You are on page 1of 6

Pengaruh Paritas Terhadap Persentase Estrus dan Kebuntingan Pada Sapi

Bali yang Disinkronisasi Estrus dengan Dua Kali Penyuntikan Prostaglandin


F2α (PGF2α)

The Effect of Parities on The Percentage of Estrous and Conception of Bali Cows
After Estrous Synchronization with The Injection of Prostaglandin F2α (PGF2α)
Twice

Rojab Fadillah a, Sri Suharyatib, and Madi Hartonob


a
The Student of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University
b
The Lecture of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University
Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University
Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung 35145

ABSTRACT

The research aimed to: (1) determine the effect of parities on the precentage of estrous and
conception of Bali cows after estrous synchronization with prostaglandin F2α (PGF2α) injection
twice; (2) determine the best parity of Bali cows after estrous synchronization with prostaglandin
F2α (PGF2α) injection twice from the various parities of Bali cows.
The research was held in November until February 2013, located in Sukoharjo II Village,
Sukoharjo District, Pringsewu Regency. This research used Completely Randomized Design
(CRD) with three treatments and four repetitions. The treatments were Bali heifers (P 0); Bali cows
which have calved once (P1); and Bali cows which have calved twice (P 2). Hormone used for the
synchronization was Juramate® with doses of 500 µg/cow or 2 ml/cow intramuscularly. Data of
percentage of estrous and conception was analyzed by using Chi-square on significant level of 5%.
The result of the research showed that estrous percentages after prostaglandin F2α (PGF2α)
injection twice of Bali Cows P0, P1, P2 were 100%. The conception percentage of Bali cows P0, P1,
P2 in a row were 100%; 75%; 75%. Based on the advanced test of Chi-square, parity was not
significantly different (P>0,05) on the percentage of estrous and conception of Bali cows after the
prostaglandin F2α (PGF2α) injection twice.

Key words: Bali Cows, estrus synchronization, parities, PGF 2α

PENDAHULUAN atau 75% konsumsi daging nasional.


Kekurangan kebutuhan daging sebanyak
Indonesia merupakan salah satu negara 25 % yang dipenuhi melalui impor dari
dengan jumlah penduduk yang terus Australia sebesar 240.950 ekor.
meningkat sehingga membutuhkan Salah satu jenis sapi potong yang
ketersediaan makanan yang memiliki gizi banyak dimanfaatkan untuk memenuhi
tinggi baik yang berasal dari hewani ataupun kebutuhan daging adalah sapi Bali. Sapi
nabati. Daging adalah salah satu sumber Bali merupakan sapi hasil domestikasi dari
protein asal hewani yang banyak dikonsumsi banteng (Bos bibos), sapi Bali memiliki ciri
dan masyarakat umumnya berasal dari khas yaitu kepala agak pendek, dahi datar,
ternak non ruminansia (perunggasan) dan tanduk pada jantan tumbuh agak ke bagian
ternak ruminansia misalnya sapi potong. luar kepala, sedangkan betina agak ke
Kebutuhan daging nasional khususnya sapi bagian dalam, kaki pendek sehingga
potong dipenuhi dari dua sumber yaitu menyerupai kaki kerbau (Sugeng, 1992).
produksi dalam negeri dan luar negeri Keunggulan sapi Bali yaitu cepat
(impor). Menurut Badan Pusat Statistik berkembang biak/ fertilitas tinggi, mudah
(2011), populasi sapi potong mencapai beradaptasi dengan lingkungannya, dapat
14,8 juta ekor untuk memenuhi konsumsi hidup di lahan kritis, mempunyai daya cerna
daging sapi sebesar 1,87 kg/kapita/tahun yang baik terhadap pakan dan persentase
karkas yang tinggi.

33
Beternak sapi Bali di Indonesia ulangan, perlakuan pertama yaitu sapi Bali
umumnya diusahakan oleh peternak dengan betina dara/belum pernah beranak (P 0),
skala kecil atau peternakan rakyat. Berbagai beranak satu kali (P1) dan beranak dua kali
masalah sering timbul pada peternakan (P2). Preparat hormon yang digunakan
tersebut, salah satunya kemampuan produksi adalah Juramate®, dengan dosis 500 µg/
sapi yang lambat. Hal tersebut biasanya ekor atau (2 ml/ekor) secara intramuskuler
terjadi karena peternak umumnya memiliki (im).
sumber daya manusia yang rendah Pelaksanaan penelitian sinkronisasi
(pengetahuan yang minim) sehingga estrus dengan menggunakan dua kali
biasanya peternak belum dapat mengetahui penyuntikan hormon prostaglandin F2α
siklus reproduksi sapi yang baik, budaya dilakukan dengan cara :
menyapih pedet yang lama dan jarak 1) menyeleksi induk-induk sapi Bali dalam
beranak yang cukup lama. Guna mengatasi kondisi tidak bunting yang dijadikan
masalah tersebut dan upaya meningkatkan akseptor sinkronisasi dengan jalan
produksi sapi potong dalam negeri melakukan pemeriksaan kebuntingan
khususnya pada sapi Bali dibutuhkan solusi (PKB) dengan palpasi rektal;
yang tepat. Sinkronisasi estrus merupakan 2) menentukan 12 ekor ternak yang
upaya yang dapat dilakukan untuk dijadikan perlakuan dan ulangan yang
menginduksi terjadinya birahi secara terdiri dari 4 ekor sapi Bali betina dara,
serentak, salah satunya dengan 4 ekor sapi Bali yang pernah beranak
menggunakan hormon prostaglandin F2α satu kali, dan 4 ekor sapi Bali yang
(PGF2α). Tujuan dilakukannya sinkronisasi pernah beranak dua kali;
estrus yaitu mudah dalam pelaksanaan 3) melakukan sinkronisasi pertama dengan
deteksi berahi, optimal dalam pelaksanaan menggunakan preparat hormon PGF2α
inseminasi buatan sehingga dihasilkan angka Juramate® (Cloprostenol), dengan dosis
kebuntingan tinggi. 500 µg/ ekor atau (2 ml/ekor) secara
Banyak faktor yang memengaruhi intramuskuler (im);
keberhasilan sinkronisasi estrus salah 4) apabila ternak yang disinkronisasi
satunya yaitu kemampuan reproduksi ternak pertama menunjukkan tanda-tanda birahi
tersebut. Kemampuan reproduksi pada sapi mulai 48 sampai dengan 72 jam
potong terkait dengan lama kehidupan dan penyuntikan I, ternak didiamkan atau
frekuensi kelahiran (paritas). Berdasarkan tidak dilakukan Inseminasi Buatan (IB);
hal tersebut perlu dikaji tentang aspek 5) setalah hari ke sebelas dari penyuntikan
reproduksi dengan berbagai paritas sehingga pertama dilakukan lagi penyuntikan
akan diketahui pengaruh paritas ternak sinkronisasi kedua;
terhadap keberhasilan sinkronisasi estrus. 6) pengamatan pada ternak dilakukan 1 jam
setelah penyuntikan sampai pada 72 jam
untuk mengetahui estrus untuk
MATERI DAN METODE selanjutnya diketahui persentase estrus;
7) sapi Bali yang mengalami estrus untuk
Penelitian ini menggunakan 12 ekor selanjutnya dilakukan IB oleh petugas
sapi Bali betina yang terdiri dari 4 ekor sapi inseminator;
Bali Dara, 4 ekor sapi Bali beranak sekali 8) pada sapi Bali yang tidak menunjukkan
dan tanda-tanda birahi setelah penyuntikan
4 ekor sapi Bali beranak dua kali dengan ke dua, maka terhadap sapi-sapi tersebut
kondisi tubuh yang sehat, baik, memiliki tetap dilakukan IB paling lambat 72 jam
organ reproduksi yang normal serta tidak setelah penyuntikan kedua.
dalam keadaan bunting. Bahan yang 9) setelah tiga bulan dilakukan
digunakan dalam penelitian ini adalah pemeriksaan kebuntingan (PKB)
Juramate® (Cloprostenol 250 µg/ ml dosis sehingga diketahui persentase
500 µg/ ekor) aplikasi 2 ml/ ekor, spuit 3 cc, kebuntingan.
plastik, sarung tangan 5 jari, alkohol 70 %,
semen beku + N2 cair, kapas, gun inseminasi
buatan, thermos straw, gunting stainless,
pinset stainless.
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan tiga perlakuan dan empat

34
HASIL DAN PEMBAHASAN menunjukan paritas tidak berpengaruh nyata
(P>0,05) terhadap persentase estrus.
A. Persentase Estrus Persentase estrus yang mencapai 100%
setelah penyuntikan PGF2α membuktikan
Hasil pengamatan menunjukkan semua kefektifannya kerja hormon pada sapi Bali
sapi Bali pada berbagai paritas yang sehingga mendorong terjadinya estrus
diinjeksi Prostagladin F2α (PGF2α) walaupun memiliki perbedaan paritas.
mengalami estrus. Data persentase estrus Sudarmadji et al. (2005) menyatakan bahwa
dapat dilihat pada Tabel 1. PGF2α dapat menyebabkan estrus apabila
Berdasarkan hasil uji menggunakan mampu meregresi korpus luteum (CL);
Khi-kuadrat (Tabel 1), persentase estrus akibatnya, kadar hormon progesteron akan
pada sapi Bali setelah dilakukan turun.
penyuntikan dua kali menggunakan PGF2α

Tabel 1. Pengaruh paritas Terhadap Persentase Kebuntingan


Jumlah Sapi yang Persentase Estrus
Perlakuan Jumlah Sapi Perlakuan
Estrus (%)
P0 4 4 100
P1 4 4 100
P2 4 4 100
Keterangan: P0 = Sapi dara
P1 = Paritas 1
P2 = Paritas 2

Lebih lanjut Mukasa et al., (1989) Sudarmadji et al. (2005) menyatakan bahwa
menyatakan bahwa PGF2α disuntikkan PGF2α hanya efektif apabila diberikan pada
secara intramuskuler masuk ke dalam fase luteal ketika korpus luteum masih aktif.
pembuluh darah menuju ovarium yang Hal ini sesuai dengan pendapat
mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi. Partodihardjo (1995) bahwa PGF2α efektif
Hal tersebut menyebabkan aliran darah yang dalam meregresi korpus luteum yang sudah
menuju ovarium lama-kelamaan akan berfungsi tetapi tidak efektif pada korpus
terhenti. Ditambahkan oleh Maidaswar luteum yang mulai/sedang tumbuh.
(2007), terhentinya aliran darah Faktor lain yang memengaruhi
menyebabkan kadar progesteron yang persentase estrus yang mencapai 100% pada
dihasilkan oleh CL menurun bahkan terhenti semua paritas diduga disebabkan sapi Bali
dalam darah. Penurunan kadar progesteron tersebut berada pada umur produktif. Hal ini
ini merangsang hipofisa anterior diperkuat oleh pernyataan Salisbury dan
menghasilkan dan melepaskan FSH VanDemark (1985), yang menyatakan
(F O L L I C L E STIMULATING bahwa sapi betina dara sampai umur 6 tahun
HORMONE) dan LH (Luteinizing berada pada masa produktif. Ditambahkan
Hormone). Kedua hormon ini bertanggung oleh Toelihere (1981), yang menyatakan
jawab dalam proses folikulogenesis dan bahwa umur merupakan salah satu faktor
ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan yang memengaruhi siklus estrus selain dari
pematangan folikel. Lebih lanjut Jainudeen pakan, sistem pemeliharaan dan lingkungan.
dan Hafez (2000), menyatakan bahwa Pada paritas 1, 2 dan 3 umumnya memiliki
folikel-folikel tersebut akhirnya Sinkronisasi kemampuan reproduksi yang cukup baik
dengan dua kali penyuntikan PGF2α yang karena belum mengalami penurunan dalam
berselang 11 hari diduga memengaruhi pula kemampuan reproduksinya sehingga faktor
persentase estrus 100%, hal ini dikarenakan tersebut mendorong tidak berpengaruhnya
pada penyuntikan pertama fase siklus estrus terhadap persentase estrus pada sapi Bali.
pada sapi Bali belum diketahui. Persentase estrus sapi Bali yang mencapai
Sinkronisasi pada penyuntikan kedua dengan 100% sangat ideal apabila dibandingkan
selang 11 hari sapi Bali berada pada fase dengan bangsa sapi yang lainnya bahkan
yang sama yaitu fase luteal yang ditunjukan pada ternak kuda, namun memiliki
dengan kematangan pada korpus luteum. persentase yang sama dengan domba dan

35
Babi. Menurut Setiadi (1996) bahwa sapi- yang dengan pemberian hormon PGF2α 0,3
sapi potong laktasi yang diberi PGF2α secara ml hanya mencapai angka 50% (Enfinoria,
intramaskuler menyebabkan terjadinya 2012). Pemberian PGF2α pada babi
estrus sebesar 87%. Menurut Nerli (2009), Veredeld Duits Landvarken (VDL) menurut
rata-rata persentase estrus sapi Brahman Labetubun dan Da Costa (2011), persentase
Cross setelah di injeksi PGF2α dengan dosis estrus mencapai 100%.
1 ml adalah 51,06% dan dosis 3 ml adalah
83,33%. Menurut Arifiantini et al. (2008) B. Persentase Kebuntingan
pemberian PGF2α pada kuda betina dengan
dosis 7, 5 mg adalah 73,7 % (14 dari 19 ekor Hasil pemeriksaan kebuntingan pada sapi
yang disinkronisasi). Pemberian PGF2α Bali yang disinkronisasi menggunakan
pada domba ekor gemuk dengan dosis 11 Prostagladin F2α (PGF2α) dalam penelitian
mg/ ekor mencapai 100% (Meilinda, 2012). ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Persentase estrus pada kelinci New Zealand

Tabel 2. Pengaruh Paritas Terhadap Persentase Kebuntingan

Jumlah Sapi (Ekor)


Persentase
Perlakuan Ulangan Bunting Tidak Bunting
Kebuntingan (%)
P0 4 4 0 100
P1 4 3 1 75
P2 4 3 1 75
Keterangan: P0 = Sapi dara
P1 = Paritas 1
P2 = Paritas 2

Berdasarkan hasil uji menggunakan birahi dengan intensitas yang jelas


Khi-kuadrat (Tabel. 2) persentase dibandingkan dengan paritas 1 dan 2.
kebuntingan pada sapi Bali setelah Intensitas birahi sangat erat kaitannya
dilakukan penyuntikan dua kali dengan persentase kebuntingan dikarenakan
menggunakan PGF2α menunjukan bahwa pada intensitas birahi yang rendah umumnya
perbedaan paritas tidak berpengaruh nyata ditandai pada sapi Bali yang mengalami
(P>0,05) terhadap persentase kebuntingan. birahi tenang, menyebabkan kesulitan
Persentase kebuntingan pada paritas 0 peternak pada pendeteksian birahi dan
sebesar 100%, sedangkan pada paritas 1 dan mengakibatkan waktu inseminasi yang
2 sebesar 75%. Faktor yang kemungkinan kurang tepat pula. Hal tersebut dapat
dapat menyebabkan perbedaan kebuntingan menyebabkan kegagalan pembuahan
sapi Bali pada beberapa paritas 1 dan 2 sehingga tidak terjadinya kebuntingan.
adalah angka intensitas birahi sapi Bali pada Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa
paritas 1 dan 2 yang rendah. Menurut kegagalan perkawinan disebabkan oleh dua
Tagama (1995), intensitas birahi sapi faktor utama, yakni kematian embrio dini
diperoleh dari hasil pengamatan terhadap dan kegagalan pembuahan yang termasuk di
gejala birahi setelah pemberian hormon. dalamnya kesalahan dalam pengelolaan
Gejala yang diamati adalah perubahan pada reproduksi. Lebih rendahnya persentase
vulva (merah, bengkak dan hangat), keluar kebuntingan pada paritas 1 dan 2
lendir transparan dari vulva, adanya kemungkinan disebabkan faktor kegagalan
perubahan tingkah laku (gelisah dan nafsu ovulasi. Mani et al. (1996) menyatakan
makan turun) dan ereksi uteri. Berdasarkan bahwa kegagalan ovulasi sangat jelas
intensitas birahi sapi Bali yang ditunjukkan berkaitan dengan berkurangnya sekresi
paritas 0 memiliki rata-rata skor intensitas gonadotropin terutama LH pada ternak,
birahi yang baik dibandingkan dengan akibatnya kemampuan reproduksi yang
paritas 1 dan 2, berturut-turut 3; 1,25; dan menurun menyebabkan kegagalan
2,5. Hal ini menunjukan bahwa pada sapi perkawinan dan rendahnya konsepsi.
paritas 0 mampu memperlihatkan gejala

36
Persentase kebuntingan pada paritas 0, bantuan dan kerja sama selama pelaksanaan
1 dan 2 berturut-turut adalah 100%, Sinkronisasi Estrus di Kabupaten Pringsewu
75% dan 75 %, berdasarkan hal tersebut pada November--Desember 2012.
persentase kebuntingan tergolong ideal.
Menurut Partodihardjo (1995), persentase
kebuntingan yang ideal sebesar 70% atau DAFTAR PUSTAKA
lebih. Ditambahkan oleh Sudarmaji et al.
(2005), persentase kebuntingan sapi Bali Ahola, J.K., G.E. Seidel Jr., and J.C.
yang diinjeksi menggunakan Prostaglandin Whittier. 2009. Use Gonadotropin
F2α (PGF2α) mencapai 83,33% lebih besar Releasing Hormone at Fixed Time
dari sapi PO yaitu 47,37%. Menurut Artificial Insemination at Eighty or
Maliawan (2002), persentase kebuntingan Ninety Seven Hours Post Prostaglandin
sapi Bali pada pemberian PGF2α dengan F2α in Beef Cows Administered The
dosis 15 mg, 20 mg, dan 25 mg/ ekor sama Long Term Melengestrol Acetate
yaitu 66,67%. Siswanto (2002), menyatakan Select Synch. The Professional Animal
bahwa persentase kebuntingan sapi Fries Scientist (25):256--261
Holland yang disinkronisasi estrus Arifiantini. R. I, B. Purwantara, T. L. Yusuf,
menggunakan PGF2α yaitu 55,55%. Apabila D. Sajuthi, & Amrozi. 2008. Angka
dibandingkan dengan persentase Konsepsi Hasil Inseminasi Semen Cair
kebuntingan pada sinkronisasi estrus pada Versus Semen Beku pada Kuda yang
ternak babi, persentase kebuntingan sapi Disinkronisasi Estrus dan Ovulasi.
Bali (88,33%) lebih rendah. Labetubun dan Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan.
Da Costa (2011), menyatakan bahwa Institut Pertanian Bogor. Bogor
sinkronisasi dengan menggunakan PGF2α Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik
dosis 5 mg pada babi Veredeld Duits Indonesia. BPS Propinsi Lampung.
Landvarken (VDL) menghasilkan persentase Bandar Lampung
kebuntingan mencapai 100%. Enfinoria. F. 2012. Efektivitas Pemberian
Hormon Prostaglandin Gonadotropin
F2α (Pgf2α) dan Pregnant Mare Serum
SIMPULAN DAN SARAN Gonadotropin (Pmsg) Serta Kombinasi
Pmsg dan Human Chorionic
Simpulan Gonadotropin (Hcg) Terhadap
Persentase Birahi Kelinci New
Berdasarkan hasil penelitian dan Zealand. Jurnal Ilmu dan Teknologi
pembahasan dapat disimpulkan bahwa : Peternakan. Fakultas Kedokteran
1. perbedaan paritas tidak berpengaruh Hewan Universitas Airlangga.
nyata (P>0,05) terhadap persentase estrus Surabaya
dan kebuntingan pada sapi Bali setelah Hardjopranjoto, H. S. 1995. Ilmu Kemajiran
dua kali penyuntikan PGF2α; pada Ternak. Airlangga University
2. persentase estrus setelah dua kali Press. Surabaya
penyuntikan PGF2α, pada sapi Bali Jainudeen. M.R. and E.S.E. Hafez. 2000.
(P0, P1, P2) adalah 100% dan persentase Cattle and Buffalo. In Reproduction in
kebuntingan pada sapi Bali (P0, P1, P2) Farm Animals. Hafez, B. and E.S.E.
berturut-turut 100%; 75%; 75%. Hafez (Ed.).7th Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia
Saran Labetubun, J. dan M.A. Da Costa. 2011.
Angka Kebuntingan Babi Veredeld
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan Duits Landvarken (VDL) yang
menggunakan jenis sapi dan dosis PGF2α Digertak Berahinya Menggunakan
yang berbeda. Hormon Pgf2α. Jurnal. Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Patimura. Ambon
UCAPAN TERIMA KASIH Listiani, D. 2005. Pemberian PGF2α pada
Sapi Peranakan Ongole yang
Ucapan terima kasih disampaikan Mengalami Gangguan Korpus Luteum.
kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Tesis. Program Pascasarjana
Hewan Provinsi Lampung dan Dinas Universitas Diponegoro. Semarang
Peternakan Kabupaten Pringsewu atas

37
Maidaswar. 2007. Efisiensi Superovulasi Prihatno, S.A. 2003. Pengaruh Pemberian
pada Sapi Melalui Sinkronisasi prostaglandin F 2α dan
Gelombang Folikel dan Ovulasi. Tesis. Methilergometrin terhadap timbulnya
Program Pascasarjana Institut Pertanian Estrus setelah Beranak pada Sapi
Bogor. Bogor Perah. J. Sain Vet. 21(1):55--59
Maliawan, I.M. 2002. Pengaruh Pemberian Salisbury, H.M. dan L. Vandemark. 1985.
Hormon Prostaglandin F2α (PGF2α) Reproduksi pada Ternak. Terjemahan.
Terhadap Lama Birahi dan Angka Gajah Mada University Press.
Kebuntingan pada Sapi Bali. Skripsi. Yogyakarta
Fakultas Pertanian Universitas Setiadi. 1996. Pengaruh Prostaglandin F2α
Lampung. Lampung Analog terhadap Respon Birahi dan
Hasil Inseminasinya pada Sapi Perah
Mani, A.U., W.A.C. McKelvey, and E.D. Friesian Holstien. Skripsi. Fakultas
Watson. 1996. Effects of Under Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Nutrition on Gonadotrophin Profiles in Yogyakarta
Non-Pregnant, Cycling Goats. Journal Siswanto. 2002. Pengaruh Pemberian
of Animal Science and Technology. Prostaglandin F2α (PGF2α) Terhadap
Anim. Reprod. Sci. 43:25--33 Lama Birahi dan Persentase
Meilinda, G.A. 2012. Pengaruh Pemberian Kebuntingan Sapi Peranakan Freis
Kombinasi Prostaglandin F2α (PGF2α) Holland. Skripsi. Fakultas Pertanian
dan Medroxy Progesterone Acetate Universitas Lampung. Lampung
(MPA) terhadap Persentase Birahi dan Sudarmaji, A. Malik dan A. Gunawan. 2005.
Kebuntingan Domba Ekor Gemuk. Pengaruh Penyuntikan Prostaglandin
Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Terhadap Persentase Birahi dan Angka
Universitas Airlangga. Surabaya Kebuntingan Sapi Bali dan Po Di
Mukasa, E. Mugerwa, A. Tegegne, M. Kalimantan Selatan. Jurnal. Jurusan
Mattoni, dan Cechini. 1989. Effect of Peternakan Fakultas Pertanian
Ocstrous Synchronization with Universitas Islam Kalimantan.
Prostaglandin F2 Alpha in Ethiopian Banjarmasin
Highland Zebu (Bas indiclIs) Cows. Sugeng, Y. B. 1992. Sapi Potong. Penebar
Anim. Prod. Sci 48 : 367--373 Swadaya. Jakarta
Nerli, S. 2009. Pengaruh Dosis Tagama, T. R. 1995. Pengaruh Hormon
Prostaglandin F2α (PGF2α) terhadap Estrogen, Progesteron dan
Sinkronisasi Estrus di PT. Lembu Prostaglandin F2α terhadap Aktivitas
Betina Subur (LBS) Kota Sawahlunto. Berahi Sapi PO Dara. Jurnal Ilmu dan
Skripsi. Fakultas Peternakan Teknologi Peternakan. Fakultas
Universitas Andalas. Sumatera Barat Peternakan Universitas Jendral
Partodiharjo, S. 1995. Ilmu Reproduksi Sudirman. Purwokerto
Hewan. Cetakan III. PT. Mutiara Toelihere, M. R. 1981. Inseminasi Buatan
Sumber Widya. Jakarta pada Ternak. Penerbit Angkasa.
Bandung

38

You might also like