You are on page 1of 129

VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG

KAWASAN KONSERVASI LAUT KEPULAUAN SERIBU

INTAN ADHI PERDANA PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Valuasi Ekonomi Kawasan


Konservasi Laut Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2009

Intan Adhi Perdana Putri


NRP H352060041
ABSTRACT

INTAN ADHI PERDANA PUTRI. Economic Valuation of Coral Reefs in the Seribu
Islands Marine Protected Area. Under direction of AKHMAD FAUZI and
ZUZY ANNA.

Seribu Islands National Park (TNKpS) is a Marine Protected Area (MPA)


which protects a number of the ecosystem such as coral reef, mangrove,
seagrass and so on. Coral reefs is one of the most important ecosystems in this
area which provides various benefits such as goods and services. These benefits
are of high value and critical importance to the local economies in Seribu islands.
These value were frequently overlooked or underappreciated by the local
communities. In other words, the coral reefs ecosystem true value is still
undervalued by the local communities. As a consequence the degradation and
many other environmental damages were occurred. Economic valuation is an
instrument that can be used to assess how much the communities appreciate
goods and services from the ecosystem by giving ‘price tag’ and compared with
its ecosystem true value. The main purpose of this research was to assess coral
reef’s economic value which consist of use value and non use value. The use
values derived from fisheries and tourism, meanwhile the non use values were
derived from enviromental protection value and option value. The economic
values were assessed using several approaches, namely change in productivity
method, market prices, CVM, and Von Neumann-Morgenstern (option price). The
results of the study showed that use value of tourism and fishery was 106.49
billion rupiah, and non-use value, included environmental protection value and
option value, was 316.85 billion rupiah. Hence, the total economic value was
423.34 billion rupiah for total area 4,397.06 hectare or 96.28 million rupiah per
hectare per year. However, the estimation for long-term (50 years) economic
value in terms of Present Value (PV) to the local population will be much higher
than the existing value. The estimated value will be of 5,162.23 billion rupiah on
average or 1.18 billion rupiah per hectare. To secure these values, There are
several policies can be implemented, such as increasing public awareness, rent-
capture mechanism, institutional mechanism, ‘localized economic scale’ policy,
and knowledge-based economic strenghtening.

Keywords : economic value, coral reefs, CVM, option value, von Neumann-
Morgenstern.
RINGKASAN

INTAN ADHI PERDANA PUTRI. Valuasi Ekonomi Terumbu Karang Kawasan


Konservasi Laut Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan
ZUZY ANNA.

Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan suatu kawasan konservasi


laut yang melindungi beberapa ekosistem seperti terumbu karang,
mangrove,padang lamun dsb. Salah satu ekosistem yang penting di kawasan ini
adalah terumbu karang yang menyediakan berbagai macam manfaat seperti
goods barang dan jasa yang mana memiliki nilai yang tinggi dan penting bagi
masyarakat Kepulauan Seribu. Nilai yang terdapat pada ekosistem terumbu
karang seringkali diabaikan dan dinilai rendah oleh masyarakat lokal. Dengan
kata lain masyarakat Kepulauan Seribu masih undervalue terhadap nilai
sesungguhnya yang dihasilkan ekosistem terumbu karang. Akibatnya adalah
terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang dan kerusakan lingkungan
lainnya. Valuasi ekonomi merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk
mengukur seberapa besar apresiasi masyarakat memberikan price tag terhadap
layanan barang dan jasa dari ekosistem tersebut dibandingkan dengan nilai
seutuhnya dari ekosistem tersebut. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui kondisi pemanfaatan
dan persepsi masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang; 2) Mengetahui
nilai pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang berasal dari sektor perikanan
dan pariwisata; 3) Mengetahui nilai non pemanfaatan ekosistem terumbu karang
berupa nilai proteksi terumbu karang dan nilai pilihan (option value).
Terumbu karang memberikan manfaat baik manfaat yang bersifat
ekonomi maupun manfaat non ekonomi baik bagi masyarakat dan biota yang
ada di dalamnya. Manfaat ini ada yang bersifat tangible (terukur) maupun
intangible (tidak terukur). Manfaat yang dapat terukur biasanya digolongkan ke
dalam manfaat kegunaan (use value) baik yang dapat dikonsumsi maupun tidak
dikonsumsi. Sedangkan manfaat yang tidak terukur atau intangible digolongkan
ke dalam manfaat non kegunaan (non use value), manfaat ini lebih ke arah
pemeliharaan ekosistem terumbu karang dalam jangka panjang. Ketika
pemanfaatan terumbu karang terlalu berlebihan yang bersifat destruktif dan tidak
mengindahkan keberlanjutan dari ekosistem terumbu karang yang ada adalah
terjadinya degradasi terumbu karang. Penurunan kualitas ekosistem terumbu
karang akan menimbulkan gangguan terhadap terumbu karang itu sendiri,
kerusakan yang dapat dilihat dan dirasakan secara nyata adalah kerusakan fisik
terumbu karang, penurunan tutupan kawasan terumbu karang dan penurunan
jumlah pengunjung, atau gangguan lain yang tidak langsung terasa akibatnya
seperti pemanenan terumbu karang.
Gangguan terhadap terumbu karang ini kemudian akan menyebabkan
paling tidak empat hal yaitu terjadinya penurunan produktifitas perikanan (use
value), penurunan kawasan perlindungan pantai (non use value, option value),
penurunan nilai pariwisata (use value) dan bahkan terjadinya penurunan habitat
sumber daya alam yang lain (option value). Keseluruhan dampak ini kemudian
diukur dengan berbagai teknik, untuk penurunan produksi ikan karang
menggunakan pendekatan Change in Productivity, penurunan kawasan
perlindungan menggunakan teknik Option Price dan Contingent Valuation
Method (CVM), selanjutnya nilai rekreasi yang dilihat dari jumlah wisatawan
diukur menggunakan pendekatan market price, sedangkan untuk melihat nilai
habitat lain dapat dilihat dengan menggunakan Contingent Valuation Method
(CVM) dimana responden akan diberi pilihan apakah sanggup membayar atau
tidak agar ekosistem terumbu karang kualitasnya menjadi baik. Keempat
pendekatan ini digunakan untuk menghitung Total Economic Value (TEV) dari
terumbu karang. Luasan ekosistem terumbu karang yang dihitung untuk
mendapatkan TEV adalah 4.397,06 hektar yang berada di zona inti I, II dan III.
Hasil penelitian menunjukaan bahwa di kawasan konservasi kepulauan
seribu, kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan ekosistem terumbu karang
adalah perikanan dan pariwisata. Kegiatan perikanan yang berhubungan dengan
terumbu karang diantaranya penangkapan ikan konsumsi dengan menggunakan
alat tangkap muroami, bubu dan pancing, dan penangkapan ikan hias. Kegiatan
ekonomi lainnya adalah pariwisata. Kawasan ini dengan suasana eksotis, pulau-
pulau kecil yang dikelilingi oleh ekosistem terumbu karang yang indah
merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Wisatawan yang berkunjung ke
kawasan ini berdasarkan survey biasanya melakukan kegiatan berupa diving,
snorkling, memancing atau hanya berenang dan bermain di pantai.
Nilai pemanfaatan yang didapatkan dari kegiatan perikanan adalah
sebesar Rp. 9.252.667.729,04 yang berasal dari perikanan tangkap yaitu
sebesar Rp. 7.768.088.580,93 dan penangkapan ikan hias sebesar
Rp. 1.484.579.148,10. Nilai pemanfaatan yang berasal dari kegiatan pariwisata
adalah sebesar Rp. 97.241.142.846,00. Nilai ini terdiri dari nilai langsung yaitu
pengeluaran wisatawan selama berada di kawasan konservasi dan juga nilai
tidak langsung berupa multiplier effect yang berasal dari pengeluaran untuk
makanan dan gaji pegawai. Total nilai pemanfaatan yang berasal dari kegiatan
perikanan dan pariwisata adalah sebesar Rp. 106.493.810.575,04,85 nilai ini 1 %
dari total PAD DKI Jakarta dan nilai ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan
PAD Kepulauan Seribu yang hanya 1,5 milyar, artinya pengelolaan kawasan
konservasi ini bernilai (worth it) karena memberikan manfaat yang begitu besar
kepada masyarakatnya.
Nilai non pemanfaatan berupa nilai keberadaan terumbu karang sebagai
proteksi kawasan pesisir diperoleh dari WTP masyarakat kawasan konservasi
laut TNKpS. WTP individu perkapita adalah sebesar Rp. 49.044,00. Nilai proteksi
terumbu karang didapatkan dengan mengagregasi nilai tersebut dengan jumlah
penduduk yaitu sebesar Rp. 541.005.661,00. Analisis selanjutnya yaitu analisis
WTP melalui pendekatan regresi LIMDEP dengan model LOGIT. Berdasarkan
analisis tersebut variabel pendidikan dan pendapatan berpengaruh secara
signifikan pada taraf nyata 10 %. Selanjutnya untuk menguji hipotesis nul apakah
semua variabel sosial ekonomi secara bersama-sama tidak mempengaruhi
variabel keputusan membayar maka digunakan uji statistik Likelihood Ratio (LR).
Nilai LR mengikuti distribusi chi square (X2), dari hasil estimasi didapatkan nilai
LR sebesar 13,02, sedangkan nilai tabel X2 pada selang kepercayaan 95%
adalah sebesar 0,2. Karena nilai hitung lebih besar daripada nilai kritis maka kita
menolak H0, artinya semua variabel sosial ekonomi (umur, pengalaman,
pendidikan, dan pendapatan) sebagai variabel penjelas secara bersama-sama
mempengaruhi keputusan responden untuk membayar atau tidak yang
merupakan variabel independen.
Nilai non pemanfaatan berupa nilai pilihan (option value) diperoleh
dengan menggunakan model von neumann-morgenstern. Metode ini
memasukan unsur ketidakpastian, dan unsur ketidakpastian yang dimasukan
dalam penelitian ini adalah produksi perikanan yang mengalami fluktuasi yang
mempengaruhi pendapatan nelayan dalam menangkap ikan baik di dalam
maupun di luar Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu sehingga akan
diperoleh nilai pilihan. Nilai pilihan yang diperoleh adalah sebesar
Rp.316.305.109.100,00. Nilai tersebut merupakan nilai pilihan atau opsi, apabila
kawasan TNKpS tidak ada maka nelayan yang tinggal di kawasan ini akan
kehilangan produktifitas sebesar setara dengan nilai moneter yaitu Rp.316,31
milyar setiap tahunnya.
Nilai ekonomi total yang berasal dari nilai pemanfaatan (perikanan dan
pariwisata) dan nilai non pemanfaatan (nilai proteksi terumbu karang dan nilai
pilihan) adalah sebesar Rp. 423.339.925.336,04 per tahun untuk luasan 4.397,06
hektar atau Rp. 96.277.950,57 per hektar per tahun. Sumber daya terumbu
karang di kawasan konservasi laut TNKpS merupakan natural capital dimana
akan memberikan konstribusi terhadap perekonomian dan kesejahteraan
masyarakatnya. Oleh karena itu nilai ekonomi total tersebut perlu dihitung long
run capitalized selama 50 tahun, karena 50 tahun merupakan waktu yang
diperlukan terumbu karang untuk tumbuh akibat adanya kerusakan (peledakan)
untuk bisa mengembalikan 50% dari kondisi semula dan bisa berproduksi lagi
(Burke et al 2002). Perhitungan manfaat ekonomi dalam periode waktu tertentu,
maka perlu digambarkan stream benefit, yaitu penjumlahan nilai rupiah masa
mendatang dinilai dengan waktu kini (present value/PV) dalam kurun waktu 50
tahun. PV diperoleh dengan menggunakan interest rate sebesar 8,75% yaitu
sebesar 5,19 trilyun rupiah atau 1,18 milyar per hektar.
Beberapa kebijakan yang bisa diimplementasikan diantaranya adalah:
pertama, meningkatkan public awareness mengenai pentingnya terumbu karang
secara ekonomi dan sosial di kawasan konservasi laut TNKpS. Kedua,
melakukan mekanisme rent capture untuk ‘menangkap’ nilai ekonomi yang
potensial dari kawasan KKL baik melalui instrumen ekonomi seperti melalui
kebijakan fiskal, user fee, entry fee maupun instrumen pengelolaan lain yang
disepakati bersama masyarakat antara masyarakat lokal dengan pengelola
kawasan konservasi dalam hal ini Balai TNKpS. Ketiga, untuk mengelola
kawasan konservasi laut diperlukan mekanisme institusi yang disisi lain dapat
mengakomodasi fungsi konservasi, namun di sisi lain masyarakat lokal dapat
memperoleh manfaat ekonomi dari kawasan tersebut. Keempat, Mekanisme
pengenalan atau familiarity dengan cara mengenalkan masyarakat dengan opsi-
opsi ekstrem yaitu jika ekosistem terumbu karang rusak melalui tayangan visual
(pamflet, billboard, poster dan lain sebagainya) diharapkan akan membantu
meningkatkan bid WTP masyarakat terhadap ekosistem tersebut. Kelima,
kebijakan “localized economic scale” yaitu mengembangkan ekonomi lokal yang
berbasis sumber daya terumbu karang perlu dilakukan. Keenam, kebijakan
pengembangan ekonomi lokal yang berbasis sumber daya terumbu karang akan
efektif jika bersama-sama dilakukan dengan program pengentasan kemiskinan
bagi masyarakat lokal melalui penguatan kapasitas ekonomi berbasis
pengetahuan (knowledge based economy) sehingga masyarakat bisa terlibat
aktif dalam kegiatan non-ekstraktif yang juga mampu meningkatkan pendapatan
mereka.

Kata Kunci : valuasi ekonomi, terumbu karang, CVM, nilai pilihan, von Neumann-
Morgenstern.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB
VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG
KAWASAN KONSERVASI LAUT KEPULAUAN SERIBU

INTAN ADHI PERDANA PUTRI

Tesis
Salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Judul Tesis : Valuasi Ekonomi Terumbu Karang Kawasan Konservasi Laut
Kepulauan Seribu
Nama : Intan Adhi Perdana Putri
NRP : H352060041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Dr. Zuzy Anna, M.Si
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana


Sumberdaya Kelautan Tropika

Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 20 Mei 2009 Tanggal Pengesahan :


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Valuasi
Ekonomi Terumbu Karang Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Seribu”. Tesis
ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada
Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menghaturkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling
dalam kepada Bapak Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc dan Dr. Zuzy Anna, M.Si
selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan selalu
memberikan semangat kepada penulis untuk selalu berusaha menjalankan dan
menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor dengan sebaik-baiknya.
Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu, terutama kepada Ir. Sahat Simanjutak, M.Sc, Prof. Dr. Ir. H.
Tridoyo Kusumastanto,MS selaku Ketua Program Studi ESK-IPB Dr. Ir. Achmad
Fahrudin, M.Si selaku penguji luar komisi, Dosen dan staf program studi ESK-
IPB, Departemen ESL. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
orang tua tercinta Aan Setiawan dan Siti Ati Rokayah, Adiku Zhein Adhi
Mahendra, serta seluruh teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2009

Intan Adhi Perdana Putri


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Desember 1981 sebagai


anak sulung dari pasangan Aan Setiawan dan Siti Ati Rokayah. Penulis
merupakan putri pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bandung dan pada tahun
yang sama penulis diterima pada Program Studi Manajemen Sumber Daya
Perikanan, Fakultas Pertanian UNPAD melalui UMPTN. Penulis mendapatkan
gelar Sarjana Perikanan pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis diterima di
Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika pada Program
Pascasarjana IPB.
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Valuasi
Ekonomi Terumbu Karang Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Seribu”. Tesis
ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada
Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Penulis menghaturkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling
dalam kepada Bapak Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc dan Dr. Zuzy Anna, M.Si
selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan selalu
memberikan semangat kepada penulis untuk selalu berusaha menjalankan dan
menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor dengan sebaik-baiknya.
Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu, terutama kepada :

1. Ir. Sahat Simanjutak, M.Sc, Dosen yang penulis hormati atas segala
ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
2. Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto,MS selaku Ketua Program Studi
ESK-IPB serta seluruh jajaran dosen dan staf program studi ESK
Departemen ESL atas bantuannya selama penulis bersekolah.
3. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku penguji luar komisi untuk saran
dan masukan untuk penyempurnaan Thesis ini.
4. Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) beserta staf
atas izin,bantuan, fasilitas dan kemudahan yang diberikan ketika
penulis melakukan penellitian di Kepulauan Seribu.
5. Orang tua tercinta dan yang saya hormati Aan Setiawan dan Siti Ati
Rokayah serta Adiku Zhein Adhi Mahendra untuk segala doa dan kasih
sayangnya.
6. Teman-teman penulis Pitri Yandri, Fazri, Kang Angki, Pak Asep,
Kusumasari, Andriani, Teh Imas, Khalid, Ferry, Mba Arti, teman-teman
kos wisma Riza dan Dewi Sartika atas bantuannya yang diberikan
kepada penulis.
7. Teman-teman ESK 2006 untuk kebersamaan yang dibangun selama
ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi masyarakat dan pemerintah yang berada di Taman
Nasional Kepulauan Seribu, dan juga bagi masyarakat pada umumnya.

Bogor, Mei 2009

Intan Adhi Perdana Putri


DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Tabel ................................................................................................... xii
Daftar Gambar ............................................................................................... xii
Daftar Lampiran ............................................................................................. xiv
I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 5
1.4 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 6
II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 9
2.1 Ekosistem Terumbu Karang ............................................................. 9
2.2 Kawasan Konservasi Laut ................................................................ 11
2.3 Konsep Nilai Ekonomi ...................................................................... 15
2.4 Valuasi Ekonomi ............................................................................... 20
2.5 Model Valuasi Ekonomi untuk Kawasan Konservasi Laut ............... 24
2.5.1 Perubahan Produktifitas .................................................................26
2.5.2 Market Price ................................................................................... 27
2.5.3 Von Neumann – Morgenstern Utility (VNM) ................................... 27
2.5.4 Contingent Valuation Method (CVM) ............................................. 30
2.5.5 Analisis WTP Model Regresi dengan Respon Kualitatif ................ 32
III METODE PENELITIAN .......................................................................... 35
3.1 Metode Penelitian ............................................................................. 35
3.2 Jenis dan Sumber Data..................................................................... 35
3.3 Metode Pengambilan Data ............................................................... 36
3.4 Metode Analisis Data ........................................................................37
3.4.1 Valuasi Ekonomi ............................................................................ 37
3.4.2 Perubahan Produktifitas ................................................................ 37
3.4.3 Market Price .................................................................................. 39
3.4.4 Perhitungan Option Price dengan Metode Von Neumann-
Morgenstern................................................................................... 40
3.4.5 Willingness To Pay (WTP) .............................................................40
3.5 Pemetaan Penelitian ........................................................................ 41
3.6 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 42
IV KEADAAN UMUM WILAYAH KAWASAN KONSERVASI LAUT
KEPULAUAN SERIBU …........................................................................ 44
4.1 Keadaan Umum Wilayah Studi ......................................................... 44
4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Konservasi
Kepulauan Seribu ......................................................................... 44
4.1.2 Topografi, Iklim dan Keadaan Angin ............................................ 46
4.1.3 Oseanografi .................................................................................. 47
4.2 Kondisi Sosio – Demografi ............................................................... 48
4.3 Kegiatan Ekonomi ............................................................................ 52
4.4 Ekosistem (Habitat) …....................................................................... 54
4.4.1 Terumbu Karang ...........................................................................54
4.4.2 Padang Lamun ............................................................................. 55
4.4.3 Mangrove ......................................................................................56
V HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................57
5.1 Karakteristik Responden .................................................................. 57
5.2 Presepsi Respoden terhadap Ekosistem Terumbu Karang ............. 61
5.3 Analisis Valuasi Ekonomi Nilai Pemanfaatan .................................. 63

x
5.3.1 Valuasi Perikanan yang Berasosiasi dengan Terumbu Karang ... 63
5.3.2 Valuasi Pariwisata yang Berasosiasi dengan Terumbu Karang ... 67
5.4 Analisis Valuasi Ekonomi Nilai Non Pemanfaatan ........................... 68
5.4.1 Analisis Kualitatif Willingness To Pay (WTP) ............................... 68
5.4.2 Analisis WTP melalui Limdep Model ............................................ 70
5.4.3 Analisis Nilai Pilihan (Option Value) ............................................. 72
5.4.4 Nilai Ekonomi Pemanfaatan dan Non Pemanfaatan .................... 75
5.4.5 Nilai Ekonomi Total Terumbu Karang di Kawasan TNKpS .......... 77
5.5 Implikasi Kebijakan ........................................................................... 79
VI KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 82
6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 82
6.2 Saran ................................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 84
LAMPIRAN ........................................................................................... 87

xi
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Barang dan Jasa Ekosistem Terumbu Karang ........................................ 11
2 Jenis - Jenis Nilai Ekonomi KKL .............................................................. 14
3 Keadaan Demografi di Kawasan TNKpS Tahun 2008 ............................ 49
4 Tingkat Pendidikan Formal di Kawasan TNKpS tahun 2006 ................... 49
5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Kawasan
6 TNKpS Tahun 2006 ................................................................................. 50
Sarana Penangkapan Ikan di Kawasan TNKpS tahun 2006 ................... 51
7 Jenis alat penangkapan ikan di Kawasan TNKpS tahun 2006 ................ 51
8 Jumlah Wisatawan di Kepulauan Seribu Tahun 1995-2006 .................... 52
9 Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Pancing ............................. 57
10 Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Bubu .................................. 58
11 Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Muroami ............................ 59
12 Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Payang .............................. 60
13 Nilai Pemanfaatan yang berasal dari Perikanan ...................................... 66
14 Hasil Regresi Willingness To Pay: Model Logit ....................................... 71
15 Kemungkinan Harga Pilihan .................................................................... 73
16 Nilai Pemanfaatan dan Non Pemanfaatan Kawasan TNKpS .................. 76
17 Nilai Ekonomi Terumbu Karang di berbagai Lokasi ................................. 76

xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran Penelitian................................................................. 8
2 Prinsip Spill Over dari KKL ……............................................................... 13
3 Consumer surplus dan producer surplus.................................................. 21
4 Tipologi Nilai Ekonomi Total (TEV) .......................................................... 23
5 Prinsip Manfaat Ekonomi MPA ................................................................ 24
6 High WTP dan Low WTP ........................................................................ 29
7 Teknik Pendekatan Perhitungan Nilai Ekonomi Total ….......................... 37
8 Pemetaan Proses Penelitian ………..................................................... 43
9 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung Ke Lokasi Wisata di Kepulauan
Seribu Tahun 1995-2006 ........................................................................ 53
10 Persepsi Responden Mengenai Terumbu Karang dibandingkan 5 tahun
yang lalu ...................................................................................................62
11 Produktifitas Alat Tangkap Muroami ........................................................ 64
12 Produktifitas Alat Tangkap Pancing ......................................................... 64
13 Produktifitas Alat Tangkap Bubu ..............................................................65
14 Grafik WTP Responden ........................................................................... 69

xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta Lokasi Penelitian ............................................................................. 89
2 Kuesioner Penelitian................................................................................. 90
3 Pandangan Masyarakat Kawasan TNKpS terhadap Sumber Daya
Terumbu Karang ……………………......................................................... 94
4 Produktifitas Alat Tangkap ....................................................................... 96
5 Tabulasi Data Responden ....................................................................... 98
6 Deskriptif Kualitatif Responden Nelayan dan Non Nelayan ..................... 103
7 Analisis Logit ............................................................................................ 105
8 Analisis Option Price dengan menggunakan Von Neumann
Morgernstern ............................................................................................106
9 BI Rate 1 Tahun Terakhir .........................................................................107
10 Present Value Terumbu Karang .............................................................. 108
11 Dokumentasi Penelitian ........................................................................... 110

xiv
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kawasan konservasi laut atau Marine Protected Area (MPA) merupakan
salah satu bentuk pengelolaan yang menjadi perhatian dunia, karena MPA
dipercaya dapat menyelesaikan masalah perikanan, terutama masalah
berkurangnya stok ikan karena overfishing dan terdegradasinya lingkungan
tempat ikan berkembang biak. MPA didesain untuk melindungi keanakeragaman
hayati laut sehingga dapat memberikan kontribusi ekonomi seperti perikanan dan
pariwisata (Fauzi 2007). Indonesia memiliki 40 kawasan konservasi laut yang
tersebar di perairan laut dari Sabang sampai Merauke, salah satu lokasi MPA
yang cukup menjadi perhatian adalah Kawasan Konservasi Laut yang berada di
Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS). Kawasan konservasi laut di TNKpS
melilndungi ekosistem perairan seperti sumber daya ikan, terumbu karang,
mangrove dan lamun sebagai tempat ikan mencari makan, bertelur dan
berkembang biak.

Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya yang memegang


peranan penting di kawasan ini, karena terumbu karang memiliki manfaat
sebagai habitat bagi ikan konsumsi yang bernilai tinggi, magnet untuk sektor
pariwisata, melindungi daerah pesisir dari ombak, mengurangi intrusi air laut ke
daratan dan juga mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh badai dan angin
topan (Burke et al. 2008). Kondisi saat ini menunjukkan bahwa terumbu karang di
kawasan TNKpS mengalami dan menghadapi degradasi yang disebabkan oleh
fenomena alam seperti perubahan iklim (climate change) dan juga diakibatkan
juga oleh kegiatan yang berasal dari aktivitas manusia, seperti penangkapan ikan
yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan (peracunan, peledakan dan
alat tangkap yang merusak terumbu karang), penambangan terumbu karang,
pencemaran yang berasal dari daratan (land-based pollution) dan lain
sebagainya.

Kerusakan ekosistem seperti terumbu karang merupakan salah satu


indikasi rendahnya apresiasi masyarakat terhadap layanan dan jasa dari suatu
ekosistem. Dengan kata lain, masyarakat masih ‘undervalue’ terhadap nilai
sesungguhnya yang dihasilkan ekosistem terumbu karang. Akibatnya adalah
2

terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan lainnya. Valuasi ekonomi


merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur seberapa besar
apresiasi masyarakat memberikan price tag terhadap layanan barang dan jasa
dari ekosistem terumbu karang dibandingkan dengan nilai seutuhnya dari
ekosistem tersebut.

1.2 Perumusan Masalah


Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu/ TNKpS (Lampiran 1)
merupakan suatu kawasan konservasi laut yang di dalamnya dibagi beberapa
zona untuk melindungi ekosistem seperti terumbu karang, mangrove, padang
lamun, dan lain sebagainya. Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu
ekosistem dengan produktifitas tinggi, memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi dan juga merupakan tempat yang disukai komunitas biotik untuk
berkembang biak, mencari makan dan lain-lain. Ekosistem terumbu karang di
kawasan ini dillindungi di zona inti dimana pada zona ini tidak boleh ada aktivitas
apapun dan luasan total zona inti ini adalah sebesar 4.397,06 hektar. Kawasan
ini memiliki jenis karang yang beranekaragam, terdapat 267 jenis karang yang
memberikan manfaat baik terhadap ekosistem yang berasosiasi dengan terumbu
karang maupun bagi kehidupan manusia. Walaupun kawasan ini merupakan
kawasan perlindungan (protected area), dimana input dan output diatur dengan
menutup sebagian kawasan yaitu zona inti sebagai sebagai daerah perlindungan
yang memberikan dampak limpahan (spill over effect) bagi masyarakat sekitar,
namun deplesi dan degradasi terumbu karang di kawasan ini tetap tidak bisa
dihindari. Menurut Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS) (2008)
terumbu karang di kawasan ini sudah dalam kondisi rusak, dimana tutupan
terumbu karang rata-rata sebesar sebesar 36,48 % (4 % di zona pemukiman,
40 % di zona inti I dan II, dan 9,35 % di zona inti III).

Kerusakan terumbu karang terjadi di kawasan TNKpS diantaranya


disebabkan oleh (1) penangkapan ikan yang bersifat destruktif (destructive
fishing) seperti menggunakan bahan peledak dan menggunakan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan; (2) penangkapan ikan dengan pembiusan dan
menggunakan potasium atau sianida; (3) penambangan karang dan pasir laut
yang berlebihan untuk pembangunan rumah penduduk, resor dan bahkan untuk
bisnis; (4) limbah sampah organik dan non organik yang berasal dari daratan;
3

(5) kegiatan turisme dan pariwisata yang tidak mengindahkan lingkungan seperti
menginjak karang, mengambil karang dan lain sebagainya. Akibat dari kegiatan-
kegiatan tersebut biota-biota yang berasosiasi dengan terumbu karang seperti
ikan-ikan konsumsi, ikan hias, maupun endangered species kehilangan tempat
mencari makan (feeding ground), tempat bermain (nursery ground), dan tempat
memijah (spawning ground) yang mengarah pada degradasi sumber daya ikan
dan bahkan hilangnya spesies-spesies penting di kawasan ini.

Permintaan produk-produk perikanan yang meningkat seiring dengan


tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, juga
merupakan tekanan (pressure) bagi sumber daya laut tidak terkecuali sumber
daya terumbu karang yang ada di kawasan konservasi kepulauan seribu.
Konsekuensinya adalah peningkatan “quick yielding production” yaitu
mengeksploitasi sumber daya ikan secara tidak bertanggung jawab dan tidak
mengikuti kaidah-kaidah pemanfaatan sumber daya yang memperhatikan
kelestarian lingkungan dan berkelanjutan (Fauzi dan Anna 2005). Terlebih lagi
keadaan ekonomi masyarakat daerah pesisir yang bisa dikatakan miskin dengan
pendapatan perkapita yang jauh dibawah standar world bank juga memberikan
pressure terhadap sumber daya terumbu karang. Kenyataan juga menunjukkan
bahwa wilayah dengan kondisi kekayaan alam yang relatif tinggi ternyata
memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah (Fauzi dan Anna 2005). Tekanan
terhadap terumbu karang lainnya adalah kurangnya pengawasan (surveillance),
kondisi ini juga dikarenakan kurangnya sumber daya manusia, sarana dan
prasarana yang mendukung dalam membatasi pressure terhadap sumber daya
terumbu karang yang ada di TNKpS yang merupakan Kawasan Konservasi Laut
(Marine Protected Area).

Terumbu karang di Kawasan Konservasi Taman Nasional Kepulauan


Seribu memberikan manfaat kepada masyarakat maupun ekosistem lainnya.
Manfaat-manfaat tersebut sebagian merupakan manfaat langsung yang bisa
dihitung secara moneter, sebagian lagi merupakan manfaat tidak langsung yang
sering tidak bisa dikuantifikasi secara moneter. Namun demikian, secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa terumbu karang yang ada di kawasan
konservasi laut memiliki nilai ekonomi yang tinggi yang tidak hanya bersifat
terukur (tangible) namun juga manfaat ekonomi yang tidak terukur (intangible).
Manfaat yang terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat kegunaan baik
4

yang dikonsumsi maupun tidak, seperti perikanan dan pariwisata, sementara


manfaat yang tidak terukur berupa manfaat non-kegunaan yang lebih bersifat
pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang.

Metode valuasi ekonomi merupakan metode yang dapat digunakan dalam


menghitung manfaat ekonomi dari pengelolaan terumbu karang yang
berbasiskan MPA (Fauzi dan Anna 2005). Pendekatan valuasi ekonomi sering
digunakan karena merupakan cara yang sangat berguna untuk memasukan
konsep ‘nilai’ ekosistem sebagai dasar dalam penentuan kebijakan
(Burke et al 2008). Menurut Fauzi dan Anna (2003), metode valuasi ekonomi
selain untuk mengevaluasi MPA dan sumber daya yang ada di dalamnya, juga
digunakan untuk perencanaan pembangunan kawasan konservasi laut,
diantaranya adalah: 1) Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya value/ nilai dari
sumber daya alam yang ada di lokasi tersebut sebagai justifikasi bagi
pembangunan Kawasan Konservasi Laut tersebut. 2) Sebagai bahan masukan
bagi stakeholders apakah membangun suatu KKL di kawasan tersebut bernilai.
3) Sebagai bahan advokasi kepada masyarakat mengenai pentingnya MPA.

Kawasan ini memiliki ekosistem terumbu karang dengan kekayaan


biodiversity yang tinggi, namun karena kawasan ini dimanfaatkan secara multi
use, dikhawatirkan dapat memberikan dampak negatif berupa penurunan baik
kualiltas maupun kuantitas ekosistem terumbu karang dan juga hilangnya biota-
biota penting yang berasosiasi dengan terumbu karang. Kondisi ini mendorong
kita untuk melakukan sesuatu hal demi perlindungan terumbu karang di kawasan
ini melalui pengelolaan kawasan konservasi laut. Studi valuasi ekonomi sangat
dibutuhkan sebagai salah satu ‘alat’ perhitungan untuk dasar pengelolaan
terumbu karang di kawasan konservasi laut dan untuk mengetahui sejauh mana
terumbu karang yang berada di kawasan konservasi laut TNKpS memberikan
manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung dan juga manfaat ekonomi
dan non ekonomi.
5

Berdasarkan uraian mengenai permasalahan terumbu karang yang terjadi


di kawasan konservasi laut TNKpS, memunculkan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi pemanfaatan dan persepsi masyarakat terhadap


ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS?
2. Berapa nilai pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang berasal dari
sektor perikanan dan pariwisata kawasan konservasi laut TNKpS?
3. Berapa nilai non pemanfaatan ekosistem terumbu karang berupa nilai
proteksi terumbu karang dan nilai pilihan (option value) di kawasan
konservasi laut TNKpS?
4. Berapa nilai ekonomi total yang berasal dari nilai pemanfaatan dan non
pemanfaatan sumber daya terumbu karang di kawasan konservasi laut
TNKpS?

1.3 Tujuan dan Kegunaan penelitian


Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ekonomi
total ekosistem terumbu karang yang berada di kawasan konservasi laut TNKpS.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui kondisi pemanfaatan dan persepsi masyarakat terhadap


ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut TNKpS.
2. Menghitung nilai pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang berasal
dari sektor perikanan dan pariwisata kawasan konservasi laut TNKpS.
3. Menghitung nilai non pemanfaatan ekosistem terumbu karang berupa nilai
proteksi terumbu karang dan nilai pilihan (option value) di kawasan
konservasi laut TNKpS.

Penelitian ini mempunyai kegunaan untuk memberikan informasi


mengenai kondisi pemanfaatan dan non pemanfaatan terumbu karang dan nilai
ekonomi dari terumbu karang yang ada di kawasan konservasi laut Taman
Nasional Kepulauan Seribu dan diharapkan dapat memberi masukan kepada
pembuat kebijakan dalam meningkatkan perencanaan dalam pengelolaan
sumber daya terumbu karang di kawasan ini.
6

1.4 Kerangka Pemikiran


Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 6310/Kpts-01/2002,
Kepulauan Seribu dengan luas 107.489 ha ditetapkan sebagai Taman Nasional
Kepulauan Seribu/ TNKpS. Kawasan TNKpS ini hanya 15 % dari luas Kabupaten
Kepulauan Seribu, namun kawasan ini sangat berperan dalam pembangunan
Kepulauan Seribu. Potensi yang dimiliki oleh kawasan ini sangar besar yaitu
sekitar 66% potensi yang ada di Kepulauan Seribu ada di TNKpS, dan 73% dari
seluruh potensi yang ada di Kepulauan Seribu ada di TNKpS. Kawasan ini
mempunyai sumber daya kelautan yang beranekaragam yaitu sumber daya ikan,
terumbu karang, mangrove, padang lamun dan sebagainya.

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem penting di kawasan


konservasi laut Taman Nasional Kepulauan Seribu. Ekosistem ini dilindungi
terutama di kawasan zona inti, dimana daerah ini tertutup untuk segala bentuk
eksploitasi, kegiatan pariwisata dan lain sebagainya, kecuali untuk penelitian.
Terumbu karang memberikan manfaat baik manfaat yang bersifat ekonomi
maupun manfaat non ekonomi baik bagi masyarakat dan biota yang ada di
dalamnya. Manfaat ini ada yang bersifat tangible (terukur) maupun intangible
(tidak terukur). Manfaat yang dapat terukur biasanya digolongkan ke dalam
manfaat kegunaan (use value) baik yang dapat dikonsumsi maupun tidak
dikonsumsi. Sedangkan manfaat yang tidak terukur atau intangible digolongkan
ke dalam manfaat non kegunaan (non use value), manfaat ini lebih ke arah
pemeliharaan ekosistem dalam hal ini terumbu karang dalam jangka panjang.
Ketika pemanfaatan terumbu karang terlalu berlebihan yang bersifat destruktif
dan tidak mengindahkan keberlanjutan dari ekosistem terumbu karang yang ada
adalah terjadinya degradasi terumbu karang. Penurunan kualitas ekosistem
terumbu karang akan menimbulkan gangguan terhadap terumbu karang itu
sendiri, kerusakan yang dapat dilihat dan dirasakan secara nyata adalah
kerusakan fisik terumbu karang, penurunan tutupan kawasan terumbu karang
dan penurunan jumlah pengunjung, atau gangguan lain yang tidak langsung
terasa akibatnya seperti pemanenan terumbu karang.

Gangguan terhadap terumbu karang ini kemudian akan menyebabkan


paling tidak empat hal, yaitu terjadinya penurunan produktifitas perikanan (use
value), penurunan kawasan perlindungan pantai (non use value, option value),
penurunan nilai pariwisata (use value) dan bahkan terjadinya penurunan habitat
7

/sumber daya alam yang lain (option value). Keseluruhan dampak ini kemudian
diukur dengan berbagai teknik, untuk penurunan produksi ikan karang
menggunakan pendekatan Change in Productivity, penurunan kawasan
perlindungan menggunakan teknik Option Price dan Contingent Valuation
Method (CVM), selanjutnya nilai rekreasi yang dilihat jumlah wisatawan diukur
menggunakan pendekatan market price, sedangkan untuk nilai habitat lain dapat
dilihat dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) dimana
responden akan diberi pilihan apakah sanggup membayar atau tidak agar
ekosistem terumbu karang kualitasnya menjadi baik. Keempat pendekatan ini
digunakan untuk menghitung Total Economic Value (TEV) dari terumbu karang
(Gambar 1).
8

Sumber Daya
Terumbu Karang

Manfaat Ekonomi Manfaat non-ekonomi

Degradasi

Gangguan
Terumbu Karang

Kerusakan Fisik Pemanenan


Terumbu Karang Terumbu Karang
dan Penurunan
Tutupan

Nilai Nilai Nilai


Produksi Kawasan Nilai Rekreasi Habitat Sumber
Ikan Karang Perlindungan Daya Lain

Loss in Jumlah Penurunan


Tangkapan
Land Value Kunjungan Non ikan

Change in
Productivity Option Price Market Price CVM
(market)

NILAI EKONOMI TOTAL TERUMBU KARANG

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian


9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang


Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya perikanan yang
mempunyai keunikan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologi. Terumbu
adalah endapan-endapan masif penting dari kalsium karbonat yang dihasilkan
oleh karang (filum Cnidaria, klas Antozoa, ordo Madreporia = Scleractinia)
dengan tambahan sedikit dari alga yang berkapur dan organisme-organisme lain
yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1992). Terumbu karang sudah
ada sejak jaman Ordovician dan sepanjang 450 juta tahun hidup berbagi lautan
dengan ikan (Sale 2002). Terumbu karang sebenarnya dapat juga ditemukan di
berbagai laut di belahan dunia seperti di kutub utara maupun perairan Ugahari,
namun terumbu karang hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di
daerah tropis. Tumbuhnya terumbu karang ini disebabkan karena adanya dua
kelompok karang yang berbeda yaitu hermatipik dan ahermatipik. Karang
ahermatipik tersebar diseluruh dunia sedangkan karang hermatipik hanya
tersebar di daerah tropis. Karang ahermatipik tidak dapat menghasilkan terumbu
sedangkan hermatipik yang dapat menghasilkan terumbu dari kalsium
kaborbonat (CaCo3) sehingga sering disebut reef building corals. Hal ini
disebabkan karena dalam jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan
sejenis algae (zooxantellae) yang hidup di jaringan-jaringan polyp karang yang
dapat bersimbiosis dan melakukan fotosintesa (Nybakken 1992; Supriharyono
2007).

Berdasarkan geomorfologinya, terumbu karang dapat dibagi menjadi tiga


tipe (Nybakken 1992; Murdiyanto 2003; Supriharyono 2007), yaitu :
1. Terumbu karang tepi (fringing reef)
Terumbu karang tipe ini sesuai dengan namanya tumbuh dari mulai dari
tepian pantai, cenderung untuk saling menyusun dan tidak terpisahkan.
Terumbu karang tepi ini terdapat di daerah continental shelf di laut dengan
kedalaman air yang dangkal.
2. Terumbu karang penghalang (barrier reef)
Sama seperti terumbu karang tepi, terumbu karang penghalang juga
cenderung untuk saling menyusun dan tidak terpisahkan. Terumbu karang
penghalang tumbuh sejajar garis pantai akan tetapi terletak jauh ke tengah
10

laut, biasanya terpisah dari daratan dengan laguna (lagoon), bagian laut
dalam. Terumbu karang ini disebut barrier karena membentuk batas antara
laguna dan laut lepas. Terumbu karang terbesar adalah Great Barrier Reef di
Australia, dengan panjang kurang lebih mencapai 2.000 km di sepanjang
pantai timur Australia, dimulai dari dekat nugini sampai di utara Brisbane.
3. Terumbu karang cincin (atoll)
Atol merupakan terumbu karang yang berbentuk cincin atau berbentuk ouval
dan mengelilingi gobah yang tumbuh di atas gunung berapi tua dan
tenggelam di laut. Menurut teori Darwin dalam proses pembentukan karang
atol mula-mula karang tumbuh sebagai fringing reef dibagian yang dangkal
mengelilingi suatu pulau vulkanik. Kemudian secara alamiah perlahan-lahan
pulau tersebut tenggelam dan terumbu karang tetap meneruskan
pertumbuhannya makin ke atas, sel baru tumbuh di atas sel yang mati,
sampai akhirnya hanya terumbu karangnya saja yang tersisa. Bila pulau
vulkaniknya tenggelam seluruhnya maka yang akan tersisa atol melingkar
mengelilingi laguna.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang khas yang ada di


daerah perairan yang memiliki temperatur tropis atau subtropis dan terletak
antara 30 derajat lintang utara dan 30 derajat lintang selatan. Karang dapat
tumbuh berkembang dengan baik di laut tropis karena perairan ini relatif hangat,
dangkal dan umumnya dekat pantai. Karang tumbuh pada temperatur air laut
O
15-30 C, bersalinitas antara 30-35 o/oo (Murdiyanto 2003). Terumbu karang
tumbuh pada kedalaman kurang dari 20 m dan tidak dapat berkembang di
perairan yang lebih dalam dari 50-70 m (Nybakken 1992). Cahaya merupakan
salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan terumbu karang.
Cahayanya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis oleh zooxanthele
simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana. Tanpa cahaya yang cukup
maka laju fotosintesis akan berkurang sehingga kemampuan karang untuk
menghasilkan kalsium karbonat untuk membentuk terumbu karang akan
berkurang pula. Toleransi terumbu karang terhadap cahaya yaitu sebesar 15-20
persen dari intensitas cahaya di permukaan.
11

Terumbu karang memiliki manfaat yang beragam berupa barang dan jasa
bagi kehidupan biota yang berasosiasi maupun bagi manusia. Millennium
Ecosystem Assessment (MA) (2003) diacu dalam Burke (2008), mengidentifikasi
bahwa barang dan jasa ekosistem terumbu karang terbagi ke dalam empat
kategori berdasarkan jasa yang disediakan oleh ekosistem terumbu karang yaitu:
jasa penyedia (provisioning services), jasa pengontrol (regulating services),
jasa kebudayaan (cultural services) and jasa pendukung (supporting services)
(Tabel 1).

Tabel 1. Barang dan Jasa Ekosistem Terumbu Karang


a b c
Jasa Penyedia Jasa Pengontrol Jasa Kebudayaan

- Sumber makanan (ikan - Penahan erosi - Nilai spiritual dan


dan kerang-kerangan) - Proteksi badai keagamaan
- Sumber genetik - Nilai pendidikan dan
- Pengobatan alami dan pengetahuan
bahan obat-obatan. - Inspirasi
- Nilai estetika
- Tradisi
- Rekreasi dan
Ekoturisme

Jasa Pendukungd

- Pembentuk pasir laut


- Produksi Primer

Sumber : MA (2003) diacu dalam Burke et al (2008)


a Produk-produk yang diperoleh dari ekosistem terumbu karang.
b Manfaat- manfaat yang diperoleh dari terkontrolnya proses ekosistem di alam.
c Manfaat-manfat non-material diperoleh dari ekosistem terumbu karang.
d Proses alami

Mengidentifikasi barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem terumbu


karang merupakan langkah awal dalam pengelolaan ekosistem yang baik
terutama ekosistem daya terumbu karang yang berada di kawasan konservasi
laut (marine protected area).

2.2 Kawasan Konservasi Laut


Kawasan Konservasi Laut atau Marine Protected Area (MPA) adalah
kawasan yang ada di laut diperuntukkan khusus agar keanekaragaman hayati
(biodiversity) dan sumber daya yang berhubungan dengan kebudayaan dan di
dalamnya dilindungi, dipelihara serta dikelola melalui cara/ alat yang legal dan
efektif (Kenchington et al 2003). Sedangkan menurut Sumaila dan Charles
12

(2002), MPA merupakan kawasan di laut dimana kawasan tersebut dibentuk


supaya aktivitas manusia diatur lebih ketat dibandingkan dengan kawasan lain,
dan biasanya dibuat untuk tujuan konservasi. Instrumen MPA merupakan salah
satu alat kebijakan yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah
perikanan seperti overexploitation, dan banyak ahli yang percaya bahwa MPA
akan memberikan manfaat yang berlimpah (Sanchirico 2000).

Teknologi modern yang terus berkembang meningkatkan penggunaan dan


akses terhadap sumber daya ikan semakin mudah dan luas. Namun, apabila
sumber daya tersebut tidak dikelola secara berkelanjutan akan mengakibatkan
kondisi sumber daya ikan menjadi terancam, berubah atau bahkan hilang.
Menurut Kenchington et al (2003) berbagai macam instrumen pengelolaan
sumber daya ikan yang digunakan saat ini gagal dalam menjaga produktivitas,
keanekaragaman hayati dan ekositem laut. Konsekuensi dari kegagalan
instrumen-instrumen tersebut sangat serius dan mempunyai efek yang luas,
salah satunya adalah tangkapan ikan secara global telah mengalami penurunan
semenjak tahun 1989 dan diperkirakan akan terus berlanjut.

Instrumen KKL mulai diperkenalkan pada awal tahun 1990-an, instrumen


ini didesain langsung pada pengendalian sumber daya alam, yaitu berupa
penentuan suatu kawasan sebagai kawasan konservasi laut atau marine reserve
atau marine protected area (MPA). Pada kawasan ini input dan output pada
produksi perikanan diatur dengan menutup sebagian kawasan untuk daerah
perlindungan. Walaupun mulai berkembang pada tahun 1990-an, sebenarnya
pemerintah Finlandia telah membangun kawasan seperti ini pada tahun 1800-an
(Fauzi dan Anna 2005). Penentuan kawasan konservasi laut (MPA) sampai saat
ini menjadi perdebatan baik dikalangan ahli maupun pihak-pihak yang terkait.
Ada dua pendapat yang berbeda mengenai keberadaan MPA, di satu sisi MPA
dipandang hanya dari segi manfaat (benefit) yang sangat berlimpah, namun disisi
lain ada pendapat yang beranggapan bahwa MPA juga akan menimbulkan
‘biaya’. Jadi MPA akan memberikan manfaat dan juga menimbulkan biaya, akan
tetapi manfaat dan biaya akan berbeda bagi setiap pihak yang terkait (Sumaila
dan Charles 2002).
13

Sepertti dijelaska
an dalam Fauzi da
an Anna (2005), prinsip dari
K
KKL adalah spill over effect (Gam
mbar 2) atau
u dampak limpahan dim
mana pada
k
kawasan yang dilindung
gi, stok ikan akan tumbu
uh dengan b
baik dan limp
pahan (spill
o
over) dari p
pertumbuhan ini akan mengalir ke
e wilayah d
di luar kawa
asan yang
k
kemudian dapat dimanffaatkan seccara berkelanjutan tanpa
a menguran
ngi sumber
p
pertumbuha
an di daerah yang dilind
dungi. Menurut Kenching
gton et al (2
2003) MPA
m
memberikan
n manfaat yang signiifikan bagi perikanan, ekonomi lokal dan
l
lingkungan at-manfaat ttersebut ada
laut. Manfaa alah konserrvasi keanekkaragaman
h
hayati dan ekosistem; menjaga agar tidak terjadi pen
nurunan pro
oduksi dan
p
populasi ika
an secara lo
okal dan glo
obal; menam
mbah produ
uksi dan pop
pulasi ikan
d
dengan carra menjaga tempat be
erkembang biak, daera
ah asuh da
an tempat
m
mencari makan; men
ningkatkan profil kawa
asan sebag
gai wisata laut dan
m
memperluas
s pilihan eko
onomi lokal; MPA sebagai penyedia pendidikan,, pelatihan,
w
warisan dan
n budaya; dan
d menyed
diakan manfaat yang lu
uas sebaga
ai referensi
p
penelitian ja
angka panjan
ng.

S
Sumber :Fauzi dan Anna (2005) dimodifkasi dari White (2000)

Gambar 2 Prinsip Spill over


o dari KK
KL
14

Manfaat-manfaat tersebut sebagian merupakan manfaat langsung yang


bisa dihitung secara moneter, sebagian lagi merupakan manfaat tidak langsung
yang sering tidak bisa dikuantifikasi secara moneter. Namun demikian secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kawasan konservasi laut memiliki nilai
ekonomi yang tinggi yang tidak hanya bersifat tangible (terukur), juga manfaat
ekonomi yang tidak intangible (terukur). Manfaat yang terukur biasanya
digolongkan ke dalam manfaat kegunaan baik yang dikonsumsi maupun tidak,
sementara manfaat yang tidak terukur berupa manfaat non-kegunaan yang lebih
bersifat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang (Fauzi dan Anna 2005).

Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa KKL memiliki nilai ekonomi


yang tinggi (Tabel 2) yang tidak hanya bersifat terukur (tangible) namun juga
yang tidak terukur (intangible). Manfaat yang terukur biasanya digolongkan
dalam manfaat kegunaan baik yang dikonsumsi maupun tidak, sementara
manfaat yang intangible berupa manfaat non-kegunaan yang lebih bersifat
jangka panjang. Berikut ini adalah berbagai jenis manfaat dari KKL (Fauzi dan
Anna 2003).

Tabel 2. Jenis - Jenis Nilai Ekonomi KKL


Nilai Kegunaan (Use Value) Nilai non-kegunaan
Jenis manfaat Non- Tidak
Konsumsi pilihan keberadaan Pewarisan
konsumsi langsung
Peningkatan
X
kelimpahan

Peningkatan
X
ukuran ikan

Dampak limpahan
X
ke fishing ground

Eksport larva X

Peningkatan daya
X X
tahan ekosistem

Peningkatan
keanekaragaman X X
hayati
Sumber :Fauzi dan Anna (2003)
15

Kawasan konservasi menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan


Nomor Per.17/MEN/2008 adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang
dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk
mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan. Sedangkan kawasan konservasi perairan adalah kawasan
perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan
pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungan yang berkelanjutan. Menurut
Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan,
kawasan konservasi perairan ini terdiri atas taman nasional perairan, taman
wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan. Taman Nasional
Kepulauan Seribu termasuk ke dalam taman nasional perairan, namun karena
saat ini pengelolaannya masih di bawah Departemen Kehutanan belum dipindah
tangankan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan, maka kawasan ini tetap
masuk ke dalam kategori kawasan konservasi Laut menurut Departemen
Kehutanan yaitu sebagai Taman Nasional Laut.
Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu mempunyai suatu kawasan
konservasi ekosistem terumbu karang yang terletak di zona inti (I, II dan III) yaitu
yang meliputi Gosong Rengat, P. Penjaliran Barat, P. Penjaliran Timur, Gosong
Penjaliran, P.Peteloran Timur, P. Peteloran Barat, P. Kayu Angin Bira dan
P.Belanda. Luas total zona inti ini adalah 4397,06 ha. Kawasan zona inti ini
merupakan kawasan yang tertutup bagi segala bentuk aktivitas (no-take zone).

2.3 Konsep Nilai Ekonomi


Ekosistem terumbu karang memberikan manfaat dengan menghasilkan
barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun
tidak langsung (indirect), selain itu menghasilkan juga jasa-jasa yang manfaatnya
baru dapat dirasakan di masa mendatang atau dalam jangka panjang (Fauzi dan
Anna 2005). Pengertian ‘nilai’ dalam ilmu ekonomi adalah ‘harga’ yang setiap
individu bersedia bayarkan untuk memperoleh barang dan jasa (Lipton et al
1995). Konsep nilai ekonomi bukan hanya menyangkut nilai pemanfaatan
langsung dan tidak langsung semata, namun lebih luas dari itu. Value atau nilai
bisa diartikan sebagai importance atau desirability (Fauzi 2003). Pengertian nilai
atau value khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh
sumber daya alam dan lingkungan jika dipahami lebih lanjut bisa saja berbeda
16

jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu (Anna 2007). Konsep nilai akan
berhubungan dengan kesejahteraan manusia jika dipandang dari sisi ekonomi.
Dengan demikian, nilai ekonomi dari sumber daya alam dan lingkungan adalah
jasa dan fungsi sumber daya alam dan lingkungan yang memberikan kontribusi
terhadap kesejahteraan manusia, dimana kesejahteraan ini diukur berdasarkan
setiap individual assessment terhadap dirinya sendiri.

Sedangkan jika dipandang dari sisi ekologi misalnya, nilai dari terumbu
karang bisa berarti pentingnya terumbu karang sebagai tempat produksi berbagai
spesies ikan tertentu, ataupun fungsi ekologis lainnya. Demikian juga dari sisi
teknik, nilai terumbu karang bisa saja sebagai pencegah abrasi atau banjir,
pemecah ombak dan sebagainya. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut
tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistem. Oleh
karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem
tersebut. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi
bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah dengan memberikan “price
tag” (harga) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya dan
lingkungan. Dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut sebagai nilai
ekonomi dari sumber daya alam (Fauzi 2004).

Nilai ekonomi secara umum didefinisikan sebagai pengukuran jumlah


maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh
barang dan jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan
membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang
dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Nilai ekologis dari ekosistem
dengan menggunakan pengukuran ini bisa di”terjemahkan” ke dalam bahasa
ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa. Sebagai contoh
jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang
akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk
membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya
(Anna 2007). Pengukuran keinginan membayar atau WTP ini menurut
Haab dan McConnel (2002) dapat diterima jika memenuhi syarat :

1. WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif


2. Batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan
17

3. Adanya konsistensi antara keacakan (randomness) pendugaan dan


keacakan perhitungannya.
Syarat WTP 1 dan 2 secara matematis dapat ditulis :

0 ≤ WTPj ≤ M j

Pengukuran keinginan membayar ini memang diakui ada kelemahannya.


Misalnya, meskipun sebagian barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya
alam dapat diukur nilainya karena diperdagangkan di pasar, namun sebagian lagi
seperti keindahan pantai atau laut, kebersihan, keaslian alam tidak
diperdagangkan sehingga tidak atau sulit diketahui nilainya karena masyarakat
tidak membayarnya secara langsung. Selain itu, karena masyarakat kurang
akrab dengan cara pembayaran jasa seperti itu, keinginan membayar mereka
juga sulit diketahui. Walaupun demikian, dalam pengukuran nilai sumber daya
alam tidak selalu bahwa nilai tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur
nilai moneternya. Suatu hal yang diperlukan disini adalah pengukuran seberapa
besar keinginan kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk
memperoleh barang dan jasa dari sumber daya. Sebaliknya bisa pula kita ukur
dari sisi lain yakni seberapa besar masyarakat harus diberikan kompensasi untuk
menerima pengorbanan atas hilangnya barang dan jasa dari sumber daya dan
lingkungan.

Anna (2007) mengemukakan sumber daya alam dan lingkungan (SDAL)


patut mendapatkan perhatian dan pemberian label value yang tepat dan dengan
dua alasan: pertama adalah SDAL menyediakan manfaat tidak langsung dalam
batasan yang luas, kedua aktivitas manusia telah menyumbangkan, dan masih
menyumbangkan laju hilangnya keanekaragaman hayati yang akan mengancam
stabilitas dan keberlanjutan dari ekosistem sebagaimana juga penyediaan
barang dan jasa yang dihasilkannya bagi kesejahteraan manusia itu sendiri
(Pimm et al 1995; Simon dan Wildavsky 1995). Hal ini yang menyebabkan
semakin banyaknya studi mengenai rusak, hilang atau berkurangnya baik
kualitas maupun kuantitas SDAL dan kaitannya dengan besaran kerugian secara
moneter. Values/nilai sumber daya alam pada setiap pemanfaatan akan sangat
tergantung pada kondisi dan distribusi dari property right dan tingkat
kesejahteraan/ income masyarakatnya. Anna (2007) mengintepretasikan nilai
dalam berbagai cara diantaranya adalah :
18

1. Instrumental Vs Intrinsic Values


Nilai instrumental dimaksudkan sebagai nilai SDAL yang berkaitan dengan
pemanfaatan produksi dan konsumsi (Fromm, 2000). Sedangkan Intrinsic
Values adalah nilai selain nilai pemanfaatan tadi (instrumental) yaitu nilai yang
melekat pada SDAL tersebut, seperti misalnya nilainya sebagai stabilisator
dalam rantai makanan, dll.

2. Monetary Vs Biological Indicators


Penilaian secara moneter dari SDAL biasanya merupakan dasar dalam
perspektif ekonomi, berdasarkan pada indikator biologi dari dampak SDAL
terhadap kesejaheraan manusia. Valuasi ekonomi SDAL dilakukan untuk
mendapatkan indikator moneter yang akan menjadi suatu bahan perbandingan
dan ranking alternatif kebijakan pengelolaannya. Sebaliknya Analisis biologi
nilai SDAL memberikan hasil pada indikator non-monetary. Hal ini menyangkut
sebagai contoh : keragaan/kekayaan spesies dan ekosistem yang ada
(Whittaker 1960; 1972 diacu dalam Anna 2007). Bagaimanapun tidak dapat
dipastikan bahwa indikator biologi dan moneter memberikan pemahaman yang
sama. Sebaiknya memang keduanya dapat dijadikan metode yang saling
melengkapi untuk menganalisis perubahan atau kerusakan SDAL.
Bagaimanapun indikator ekonomi seharusnya jika mungkin secara tidak
langsung berdasarkan pada indikator biologi yang akurat.

3. Direct vs Indirect values


Direct value (nilai langsung) dari SDAL biasanya digunakan untuk menunjuk
pada pemanfaatan manusia berkaitan dengan konsumsi dan produksi.
Sedangkan Indirect value (nilai tidak langsung) biasanya berhubungan dengan
minimum level dari infrastruktur ekosistem, yang tanpa hal itu tidak akan
tersedia barang dan jasa (Farnworth et al. 1981 diacu dalam Anna 2007).
Barbier (1994) mendeskripsikan indirect value dari SDAL sebagai pendukung
dan proteksi yang disediakan untuk aktivitas ekonomi dari jasa yang
dihasilkannya. Istilah lain dari indirect value adalah diantaranya contributory
value, primary value dan infrastructure value yang pengertiannya pada
dasarnya sama saja. (Norton 1986; Gren et al. 1994; Constanza et al. 1998
diacu dalam Anna 2007). Seluruh peneliti ini menyatakan bahwa opini untuk
menguangkan manfaat SDAL adalah memungkinkan, tetapi hal itu seringkali
berujung pada penilaian yang under-estimate dari nilai yang sebenarnya,
19

karena primary value dari SDAL sulit untuk diterjemahkan dalam bentuk
moneter. Gowdy (1997) diacu dalam Anna 2007 menambahkan bahwa
“Walaupun nilai dari jasa lingkungan dapat digunakan untuk menjustifikasi
pengukuran nilai proteksi SDAL, harus ditekankan bahwa nilai ini hanyalah
merupakan porsi yang sedikit saja dari nilai total SDAL.

4. Biodiversity vs Biological Resources


Nilai biodiversity mengacu pada berbagai kehidupan pada berbagai level;
sementara biological resources mengacu pada manifestasi dari keragaman
tersebut. Menurut Pearce (1999) “Hampir semua literatur mengenai valuasi
ekonomi dari biodiversity biasanya adalah mengenai nilai biological resources
dan hubungannya pada nilai biodiversity. Perbedaan antara kedua nilai ini
memang tidak begitu jelas, bahkan kadang overlapping.

5. Value of Level vs Perubahan Biodiversity


Para ahli ekonomi berpendapat bahwa valuasi seharusnya lebih difokuskan
pada perubahan daripada hanya tingkat biodiversity. Non-ekonom seringkali
mencoba mengukur tingkat biodiversity, misalnya analisis nilai dari jasa
ekosistem dan natural capital untuk seluruh level biosphere (Constanza et al.
1998).

6. Local vs Global diversity


Desain dari konteks valuasi melibatkan keputusan penting mengenai kerangka
spasial dari analisis (Norton dan Ulanowicz 1992 diacu dalam Anna 2007). Hal
ini karena bagaimanapun rusak atau berkurangnya SDAL biasanya dibahas
dalam kerangka konteks global atau dunia. Hasil studi valuasi SDAL biasanya
ditujukan bagi perubahan kebijakan baik tingkat lokal, regional, nasional atau
bahkan internasional.

7. Genetic vs other life organization level


Para ahli menghadapi keputusan penting ketika melakukan valuasi SDAL yaitu
yang menyangkut level dari keragaman yang menjadi perhatian. Beberapa ahli
biasanya dari ilmu alam, cenderung untuk fokus pada tingkat genetik dan
spesies, sedangkan yang lainnya cenderung pada tingkat spesies dan
ekosistem. Beberapa permasalahan yang menjadi isu adalah apakah studi
SDAL pada berbagai level akan menyebabkan adanya double counting, dan
20

apakah informasi yang cukup bisa didapat pada setiap tingkat SDAL untuk
meningkatkan kualitas studi valuasi.

8. Holistic vs. Reductionist Approaches


Menurut perspektif holistik, SDAL merupakan hal yang abstrak, berhubungan
dengan suatu kesatuan, stabilitas dan ketahanan dari suatu sistem yang
kompleks, dan oleh karena itu akan sulit untuk diukur (Faber et al. 1996).
Lebih jauh lagi pengetahuan dan pemahaman yang terbatas dari manusia dan
signifikasi ekonomi dari hampir setiap bentuk kehidupan yang beragam, akan
menjadikan kompleksitas penerjemahan inditator fisik dan biologi menjadi
indikator moneter. Sebaliknya, pendekatan perspektif reductionist dilakukan
berdasarkan ide bahwa SDAL dapat dipisahkan dari nilai total biodiversity
menjadi kategori nilai ekonomi yang berbeda, yaitu melalui direct use dan
passive use atau nonuse values (Pearce dan Moran 1994).

9. Expert vs General Public Assessment


Pendekatan public valuation umum, biasanya sangat tergantung pada premise
individual yang berasal dari berbagai level pendidikan, dan pengalaman yang
diharapkan untuk berpartisipasi dalam valuasi SDAL. Pendapat lainnya
mengasumsikan bahwa masyarakat yang ada tidak dapat menentukan
relevansi dan kompleksitas dari fungsi sistem hubungan biodiversity-
ekosistem. Dengan demikian penetapan dan valuasi SDAL hanya boleh
dikerjakan oleh ahlinya.

2.4 Valuasi Ekonomi


Fauzi (2004) mengatakan bahwa pemikiran mengenai valuasi ekonomi
sudah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika melahirkan undang-undang River
and Harbour Act of 1902 yang mewajibkan para ahli untuk melaporkan seluruh
manfaat dan biaya yang ditimbulkan oleh proyek-proyek yang dilakukan di sungai
dan pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih berkembang setelah PD II, dimana
konsep manfaat dan biaya lebih diperluas ke pengukuran yang sekunder atau
tidak langsung dan yang tidak nampak (intangible). Dengan berkembangnya ilmu
ekonomi lingkungan pada tahun 1980-an, konsep valuasi ekonomi sumber daya
dan lingkungan kemudian menjadi lebih luas dan mampu menjembatani
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada metode Benefit-Cost Analisis yang
21

konvensional karena sering tidak memasukan manfaat ekologis di dalam


analisisnya.
Konsep dasar dari valuasi ekonomi adalah konsep surplus yang berasal
dari kurva permintaan dan penawaran. Pada dasarnya konsep surplus
menempatkan nilai moneter terhadap kesejahteraan masyarakat dalam
mengekstraksi dan mengkonsumsi sumber daya alam. Surplus juga merupakan
manfaat ekonomi yang tidak lain adalah selisih antara manfaat kotor (gross
benefit) dan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengekstraksi sumber
daya alam (Fauzi 2004). Green (1992) diacu dalam dalam Fauzi (2004)
memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat
sumber daya alam merupakan pengukuran yang tepat karena sumber daya
dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya (best alternative use).
Surplus ekonomi dibedakan ke dalam surplus konsumen, surplus produsen dan
resource rent (rente sumber daya). Surplus konsumen sama dengan manfaat
yang diperoleh mayarakat dari mengkonsumsi sumber daya alam U(x) dikurangi
dengan jumlah yang dibayarkan untuk mengkonsumsi barang tersebut xp(x).
Sedangkan surplus produsen adalah tidak lain adalah pembayaran yang paling
minimum yang bisa diterima oleh produsen untuk memproduksi barang x. Grafik
suplus konsumen dan surplus produsen dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber : Tietenberg (2001)

Gambar 3. Consumer’s surplus dan Producer’s surplus

Pengukuran surplus yang ketiga adalah resource rent (RR) atau rente
sumber daya. Rente sumber daya ini merupakan surplus yang bisa dinikmati oleh
22

oleh pemilik sumber daya (pemerintah) yang merupakan selisih antara jumlah
yang terima dari pemanfaatan sumber daya dikurangi dengan biaya yang
dikeluarkan untuk mengekstraksinya (Fauzi 2004).

Valuasi ekonomi merupakan analisis non-market (non-pasar) karena


didasarkan pada mekanisme pemberian nilai moneter pada produk barang dan
jasa yang tidak terpasarkan. Jika produk yang terpasarkan dapat digambarkan
dalam kurva permintaan dengan kemiringan negatif (downward slopping) maka
kurva permintaan menggambarkan marginal valuation yang merupakan
gambaran keinginan membayar (Willingness to Pay = WTP) seseorang untuk
memperoleh barang daripada tidak sama sekali. Pada barang yang tidak
terpasarkan seperti keanekaragaman hayati, nilai estetika dan sebagainya, kurva
permintaan lebih menggambarkan trade off antara kualitas satu produk dengan
karakteristik lainnya (Fauzi 2004). Nilai ekonomi suatu komoditas (good) atau
jasa (service) lebih diartikan sebagai ”berapa yang harus dibayar” dibanding
”berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut”.
Dengan demikian, apabila ekosistem dan sumber dayanya eksis dan
menyediakan barang dan jasa bagi kita, maka ”kemampuan membayar”
(willingness to pay) merupakan proxy bagi nilai sumber daya tersebut, tanpa
mempermasalahkan apakah kita secara nyata melakukan proses pembayaran
(payment) atau tidak (Barbier et.al 1997). Tergantung keadaannya kita perlu
tempatkan value sumber daya tersebut apakah flow (dapat diperbaharui) atau
stock (tidak dapat terbarukan atau terhabiskan) (Tietenberg 2001). Dengan
mengetahui nilai sumber daya tersebut, seharusnya kita dapat memanfaatkan
sumber daya secara efisien. Oleh karena itu, perlu diketahui Nilai Ekonomi Total
atau Total Economic Value (TEV) dari sumber daya tersebut.

Menurut Tietenberg (2001) Nilai Ekonomi Total (TEV) di bagi ke dalam 3


komponen utama : (1) Use Value (UV) (2) Option (OV) Value dan (3) Non Use
Value (NUV) (Gambar 4).
23

Total Economic Value

Use Value Non Use Value

Direct Use  Indirect Use  Option  Bequest Existence


Value Value Value Value Value
Gambar 4. Tipologi Nilai Ekonomi Total (TEV)

Pearce dan Moran (1994) menjelaskan Use Value adalah nilai yang
timbul dari penggunaan sebenarnya dari sumber daya tersebut. Use Value ini
dibagi lagi menjadi Direct Use Value (DUV) yaitu yang secara langsung dapat
digunakan seperti perikanan dan ekstraksi kayu dan lain-lain serta Indirect Use
Value (IUV) yaitu manfaat dari fungsi ekosistem seperti fungsi hutan sebagai
penahan air. Option Value adalah nilai yang ditempatkan orang sebagai
kemampuan kegunaan masa depan dari lingkungan atau sumber daya tersebut
(Tietenberg 2001). Ada yang memasukan Option Value (OV) ke dalam Use
Value dan ada juga yang memasukan OV ke dalam non use value. Nilai yang
ketiga adalah Non Use Value (NUV), menurut Pearce dan Moran (1994), NUV
lebih problematik dalam definisi dan perhitungannya, tapi biasanya dibagi lagi
menjadi Bequest Value (BV) yaitu nilai pewarisan dan Existence atau ‘passive’
Use Value (XV) yaitu nilai keberadaan. Sehingga secara matematis Total
Economic value dapat ditulis sebagai berikut :

TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + 0V) + (XV + BV) ........................................(2.1)

Nilai ekonomi total sesuai dengan persamaan (2.1) merupakan penjumlahan nilai
kegunaan (use value) dan nilai non kegunaan (non use value), dimana nilai
kegunaan merupakan penjumlahan dari direct use value, indirect use value dan
option value dan nilai non kegunaan terdiri dari existence value dan bequest
value.
24

2.5 Model Valuasi Ekonomi untuk Kawasan Konservasi Laut


Menghitung manfaat ekonomi sumber daya yang berada di kawasan
konservasi laut berbeda dengan perhitungan di luar kawasan konservasi laut.
Menurut Fauzi dan Anna (2005), secara ekonomi, MPA dapat diibaratkan
sebagai investasi sumber daya di masa mendatang (Gambar 5).

Wilayah dan
sumber daya laut
(1-s) s

Kawasan Kawasan
Konservasi Pemanfaatan

t+1

t
Investasi

t+2

Manfaat Ekonomi
Sumber : Fauzi dan Anna (2005)

Gambar 5. Prinsip Manfaat Ekonomi MPA

Pada Gambar 5 terlihat bahwa suatu wilayah laut dengan sumber daya
yang ada dapat dibagi ke dalam dua wilayah, wilayah non konservasi sebesar s
merupakan wilayah pemanfaatan yang dapat memberikan manfaat ekonomi
dalam jangka pendek (periode t). Kawasan konservasi, dilain pihak, merupakan
kawasan dengan luas (1-s) yang pada periode menengah mungkin tidak atau
belum memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat. Alasannnya, kawasan
tersebut pada periode t+1 merupakan kawasan yang dilindungi dan merupakan
investasi di masa mendatang. Pada periode jangka panjang (t+2), kawasan
tersebut akan memberikan dampak limpahan (spill over) yang kemudian dapat
menjadi manfaat ekonomi yang berkelanjutan.

Lebih jauh lagi Fauzi dan Anna (2003) mengemukakan bahwa untuk
menghitung manfaat ekonomi dari pengelolaan berbasiskan MPA ada beberapa
metode, diantaranya adalah model valuasi ekonomi dan model bioekonomi.
25

Kedua model tersebut bisa dilakukan penyesuaian-penyesuaian jika kondisi data


tidak memadai. Selain untuk mengevaluasi MPA, model valuasi ekonomi penting
digunakan dalam perencanaan pembangunan kawasan konservasi laut,
diantaranya adalah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nilai (value) dari
sumber daya alam yang ada di lokasi tersebut sebagai justifikasi bagi
pembangunan kawasan konservasi tersebut dan juga sebagai bahan masukan
bagi stakeholders apakah worth it (bernilai) membangun suatu KKL di kawasan
tersebut. Dalam penentuan valuasi ekonomi ada dua pendekatan umum yang
biasa digunakan yaitu pendekatan langsung atau “Stated Preference” dan
pendekatan tidak langsung atau “Revealed Preference”. Kedua pendekatan
tersebut pada prinsipnya berupaya untuk melakukan “proxy” terhadap nilai
sesungguhnya dari sumber daya alam dan lingkungan yang cenderung infinite
(tak terhingga).

Pendekatan Revealed Preference (RP) berdasarkan perilaku konsumen


dan produsen yang aktual dan mengidentifikasi apakah barang non-market
berpengaruh terhadap beberapa barang lain (Beukering et al 2007), metode yang
termasuk ke dalam pendekatan Revealed Preferance adalah :

• Market Price
• Replacement Cost
• Damage Cost Avoided
• Mitigating Expenditure
• Net Factor Income
• Production Function Method
• Hedonic Pricing Method
• Travel Cost Method

Sedangkan pendekatan Stated Preference (SP) menggunakan survai


untuk bertanya kepada orang untuk menyatakan preferensi mereka mengenai
perubahan ketersediaan barang dan jasa lingkungan (Beukering et al 2007),
metode yang termasuk ke dalam Stated Preference (SP) adalah Contingent
Valuation dan Choice modelling.
26

Fauzi (2007) mengemukakan bahwa dalam melakukan valuasi ekonomi


kawasan konservasi diperlukan pendekatan tersendiri mengingat sifat dari
kawasan tersebut mempunyai fungsi konservasi dan fungsi ekonomi.
Pendekatan lain selain yang telah disebutkan adalah melakukan ‘option price’
yaitu memberikan pilihan antara melakukan konservasi dengan tidak melakukan
konservasi. Penilaian dari pendekatan option price ini didasarkan pada utilitas
harapan (expected utility) yang didasarkan pada teori Von Neumann-
Morgenstern. Pendekatan option price ini akan menghasilkan nilai non kegunaan
berupa nilai pilihan (option value). Pearce dan Moran (1994) menganalogikan
bahwa option value ini seperti nilai Insurance, dimana unsur ketidakpastian
(uncertainty) dipertimbangkan di dalam perhitungannya.

Nilai sumber daya terumbu karang yang dihitung dalam penelitian ini adalah
nilai kegunaan yang berasal dari perikanan dan pariwisata serta nilai non
kegunaan yaitu nilai pilihan (option value) dan nilai proteksi kawasan dan habitat.
Nilai kegunaan yang berasal dari kegiatan perikanan dihitung dengan
menggunakan metode perubahan produktifitas, sedangkan nilai kegunaan yang
berasal dari kegiatan pariwisata dihitung dengan pendekatan market price. Nilai
non kegunaan berupa nilai pilihan dihitung dengan menggunakan pendekatan
option price berdasarkan teori Von Neumann-Morgenstern, sedangkan nilai non
kegunaan berupa proteksi terhadap kawasan dan habitat dihitung dengan
menggunakan pendektan CVM yang dianalisis dengan menggunakan LIMDEP
model.

2.5.1 Perubahan Produktifitas


Boquiren (2006) mengatakan bahwa pendekatan perubahan produktifitas
merupakan teknik valuasi berdasarkan hubungan fisik antara lingkungan dengan
produksi barang dan jasa dari pasar (market good and services). Teknik ini
digunakan untuk melihat perbedaan output (produksi) sebagai dasar perhitungan
jasa dari terumbu karang (Cesar dan Chong 2004). Perubahan produktifitas
sering digunakan untuk mengukur nilai dari sektor perikanan dan pariwisata
(surplus produsen) dan juga untuk menilai perubahan nilai dari output sebelum
dan sesudah adanya suatu kejadian atau ancaman atau intervensi pengelolaan
(seperti MPA). Perubahan produksi dalam perikanan digunakan untuk
mengkalkulasi hilangnya nilai dari sektor perikanan karena adanya ancaman dan
gangguan terhadap terumbu karang seperti penambangan karang, atau
27

bertambahnya nilai perikanan karena adanya intervensi pengelolaan seperti


diberlakukannya kawasan konservasi laut. Pendekatan yang dilakukan adalah
dengan menghitung perubahan produktifitas dalam kondisi fisik antara skenario
‘before’ dan ‘after’.

2.5.2 Market Price


Beukering et al (2007) menyatakan bahwa salah satu metode yang paling
mudah dan sering digunakan dalam menilai barang dan jasa dari suatu sumber
daya dan lingkungan adalah dengan melihat dari harga pasarnya yaitu
berapakah harganya jika kita membeli atau menjual barang dan jasa tersebut
pada pasar kompetitif tanpa adanya distorsi harga (pajak dan subsidi). Market
price digunakan untuk menghitung barang dan jasa yang secara langsung
diperdagangkan di pasar, contohnya adalah kayu, kayu bakar, ikan, dan lain
sebagainya.
Keuntungan dari pendekatan ini menurut Beukering et al (2007) adalah
relatif mudah untuk diaplikasikan, karena data yang diperlukan secara umum
tersedia seperti informasi harga dan model matematiknya pun sederhana. Akan
tetapi, kerugian dari metode ini adalah banyak barang dan jasa yang tidak secara
langsung diperdagangkan di dalam pasar sehingga harga yang observable tidak
tersedia. Apabila pasar untuk barang dan jasa dari sumber daya dan lingkungan
tersebut ada namun sangat terdistorsi, maka harga yang tersedia tidak akan
mencerminkan nilai sosial dan ekonominya dan harga tersebut tidak dapat
digunakan. Oleh karena itu, kita harus mengetahui penyebab terjadinya distorsi
pasar (market distortion) untuk mengenali apakah harga yang kita dapatkan
tersebut dapat dipercaya atau tidak. Penyebab utama terjadinya distorsi pasar
adalah pajak dan subsidi, non-competitive markets, informasi yang tidak
sempurna (imperfect information) dan juga harga yang dikontrol oleh pemerintah.

2.5.3 Von Neumann- Morgenstern Utility (VNM)


Hipotesis expected utilty (EU) dalam ilmu ekonomi berkaitan dengan
manfaat harapan yang diperoleh dalam kondisi ketidakpastian. EU biasanya
dihitung dengan mempertimbangkan utilitas pada setiap kondisi yang ada dan
masing-masing memiliki nilai bobotnya sendiri-sendiri. Jadi EU dapat dikatakan
sebagai harapan atau ekspektasi dalam teori probabiliti. Dalam teori probabiliti,
28

untuk menentukan utilitas dengan metode EU, terlebih dahulu kita harus
membuat rangking preferensi dari sampling responden yang berbeda (Wikipedia
2008). Jika diketahui fungsi utilitas seseorang adalah U ( x, π ) , dimana x

merupakan vektor hasil dan π adalah vektor probabilitas, maka diasumsikan


bahwa fungsi utilitas tersebut memiliki bentuk sebagai berikut (Hands 1991) :

U ( x1 , x2 , π1 ) = π 1v ( x1 ) + (1 − π 1 ) v ( x2 ) …………………………………………(2.2)

Dimana :
π1 = Peluang terjadi kondisi baik

v(x1) = Utilitas dari kondisi baik


v(x2) = Utilitas dari kondisi buruk

atau jika dalam kasus lain ada kemungkinan keluaran lebih dari dua, sebanyak n,
maka fungsi utilitas pada persamaan (2.2) menjadi:

n
U ( x, π ) = ∑ π i vi ( xi ) ……………………………………………………………….(2.3)
i =1

Fungsi utilitas pada persamaan (2.3) disebut dengan expected-utility function


atau disebut dengan fungsi utilitas von Neumann-Morgenstern yang menjelaskan
bahwa utilitas U ditulis sebagai penjumlahan dari fungsi v lainnya dari beberapa
kemungkinan hasil yang diperoleh, dengan pembobotan yang relevan dengan
probabilitasnya. Cara lain adalah dengan menganggap bahwa fungsi v sebagai
fungsi utilitas dan penjumlahannya dianggap sebagai utilitas harapan (Expected
Utility atau EU). Sehingga dengan merubah v ( ⋅) menjadi U ( ⋅) , sedangkan U ( ⋅)

menjadi EU ( ⋅) , maka persamaan (2.3) menjadi :

n
EU ( x, π ) = ∑ π iU ( xi ) ……………………………………………………………(2.4)
i =1

Pada intinya kedua fungsi expected-utility pada persamaan (2.3) dan (2.4)
terdapat pada beberapa pada literatur ekonomi, walaupun ada sedikit perbedaan
secara konseptual. Hasil matematik kedua persamaan tersebut pada dasarnya
akan sama.
29

Salah satu konstribusi besar Von Neumann dan Morgenstern terhadap


ekonomi adalah fungsi utilitas yang diperoleh dari preferensi seseorang dalam
menetapkan pilihan. Fauzi dan Anna (2008) menggunakan teori Von Neumann-
Morgenstern untuk menghitung nilai Option Price yang berdasarkan utilitas
harapan. Pendekatan Von Neumann-Morgenstern tersebut mengukur opsi
masyarakat atas resiko ada tidaknya kawasan konservasi. Ada dua tipe utama
perilaku masyarakat yang dapat dilihat dari WTP dan nilai utilitas mereka. WTP
Tinggi menggambarkan masyarakat yang bersifat risk averse sementara WTP
rendah menggambarkan masyarakat yang risk prone terhadap konservasi
(Gambar 6).

U (EV)

EU

EU

U (EV)

Sumber : Fauzi dan Anna (2008)

Gambar 6. High WTP dan Low WTP

Pada masyarakat yang bersifat risk averse, nilai utility expected value
( U ( EV ) ) dari kawasan konservasi lebih tinggi dari nilai expected utility (EU)

yakni outcomes gambling tanpa konservasi ( U ( EV ) > EU ). Pada masyarakat


dengan nilai WTP yang rendah yang terjadi adalah sebaliknya (Fauzi 2007).

Menurut Fauzi dan Anna (2008) penggunaan metode Option Value/


Option Price ini tentu saja tidak terlepas dari berbagai asumsi yang menjadi
dasar perhitungan nilai ekonomi. Asumsi-asumsi tersebut meliputi:
30

1. Ketidakpastian diasumsikan terdistribusi secara normal.


2. Keragaman (variance) dalam nilai dalam situasi “bad” dan “good” terdistribusi
secara normal.
3. Probability (peluang) terjadi kontingensi “bad” dan “good” memiliki peluang
yang sama ( π b = π g = 0.5 ).

4. Masyarakat diasumsikan memiliki karakteristik “risk-averse” yang bisa


α
diformulasikan melalui fungsi utilitas U = ln x atau u = x dimana α > 1 .
5. Nilai harapan manfaat (expected benefits) diasumsikan merupakan fungsi
dari peluang terjadi kejadian (kontingensi).
6. Masyarakat “a-priory” tidak mengetahui kontingensi mana yang akan terjadi
sehingga option price merupakan pengukuran ex-ante yang tepat untuk
mewakili perubahan kesejahteraan masyarakat.

2.5.4 Contingent Valuation Method (CVM)


Metode ini disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya
informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun,
misalnya seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayaran,
dan sebagainya (Fauzi 2004). Davis (1963) merupakan ahli ekonomi pertama
yang menerapkan pendekatan CVM dalam disertasinya yang berjudul “The Value
of Outdoor Recreation: an Economic Study of Maine Woods (Carson dan
Hanemann 2005) dan menurut Fauzi (2004) metode ini mulai populer sekitar
pertengahan tahun 1970-an untuk studi-studi sumber daya alam yang dilakukan
oleh pemerintah Amerika Serikat. Fauzi (2004) juga menjelaskan bahwa secara
teknis, pendekatan CVM ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan
teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik
survey. Menurut Carson dan Hanemann (2005) tujuan dari pendekatan ini adalah
untuk menghitung nilai moneter yang diberikan seseorang untuk suatu layanan
barang dan jasa.
Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) sering digunakan untuk
mengukur nilai pasif (non-pemanfaatan) sumber daya alam atau sering dikenal
dengan nilai keberadaan. Penggunaan CVM pada dasarnya merupakan jawaban
dari pertanyaan mengenai hak kepemilikan atau property right. Apabila
seseorang atau individu tidak memiliki hak kepemilikan suatu barang atau jasa,
maka perhitungan yang relevan untuk mengetahui kegunaan barang tersebut
31

bagi mereka adalah dengan mengetahui pembayaran maksimal yang mereka


bersedia bayarkan untuk mendapatkan barang tersebut (Garrod dan Willis 1999).
Menurut Fauzi (2004), CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui
keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misalnya perbaikan kualitas
lingkungan (air, udara, dan sebagainya) dan keinginan menerima (Willingness to
Accept atau WTA) kerusakan suatu lingkungan. Fauzi (2004) menjelaskan
bahwa ada 5 tahapan dalam penerapan CVM, yaitu :

1. Membuat hipotesis pasar


2. Mendapatkan nilai lelang (bids)
3. Menghitung rataan WTP
4. Memperkirakan kurva lelang (bid curve)
5. Mengaggregatkan data

Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk


mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaannya. Kelemahan yang paling utama adalah timbulnya bias. Hal ini
terjadi jika menimbulkan nilai ekonomi yang overvalue maupun under value.
Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh (Fauzi 2004):

• Design bias (rancangan kuesioner seperti struktur, open bid, referendum,


dan lain sebagainya akan mempengaruhi jawaban WTP.
• Kompleksitas ekosistem, semakin kompleks interaksi ekosistem, semakin
mungkin terjadinya under value karena sulit menentukan “the true value”
dari ekosistem.
• “time bias”. Survai yang dilaksanakan pada waktu tertentu bisa
mempengaruhi jawaban WTP (misalnya musim paceklik).
• Perbandingan antara nilai ekosistem dari satu daerah dengan daerah lain
tidak “comparable”.

Masalah lain yang sering timbul adalah terjadinya fenomena warm glow (Becker
1974 diacu dalam Fauzi 2004) yang sebetulnya terkait dengan masalah
alturisme. Warm glow pada konstes CVM, bisa terjadi karena responden
berusaha membuat senang pewawancara dengan memberikan jawaban setuju
untuk pembayaran sesuatu, meskipun pada dasarnya dia tidak setuju.
Secara sosiologis hal ini menimbulkan contering bias yaitu responden menyetujui
apa yang ditanyakan oleh pewawancara.
32

2.5.5 Analisis WTP Model Regresi dengan Respon Kualitatif


Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari kita berhadapan variabel yang
tidak selalu bersifat kuantitatif, seperti jenis kelamin, warna kulit, tingkat
pendidikan, status perkawinan dan lain sebagainnya kita berbicara variabel yang
sifatnya kualitatif. Seperti halnya keputusan-keputusan yang bersifat kualitatif
misalnya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, kadang-kadang
kita menghadapi respon masyarakat apakah sumber daya alam dan lingkungan
tersebut dikonservasi ataupun tidak atau keputusan pelaku dibidang perikanan
yaitu nelayan untuk menangkap ikan di dalam kawasan konservasi atau di luar
kawasan konservasi. Dengan kata lain, respon masyarakat tersebut bersifat
dikotomis atau binari (Widarjono 2005). Dalam melakukan analisis regeresi pada
variabel yang bersifat kualitatif dapat dilakukan dengan memberikan nilai 1 pada
variabel yang mempunyai atribut dan nilai nol jika tidak mengandung atribut.

Tujuan dari model kualitatif pilihan (qulitative choice model) ini adalah
untuk menentukan probabilitas dari individu dengan set atribut yang diberikan
kepada mereka dan memilih satu pilihan daripada alternatif yang lainnya
(Pyndyck dan Rubinfeld 1998). Pertanyaannya adalah bagaimana model regeresi
dengan sifat dikotomis ini? Model yang dapat digunakan adalah model yang
termasuk dalam kategori Limited Dependent Variable (Limdep Model) yaitu
Model Probabilitas Linear, Model Logit, Probit dan Tobit. Model Probit berkaitan
dengan fungsi probabilitas distribusi normal (normal distribution function),
sementara model Logit berkaitan dengan fungsi probabilitas distribusi logistik
(logistic distribution function) (Widarjono 2005). Model Tobit biasanya digunakan
ketika kita tidak mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan untuk
mendapatkan informasi variabel dependen. Salah satu model yang digunakan
dalam penelitian ini adalah model Logit. Model ini disebut Logit yang berasal dari
nama jenis distribusi probabilitas logistik untuk menjelaskan respon kualitatif
variabel dependen dan dapat ditulis dengan :

1 1
Pi = F ( Z i ) = F (α + β X i ) = − Zi
= − (α + β X i )i
..............................(2.5)
1+ e 1+ e

e merupakan logaritma natural dengan nilai 2,718 dan Pi adalah probabilitas


seseorang dalam memilih pilihan pertama pada tingkat variabel x tertentu. Nilai Z
33

terletak antara -∞ dan +∞ sedangkan nilai Pi terletak diantara 0 dan 1, dengan


demikian model ini memenuhi kriteria CDF. Perbedaan antara model probit dan
logit ini adalah nilai probabilitas Pi model logit yang mendekati 0 atau 1
mempunyai tingkat penurunan yang lebih lambat daripada model Probit.
Persamaan (2.5) dapat diestimasi dengan mengalikan persamaan (2.5) dengan
1+e-z pada kedua sisinya sehingga akan menghasilkan

(1 + e ) P = 1 ..................................................................................................(2.6)
− Zi
i

Persamaan (2.6) tersebut kemudian dibagi dengan Pi dan kemudian dikurangi


dengan 1 sehingga menghasilkan persamaan :
1 1 − Pi
e − Zi = −1 = .........................................................................................(2.7)
Pi Pi

1 (1 − Pi )
= ..................................................................................................(2.8)
e Zi Pi
Persamaan (2.8) dapat juga ditulis dengan :
Pi
eZi = ....................................................................................................(2.9)
(1 − Pi )
Persamaan (2.9) kemudian ditransformasi menjadi model logaritma natural
sehingga menghasilkan persamaan :
Pi
Zi = ln ...............................................................................................(2.10)
(1 − Pi )
Z
Ingat bahwa ln e i =Zi .Persamaan (2.10) dapat ditulis menjadi persamaan :
Pi
ln = Z = α + β X i ..............................................................................(2.11)
(1 − Pi ) i

Persamaan (2.11) di kenal sebagai model Logit (Logistic distribution function)


Nilai Zi terletak antara -∞ dan +∞, Pi terletak antara 0 dan1 dan Pi adalah nonlinier
terhadap Zi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana mengestimasi
persamaan (2.8) tersebut karena Pi tidak hanya non linear terhadap X tetapi juga
terhadap parameternya (βi). Estimasi model Logit tergantung dari jenis datanya
yaitu jika data nya berupa grup dapat diestimasi dengan OLS namun jika datanya
individu maka dapat diestimasi dengan metode maximum likelihood.

Pada persamaan (2.5) individual Pi tidak teramati, malahan kita


mempunyai informasi dari setiap observasi baik pilihan satu atau dua yang
34

terpilih. Variabel dependen Yi = 1 jika pilihan pertama yang dipilih dan 0 jika
pilihan kedua yang dipilih. Tujuan kita adalah untuk mencari estimator parameter
untuk α dan β , jika diasumsikan alternatif pertama yang dipilih sebanyak n1 kali
dan pilihan kedua dipilih sebanyak n2 kali. (n1 + n2= N) dan jika data tersebut
diurut, maka observasi n1 yang pertama berhubungan dengan alternatif pertama,
fungsi Likelihood mempunyai bentuk :

L = Prob (Y1 ,.........., YN ) = Prob (Y1 ) ....Prob (YN ) .............................................(2.12)

Sekarang dengan fakta perhitungan bahwa probabilitas dari alternatif kedua yang
dipilih dan menggunakan Π untuk mewakili produk faktor bilangan maka fungsi
Likelihood menjadi :

n1 N N (1−Yi )
( )
L = Pi ....Pn1 1 − Pn1 +1 ... (1 − PN ) = ∏ Pi ∏ (1 − P ) = ∏ P (1 − P )
i i
Yi
i ........(2.13)
i =1 i = n1 +1 i =1

Sehingga akan diperoleh nilai WTP rataan (mean WTP) dari pendugaan
koefisien (2.13) yang menggambarkan nilai non-use dari ekosistem terumbu
karang di kawasan konservasi laut kepulauan seribu.
35

III. METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode
deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk menuturkan dan menafsirkan data yang
berkenaan dengan situasi yang terjadi sekarang secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar variabel untuk mendapatkan
kebenaran (Subana dan Sudrajat 2001).

3.2 Jenis dan Sumber Data


Berdasarkan sumber data, data yang diambil dalam penelitian ini terdiri
dari data sekunder dan data primer, data sekunder berasal data-data statistik
yang berasal dari instansi-instansi yang berkaitan seperti Dinas Perikanan dan
Kelautan Jakarta, Suku Dinas Perikanan Kepulauan Seribu, Pemerintah
Kabupaten Kepulauan Seribu, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, jurnal-
jurnal, sedangkan data primer didapatkan dengan kuesioner kepada nelayan
yang menangkap ikan di wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu dan non
nelayan yang tinggal di kawasan ini (Lampiran 2).

Berdasarkan waktu, diambil dalam penelitian ini terdiri dari data time
series dan cross section.

1. Data time series atau berkala adalah data yang menjelaskan pergerakan
variabel antar waktu Pyndick dan Rubindfeld (1998). Data time series yang
diperlukan diantaranya adalah produksi perikanan, alat tangkap, effort dan
lain sebagainya.
2. Data cross section merupakan data yang dikumpulkan pada suatu waktu
tertentu (at point of time) yang bisa menggambarkan segenap aktivitas pada
satu waktu tertentu. Data cross section yang dibutuhkan adalah seperti
harga, struktur biaya dan lain sebagainya
36

3.3 Metode Pengambilan Data


Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode
purposive sampling, dimana untuk setiap pengambilan sampel dilakukan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Singarimbun dan Effendi
1989). Pertimbangan peneliti dalam pemilihan responden diantaranya adalah
keberadaan responden yang tidak pasti dan letak responden yang tersebar di
beberapa pulau yang berjauhan. Jumlah sampel yang diambil berdasarkan dari
teknik pengambilan contoh penelitian sosial ekonomi yang dikembangkan oleh
Fauzi (2001) yaitu :

NZ 2 × 0,25
n=
( (
d 2 × ( N − 1) + Z 2 × 0,25 ))
.........................................................................(3.1)

Dimana :
n = Jumlah sampel yang diambil
N = Jumlah populasi (yang diketahui dan diperkirakan)
Z = Standar deviasi yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan
(lihat tabel Z statistik)
d = Tingkat akurasi/presisi (biasanya antara 0,05 atau 0,01)

Kawasan Konservasi Laut atau Taman Nasional Kepulauan Seribu


berada di dua kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Panggang dan Kelurahan Pulau
Kelapa. Jumlah penduduk yang berada di Taman Nasional Kepulauan Seribu
adalah 11.031 jiwa (Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan
Seribu 2008), sehingga berdasarkan rumus Fauzi (2001) dengan tingkat presisi
10% (0,1) dan dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai Z = 1,65 sehingga
akan didapatkan sampel sebesar :

11.031× (1, 65 ) × 0, 25
2

n= = 67, 65 ≈ 68
( (0,1) × (11.030 − 1) + ( (1, 65) × 0, 25) )
2 2

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 68 responden,


karena proporsi jumlah penduduk yang bermatapencaharian nelayan dan non
nelayan adalah 80% dan 20 %, maka diperoleh sampel yang terdiri dari 55
responden nelayan dan 13 responden non nelayan.
37

3.4 Metode Analisis Data


3.4.1 Valuasi Ekonomi
Pendekatan yang digunakan untuk menghitung nilai total ekonomi
terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS adalah dengan
menggunakan perubahan produktifitas, market price, option price dan contingent
valuation method (Gambar. 7 )

TEV

USE VALUE NON USE VALUE

Perubahan Market Option


Produktifitas Price Price CVM

Gambar 7. Teknik Pendekatan Perhitungan Nilai Ekonomi Total

Berdasarkan Gambar 7 bahwa nilai ekonomi total dari terumbu kawasan


konservasi laut Taman Nasional Kepulauan Seribu menggunakan rumus :

TEV=UV+NUV ...............................................................................................(3.2)

TEV = Total Economic Value/ Nilai ekonomi total


UV = Use Value/ Nilai kegunaan
NUV = Non Use Value/ Nilai non kegunaan

3.4.2 Perubahan Produktifitas


Perhitungan manfaat ekonomi kawasan konservasi laut (MPA) dapat di
lakukan dengan salah satu metode yang paling sederhana yaitu melalui
pendekatan valuasi ekonomi statik, dengan cara menghitung perubahan
produktifitas kawasan tersebut (Fauzi dan Anna 2005). Pendekatan produktifitas
38

nilai ekonomi dari kawasan konservasi laut didekati dengan cara


membandingkan nilai kawasan akibat berkurang atau meningkatnya produktifitas
kawasan konservasi laut. Perubahan atau perbedaan yang terjadi di kawasan
tersebut pada nilai produktifitas maupun nilai sumber daya secara komprehensif
menggambarkan nilai ekonomi kawasan konservasi laut secara proxy. Formulasi
perhitungan perubahan produktifitas dari suatu kawasan konservasi dapat ditulis
dengan rumus (3.3) berikut :

⎛ NO ⎞
ΔNPt = ⎜⎜ t ⎟⎟⎟ ×ΔΩ ......................................................................................(3.3)
⎜⎝ xt ⎠⎟

ΔNPt = Perubahan Nilai Produksi pada periode t (Rp)


NOt = Nilai Output pada Periode t (Rp)
xt = Output pada periode t (Kg)
ΔΏ = Perubahan Produktifitas (Kg)

Perubahan produktifitas diukur berdasarkan rumus (3.4) dan (3.5) berikut:

ΔΩ = x − xt ....................................................................................................(3.4)
Tb
1
x =
n
∑x
t =1
t ....................................................................................................(3.5)

x adalah produktifitas rata-rata dari tahun ke 1 sampai tahun basis (Tb ), tahun
basis adalah tahun dimana perubahan produktifitas terjadi.

Rumus (3.4) dan (3.5) dapat dimodifikasi untuk menentukan nilai


kawasan ekosistem terumbu karang dengan mengukur perubahan nilai
moneternya. Untuk itu diperlukan konversi nilai moneter melalui rumus berikut:

GRt
φt = ........................................................................................................(3.6)
NOt

GRt adalah Gross Return atau keuntungan kotor dari usaha di kawasan
(misalnya keuntungan dari usaha perikanan). Dengan demikian perubahan nilai
ekonomi dari kawasan terumbu karang dapat dihitung sebagai:
39

ΔNSt = φt ×ΔΩt ............................................................................................(3.7)

Pengukuran perubahan nilai sumber daya dapat diukur berdasarkan rente


sumber daya atau keuntungan melalui rumus (3.8) berikut :

Δ π = η1 p1 (x 0 − x 1 ) .........................................................................................(3.8)

Δπ = Perubahan Rente (profit)


η1 = Rasio rente setelah terjadi perubahan produktifitas
p1 = Harga rata-rata setelah terjadi produktifitas
x0 = Output (produksi) sebelum terjadi perubahan produktifitas
x1 = Output (produksi) setelah terjadi perubahan produktifitas

3.4.3 Market Price


Pendekatan dalam menghitung nilai rekreasi yang ada di daerah kawasan
konservasi TNKpS adalah dengan menggunakan market price. Penurunan nilai
rekreasi dilihat dari jumlah wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional
Kepulauan Seribu setiap tahunnya. Metode market price yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan pendekatan berdasakan pengeluaran (expenditure-
based method) dengan mekanisme pasar dari wisatawan yang berkunjung ke
Taman Nasional Kepulauan Seribu. Sehingga nilai ekonomi yang berasal dari
pariwisata dapat ditulis dengan menggunakan rumus sederhana yaitu :

Nilai Pariwisata = c × N …………………………………………………………….(3.9)


dimana
C = Biaya rata-rata yang dikeluarkan turis
N = Jumlah turis yang berkunjung selama setahun

Pada persamaan 3.9 terlihat bahwa nilai yang berasal dari pariwisata merupakan
perkalian antara rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh turis selama berada di
daerah pariwisata di daerah kawasan konservasi laut TNKpS dengan rata-rata
jumlah turis yang berkunjung.
40

3.4.4 Perhitungan Option Price dengan Metode Von Neumann-


Morgenstern

Pendekatan dalam valuasi ekonomi yang dikemukakan oleh Fauzi (2007)


adalah dengan melakukan ‘Option Price’ yaitu memberikan pilihan antara
melakukan penangkapan ikan dalam kawasan konservasi dengan di luar
kawasan konservasi. Metode Von-Neumann Morgenstern ini digunakan untuk
menghitung option price sebagai proxy dari nilai pilihan dimana harga pilihan
merupakan solusi dari persamaan (3.10) :

π 1U ( x1 − OP ) + π 2U ( x2 − OP ) = EU ..............................................................(3.10)

Dimana :
π1 = Peluang terjadi kondisi baik (0,5)

π2 = Peluang terjadi kondisi buruk (1 − π 1 )

U(x1) = Utilitas dari kondisi baik/ musim panen


U(x2) = Utilitas dari kondisi buruk/musim paceklik
OP = Harga pilihan
EU = Expected Utility

Dimana Expected Utility mengikuti rumus (3.11) :

EU = π 1U ( x1 ) + (1 − π 1 ) U ( x2 ) .......................................................................(3.11)

3.4.5 Willingness To Pay (WTP)


Perhitungan nilai Willingness To Pay (WTP) dengan menggunakan
Contingent Valuation Method digunakan pendekatan metode LIMDEP model
diestimasi dengan menggunakan Maximum Likelihood dimana peluang
seseorang untuk membayar terhadap perbaikan ekosistem terumbu karang
diasumsikan merupakan fungsi dari variabel sosial ekonomi lainnya yaitu
pendidikan, pendapatan, dan pengalaman. Peluang menjawab ya = 1 (sanggup
membayar) atau tidak = 0, ditentukan oleh persamaan regresi linier berikut ini :

⎛ −α − β X n ⎞
P (Yn = 1) = P ( ui > −α − β X n ) = 1 − F ⎜ ⎟ .......................................(3.12)
⎝ σ ⎠
41

⎛ −α − β X n ⎞
P (Yn = 0 ) = P ( ui ≤ −α − β X n ) = 1 − F ⎜ ⎟ .......................................(3.13)
⎝ σ ⎠

Dimana koefisien α dan β adalah koefisien regresi dengan X adalah vektor


variable sosial ekonomi (pendidikan, pendapatan, umur, pengalaman).
Sedangkan σ adalah standar deviasi. Pendugaan koefisien dilakukan dengan
teknik maximum likelihood dengan fungsi sebagai berikut:

⎛ −α − β X n ⎞ ⎡ ⎛ −α − β X n ⎞⎤
L=∏F⎜ ⎟ ∏ ⎢1− F ⎜ ⎟ ⎥ …………………………….(3.14)
Yn = 0 ⎝ σ ⎠ Yn =1 ⎣ ⎝ σ ⎠⎦

Pendugaan koefisien pada persamaan (3.14) kemudian akan diperoleh nilai


rataan Willingness To Pay (mean WTP) yang menggambarkan nilai non-use dari
ekosistem terumbu karang.

3.5 Pemetaan Penelitian

Keseluruhan proses penelitian ini secara ringkas dapat dipetakan berupa


diagram sebagaimana ditampilkan pada Gambar 8. Secara umum penelitian
valuasi ekonomi terumbu karang di kawasan konservasi laut ini mempunyai
tujuan untuk mengetahui nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang yang
berada di kawasan konservasi laut TNKpS. Secara khusus penelitian ini
mempunyai 3 tujuan. Setiap tujuan membutuhkan data sebagai bahan untuk
perhitungan pada metode analisis. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
diantaranya adalah data kualitatif mengenai kondisi pemanfaatan sumber daya
terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS, data kualitatif lainnya berupa
persepsi masyarakat data yang diperlukan adalah data primer yang didapatkan
langsung dari responden (nelayan dan non nelayan) mengenai sumber daya
terumbu karang yang diperoleh dengan teknik wawancara sehingga didapatkan
keinginan membayar (WTP) dan informasi lainnya. Data-data yang dibutuhkan
untuk analisis adalah data yang bersifat urut waktu (time series) dan cross
section berupa produksi ikan, harga ikan, jumlah kapal, jumlah pengunjunng,
struktur pengeluaran turis, produksi kapal yang beroperasi di dalam KKL,
produksi kapal yang beroperasi di luar KKL,dan jumlah penduduk di kawasan
konservasi laut TNKpS.
42

Proses selanjutnya setelah diperoleh data-data yang dibutuhkan adalah


analisis data melalui beberapa pendekatan seperti perubahan produktifitas
(change in productivity), market price, option price dengan menggunakan teori
Von Neumann-Morgenstern, dan Contingent Valuation Method (CVM) yang
selanjutnya dianalisis dengan limdep model untuk mengetahui kebaikan model
tersebut. Pada akhirnya keseluruhan proses ini akan menghasilkan nilai
kegunaan (use value) dan nilai non kegunaan (non use value) sehingga akan
menghasilan nilai ekonomi total sumber daya terumbu karang di kawasan
konservasi laut TNKpS.

3.6 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian Valuasi Ekonomi Terumbu Karang ini telah dilaksanakan di


Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) yang
terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Kepulauan Seribu
Jakarta. Lokasi responden yang dijadikan sampel adalah Pulau Pramuka, Pulau
Panggang, Pulau Harapan dan Pulau Kelapa. Lokasi ekosistem terumbu karang
yang dinilai adalah yang berada di zona inti I, II dan III seluas 4.397,06 hektar.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 sampai dengan


Oktober 2008.
43

TUJUAN UMUM TUJUAN KHUSUS DATA METODE VALUASI OUTCOMES

Mengetahui kondisi 
pemanfaatan  dan persepsi
masyarakat terhadap ekosistem Primer dan sekunder
terumbu karang di Kawasan 
Konservasi Laut TNKpS Nilai Kegunaan

Time Series ,Harga, 
produksi, jumlah Change in 
Menghitung nilai pemanfaatan kapal/ Alat Tangkap,  Productivity Teridentifikasinya persepsi, 
Menghitung nilai ekonomi total 
ekosistem terumbu karang yang  efffort kondisi pemanfaatan dan non 
ekosistem terumbu karang yang 
berasal dari sektor perikanan  pemanfaatan, serta nilai non 
berada di kawasan konservasi
dan pariwisata di kawasan  Time series, jumlah kegunaan dan non kegunaan
laut TNKpS
konservasi laut TNKpS. pengunjung, struktur Market Price sumber daya terumbu karang
pengeluaran di kawasan konservasi laut
TNKpS

Produksi kapal (KKL 


Von Neuman‐
dan non KKL), Harga,  Option Price 
Morgernstern
musim
Menghitung nilai non  Nilai non Kegunaan
pemanfaatan ekosistem
terumbu karang berupa nilai
proteksi terumbu karang dan CVM LOGIT MODEL
nilai pilihan (option value) di 
kawasan konservasi laut TNKpS WTP, Jumlah
Penduduk

Agregat dari teknik


valuasi

Gambar 8. Pemetaan Proses Penelitian


44

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH KAWASAN KONSERVASI LAUT


KEPULAUAN SERIBU

4.1 Keadaan Umum Wilayah Studi


4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Konservasi Kepulauan
Seribu
Kawasan Konservasi Kepulauan Seribu atau dikenal dengan Taman
Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu
Utara Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Secara geografis
TNKpS terletak antara 5o24’ - 5o45’ LS dan 106o25’ – 106o40’ BT. Secara fisik
berbatasan dengan laut Jawa dan selat Sunda di sebelah utara, Kecamatan
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan di sebelah selatan, sedangkan sebelah
Timur dan Barat berbatasan dengan laut Jawa dan selat Sunda. Kawasan
TNKpS terbentang pada dua wilayah yaitu wilayah Kelurahan Pulau Panggang
dan wilayah Kelurahan Pulau Kelapa. Kawasan konservasi ekosistem terumbu
karang di kepulauan seribu terdapat di kawasan zona inti yang berdasarkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Nomor. SK.05/IV-KK/2004. Selain itu, ada juga kawasan konservasi ekosistem
terumbu karang yang melibatkan masyarakat atau yang biasa disebut Area
Perlindungan Laut (APL) atau Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang terletak di
dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu sesuai dengan SK Bupati
Kepulauan Seribu nomor 375/2004. APL/DPL yang terletak di dalam TNKpS
adalah DPL-BM Gosong Pramuka seluas 16 ha, dan DPL-BM Kelapa seluas
7 ha. Kawasan konservasi ekosistem terumbu karang di zona I, II dan III berada
di bawah kewenangan Departemen Kehutanan, sedangkan DPL/APL
pengelolaannya oleh masyarakat. Ekosistem terumbu karang yang dinilai pada
penelitian adalah terumbu karang yang berada di zona I, II dan III, atau sesuai
dengan SK yang dikeluarkan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam. Pembagian zona di Taman Nasional Kepulauan Seribu berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor.
SK.05/IV-KK/2004 adalah sebagai berikut :
45

1. Zona Inti, diperuntukan bagi upaya pelestarian sumber genetik dan


perlindungan proses ekologis. Zona ini merupakan daerah tertutup bagi
segala bentuk eksploitasi, kegiatan pariwisata dan kegiatan lain, kecuali
penelitian. Zona inti ini terbagi menjadi 3 lokasi yang terletak pada :

- Zona inti I, terletak pada koordinat 5027′ - 5029′ LS dan 106026′ - 106028′
BT mempunyai luas ± 1.386 hektar, meliputi Gosong Rengat dan
Perairannya yang diperuntukkan bagi perlindungan penyu sisik
(Eretmochelys imbricata) dan ekosistem terumbu karang.

- Zona Inti II, terletak pada koordinat 5026′36′′ - 5029′ LS dan 106032′ -
106035′ BT mempunyai luas ± 2.398 hektar, zona ini peruntukan
perlindungan ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang dan
tempat peneluran penyu yang meliputi perairan :

ƒ P. Penjaliran Barat
ƒ Gosong Penjaliran
ƒ P. Peteloran Timur
ƒ P. Peteloran Barat
ƒ P. Penjaliran Timur

- Zona Inti III, terletak pada koordinat 5036′ - 5036′45′′ LS dan 106033′36′′ -
106035′42′′ BT mempunyai luas sekitar 613,06 hektar, zona ini meliputi
perairan P. Kayu Angin Bira dan P. Belanda yang merupakan
perlindungan ekosistem terumbu karang dan penyu sisik (Eretmochelys
imbricata).

2. Zona Perlindungan, terletak pada 5024′ - 5030′ LS dan 106025′ - 106040′ BT,
dengan luas sekitar 26.284,50 hektar. Zona ini diperuntukan untuk
melindungi zona inti, dan tidak diperkenankan segala bentuk eksploitasi dan
kegiatan yang mengganggu keseimbangan ekosistem, kecuali kegiatan
observasi, penelitian, pendidikan, kegiatan penunjang budidaya dan wisata
alam terbatas. Pulau – pulau yang termasuk ke dalam zona ini adalah
P. Buton, P. Jagung, P. Karang Mayang, P. Rengit, P. Nyamplung, P. Sebaru
Besar, P. Sebaru Kecil.
46

3. Zona Pemanfaatan Wisata, terletak pada 5030′ - 5038′ - 5045′ LS dan 106025′
- 106033′ - 106040′ BT, dengan luas sekitar 59.634,50 hektar. Pada zona ini
dapat dibangun sarana dan prasarana rekreasi dan pariwisata alam yang
dikembangkan untuk mengakomodir kegiatan wisata bahari.

4. Zona Pemukiman, terletak pada 5038′ - 5045′ LS dan 106033′ - 106040′ BT,
dengan luas sekitar 17.121 hektar. Zona ini diperuntukan mengakomodir
kepentingan masyarakat, tetapi harus memperhatikan aspek konservasi dari
Taman Nasional Kepulauan Seribu.

4.1.2 Topografi , Iklim dan Keadaan Angin


Kawasan TNKpS rata-rata memiliki topografi yang mendatar dan
ketinggian dari permukaan laut antara 1 sampai dengan 2 meter, keadaan tanah
di kawasan ini adalah tanah berpasir dan memiliki tingkat kesuburan yang relatif
rendah. Kawasan TNKpS terdiri dari gugus pulau 78 pulau yang sangat kecil, 86
gosong pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.136 hektar
(reef flat seluas 1.994 ha, laguna seluas 119 ha, selat seluas 18 ha dan teluk
seluas 5 ha), terumbu karang dengan tipe karang fringing reef, mangrove dan
lamun bermedia tumbuh sangat miskin hara/ lumpur, dan kedalaman dangkal
sekitar 20-40 m.

Seperti daerah tropis pada umumnya, daerah TNKpS terdiri dari dua
musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi antara bulan
Nopember sampai dengan bulan April dengan jumlah hari hujan berkisar antara
10-20 hari per bulan. Sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan
Mei sampai dengan bulan Oktober, walaupun musim kemarau akan tetapi
kadang-kadang terjadi hujan dengan jumlah hari jatuh hujan berkisar antara
4 – 10 hari perbulan. Curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Januari
sedangkan curah hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Agustus. Peralihan
musim terjadi pada bulan April – Mei dan bulan Oktober – Nopember. Namun
dengan adanya global warming yang mengakibatkan perubahan iklim (climate
change) sehingga iklim dan musim sulit untuk diprediksi.
47

Suhu udara rata-rata antara 26,5 oC – 28,5 oC dengan nilai maksimum


tahunan 29,5 oC- 32,9 oC dan minimum 23,0 oC – 23,8 oC. Kelembaban nisbi
berkisar antara 75 % - 99 %, sedangkan tekanan udara rata-rata 1009,0 –
1011,00 mb. Pasang surut permukaan air laut di Kepulauan Seribu bersifat
harian tunggal. Level air tertinggi 0,6 m di atas duduk tengan dan terendah 0,5 m
di bawah duduk tengah.

Keadaan angin di TNKpS dipengaruhi oleh musim angin barat dan musim
angin timur. Biasanya musim angin barat terjadi pada bulan Desember sampai
dengan bulan Maret, kecepatan angin yang bertiup dari arah barat daya sampai
dengan barat laut adalah sebesar 7 – 20 knot/ jam. Pada bulan Desember
sampai dengan Februari biasanya angin bertiup dengan kecepatan diatas 20
knot/ jam. Pada musim angin timur, kecepatan angin yang bertiup dari arah timur
laut sampai tenggara berkisar antara 7 – 15 knot/jam, biasanya terjadi pada
bulan Juli sampai dengan September. Sementara itu, pada musim peralihan
yang terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan Mei, dan antara bulan
Oktober dan Nopember, angin bertiup dengan kecepatan relatif rendah.

4.1.3 Oseanografi
A. Batimetri
Wilayah Kepulauan Seribu mempunyai kedalaman perairan yang
bervariasi yaitu berkisar antara kurang dari 5 m hingga lebih dari 75 m. Setiap
pulau umumnya dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf)
hingga 20 kali lebih luas dari pulau tersebut dengan kedalaman laut kurang dari
5 m. Selain paparan pulau, setiap pulau juga memiliki daerah rataan karang (reef
flat) yang luas dengan kedalaman 0,5 m – 1,0 m pada saat air surut dengan jarak
60 – 80 m dari garis pantai.

B. Pasang Surut
Pasang surut adalah fenomena naik turunnya permukaan air laut. Setiap
daerah memiliki tipe pasang surut yang berbeda, tergantung letak geografis,
kontur kedalaman dan morfologi pantai. Tipe pasang surut ditentukan oleh
frekuensi air pasang dan surut perhari. Jika suatu wilayah mengalami sekali
pasang dan sekali surut per hari maka disebut mengalami Tipe pasang tunggal,
sedang jika dua kali pasang dan dua kali surut disebut mengalami tipe pasang
surut ganda.
48

Kondisi pasang surut di Kepulauan Seribu dapat dikategorikan sebagai


pasang harian tunggal. Tinggi rata-rata pasang perbanu sekitar 0,9 m dan
pasang mati sekitar 0,2 m.

C. Arus
Arus yang ditemui di suatu perairan dapat disebabkan oleh berbagai
faktor seperti angin, pasang surut, densitas yang disebabkan oleh perbedaan
suhu maupun salinitas, perbedaan tekanan hidrositas ataupun gaya koroalis.
Arus disepanjang perairan Pulau Seribu merupakan kombinasi dari arus pasang
surut dan arus yang ditimbulkan faktor meteorologis, terutama angin baik di
perairan pantai barat maupun timur, namun untuk arus permukaan dipengaruhi
oleh perubahan musim baik musim barat, musim timur maupun peralihan dari
dua musim tersebut. Beberapa pengukuran arus di kawasan telah banyak
dilakukan, diantaranya oleh Effendi (1993) kecepatan arus 2 – 19 cm/dt, Dinas
Perikanan DKI Jakarta (1997) 4 – 10 cm/dt, Seawatch-BPPT (1998) 0,6 – 77,3
cm/dt dengan rata-rata 23,6 cm/dt, dan jurusan Geoteknik ITB (1999) 5 – 48
cm/dt. Kecepatan arus yang tinggi umumnya terjadi pada pasang tertinggi yaitu
pasang purnama.

4.2 Kondisi Sosio - Demografi


Menurut data demografi Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2008,
jumlah penduduk di kawasan TNKpS yang terdiri dari dua Kelurahan adalah
sebesar 11.031 jiwa, dengan komposisi penduduk yang berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 5.661 jiwa dan perempuan sebanyak 5.370 jiwa sehingga sex ratio
dari kawasan ini adalah sebesar 105 yang artinya dalam 100 perempuan
terdapat 105 laki-laki. Luas kelurahan yang paling besar adalah Kelurahan Pulau
Kelapa yang memiliki luas sebesar 258,47 ha dengan kepadatan penduduk rata-
rata sekitar 21 orang/ha. Sedangkan Kelurahan Pulau Panggang memiliki luas
sebesar 62,10 ha dan dengan kepadatan penduduk sebesar 88 orang/ha.
Keadaan demografi kawasan TNKpS ini dapat dilihat pada Tabel 3.
49

Tabel 3. Keadaan Demografi di Kawasan TNKpS Tahun 2008


Penduduk Luas Sex Kepadatan
No Kelurahan KK
Lk Pr Jumlah (ha) Ratio (orang/ha)
1 Pulau Kelapa 2853 2698 5551 1197 258.47 106.00 21
2 Pulau Panggang 2808 2672 5480 1248 62.10 105.00 88
Jumlah 5661 5370 11031 2766 320.57
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu (2008)

Sebagian besar penduduk di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu


beragama islam dan penduduk yang tinggal di pulau-pulau tersebut merupakan
pendatang yang berasal dari berbagai suku di Indonesia diantaranya suku
Betawi, Banten, Bugis dan Madura. Mayoritas rumah yang dibangun di kawasan
ini adalah permanen dan semi permanen dan rata-rata setiap rumah mempunyai
fasilitas MCK. Aliran listrik di kawasan ini bergantung pada PLTD yang masing-
masing tiap Kelurahan berjumlah 2 buah, sehingga listrik di kawasan ini tidak
selalu menyala. Listrik mulai menyala dari pukul 5 sore hingga 7 pagi.

Tingkat pendidikan di kawasan ini secara umum masih bisa dikatakan


rendah, hal ini dapat terlihat dari Tabel 4 dengan mayoritas tamat SD sebanyak
3.149 orang (67,10 %). Jumlah tamatan SMP sebanyak 910 orang (19,39 %).
Sedangkan yang sempat menamatkan SMU sebesar 511 orang dan jumlah yang
menamatkan jenjang Perguruan Tinggi atau Akedemi sebanyak 123 orang.

Tabel 4. Tingkat Pendidikan Formal di Kawasan TNKpS tahun 2006


Tingkat Pendidikan
No Kelurahan PT/
SD SMP SMU
Akademik
1 Pulau Kelapa 688 310 285 103
2 Pulau Panggang 2,461 600 226 20
Jumlah 3,149 910 511 123
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu (2006)

Fasilitas pendidikan di kawasan ini masih kurang memadai, jumlah SMU


dan SLTP Negeri saja hanya ada satu yang terletak di Pulau Pramuka. Siswa-
siswa yang berasal dari pulau-pulau yang jauh dari pulau Pramuka tinggal di
asrama dan biasanya mereka pulang pada hari sabtu. Sedangkan bagi siswa
yang tinggal di pulau sekitar Pulau Pramuka disediakan angkutan berupa kapal
untuk mengantar jemput siswa tersebut dan tidak dipungut biaya. Sedangkan
50

Sekolah Dasar Negeri ada di setiap kelurahan, Kelurahan Panggang mempunyai


SD sebanyak 3 dan kelurahan Pulau Kelapa memiliki 2 SD.

Mata pencaharian yang ada di Kepulauan Seribu meliputi bidang


perikanan, perdagangan, PNS, ABRI, Karyawan, buruh dan lain-lain. Data
mengenai mata pencaharian ini dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di


Kawasan TNKpS Tahun 2006
Mata Kelurahan Persentase 
No Jumlah
Pencaharian P. Kelapa P.Panggang (%) 
1 TNI/ POLRI 10 9 19 0.54% 
2 PNS 58 92 150 4.29% 
3 Karyawan/ buruh 119 21 140 4.01% 
4 Nelayan 1142 1667 2,809 80.42% 
5 Wiraswasta 55 22 77 2.20% 
6 Dagang 162 102 264 7.56% 
7 Pensiunan 3 31 34 0.97% 
Jumlah 1,549 1,944 3,493 100.00% 
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu (2006)

Mata pencaharian di wilayah TNKpS, berdasarkan kondisi wilayahnya


yang terletak di pulau-pulau kecil dan dikelilingi laut ini, mayoritas
berpencaharian sebagai nelayan dengan jumlah 2.809 orang atau 80,42 % dari
jumlah penduduk. Selanjutnya yang bermata pencaharian sebagai pedagang
sebanyak 264 orang diikuti oleh PNS dan Karyawan/ buruh yang jumlahnya
masing – masing sebanyak 150 orang dan 140 orang. Sisanya adalah yang
memiliki mata pencaharian sebagai TNI/POLRI, wiraswasta dan pensiunan.

Selain itu, seperti yang terlihat pada Tabel 6 Sarana Penangkapan Ikan di
TNKpS, seperti dermaga tersedia sebanyak 11 buah, namun sarana lainnya
seperti pabrik es belum ada. Usaha perikanan di Kawasan TNKpS masih
didominasi oleh perahu motor sebanyak 706 unit, lalu kapal motor sebanyak
151 unit. Di kawasan TNKpS masih ada yang menggunakan perahu layar untuk
menangkap ikan, namun tentunya jarak yang di tempuh relatif tidak jauh, mereka
hanya menangkap sekitar pulau saja.
51

Tabel 6. Sarana Penangkapan Ikan di Kawasan TNKpS tahun 2006


Sarana Penangkapan Kelurahan
No
Ikan P. Kelapa P.Panggang Jumlah
1 Kapal Motor 31 120 151
2 Perahu Motor 231 475 706
3 Perahu Layar 27 17 44
4 Speed Boat 1 17 18
5 Dermaga 6 5 11
Jumlah 296 634 930
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu tahun 2006

Kondisi eksisting jenis alat tangkap yang ada di Kawasan TNKpS di dominasi
oleh pancing yaitu sebesar 502 unit (Tabel 7). Biasanya ikan yang tertangkap
adalah ikan ekor kuning, lodi, kerapu, baronang, mogong, kakap, layang, pisang-
pisang dan lain-lain

Tabel 7 Jenis alat penangkapan ikan di Kawasan TNKpS tahun 2006


Jenis Alat Kelurahan
No
Penangkapan Ikan P. Kelapa P.Panggang Jumlah
1 Pancing 58 444 502
2 Jaring Payang 82 11 93
3 Jaring Gebur 12 10 22
4 Jaring Muroami Besar - 5 5
5 Jaring Muroami Mini 5 5 10
6 Bubu Tambur/ Besar 19 21 40
7 Bagan 10 - 10
Jumlah 186 496 682
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu tahun 2006

Saat ini jenis alat tangkap yang menjadi perhatian adalah jaring muroami karena
selain alat tangkap ini tidak ramah lingkungan, nelayan dengan alat tangkap
jaring muroami menggunakan alat bantu compresor untuk menyelam dan hal
tersebut membahayakan kesehatan bahkan jiwa nelayan.
52

4.3 Kegiatan Ekonomi


Perekonomian di Kawasan TNKpS seperti telah diuraikan sebelumnya
didominasi oleh perikanan. Kegiatan perekonomian lainnya yang tidak bisa
diabaikan adalah pariwisata, dengan suasana yang eksotis, pulau-pulau kecil
yang dikelilingi oleh ekosistem yang indah seperti terumbu karang, ikan-ikan
hias, pantai berpasir putih dan lain-lain merupakan daya tarik tersendiri. Akan
tetapi dengan keindahan alam tersebut, menurut data Suku Dinas Pariwisata
Kabupaten Kepulauan Seribu (2007), rata-rata jumlah pengunjung ke lokasi
wisata di Kepulauan Seribu mengalami penurunan setiap tahunnya (Tabel 8 dan
Gambar 9)

Tabel 8. Jumlah Wisatawan di Kepulauan Seribu Tahun 1995-2006


Wisatawan Wisatawan
Tahun Jumlah
Mancanegara Nusantara
1995 12,991 143,772 156,763
1996 12,799 133,219 146,018
1997 10,252 105,683 115,935
1998 16,215 81,125 97,340
1999 15,918 80,105 96,023
2000 14,901 81,887 96,788
2001 15,038 82,011 97,049
2002 20,274 58,050 78,324
2003 16,775 67,467 84,242
2004 19,889 56,947 76,836
2005 20,012 42,063 62,075
2006 18,784 39,484 58,268
Sumber : Suku Dinas Pariwisata Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu tahun 2007
53

Wisatawan Mancan
negara W
Wisatawan Nus antara

Gambar
G 9. Jumlah Wisatawan ya
ang Berkunjjung ke Lok
kasi Wisata di
Kepulauan Seribu Ta
ahun 1995-2
2006.

Berd
dasarkan ha
asil survai, wisatawan yang berrkunjung ke
e kawasan
TNKpS
T bia
asanya me
elakukan ke
egiatan wisata pa
berup diving, snorkling,
memancing atau hanya berenang d
dan bermain di pantai se
ekitar pulau--pulau atau
resort.
r ort yang sa
Reso aat ini masih bertahan diantaranya
a adalah Se
epa Island
Resort, Alam
m Kotok Isla
and Resort dan
d Putri Re
esort. Kolapssnya resort lain
l adalah
karena jumlah pengunjjung yang kian
k menuru
un akibat krisis
k monete
er, apalagi
dengan
d Passca Tsunamii Aceh yang mengakibatkan orang ttakut ada dissekitar laut
sehingga
s r
resort-resort
t tersebut tidak a
bisa menutupi biaya op
perasional.
Wisatawan
W yang berkunjung biasa
anya mengin
nap selama satu malam
m dua hari
dan
d biasany
ya penuh pada
p saat hari libur dan akhir pekkan. Pengun
njung yang
datang
d ke kawasan
k ini mayoritas berasal dari DKI
D Jakarta, wisatawan
n asing pun
mayoritas ya
ang bekerja di DKI Jaka
arta.

Biaya yang dikeluarkan oleh pengunjjung untuk penginapan


n di resort
8.000,00 – Rp.
berkisar antara Rp. 688 R 1.100.000,00 belum termasuk pe
engeluaran
seperti
s hibu
uran, makan
n, cinderamata dan lain sebagainya. Sedang
gkan untuk
wisatawan
w yang
y berlibu
ur dengan an
nggaran yan
ng lebih rend
dah, tempatt menginap
yang
y dituju adalah
a pulau Pramuka. Di pulau ini terdapat pe
enginapan dengan tarif
54

yang lebih murah.Tarif per kamar untuk penginapan “Villa Merah” adalah sebesar
300 ribu per malam, dengan kapasitas 4 orang dan 2 tempat tidur, jika ada
penambahan tempat tidur maka akan dikenai biaya tambahan sebesar 25 ribu
per satu tampat tidur. Sedangkan penginapan lainnya adalah yang biasa disebut
Guest House dengan tarif menginap antara 300 – 350 per malam. Balai Taman
Nasional Kepulauan Seribu juga memiliki paket-paket wisata yang ditawarkan
kepada wisatawan sesuai dengan keinginan para wisatawan.

4.4 Ekosistem (Habitat)


4.4.1 Terumbu Karang
Terumbu karang tepian (fringing reef) merupakan terumbu karang yang
mengelilingi pulau-pulau di kawasan TNKpS, mempunyai kedalaman 0,5 – 5 m
yang merupakan habitat bagi berbagai jenis biota laut. Jenis-jenis karang yang
dapat di temukan di sekitar Kepulauan Seribu adalah jenis karang keras (hard
coral) seperti karang batu (masive reef), karang meja (table coral), karang kipas
(gorgnian), karang daun (leaf coral), karang jamur (mushroom coral) dan jenis
karang lunak (soft coral). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di kawasan
Kepulauan Seribu terdapat 267 jenis karang bercabang. Menurut Renstra Balai
Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2005 - 2009, terumbu karang yang
ada di kawasan TNKpS mengalami kerusakan, kerusakan yang terjadi adalah
coral bleaching yaitu pemutihan terumbu karang yang diakibatkan oleh
sedimentasi yang tinggi dan juga fenomena fluktuasi suhu dan juga karena zat
sianida yang biasanya digunakan oleh nelayan ikan hias dalam menangkap ikan.
Selain itu kerusakan yang terjadi juga dikarenakan oleh aktifitas manusia
terhadap coral reef seperti penambangan karang, buangan jangkar dan juga
karena diinjak oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan seperti muroami dan juga karena wisatawan yang melakukan aktifitas
seperti snorkling atau diving yang secara tidak sengaja menginjak karang-karang
tersebut.

Selain fringing reef, terdapat juga gosong-gosong yaitu komunitas


terumbu karang pada tepian gosong pasir yang berkembang dan secara lambat
akan menjadi pulau gosong. Pulau gosong tersebut antara lain Karang Congkak
dan gosong-gosong lainnya yang berkembang berdekatan dengan pulau-pulau
kecil. Fungsi dari gosong-gosong tersebut kadang seperti atol, sehingga disebut
pseudo attol seperti karang di gugusan Pulau Pari. Menurut Dinas Peternakan,
55

Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta (2003), paling tidak di kawasan ini hidup
113 jenis ikan hias yang diantaranya termasuk ke dalam family
Chaetodonthidaer, Diodonthidae, dan Pamancaaanthidae. Kawasan Kepulauan
Seribu juga dikenal sebagai salah satu kawasan yang mempunyai keragaman
jenis terumbu karang dan ikan hias tertinggi di Asia Tenggara. Selan itu, ikan-
ikan dengan nilai ekonomis tinggi banyak ditemukan di kawasan ini seperti ikan
baronang, ekor kuning, tenggiri dan tongkol.

Jenis-jenis Echinodermata juga banyak ditemukan di daerah ini


diantaranya bintang laut, teripang dan bulu babi. Blooming bulu babi disekitar
terumbu karang merupakan indikator terjadinya perusakan terumbu karang,
seperti yang terjadi pada daerah pulau-pulau yang dijadikan permukiman.
Sedangkan jenis crustacea yang ada di daerah ini dan banyak dikonsumsi antara
lain kepiting, rajungan dan udang karang (spinny lobster). Jenis Molusca yang
ditemukan di kawasan ini antara lain jenis Gastropoda yang terdiri dari 295 jenis
dan Pelecyposa sebanyak 97 jenis termasuk yang dilindungi diantaranya Kima
Raksasa dan Kima Sisik.

4.4.2 Padang Lamun


Kadang-kadang orang salah mengartikan bahwa seagrass adalah rumput
laut. Seagrass yang dalam bahasa Indonesia berarti lamun adalah tumbuhan air
berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang
hidup terendam dalam laut. Usaha untuk rehabilitasi di kawasan ini masih jarang
dilakukan karena menurut renstra BTNKpS 2005-2009 keberadaan dari padang
lamun ini masih belum bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat seperti
keberadaan coral reef. Namun, ekosistem padang lamun secara ekologi
merupakan daerah asuhan (nursery ground), spawning ground dan feeding
ground bagi berbagai biota. Biota yang khas adalah Dugong dan Penyu, namun
di daerah Kepulauan Seribu saat ini jarang bahkan tidak ditemukan dugong yang
sedang bermain di daerah tersebut. Ekosistem padang lamun bukan merupakan
entitas yang berdiri sendiri, akan tetapi juga berinteraksi dengan ekosistem
lamun dan ekosistem terumbu karang. Ada 12 jenis lamun yang tersebar di
perairan Indonesia, di Kepulauan Seribu terdapat 6 jenis lamun yang terdiri dari 4
jenis yang termasuk famili Hydrocharitaceae dan 2 jenis dari famili
Potamogetoceae.
56

4.4.3 Mangrove
Kondisi daerah pantai di TNKpS tanahnya mengandung pasir dan sedikit
lumpur mengakibatkan ekosistem mangrove di kawasan ini kurang
keberadaanya, karena kondisi tersebut kurang dalam mendukung sebagai media
tempat mangrove tumbuh. Pada beberapa pulau yang terdapat di Kawasan
Kepulauan Seribu, terutama zona inti I dan II terdapat mangrove yang hidup di
atas hamparan pasir laut. Jenis mangrove yang dapat dijumpai di daerah ini
diantaranya jenis bakau (Rhozophora marina), Tancana (Sonneratia alba), Buta-
buta (Exoecaria agal-locha) dan Jangkar (Bruguiera sp.)

Ekosistem mangrove, seperti ekosistem-ekosistem lainnya mempunyai


kegunaan sebagai spawning ground, feeding ground, nursery ground berbagai
jenis ikan, dan mempunyai fungsi ekologis dalam hal ini melindungi pulau dari
abrasi, intursi air laut, dan lain sebaginya. Untuk itu, Balai Taman Nasional
Kepulauan Seribu melakukan kegaiatan konservasi dengan menanam pohon
mangrove di sekitar pulau-pulau. Pada tahun 2006 tercatat 1,9 juta pohon
mangrove sudah di tanam di kawasan TNKpS.
57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden


Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah responden yang
berprofesi sebagai nelayan dan non-nelayan. Nelayan yang dijadikan responden
merupakan nelayan yang tinggal dan menangkap ikan di dalam kawasan TNKpS
serta nelayan yang tinggal di kawasan TNKpS tetapi menangkap ikan di luar
kawasan TNKpS. Total responden adalah sebanyak 68 responden yang terdiri
dari 55 responden yang berprofesi sebagai nelayan, dan 13 responden yang
berprofesi diluar nelayan (non nelayan). Responden nelayan terdiri dari nelayan
yang menggunakan alat tangkap pancing, bubu, muroami dan payang
Nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing merupakan nelayan
harian (one day fishing) dengan jumlah trip tiap bulan rata-rata 26 hari. Nelayan
di kawasan TNKpS rata-rata tidak melaut pada hari Jumat, karena mayoritas
nelayan beragama Islam sehingga pada hari tersebut para nelayan melakukan
Sholat Jumat. Selain itu mereka memanfaatkan hari Jumat untuk memperbaiki
jaring yang rusak. Wilayah penangkapannya relatif tidak jauh yaitu masih di
sekitar pulau-pulau di kawasan TNKpS. Jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan
yang menggunakan alat tangkap pancing beranekaragam seperti yang disajikan
pada Tabel 9.

Tabel 9. Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Pancing


Harga
Jenis Ikan
(Rp/Kg)
Ekor kuning 15.000
Kerapu Lodi 100.000
Kerapu 30.000
Baronang 22.000
Mogong 1.500
Kakap 20.000
Layang 5.000
Pisang-pisang 4.000
Sulir 1.500
Sumber : data primer diolah (2008)
58

Pada Tabel 9 terlihat bahwa jenis ikan yang di tangkap rata-rata


merupakan ikan demersal yang juga memiliki nilai ekonomis tinggi. Kisaran
harga ikan yang tertangkap oleh pancing adalah Rp. 1.500,00 – Rp. 100.000,00
yang termurah adalah ikan sulir dan mogong, sedangkan ikan paling mahal
adalah ikan kerapu Lodi. Berdasarkan wawancara, rata-rata jumlah tangkapan
per trip nelayan pancing adalah 10 Kg.

Alat tangkap bubu seperti nelayan pancing merupakan nelayan harian


(one day fishing), trip rata-rata setiap bulan sebanyak 26 trip. Wilayah
penangkapannya juga relatif tidak jauh hanya sekitar Kawasan TNKpS. Jenis
ikan yang ditangkap oleh bubu dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Bubu
Harga
Jenis Ikan
(Rp/Kg)
Selar 3000
Kembung 6000
Lodi 25000
Kerapu 30000
Tenggiri 18000
Mogong 1500
Lape bata 6000
Layang 5000
Tongkol 18000
raragang 5000
Serak 5000
Kakap 15000
Lencam 10000
Sumber : data primer diolah (2008)

Pada Tabel 10 terlihat bahwa kisaran harga ikan yang tertangkap oleh bubu
adalah sebesar Rp. 1.500,00 - Rp. 30.000,00. Harga ikan yang paling mahal
adalah ikan kerapu sedangkan harga ikan paling murah adalah ikan mogong.
Jumlah produksi rata-rata nelayan bubu per satu kali trip adalah sebesar 10 kg.

Alat tangkap lainnya adalah muroami, hari melaut muroami bervariasi ada
yang satu hari melaut (one day fishing) atau ada yang melaut 3-7 hari. Jenis-
jenis ikan yang ditangkap muroami dapat dilihat pada Tabel 11.
59

Tabel 11. Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Muroami

Harga
Jenis Ikan
(Rp/Kg)

Ekor Kuning 18000


Selar 4000
Pisang-pisang 8000
Bula 7500
Uyer 3000
Lodi 25000
Sulir 1500
Tenggiri 18000
Baronang 22000
Alu-Alu 4000
Budun 3000
Tengkek 8000
Kuniran 3000
Layang 5000
Sumber : data primer diolah (2008)

Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa ikan dengan nilai ekonomis yang tertangkap
oleh jaring muroami adalah ikan lodi dan baronang, sedangkan ikan yang
harganya paling rendah adalah ikan sulir. Produksi rata-rata jaring muroami
dengan hari melaut 4-7 hari adalah 315 kg, sedangkan nelayan harian rata-rata
memperoleh ikan sebanyak 28 Kg. Wilayah penangkapan jaring muroami adalah
sekitar kawasan TNKpS dan juga sampai keluar kawasan TNKpS.

Wilayah penangkapan jaring payang rata-rata di luar kawasan Taman


Nasional Kepulauan Seribu, mereka menangkap ikan sampai ke daerah
pabelokan, lampu putih dan lampu hitam. Jenis ikan yang tertangkap dengan
menggunakan alat tangkap payang dapat dilihat pada Tabel 12.
60

Tabel 12. Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Payang
Harga
Jenis Ikan
(Rp/Kg)
Selar 6000
Bawal putih 22000
Bawal hitam 20000
Kembung 8000
layang 6000
Tongkol 11000
Lemuru 4500
Temban 2500
Kuwe 14000
Sumber : data primer diolah (2008)

Pada Tabel 12 terlihat bahwa ikan yang paling mahal adalah ikan bawal
dan paling murah adalah ikan temban, jenis ikan yang paling sering tertangkap
dalam jumlah banyak adalah selar dan bawal. Jumlah tangkapan terbanyak ikan
bawal dalam satu kali trip adalah 100 kg sedangkan ikan selar mencapai 500 kg.
Waktu yang digunakan dalam menangkap ikan berkisar dari 8 sampai 24 jam.
Nelayan jaring payang menggunakan rumpon untuk membantu agar jumlah
tangkapan mereka menjadi lebih banyak. Rumpon yang digunakan terbuat dari
daun kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai tempat bermain
ikan.
Berdasarkan hasil survey, umur responden yang diwawancara rata-rata
37 tahun dan berkisar antara 19 – 65 tahun. Pengalaman responden dalam
bekerja rata-rata 18 tahun dengan kisaran 3 – 49 tahun. Rata-rata responden
mengenyam pendidikan selama 8 tahun, dengan kisaran 1 – 16 tahun, artinya
ada responden yang hanya mengenyam pendidikan hanya satu tahun bahkan
ada responden yang sampai lulus bangku kuliah. Pendidikan paling tinggi
responden nelayan hanyalah sampai lulus SMA, rata-rata pendidikan nelayan
yang dijadikan responden adalah sampai tamat Sekolah Dasar. Sedangkan rata-
rata pendidikan responden non-nelayan adalah tamat Sekolah Menengah
Pertama. Jika dilihat dari pendapatan, kisaran pendapatan responden nelayan
adalah Rp.100.000,00 – Rp. 2.000.000,00 setiap bulannya dengan rata-rata
pendapatan per bulan sebesar Rp. 804.00,00. Sedangkan responden non-
nelayan mempunyai kisaran pendapatan antara Rp.1.000.000,00 –
61

Rp. 3.000.000,00 dengan rata-rata pendapatan per bulan sebesar


Rp. 1.584.615,00

5.2 Persepsi Responden Terhadap Ekositem Terumbu Karang


Responden di kawasan konservasi laut TNKpS memandang bahwa
tujuan melindungi dan mencegah perusakan sumber daya terumbu karang
adalah penting untuk dilakukan, 82 % responden memandang penting, 13 %
memandang biasa saja sedangkan 4 % responden memandang bahwa upaya
untuk melindungi dan mencegah perusakan terumbu karang tidaklah penting.
Pentingnya sumber daya terumbu karang bagi masyarakat adalah sebagai
daerah penangkapan ikan (93 %), daerah untuk diambil terumbu karangnya
(6%), sebagai daerah wisata (15 %), cadangan ekosistem yang menyediakan
sumber daya di masa kini dan masa mendatang (18 %), dan pelindung bagi di
daerah pesisir untuk menjaga kestabilan alam (35 %).

Manfaat-manfaat yang diperoleh responden dari sumber daya terumbu


karang di kawasan konservasi laut TNKpS bervariasi, 85 % responden
mendapatkan manfaat dari pengambilan ikan karang untuk dipasarkan,
sedangkan 3 % responden merasakan manfaatnya dari menambang pasir, 9 %
mengatakan bahwa manfaat yang mereka peroleh adalah sebagai objek wisata,
manfaat lainnya yang dirasakan oleh responden adalah pengambilan ikan hias,
transplantasi terumbu karang, ikan untuk dikonsumsi, dan untuk kegiatan
menyelam (diving). Selama 12 bulan (satu tahun) terakhir responden (termasuk
anggota keluarga) yang memanfaatan dengan menangkap ikan ada 82 %,
sedangkan 3 % memanfaatkan dengan mengambil karang, sedangkan yang
memanfaatkannya sebagai daerah wisata sebanyak 4 %. Jumlah produksi rata-
rata yang diperoleh nelayan dari pemanfaatan berkisar 10 – 1.000 Kg per trip
untuk ikan konsumsi dan 15 ekor per trip untuk ikan hias. Lama tinggal
responden di wilayah konservasi laut kepulauan seribu berkisar antara 19 – 65
tahun, artinya mayoritas responden merasakan keadaan sebelum dan sesudah
adanya kawasan konservasi laut. Persepsi masyarakat mengenai kualitas
sumber daya terumbu karang dibandingkan 5 tahun yang lalu bervariasi (Gambar
10), namun tidak ada satupun responden yang mengatakan bahwa kondisi
sumber daya terumbu karang di kawasan ini dalam keadaan sangat baik,
sebanyak 46 % responden menyatakan bahwa kondisi terumbu karang saat ini
dalam keadaan baik walaupun masih ada beberapa kerusakan, 23 % responden
62

menganggap kondisi terumbu karang masih cukup baik, sedangkan 30%


menyatakan bahwa terumbu karang di kawasan konservasi dalam kondisi buruk.
Walaupun pada kenyataannya kondisi terumbu karang di zona inti tidak dalam
keadaan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari tutupan terumbu karang yang
semakin berkurang, tutupan terumbu karang yang berada di zona inti rata-rata
hanya 40 % di zona inti I dan II, sedangkan di zona inti III hanya 9,35 %.

Buruk 30%

Cukup 23%

Baik 46%

Sangat baik 0%

0% 10% 20% 30% 40% 50%

Gambar 10. Persepsi Responden Mengenai Kondisi Terumbu Karang


dibandingkan 5 Tahun yang Lalu

Persepsi responden mengenai produksi ikan yang didapatkan yaitu 88 %


mengatakan bahwa hasil produksi yang didapatkan saat ini menurun
dibandingkan dahulu, sedangkan sisanya tidak merasakan karena mereka tidak
memanfaatkan secara langsung. Penurunan produksi ini juga berkorelasi dengan
penurunan pendapatan dari responden, 74 % respoden mengatakan bahwa
pendapatan mereka per bulan menurun sekitar Rp. 500.000,00 dibandingkan
dahulu, sedangkan 13 % responden mengatakan bahwa pendapatan mereka
tetap atau stabil. Terakhir, responden diminta pendapatnya mengenai dampak
yang akan timbul apabila terumbu karang rusak, 87 % menyadari bahwa habitat
ikan hidup akan hilang, 12 % menyatakan bahwa akan menghilangnya daerah
pelindung pantai, 31 % menyatakan bahwa pendapatan nelayan akan berkurang
63

sedangkan 15 % menyatakan bahwa keindahan alam akan hilang, ada juga yang
menyatakan bahwa perairan akan rusak dan daerah pariwisata akan hilang.

Persepsi responden terhadap terumbu karang di kawasan konservasi laut


TNKpS yang berbeda-beda (Lampiran 3) disebabkan oleh latar belakang sosial-
ekonomi dan pengetahuan responden mengenai terumbu karang yang berbeda-
beda antara responden yang satu dengan responden lainnya.

5.3 Analisis Valuasi Ekonomi Nilai Pemanfaatan


5.3.1 Valuasi Perikanan yang Berasosiasi dengan Terumbu Karang

Perikanan memberikan kontribusi bagi ekonomi lokal di kawasan TNKpS,


hal ini tercermin dari jumlah penduduk yang berprofesi sebagai nelayan yaitu
sebesar 80 % dari jumlah penduduk menurut mata pencaharian di kawasan
TNKpS. Jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang yang banyak
ditangkap di kawasan ini adalah ikan konsumsi yang benilai ekonomis tinggi
seperti ikan baronang, ekor kuning, kerapu, kakap dan tongkol. Produksi
perikanan yang berasosiasi dengan terumbu karang ini dihitung berdasarkan
data produksi alat tangkap yang beroperasi di dalam kawasan TNKpS seperti
jaring muroami, pancing dan bubu selama 10 tahun yang kemudian diolah
sehingga mendapatkan surplus dari sektor perikanan tangkap (Tabel 13).

Produksi perikanan tangkap dengan menggunakan alat tangkap Muroami


dapat dilihat pada Gambar 11. Produksi alat tangkap muroami mengalami
penurunan pada tahun 1998, kemudian mencapai puncaknya pada tahun 2002.
Perubahan produktifitas dihitung dengan mencari selisih nilai pada saat sebelum
dan sesudah ditetapkannya zonasi atau sebelum dan sesudah tahun 2004. Nilai
yang didapatkan dari alat tangkap muroami berdasarkan data urut waktu pada
Lampiran 4 adalah sebesar Rp. 619.943.809,53.
64

800.00 

700.00 

600.00 

Produksi (ton)
500.00 

400.00 

300.00 

200.00 

100.00 


1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

Gambar 11. Produktifitas Alat Tangkap Muroami

Produksi perikanan yang berasal dari alat tangkap pancing seperti yang
ditampilkan pada Gambar 12, mengalami kenaikan sampai tahun 2003 menjadi
sekitar 1.008,64 ton, namun pada tahun 2004 bersamaan dengan ditetapkannya
zonasi di kawasan ini, produksinya mengalami penurunan sampai setengahnya
yaitu sebesar 536,63 ton. Nilai perubahan produktifitas yang didapatkan dari alat
tangkap pancing adalah sebesar Rp. 5.419.579.287,49.

1,200.00 

1,000.00 

800.00 
Produksi (ton)

600.00 

400.00 

200.00 


1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

Gambar 12. Produktifitas Alat Tangkap Pancing


65

Produksi alat tangkap lainnya yaitu bubu (Gambar 13), pada tahun 2002
merupakan puncaknya produksi yaitu mencapai 333,42 ton. Namun mengalami
penurunan yang signifikan yaitu pada tahun 2006 mencapai 13,77 ton. Hal ini
dikarenakan jumlah alat tangkap ini yang berkurang cukup signifikan yaitu hampir
95 %, sehingga berdampak terhadap produksi. Nilai perubahan yang berasal dari
alat tangkap bubu Rp. 1.728.565.483,91.

400.00
350.00
300.00
Produksi (ton)

250.00
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

Gambar 13. Produktifitas Alat Tangkap Bubu

Sektor perikanan lainnya berasal dari ikan hias, di kawasan TNKpS ikan
hias mempunyai jenis yang beragam dan dimanfaatkan oleh nelayan untuk
ditangkap yang kemudian dijual. Saat ini penangkapan ikan hias di kawasan
TNKpS sudah mulai dengan kaidah-kaidah yang benar, misalnya nelayan harus
mempunyai sertifikat sehingga tidak akan menimbulkan kerusakan karang
seperti penangkapan sebelumnya dengan menggunakan Sianida. Walaupun
masih ada beberapa yang menggunakan Sianida secara sembunyi-sembunyi,
namun apabila tertangkap basah akan ditertibkan dan diberi pengarahan. Ikan
hias yang berasal dari kawasan TNKpS di pasarkan ke daerah-daerah di
Indonesia seperti Jakarta, Jawa Barat, Sumatera dan bahkan di ekspor ke luar
negeri. Nilai pemanfaatan ikan hias dihitung berdasarkan data produksi ikan hias
yang berasal dari kelompok-kelompok ikan hias yang ada di kawasan TNKpS
yang kemudian dihitung berdasarkan harga pasarnya (Tabel 13).
66

Ikan hias yang tertangkap di daerah kawasan TNKpS diantaranya adalah


botana (genus Acantharus), Ikan badut (genus Amphiprion), ikan angel (genus
Centropyge, Pygoptiles, Genicanthus, Chaetodontoplus, Pomacanthus), ikan
capungan (genus Apogon, Archamia) ikan kambingan (genus Heniochus), ikan
kepe (genus Chaetodon, Hemitaurichthys, Forcipiger, Chelmon, Parachaetodon),
kuda laut (genus Hippocampus), ikan barong (genus Dendrochirus, Inimicus,
Thysanophrys, Gobiodon, Taenianotus, Ablabys, Antennarius, Histrio,
Halophryne, Batrachomoeus, Pterois, Eurypegasus, Rhinopias, Synanceia), ikan
kerapu (genus Chromileptes, Epinephelus, Cephalopholis), ikan betok (genus
Chrysiptera, Chromis, Pomacentrus, Amblyglyphidodon, Plectroglyphidodon,
Neopomacentrus, Hemiglyphidodon, Stegastes, Cheiloprion, Dischistodus), ikan
dokter (genus Labroides, Malacanthus, Pseudodax, Labroides), Bicolor Parrotfish
(genus Cetoscarus), ikan layaran (genus Heniochus), udang-udangan (genus
Panulirus, Enoplometopus, Lysamata, Odontodactylus), ikan triger (genus
Melichthys) dan lain sebagainya. Ada beberapa yang berupakan ikan konsumsi
yang bernilai ekonomis tinggi seperti kerapu, ikan jenis ini dijadikan ikan hias
ketika ikan tersebut masih kecil. Apabila pengambilan ikan konsumsi yang
dijadikan ikan hias ini berlebihan maka akan mengakibatkan hilangnya ikan jenis
tersebut. Pengambilan ikan hias di kawasan TNKpS perlu diawasi dari jumlah
nelayan.

Tabel 13. Nilai Pemanfaatan yang berasal dari Perikanan

Nilai 
Perikanan 
(Rupiah) 

Perikanan Tangkap 
Muroami                          619.943.809,52 
Pancing                       5.419.579.287,49 
Bubu                        1.728.565.483,91   
Ikan Hias 
Ikan Hias                        1.484.579.148,10  
Jumlah                        9.252.667.729,04  
Sumber : data primer dan sekunder diolah (2008)

Tabel 13 memperlihatkan bahwa nilai pemanfaatan/ surplus yang


didapatkan dari perikanan tangkap saja sebesar Rp. 7.768.088.580,93 setiap
tahunnya yang berasal dari 3 alat tangkap yaitu muroami, pancing dan bubu
67

masing masing bernilai Rp. 619.943.809,53, Rp. 5.419.579.287,49 dan


Rp. 1.728.565.483,91. Sedangkan nilai yang didapat dari ikan hias di kawasan
TNKpS adalah sebesar Rp. 1.484.579.148,10.

5.3.2 Valuasi Pariwisata yang Berasosiasi dengan Terumbu Karang

Aktivitas ekonomi yang berasal dari pariwisata dan rekreasi memberikan


kontribusi yang berarti bagi ekonomi lokal di kawasan TNKpS. Kegiatan
pariwisata yang berasosiasi dengan terumbu karang di kawasan ini diantaranya
adalah diving dan snorkling. Penduduk lokal di kawasan ini ada yang bekerja di
resort dan juga bekerja sebagai pemandu untuk kegiatan snorkling dan diving.
Walaupun tidak semua wisatawan datang ke tempat ini untuk menikmati
keindahan terumbu karang. Akan tetapi, terumbu karang merupakan komponen
yang penting dalam menarik turis untuk datang ke kawasan TNKpS. Hunian di
resort akan penuh pada saat liburan sekolah dan akhir pekan. Sedangkan pada
hari biasa penginapan-penginapan yang ada di kawasan ini akan sepi dari
pengunjung, apalagi dengan kenaikan harga-harga yang mengakibatkan biaya
meningkat. Selain itu faktor cuaca dan isu keamanan transportasi laut menjadi
pertimbangan pengunjung untuk berekreasi ke kawasan TNKpS.

Nilai ekonomi pemanfaatan yang berasal dari pariwisata yang


berhubungan dengan terumbu karang dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran
rata-rata (expenditure based) dan jumlah wisatawan yang berkunjung ke wilayah
TNKpS pertahunnya. Pengeluaran rata-rata wistawan untuk berada di kawasan
ini selama dua hari satu malam adalah sebesar Rp. 937.000,00 per orang belum
termasuk membeli cenderamata, makan, rekreasi dan lain sebagainya. Rata -
rata pengunjung selama 12 tahun adalah 98.050 orang sehingga didapatkan nilai
langsung pemanfaatan yang berasal dari pariwisata yang berkaitan dengan
terumbu karang adalah sebesar Rp. 91.873.642.846,00. Nilai langsung (direct
value) yang berasal dari pariwisata ini jika dibandingkan dengan PDRB
Kabupaten Kepulauan Seribu adalah sebesar 84% dari Total PDRB tahun 2006
(Kepulauan Seribu dalam Angka 2007). Fauzi (2007) mengatakan bahwa
kegiatan pariwisata di Kawasan Konservasi Laut TNKpS juga menciptakan
dampak ekonomi secara tidak langsung berupa upah masyarakat lokal dan juga
pengeluaran terhadap makanan untuk keperluan sehari-hari. Saat ini, resor yang
68

beroperasi di TNKpS ada 5 dengan jumlah pegawai rata-rata setiap resor adalah
50 orang. Rata-rata gaji yang diterima adalah Rp. 250.000,00 per bulan sehingga
akan memberikan kontribusi terhadap kawasan ini sebesar Rp. 617.000.000,00
setiap tahunnya. Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa sektor pariwisata
juga memberikan multiplier effect yang berasal dari uang yang dikeluarkan oleh
turis untuk makanan ketika tinggal di resor. Multiplier effect dari sektor ini
terhadap makanan yang dikalkulasikan dari pengeluaran total yang mereka
keluarkan adalah sebesar Rp. 4.750.000.000,00 per tahun. Nilai pariwisata
keseluruhan yang didapatkan dari nilai langsung (direct value) dan nilai tidak
langsung (indirect value) adalah sebesar Rp. 97.241.142.846,00

5.4 Analisis Valuasi Ekonomi Nilai Non Pemanfaatan


5.4.1 Analisis Kualitatif Willingness To Pay (WTP)

Nilai ekonomi non pemanfaatan, pertama diperoleh dengan


menggunakan analisis kualitatif terhadap respon mengenai Willingness to pay
(WTP) penduduk baik nelayan maupun non nelayan bagi pemeliharaan
ekosistem terumbu karang yang baik. Nilai WTP didapatkan melalui wawancara
yang dilakukan melaui pendekatan dichotomus choice, dalam pendekatan ini
responden diberi pertanyaan untuk menjawab ‘ya’ dan ‘tidak’ terhadap keinginan
mereka untuk membayar sejumlah nilai tertentu. Penentuan nilai yang ingin
dibayarkan responden dilakukan secara sistematik sampai responden
menyatakan tidak untuk membayar. Selain itu, responden diberikan gambar
visual mengenai kondisi ekosistem terumbu karang yang baik dan kondisi yang
buruk/rusak, kemudian mereka diberi pilihan untuk melakukan ‘bid’ atau lelang
dari sejumlah Rp. 20.000,00 per kepala keluarga sampai dengan Rp. 100.000,00
per kepala keluarga untuk mempertahankan keadaan ekosistem terumbu karang
dalam keadaan baik. Analisis kualitatif dengan WTP ini dilakukan untuk
menangkap “passive use value” atau biaya korbanan yang hilang jika ekosistem
terumbu karang rusak dan tidak mampu memberkan jasa kepada penduduk
kawasan TNKpS (Fauzi 2007) Nilai WTP yang berasal dari responden disajikan
pada Gambar 14 dan Lampiran 5.
69

(Rupiah)
Bid

Orang

Gambar 14. Grafik WTP Responden

Grafik pada Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai WTP maksimum


responden adalah diatas Rp. 100.000,00, dan modus nilai WTP berada pada
kisaran 0 – Rp. 20.000,00. Mean WTP untuk responden nelayan adalah sebesar
Rp. 35.272, 73 dengan modusnya sebesar Rp. 20.000,00. Nilai minimum WTP
nelayan adalah Rp.0,00 atau tidak mau membayar, sedangkan nilai maksimum
WTP nelayan adalah sebesar Rp. 100.000,00. Jumlah nelayan yang tidak mau
membayar ada 5 orang. Responden non nelayan mempunyai rataan WTP
sebesar Rp. 110.769,23, sedangkan modus nilai WTP non nelayan adalah
sebesar Rp. 100.000,00. Nilai minimum WTP non nelayan adalah sebesar
Rp. 20.000,00, sedangkan nilai maksimumnya sebesar Rp. 500.000,00.

Nilai mean WTP responden cukup rendah jika dibandingkan dengan


pendapatan mereka, untuk responden yang berprofesi nelayan saja nilai mean
WTP hanya 0,35 % dari pendapatan mereka per tahun, untuk responden yang
berprofesi non-nelayan mempunyai nilai mean WTP yang lebih tinggi yaitu
0,63 % dari pendapatan mereka. Nilai mean WTP nelayan lebih kecil daripada
non nelayan, hal ini mengindikasikan bahwa apresiasi nelayan terhadap jasa
lingkungan yang dihasilkan terumbu karang masih kurang dibandingkan dengan
responden non nelayan. Padahal nelayan mempunyai keterkaitan yang lebih erat
terhadap ekosistem terumbu karang dibandingkan dengan non nelayan, karena
mereka mengambil atau mengekstraksi langsung sumber daya ikan yang
70

berasosiasi langsung dengan ekosistem tersebut. Jika dilihat dari latar belakang
pendidikan, rata-rata nelayan mengenyam pendidikan selama 7 tahun, lebih
rendah dari pada responden non nelayan yang rata-rata menuntaskan
pendidikan selama 11 tahun. WTP minimum adalah Rp. 0,0 yaitu dari responden
adalah berasal dari nelayan, artinya mereka tidak mau membayar, alasan
mereka adalah karena permasalahan, kerusakan dari ekosistem terumbu karang
bukanlah masalah yang harus diperhatikan nelayan, akan tetapi harus
diperhatikan oleh pemerintah. WTP maksimum berdasarkan hasil survai adalah
sebesar Rp.500.000,00 per tahunnya, responden berasal dari non-nelayan hal
ini dikarenakan hubungan responden dengan terumbu karang sangat erat,
sebagai polisi hutan dan juga diver, responden memiliki pengetahuan tentang
terumbu karang yang baik. Sedangkan dari responden nelayan, nilai WTP
tertinggi adalah Rp. 100.000,00, yaitu 1 orang yang menyatakan ingin membayar
sejumlah uang tersebut. Tampilan WTP dari responden berupa descriptive
statistic yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak excel dapat dilhat
pada Lampiran 6. Pada analisis tahap ini didapatkan nilai pengguna pasif
(passive use value) bagi kawasan konservasi laut. Nilai tersebut didapatkan dari
penjumlahaan rataan WTP responden nelayan dan non nelayan. Nilai mean
WTP individu per kapita adalah sebesar Rp. 49.044,00. Selanjutnya dilakukan
agregasi untuk seluruh penduduk yang ada kawasan TNKpS, sehingga akan
didapatkan nilai sebesar Rp. 541.005.661,00 pertahun.

5.4.2 Analisis WTP melalui Limdep Model

Analisis selanjutnya adalah analisis WTP melalui pendekatan regresi


LIMDEP (limited dependent variable) dengan model LOGIT. Regresi ini disebut
dengan LIMDEP dikarenakan nilai dependent variable bergerak diantara nilai
biner yaitu 0 dan 1. Asumsi ini diperlukan untuk menyatakan keputusan
responden untuk membayar (1) atau tidak membayar pemeliharaan terumbu
karang di Kawasan TNKpS setiap tahunnya. Keinginan membayar atau tidak
membayar responden diasumsikan dipengaruhi oleh variabel sosial ekonomi
seperti umur, pendidikan, pengalaman, dan pendapatan. Karena data yang
digunakan merupakan data individual, maka metode OLS tidak dapat
diaplikasikan karena model Logit ini merupakan model yang non linier. Oleh
karena itu, prosedur yang digunakan dalam mengestimasi model Logit ini adalah
71

melalui metode maximum likelihood. Estimasi model ini dilakukan dengan


menggunakan software Eviews (Lampiran 7), sehingga didapatkan hasil regresi
antara WTP dan variabel sosial-ekonomi seperti pada Tabel 14.

Tabel 14.Hasil Regresi Willingness To Pay: Model Logit

Standar
Variabel Koefisien Z-Statistic Probability
Error

Konstanta -0,383106 3,253733 -0,117744 0,9063


Umur -0,191290 0,150070 -1,274670 0,2024
Pendidikan 0,325258* 0,172031 1,890692 0,0587
Pengalaman 0,223034 0,157791 1,413471 0,1575
Pendapatan 0,00000519* 0,00000280 1,852262 0,0640

LR statistic (4df) 13,01859 Mc Faden R-Squared 0,320756


Probability (LR stat) 0,011185
* Signifikan pada α=10%
Sumber : data primer diolah (2008)

Pada Tabel 14 terlihat bahwa keputusan responden untuk membayar dan


tidak membayar dipengaruhi secara signifikan pada α=10% oleh variabel
pendidikan dan pendapatan. Koefisien kedua variabel yang positif tersebut
menunjukkan semakin tinggi pendidikan dan pendapatan responden, maka
kesadaran mereka untuk membayar untuk pengelolaan sumber daya terumbu
karang akan semakin tinggi. Sedangkan dua variabel lainnya yaitu umur dan
pengalaman, tidak signifikan pada α=10%. Namun nilai koefisien umur yang
negatif dapat berarti kencenderungan responden yang lebih muda memilih untuk
membayar dibandingkan responden yang lebih tua ( α = 20% ). Responden yang
lebih muda, berdasarkan hasil survai, terlihat lebih terbuka dalam menerima
informasi baik yang berasal dari LSM-LSM lokal, pemerintah, media dan lain
sebagainya. Sedangkan responden yang lebih tua relatif kurang mau menerima
masukan-masukan ataupun sosialisasi-sosialisasi yang diberikan oleh
pemerintah.
72

Pengalaman responden berdasarkan estimasi cukup mempengaruhi


keputusan membayar, semakin lama pengalaman responden maka apresiasi
mereka terhadap sumber daya terumbu karang semakin tinggi pula. Selanjutnya
untuk menguji hipotesis nul apakah semua variabel sosial ekonomi secara
bersama-sama tidak mempengaruhi variabel keputusan membayar maka
digunakan uji statistik Likelihood Ratio (LR). Nilai LR mengikuti distribusi chi
square (X2), dari hasil estimasi didapatkan nilai LR sebesar 13,02, sedangkan
nilai tabel X2 pada selang kepercayaan 95% adalah sebesar 0,2. Karena nilai
hitung lebih besar daripada nilai kritis maka kita menolak H0, artinya semua
variabel sosial ekonomi (umur, pengalaman, pendidikan, dan pendapatan)
sebagai variabel penjelas secara bersama-sama mempengaruhi keputusan
responden untuk membayar atau tidak yang merupakan variabel independen.

Kebaikan regresi model logit diestimasi tidak bisa diukur dengan koefisien
determinasi yang konvensional tetapi bisa dengan koefisien regresi yang
2
dikembangkan oleh McFadden atau disingkat RMcF (Widarjono 2005), Jika dilihat
2
dari estimasi yang didapat nilai koefisien determinasi RMcF adalah sebesar 0,321

artinya kebaikan dari regresi logit ini hanya 32,1 % bisa dijelaskan oleh variabel
penjelas yang ada. Namun jika kita melihat penelitian-penelitian yang
2
menggunakan choice modelling yaitu dengan model logit, hasil RMcF yang

didapatkan juga relatif kecil. Seperti peneliltian yang dilakukan oleh Chan et al
2
(2006), nilai RMcF hanya sebesar 0,098 dan hasil penelitian Gazzani dan

Marinova yang mendapatkan nilai ρ 2 (pseudo R2) sebesar 14,7 %. Nilai ρ 2 juga
bias digunakan untuk melihat kebaikan regresi model logit (Henser dan Johnson
1981 diacu dalam Wielgus et al 2003).

5.4.3 Analisis Nilai Pilihan (Option Value)

Nilai pilihan diperoleh dengan menggunakan pendekatan Von Neumann


Morgenstern. Metode ini memasukan unsur ketidakpastian, dan unsur
ketidakpastian yang dimasukan dalam penelitian ini adalah produksi perikanan
yang mengalami fluktuasi yang mempengaruhi pendapatan nelayan dalam
menangkap ikan baik di dalam maupun di luar Kawasan Taman Nasional
Kepulauan Seribu sehingga akan diperoleh nilai pilihan. Nilai pilihan menurut
73

Fauzi dan Anna (2008) pada hakekatnya merupakan pilihan yang dihadapi
masyarakat jika dihadapkan pada ketidakpastian. Langkah pertama yang
dilakukan dalam menghitung nilai pilihan adalah menghitung option price atau
harga pilihan. Option Price dalam perspektif Von Neumann Morgensten Theory,
pertama-tama harus diketahui nilai harapan (Expected Value), nilai utilitas
harapan (Expected Utility) dan utilitas dari nilai harapan. Nilai-nilai tersebut dalam
hal ini dihitung berdasarkan data produktivitas perikanan yang kemudian di proxy
menjadi pendapatan nelayan yang merupakan penduduk TNKpS dengan situasi
pengelolaan dengan dan tanpa KKL serta dengan kemungkinan musim panen
dan musim paceklik (Tabel 15). Penetapan pengelolaan Kawasan Konservasi
Laut atau KKL merupakan wujud sikap terhadap ketidakpastian, hal ini juga
mencerminkan sikap risk averse (menghindari resiko) dari masyarakat dan
pemerintah.

Tabel 15. Kemungkinan Harga Pilihan


Dengan KKL Tanpa KKL
Kemungkinan Peluang ( π )
(Juta Rupiah) (Juta Rupiah)
Musim Panen 327.360 278.256 0,5

Musim Paceklik 20.460 17.391 0,5

Nilai harapan 173.910 147.283

Sumber : data primer diolah (2008)

Dengan menggunakan data pada Tabel 15 didapatkan nilai Expected surplus


(ES) atau surplus harapan yang didapatkan dari kawasan TNKpS adalah
sebesar Rp.49.104.000.000,00 untuk musim panen ( ESh ) dan surplus harapan

pada saat musim paceklik ( ESL ) adalah sebesar Rp. 3.069.000.000,00. Utilitas

harapan atau Expected Utility ( EU ) tanpa adanya kawasan TNKpS adalah


sebesar :

EU nokkl = 0, 5 ( 278.256 ) + 0, 5 (17.391) = 11,15 ……………………………………(5.1)

Dengan mengetahui nilai EU nokkl tersebut, maka akan di dapatkan nilai pilihan

(Option Price) yang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :


74

0,5ln( xh − OP) + 0,5ln( xL − OP) = Eunokkl ……………….…...……………..(5.2)

0,5ln(327.360 − OP) + 0,5ln(278.256 − OP) = 11.15 ……………………...…(5.3)

Atau dapat ditulis :


11,15

( 327.360 − OP ) (278.256 − OP) = e 0,5 ……………………….………………(5.4)

Persamaan (5.4) akan menghasilkan persamaan kuadratik dalam OP dan


hasil solusi yang didapatkan adalah solusi ganda dimana nilai yang didapatkan
merupakan bilangan yang bertanda positif dan negatif. Nilai Option Price harus
bertanda positif, oleh karena itu hanya bilangan yang bertanda positif yang
digunakan. Solusi yang diperoleh dengan menggunakan software Mapple 10
(Lampiran 8) adalah nilai Option Price (OP) sebesar Rp. 342.391.609.100,00 dan
Surplus Harapan atau Expected Surplus ( ES ) keseluruhan adalah sebesar
Rp. 26.086.500.000,00. Setelah OP dan ES diketahui, maka dapat diketahui nilai
pilihan atau Option Value (OV) yang merupakan selisih antara OP dan ES, atau
dapat ditulis dengan :

OV = OP − ES ……………………………………………………………………...(5.5)

Sehingga dengan memasukan nilai OP dan ES, akan didapatkan OV sebesar :

OV = Rp.342.391.609.100,00 − Rp.26.086.500.000,00

OV = Rp.316.305.109.100,00 ……………....……………………………….…..(5.6)

Nilai pilihan (Option Value) dari Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
adalah sebesar Rp.316.305.109.100,00, nilai tersebut merupakan nilai pilihan
atau opsi, apabila kawasan TNKpS tidak ada maka nelayan yang tinggal di
kawasan ini akan kehilangan produktifitas sebesar setara dengan nilai moneter
yaitu Rp.316,31 milyar setiap tahunnya. Menurut Leveque (1997) nilai pilihan ini
dapat dianalogikan seperti nilai asuransi (insurance value) atau sebagai premi
asuransi yang dibayarkan saat ini untuk menghindari adanya ketidakpastiaan
pada masa mendatang (David et al 2007), sepertinya terjadinya kerusakan
terumbu karang yang masif, bencana alam dan lain sebagainya. Hal ini
dikarenakan pada hakekatnya kawasan konservasi laut (KKL) hedging terhadap
75

ketidakpastian tersebut yang mencerminkan sikap pemerintah dan masyarakat


untuk menghindari resiko.

5.4.4 Nilai Ekonomi Pemanfaatan dan Non Pemanfaatan

Nilai-nilai yang diperoleh dari penelitian ini adalah nilai pemanfaatan dan
non pemanfaatan kawasan TNKpS, nilai pemanfaatan diestimasi berdasarkan
persamaan yang diperoleh dari dari sektor perikanan dan sektor pariwisata,
dimana kedua sektor tersebut merupakan sektor-sektor yang berasosiasi
dengan sumber daya terumbu karang secara langsung maupun tidak langsung.
Nilai pemanfaatan yang berasal dari sektor perikanan dihitung berdasarkan
surplus yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya ikan di kawasan TNKpS,
produktivitas dari alat tangkap yang menangkap ikan yang berasosiasi dengan
terumbu karang, seperti alat tangkap muroami, pancing dan bubu yang dihitung
berdasarkan data 10 tahun terakhir dan juga data cross-section. Sementara itu,
nilai pemanfaatan yang berasal dari sektor pariwisata diperoleh dari jumlah rata-
rata yang dikeluarkan wisatawan yang berkunjung ke Taman Kepulauan Seribu
untuk berekreasi dan juga multiplier effect yang ditimbulkan dari sektor pariwisata
seperti pengeluaran pada makanan dan gaji.

Nilai non pemanfaatan yang didapatkan diperoleh dari total WTP


penduduk kawasan TNKpS dan nilai pilihan. Nilai WTP diperoleh dengan
menggunakan teknik Contingent Valuation Method (CVM), yaitu kesedian
penduduk kawasan TNKpS untuk membayar terhadap perbaikan ekosistem
terumbu karang. Nilai pilihan disis lain diperoleh dengan menggunakan teknik
Von Neumann-Morgenstern (VNM). Nilai pemanfaatan dan non pemanfaatan
tersebut secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 16.
76

Tabel 16. Nilai Pemanfaatan dan Non Pemanfaatan Kawasan TNKpS


Jenis Pemanfaatan Nilai
Nilai Nilai Non Teknik (Rp)
Pemanfaatan Pemanfaatan
Perikanan Produktivitas 9.252.667.729,04
Pariwisata Market Price 97.241.142.846,00
Proteksi Kawasan 541.005.661,00
CVM
TNKpS WTP 49.044,00/org/th
Nilai Pilihan VNM 316.305.109.100,00
Sumber : data primer diolah (2008)

Pada Tabel 16 terlihat bahwa nilai pemanfaatan pariwisata merupakan


nilai tertinggi yaitu sebesar Rp. 97.241.142.846,00 dibandingkan nilai-nilai lain
yang diperoleh di kawasan TNKpS. Secara global nilai terumbu karang yang
berasal dari pariwisata adalah mencapai US$ 2,9 milyar (Cesar et al 2003). Nilai
ekonomi kawasan konservasi laut memang variatif, hal ini dapat dilihat dari nilai
ekonomi terumbu karang yang ada di kawasan konservasi laut yang berbeda-
beda di setiap negara dan daerah. Beberapa penelitian mengenai nilai ekonomi
terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Nilai Ekonomi Terumbu Karang di berbagai Lokasi

Lokasi Nilai Jenis Nilai

US$ 497,8 Juta Nilai Total


Laut Andaman, Thailand1
Taman Nasional Pulau Nilai Turisme dan
US$ 390.000
Payar, Malaysia2 Rekreasi

Pulau Tobago dan US$ 0,8 – 1 Juta


Nilai Pemanfaatan
St Lucia3 US$ 0,2 – 0,8 juta

Cagar Alam Laut Pulau Nilai Turisme dan


US$ 0,85 – 1 juta
Mactan, Filipina 4 Rekreasi

Kepulauan Hawaii5 US$ 363,5 Juta Nilai Total

Nilai Turisme dan


Eilat, Laut Merah, Israel6 US$ 2,8 Juta
Rekreasi
Keterangan : ,1. Seenpratchawong (2003). 2. Yeo BH (1998). 3 Burke et al (2008). 4. Arin dan Kramer (2002)
5.Cesar dan Van Beukering (2004).6. Wielgus et al (2003)
77

Pada Tabel 17 terlihat nilai-nilai ekonomi, secara parsial maupun nilai


ekonomi total dari berbagai kawasan konservasi laut yang ada di negara lain.
Nilai-nilai ekonomi terumbu karang di berbagai lokasi tersebut beragam, hal ini
dikarenakan setiap lokasi mempunyai karakteristik sumber daya terumbu karang,
sosial ekonomi, pemanfaatan yang berbeda-beda. Laut Andaman yang berada di
Thailand misalnya, mempunyai nilai ekonomi total sebesr US$ 497,8 Juta yang
terdiri dari nilai pemanfaatan dan non pemanfaatan. Sedangkan di Pulau Payar
Malaysia Nilai ekonomi terumbu karang yang berasal dari pariwisata dan rekreasi
adalah sebesar US$ 390.000, nilai ini didapatkan dengan metode contingent
valution. Daerah konservasi laut di Karibia yaitu pulau Tobago dan ST Lucia,
berdasarkan penelitian Burke et al (2008) memiliki nilai pemanfatan (use value)
yang berasal dari perikanan dan pariwisata adalah sebesar US$ 0.2 – 0,8 juta
untuk pulau Tobago dan US$ 0,85 – 1 juta untuk pulau St. Lucia. Terumbu
karang yang berada di Cagar Alam Laut Pulau Mactan Filipina mempunyai nilai
turisme dan rekreasi sebesar US$ 0,85 – 1 juta atau setara dengan WTP US$ 5
per individu. Nilai total terumbu karang di Hawaii yang merupakan agregasi
dari nilai rekreasi, amenity, biodiversity, dan perikanan mencapai US$ 363,5
Juta. Nilai pariwisata dan rekreasi yang diperoleh Welgus et al (2003) di Eliat,
Laut Merah, Israel adalah sebesar US$ 2,86 Juta atau WTP per individu sebesar
US$ 2,6.

Berdasarkan penelitian tersebut dapat dilihat penilaian yang dilakukan


rata-rata bersifat sebagian saja atau parsial, namun ada juga yang melakukan
penilaian secara total (nilai ekonomi total) dengan mengagregasikan direct value
(perikanan, pariwisata), indirect value (feeding ground, nursering ground,
pelindung pantai), nilai warisan, nilai keberadaan dan nilai pilihan (spesies
dilindungi dan unik dan lain lain). Metodologi yang banyak digunakan dalam
penelitian-penelitian tersebut adalah TCM, effect on production, dan CVM yang
diperoleh dari WTP per individu maupun per rumah tangga.

5.4.5 Nilai Ekonomi Total Terumbu Karang di Kawasan TNKpS

Nilai Ekonomi Total (TEV) terumbu karang di kawasan TNKpS dihitung


dengan mengagregasi nilai pemanfaatan dan nilai non pemanfaatan. Secara
agregat nilai ekonomi terumbu karang di kawasan konservasi berdasarkan nilai-
nilai tersebut adalah sekitar Rp.423.339.925.336,04 per tahun atau
78

Rp. 96.277.950,57 per ha per tahun. Jika dikonversi dalam dolar adalah
US$ 44,56 juta1 per tahun atau US$ 10.134,52 per ha per tahun . Sumber daya
terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS merupakan natural capital
dimana akan memberikan konstribusi terhadap perekonomian dan kesejahteraan
masyarakatnya. Oleh karena itu nilai ekonomi total tersebut perlu dihitung long
run capitalized selama 50 tahun, karena 50 tahun merupakan waktu yang
diperlukan terumbu karang untuk tumbuh akibat adanya kerusakan (peledakan)
untuk bisa mengembalikan 50 % dari kondisi semula dan bisa berproduksi lagi
(Burke et al 2002). Perhitungan manfaat ekonomi dalam periode waktu tertentu,
maka perlu digambarkan stream benefit, yaitu penjumlahan nilai rupiah masa
mendatang dinilai dengan waktu kini (present value) dalam kurun waktu 50 tahun
dengan rumus :

T
V
PV = ∑ ………………………………………..…………………………(5.7)
(1 + i )
t
t =1

Dimana :
PV = Present Value (Nilai Kini)
V = Nilai terumbu karang
i = interest rate

Interest rate yang digunakan diperoleh dari rata-rata BI rate selama satu
tahun terakhir yaitu sebesar 8,75 % (Lampiran 9). Sehingga dengan memasukan
nilai ekonomi total dari terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS dan
interset rate sebesar 8,75 % ke dalam persamaan (5.7) selama 50 tahun
(Lampiran 10), akan didapatkan nilai ekonomi terumbu karang saat ini sebesar
Rp.5.188.528.142.006,69 atau Rp.1.179.999.395,51 per ha. Jika dikonversi ke
dalam dolar adalah sebesar US$ 546,16 juta1 atau US$ 124.210,46 per ha.
Menurut Fauzi (2007) nilai ekonomi total yang diperoleh dari hasil
perhitungan valuasi ekonomi dapat diartikan sebagai nilai korbanan (opportunity
cost), dalam hal ini adalah sejumlah nilai moneter yang dikorbankan apabila
kawasan TNKpS mengalami kerusakan. Nilai tersebut merupakan nilai minimum
yang harus ditanggung oleh masyarakat TNKpS apabila terumbu karang yang
ada di kawasan ini mengalami kerusakan yang mengakibatkan nelayan tidak
bisa mencari ikan, dan sektor pariwisata tidak berkembang.

1
Nilai Tukar 1 $ = Rp. 9500,00
79

5.5 Implikasi Kebijakan


Pentingnya terumbu karang sebagai pendukung ekonomi lokal seringkali
dinilai rendah, padahal besaran nilai ini akan berpengaruh terhadap kebijakan
yang diambil oleh pemerintah dan stakeholders dalam alokasi sumber daya yang
efisien dan optimal. Studi valuasi ekonomi terumbu karang membantu para
pembuat kebijakan untuk menentukan kebijakan yang sesuai, baik untuk
pembangunan maupun konservasi. Penilaian yang rendah (under value)
terhadap sumber daya alam akan memberikan sinyal pasar yang salah, sehingga
alokasi sumber daya tidak akan efisien dan optimal. Beberapa kebijakan yang
dapat diimplikasikan dalam pengelolaan kawasan konservasi laut TNKpS adalah
sebagai berikut:
1. Melihat nilai WTP rata-rata pertahun yang hanya 0,4 % dari rata-rata
pendapatan responden selama satu tahun mengindikasikan bahwa apresiasi
mereka terhadap layanan dan jasa dari terumbu karang sangat rendah.
Kebijakan yang bisa diambil adalah dengan meningkatkan public awareness
mengenai pentingnya terumbu karang secara ekonomi dan sosial di kawasan
konservasi laut TNKpS. Caranya adalah sosialisasi melalui media campaign
sehingga dapat menjadi acuan masyarakat khususnya di kawasan ini dan
masyarakat luas pada umumnya dalam melakukan kegiatan perikanan dan
pariwisata. Pada kegiatan perikanan, mendorong nelayan untuk
menggunakan alat yang tidak merusak terumbu karang, dan juga
penangkapan ikan yang belum dewasa. Sedangkan dari sektor pariwisata,
menyadarkan turis untuk menjaga tidak merusak terumbu karang seperti
menginjak terumbu karang, mengambil karang, tidak membuang sampah
sembarangan dalam melakukan aktivitasnya.
2. Berdasarkan nilai ekonomi kegunaan yang diperoleh dari sektor pariwisata
dan perikanan yaitu Rp. 106.493.810.575,04 nilai ini jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan PAD kepulauan seribu tahun 2007 sekitar 1,5 milyar,
artinya pengelolaan kawasan konservasi ini worth it (bernilai) karena
memberikan manfaat kepada masyarakatnya. Nilai ini juga sebesar 1 % jika
dibandingkan dengan PAD DKI Jakarta yang sebesar Rp. 10,381 trilyun pada
tahun 2008. Sehingga diperlukan mekanisme rent capture untuk ‘menangkap’
nilai ekonomi yang potensial dari kawasan KKL baik melalui instrumen
ekonomi seperti melalui kebijakan fiskal, user fee, entry fee maupun
instrumen pengelolaan lain yang disepakati bersama masyarakat antara
80

masyarakat lokal dengan pengelola kawasan konservasi dalam hal ini Balai
TNKpS.
3. Pengelolaan kawasan konservasi laut memang memerlukan perhatian yang
khusus, pemerintah sebagai pengelola kawasan konservasi laut dirasakan
kurang maksimal, masih saja terjadi kerusakan terumbu karang baik yang
dilakukan oleh masyarakat maupun akibat adanya pengaruh dari daratan.
Masyarakat pun kurang merasakan dampak spill over dari kawasan
konservasi laut, karena kondisi terumbu karang yang semakin memburuk.
Selain itu masyarakat tidak mampu untuk memelihara terumbu karang agar
kondisinya tetap terjaga. Pengelolaan kawasan konservasi laut memerlukan
pembiayaan dan sendiri yang tidak bergantung kepada pemerintah maupun
masyarakat. Untuk itu dalam mengelola kawasan konservasi laut diperlukan
mekanisme institusi yang disisi lain dapat mengakomodasi fungsi konservasi,
namun di sisi lain masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat ekonomi dari
kawasan tersebut. Contoh institusi yang dapat mengakomodir fungsi-fungsi
ini adalah “David Suzuki Foundation” yaitu sebuah institusi non-profit yang
bergerak dalam bidang lingkungan dan donaturnya berasal dari
perseorangan (orang biasa) dan perusahan bukan berasal dari pemerintah.
Institusi semacam ini perlu dipikirkan sehingga institusi pengelolaan lepas
dari kepentingan ego sektoral mereka.
4. Besar keinginan membayar (WTP) yang rendah belum sepenuhnya
mencerminkan persepesi yang utuh dari masyarakat terhadap nilai ekonomi
kawasan konservasi laut TNKpS karena masih mungkin timbulnya warm
glows sebagai konsekuensi dari CVM. Oleh karena itu, nilai non pemanfaatan
yang diperoleh hanya dapat dijadikan referensi relatif sebagai nilai pasif,
bukan sebagai referensi absolut terhadap nilai terumbu karang kawasan
konservasi. Mekanisme pengenalan atau familiarity dengan cara
mengenalkan masyarakat dengan opsi-opsi ekstrem yaitu jika ekosistem
terumbu karang rusak melalui tayangan visual (pamflet, billboard, poster dan
lain sebagainya) diharapkan akan membantu meningkatkan bid terhadp WTP
masyarakat terhadap ekosistem tersebut.
5. Kebijakan “localized economic scale” yaitu mengembangkan ekonomi lokal
yang berbasis sumber daya terumbu karang perlu dilakukan. Kebijakan ini
bertujuan agar masyarakat lokal mendapatkan nilai tambah (added value)
dari sumber daya terumbu karang. Dengan demikian, pengembangan ini
81

lebih kepada kualitas daripada kuantitas sehingga keberadaan kawasan


konservasi laut TNKpS akan bisa lebih ditingkatkan.
6. Kebijakan pengembangan ekonomi lokal yang berbasis sumber daya
terumbu karang akan efektif jika bersama-sama dilakukan dengan program
pengentasan kemiskinan bagi masyarakat lokal melalui penguatan kapasitas
ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy) sehingga
masyarakat bisa terlibat aktif dalam kegiatan non-ekstraktif yang juga mampu
meningkatkan pendapatan mereka.
82

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Sumber daya terumbu karang di Kawasan Taman Nasional Kepulauan
Seribu (TNKpS) dimanfaatkan pada sektor perikanan terutama perikanan
tangkap (muroami, bubu, dan pancing) dan juga pariwisata (rekreasi pantai,
snorkling dan diving).
2. Persepsi masyarakat Kawasan TNKpS terhadap sumber daya terumbu
karang sangat beragam. Sebagian responden merasakan manfaatnya secara
langsung maupun tidak langsung, namun ada juga sebagian responden
masih belum merasakan manfaatnya terutama dalam peningkatan
produktifitas mereka khususnya untuk penangkapan.
3. Besarnya WTP masyarakat terhadap pengeloaan terumbu karang berkisar
antara Rp. 20.000,00 sampai di atas Rp.100.000,00 atau mean WTP di
kawasan ini sebesar Rp. 49.044,00. Namun, masih ada beberapa responden
yang tidak mau membayar. Nilai tersebut merupakan nilai proxy yang
kemudian digunakan untuk perhitungan nilai use value sumber daya terumbu
karang di kawasan TNKpS.
4. Nilai pemanfaatan (use value) terumbu karang ada yang berupa ekstraktif
yaitu yang berasal dari sektor perikanan sebesar Rp 9.252.667.729,04.
Sedangkan nilai pemanfaatan non-ekstraktif berasal dari sektor pariwisata
yaitu sebesar Rp. 97.241.142.846,00.
5. Nilai non pemanfaatan terumbu karang yang berupa nilai penggunaan pasif
(pasive use value) yang diperoleh dari teknik CVM adalah sebesar
Rp. 541.005.661,00. Sedangkan nilai non pemanfaatan berupa nilai pillihan
(option value) adalah sebesar Rp. 316.305.109.100,00.
6. Total nilai ekonomi terumbu karang yang didapatkan dari nilai-nilai tersebut
adalah sebesar Rp. 423.339.925.336,04 per tahun atau Rp.96.277.950,57
per hektar per tahun, potensi hilangnya manfaat dari terumbu karang dari
kawasan ini selama 50 tahun mendatang adalah sebesar
Rp.5.188.528.142.006,69 atau Rp. 1.179.999.395,51 per ha.
83

6.2 Saran
1. Pengetahuan dan apresiasi masyarakat mengenai manfaat tidak langsung
ekosistem terumbu karang masih perlu ditingkatkan lagi dengan cara
sosialisasi.
2. Pemerintah Daerah perlu melakukan monitoring dan evaluasi yang
berkesinambungan mengenai dampak spill over terhadap stok ikan,
sehingga dapat diperoleh data yang dapat dipercaya (reliable) mengenai
dampak positif dari KKL.
3. Pengendalian terhadap alat tangkap di kawasan zona pemanfaatan perlu
dilakukan secara lebih tegas dan berkesinambungan agar pemulihan stok
ikan di kawasan KKL dapat dilakukan lebih cepat.
4. Pemerintah Daerah perlu memikirkan mekanisme yang tepat mengenai
‘transfer payment’ di sektor pariwisata untuk biaya pengelolaan KKL,
sehingga dapat diperoleh sustainable funding bagi pengelola KKL.
DAFTAR PUSTAKA

Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-


Pencemaran.[Disertasi].: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.

Anna, S. 2007. Nilai Ekonomi Sumber Daya. Modul Pelatihan Valuasi Ekonomi
Sumber Daya Alam. Departemen Ekonomi Sumber Daya, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor.

Arin, T and Kramer RA. 2002. Divers’ Willingness to Pay to Visit Marine
Sanctuaries: an Exploratory Study. Ocean and Coastal Management (45):
171-183.

Barbier EB, Acreman M, Knowler D. 1997. Economic Valuation of Wetlands: a


guide for Policymakers and Planners”. Ramsar Convention Burau, IUCN.
Geneva.

Beukering PV,. Brander L, Tompkins E , McKenzie. E 2007. Valuing Environment


in Small Islands : an Environmental Economics Toolkit.):
Peterborough.OTEP. 125pp

Boquiren, AC. 2006. Towards a Framework for Valuation or Environmental


Resources : Monetization and Intangibles. Artikel. Department of
Economics and Political Science. College of Social Science. University of
the Philipines-Baguio. 11pp

Brander, LM, Beukering PV, and Cesar HSJ. 2007. The Recreation of Coral
Reef: a meta-analysis. Ecological Economics 63:209-218

[BTNKpS] Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2008. Kondisi Aktual.


[terhubung berkala].http://www.tnlkepulauanseribu.net/kondisi_aktual.php
[1 April 2008].

Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia . World


Resource Institut.44 hal.

Burke L, Greenhalgh S, Prager D, Copper E. 2008. Coastal Capital- Economic


Valuation of Coral Reefs in Tobago and St Lucia. World Resource
Institute. 76p

Carson RT, Hanemann WM. 2005. Contingent Valuation. Di Dalam: Mäler K-G,
Vincent JR, editor. Handbook of Environmental Economics. Volume ke-2.
Stockholm. Elsevier BV. hlm 822-920.

84
Cesar H. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reef. Environment
Departemen in Progress.103 p

Cesar H, Burke L, Pet-Soede. 2003. The Economics of Worldwide Coral Reef


Degradation. Cesar Environmental Economics Consulting, Arnhem and
WWF-Netherlands, eist, The Netherland.23pp

Cesar H, Van Beukering PJH. 2004. Economic Valuation of Coral Reef Of


Hawaii. Pacific Science 58 (2):231-242

Cesar H, Chong CK. 2004. Economic Valuation and Socioeconomics of Coral


Reef : Methodological Issues and Three Case Studies. Worldfish Center
Contribution No. 1721. 27pp

Chan NWW, Bennet J, Johnston B. 2006. Consumer Demand for Sustainable


Wild-Caught and Cultured Live Reef Food Fish in Hongkong. Crawford
School of Economics and Government. The Australian National
University. Unpubilshed 30pp.

Constanza R, d’Arge R, de Groot R, Farber S, Grasso M, Hannon B, Limburg K,


Naeem S, O’Neil R V, Paruelo J, Raskin R G, Sutton P. 1997. The Value
of World’s Ecosystem Services and Natural Capital. Nature Vol 387 P:
253-260.

Dahuri R. 1999. Kebijakan dan Strategi Terumbu Karang Indonesia.Di dalam:


Subagjo S, M. Kasim M, Sukarno, Wahyoe H, Suharsono. Prosidings
Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia. Jakarta 22-
23 November 1999.Jakarta:LIPI dan COREMAP. Hal 1-16.

David G, Herrenschmidt JB, Mirault E, and Thomassin A. 2007. Social and


Economic Values of Pacific Coral Reef. CRISP. New Caledonia. 46pp

Davis RK. 1963. The Value of Outdoor Recreation: an Economic Study of Maine
Woods. Dissertation.Harvad University.

Faber M, Manstetten R, Proops J. 1996. Ecological Economics, Consepts and


Methods. Edwar Elgar, Cheltenham, Brookfield.

Fauzi A. 2001. Prinsip-prinsip Penelitian Sosial Ekonomi: Panduan Singkat


Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor

Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Jakarta. Gramedia.

85
Fauzi A. 2007. Valuing the Socioeconomic Contribution of Protected Are to
Human Well-being in Indonesia. Submitted to The Nature Conservacy
Indonesia. Jakarta.

Fauzi A, Anna S. 2003. Pedoman Valuasi Ekonomi Kawasan Konservasi Laut


(KKL). Disampaikan Kepada Departemen Kelautan dan Perikanan,
Direktorat Konservasi, Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan.


Jakarta. Gramedia.

Fauzi A, Anna S. 2008. Valuasi Ekonomi Kawasan Konservasi Laut : Penilaian


Option Price dengan Model Von Neumann-Morgenstern. Jurnal KLH, in
press

Haab TC, McConnell Kenneth E. 2002. Valuing Environmental and Natural


Resources: the econometrics of non-market valuation. Cheltenham UK.
Edward Elgar.

Hands DW.1991. Introductory Mathematical Economics. D.C Heath and


Company. Canada.

Kenchington R, Ward T and Hegerl E. 2003.The Benefits of Marine Protected


Areas. Commonwealth Department of Environment and Heritage.Australia

Leveque C. 1997. Biodiversity dynamics on conservation The Freshwater Fish of


Tropical Africa. Cambridge University. New York

Li EA. 2000. Optimum Harvesting with Marine Reserves. North American Journal
of Fisheries Management 20: 882-896.

Lipton, DW., W Katherine, Isobel C S and Rodney F W. 1995. Economic


Valuation of Natural Resources- A Handbook for Coastal Resources
Policymakers. NOAA Coastal Program Decision Analysis Series No.5.
NOAA Coastal Ocean Office. Silver Spring, MD. 131 pp.

Murdiyanto B. 2003. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta.COFISH Project. 78


halaman.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta :


Gramedia Jakarta. 445 hal.

Pearce D. 1999. Valuing Biological Diversity: Issues and Overview. Paper


presented at OECD Workshop on Benefit Valuation for Biodiversity
Resources.

86
Pearce D, Moran D. 1994. The Economic Value of Biodiversity. Earthscan
Publications Limited. London, UK.

Pimm SGR, Gittleman J, Brooks T. 1995. The Future of Biodiversity. Science


269:347-350.

Pyndik R, Rubinfeld DL. 1998. Econometric Model and Economic Forecast. Third
Edition. New York : McGraw-Hill Book Company, Inc. 634 p.

Sale PF. 2002. Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a complex
Ecosystem. USA Elsevier Science.549 p

Seenprachawong U. 2003. An Economic Analysis of Coral Reef in Andaman Sea


of Thailand. School of Development Economics National Institute of
Development Administration Bangkapi, Bangkok. Thailand

Simon H, Wildavsky A. 1995. Species Lost Revisited. In: Simon, J. (Ed). The
State of Humanity. Blackwell. Oxford. Pp.346-362.

Singarimbun M, Effendi S. 2000. Metode Penelitian Survai. Jakarta : [LP3S]


Lembaga Penyelidikan, Penelitian Pengembangan Ekonomi dan Sosial.

Subana M, Sudrajat. 2001. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Pustaka setia.


Bandung .240 halaman.

Sumaila UR, Charles AT. 2002. Economic Models of Marine Protected Areas: an
Introduction. Natural Resources Modeling (16) no.3 : 261-271

Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta


Djambatan.118 Hal

Tietenberg, T. 2001. Enivronmental Economics Policy 3rd edition.Addison


wesley.498 p

Van Beukering PJH, Brander L, Tompkins E, McKenzie E. 2007. Valuing


Environment in Small Islands : an Environmental Economics Toolkit.):
Peterborough.OTEP. 125 p

Wielgus J, Chadwik-Furman NE, Zeitouni N, Shechter M. 2003. Effect on Coral


Reef Atribute Damage on Recreational Welfare.Marine Resource
Economics (18):225-237.

Wikipedia. 2007. The Von Neumann-Morgenstern Expected Utility Theory.


[terhubung berkala]. http://www.wikipedia.com [24 Pebruari 2008]

87
Whittaker RH. 1960. Vegetation of the Siskiyou Mountains, Oregon and
California. Ecological Monographs 30:279-338.

Whittaker RH. 1972. Evolution and Measurement of Species Diversity. Taxon


21:1-67.

Widarjono A. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi, untuk ekonomi dan bisnis,
Ekonisia, Yogyakarta

88
89

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian


05 040’ BT

05 0
40’
LS

Sumber : Peta Zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu


SK Dirjen PHKA SK. 05/IV-KK/2004
90

Lampiran 2. Kuesioner Penelitian

LEMBAR KUESIONER PENELITIAN


Valuasi Ekonomi Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut
Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta
(RAHASIA)

Contingent Valuation Method


Untuk nelayan pemanfaat kawasan terumbu karang

Pewawancara:......................................
Tanggal:............................................
Lama wawancara:................................
No. Responden:................................

Responden
Nama :...........................................
Umur :..............................................
Pekerjaan :........................................
Alamat :.........................................
RT/RW :........................................
Kelurahan :....................................
Kecamatan :....................................
Kodya/Kabupaten:........................

Perlu diketahui bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia dalam kondisi sangat
baik 6,2%, kondisi baik 23,72%, kondisi sedang 28,3% dan dalam kondisi rusak
41,78% berdasarkan laporan Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
Departemen Kelautan dan Perikanan (2003). Tanya jawab ini di susun berkaitan
dengan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang. pandangan anda sangat
diperlukan dalam rangka menyelamatkan ekosistem terumbu karang. Perlu
diketahui, bahwa pertanyaan ini disusus berkaitan dengan tingkah laku dan
pandangan anda. Tidak ada jawaban yang salah atau benar, dan wawancara ini
adalah rahasia.

BAGIAN I: Pandangan Umum tentang terumbu karang


1. Peran alam dan lingkungan sangatlah penting bagi keberlangsungan hidup
manusia. Menurut anda, seberapa penting adanya tujuan untuk melindungi dan
mencegah pengrusakan sumber daya alam, dalam hal ini adalah terumbu
karang.
a. penting b.biasa c.tidak penting
91

2. Mengapa keberadaan terumbu karang sangat penting bagi anda? (jawaban


boleh lebih dari satu)
a. Sebagai daerah penangkapan ikan
b. Sebagai daerah untuk menambang karang
c. Sebagai daerah wisata
d. Merupakan cadangan ekosistem yang menyediakan sumberdaya saat ini
dan di masa datang
e. Fungsinya sebagai pelindung bagi daerah disekitar pesisir sangat diperlukan
untuk menjaga kestabilan alam
f. Lain-lain, sebutkan...................

BAGIAN II: Kegiatan Pemanfaatan Terumbu Karang


1. Apa manfaat terumbu karang yang anda didapatkan selama ini?
a. Diambil ikan karang untuk dipasarkan
b. Menambang terumbu karang untuk akarium laut dan atau material bahan
bangunan
c. Penambang pasir
d. Sebagai objek wisata
e. Lain-lain, sebutkan..............
2. Dalam 12 bulan terakhir (termasuk anggota keluarga), bagaimana anda
memanfaatkan terumbu karang?

KEGIATAN Ya Tidak
Menangkap ikan
Mengambil karang
Daerah wisata
Lainya (sebutkan)

3. Berapa jumlah produksi yang dapat anda hasilkan dari pemanfaatan ekosistem
terumbu karang?
4. Sudah berapa lama tinggal di daerah ini?........................
5. Bagaimana kondisi terumbu karang dulu dan sekarang?
a.masih sangat baik (masih lengkap struktur komoditas terumbu karang, mulai
dari hard coral hingga soft coral serta spesies yang tinggal disana juga masih
lengkap dan tidak ada bentuk kerusakan karang)
b.baik (ada kerusakan namun tidak banyak)
c.Cukup (jumlah kerusakan dengan yang masih dalam kondisi baik seimbang)
d.sangat buruk (kerusakan banyak ditemukan di areal)
6. Bagaimana hasil produksi yang anda dapatkan dulu dan sekarang?
a. Semakin meningkat b.stabil c.Semakin menurun
92

Perbandingan Jumlah produksi dahulu dengan sekarang


..................kg/bulan (dulu) ..................kg/bulan (sekarang)
7. Bagaimana pendapatan yang diperoleh dahulu dengan sekarang tiap bulan dari
pemanfaatan terumbu karang?
a. semakin meningkat b.stabil c.semakin menurun
berapa pendapatan yang diperoleh tiap bulan dari pemanfaatan karang?
Rp................../bulan (dulu) Rp................../bulan (sekarang)
8. Menurut anda dampak apa yang timbul bila terumbu karang rusak? (boleh lebih
dari satu)
a. Hilangnya habitat ikan hidup
b. Hilangnya daerah pelindung pantai
c. Pendapatan nelayan berkurang
d. Keindahan alam menjadi hilang
e. Lain-lain (sebutkan).................

Bagian III

Gambar yang saya tunjukkan kepada anda adalah gambar dua kondisis terumbu
karang yang berbeda. Gambar A menunjukkan terumbu karang yang masih baik
dengan stok ikan yang banyak. Gambar B menunjukkan terumbu karang yang
sudah rusak

Baik Buruk
Jika pemerintah ingin memperbaiki kondisi terumbu karang yang rusak tererbut,
maukah anda berkontribusi menyisakan sebagian pendapatan rumah tangga per
bulan atau per tahun untuk program perbaikan tersebut.
1. Ya
2. Tidak, alasan____________________________________________(WTP 0)
93

Jika ya beri 2 alternatif di bawah ini manakah yang anda pilih


Pembayaran/ Kualitas
Alternatif Atribut Pilih
tahun lingkungan
1 Rp. 50 ribu Buruk Ikan Sedikit
2 Rp 75 ribu Baik Ikan banyak

Jika anda pilih alternative 2 manakah diantara dua pilihan ini yang akan anda pilih
Pembayaran/ Kualitas
Alternatif Atribut Pilih
tahun lingkungan
3 Rp. 50 ribu Buruk Ikan Sedikit
4 Rp 100 ribu Baik Ikan banyak

Kalau pilihan kepada bapak diberikan secara bebas berapakah bapak sanggup
membayar untuk program di atas :

Pembayaran/ tahun Pilih


Rp. 10 Ribu

Rp. 20 Ribu

Rp. 30 Ribu

Rp. 50 Ribu

Rp. 75 Ribu

Rp. 100 Ribu

> Rp. 100 Ribu


94

Lampiran 3. Pandangan Masyarakat Kawasan TNKpS terhadap Sumber Daya


Terumbu karang

Terumbu Karang Nelayan Non Nelayan


I Pandangan Umum Tentang Terumbu Karang
Seberapa penting adanya tujuan melindungi dan
mencegah perusakan Sumber Daya
1 a. Penting 43 13
b. Biasa 9 0
c. Tidak Penting 3 0
Mengapa keberadan sumberdaya tersebut sangat
penting bagi anda
a. Sebagai daerah penangkap ikan 55 8
b. Sebagai daerah untuk menambang karang 3 1
c. Sebagai daerah wisata 5 5

d. Merupakan cadangan ekosistem yang


2 menyediakan sumberdaya di masa kini dan masa
mendatang
6 6
e. Fungsinya sebgai pelindung bagi daerah sekitar
pesisir sangat diperlukan untuk menjaga
kestabilan alam 20 4
warisan, diving,
f. Lain-lain Warisan, karang hias
spawning ground
II Kegiatan Pemanfaatan Terumbu Karang
Apa Manfaat Terumbu Karang yang anda
1 dapatkan selama ini?
a. Diambil Ikan karang untuk dipasarkan 55 3
b. Menambang terumbu karang untuk akuarium
laut dan atau material bahan bangunan 0 0
c. Penambang Pasir 2 0
d. Sebagai objek wisata 2 4
ikan hias, ikan
e.lain-lain konsumsi,diving,
tranplantasi
Dalam 12 bulan terakhir (termasuk anggota
keluarga) bagaimana anda memanfaatkan
2 terumbu karang?
- menangkap ikan 55 1
- Mengambil karang 2 0
- Daerah wisata 0 3
Berapa jumlah produksi yang dapat anda hasilkan 10-1000 kg (Ikan
3 konsumsi),
dari pemanfaatan ekosistem terumbu karang?
15 e (Ikan Hias)
4 Sudah berapa lama tinggal disini? 19-65 tahun 28-60 Tahun
Bagaimana Kondisi terumbu karang dulu dan
5
sekarang?
a. Masih sangat baik (masih lengkap struktur
Komoditas terumbu karang, mulai dari hard coral
hingga soft coral serta spesies yang tinggal disana
juga masih lengkap dan tidak ada bentuk
kerusakan karang)
95

Terumbu Karang Nelayan Non Nelayan


b Baik (ada kerusakan namun tidak banyak) 29 3
c. Cukup (jumlah kerusakan dengan yang masih
dalam kondisi seimbang) 15 1
buruk 11 10
Bagaimana hasil produksi yang anda dapatkan
6
dulu dan sekarang?
a. Semakin meningkat
b. Stabil
c. Semakin menurun 55 5
Perbandingan jumlah produksi dulu dan sekarang
dulu (kg/bulan) 2000-10000kg
sekarang (kg/bulan) 8000-5000 kg,
Bagaimana pendapatan yang diperoleh dahulu
dengan sekarang tiap bulan dari pemanfaatan
7 terumbu karang?
a. Semakin meningkat 0 0
b. Stabil 8 1
c. Semakin menurun 47 3
Perbandingan jumlah produksi dulu dan sekarang
dulu (Rp/bulan) Rp.1.000.000 -
Rp.7.000.000
sekarang (Rp/bulan) Rp. 500.000 - Rp.
8.000.000
Menurut anda dampak apa yang timbul bila
8 terumbu karang rusak
a. Hilangnya habitat ikan hidup 48 11
b. Hilangnya daerah pelindung pantai 2 6
c. Pendapatan nelayan berkurang 18 3
d. Keindahan alam menjadi hilang 4 6
e. lain-lain Perairan Rusak daerah wisata hilang
96

Lampiran 4. Produktifitas Alat Tangkap

MUROAMI
Tahun  Produksi (ton)  Nilai (Rp.1000)  ΔΏ NPt 
                
1997  668.87   6,210,914.29   (333.46)  (3,096,390.95) 
                
1998  208.35   1,934,656.19   127.06  1,179,867.14 
                
1999  277.16   2,573,650.48   58.25  540,872.86 
                
2000  176.44   1,638,340.95   158.97  1,476,182.38 
                
2001  250.27   2,323,928.57   85.14  790,594.76 
                
2002  511.49   4,749,536.19   (176.08)  (1,635,012.86) 
                
2003  366.34   3,401,772.38   (30.93)  (287,249.05) 
                
2004  224.36   2,083,387.62   111.05  1,031,135.71 
                
2005  284.26   2,639,523.81   51.15  474,999.52 
                
2006  319.80   2,969,579.05   15.61  144,944.29 
Perubahan nilai Produktifitas sesudah dan sebelum ditetapkan zonasi :
Rp. 619.943.809,52

PANCING
Tahun  Produksi (ton)  Nilai (Rp.1000)  ΔΏ NPt 
                 
1998  98.01   1,749,102.48   272.77   4,867,843.05  
                 
1999  113.41   2,023,971.02   257.36   4,592,974.51  
                 
2000  47.43   846,441.41   323.35   5,770,504.12  
                 
2001  222.53   3,971,245.76   148.25   2,645,699.77  
                 
2002  568.79   10,150,731.79   (198.01)  (3,533,786.26) 
                 
2003  1,008.64   18,000,304.11   (637.86)  (11,383,358.58) 
                 
2004  536.63   9,576,822.14   (165.86)  (2,959,876.61) 
                 
2005  216.61   3,865,590.23   154.17   2,751,355.30  
                 
2006  221.26   3,948,721.54   149.51   2,668,223.99  
Perubahan nilai Produktifitas sesudah dan sebelum ditetapkan zonasi :
Rp. 5.419.579.287,49
97

BUBU
Tahun  Produksi  Nilai (Rp.1000)  ΔΏ NPt 
               
1997  195.94  2,223,195.72   (19.47)  (220,877.59) 
               
1998  27.76  314,963.33   148.72   1,687,354.80  
               
1999  80.62  914,729.87   95.86   1,087,588.26  
               
2000  117.89  1,337,607.91   58.58   664,710.22  
               
2001  163.53  1,855,420.36   12.95   146,897.78  
               
2002  333.42  3,783,078.61   (156.95)  (1,780,760.47) 
               
2003  229.04  2,598,733.82   (52.57)  (596,415.69) 
               
2004  263.60  2,990,815.45   (87.12)  (988,497.31) 
               
2005  186.84  2,119,862.30   (10.36)  (117,544.16) 
               
2006  13.77  156,208.49   162.71   1,846,109.65  

Perubahan nilai Produktifitas sesudah dan sebelum ditetapkan zonasi :


Rp. 1.728.565.483,91

IKAN HIAS TAHUN 2007


Bulan  Jumlah Ikan hias (ekor)  Nilai 

January                               42,941.00            127,899,163.95 


February                               56,786.00            169,136,301.53 
March                               35,320.00            105,200,122.74 
April                               45,015.67            134,078,529.40 
May                               48,104.00            143,277,086.76 
June                               45,500.00            135,521,109.42 
July                               41,094.00            122,397,900.45 
August                               25,135.00              74,864,243.63 
September                               41,480.00            123,547,596.01 
October                               42,375.00            126,213,340.91 
November                               33,114.50              98,631,072.04 
December                               41,569.00            123,812,681.26 
Total        1,484,579,148.10 
98

Lampiran 5. Tabulasi Data Responden

No  Nama  Pekerjaan  WTP  Umur  Pendidikan  Pengalaman  Pendapatan 


 
1  Tarbi  Dewan Kelurahan  1  50,000  42  9  22  3,000,000 
2  Untung  Manajer Vila 1 100,000 28 12 5 1,500,000
3  Nelson  Pegawai TNKpS  1  500,000  34  16  10  1,500,000 
4  Veni  Pegawai TNKpS  1  100,000  28  16  3  1,600,000 
5  Bisri  Pengumpul  1 100,000 31 12 4 3,000,000
6  Hakim  Pengumpul  1  100,000  32  12  6  1,000,000 
7  Simin  Pengumpul  1  20,000  60  9  35  1,000,000 
8  Iswan  Pengumpul  1 50,000 39 12 16 1,000,000
9  Kamid  Pengumpul  1  20,000  56  5  32  1,000,000 
10  Nurdin  Pengumpul  1  100,000  40  12  20  1,500,000 
11  Eko  Pengumpul  1  100,000  35  12  12  1,000,000 
12  Idris  Pengumpul  1  100,000  38  12  17  2,000,000 
13  Alwani  Pengumpul  1 100,000 40 9 17 1,500,000
14  Sanggo  Nelayan  1  75,000  42  1  25  500,000 
15  Marhali  Nelayan  1  20,000  25  6  15  1,000,000 
16  Muhadi  Nelayan  1 75,000 30 9 13 1,000,000
99

No  Nama  Pekerjaan  WTP  Umur  Pendidikan  Pengalaman  Pendapatan 


 
17  Hasan  Nelayan  1  30,000  34  6  14  600,000 
18  Leo  Nelayan  0 0 40 6 24 800,000
19  Mujahar  Nelayan  1  75,000  49  1  28  1,500,000 
20  Dedi  Nelayan  1  20,000  32  9  14  1,000,000 
21  Yusuf  Nelayan  1 20,000 40 6 23 1,000,000
22  Adi  Nelayan  1  20,000  31  9  15  1,000,000 
23  Khairudin  Nelayan  1  50,000  36  9  18  500,000 
24  Abdul  Nelayan  1  100,000  39  6  20  1,500,000 
25  Rajingur  Nelayan  1  50,000  51  6  33  1,000,000 
26  Hamdani  Nelayan  1 30,000 45 6 18 800,000
27  Marullah  Nelayan  1  20,000  23  9  10  800,000 
28  Suhandi  Nelayan  1  20,000  28  6  15  1,200,000 
29  Ishak  Nelayan  1 20,000 38 9 16 600,000
30  Sutarno  Nelayan  1  75,000  38  6  9  1,000,000 
31  Hasim  Nelayan  1  20,000  54  6  29  800000 
32  Mualim  Nelayan  1 75,000 38 6 9 1,000,000
33  Misan  Nelayan  1  20,000  25  6  10  1,000,000 
100

No  Nama  Pekerjaan  WTP  Umur  Pendidikan  Pengalaman  Pendapatan 


 
34  Saipul  Nelayan  1  20,000  32  9  17  1,000,000 
35  Tajeli  Nelayan  1 20,000 47 6 26 1,500,000
36  Jamhari  Nelayan  1  20,000  43  6  20  1,000,000 
37  Oni  Nelayan  0  0  45  6  18  1,200,000 
38  Mat  Nelayan  1 40,000 38 9 15 600,000
39  Ali Imran  Nelayan  1  50,000  25  6  10  1,000,000 
40  Muhidin  Nelayan  1  50,000  33  12  18  900,000 
41  Abdul Murad  Nelayan  1  30,000  40  6  25  500,000 
42  Agus Rakasiwi  Nelayan  1  20,000  30  12  14  1,000,000 
43  Adi Sujatno  Nelayan  1 20,000 32 9 16 800,000
44  Hermanto  Nelayan  1  50,000  25  6  9  720,000 
45  Jamaludin  Nelayan  0  0  51  6  30  300,000 
46  Samsuri  Nelayan  1 50,000 51 9 34 300,000
47  Abidin  Nelayan  1  50,000  39  9  20  300,000 
48  Dedi Irawan  Nelayan  1  50,000  40  9  23  720,000 
49  Buhari  Nelayan  1 50,000 48 6 31 480,000
50  Jayadi  Nelayan  0  0  35  6  18  240,000 
101

No  Nama  Pekerjaan  WTP  Umur  Pendidikan  Pengalaman  Pendapatan 


 
51  Ahmad husein  Nelayan  1  50,000  24  9  8  800,000 
52  Nur yadi  Nelayan  1 20,000 25 6 9 2,000,000
53  Eros Sanjaya  Nelayan  1  20,000  35  12  19  800,000 
54  Juhari  Nelayan  1  30,000  65  6  49  300,000 
55  Akhmad  Nelayan  1 20,000 37 9 21 1,000,000
56  Salam  Nelayan  1  20,000  42  6  24  300,000 
57  Hanafi  Nelayan  1  20,000  59  6  41  600,000 
58  Maliki  Nelayan  1  20,000  19  12  4  300,000 
59  Kasin  Nelayan  1  50,000  42  6  25  720,000 
60  Makmud  Nelayan  0 0 35 6 18 100,000
61  M. Bujuk  Nelayan  1  50,000  20  9  4  500,000 
62  M. Syirad  Nelayan  1  40,000  43  9  25  1,440,000 
63  Tomi  Nelayan  1 50,000 23 9 9 720,000
64  Ahmad Kopek  Nelayan  1  50,000  20  9  4  720,000 
65  Sarkawi  Nelayan  1  50,000  30  6  16  720,000 
66  Perlan  Nelayan  0 0 35 9 17 100,000
67  Ramli  Nelayan  1  50,000  40  12  21  500,000 
102

No  Nama  Pekerjaan  WTP  Umur  Pendidikan  Pengalaman  Pendapatan 


 
68  Syahrudin  Nelayan  1  20,000  37  12     19  1,440,000 
Rata‐rata  49,044 37 8  18 953,235
Max  500,000  65  16  49  3,000,000 
Min  0  19  1  3  100,000 
103

Lampiran 6. Deskriptif Kuallitatif Respoden Nelayan dan Non Nelayan

Nelayan  Non Nelayan 
WTP     WTP 

Mean                  35,272.73    Mean            110,769.23  


Standard Error                    2,861.62    Standard Error              33,616.65  
Median                  20,000.00    Median            100,000.00  
Mode                  20,000.00    Mode            100,000.00  
Standard Deviation  21222.32799 Standard Deviation  121206.5412
Sample Variance  450387205.4 Sample Variance  14691025641
Kurtosis  0.425758197 Kurtosis  10.83991994
Skewness  0.912234857 Skewness  3.153363377
Range                100,000.00    Range            480,000.00  
Minimum  0 Minimum  20000
Maximum  100000 Maximum  500000
Sum  1940000 Sum  1440000
Count  55 Count  13

Pendapatan  Pendapatan 

Mean  804000 Mean  1469230.769


Standard Error  52425.09487 Standard Error  156641.2754
Median                800,000.00    Median         1,500,000.00  
Mode            1,000,000.00    Mode         1,500,000.00  
Standard Deviation  388794.9093 Standard Deviation  564778.1502
Sample Variance  1.51161E+11 Sample Variance  3.18974E+11
Kurtosis  0.618803031 Kurtosis  4.097597847
Skewness  0.526409518 Skewness  1.700023141
Range            1,900,000.00    Range         2,200,000.00  
Minimum  100000 Minimum  800000
Maximum  2000000 Maximum  3000000
Sum  44220000 Sum  19100000
Count  55 Count  13

Pendidikan  Pendidikan 

Mean  7.509090909 Mean  11.38461538


Standard Error  0.323982715 Standard Error  0.812864999
Median  6 Median  12
Mode  6 Mode  12
Standard Deviation  2.40272012 Standard Deviation  2.930826435
Sample Variance  5.773063973 Sample Variance  8.58974359
Kurtosis  0.719134166 Kurtosis  1.056872436
Skewness  ‐0.057325058 Skewness  ‐0.401663118
Range  11 Range  11
Minimum  1 Minimum  5
Maximum  12 Maximum  16
Sum  413 Sum  148
Count  55 Count  13
104

Nelayan  Non Nelayan 
Pengalaman  Pengalaman 

Mean  18.81818182 Mean  15.30769231


Standard Error  1.201875893 Standard Error  2.831563434
Median  18 Median  16
Mode  18 Mode  17
Standard Deviation  8.913350181 Standard Deviation  10.20934715
Sample Variance  79.44781145 Sample Variance  104.2307692
Kurtosis  1.607536087 Kurtosis  ‐0.252828663
Skewness  0.892998888 Skewness  0.675897248
Range  45 Range  32
Minimum  4 Minimum  3
Maximum  49 Maximum  35
Sum  1035 Sum  199
Count  55 Count  13

Umur  Umur 

Mean  36.78181818 Mean  38.69230769


Standard Error  1.348821885 Standard Error  2.699441099
Median  37 Median  38
Mode  25 Mode  28
Standard Deviation  10.00313082 Standard Deviation  9.732973299
Sample Variance  100.0626263 Sample Variance  94.73076923
Kurtosis  0.176923512 Kurtosis  1.11701395
Skewness  0.400714764 Skewness  1.233256036
Range  46 Range  32
Minimum  19 Minimum  28
Maximum  65 Maximum  60
Sum  2023 Sum  503
Count  55 Count  13
105

Lampiran 7. Analisis Logit

Tampilan Analisis Logit dengan menggunakan software Eviews

Dependent Variable: Y
Method: ML - Binary Logit (Newton-Raphson)
Date: 01/18/09 Time: 21:54
Sample: 1 68
Included observations: 68
Convergence achieved after 6 iterations
QML (Huber/White) standard errors & covariance
Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.
AGE -0.191290 0.150070 -1.274671 0.2024
EDU 0.325258 0.172031 1.890691 0.0587
EXPRNC 0.223034 0.157791 1.413472 0.1575
INCOME 5.19E-06 2.80E-06 1.852262 0.0640
C -0.383106 3.253733 -0.117744 0.9063
Mean dependent var 0.911765 S.D. dependent var 0.285746
S.E. of regression 0.240167 Akaike info criterion 0.552481
Sum squared resid 3.633855 Schwarz criterion 0.715680
Log likelihood -13.78434 Hannan-Quinn criter. 0.617145
Restr. log likelihood -20.29364 Avg. log likelihood -0.202711
LR statistic (4 df) 13.01859 McFadden R-squared 0.320756
Probability(LR stat) 0.011185
Obs with Dep=0 6 Total obs 68
Obs with Dep=1 62
106

Lampiran 8. Analisis Option Price dengan Von Neumann Morgernstern

Ouput Maple 11

OPTION PRICE, 
Seribu Marine Park's coral reef
Model Von Neumann Morgernstern 
Expected Utility MPA or No MPA 
>

>

>

>

>

>

 
 
 
107

Lampiran 9. BI rate 1 tahun Terakhir

BI Rate
(Berdasarkan hasil dari Rapat Dewan Gubernur)

Tanggal BI Rate
4 Feb 2009 8.25%
7 Jan 2009 8.75%
4 Dec 2008 9.25%
6 Nov 2008 9.50%
7 Oct 2008 9.50%
4 Sept 2008 9.25%
5 Aug 2008 9.00%
3 July 2008 8.75%
5 June 2008 8.50%
6 May 2008 8.25%
3 April 2008 8.00%
6 March 2008 8.00%
Rata-rata 8.75%
Sumber : www.bi.go.id
108

Lampiran 10. Present Value Terumbu Karang

 TEV   PV 
Tahun 
(Rp)  (Rp) 
0         423,339,925,336.04   423,339,925,336.04 
1         423,339,925,336.04   389,278,092,263.02 
2         423,339,925,336.04   357,956,866,448.76 
3         423,339,925,336.04   329,155,739,263.22 
4         423,339,925,336.04   302,671,944,150.09 
5         423,339,925,336.04   278,319,029,103.53 
6         423,339,925,336.04   255,925,544,003.25 
7         423,339,925,336.04   235,333,833,566.21 
8         423,339,925,336.04   216,398,927,417.20 
9         423,339,925,336.04   198,987,519,464.09 
10         423,339,925,336.04   182,977,029,392.27 
11         423,339,925,336.04   168,254,739,671.05 
12         423,339,925,336.04   154,717,001,996.37 
13         423,339,925,336.04   142,268,507,582.87 
14         423,339,925,336.04   130,821,616,168.16 
15         423,339,925,336.04   120,295,739,005.20 
16         423,339,925,336.04   110,616,771,499.03 
17         423,339,925,336.04   101,716,571,493.37 
18         423,339,925,336.04   93,532,479,534.13 
19         423,339,925,336.04   86,006,877,732.53 
20         423,339,925,336.04   79,086,784,121.87 
21         423,339,925,336.04   72,723,479,652.29 
22         423,339,925,336.04   66,872,165,197.51 
23         423,339,925,336.04   61,491,646,158.63 
24         423,339,925,336.04   56,544,042,444.72 
25         423,339,925,336.04   51,994,521,788.25 
26         423,339,925,336.04   47,811,054,517.93 
27         423,339,925,336.04   43,964,188,062.46 
28         423,339,925,336.04   40,426,839,597.67 
29         423,339,925,336.04   37,174,105,377.16 
30         423,339,925,336.04   34,183,085,404.29 
31         423,339,925,336.04   31,432,722,210.84 
32         423,339,925,336.04   28,903,652,607.67 
33         423,339,925,336.04   26,578,071,363.37 
34         423,339,925,336.04   24,439,605,851.38 
35         423,339,925,336.04   22,473,200,782.88 
36         423,339,925,336.04   20,665,012,214.14 
37         423,339,925,336.04   19,002,310,081.97 
109

 TEV   PV 
Tahun 
(Rp)  (Rp) 
38         423,339,925,336.04   17,473,388,581.12 
39         423,339,925,336.04   16,067,483,752.75 
40         423,339,925,336.04   14,774,697,703.68 
41         423,339,925,336.04   13,585,928,922.93 
42         423,339,925,336.04   12,492,808,204.99 
43         423,339,925,336.04   11,487,639,728.73 
44         423,339,925,336.04   10,563,346,876.99 
45         423,339,925,336.04   9,713,422,415.62 
46         423,339,925,336.04   8,931,882,681.03 
47         423,339,925,336.04   8,213,225,453.82 
48         423,339,925,336.04   7,552,391,221.91 
49         423,339,925,336.04   6,944,727,560.37 
50         423,339,925,336.04   6,385,956,377.35 
JUMLAH  5,188,528,142,006.69 
110

Lampiran 11. Dokumentasi Penelitian


 

Nelayan Pulau Kelapa Resort Pulau Kotok

Wawancara dengan Nelayan Pulau-Pulau di Kepulauan Seribu

Nelayan yang sedang membuat jaring Nelayan sedang memperbaiki kapal

You might also like