Frekuensi mikosis paru semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya jumlah pasien yang mengalami gangguan sistem imun misalnya pasien keganasan, transplantasi organ, infeksi HIV/AIDS, penyakit kronik sistemik, maupun terdapatnya faktor risiko misalnya penggunaan jangka panjang antibiotika, kortikosteroid, serta alat-alat medis invasif (ventilasi mekanis, kateter vena sentral, dll). Pada kondisi tertentu khususnya infeksi akut, mikosis paru atau mikosis sistemik secara umum dapat mengakibatkan tingkat kematian tinggi, mencapai 50% atau lebih, bahkan hingga 100%. Pada umumnya mikosis paru ditemukan pada pasien yang sebelumnya telah memiliki penyakit paru kronik sebagai underlying disease (penyakit dasar), misalnya penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), keganasan paru dan rongga toraks, penyakit terkait infeksi TB maupun bekas TB dengan kerusakan paru luas misalnya kavitas, bronkiektasis, fibrosis paru luas, serta asma. Mikosis paru yang paling sering dilaporkan adalah aspergilosis, pneumonia pneumosistis (Pneumocystis pneumonia/ PCP), kriptokokosis, histoplasmosis dan kandidosis. Beberapa mikosis paru dapat bersifat endemik atau ditemukan pada daerah/kondisi geografis tertentu, antara lain histoplasmosis, blastomikosis, koksidioidomikosis, parakoksidioidomikosis, serta penisiliosis. Partikel jamur udara, khususnya Aspergillus, merupakan penyebab utama mikosis paru maupun penyakit alergi saluran napas. Inhalasi partikel jamur berpotensi menimbulkan gangguan pada pasien yang telah memiliki penyakit paru sebelumnya, atau dapat juga memperburuk kondisi asma sehingga memicu terjadinya allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) maupun severe asthma with fungal sensitization (SAFS). Data mikosis paru di Indonesia masih terbatas karena kendala diagnosis maupun pengumpulan data. Prevalensi mikosis paru di Jakarta dilaporkan sebagai berikut: aspergilosis paru invasif 7,7% (31 dari 405 pasien ICU yang diteliti), sedangkan pneumonia Pneumocystis 14,5% (8 dari 55 pasien terinfeksi HIV). Laporan dari Departemen Pulmonologi & Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 1 Mikosis Paru di Indonesia i lonisasi jamur pada k; i FKUI menyebutkan kol ; r SUS asm Kedokteran ResPira5'“panyak 44,5% (20 dari 45 pasien yang deity, Caen volonisasi jamur pada pasien bekas TB paru MDR ditemukan 6 9% (42 dari 61 pasien yang diteliti). D . ee ik terutama pada pasien di ry; lensi_kandidosis sistemi fn aera (intensive care unit, ICU) cenderung menurun dari wakty ningkatnya kewaspadaan dokter serta pemberian obat entara itu frekuensi aspergilosis invasif dilaporkan semakin meningkat, terutama pada pasien penerima transplantasi organ, asien leukemia mieloid akut yang menerima kemoterapi, maupun pasien Pont berat di ICU. Tingginya frekuensi kasus TB paru di Indonesia juga perlu diwaspadai sebagai ancaman serius terhadap meningkatnya kasus mikosis paru serta berpotensi menjadi penyulit tatalaksana. Penelitian di Jakarta fnenunjukkan bahwa TB paru merupakan salah satu faktor risiko terjadinya aspergilosis paru invasif pada pasien sakit berat yang dirawat di ruang ICU dengan gejala pneumonia. peraw: ke waktu seiring me! antijamur lebih dini. Sem’ Diagnosis mikosis paru masih dianggap sulit, sehingga penata- laksanaan sering terlambat. Perkembangan pengetahuan tentang mikosis memang belum sepesat penyakit yang ditimbulkan bakteri atau virus. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal antara lain: mikosis paru jarang menimbulkan kematian mendadak, gejala klinis dan hasil pemeriksaan tidak khas, serta faktor risiko yang luput dari perhatian. Pemahaman lebih baik mengenai epidemiologi, patogenesis termasuk faktor risiko mikosis paru diharapkan dapat membantu klinisi menegakkan diagnosis termasuk menentukan jenis jamur penyebab serta menentukan strategi penatalaksa- naan yang lebih baik. Tata laksana mikosis paru di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan; kewaspadaan dokter belum memadai, fasilitas pemeriksaan masih terbatas di kota-kota tertentu, layanan diagnostik belum terintegrasi sehingga tata laksana belum memadai. Untuk mengatasi kendala tersebut, telah dibentuk Pusat Mikosis Paru FKUI - RS Persahabatan pada awal tahun 2017 yang berupaya merintis pusat layanan terpadu diagnostik dan tata laksana kasus mikosis paru kt Pate Lars oe umumnya di Indonesia. hususnya, dan mikosis invasif p Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan @ Mikosis Paru di Indonesia BABII FAKTOR RISIKO Pada dasarnya jamur memiliki tingkat virulensi atau patogenesitas lebih rendah dibandingkan mikroorganisme lain, tetapi pada kondisi tertentu dapat bersifat oportunis, Faktor risiko mikosis paru adalah berbagai keadaan yang mempermudah pasien mengalami mikosis paru. Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam diagnosis dan tata laksana. Beberapa faktor risiko mikosis paru misalnya kondisi imunokompromis termasuk HIV, kolonisasi jamur, terpasangnya alat medis invasif, penggunaan jangka panjang antibiotika berspektrum luas, kortikosteroid sistemik, obat sitostatika, serta perawatan di ruang intensif. Pajanan partikel jamur di saluran napas dapat menimbulkan kolonisasi jamur yang berpotensi mengakibatkan sensitisasi dan atau infeksi pada kondisi tertentu. Kolonisasi jamur adalah terdapatnya jamur pada organ yang pada keadaan normal tidak steril, misalnya saluran napas bawah dan saluran cerna. Kolonisasi Candida spp pada pasien keganasan atau pasien ICU berperan penting dalam timbulnya kandidosis sistemik, sementara kolonisasi Aspergillus sp pada pasien keganasan darah atau pasien ICU merupakan faktor risiko aspergilosis paru invasif. Kolonisasi jamur pada pasien asma dapat menyebabkan penurunan fungsi paru yang mempersulit tata laksana. Penggunaan antimikroba jangka panjang dapat mengganggu keseimbangan flora normal dalam tubuh dan akan memicu pertumbuhan jamur berlebihan. Pemberian antimikroba profilaksis luas (misalnya antivirus, fluorokuinolon, antijamur profilaksis) pada pasien imuno- kompromis dapat meningkatkan risiko kolonisasi spesies jamur resisten serta infeksi jamur sistemik yang lebih sulit diatasi. Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang serta obat-obat sitostatika pada pasien keganasan juga menjadi faktor risiko mikosis sistemik/invasif. Penggunaan alat medis invasif misalnya kateter vena perifer maupun sentral, ventilasi mekanis, kateter urin, selang lambung, dll. juga merupakan faktor risiko timbulnya mikosis sistemik/invasif. Selain risiko kontaminasi dari lingkungan sekitar pasien, penggunaan alat tersebut dalam jangka lama dapat memudahkan terbentuknya biofilm yang akan menjadi sumber infeksi jamur berkelanjutan, terutama pada Candida spp. Penjagaan sterilitas dan penggantian alat tersebut secara berkala dapat menurunkan potensi mikosis sistemik/invasif. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 3 Mikosis Paru di Indonesia dan penyakit dasar yang dapat digunakan untuk risiko . mikosis paru diksi jenis ko dan penyakit dasar Jenis mik OSIs pany qabel1. Faktor mempre Faktor risi il h ant menderita keganasan daral Pasion vend menjalani transplantas! sumsum tulang Pasien yang menjalani transplantasi organ sol transplantasi pau - peel yang menjalani perawatan ICU iliki risiko sedang 7 | a : 7 mension penerima terapi kortikosteroid jangka panjang 4 minggu) sebelum masuk ICU, | : pasien PPOK penerima kortikosteroid sistemik pasien sirosis hati yang menjalani masa rawat lama pasien terinfeksi HIV tahap lanjuvAIDS 7 : pasien dengan penyakit ‘inflamasi sistemik yang memerlukan terapi kortikosteroid jangka panjang, pasien penerima obat sitostatika ‘co memiliki risiko rendah pasien luka bakar luas pasien mainutrisi pasien transplantasi organ solid selain paru pasien dengan masa rawat lama di ICU (>21 hari) pasien penerima kortikosteroid sistemik > T hari = pasien pascabedah jantung - Pasien gagal ginjal Pasien diabetes mellitus, Pasien near-drowning (hampir tenggelam) lid terutama Aspergilosis Pcp, Pasien terinfeksi HIV dengan nilai hitung CD4*<200 sel/mm? kriptokokosis Pasien transplantasi hati Aspergilosi: S| losis, kriptokokosis Pasien transplantasi ginjal Aspergilosi: losis, mukormikosis Aspergilosis, Pasien transplantasi jantung kandidosis Pasien menjalani perawatan ICU, r , Menggunakan k i i oleae nutrisi parenteral, neutropenia, rmonggurrakan at | s i , Mmenerima te , i kortikosteroid, kemoterapi dan immoneduioy eee me Pasien dengan penyakit i PPOK. kanker ae paru kronik (TB paru, bronkiektasis, asma, Aspergilosis 4 Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia @ BAB III DIAGNOSIS Kunci utama dalam menegakkan diagnosis mikosis paru adalah kecurigaan terhadap kemungkinan infeksi jamur itu, khususnya berdasarkan anamnesis faktor risiko dan penyakit dasar. Selaniutnya diperlukan pemeriksaan fisis cermat, diikuti pemeriksaan penuniang yang tepat, meliputi: pemeriksaan laboratorium rutin, radiologi dan mikologi Meningkatnya kewaspadaan klinisi terhadap kemungkinan infeksi jamur paru dan pemilihan modalitas diagnosis yang tepat, akan membuat penatalaksanaan lebih baik. A. Anamnesis faktor risiko dan penyakit dasar Keluhan pasien mikosis paru mirip dengan keluhan penyakit paru pada umumnya, tidak ada keluhan patognomonik. Keluhan demam, batuk, sesak, dll. perlu diwaspadai sebagai gejala mikosis paru pada pasien dengan keadaan berikut: penyakit kronik seperti keganasan rongga toraks, PPOK, bronkiektasis, luluh paru (destroyed lung), sirosis hati, insufisiensi renal, diabetes melitus kondisi imunosupresi (neutropenia berat, keganasan darah, kemoterapi, transplantasi organ) gangguan status imun akibat penggunaan jangka panjang antibiotika berspektrum luas, kortikosteroid, obat imunosupresi + menggunakan alat-alat kesehatan invasif dalam jangka panjang (ventilasi mekanis, kateter vena sentral dan perifer, kateter urin, kateter lambung, water sealed drainage, dil) gambaran infiltrat di paru dengan demam yang tidak membaik setelah pemberian antibiotika adekuat dengan atau tanpa adenopati * pasien dengan manifestasi mikosis kulit berupa lesi eritema. nodosum pada ekstremitas bawah terutama di daerah endemik jamur tertentu © pasien terpajan atau setelah bepergian ke daerah endemik jamur tertentu . =—-__ Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 5 Mikosis Paru di Indonesia fisis dan penunjang dibedakan dengan penyakit paru lain bila didasartg, a, mengingat gejalanya tidak khas. Kareng a penunjang berupa pemeriksaan Pencitragy klinis ey: sn rere mikolopt 1 s. Gambaran foto dada se’ agian besar mikosi. yang akan dita i khas, dapat ditemukan infiltrat interest tidak menunj | multipel, kavitas, efusi pleura. Gambaran yang Khas dapat kK idasi, nodu : : ‘ barren pada aspergiloma yaitu fungus _ball di dalam kavitas pada semeriksaan foto toraks. Hasil yang lebih baik didapat dari pemeriksaan cr. pein toraks. Hasil Jaboratorium rutin yang diduga berkaitan dengan mikosis paru adalah peningkatan jumlah sel eosinofil. B. Pemeriksaan Mikosis paru sulit e atas pemeriksaan fisis saj: diperlukan pemeriksaan _ (radiologi), hasil laboratorium Cc. Pemeriksaan mikologi Pemeriksaan mikologi merupakan prosedur diagnosis mikosis paru yang sangat penting. Kualitas pemeriksaan ini ditentukan oleh Penanganan bahan klinis yang baik, dimulai dari pemilihan jenis bahan klinis, pengumpulan dan pengirimannya ke laboratorium. Penanganan spesimen yang tidak memadai dapat mengakibatkan ketidaktepatan diagnosis. Metode laboratorium untuk mendiagnosis mikosis paru dilakukan melalui tiga pendekatan penting yaitu: pemeriksaan mikroskopik, isolasi dan identifikasi jamur pada biakan serta deteksi respon serologis terhadap jamur atau penandanya. Prosedur diagnostik berdasarkan deteksi deoxyribonucleic acid (DNA) jamur saat ini sedang dikembangkan. Biakan spesimen maupun hasil biopsi jaringan masih menjadi baku emas diagnosis mikosis paru. Pemeriksaan uji kepekaan jamur terhadap obat perlu dilakukan untuk menentukan pemilihan obat antijamur yang tepat. 1. Penanganan bahan Klinis Jenis bahan Klinis dapat berupa sekreta bronkopulmoner (sputum, bilasan bronkus, kurasan bronkoalveolar), bahan aspirat (dari paru, kelenjar atau bahan lain), jaringan biopsi, darah, cairan pleura, pus, dll. Prosedur pengambilan bahan klinis untuk pemeriksaan jamur dapat dilakukan melalui induksi sputum dengan larutan hipertonis (NaCl 3%) maupun prosedur diagnostik invasif misalnya bronkoskopi, torakoskopi atau torakotomi. Pengiriman spesimen harus disertai keterangan klinis memadai dan permintaan yang jelas. Hal itu akan mempermudah staf laboratorium mengarahkan pemeriksaan yang diperlukan dan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia @ menghindari kesalahan interpretasi hasil pemeriksaan. Spesimen harus diletakkan di dalam wadah steril bertutup rapat, tanpa bahan pengawet dan dilabel dengan baik. Selanjutnya spesimen dikirim ke laboratorium dalam waktu paling lama dua jam setelah prosedur pengambilan. Spesimen disimpan dalam suhu 4°C bila tidak memungkinkan segera diproses. Sputum sebaiknya diambil pagi hari sebelum makan, dilakukan tiga hari berturut-turut. Pasien berkumur 2-3 kali dengan air matang, lalu mengeluarkan sputum dengan membatukkannya. Sputum induksi lebih dianjurkan karena lebih mencerminkan spesimen saluran napas bawah/paru. Jumlah sputum yang diperlukan sekitar 10-15 ml. Bilasan bronkus maupun BAL memiliki arti klinis lebih tinggi dibandingkan sputum. Spesimen tersebut dikirim dalam semprit steril tanpa bahan pengawet atau diberi sedikit larutan garam faal bila jumlahnya sangat sedikit. Spesimen yang berasal dari cairan pleura, pus maupun eksudat dapat diambil dengan semprit steril dan langsung dikirim tanpa penambahan cairan atau bahan pengawet. Jaringan hasil biopsi memiliki arti klinis paling tinggi karena penemuan jamur dalam jaringan dapat memastikan diagnosis mikosis. Spesimen biopsi sebaiknya diambil dari tengah dan tepi lesi, selanjutnya diletakkan di antara kasa steril yang sedikit dibasahi dengan larutan garam faal untuk mencegah kekeringan. Jangan diberi bahan pengawet karena akan mematikan jamur dalam jaringan sehingga proses pembiakan serta uji kepekaan jamur terhadap obat antijamur tidak dapat dilakukan. Spesimen darah untuk pemeriksaan serologi sebanyak 2,5-5 ml diambil dengan semprit steril tanpa bahan pengawet lalu dikirim secepatnya ke laboratorium. Untuk biakan darah saja, diperlukan 5-10 ml darah dan sebaiknya diberi antikoagulan. Pemeriksaan mikroskopik Pemeriksaan mikroskopik secara langsung maupun dengan pulasan harus selalu dilakukan karena dapat mendiagnosis kemungkinan infeksi jamur dengan cepat, mudah dan murah, meskipun nilai diagnostiknya sangat bervariasi (10-90%) bergantung kepada spesies jamur yang diperiksa. Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta India. Teknik pulasan meliputi Giemsa, gomori methenamin silver (GMS), calcofluor, dan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 7 Mikosis Paru di Indonesia di monoklonal dengan pulasan imunofy, { antibo - Se ao 1 lebih sensitif dibandingkan pulasan biasa, yang dilaporkar langsung sputum, bilasan bronkus, BAL ata dapat mendeteksi elemen jamur secara umum berupa spora maupun__hifa. Pemeriksaan langsung aa serebrospinal, bilasan bronkus atau BAL dengan tinta India oa bermanfaat dalam mendiagnosis kriptokokosis. Pemeriksaan sputum pasien terinfeksi HIV dengan pulasan Giemsa atay GMs menunjukkan sensitivitas 35-60%, sedangkan BAL menunjukkan sensitivitas 85-95% dalam mendiagnosis Pcp. Induksi sputum dilaporkan memiliki kesetaraan yang cukup baik dengan BAL. Oresens Pemeriksaan spesimen lain Pemeriksaan biakan jamur ‘ : Pemeriksaan biakan jamur dari berbagai spesimen memiliki nilaj diagnostik bervariasi, tergantung kepada spesies jamur, asal spesimen serta derajat penyakit yang dialami pasien. Pemeriksaan biakan memiliki nilai diagnostik tinggi bahkan menjadi baku emas diagnosis infeksi jamur_ tertentu, misalnya biakan darah merupakan baku emas diagnosis infeksi Candida dalam darah (kandidemia), tetapi pemeriksaan biakan tidak bermakna untuk diagnosis PCP karena P. jiroveci belum dapat dibiak sampai saat ini. Demikian pula terhadap Aspergillus, biakan darah biasanya negatif. Pemeriksaan biakan memerlukan waktu beberapa hari sampai minggu, tetapi penting dilakukan untuk proses identifikasi spesies secara konvensional maupun uji kepekaan jamur terhadap obat-obat antijamur. Pemeriksaan serologi Uji serologi secara klasik digunakan untuk mendeteksi reaksi antibodi pejamu terhadap elemen jamur. Nilai diagnostiknya terbatas, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan interpretasi hasil. Dewasa ini telah dikembangkan deteksi antigen yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi. Uji ini didasarkan atas deteksi komponen dinding jamur yang dilepaskan ke dalam aliran darah atau cairan tubuh lain pada saat jamur berproliferasi. Uji antigen Cryptococcus spp. dari serum atau cairan serebrospinal sangat bermanfaat dalam mendiagnosis kriptokokosis karena nilai sensitivitas dan spesifisitasnya tinggi. Uji antigen Histoplasma spp- dari urin pasien memiliki nilai sensitivitas >90% dan spesifisitas >95% dalam diagnosis histoplasmosis; tetapi hasil uji antigen negatif tidak serta merta menyingkirkan diagnosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan @ Mikosis Paru di Indonesia Uji antigen galaktomanan Aspergillus spp memiliki sensitivitas 61- 71% dan spesifisitas 89-93% dalam mendeteksi aspergilosis invasif. Perlu diperhatikan kemungkinan hasil positif palsu karena terdapatnya reaktivitas silang pada pasien yang mendapat terapi antibiotik golongan B-laktam misalnya piperasilin-tazobaktam atau kasus infeksi Pencillium. Perkembangan terkini menunjukkan manfaat deteksi galaktomanan Aspergillus pada spesimen BAL pasien yang diprediksi mengalami aspergilosis invasif. Komponen jamur yang sedang dikembangkan untuk modalitas diagnostik uji antigen adalah B-1,3-glukan (komponen dinding sel pada hampir semua jamur) dan kitin, tetapi penggunaannya masih terbatas. Deteksi antigen jamur hendaknya dilakukan serial guna memperoleh informasi lebih tepat untuk menegakkan diagnosis infeksi jamur akut serta menilai perjalanan penyakit pasien. Deteksi antibodi lebih bermanfaat untuk mengetahui infeksi jamur yang berlangsung kronik. Pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan secara serial guna menilai perjalanan penyakit atau respon pengobatan. Reaksi hipersensitif saluran napas terhadap jamur berupa ABPA maupun SAFS juga ditetapkan berdasarkan hasil uji antibodi. Deteksi antigen galaktomanan Aspergillus dan antigen Cryptococcus, serta deteksi antibodi Candida dan Aspergillus telah tersedia di Indonesia, khususnya di laboratorium Departemen Parasitologi FKUI, Jakarta. 5. Pemeriksaan uji kepekaan jamur terhadap obat antijamur Seiring dengan makin meningkatnya laporan resistensi jamur di berbagai negara, maka pemeriksaan uji kepekaan jamur penting dilakukan. Hal itu untuk mengetahui apakah pilihan terapi obat antijamur yang kita berikan sudah sesuai atau belum, meskipun tetap diperlukan penilaian klinis yang cermat pada beberapa kasus yang menunjukkan ketidaksesuaian hasil klinis (in vivo) dengan in vitro. 6. Pemeriksaan berbasis molekular Pemeriksaan PCR maupun real-time PCR juga sedang dikembangkan, tetapi masih digunakan secara terbatas karena belum terdapatnya standarisasi dan validasi, selain alasan keterbatasan dana dan fasilitas. @ Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 9 Mikosis Paru di Indonesia Tabel 2. Bahan Klinis dan pemeriksaan mikologi rutin Tae menegakkan diagnosis mikosis paru Jenis mikosis Bahan Klinis Jenis pemeriksaan \ paru Sekreta bronkopulmo- Pemeriksaan langsung - / Pula Aspergilosis, ver (sputum, bilasan —_biakan, identifikasi, uji i kosis, fs ; ree a bronkus, BAL, aspirat kepekaan. Uji galaktomanan histoplasmosis, endotrakeal) a BAL & bilasan bronkus, i i jamur s eae Jaringan biopsi Pemeriksaan langsung, biakan, en identifikasi, PCR, uji kepekaan Darah/ serum Biakan, identifikasi, uji kepeka. an, uji antigen galaktomanan & deteksi antibodi Aspergillus, uji antibodi, PCR Cairan pleura, pus Pemeriksaan langsung/pulasan, biakan, identifikasi, PCR Pneumonia Sputum induksi, BAL, _ Pemeriksaan langsung/pulasan, Pneumocystis cairan pleura, jaringan imunofluoresens, PCR biopsi ABPA,ABPM, _ Sekreta bronkopul- Biakan, identifikasi, uji SAFS moner (sputum, kepekaan, deteksi antibodi bilasan bronkus, BAL, Aspergillus, PCR aspirat endotrakeal) Serum darah Uji antibodi IgG spesifik Aspergillus dari serum atau uji kulit (skin prick test) ABPA: allergic brochopulmonary aspergillosis, ABPM: allergic brochopulmonary mycosis, SAFS: severe asthma with fungal sesitization Beberapa penyakit dapat memiliki gejala yang menyerupai mikosis paru sehingga perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, misalnya TB paru, pneumonia bakteri, virus atau aspirasi, edema paru, acute respiratory distress syndrome (ARDS), interstitial pulmonary fibrosis (IPF), pneumokoniosis, pneumonitis hipersensitif, dll. Untuk menetapkan diagnosis mikosis paru serta menyingkirkan diagnosis banding, diperlukan pemeriksaan mikologi yang tepat terhadap bahan klinis pasien. Tabel 2 memperlihatkan jenis mikosis paru, bahan klinis dan pemeriksaan mikologi yang diperlukan. 10 Pedoman Diagnosis dan Penatalaksana Mikosis Paru di Indonesia @ D. Kriteria diagnosis Diagnosis dini sangat penting untuk memperoleh luaran klinis optimal. Keterlambatan diagnosis akan berakibat keterlambatan penatalaksanaan yang dapat meningkatkan morbiditas/mortalitas. Dalam diagnosis mikosis sistemik/invasif dikenal beberapa istilah yang menentukan_ kriteria diagnosis, yaitu: 1. proven 2. probable 3. possible Kriteria diagnosis mikosis paru/sistemik ditentukan oleh tiga kriteria yaitu: faktor pejamu, gambaran klinis, dan hasil pemeriksaan mikologi. Faktor pejamu meliputi: faktor risiko (misalnya pemberian antibiotika jangka panjang, kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang) serta penyakit dasar yang diderita pasien (misalnya diabetes melitus, keganasan, penyakit paru kronik). Gambaran klinis terdiri atas gejala klinis, pemeriksaan radiologi, dan hasil laboratorium umum. Penjelasan skematis tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: Faktor Gambaran pejamu Klinis i Proven @) (+) } Faktor Gambaran ejamu ini ” i i a rch i ae = Probable Faktor I Gambaran Mikologi pejamu Klinis + | negatif/ tdk (+) i (+) dilakukan = Possible Gambar 1. Skema kriteria diagnosis mikosis paru ee Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 11 Mikosis Paru di Indonesia . klinis dan hasil pemeriks iteria faktor pejamu, gambaran eens leriksaan Tabel eercieel untuk menentukan diagnosis mikosis sistemik/ invasif Kriteria Deskripsi » Neutropenia (neutrofil <500/mm? selama >10 hari). Faktor | enerima transplantasi sumsum tulang alogenik pejamu = *\enerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata dosis minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama >3 minggu- Menerima terapi imunosupresan sel-T misalnya siklosporin, penyekat TNF-a, antibodik monoklonal spesifik (misalnya alemtuzumab), atau analog nukleosida dalam 90 hari terakhir. © Mengalami imunodefisiensi primer berat (misalnya penyakit granulomatosa kronik atau imunodefisiensi berat lainnya). « Menderita penyakit paru kronik (TB paru, PPOK, keganasan rongga toraks bronkiektasis, penyakit paru interstisial, dll. Gambaran Mayor ; 2 klinis Terdapat salah satu dari tiga kondisi berikut pada CT-scan: lesi padat dengan atau tanpa halo sign, air-crescent sign atau kavitas, Minor ~ Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada, sesak napas, hemoptisis, dll). - Pemeriksaan fisis terdapat pleural rub. ~ Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai kriteria mayor Hasil * Pemeriksaan langsung mikologi © Ditemukan elemen jamur kapang dari spesimen sputum, BAL, bilasan bronkus, aspirat sinus © Pertumbuhan jamur kapang dalam medium biakan. © Pemeriksaan tidak langsung © Aspergilosis: antigen galaktomanan terdeteksi dalam plasma, serum, BAL atau LSS o Penyakit jamur invasif selain kriptokokosis & zigomikosis menunjukkan B-D-glucan_terdeteksi dalam serum 12 Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia BAB IV PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan mikosis paru berkaitan erat dengan jenis jamur, status imun pejamu, lokasi infeksi, kepekaan jamur terhadap obat, terapi antijamur sebelumnya, penanganan sumber infeksi dan faktor risiko. Penatalaksanaan terdiri atas terapi medikamentosa dan pembedahan. Terapi medikamentosa dilakukan dengan memberikan obat antijamur (OAJ) yang terdiri atas beberapa golongan obat: polien, flusitosin, azol, dan ekinokandin. Obat antijamur dapat diberikan sebagai terapi profilaksis, empiris, pre-emptive (targeted prophylaxis) dan definitif. 1. 2. 3. 4. ® Terapi profilaksis Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko tertentu, tanpa tanda infeksi. dengan tujuan mencegah timbulnya infeksi jamur. Terapi profilaksis biasanya diberikan pada awal periode risiko tinggi terkena infeksi, misalnya pasien penerima transplantasi organ atau sumsum tulang. Terapi empiris Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko tertentu, disertai tanda infeksi (misalnya demam persisten dengan neutropenia biasanya selama 4-7 hari) yang etiologinya belum diketahui dan tidak membaik setelah terapi antibiotika adekuat selama 3-7 hari. Pemeriksaan mikologi belum dilakukan atau belum ada hasilnya. Terapi empiris diberikan kepada pasien dengan diagnosis possible. Terapi pre-emptive (targeted prophylaxis) Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko tertentu, disertai gejala Klinis, hasil pemeriksaan radiologi dan atau laboratorium yang mencurigakan infeksi jamur. Terapi pre-emptive diberikan kepada pasien dengan diagnosis probable. Terapi definitif Pemberian OAJ kepada pasien yang terbukti (proven) menderita infeksi jamur sistemik. Terapi ini merupakan cara yang paling akurat, tetapi memerlukan waktu tertentu sehingga harus diantisipasi dengan cermat untuk menghindari keterlambatan tata laksana. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 13 Mikosis Paru di Indonesia Dari keempat jenis pengobatan tersebut, yang paling ideal tentu saja terapi definitif karena berdasarkan bukti keberadaan jamur. Kendala yang dihadapi adalah pengobatan tersebut mungkin baru dapat dilakukan setelah diperoleh hasil pemeriksaan positif, sementara penyakit telah berlangsung beberapa saat, apalagi bila kecurigaan akan mikosis paru baru muncul setelah pengobatan dengan antibiotik gagal. Di sisi lain, keterlambatan terapi antijamur akan mempercepat kematian. Karena itu, pada keadaan akut, terutama pada pasien sakit berat (critically ill atau less critically ith, termasuk pasien ICU, obat antijamur harus segera dipertimbangkan begitu timbul dugaan mikosis sistemik. Sebaiknya pengambilan bahan klinis untuk pemeriksaan laboratorium mikologi tetap diupayakan sebelum pasien mendapat OA]. Tabel 4. Pedoman terapi OAJ untuk kasus aspergilosis KONDISI TERAPI UTAMA TERAPIALTERNATIF © KETERANGAN ‘Aspergilosis Vorikonazolintravena Primer: ‘OAM untuk paru invasif, (6 mg/kg tiap 12jam) Amfoterisin-B liposomal aspergilosis aspergilosis pada hari pertama, intravena (3-5 mg/kg/hari), invasif paru kronik, dilanjutkan dengan 4 isavukonazol 200 mg tiap 8 jam dianjurkan maupun mg/kg tiap 12 jam. untuk 6 dosis, dilanjutkan dengan _—selama 6-12 aspergilosis —_Vorikonazol oral dapat__dosis 200 mg perhari minggu invasif lain diberikan dengan dosis 200-300 mg tiap 12 Salvage: ABLC intravena(5 Pada jam atau sesuai brat mg/kg/hari |V), kaspofungin i.v (70 aspergilosis badan mg/hari pada hari pertama, paru kronik dilanjutkan 50 mg/hari pada hari ~— lama OA selanjutnya), micafungin intravena dianjurkan (100-150 mg/hari), posakonazol minimal (suspensi oral: 200 mg 3x sehari; selama 6 tablet 300 mg 2x sehari pada hari bulan pertama, dilanjutkan 300 mg perhari; intra-vena: 300 mg 2x ‘sehari pada hari pertama, lalu 300 tg per-hari, suspensi itrakonazol 200 mg tiap 12 jam Aspergiloma — Tanpa OAJ atau \trakonazol atau vorikonazol Pembedahan reseksi ABPA Itrakonazol Vorikonazol oral (200 mg tiap 12 jam) atau posakonazol (dosis tergantung pada bentuk sediaan) 14 Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia Pembedahan merupakan terapi definitif untuk aspergiloma. Pada pasien hemoptisis ringan dianjurkan tirah baring, postural drainage atau terapi simtomatik lain. Pada pasien hemoptisis berulang atau masif, pembedahan dilakukan dengan mempertimbangkan _risiko/toleransi operasi. Jika operasi tidak mungkin dilakukan, dapat dipertimbangkan tindakan embolisasi atau pemberian OAJ transtorakal-intrakavitas. Tabel 5. Pedoman terapi OAJ untuk kasus kandidemia KONDISI TERAPI UTAMA TERAPIALTERNATIF — KETERANGAN Pasiennon- —_Ekinokandin direkomendasi-. Amfoterlsin B Lama OAJ pada neutropenia __kan sebagai terapi inisial liposomal 3-5 mg/kg _kasus kandidemia selama 5-7 hari (kaspofungin: perhari; atau tanpa penyulit/ loading dose 70 mg, lalu50 Amfoterisin B metastatis mg perhari; mikafungin: 100 deoksikolat 0,5~1 diberikan 14 hari mg perhari; anidulafungin: mg/kg perhari; atau —_setelah hasil kultur loading dose 200 mg, lalu 100 Vorikonazol intravena _darah negatif dan mg perhari) 400 mg (6 mg/kg) 2x —_perbaikan Klinis Flukonazol intravena atau oral _sehari untuk 2 dosis, 800-mg (12-mg/kg) loading —dilanjutkan 200 mg (3. Semua kateter dose, dilanjutkan 400 mg (6 mg/kg) 2x sehari intravaskular mg/kg) perhari pada pasien dilepaskan bila stabil/ tidak sakit berat memungkinkan Ekinokandin direkomendasi- Flukonazol pada Pada kasus infeksi Pasien kan sebagai terapi inisial pasien stabil/ tidak Candida krusei, neutropenia selama 5-7 hari (kaspofungin: sakit berat, intravena __direkomendasikan loading dose 70 mg, lalu 50 atau oral 800-mg (12-_ pemberian OAJ mg perhari; mikafungin: 100 mg/kg) loading dose _—_ekinokandin, mg perhari; anidulafungin: —_perhari, dilanjutkan amfoterisin 8 loading dose 200 mg, lalu 100 400 mg (6 mg/kg) formula lipid, atau mg perhari) perhari; atau vorikonazol Amfoterisin B formula lipid vorikonazol 400 mg 3-5 mg/kg perhari, perlu (6 mg/kg) 2x sehari dipertimbangkan potensi untuk 2 dosis, toksisitas dilanjutkan 200 mg (3 mg/kg ) 2x sehari Lama terapi OAJ bersifat individual, tergantung kepada jenis penyakit/infeksi jamur yang diderita pasien, berat-ringannya penyakit, perkembangan penyakit selama pengobatan, serta jenis OAJ yang diberikan. —_—_—.]s Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 15 Mikosis Paru di Indonesia iseases Society of America (IDSA) tahun 2016 i ian OAJ untuk kasus aspergilosis pary fan dasikan pemberian a ru invasit ea minggu, tergantung kepada derajat dan durasi kondisi fe el resi, lokasi penyakit, serta perbaikan gejala yang nyata, Pada rea ae ergitosis paru kronik lama pemberian OAJ dianjurkan selama minimal é bulan (tabel 4). Sementara itu pedoman tata laksana kandidemia dapat dilihat pada tabel S. Evaluasi pengobatan harus dilakukan untuk melihat respon terapj dan toksisitas yang ditimbulkan OA). Tabel 6 menunjukkan respon terapi OA} yang dinilai berdasarkan perkembangan Klinis, radiologis serta laboratorium mikologi. Evaluasi radiologi dilakukan setelah pemberian Oay 2 minggu. Evaluasi toksisitas obat dilakukan dengan melihat gejala Klinis (mual, muntah, ikterus, dll) dan pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, Pedoman Infectious Dis Tabel 6. Respon terapi OAJ dan indikator evaluasi __Respon terapi Indikator evaluasi Sukses Respon Membaik selama periode pengamatan, resolusi semua komplit gejala klinis dan kelainan radiologi, serta bukti mikologi (eradikasi jamur) Respon parsial ~Membaik selama periode pengamatan, perbaikan gejala Klinis dan kelainan radiologi, serta bukti biakan jamur steril atau penurunan beban/jumlah jamur yang ditentukan secara kuantitatif dengan petanda laboratorium Gagal Respon Membaik selama periode pengamatan, perbaikan minor menetap atau tanpa perbaikan dalam penyakit jamur, tetapi tidak (stable) ada bukti progresif berdasarkan kriteria klinis, radiologis dan laboratoris Progresif Bukti progresivitas penyakit berdasarkan kriteria klinis, radiologis dan laboratoris Kematian K ematian dalam periode pen, jamatan, oleh sebab apapun. 16 Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia BABV OBAT ANTIJAMUR Harus diperhatikan pemberian obat antijamur (OAJ) yang adekuat, dalam waktu dan dosis tepat sehingga dapat mencegah toksisitas. 1, GOLONGAN POLIEN Golongan polien termasuk amfoterisin-B (AmB), nistatin dan natamisin. Cara kerjanya adalah merusak membran sel jamur dengan cara berikatan dengan ergosterol (komponen penting dinding sel), sehingga permeabilitas selular meningkat dan terjadi kebocoran isi sel yang berakibat kematian jamur (efek fungisidal). Contoh obat golongan polien adalah amfoterisin-B deoksikolat (fungizone) dan nistatin. Amfoterisin-B memiliki aktivitas terhadap hampir semua infeksi jamur invasif, termasuk Candida spp, Aspergillus spp, Cryptococcus, Histoplasma, dan Zygomyces. Perlu diperhatikan bahwa Candida lusitaniae, Scedosporium prolificans dan Aspergillus terreus memiliki resistensi primer terhadap Am-B, Dosis standar Am-B deoksikolat adalah 0,7-1 mg/kgBB/hari. Toksisitas yang dapat terjadi meliputi nefrotoksisitas termasuk gagal ginjal akut, toksisitas hematologi, reaksi terkait infus (misalnya demam, menggigil, sakit kepala, mual, muntah) dan gangguan elektrolit (misalnya hipokalemia, hipomagnesemia, hipernatremia, asidosis metabolik). Pemberian infus lambat (biasanya lebih dari 4 jam) dan premedikasi dengan antipiretik, antihistamin dapat dilakukan untuk mencegah reaksi terkait-infus. Pemberian infus garam fisiologis sebelum terapi dapat menurunkan nefrotoksisitas yang diinduksi obat. Am-B dalam formulasi lain memiliki spektrum aktivitas luas dan toksisitas lebih kecil: Am-B formula lipid (Am-B liposomal dan kompleks lipid Am-B) dengan dosis standar 3-6 mg/kgBB/hari. Di Indonesia saat ini Am-B tidak terdapat di pasaran, hanya tersedia di Kementrian Kesehatan RI khusus bagi pasien HIV. Farmakokinetik amfoterisin-B deoksikolat Obat ini tidak diabsorbsi mukosa atau kulit, absorbsi di saluran cerna berlangsung minimal. Hampir seluruh komponen obat ini terikat di plasma lipoprotein, lalu masuk ke dalam lubang serosa, (serous cavities), dapat melewati sawar plasenta. Waktu paruh obat ini 24 Jam, dan ekskresi di ginjal berlangsung lambat. =) Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 17 Mikosis Paru di Indonesia Tabel 7. Indikasi dan dosis amfoterisin-B Sediaan Amfoterisin B deoksikolat (Fungizone) Kompleks lipid amfoterisin B (Abelcet) Amfoterisin B liposomal (Ambisome) Amfoterisin B colloidal dispersion (Amphotec) Indikasi Aspergilosis invasif, blastomikosis, kandidosis, koksidioidomikosis, mukcormikosis, basidiobolus, conidiobolus Histoplasmosis, sporotrikosis Kriptokokus ringan-sedang atau non-SSP . Kriptokokosis berat atau SSP Meningitis kriptokokal (+HIV) Infeksi jamur invasif pada pasien yang refrakter atau intoleran terhadap terapi amfoterisin-B konvesional Terapi empiris pada pasien demam, neutropenia, dan diduga mengalami infeksi jamur Meningitis kriptokokal (+ HIV) Infeksi Aspergillus sp., Candida sp., dan atau Cryptococcus sp. Aspergilosis invasif pada pasien gangguan ginjal atau tidak dapat mengatasi toksisitas amfoterisin-B konvensional dalam dosis efektif dan pasien aspergilosis invasif yang mengalami kegagalan terapi amfoterisin-B konvesional sebelumnya. Dosis 0.25-1 mg/kg/hari 0.71 mg/kg/hari 0.5-1 mg/kg/hari 0.7-1 mg/kghhari 0.7 mg/kg/hari 5 mg/kg/hari 3 mg/kg/hari 6 mg/kg/hari 3-5 mg/kg/hari 18 Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia Nistatin, secara struktural mirip dengan amfoterisin B, namun tidak diberikan parenteral karena toksisitasnya. Nistatin biasanya bersifat fungistatik secara in vivo tetapi dapat juga bersifat fungisida pada konsentrasi tinggi atau terhadap organisme yang sangat peka. Nistatin tersedia dalam bentuk oral maupun topikal, dan tidak memiliki interaksi obat yang signifikan karena hampir tidak diserap dalam usus. Efek samping jarang terjadi, tetapi dalam dosis yang besar dapat menimbulkan mual, muntah, diare, dan nyeri perut. 2, FLUSITOSIN Turunan pirimidin ini aktif terhadap infeksi Candida, Cryptoceccus. Cara kerjanya dengan mengganggu sintesis asam nukleat, dan mudah terjadi resistensi. Absropsi oral baik, diekskresi dalam urin, Flusitosin terdistribusi baik dalam SSP dan dapat dikombinasikan dengan amfoterisin-B untuk infeksi jamur sistemik. Efek samping meliputi neutropenia, trombositopenia. Perlu pengawasan akan kemungkinan terjadinya gangguan fungsi ginjal. Obat ini tidak tersedia di Indonesia. 3. GOLONGAN AZOL Selama lebih dari dua dekade, antijamur golongan azol telah digunakan dalam praktik klinis. Golongan azol diklasifikasikan menjadi dua kelas yang berbeda: a. imidazol (klotrimazol, mikonazol dan ketokonazol) b. triazol (flukonazol, itrakonazol, vorikonazol dan posakonazol). Cara kerja obat golongan azol adalah dengan mengganggu sintesis ergosterol, suatu komponen penting dalam membran sel jamur. Efek ini terjadi melalui penghambatan enzim lanosterol 14-c demetilase yang berperan mengubah lanosterol menjadi ergosterol, sehingga terjadi gangguan struktur dan fungsi normal membran sel. Selanjutnya pertumbuhan jamur akan terhambat (efek fungistatik), meskipun beberapa penelitian in vitro melaporkan efek fungisidal beberapa obat golongan azol pada dosis standar. Obat golongan azol pada umumnya ditoleransi baik oleh tubuh. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare), hepatotoksisitas (transaminitis sampai hepatitis, kolestasis). Obat golongan azol tidak boleh diberikan pada perempuan hamil (kategori C). Obat ini mengalami metabolisme melalui sistem enzim sitokrom P450, sekaligus merupakan inhibitor poten sitokrom P-450 yang =memungkinkan interaksi dengan berbagai obat, misalnya = CSC Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 19 Mikosis Paru di Indonesia i isin, barbiturat, karbamazepin, statin, dll. Hampir semua obat ae azol tersedia di Indonesia, kecuali posakonazol. go a. Imidazol Klotrimazol dan mikonazol tersedia dalam berbagai sediaan obat topikal seperti krim, losio, sampo, tablet vagina, tablet isap, dan solusio yang terutama digunakan untuk terapi kandidosis vagina dan mukokutan. Ketokonazol merupakan antijamur golongan azol bentuk oral pertama yang tersedia untuk terapi infeksi jamur superfisial maupun sistemik. Obat ini mempunyai aktivitas terhadap berbagai spesies Candida, dermatofit, Malassezia furfur, dan beberapa jamur dimorfik (misalnya Blastomyces dermatitidis dan Coccidioides spp), Penyerapan ketokonazol di saluran cerna lebih baik bila disertai minuman asam seperti soda berkarbonasi. Perlu diperhatikan efek samping terhadap hati (hepatotoksik) serta interaksi dengan obat- obat lain sehingga penggunaan ketokonazol sangat dibatasi. b. Triazol Flukonazol, merupakan triazol generasi pertama, memiliki spektrum aktivitas lebih luas, bioavailability hampir 100 % karena tidak mengalami first-past metabolism, dan penyerapannya tidak dipengaruhi asam lambung. Flukonazol aktif terhadap hampir semua Candida spp (kecuali C. krusei dan C. glabrata), Cryptococcus neoformans, beberapa jamur dimorfik, M. furfur, Prototheca, serta dermatofita. Flukonazol tersedia dalam sediaan oral maupun intravena. Itrakonazol, spektrum aktivitasnya mirip dengan flukonazol, tetapi juga memiliki aktivitas terhadap Aspergillus spp, golongan dematiaceae (misalnya Alternaria, Bipolaris, Curvularia) sevta Sporothrix schenckii. \trakonazol tidak efektif terhadap Zygomycetes dan Fusarium spp. Pemberian obat ini harus dihindari pada pasien gagal jantung karena efek inotropiknya, terutama Pees yang menerima dosis oral harian total 400 mg. Kapsul oral itrakonazol harus diminum bersama makanan/minuman ber- karbonasi untuk meni . meningkatkan penyer: jaan intravena tidak tersedia di Indonesia, penyerapannya. Sediaan ir Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia Vorikonazol, memiliki spektrum aktivitas luas terhadap Aspergillus spp termasuk Aspergillus terreus yang resisten terhadap amfoterisin-B, galur resisten Candida spp, Fusarium spp. Scedosporium apiospermum, Trichosporon spp. serta berbagai golongan kapang. Vorikonazol direkomendasikan sebagai obat pilihan utama pada aspergilosis invasif. Aktivitas vorikonazol dilaporkan tidak efektif terhadap jamur golongan Zrgomycetes. Vorikonazol tidak memerlukan lingkungan asam_ untuk penyerapannya sehingga ketersediaan hayati-nya lebih baik dibandingkan dengan ketokonazol atau itrakonazol. Vorikonazol tersedia dalam bentuk oral maupun cairan intravena. Vorikonazol sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 1-2 jam setelah makan karena makanan tinggi lemak dapat menurunkan absorpsinya. Efek samping yang dapat ditemukan misalnya gangguan penglihatan sementara (fotofobia, penglihatan kabur, atau perubahan warna) serta halusinasi. Ekskresi vorikonazol tidak terpengaruh pada keadaan gagal ginjal, tetapi sediaan parenteral memerlukan dosis penyesuaian pada kasus kerusakan ginjal, dan tidak boleh diberikan pada pasien dengan bersihan kreatinin (CrCl) <50 ml/menit. Posakonazol, memiliki aktivitas antijamur luas, termasuk terhadap Candida spp yang resisten terhadap golongan azol sebelumnya, maupun Zygomycetes. Posakonazol hanya tersedia dalam sediaan oral yang memiliki bioavailability rendah, tetapi bila diberikan bersamaan dengan makanan berkadar lemak tinggi, bioavailability posakonazol akan meningkat 400%. Efek samping yang paling sering ditemukan adalah gangguan saluran cerna dan peningkatan kadar enzim hati. Isavukonazol, merupakan triazol terbaru dengan spektrum aktivitas luas terhadap ragi, kapang, dan jamur dimorfik, termasuk aspergilosis invasif dan mukormikosis. Keuntungan obat ini meliputi sediaan intravena yang larut dalam air, bioavailabilitas sediaan oral yang sangat baik, dan farmakokinetik yang dapat diprediksi pada orang dewasa. Potensi isavukonazol dilaporkan tidak berbeda dengan vorikonazol untuk terapi aspergilosis invasif, setara dengan amfoterisin B dan posakonazol untuk terapi mukormikosis invasif. Efek samping isavukonazol dilaporkan lebih sedikit dibandingkan obat golongan azol lain. Obat ini belum tersedia di Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 21 Mikosis Paru di Indonesia Tabel 8. Indikasi dan dosts obat golongan azol 1 Dosis standar Penyesuaian Obat Indikas! Injat Pemvesutn ti Loading dose200 mg, tly CCL<50 mUmin: Bean Flukonazol —_Kandidosis 5 it 400-200 mg/hr, selama 7- loading dose, talu (oral, orofarings . tentitan Intravena) 14 hari dosis | 50% lid 400 mg foading dose,lalu Hemodialisis: ers 200-400 mg/hr, selama 14- —_diberikan dosis 21 han harian 100% ‘ (sesuai indikasi) ningitis Terapi induksi, ditanjutkan retokokoss dosis konsolidasi 400 rene Aa taoat mgfhr, lalu dosis rumatan 200 mg/hr Kandidosis Loading dose 800 mg, lalu invasit/kandidemia 400 mgr Histoplasmosis! blastomikosis, dll Itrakonazol —_Kandidosis oro- 200 mg/hr CCL < 10 mUmin: | Belum (hanya oral) farings/ esofagus dosis 50% ditentukan Histoplasmosis! . 200-400 mg/hr (dosis HD: 100 mg tiap blastomikosis terbagi bila > 200 mg/hr) 12-24 jam Koksidioidomikosis 400-600 mg/hr dim 2 dosis Vorikonazol Aspergilosis invasit Loading dose (x 2 dosis): CCL <50 mU/min: Child-Pugh (oral atau termasuk asper- Intravena — 6 mg/kg tiap pemberian oral Class A or B: Intravena) _gilosis pau 12 jam Dilanjutkan dengan lebih dianjurkan —dosis_rumatan Kendidosis sistemik 021400 mg Bapt2 jam 150% (galur resisten) Chita-Pugh Mikosis sistemik Dosis rumatan Class C: belum oleh Fusarium spp, _Intravena- 3-4 mg/kg tlap itentukan Scedosporium, 12 jam, dilanjutkan dengan Trichosporon ‘oral 200 mg tiap 12 jam Posakonazol Profiaksis infeksi|_ 200 mg, 3x sehari Belum diketahui —Belum (oral) Jamur invasif ditentukan Kandidosis 400 mg 2x sehari (x 2 orofarings dosis), lalu 100 mg/hr Kandidosis oro- 400 mg 2x sehari (lama farings refrakter thd pemberian bervariasi ‘obat azol lain tergantung respon pasien) 2 Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia 4. Golongan ekinokandin kandin merupakan antijamur golongan baru, cara kerjanya Ekinol melalui penghambatan sintesis enzim 1,2-B-D dan 1,6-B-D-glucan gynehase. Enzim ita penting dalam produksi glukan (komponen penting dinding sel jamur) yang mengakibatkan ketidakstabilan osmotik sehingga sel jamur tidak dapat mempertahankan bentuknya dan berujung pada kematian jamur. Glukan tidak ditemukan pada dinding sel mamalia sehingga efek samping ekinokandin terhadap sel manusia sangat sedikit. Dinding sel C. neoformans terutama terdiri atas 1,3-a atau 1,6-a-glucan, sehingga jamur ini lebih resisten terhadap ekinokandin. Terdapat beberapa kelas ekinokandin yaitu: kaspofungin, mikafungin, dan anidulafungin. Pada umumnya ekinokandin memiliki keterbatasan bioavailability oral dan hanya tersedia dalam sediaan intravena. Mikafungin digunakan untuk terapi kandidemia, kandidosis esofagus, abses dan peritonitis oleh Candida serta profilaksis pada pasien yang menjalani transplantasi sel punca (stem cell). Obat ini juga direkomendasikan dalam terapi aspergilosis invasif (sebagai salvage therapy). Mikafungin dimetabolisme melalui hati dan sangat sedikit (<1%) bentuk obat tidak berubah yang ditemukan dalam urin. Obat ini diekskresi dalam bentuk inaktif ke dalam empedu serta tidak mengganti pengikatan bilirubin terhadap albumin secara kompetitif, sehingga tidak menyebabkan kern icterus. Tidak diperlukan penyesuaian dosis pada gangguan fungsi hati ringan-sedang maupun gangguan fungsi ginjal. Mikafungin merupakan inhibitor CYP-450 yang lemah sehingga sedikit berinteraksi dengan obat-obat lain. Mikafungin tersedia di Indonesia. Anidulafungin digunakan untuk terapi kandidemia, peritonitis Candida, abses intra-abdomen dan kandidosis esofagus. Anidulafungin secara selektif menghambat 1,3-&-D-glucan synthase, enzim yang bertanggung jawab untuk sintesis glukan (komponen utama dinding sel jamur). Anidulafungin banyak terikat (>99%) kepada protein plasma. Hasil degradasi dikeluarkan dalam tinja melalui saluran empedu dan sangat sedikit ditemukan dalam urin. Anidulafungin tidak mengalami metabolisme di hati dan bukan merupakan substrat, inducer atau inhibitor enzim CYP450. Tidak diperlukan penyesuaian dosis berdasarkan usia, gender, ras, maupun pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal atau hati. Anidulafungin sudah tersedia di Indonesia. ® Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 2 Mikosis Paru di Indonesia Tabel 9. Obat antijamur golongan ekinokandin ——— oui Adverse inten a—— OAJ Spektrum Dosis Adverse Interaksi Keterangan Aktivitas Reactions Obat Kaspofungin Candida, IV: 35-70 mghari_ — Gangguan Siklospo- Penurunan Aspergillus saluran cema, , rin, dosis hipotensi, rash, rifampin dipertukan demam, pada kasus menggigil, sakit gangguen kepala, hati sedang hipokalemia, anemia, peningkatan kadar enzim hati, flebitis Mikafungin = Candida, © Kandidosis Gangguan sal. Sirolimus, Tidak Aspergillus esofagus cema, demam, nifedipin —_dipertukan 1V:160 mgihari, _sakit kepala, dosis © Profilaksis HSCT _hipokalemia, Penyesuaian IV: 50 mg/hari. hipomagnesemia, * Kandidemia atau netropenia kandidosis invasif IV: 100mg/hari Anidula- Candida Kandidosis Jarangterjadi Tidakada._—Tidak fungin —_(termasuk esofagus IV: adverse reactions —_interaksi _—_iperiukan ygresisten _ loading dose 100 obat dosis tethadap mg hari ke-1, utama —_penyesuaian flukonazol), _dilanjutkan 50 mg/ Aspergillus hari Kandidemia, peritonitis, abses intra-abdomen IV: loading dose 200 mg hari ke-1, dilanjutkan 100mg/ hari (laju infus < 1,1 mg/menit 24 Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia LAMPIRAN-1 ALGORITMA PENATALAKSANAAN MIKOSIS PARU Gejala respirasi dan sister Fungus Ba hk FOTO TORAKS + —__{Lesitain } + CT-Scan, induksi sputum, bronkoskopi (BAL), CT-Scan, biopsi, TTNA, pemeriksaan mikologi, : ee galaktomanan, serologi, molekular * ain pemeriksaan mmikologl (Kontir- epee J perasi k mast jamur) tidak mungkin Evaluasi respon () © feof Usahakan tatalaksana lnvasif minimal : Teamian OAD {aversion OA sesuai jenis jamur Evaluasi toksisitas & respon terapi OA\ dilanjutkan 2 minggu ‘setelah perbaikan klinis, radiologi & mikologi OAJ sampai faktor risiko teratasi > 34 minggu *pemeriksaan molekular masih terbatas karena fasilitas diagnosis belum tersedia secara luas di Indonesia Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 25 Mikosis Paru di Indonesia LAMPIRAN 2 JENIS MIKOSIS PARU DIKAITKAN DENGAN GAMBARAN KLINIS, FAKTOR RISIKO, DIAGNOSIS DAN TERAPI Jenis mikosis Kandidosis Kandidosis invasif (organ dalam), Neutropenia, bayi <1500g (BBLR), indakan sepsis-like syndrome, kandidemia, —_urologi, kateter vena sentral, Keganasan, diseminasi kronik, kolonisasi saluran kemoterapi, antibiotika jangka panjang, napas bedah abdomen (perforasi, pankreatitis), penyalahgunaan obat suntik, usia tua, DM, indwelling urinary devices, HIV, CD4+ rendah, transplan organ, perawatan intensif Gambaran klinis Faktor risiko Aspergilosis Invasif : Aspergilsis paru invasif, Neutropenia berkepanjangan, transplan sel aspergilosis trakeobronkial, punca hematopoetik, Keganasan darah, aspergilosis ekstraparu emoterapi,infeksi CMY, disfungsi ginal, Saprofitik : aspergilosis paru kronik, disfungsi hat, Korikosteroid dalam waktu aspergiloma lama, TB paru, sarkoidosis, ABPA, asma, Alergik : Allergic bronchpulmonary —_riwayat pneumonia, pneumotoraks, lobektomi, aspergillosis (ABPA), severe asthma PPOK, spondiiis ankilosa, aris reumatoid, with fungal sensitization (SAFS) _imunosupresi, Kerusakan paru reversibel, Kolonisasi kavitas paru Pneumocystis Pneumonia, nodul multpel, bleb, HIV, kadar RNA HIV yang tinggi, Keganasan pneumonia _kista, adenopatiintraloraks, darah, CD4+ <200 sellmm?, CD4+ <14%, (PCP) pneumotoraks, kavitas, efusi pleura _riwayat PCP (gejala: oral thrush, pneumonia bakterial berulang, berat badan turun, dil Klindamisin Bahan Klinis Sekreta bronko- pulmoner (BAL, sputum, bilasan bronkus, aspirat endotrakeal), jaringan biopsi, darahiserum, pus, cairan pleura, dll Idem Idem Pemeriksaan mikologi Pemeriksaan langsung/dengan pulasan, uji germ tube, biakan, B-D- glukan, PCR, manan dan IgG anti manan, Malditof Pemeriksaan langsung dengan pulasan, biakan sekreta paru, galaktomanan (GM) serum dan BAL, 133 BD- glukan, CT scan, PCR, Malditof Hislopatologi, sito- patologi Terapi Kaspotungin, anidulafungin, mikafungin, amfoterisin B (AmB) formula lipid, vorikonazol, flukonazole, AmB deoksikolat Vorikonazol, AmB formula lipid ‘maupun deoksikolat, mmikafungin, kaspofungin, kombinasi triazol dengan ekinokandin Trimetoprim- sulfametoxazol, dapson, primakuin, s 3 € 6 3 & zs é s x $ 2 = g g & & 3 £ & 7 s a e a 3 3 2 & zl a e s & S 3 2 & 26 @ Jenis mikosis Histolpasmosis Histoplasmosis paru akut (demam/ menggigil, gejala menyerupai flu, nyeri otot/ kepala, sesak napas, batuk kering, nyeri dada, lesu, berat badan turun) Gambaran Klinis Histoplasmosis paru kronik (batuk, sesak napas, lesu, subfebris, keringat malam, berat badan turun), bronkiolitis, nodul paru Limfadenitis mediastinal maupun kelenjar getah bening di lokasi lain, Histoplasmosis diseminata progresif (ririp histoplasmosis paru kronik, disertai pembesaran hatillimpa, per-darahan sal, cera, ulserasi mulut & bibir) Kriptokokosis Kriptokokosis paru (batuk, demam, nyeri dada, sesak napas, hemoplisis, ARDS, beral badan turun). Kriptokokosis meningeal/ensefalitis (nyeri kepala, confusion, lethargy, muall muntah, demam, gangguan penglihatan’ pendengaran, penurunan kesadaran) Kriptokokosis diseminata (kelanjutan meningitis/ensefalitis yang menyebar ke PYSaUOpU] IP Ned sisoyyy ueeuesye[ereuag uep sisouseig uewopag Faktor risiko Terpajan spora/konidia jamur Histoplasma pada tanah/gua yang mengandung kotoran kelelawar/burung merpati, daerah endemik (Ohio, lembah sungai Mississipi, Amerika utara/tengahy selatan, Asia, Afrika), pasien dengan penyakit paru kronik, imunosupresi Terpajan sporal konidia Cryptococcus pada kotoran kelelawar! burung merpati, imuno- kompromis terutama HIVIAIDS, penyakit paru kronik, kondisi imunosupresi lain JENIS MIKOSIS PARU DIKAITKAN DENGAN GAMBARAN KLINIS, FAKTOR RISIKO, DIAGNOSIS DAN TERAPI Bahan Klinis Diagnosis Terapi Sekreta bronko- Pemeriksaan __AMB formula ipid maupun pulmoner (BAL, langsung/pulasan, deoksikolat, ditanjutkan itra- sputum, bilasan biakan, identifikasi, konazol, metilprednisolon bronkus, sprat_—_yjkepekaan, Uji (bila diperukan),terapi endotrakeal), jaringan histoplasmin/ tergantung berat penyakit biopsi, darah/serum, — deteksi antibodi Itrakonazol untuk histoplas- urin, cairan pleura, untuk penapisan! mosis paru kronik. Pada pus, lesi kulit, dil kasus kronik, kasus bronkiolitis, nodul paru deteksi anti igen biasanya tidak diberikan OAJ ke kut Itrakonazol, steroid bila pada asus a dipertukan AmB formula lipid maupun deoks-ikolat, dilanjutkan itrakonazol Sekreta bronko- Pemeriksaan Pada infeksi paru beral! pulmoner (BAL, langsung dgn Tinta meningitis/diseminata: AmB sputum, bilasan India/pulasan, formula lipid maupun deok- bronkus, aspirat biakan, identifikasi, Sikolat, dilanjutkan flukonazol, endotrakeal), cairan yj kepekaan, Uji _bila pertu dapat diberikan serebrospinal, jarngan deteksi antibodi, _Stebid. biopsi, darah/serum, — Getaksj antigen * Pada infeksi ringan-sedang: ‘urin, cairan pleura, flukonazol pus, lesi kul, dll organ dalam/bermaniestasi pada kul £2

You might also like