You are on page 1of 8

LAPORAN TOXICOLOGI VETERINER KERACUNAN OBAT AKUT Kamis, 15 Oktober 2009/ Pukul : 14.00-17.00 WIB 1. 2. 3. 4.

Oleh Kelompok 1 : Unita Pratiwi B04060028 5. Winda Mayang Sari B04060498 Pekik Bayumukti U B04060373 6. Marina Wijayanti B04060679 Feni Wibowo B04060452 7. Gita Rima W. B04060916 Sisca Valinata B04060471 8. Rizki Hidayat B04061046

PENDAHULUAN Kasus keracunan akut lebih mudah dikenal daripada keracunan kronik karena biasanya terjadi mendadak setela mengkonsumsi sesuatu. Gejala keracunan akut dapat menyerupai setiap sindrom penyakit, karena itu harus selalu diingat kemungkinan keracunan pada keadaan sakit mendadak dengan gejala seperti muntah, diare, konvulsi, koma, dansebagainya. Gejala yang mengarah kesuatu diagnosis keracunan sebanding dengan banyaknya jumlah golongan obat yang beredar. Makin banyak golongan obat yang beredar maka makin beraga gejala keracunan obat. Dan suatu gejala sering bersifat aspesifik, misalnya koma yang dapat disebabkan oleh hipnotik, obat perangsang SSP, salisilat, antidepresi dan lain-lain. Pengelolaan pasien keracunan yang paling penting adalah penilaian klinis diantaranya derajat kesadaran dan respirasi. Interaksi obat mempunyai 3 macam tipe, yaitu dapat bersifat agonis, poteniasi, dan antagonis. Suatu obat mungkin mengantagonis kerja obat yang lainnya dengan terikat pada reseptor obat tersebut dan tidak mengaktifkan obat tersebut. Dalam hal ini satu obat yang mengantagonis obat lainnya hanya dengan mengikat dan membuatnya tidak tersedia untuk berinteraksi dengan protein yang terlibat. Dalam praktikum kali ini pengamatan gejala klinis keracunan obat yang bekerja pada saraf otonom dan pusat dan obat yang memiliki interaksi antagonistik terhadap obat tersebut, sehingga zat tersebut dapat digunakan sebagai antidota. TUJUAN Tujuan praktikum kali ini adalah agar mahasiswa mengetahui akibat (gejala klinis) yang ditimbulkan dari berbagai macam keracunan obat yang bekerja pada sistem syaraf otonom dan pusat, serta efek atau interaksi yang ditimbulkan dari obat yang bersifat antagonis yang digunakan sebagai antidota. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil No Sediaan Obat vs Dosis Antidota 1 a. Striknin vs 0.05 ml Pentothal 0.1 ml 30-40 mg/kgBB

Gejala Klinis Lebih aktif, nafas meningkat Kuping melipat, nafas cepat, kejang-kejang Kejang-kejang, mati (otot kaku, ekstremitas dan

b. Pentothal Striknin

vs 0.05 ml 0.1 ml 0.2 ml 0.5-1.2 mg/kgBB

a. Cardiazol Pentothal

vs 0.05 ml

0.1 ml 0.2 ml 30-40 mg/kgBB 0.05 ml 0.1 ml 0.2 ml

b. Pentothal Cardiazol

vs

0.4 ml 0.1/10gram BB 3 a. Kafein Pentothal vs 0.05 ml 0.1 ml 0.2 ml 0.4 ml 30-40 vs mg/kgBB 0.05 ml 0.1 ml 0.2 ml 0.4 ml 22 mg/kgBB

b. Pentothal Kafein

ekor lurus kaku, punggung melengkung) Penurunan denyut jantung, defekasi, hipersalivasi Telinga keatas, menggaruk-garuk, hipersalivasi Aktifitas menurun, sensitifitas bekurang Otot berkontraksi terusmenerus, kifosis, respirasi cepat, mati (otot lemas) Respirasi dan denyut jantung meningkat, telinga melipat, rambut berdiri, salvias, loncatloncat, menunduk Gejala pada pemberian 0.05 ml semakin terlihat jelas Gejala awal tetap, hipersalivasi, kejangkejang Penurunan gejala klinis, nafas menurun Tidak terjadi perubahan Respirasi menurun, urinasi, defekasi, dan hipersalivasi Respirasi dan denyut jantung menurun, lemas, abdomen menyentuh meja Masih ada reflex sakit Tidak ada reflex lagi tapi masih hidup Diare, hipersalivasi Lakrimasi, urinasi, respirasi meningkat Sesak nafas Sesak nafas Lebih tenang Hipersalivasi, aktivitas berkurang Lemas, denyut jantung menurun Inkoordinasi, makin lemas Kifosis, telinga tegang Peningkatan denyut jantung dan respirasi

a. Histamin Epinefrin

vs

0.1 ml/100grBB 0.1 ml/100grBB 0.1 ml/100grBB

b. Epinefrin Histamin

vs

a. Pentothal Epinefrin

vs

b. Epinefrin Pentothal

vs

a. Ketamin vs Xylazin/Pentot hal b. Xylazin/Pentot hal vs Ketamin

0.1 ml/100grBB 0.05 ml, 0.1 Gejala tidak terlalu ml, 0.2 ml terlihat, lemas 0.4 ml Posisi tubuh rebah, tidak seimbang, eksitasi 0.1 Gejala klinis mulai ml/100grBB berkurang 0.05 ml Tidak terlihat 0.1 ml Respirasi dan denyut jantung cepat, pucat, kifosis, rambut berdiri 0.1 Mati dalam keadaan kaku ml/100grBB 100 mg/kgBB Respirasi cepat, lemas, spasmus otot, keseimbangan berkurang 0.1 ml/100grBB Nafas dan denyut jantung mulai lambat, otot relaksasi 0.05 ml, 0.1 Tidak terlihat ml Respirasi lambat, 0.2 ml keseimbangan berkurang, spasmus otot 100 mg/kgBB Spasmus otot hilang

Hipersalivasi, respirasi dan frekuensi jantung menurun, biduran di kaki, diare, dysnoe Peningkatan respirasi dan frekuensi jantung Salvias, rambut berdiri, ekstremitas pucat, terjadi penurunan respirasi dan jantung (dari 140/menit menjadi 56/mnt) Rambut rebah kembali, respirasi, jantung, dan ekstremitas kembali normal

PEMBAHASAN Pemberian striknin 0,5-1,2 mg/kgBB subkutan kepada mencit secara bertingkat menimbulkan efek kejang-kejang, telinga melipat, otot-otot mencit mengalami kontraksi sehingga pemberian penthotal 30-40 mg/kgBB diharapkan dapat merelaksasikan otot-otot mencit, dan menghentikan kejang-kejang yang terjadi. Striknin bekerja pada medulla spinalis mempengaruhi kinerja jantung dan pernafasan tetapi tidak mempengaruhi efek kesadaran di otak sedangkan penthothal memiliki efek anastetik terhadap kesadaran mencit dan memiliki

kemampuan untuk merelaksasikan otot-otot mencit yang kejang akibat striknin. Pemberian penthotal 30-40 mg/kgBB intraperitonial kepada mencit secara bertingkat menimbulkan efek hipersalivasi dan defekasi, mencit mengalami kejang-kejang kemudian mati dengan otot lemas setelah pemberian striknin 0,5-1,2 mg/kgBB dosis tunggal sebagai antidota. Padahal striknin tidak bekerja untuk mengaktifkan kesadaran mencit yang telah didepres oleh aktivitas penthotal dalam tubuh, sehingga aktifitas otot mencit kembali meningkat dan kembali normal namun akhirnya mencit mati akibat kesadarannya tidak pulih oleh antidota striknin. Sehingga striknin tidak dapat dijadikan antidota bagi penthotal atau obat-obatan yang bersifat mendepres sistem kesadaran. Percobaan kedua adalah interaksi antara cardiazol dengan penthotal. Cardiazol adalah obat yang merupakan GABA antagonis. GABA antagonis menghambat kerja dari reseptor GABA. Sehingga akan menimbulkan efek konfulsan dan digunakan sebagai antidota akibat overdosis dari obat sedativ. Cardiazol memiliki efek meningkatkan frekuensi nafas dan denyut jantung. Pada perobaan dilakukan penyuntikan cardiazol secara bertingkat dimulai dengan dosis 0.05 ml dengan jeda waktu penyuntikan pertama dengan kedua adalah lima menit. Hasil yang diperoleh menunjukkan peningkatan frekuensi nafas yaitu dimulai dari 110, 138, 138. Selain frekuensi nafas, frekuensi denyut jantung juga meningkat, dimulai dari 146 pada penyuntikan pertama, 148 dan 150 kali per menit. Gejala yang terlihat yaitu tikus aktif, loncat-loncat. Hal tersebut merupakan efek konvulsan dari cardiazol yang menyebabkan tikus menjadi lebih aktif. Selain itu juga cardiazol menyebabkan terjadinya hipersalivasi. Setelah terlihat efek keracuanan pada mencit dilakukan penyuntikan penthotal. Setelah dilakukan penyuntikan terjadi penuruan frekuensi nafas dan gejala klinis. Hal ini disebabkan karena penthotal bekerja pada GABA reseptor. Salah satu efek dari penthotal adalah sebagai antikonvulsan sehingga gejala klinis yang tampak berkurang. Selanjutnya adalah pengujian interaksi kafein dengan penthotal atau sebaliknya. Penthotal juga dikenal sebagai sodium thiopental yang merupakan general anastetik dari golongan barbiturat. Barbiturat merupakan obat yang bekerja pada CNS sebagai depresan. Efek dari depresan yaitu terlihat pada penurunan frekuensi nafas dan denyut jantung pada tikus. Pada dosis penyuntikan penthotal 0.4 ml refleks tikus ada tetapi hanya sedikit. Pada dosis-dosis awal refleks dari tikus masih ada. Hal itu dikarenakan penthotal memiliki spektrum yang luas dimulai dari sedasi ringan sampai anastesi. Setelah terlihat gejala toksik pada tikus, kemudian disuntikkan cardiazol. Cardiazol yang bekerja sebagai antagonis GABA diharapkan mampu mmemblok efek penthotal pada rseptor GABA. Hasil yang didapatkan tikus tetap bertahan hidup, tetapi refleksnya tidak ada lagi. Hal ini dimungkinkan karena masih adanya efek dari penthotal pada tubuh tikus, karea belum sempat dimetabolisme oleh tubuh.

Kafein merupakan turunan dari xantin. Kafein memiliki kerja yang relative cepat, bekerja di susunan saraf pusaf yaitu korteks cerebri. Pada dosis yang tinggi kafein dapat mempengaruhi pusat vasomotor dan pusat pernapasan. Selain itu, kafein juga memiliki efek pada metabolism yaitu merangsang glikogenolisis dan lipolisis. Pada uji toksisistas akut yang dilakukan di mencit menggunakan kafein menunjukkan gejala diare, hipersaliasi, lakrimasi, sesak nafas , dan urinasi. Dosis yang digunakan bertingkat dimulai dari (0.05, 0.1, 0.2, 0.4, 0.8)ml dan pemberianya melalui intraperitoneal. Hewan coba ( mencit) yang digunakan adalah 2 ekor. Mencit 1 yang diberikan perlakuan penyuntikan kafein dengan dosis yang bertingkat lalu diberikan anti dotanya yaitu penthotal. Pada penyuntikan dosis 0.005ml mencit mengalami diare, dengan frekuensi nafas 125 kali/menit dan frekuensi denyut jantung 200 kali/menit. Hal ini disebabkan oleh pengaruh sisitem saraf parasimpatis yang bekerja di otot polos. 5 menit kemudian dilanjutkan dengan penyuntikan cafein dengan dosis 0.1 ml gejala klinis yang timbul pada mencit adalah hipersaliasi, sesak nafas, dan urinasi disertai dengan peningkatan frekuensi pernapasan yaitu 172 kali/menit dan frekuensi denyut jantung menjadi 212 kali /mennit. Sesak nafas (dispnoe) disebabkan oleh kafein pada dosis yang tinggi bekerja menekan pusat pernafasan di medulla oblongata, sedangkan urinasi disebabkan oleh peningkatan frekuensi denyut jantung yang mengakibatkan peningkatan laju filtrasi glomerulus sehingga miksi terjadi. Selanjutnya penyuntikan kafein pada dosis 0.2ml menyebabkan peningkatan frekuensi nafas menjadi 175ml, dan frekuensi denyut janttung menjadi 220 kali/menit. Peningkatan frekuensi nafas dan denyut jantung ini sudah mencapai ambabg toksik bagi tubuh mencit sehingga tubuh mencit tidak mampu lagi mengkompensasi metabolism tubuh yang terganggu akibata kafein yang pada akhirnya mencit mati sebelum pemberian penthotal. Mencit pada perlakuan ini diberi histamin dengan dosis 0.03 ml. Frekuensi nafas sebelum penyuntikan histamin adalah 148 kali permenit dan frekuensi jantung 164 kali permenit. Menit ke-4 terjadi peningkatan frekuensi nafas dan penurunan frekuensi jantung. Hal ini terjadi karena histamin jika berikatan dengan reseptor H1 akan mengakibatkan vasodilatasi dan bronkokonstriksi, sehingga akan meningkatkan frekuensi nafas dan menurunkan frekuensi jantung. Selanjutnya pada menit ke-8 sampai menit ke-12 frekuensi nafas terus menurun, dan frekuensi jantung juga turun menjadi 124 kali permenit. Efek dari histamin mulai tidak terlihat sejak menit ke-16, dimana frekuensi nafas telah menjadi 144 kali permenit dan frekuensi jantung 100 kali permenit. Efek dari histamin benar-benar hilang pada menit ke-20 yaitu ditandai dengan meningkatnya frekuensi nafas menjadi 156 kali permenit dan frekuensi jantung menjadi 180 kali permenit. Reseptor H1 berada di jaringan otot, endothelium, dan sistem saraf pusat. Epinefrin mempunyai target yaitu sel saraf dari semua reseptor simpatis. Sebelum disuntik dengan epinefrin frekuensi nafas mencit yaitu 120 kali/menit, sedangkan frekuensi jantungnya 140 kali permenit. Epinefrin mempunyai efek berupa peningkatan frekuensi

jantung dan nafas. Pada menit ke-1 post injeksi, mencit mengalami hypersalivasi, bulunya berdiri dan ekstremitas pucat. Menit ke-5 terjadi penurunan frekuensi jantung menjadi 56 dan ferkuensi nafas menjadi 96 kali permenit. Hal ini terjadi karena onset epinefrin tidak teramati. Pada menit ke-7 dilakukan pemberia histamin sebagai antidota sebanyak 0.02 ml. Selanjutnya pada menit ke-10 frekuensi nafas dan jantung kembali ke kondisi fisiologis yaitu 120 dan 124 kali permenit dengan gambaran klinis berupa penurunan rambut, dan ektermitas kembali seperti semula. Hal ini menandakan bahwa histamin dapat dipakai sebagai antidota terhadap epinefrin, karena mempuyai titik tangkap kerja yang sama yaitu sistem saraf pusat. Dalam praktikum terlihat timbul gejala berupa frekuensi nafas dan jantung yang semakin cepat, mukosa menjadi pucat, kifosis, melompat, dan rambut berdiri Setelah pemberian adrenalin. Pada dosis kecil adrenalin mengkonstriksi pembuluh darah kulit, mukosa, dan organ dalam, namun pada dosis besar akan mendilatasi pembuluh darah otot skelet dan jantung. Pasokan darah ke ginjal akan berkurang karena menciutnya vasa efferentia, akan tetapi filtrat glomerulus tetap tidak berkurang, karena vasa afferentia hampir tidak dipengaruhi. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, Tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek Pada pemberian penthotal timbul gejala tubuh yang merebah, sempoyongan, eksitasi dan lemas. Hal ini disebabkan oleh kerja penthotal yang menurunkan sensitivitas motor and plate terhadap Ach sehingga menyebabkan relaksasi otot-otot skelet. Efek samping terpenting adalah depresi pernafasan, terutama pada injeksi yang terlampau cepat dan dosis berlebihan. Zat ini tidak dapat digunakan pada insufisiensi sirkulasi, jantung atau hipertensi. Penthotal juga menyebabkan sering menguap, batuk dan kejang larynx pada taraf awal anasthesi. Pentothal tidak dapat dijadikan sebagai antidota terhadap adrenalin begitu juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena masingmasing senyawa tersebut memiliki reseptor yang berbeda sehingga tidak akan mempengaruhi kerja dari salah satu senyawa. Adrenalin bekerja meningkatkan perifer resistensi melalui resepetor 1adrenoreceptor vasokonstriksi sehingga darah dapat diteruskan ke tubuh , dan respon 1-adrenoceptor. Percobaan yang terakhir adalah interaksi ketamin dengan penthotal. Ketamin merupakan obat yang digunakan pada ilmu kesehatan manusia dan hewan yang dikembangkan oleh Parke-Davis (Pfizer) tahun 1962. Ketamin dapat menimbulkan menjadi analgesia,

anastesia, menimbulkan halusinasi, meningkatkan tekanan darah, bronkodilatasi namun terkadang dapat menstimulasi frekuensi nafas. Ketamin mempunyai beberapa kerugian diantaranya dapat menimbulkan kekejangan pada saat pemulihan yang dapat menyebabkan kematian (Hall and Clarke, 1983). Penggunaan ketamin secara tunggal tidak mampu merelaksasi otot rangka dengan baik, dan sering menimbulkan konvulsi. Untuk menghilangkan efek samping ini dapat digunakan diazepam, acepromasin, xylazin, thiobarbiturat (Lumb and Wyn, 1984). Pengaruh ketamin HCL pada berbagai organ tubuh adalah sebagai berikut: pada pernafasan dan secara klinis dimanifestasikan dalam bentuk frekuensi nafas. Terhadap sistem kardiovaskuler, pemberian ketamin HCL secara intravena maupun secara intravaskuler akan menaikkan tekanan darah arterial dan kenaikkan ini kadang kala membahayakan (Haskin et all., 1986). Pada semua hewan ketamine, dengan pemberian tunggal bukan obat anastesi yang baik, karena obat ini tidak merelaksasi muskulus dan bahkan kadang-kadang tonus sedikit meningkat. Pada percobaan induksi ketamin didapatkan hasil perubahan secara fisik yaitu respirasi cepat, lemas, spasmus otot, keseimbangan berkurang. Berdasarkan hasil yang didapat, gejala yang ditimbulkan oleh ketamin sesuai dengan literatur. Sedangkan ketika diberi pentothal, mencit mengalami perubahan yang berbalik arah yaitu nafas dan denyut jantung mulai lambat, otot relaksasi. PentHotal menimbulkan sedasi, hypnosis (tertidur), dan depresi pernapasan, tergantung dosis dan kecepatan pemberian. Efek analgesia sedikit dan terhadap SSP terlihat adanya depresi dan kesadarannya menurut secara progresif. Efek utama pada pernapasan adalah depresi pusat pernapasan, tergantung besar dosis, dan kecepatan injeksi. Berdasarkan gejala yang terjadi terlihat bahwa penthotal merupakan antidota dari ketamin, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, kemungkinan besar kedua obat tersebut hanya mengobati simptomnya saja, bukan sebagai antidota langsung karena kedua obat tersebut memiliki reseptor yang berbeda. Ketamin akan berikatan dengan reseptor N-methyl d-aspartate, reseptor opioid dan reseptor sigma. Sedangkan pentothal bereseptor pada GABAA receptor di otak dan medulla spinalis. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan praktikum yang dilakukan membuktikan bahwa tidak semua jenis obat dapat berinteraksi (antagonis atau sinergis) dan menjadi antidota obat yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan titik tangkap kerja obat dan onset yang berbeda dari setiap obat. Interaksi dari dua atau lebih obat yang berbeda dapat menimbulkan gejala klinis yang bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA Aghe. 2009. Cara Kerja Pentohal. http://one.indoskripsi.com/judulskripsi-makalah-tentang/cara-kerja-pentotal. [9 Desember 2009]. Hall, L. W dan Clark, K. W. 1983. Veterinary Anastesia 8th (ed). The English Language. Book Society and Baillere Tindall. London. Haskin, S.C.; Parz, J.D dan Farver, T.B. 1996. Xylazine and Ketamine in Prog, Am.J, Vet-Res, 47, pp 636-640. Lumb, B.W. and Wynn, E.j. 1984. Veterinary Anasthesia. 2nd Ed. Lea and Febiger. Philadelphia.

You might also like