You are on page 1of 12
RASIONALISME KLASIK DAN MODERN A. PENGANTAR Bab ini membahas secara ringkas pemikiran tokoh rasionalisme baik yang hidup di era Klasik maupun di era Modern. Untuk era Klasik, pembahasan di bab ini diwakili oleh Plato sementara untuk era Modern pembahasan di bab ini difokuskan pada pemikiran Rene Descartes dan Baruch Spinoza. Meskipun masing-masing tokoh rasionalisme ini memiliki perbedaan, tetapi mereka memiliki kesamaan yakni sama-sama meyakini bahwa rasio adalah sumber pengetahuan. Di pembahasan ini nanti juga akan ditampilkan pemaparan sepytar pemikiran Hegel. Meskipun Hegel lebih terkenal sebagai tokoh idealisme ketimbang rasionalisme, tapi antara kedua aliran ini sebetulnya juga masih memiliki irisan (karena itu di sini pemikiran Hegel perlu pula dibicarakan) : keduanya sama-sama mementingkan rasio, hanya bedanya idealisme lebih mengacu pada hal yang bersifat ontologis, rasionalisme lebih mengacu kepada hal yang bersifat epistemologis. Pembahasan mengenai pemikiran Hegel ini juga penting lantaran filsafat Barat modern atau pencerahan setelah Hegel tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikirannya B. AJARAN-AJARAN POKOK RASIONALISME Beberapa ajaran pokok rasionalisme diantaranya adalah sebagai berikut: ‘+ Rasionalisme percaya bahwa melalui proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkal, yaitu mengenai apa yang ada serta strukturnya dan tentang alam semesta pada umumnya. ‘+ Rasionalisme percaya bahwa realitas serta beberapa kebenaran tentang realitas dapat dicapai tanpa menggunakan metode empiris. ‘+ Rasionalisme percaya bahwa pikiran mampu mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas, mendahului pengalaman apa pun juga. Pengetahuan yang diperoleh tanpa pengalaman disebut dengan pengetahuan a priori. ‘+ Rasionalisme percaya bahwa akal budi (rasio) adalah sumber utama ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah sistem deduktif yang dapat dipahami secara rasional yang hanya secara tidak langsung berhubungan dengan pengalaman indrawi, ‘* Rasionalisme percaya bahwa kebenaran tidak diuji mlalui verifikasi indrawi, akan tetapi melalui kriteria konsistensi logis. Kaum rasionalisme menentukan kebenaran yang didasarkan atas konsistensi antara pernyataan (teori) dengan kesepakatan (konsensus) para ilmuwan ‘+ Rasionalisme percaya bahwa alam semesta (realitas) mengikuti hukum-hukum alam yang rasional, karena alam semesta adalah sistem yang dirancang secara rasional, yang aturan- aturannya sesuai dengan logika/matematika (Bagus, 1996 : 929-30) . PLATO Alfred North Whitehead (1861-1947) pernah menyatakan, “... The whole later development of western philosophy can be a series of extended footnote to Plato” (keseluruhan dari sejarah pemikiran filsafat Barat hanyalah catatan kaki dari pemikiran Plato). Meskipun perkembangan filsafat Barat tidak sepenuhnya seperti yang dikemukakan oleh Whitehead tersebut, tetapi patut diakui bahwa pemikiran Plato dalam berbagai bidang filsafat sangatlah besar. Berikut adalah beberapa pandangan Plato yang pemikirannya sudah memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi para filsuf selanjutnya. 1. Pemikir dan pemikiran yang Memengaruhi Plato Pandangan Plato tentang filsafat dipengaruhi oleh beberapa filsuf pra-Socrates antara lain: ‘© Pythagoras, yang memberikan pengaruh bagi Plato tentang keabadianvjiwa, mistisisme, dan matematika. ‘+ Parmenides, yang memberi Plato pemikiran tentang kenyataan yang abadi, yang tidak berubah oleh waktu sebagai realitas yang paling dasar, yang oleh Plato disebut dunia idea. + Heracleitos, yang memberi Plato dasar pemikiran tentang tidak adanya sesuatu yang permanen dalam dunia fisik, karena itu pengetahuan tentang dunia empiris hanyalah sekedar doxa (pendapat) dan bukan episteme (pengetahuan yang sempurna). ‘+ Socrates, yang memberikan pengaruh kepada Plato tentang problem etika (moral) serta perlunya tujuan kehidupan di dunia, karenanya Plato menekankan perlunya menggeluti pengetahuan tentang idea “Yang Baik” yang menjadi tujuan semua idea (Raeper, 2000 : 12) 2. Plato Sebagai Pendiri Epistemologi dan Teori Pengetahuan Plato Plato dianggap salah seorang pendiri epistemologi, karena ia yang dianggap paling awal yang mempertanyakan : “Apa yang dapat kita ketahui?; Bagaimana kita mengetahui?; dan Kapan datu pengetahuan dinyatakan benar?” Adapun teori pengetahuan Plato merupakan upaya untuk memecahkan pertentangan antara pemikiran Heracleitos dengan pemikiran Parmenides. Heracleitos menyatakan bahwa realitas adalah sesuatu yang senantiasa berubah (panta rhei kai uden menei), sementara di sisi lain, Parmenides menyatakan bahwa realitas adalah sesuatu yang tidak berubah, tetap dan abadi. Menurut Plato, realitasbyang senantiasa berubah adalah realitas dunia fisis (fenomena alam) sedangkan realitas yang sempurna dan tidak berubah, terdapat dalam dunie idea. Plato menolak relativisme dan perspektivisme epistemologis yang muncuk dari pemikiran Heracleitos, dan mendukung Socrates, gurunya yang sangat dihormatinya, yang menyatakan adanya kepastian dan objektivisme. Pengetahuan menurut Plato bukanlah hasil pengamatan indra (kritik terhadap Heracleitos), sebab dunia yang kita amati hanya sebagai bayangan dunia idea (dunia yang melampaui manusia, dimana ide tidak tergantung pada pemikiran manusia melainkan pikiran manusia yang tergantung pada dunia ide). Karena realitas yang kita amati hanya bayangan dari dunia idea, maka pengetahuan kita yang berasal dari realitas fisis itu bersifat kabur. Pengetahuan indrawi tidak dapat membuka jalan bagi pemahaman tentang realitas yang sesungguhnya (dunia idea), Bagi Plato pengetahuan yang sejati (episteme) harus memenuhi dua kriteria, yaitu pengetahuan itu harus pasti dan pengetahuan itu harus tentang realitas yang sempurna dan abadi (Meyer, 1950). (Menurut pandangan Plato, pengetahuan yang mutlak/sempurna/abadi tidak diperoleh melalui pengalaman. Pengetahuan mutlak bersifat a priori dan benar berdasarkan definisinya. Misalnya, “kucing hitam adalah hitam”, “keseluruhan lebih besar dari bagian-bagian”. Pernyataan proporsi ini disebut juga proporsi analitik/tautologi/proporsi yang tidak menambah pengetahuan baru (misalnya: kucing hitam adalah hitam). Penolakan terhadap kebenaran pengetahuan analitis terjadi jika terdapat kontradiksi diri (self-contradictory) dalam pernyataan itu. Dengan demikian, harus afa konsistensi antar pernyataan yang satu dengan yang lain). 3. Doxa dan Episteme ‘Alam buku Republic, Plato mengemukakan adanya pengetahuan sejati dan tingkatan pengetahuan, Perkembangan pemikiran dari tidak tahu menjadi tahu dapat ditempuh dengan dua jalan: jalan doxa (pendapat) dan jalan episteme (pengetahuan sejati). Objek doxa adalah objek-objek nyata yang dapat dipersepsi (doxata), objek ini hanya partikular dan tiruan. Sementara itu, objek episteme adalah “noeta”, objek yang berhubungan dengan yang asli (arkhai). Pengetahuan tentang yang universal dan abadi itulah yang disebut dengan episteme oleh Plato. Berdasarkan objeknya, pengetahuan ini dapat diurutkan dari pengetahuan yang rendah sampai tingkat yang tertinggi, seperti berikut: eikasia, pistis, dianoya, noesis (Meyer, 1950), yang selanjutnya dijabarkan sebagai berikut: + Eikasia adalah tingkatan pengetahuan yang terendah, karena objeknya adalah “eikonos” (bayangan gambaran) seperti: mimpi atau bayangan di air atau bayangan cermin. Bila seseorang menganggap mimpi atau bayangan sebagai realitas (kenyataan) sebenarnya, maka pengetahuannya adalah eikasia ‘© Pistis, lebih tinggi dari eikasia karena objeknya adalah realitas yang tampak. Namun, pengamatan tentang benda/objek fisis inu sesungguhnya juga hanya tiruan karenanya tidak sempurna. * Dianoya, pengetahuan ini sudah mengarah pada episteme, seperti matematika. Cara kerja pengetahuan dianoya adalah bertolak dari postulat, hipotesis-hipotesis yang diperoleh melalui bantuan hal yang partikular, lalu menongkat ke hal universal. Meskipun Plato sangat menghargai matematika, namun pengetahuan ini belum mencapai prinsip utama ‘+ Noesis adalah tingkatan pengetahuan yang paling tinggi, yang objeknya adalah arkhai (prinsip utama, idea). Cara kerja noesis adalah bertolak dari postulat dan hipotesis, akan tetapi tidak diturunkan dari hal-hal yang partikular seperti pada dianoya. Akan tetapi, rasio langsung menukik dengan kemampuan intuisi untuk meraih pengetahuan, dengan menggunakan ide-ide yang murni abstrak. Rasio (akal) berupaya untuk menemukan pengetahuan sejati itu. Dengan ketajaman intuisi dan rasio, seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang sejati dan benar. Seseorang yang memiliki pemahaman tentang ide-ide tertinggi itu, akan mencintai hal-hal yang baik dan bertindak bjaksana. Jadi ada kesejajaran antara orang yang berpengetahuan dengan tindakan yang bijaksana (adil, jujur, profesional). Atas dasar pertimbangan inilah, Plato akhirnya menyatakan bahwa orang yang berpengetahuan (filsuflah) yang sebaiknya memimpin pemerintahan. 4. Alegori Gua Plato Dalam buku Republic, Plato mengemukakan tentang alegori gua (the allegory of the cave). la mengisahkan ihwal orang-orang tahanan yang terbelenggu di dalam gua di bawah tanah sejak kecilnya. Leher dan kaki mereka terbelenggu dan tidak bisa berpindah tampat, bahkan tidak bisa menoleh ke kiri dan kanan, sehingga mereka hanya dapat melihat dinding gua. Mereka duduk membelakangi pintu gua, sehingga yang mereka lihat selama hidupnya adalah bayangan benda atau bayangan makhluk yang lewat di ekitar pintu gua yang terpantul di tembok/dinding gua. Bagi mereka yang terkurung selamanya di gua itu menganggap bahwa bayang itulah realitas yang sesungguhnya. Padahal yang mereka lihat itu hanyalah bayangan dan bukan realitas sesungguhnya. ‘Ada beberapa penafsiran yang dirasakan relevan dengan situasi kehidupan kita sekarang terkait alegori gua Plato, seperti berikut: ‘+ Sebagai kritik tajam atas kehidupan/pemahaman yang dangkal. Kebenaran serta kehidupan yang baik dianggap sebagai sesuatu yang memuaskan hasrat/keinginan kita. Kita tidak sadar bahwa kehidupan penuh dengan ilusi, pengetahuan yang dangkal serta idealisme yang keliru. + Kiasan kehidupan politis; dimana para politisi/ilmuwa yang berbicara seenaknya, misalnya dengan enteng menyatakan bahwa kenaikan harga BBM, listrik, sembako, dan lain-lain adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat. lImuwan/politisi terkurung dalam gua/bayangan ideologi dan teori-teorinya ‘+ Kritik terhadap pandangan realisme naif, yang menganggap bahwa pernyataan kita sebagai sesuatu penjelasan tentang realitas sesungguhnya. Juga, kritik terhadap pandangan ilmu pengetahuan teknologi sebagau alat_pemenuhan kebutuhan yang dangkal, tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang lebih mendalam, kebutuhan etis, religius dan lingkungan secara lebih luas. ‘© Perlunya ada seseorang ilmuwan merdeka yang bebas dari bayangan dan ilusi- ilusi. Lalu, memberikan pencerahan dan membantu masyarakat keluar dari bwrbagai dogmatisme, ketertutupan dan ketidakberesan (Lavine, 2002 : 24-25). 5. Pandangan tentang Manusia Pandangan Plato tentang manusia bersifat dualistik, yaitu memisahkan antara jiwa, roh, pikiran dan tubuh, Jika tubuh kita hancur setelah kita meninggal, roh akan tetap eksis dan roh itu kembali ke asalnya (dunia idea). Plato mengemukakan adanya tiga elemen jiwa, yaitu pikuran atau akal yang bersifat rasional, semangat atau keberanian, dan nafsu. Karena unsur/bagian ketiga inilah (nafsu), yang menyebabkan jiwa terpenjara dalam tubuh kita. Sejalan dengan konsep tiga elemen jiwa tersebut, Plato juga mengelompokkan masyarakat atas tiga kelas. Kelompok pertama adalah yang paling besar jumlahnya, yautu yang terdiri dari petani, pekerha, pengrajin yang bertugas memenuhi kebutuhan seluruh negara. Unsur yang dominan dalam kelompok ini adalah nafsu. Kelompok kedua terdiri dari kaum penjaga dan prajurit yang berkewajiban menjamin keselamatan negara dalam mengahadapi ancaman dari luar, yang dominan dalam kelompok ini adalah keberanian/keinginannya. Kelompok ketiga terdiri dari kaum intelektual dan filsuf, yang dominan dalam kelompok ini adalah rasionya. Kelompok ini memiliki tugas dan kewajiban untuk memerintah secara arif dan bijaksana Bagi Plato , ada tiga elemen kodrat (esensi) dasar manusia, yaitu; akal budi, jiwa dan hasrat. Akal budi bersifat teoretis dan praktis sekaligus. Akal budi adalah alat untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang alam semesta. Sementara jiwa merupakan sumber enerki psikolois yang dapat mengungkapkan dirinya dalam emosi. Sedangkan hasrat secara umum berkaitan dengan objek kebutuhan jasmaniah dan lain sebagainya (Parekh, 2008 : 37). Akal budi memiliki kedudukan tertinggi, sementara hasrat secara serampangan cenderung menuntut pemenuhan keinginannya, sedangkan jiwa memiliki dimensi irasional, karena itu perlu bimbingan dan pengawasan akal budi. D. RENE DESCARTES Rene Descartes (Renatus Cartesius) lahir pada tahun 1596 di La Haye dekat Tours, Prancis Barat laut. fa sering dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern dan peletak fundasi metode rasional untuk penelitian filosofis. Descartes mempelajari ilmu pengetahuan, teologi dan filsafat dalam dua mecenderungan, yaitu idealisme Platonian dan realisme Aristotelian. Saat Descartes terjun ke kancah filsafat tidak ada alternatif pemikiran filsafat yang ditawarkan selain tradisi Plato dan Aristoteles. Descartes yakin bahwa kedua tradisi ini mengandung kelemahan (cacat) sehingga melahirkan ketidakpastian. Descartes yakin bahwa kedua tradisi ini mengandung kelemahan (cacat) sehingga melahirkan ketidakpastian. Descartes mengawali filsafat modern dengan menapaki masalah epistemologi dengan mencoba menemukan fundasi bagi kebenaran ilmu pengetahuan yang absolut dan pasti. Descartes memiliki keinginan untuk menemukan metode yang rigor (andal). Menurutnya, ilmu pengetahuan dan teknologi harus dapt dijadikan alat untuk memperbaiki kondisi manusia dan menjadikan manusia tuan dan pemilik alam. Bagi Descartes metode adalah keseluruhan aturan yang pasti dan mudah, dimana melalui pengamatan yang tepat dapat ditemukan kebenaran dan bukan ksesatan dengan tidak harus menguras akal budi, akan tetapi dengan meningkatkan pengetahuan terus-menerus, hingga pencapaian pengetahuan yang benar tentang semua yang dapat dilakukan manusia Descartes merasa tidak puas tentang perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak pasti sehingga sering menimbulkan perdebatan. (Bagi Descartes satu-satunya ilmu pengetahuan yang dianggap tepat adalah metode matematika karena kepastian dan keniscayaannya). la berpendapat bahwa sumber perdebatan itu sebab tidak adanya kebenaran mutlak yang menjadi titik-tolak yang tidak terbantah dalam menyusun ilmu. Oleh karena itu, Descartes bercita-cita untuk memperbarui filsafat dan ilmu pengetahuan. Sebagai tokoh rasionalisme, ia mencoba menjadikan rasio sebagau dasar bagi ilmu pengetahuan yang pasti itu. Berikut adalah beberapa pendangan rasionalisme menurut Descartes: 1. Pandangan Descartes thwal Tuhan Sebagai manusia religius, Descartes menempatkan Tuhan pada tempat yang tinggi sebagai “Ada”-nya zat yang tidak terbatas dan sempurna. (Meskipun demikian, semangat zaman Modern yang menolak keterkaitan ilmu pengetahuan dan rasio dengan nilai-nilai moral dan religius semakin meluas, dan dianggap sebagai dua hal yang berbeda/terpilah: tujuan hidup dan masalah transenden tidak perlu dimasuki oleh rasio/akal). Adapun argumen Descartes adalah sebagai berikut. Gagasan yang maha besar itu tidak mungkin haya sebagai hasil dari pemikiran kita yang terbatas dan tidak sempurna. Gagasan tentang Tuhan itu hanya mungkin berasal dari Tuhan sendiri, yang setara dengan gagasan besar itu. Keberadaan Tuhan diwadahi dalam gagasan itu sendiri, sebagaimana pengertian sudut sudah dengan sendirinya tercakup dalam pengertian segitiga. Argumen Descartes ini disebut sebagai pembuktian ontologis, yang sudah sering digunakan kaum teolog untuk membuktikan adanya Tuhan 2. Tubuh dan Jiwa Descartes menolak gagasan Aristoteles mengenai jiwa sebagai suatu yang menjiwai/menggerakkan badan. Pandangannya lebih dekat dengan pandangan Plato (dualisme). Dualisme menurut Descartes bertumpu pada asumsi/ide tertentu, yaitu akal budi/rasio adalah substansi yang berbeda/terpilah dengan substansi material (tubuh). Namun Descartes tidak menerima pandangan Plato yang menyebut badan sebagai ilusi Menurutnya setiap substansi tubuh-jiwa/roh mempunyai sifat atau ciri-ciri khusus yang berbeda. Ciri substansi akal budi adalah kesadaran (res cogitans) sedangkan ciri substansi material/tubuh adalah keluasan (res extensa) yang dapat diukur/dikuantifikasi Dalam kajian filsafat, khususnya philosophy of mind masalah hubungan tubuh-jiwa dapat disederhanakan sebagai berikut: © Materialisme menyatakan bahwa yang ada hanya materi. Karena itu, tidak ada interaksi antara tubuh dan jiwa. + Immaterialisme Berkeley (1685-1753) menyatakan bahwa eksis itu hanya persepsi Tida cukup alasan untuk mempercayai bahwa fenomena fisis/eksternal berdiri sendiri tanpa terlepas dari subjek yang mempersepsi. Karena itu, tidak ada masalah interaksi tubuh dengan jiwa, sebab secara prinsip semuanya bersifat spiritual. Pandangan ini agak mirip dengan idealisme Plato. ‘+ Paralelisme Nicholas Malebrance (1638-1715) menyatakan bahwa tubuh dan jiwa terpisah. Keduanya kelihatannya berintegrasi manakala pikiran, otak dan tindakan badan berjalan sejajar. ‘* Teori Aspek Ganda Benedictus de Spinoza (1632-1677) menyatakan bahwa tubuh dan jiwa adalah dua aspek daribsatu realitas dasar, yang biasa disebut “Tuhan” atau “Alam” tergantung bagaimana subjek memandangnya. Realitas tak ubahnya seperti sekeping mata uang logam dengan dua mukabyang berbeda. + Epifenomenalisme David Hume (1711-1776) menyatakan jiwa/kesadaran itu tidak lain dari sekumpulan persepsi yang muncul dari badan/pengamatan, Tidak ada subjek (self, kesadaran) yang tetap, karena kesadaran itu selalu terkait dengan pengalaman. Mind bukan substansi yang berdiri sendiri, akan tetapi mind hanya side effect dari ottak. Tidak ada apapun di dalam kehendak yang dapat diketahui untuk menjelaskan gerakan badan. Pendapat Hume tentang subjek, self, dan kesadaran yang cari berubah sejalan dengan pemikiran post-modernisme atau konstruktivisme sosial © Kestuan Tubuh dan Jiwa Manusia adalah perpaduan tubuh-jiwa. Karena itu, melalui metode fenomenologi kita bisa memahami makna dan tujuan tingkah laku seseorang. Melalui fenomenologi-hermeneutika kita dapat mengetahui dimensi psikis dari jimensi tubuh yang teramati Bagi Descartes pemikiran merupakan sifat yang hakiki dari jiwa.bYang termasuk pemikiran ialah segala sesuatu yang terjadi di dalam diri manusia seperti: pengenalan indrawi, khayalan, kehendak, imajinasi dan rasio. Dalam pemikiran Descartes, ada perbedaan yang tidak terjembatani antara pemikiran/jiwa dengan keluasan/tubuh. Walaupun tidak ada pertemuan antara jiwa dengan tubuh, namun keduanya menurut Descartes saling memengaruhi. Sehingga menurut Descartes meskipun keduanya bekerja secara terpisah, akan tetapi tubuh dan jiwa bekerja speerti dua buah jam yang berjalan dengan dan sama tepat. 3. Rasionalisme Descartes dan ide-ide Bawaan Sebagai seorang rasionalis, Descartes mengutamakan rasio sebagai sumber pengetahuan daripada empiri atau tubuh yang teramati dan terukur itu. Pengalaman bagi Descartes hanya menghadapkan/mengantarkan kita pada “penampakan” dan bukan pada pengetahuan sesungguhnya. Apa yang kita duga/amati hanya dapat diketahui dengan kuasa penilaian rasio kita. Kesaksian apa pun yang bersumber dari luar rasio kita, tidak pasti dan tidak dapat dipercayai. Kebenaran harus dicari dan didasarkan pada rasio menggunakan kriteria “clearly and distinctly” (jelas dan terpilih). Descartes juga mengemukakan adanya tiga ide bawaan, sebagai berikut: Idea pemikiran: ide yang memungkinkan diri saya sebagai makhluk yang berpikir * Idea Allah: sebagai wujud yang sempurna dan karena saya mempunyai idea yang sempurna, maka pasti ada sesuatu yang sempurna itu, dan wujud yang sempurna itu adalah Allah Idea keluasan: yang memungkinkan saya mengerti materi sebagai keluasan, sebagaimana hal itu dapat dipelajari secara kuantitatif. Metodologis dan Metode Keraguan Dalam bukunya Discours de la Methode, Descartes mengajukan prinsip metodologis, yaitu berupa empat aturan yang daoat menjamin kebenaran dan kepastian, antara lain: * Jangan menerima apaoun sebagai hal yang benar. kita hanya menerima kebenaran yang pasti seperti di dalam matematika. © Harus menganalisis sekecil mungkin, agar dapat memecahkan masalah lebih mudah dan lebih baik. ‘* Menata masalah dari yang paling sederhana dan muda dimengerti, kemudian maju sedikit dwmi sedikit ke tingkat yang lebih kompleks dan sulit. © Merinci keseluruhan dan mengevaluasi kembali secara umum sampai kita yakin bahwa kesimpulan yang kita ambil tida mengabaikan satu hal/masalah pun. Untuk metode keraguan, Descartes bertolak dari kenyataan di mana kita kerap tertipu oleh pengamatan. Bila pengamatan ternyata sering salah, lalu bagaimana kita tahu bahwa kita tidak tertipu? Bagaimana kita tahu bahwa yang kita lihat dan alami bukan ilusi? Descartes terus meragukan segala hal secara sistematis, meski sekecil apapun. Untuk membuktikan bahwa ia tidak tertipu, maka Descartes bertolak dari adanya eksistensi Tuhan yang menjamin karena menurutnya hanya Tuhan yang dapat menjamin bahwa ide kita yang, jelas dan terpilah memang benar dan kita tidak ditipu oleh setan jahat Begitu Descartes membuktikan adanya eksistensi Tuhan, maka Descartes merasa memiliki dasar untuj mengakui adanya tubuh kita yang berbeda dari rasio, bahwa ide kita nengenai dunia luar adalah benar. Setelah meragukan segala hal bahkan keberadaannya sendiri, maka bagi Descartes ada sesuatu yang tidak dapat diragukan keberadaannya, yakni bahwa saya sedang sangsi/ragu. Adapun adanya saya yang ragu itu secara langsung membuktikan adanya saya yang berpikir (cogito ergo sum = saya berpikir maka saya ada). “ Aku berpikir” merupakan kebenaran filsafat pertama. Jadi, eksistensi yang berpikir merupakan fundasi yang mutlak bagi semua pengetahuan. Jika saya yang berpikir itu merupakan satu kepastian mutlak, maka hubungan anatara berpikir dengan realitas merupakan suatu keniscayaan. Descartes menempatkan peran rasio, intuisi dan penalaran deduktif (yang didasarkan pada tiga prinsip dasar, yaitu prinsip identitas, prinsip non-kontradiksi dan prinsip tidak ada alternatif ketiga) dalam mencapai pengetahuan yang pasti. Rasio atau ego yang berpikir pada Descartes adalah ego dan rasio yang berada di luar konteks sosial-historis, sehingga rasio itu tdak terpengaruh/terkait dengan dimensi ruang-waktu dan budaya. E. BARUCH SPINOZA Spinoza (1632-1677) dilahirkan dari keluarga Yahudi. la seorang yang jujur, sopan, pemikir bebas dan menolak pembatasan, termasuk menolak jabatan di Universitas Heidelberg, dengan alasan jabatan itu sebagai posisi resmi Spinoza menulis tentang etika dan berusaha untuk menyusun satu geometri filsafat. Sistem filsafatnya tersusun berdasarkan definisi dan aksioma-aksioma. ‘Sistemnya menjelaskan kenyataan dalam dunia yang secara ketat ditentukan tata dan hubungan ide-ide, sama dengan tata dan hubungan benda-benda. la menolak dualisme Descartes yang menyatakan bahwa substansi tubuh dan jiwa merupakam dua substansi yang berbeda. Spinoza menyatakan bahwa hanya ada satu substansi: “Deus sive natura” (Tuhan atau Alam). Tuhan atau ‘Alam adalah satu dan sama. Spinoza membedakan antara “atribut” dan “modus”. Atribut adalah hakikat substansi yang bisa ditangkao oleh intelek, sementara modus adalah hal yang berubah-ubah pada substansi Keluasan bukanlah substansi seperti yang dikemukakan oleh Descartes, melainkan sebuah atribut yang kita tangkap sebagai hakikat benda-benda. Keluasan adalah atribut Tuhan sebagai substansi yang tida terhingga, sedangkan pikiran merupakan atribut dari substansi tunggal, yaitu Allah. Jadi pikiran manusia adalah bagian dari pikiran Tuhan yang tidak terbatas, Sebagai seorang rasionalis, Spinoza membedakan tiga taraf pengetahuan, yaitu taraf pengetahuan indrawi atau imajinasi, taraf refleksi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip, dan taraf intuisi. Pengetahuan sejati hanya yang berkaitan dengan intuisi dan refleksi. Jelas sekali bahwa pandangan monisme ontologis Spinoza ini, berdampak pada prinsip epistemologi yang menempatkan pikiran secara tidak terbatas. Agak mirip dengan Spinoza, Leibniz (1646-1716) adalah filsuf idealis dan rasionalis besar sehingga dijuluki sebagai Aristoteles zaman modern. Menurutnya pikiran adalah prinsip yang dapat menjelaskan semua realitas. F. GEORGE WILHELM FRIEDRICH HEGEL Hegel (1770-1831) dilahirkan di Sturrgart, Jerman bagian selatan. Keluarganya sebenarnya berasal dari Austria namun seperti kaum Protestan lainnya pada abad ke-16, mereka melarikan diri dari kaum Katolik Austria dan akhirnya menetap di satu wilayah Lutheran di Jerman. la belajar filsafat dan teologi di Tuebingen (1788-1793). Pada tahun 1801-1807 Hegel pergi ke Jena dan mulai mengajar filsafat di Universitas Jena. Hegel menjadi profesor pada tahun 1805. Sewaktu kota Jena diduduki Napoleon pada tahun 1806, Hegel lari ke Nurenberg dimana ia menjadi rektor gymnasium, menjadi editor sebuah surat kabar di Hamburg (1806-1816), dan menjadi profesor filsafat di Heidelberg dan kemudian di Universitas Berlin. Hegel mencari sebuah filsafat yang dapat mencapai atau mencakup semua pengalaman manusia, dsn juga semua pengetahuan. Untuk meraih itu, Hegel mengajukan konsep pemikiran Absolut (jiwa). Kemudian menggunakan dialektika untuk memasukkan penghancuran kreativitas tanpa akhir, rekonsiliasi, pembaruan konflik yang dianggap sebagai sesuatu yang abadi dalam jiwa. Hegel selalu berbicara tentang: Yang Absolut, Ide, Yang Satu-Roh-Dunia (selalu dalam huruf besar). Ini merujuk pada Tuhan, walaupun bukan Tuhan. Roh Absolut adalah yang menyelimuti, mengatur, dan membimbing seluruh realitas. Dengan penalaran, kita tidak perlu menyelidiki yang absolut itu; kita adalah bagian darinya dan merupakan ekspresi dari-Nya. Melalui pengaruh pemikiran Immanuel Kant yang berhasil memadukan rasionalisme Prancis dengan empirisme Inggris, Hegel menganggap filsafatnya merupakan puncak sejarah umat manusia. Dalam kesauan proses historis itu, semua pertentangan sudah diselesaikan sehingga realisasinya telah berakhir/berhenti (Bakker, 1984). Tidak akan ada pemikiran dan fakta yang benar-benar baru lagi. Berikut pemikiran-pemikiran Hegel: 1. Teori tentang Realitas (Metafisika) Pemikiran Hegel sebagai seorang idealis terkemuka yang menyatakan bahwa realutas adalah rasional, logis, dan spiritual merupakan reaksi atas pemikiran Immanuel Kant yang menyatakan bahwa manusia hanya dapat mengenal gejala-gejala atau benda-benda sejauh diamatu oleh pancaindra, dan hasil pengamatan itu kemudian distruktur oleh kategori- kategori akal. Jadi, yang dapat dikenal menurut Kant hanyalah gejala yang tampak, sementara hakikat di balik gejala itu tidak dapat diketahui. Hegel justru berpendapat bahwa jarak antara fenomena dan noumena itu dapat diatasi, segala sesuatunya dapat diketahui. Hegel mengemukakan bahwa pemikiran kita bekerja atas proses dialektika. Jadi menurut Hegel tidak ada noumena yang tidak dapat diketahui seperti pendapat Kant. Hegel mencoba mengatasi berbagai pertentangan dengan menyintesiskan dua pandangan yang saling bertentangan. Titik-tolak pemikiran Hegel adalah ‘ide yang dimengerti’ dan ‘kenyataan’ itu adalah sama. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara bidang rasio dengan bidang realitas. Hegel menyatakan “yang dimengerti itu real, dan yang real itu dimengerti” (Copleston, VII: 1963). Jalan untuk memahami kenyataan menurut Hegel adalah dengan mengikuti pikiran atau konsep. Asal sajabtitik-tolak pemikiran benar, maka pemikiran akan dibawa oleh dinamika pemikiran itu sendiri, dan dengan cara ini kita dapat memahami seluruh perkembangan sejarah 2. Ide: isme Absolut Pemikiran Hegel dikenal sebagai idealisme absolut yang menyatakan bahwa realitas adalah realisasi atau perkembangan dari Spirit. Seluruh kenyataan tidak lain dari penampakan diri yang dilakukan oleh akal yang tak terbatas. Akal itu adalah pikiran yang memikirkan dirinya sendiri dan mengaktualisasikan diri lewat proses dialektik, Dunia dan pikiran bersifat dinamis, keduanya berproses secara aktif evolusioner. Melalui proses dialektik-evolusioner inilah tujuan da sasaran-sasaran terwujud. Prinsip ini disebut sebagai konsepsi teleologis dari eksistensi dunia (Hunnex, 1986). Idealisme absolut Hegel merupakan sintesis antara idealisme subjektif Fichte dengan idealisme objektif Schelling. Dalam pandangan Hegel, yang terpenting dalam proses evolusi bukaniah pada apa yang terjadi pada awalnya, akan tetapi pada akhirnya. Idealisme Hegel dibangun di atas satu sistem triade. Dunia, menueut Hegel, adalah satu tatanan yang rasional. Konsep-konsep intelek sesuai dengan evolusi objektif dari dunia. Rasionalitas hanya dapat diketahui dengan pemikiran. Fungsi filsafat adalah mengenal kaidah-kaidah yang dengannya akal (rasio) bekerja. Karena filsafat dan metode Hegel mengikuti dinamika pikiran dan kenyataan, maka metodenya disebut dengan metode “dialektis”. Metode dialektis itu diungkapkan sebagai tiga langkah: dua sebagai pengertian yang saling bertentangan, dan satu lagi sebagai langkah penggabungen/pendamai kedua pengertian yang bertentangan itu. Ketiga langkah itu disebut dengan tesis-antitesis-sintesis. 3. Dialektika Seluruh sistem filsafat Hegel terdiri dari rangkaian proses dialektis yang terdiri dari tiga rangkap, yaitu: ‘Suatu konsep universal yang abstrak sebagai titik-tolak. ‘ontradiksi atas tesis. * _ Sintesis : Penyatuan konsep yang bertentangan (tesis-antitesis). Tesis sebagai titik-tolak metode Hegel terdiri dari pengertian atau konsep-konsep yang dianggap jelas dan fundamental. Pengertian atau konsep itu bersifat mendalam, seperti ada, akal, kebebasan. Tesis akan membawa orang pada antitesis atau pengingkaran/negasi Sintesis merupakan penyelesaian evolutif atas konsep-konsep yang saling bertentangan, dan merupakan penyelesaian dari konsep yang bertentangan itu. Sintesis ini merupakan pengingkaran terhadap pengingkaran, dimana tesis dan antitesis sama-sama dipikirkan dan saling mengisi, saling memperkaya dan memperbarui keduanya. Sehingga, kedua pengertian atau pandangan yang saling bertentangan itu akhirnya mendapat kenyataan dan pemahaman baru, Pemikiran dialektis menurut Hegel merupakanbsatu proses untuk mencapai kebenaran (Osborne, 2001 : 110-111). Rangkaian dialektis itu misalnya ‘ada’ memunculkan ‘tidak ada’, dari dua kontradiksi ini muncul ‘menjadi’. Proses kontradiksi dan perkembangan menurut Hegel secara inheren melekat dalam kenyataan historis dan dalam pikiran. Penyelesaian kontradiksi itu bergerak secara niscaya menuju langkah-langkah yang lebih tinggu sampai akhirnya tercapai sintesis terakhir, yaitu Ide Absolut. Ide Absolut adalah sebagai kesatuan ide subjektif dengan ide objektif. Ide objektif adalah pengertian dari ide yang objeknya adalah ide dalam dirinya sendiri, sementara objeknya adalah objek yang merangkum semua sifat realitas dalam kesatuannya. G. PENUTUP ‘Ada hubungan antara pandangan idealisme (ontologi) dengan pandangan rasionalisme (epistemologi). Yaitu sama-sama meyakini bahwa idea adalah realitas yang sungguh ada. Karena itu, posisi kaum rasionalis dan idealis pertama-tamabtertuju padabyang metafisis, bukan yang empiris. Jadi, sistem ide-ide atau gagasan lebih mendahului data/persepsi duniawi. Kaum rasionalisme (Plato, Descartes, Hegel) menjadikan rasio sebagai dasar yang terpercaya bagi ilmu pengetahuan. limuwan dianggap dapat menjelaskan realitas secara pasti dengan cara melakukan penalaran sesuai dengan hukum-hukum logika (deduktif). Jika seseorang dapat menyusun pemikiran secara sistematis dan logis, maka pemikiran seperti itu merupakan penghadiran realitas/objek sebagaimana adanya. Dasar atau asumsi pemikirannya adalah realitas itu tertata secara rasional dan harmonis. Hegel dengan jelas mengemukakan semua yang rasional itu real, dang yang real itu rasional. Karena itu, ilmu pengetahuan yang dihasilkan secara rasional pun pasti sesuai dengan realitas (objektif). Kita telah melihat betapa pentingnya rasionalisme dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern. Aliran yang sering dikaitkan dengan rasionalisme, sebagai lawannya adalah empirisme. Empirisme menawarkan perlunya pengalaman sebagai sumber terpercaya bagi pengetahuan. Pengetahuan yang benar menurut kaum empiris adalah pengetahuan yang dapat dibuktikan secara faktual.

You might also like