You are on page 1of 8
Manusia dan Seni 2159 © Kanisius 1984 PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI) JI, Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281 ‘Telepon (0274) 88783, Teleks 25243 Kotak Pos 125/Yk, Yogyakarta 55001 Cetakan pertama 1984 Cetakan kedua 1986 Cetakan ketiga 1988 Cetakan keempat 1990 1SBN 979-413-329-9 Hak Cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta Kata Pengantar Buku kecil ini merupakan endapan dari kuliah-kuliali Estetika yang se- jak th. 1970 diberikan penulis di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Biarpun suatu endapan, namun ini tidak berarti sebuah ikhtisar bahan kuliah. Dengan sengaja dihindarkan segala sesuatu yang dapat menjadikan tulisan ini eksklusif untuk kalangan mahasiswa saja. Penulis telah berusaha, sedapat mungkin, untuk menyajikan secara se- derhana, lepas dari segala embel-embel ilmiah, beberapa ’’omongan’’ saja mengenai sesuatu yang kita semua pernah alami, yaitu: keindahan. Jadi, tulisan ini tak ada pretensi ilmiah. Penulis sudah merasa bahagia bila seorang siswa SLTA dapat mengerti dan menikmati tulisan ini. Buku. ini belum selesai. Masih ada banyak segi lain yang pantas dibica- rakan, aliran-aliran, gaya-gaya dan sebagainya. Tetapi sebagai sebuah pengantar sederhana, sebagai suatu perkenalan pertama dan ajakan per- tama untuk merenungkan gejala keindahan, maka cukup sekian dulu. Penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. C.A. van Peursen dan Drs Kuntoro Wiryomartono yang dengan rela telah memberi izin menyajikan kembali tulisan mereka yang dulu pernah dimuat dalam majalah BASIS. Dengan demikian karangan-karangan asli dilengkapi de- ngan beberapa ulasan dari seorang pengarang tamu, sehingga merupakan sebuah bunga rampai. Yogyakarta, 15 Desember 1983 Dick Hartoko SORREO REO FRRRI inice ao or RR Ee ee eee ee ee 2 Menganalisa Pengalaman Estetik Seperti telah kita lihat dalam bab 1, maka kita semua sering menge- luarkan ucapan-ucapan yang mengandung suatu penilaian estetik, penilaian apakah sesuatu indah atau tidak. Ini mengandaikan, bahwa sebelumnya kita telah mengalami, mencerap sesuatu sebagai serba indah. Nah, sekarang soalnya, apakah yang’ kita sasakan, bila kita berkata: Betapa indah! Kita bisa ingat akan saat-saat kita duduk termenung-menung di pantai atau di lereng gunung, menyaksikan fajar menyingsing atau senja turun, Tentu saja kalau kita tidak diganggu oleh ocehan teman-teman,atau suara radio dan transistor. Tidak semua orang muda yang terhimpun dalam salah satu perkumpulan pencinta alam terbuka hatinya terhadap suara alam! - Kalau kita menoleh ke belakang dan masih ingat akan saat-saat itu, maka terutama suasana tenang dan tenteram yang meliputi hati kita pada waktu itu. Kita merasa terpukau dan terpesona, kagum. Kita merasa diri kecil dan kerdil, namun sekaligus juga merasakan keselarasan dan harmoni dengan alam sekitar. Para ahli yang menganalisa pengalaman tentang keindahan yang tim- bul dari perjumpaan dengan alam memberikan deskripsi sbb.: Lenyaplah perbedaan antara subyek (aku yang mengamati alam) dan Obyck (alam), aku seolah-olah meluluh dengan alam sekitar, aku merasa terangkat dalam sesuatu yang lebih besar dan agung daripada aku. Sekaligus lenyaplah (untuk sementara) perbedaan antara berbagai da- ya kekuatan dalam diriku sendiri, seperti misalnya perbedaan antara jiwa dan tubuh, perbedaan antara -akal budi, kemauan, emosi dan lain- -lainnya. Tercapailah dalam diriku suatu keseimbangan, suatu keutuhan sempurna sebagai manusia. Maritain, seorang filsuf Perancis yang meninggal kira-kira sepuluh tahun yang lalu, melukiskan pengalaman estetik itu sebagai: that inter com- munication between the inner being of things and the inner being of the ih Auman Self. Dalam kesenian dan pengalaman estetik itu budi manusia me- mainkan peranan utama, tetapi bukan budi yang diskursif (yang mengana- lisa dan bernalar), melainkan yang bersifat jntuitif (melihat dalam sekejap mata) dan konatural (karena persamaan dalam sifat dan tabiat). Terjadi se- macam interpenetrasi (saling menerobosyantara alam dan manusia. Kedua belah pihak saling meluluh tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Manusia yang merasakan getaran keindahan alam mengadakan semacam jdentifikasi spiritual dengan alam itu, bahkan alam memasuki kalbunya. Dan sebaliknya: manusia memasuki alam, memeteraikan alam dengan ke- hadirannya, merasakan keindahan alam itu sejauh alam mengandung unsur-unsur manusiawi, mengandung isyarat-isyarat yang melambangkan emosi dan pengalaman manusiawi. Jauh sebelum Maritain para Kawi (penyair) di Jawa pada zaman ke- rajaan Kediri dan Majapahit melukiskan pengalaman itu dalam kKakawin- kakawin dengan istilah-istilah yang hampir sama. Mereka berkelana ke pantai, mendaki léreng-lereng gunung untuk berjumpa dengan alam dan menangkap getaran keindahannya, lalu mérasa terhanyut di dalamnya. Me- reka seolah-olah mengalami suatu ekstasis (harafiah: berdiri di luar dirinya sendiri), terangkat jauh di atas kekerdilannya sendiri. Perasaan subyektif mereka proyeksikan ke dalam alam, dan sebaliknya alam bercerita tentang manusia. Suara burung elang pada akhir musim kemarau mereka umpama- kan dengan rasa rindu seorang pemuda akan kekasihnya. ’’Kalau kau nanti menjelma sebagai bunga asana, aku menjadi kumbangnya. ” Saling interpenetrasi antara manusia dan alam kita jumpai dalam se- mua karya sastra kiasik dan oleh van Peursen dilukiskan sebagai ciri khas alam pikiran mitis. .Dan sang professor dari Leiden mengingatkan kita, bahwa alam pikiran mitis tidak hanya terbatas pada manusia dahulu kala, tetapi dalam manusia modern pun kadang-kadang masih muncul, yaitu pa- da saat-saat ia merasakan kebersatuannya dengan alam raya, Adapun suatu tanda keterasingan, bila saat-saat itu makin jarang kita alami. Kant dan banyak filsuf lain menandaskan, bahwa pengalaian estetik itu bersifat *sepi-ing pamrih”, manusia tidak mencari keuntungan, tidak terdorong oleh pertimbangan praktis. Seorang mahasiswa dari fakultas Pertanian, bila berhadapan dengan sebidang sawali, mungkin juga spontan mengarahkan perhatiannya kepada jenis padi yang ditanamkan, eedangkan seorang mahasiswa dari fakultas Ekonomi akan berplkir-pikir tentang har- ga gabah dan sebagainya: Tetapi seorang mahaslewa yang peka terhadap 12 keindahan (misalnya dari Akademi Seni Rupa) tidak memikirkan hal-hal praktis itu, ia hanya terpukau oleh keindahan alam, padi yang sedang men- jadi kuning, tersentuh oleh sinar matahari yang sudah turun ke Barat dan angin sejuk, sehingga padi kelihatan seolah-olah bergelombang. Disini kita-harus berhenti sebentar. Bagi Kant dan para filsuf dan seni- man sebelumnya alamlah yang merupakan sumber utama bagi pengalaman estetik. Pendapat ini dibantah oleh sementara filsuf modern. Bagi mereka 13 obyek utama bagi pengalaman tentang keindahan adalah karya seni, bukan alam. Pendapat ini nanti dalam suatu bab tersendiri masih akan kita tinjau bersama secara kritis. Pokoknya dalam patdangan klasik alamlah yang me- rupakan sumber utama yang menggerakkan hati manusia sehingga ia dapat menikmati keindahan. . Menurut pandangan klasik itu pula, maka tefjadinya.suatu karya seni berpangkal pada pengalaman estetik yang timbul dari perjumpaan dengan alam. Pada saat pengalaman estetik manusia merasa bahagia, merasakan suatu "’ekstatis’’. Tetapi saat itu mungkin hanya berlangsung selama bebe- rapa detik, pasti tidak lama. Saat matahari yang sedang terbenam mewar- nai awan-awan dengan warna-warni yang indah, mungkin hanya berlang- sung selama sepuluh menit. Lalu habis. Lalu seniman ingin mengabadikan saat: yang membahagiakan itu, dan terjadilah karya seni. Dan setiap kali ia memandang karyanya itu ia teringat kembali akan saat yang indah itu, karena karya itu bersifat simbolik; lewat lambang-lambang membangkit- kan kembali, mengingatkannya kembali akan saat itu. Dan setiap orang yang mengamati karya itu lalu juga menangkap isyarat-isyarat, lambang- lambang itu, dan dapat turut merasakan apa yang dirasakan oleh sang seniman. Demikianlah, secara sangat singkat dan sangat simplistis, salah satu teori merigenai terjadinya sebuah karya seni. Nanti kita masih akan menin- jau beberapa teori lain mengenai genesis atau riwayat terjadinya sebuah xarya seni. Cukuplah di sini kita menyimpulkan, bahwa menurut teori mana pun sang seniman ingin imengungkapkan isi hati dan pengalaman spi- ritualnya lewat lambang-lambang, entah lambang visual (lukisan, patung), entah lambang auditif (lewat pendengaran: bahasa dan musik), entah lang- sung lambang jasmani (seni tari, sikap badan). Persoalan lain yang juga masib harus kita bicarakan, jalah sejauh ma- na sebuah-karya seni hanya menampilkan ‘pengalaman tentang keindahan. Sejauh mana seni modern misalnya menimbulkan getaran keindahan dalam hati kita. Masalah ini pun harus kita tunda sampai nanti. Tetapi, sebelum kita meneruskan pembicaraan kita, ada sebuah perta- nyaan ‘praktis yang mungkin telah timbu! dalam hati pembaca budiman. Sudah beberapa kali saya memakai istilah **estetik’’: pengalaman tentang keindahan saya samakan dengan pengalaman estetik. Apa artinya kata *estetik”? itu? . 14 aa _ . Sain 10 oe, Pengalaman Religius Dan Pengalaman Estetik “ “Aku manusia, rindu rupa, rindu rasa.” Demikianlah jeritan hati Amir Hamzah, penyair Indonesia, raja Poe- jangga Baroe (menurut istilah H.B. Jassin). Dengan kalimat ini Amir Hamzah mengungkapkan pergulatan batin- nya untuk bisa berkontak dan berkomunikasi dengan Tuhan. Betapa sukar- nya! Tuhan itu Roh Murni, sedangkan manusia roh-dalam-badan, sehingga ja hanya dapat menangkap isyarat-isyarat yang bersifat rohani-jasmani, hanya dapat menyentuh hakekat kenyataan atau “the ultimate reality’” lewat_lambang dan_simbol, Dan sebaliknya, Tuhan, bila ingin ber- Komunikasi dengan manusia, menyesuaikan Diri dengan kondisi manusia, juga memakai lambang dan simbol. Apakah Tuhan tidak langsung dapat menyapa. manusia, Roh berkomunikasi dengan toh? Dapat saja, tetapi kalau itu terjadi, maka manusia tidak sadar diri lagi, ia mengalami "ekstasis”, disambar dan disergap, tertarik di atas kondisinya yang biasa. Lalu ia tidak ingat lagi apa yang terjadi. Tetapi kalau Tuhan ingin menyapa manusia dan menyapanya sehingga ia masih ingat akan sentuhan Allah itu, maka Tuhan juga memakai lambang-lambang dan simbol. . Kalau manusia merasa berhadapan dengan Tuhan, apa yang sedang di- alaminya? Banyak filsuf telah melukiskan "experience of God’’ itu, peng- alaman tentang adanya Tuhan, pengalaman bahwa Tuhan memasuki dunia kita. Sifat pertama dari pengalaman tersebut iaJah berhadapan dengan se- suatu (atau seorang) yang menggemparkan dan menggetarkan. Manusia merasa berhadapan dengan sesuatu yang dahsyat. Tetapi sekaligus peng- alaman itu menarik, memikat, mempesonakan, ia merasa tertarik dengan suatu daya tarik yang tiada hingganya. Dan mengapa pengalaman yang dahsyat itu demikian memikat? Karena manusia merasa berhadapan dengan awal mula dan tamat segala-galanya. "’Sangkan paraning dumadi,”” kata orang Jawa. Alpha dan Omega”, kata Yohanes, murid Yesus. Dan 49 Katedra! gaya Gotik di Bourges, Perancis (Geschiedenis ence Kathedraal, SPECTRUM) 50 karena pengalaman ini yang membuka rahasia segala sesuatu yang ada, maka manusia juga menemukan tempatnya di dalam semesta alam, ia menemukan identitasnya, ia tahu maksud hidup pribadinya. la seolah-olah dulu berhadapan dengan sebuah "’jig-saw puzzle’’, lukisan yang terpecah- pecah menurut ratusan kepingan yang morat-marit, tetapi yang kini ter- susun menurut suatu pola yang penuh arti, suatu pola yang indah dan me- nakjubkan. Terhadap pengalaman tersebut manusia tidak dapat bersikap acuh tak acuh, ia merasa dihimbau, disapa, ia merasa harus memberikan jawaban. Adam, Adam, di mana kau berada?’’ kita baca dalam Kitab Kejadian. Pertanyaan itu dengan aneka warna variasinya, terulang dalam setiap peng- alaman religius, Manusia merasa berhadapan dengan Dia yang berdaulat, yang berhak menuntut jawaban dari kita, Menurut pengamatan para ahli ilmu jiwa, khususnya Jung, maka ada beberapa lambang purba atau arche-tipe yang menyadarkan manusia akan kehadiran Tuhan, akan kehadiran sesuatu atau seseorang yang Maha Kuasa. Adapun lambang-lambang itu misalnya matahari, bulan, laut, angin, pohon, api dan batu, Lambang-lambang tersebut kita jumpai kem- bali dalam pengalaman religius hampir semua bangsa. Bila sekarang kita membandingkan pengalaman religius dengan peng- alaman estetik, nampaklah persamaan tetapi juga perbedaan. Dan perbeda- annya lebih banyak. Yang sama ialah kedua-duanya memakai atau meng- hayati lambang-lambang. Tetapi dalam pengalaman estetik manusia tidak merasa berhadapan dengan seseorang Yang Maha-Daulat, yang berhak me- nuntut jawaban dari kita. Dalam pengalaman estetik manusia juga dapat merasa terhanyut dalam gelombang kebahagiaan (’ahanyutan” kata para kawi zaman dahulu) tetapi rasa terhanyut itu tidak sampai ke akar-akar eksistensinya. Pengalaman seorang seniman tidak menyebabkan ia merom- bak arah hidupnya. Sedangkan dalam pengalaman religius manusia merasa bahwa ia harus merombak hidupnya, ia mengalami suatu "’metanoia”’, ter- jungkir balik. =~" meee Dalam pengalaman estetik, kata para. pujangga India, simpul baru mu- _ lai diuraikan, tetapi datam penga relgivssimpal Sudat-erarair Dan pada zaman kerajaan Kedi in Majapahit-dahuld dibedakan antara »kawi wikw? yang menjalani tapa demi maksud religius, dan kawi-kawi jainnya yang maksudnya lebih profan, biarpun pengalaman kedua ke- lompok kawi itu sangat berdekatan. si bahwa Kitab Injil vara dapat diresapi sepenuhnya oleh ofang-orang yang peka terhadap lambang-lambang. Pengalaman estetik menyebabkan kita _ dapat menerobos ulit_gejala-gejala, lahiriah,belak dan _menangkap tobos, kita sudah bertolak dari pantai, tetapi ‘api masih terapung-apung, belum mengarahkan haluan kepada Tujuan Sejati. Pendidikan estetik sangat berguna bagi pendidikan religius, karena dengan mengembangkan kepekaan estetik dikembangkan pula kepekaan terhadap gejala-gejala yang mengisyaratkan kehadiran Tuhan. Kalau kita berbicara tentang lamb: Se jangan terus memba- yangkan_gambar-s -gambar_ataupatu' pung- cara mendaraskan ayat-ayat dari Kitab Suci,.sikap_badan tila ‘berdoa, | bentuk dan dekorasi i semua merupakan rellglus yang mempergunakan Jambang-lambang. Selain itu, bagi seorang yang peka terhadap bahasa lambang, maka se- tiap pengalaman ¢ dalam 1 hidup sehari-hari menjadi peng- alaman religius, setiap peristiwa profan dapat menjadi peristiwa-sakral. Se- buah film atau novel, biarpun tidak langsung berbicara tentang Tuhan, dapat menggetarkan hati kita, membuka cakrawala Teligius, Sebaliknya, biarpun sebuah film misalnya mengisahkan riwayat hidup Yesus, namun belum pasti bahwa seorang Nasrani juga tergetar hatinya, karena film terse- but secara datar saja melukiskan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ke- hidupan Yesus. Tema religius belum menjamin, bahwa karya itu juga ber- sifat religius. Penghayatan dari dalam, pembukaan dimensi-dimensi luas lebih mendekati sifat religius itu. Dengan demikian kita juga menyeniuh persoalan, seberapa jauh kita dapat berbicara tentang ’’Seni Islam’’, ’’Seni Kristen’, "Seni Hindu” dan seterusnya. Tema-tema yang secara datar memaparkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.dalam kehidupan seorang nabi atau dewa, belum. membangkit- kan pengalaman refigius. Untuk itu diperlukarr visi seorang ‘seniman yang, sungguh dari dalam menghayati agamanya, lalu dengan visi itu menyoroti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup sehari-hari. Sehingga lewat seni profan terbuka suatu cakrawala religius. 52

You might also like