You are on page 1of 170

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN

TAMAN NASIONAL DENGAN POLA KEMITRAAN


DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

MUHD NUR SANGADJI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN DISERTASI

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN


TAMAN NASIONAL DENGAN POLA KEMITRAAN
DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

MUHD NUR SANGADJI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Partisipasi Masyarakat dalam


Pengelolaan Taman Nasional dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean Provinsi
Sulawesi Tengah” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir
disertasi ini.

Bogor, Maret 2010

Muhd Nur Sangadji


NIM P061050031
ABSTRACT

MUHD NUR SANGADJI. Community Participation on Management of National


Park with Partnership Patern in Togean Island of Central Sulawesi Province.
Advisory committee by SUMARDJO, PANG S. ASNGARI and SOENARMO

The aim of this research are : (1) to analyze the level of community
participation on management of Togean Island National Park, (2) to analyze the
factors that influence the community participation, (3) to analyze the correlation
of the factors that influence the community participation, and (4) to formulate a
strategy of extension to increase the effectiveness of community participation on
management of Togean Island National Park. The research was conducted in Togean
Island National Park in Central Sulawesi on August to September 2008 and March
to April 2009. Five variables are used to measure the community participation by
using Structural Equation Model (SEM) and LISREL 8.30. Those variables are
internal individu, extension process, external factors, community capacity and
community participation. The result of research shown that participation of
community is on the low level. Internal characteristic and community capacity have a
significant effect on community participation. The independent variables such as
internal characteristics, extension process and external factors have positive
significant correlation. The strategy that can be used to increase the community
participation is to improve the process of extension by giving the opportunity to
community for involving on management of Togean Island National Park. This
strategy should be supported by government policy to apply consistently, the
partnership approach on management of National Park in the local level.

Keywords: Participaton, community, Capacity, Extension process and National


park.
RINGKASAN

MUHD NUR SANGADJI. “Partisipasi Masyarakat Dalam pengelolaan Taman


Nasional dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah”.
Dibimbing oleh SUMARDJO, PANG S ASNGARI dan SOENARMO

Pada bulan Oktober 2004 Kepulauan Togean yang terletak di Provinsi


Sulawesi Tengah, ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI melalui SK. No.418/Menhut-
II/2004 sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Kepulauan Togean
(TNKT). Pulau tersebut memiliki luasan 362.605 ha, meliputi sebagian hutan dan
perairannya. Secara otomatis penunjukan tersebut mengubah pula status Kepulauan
Togean menjadi kawasan pelestarian alam yang fungsi pelestarian dan pemanfaatan
harus dilakukan secara seimbang sesuai UU No. 5 tahun 1990.
Penetapan TNKT didasari pada potensi sumberdaya alam dengan nilai
keragaman hayati, baik untuk obyek wisata maupun kekayaan Flora dan Fauna
Endemik Sulawesi. Kepulauan tersebut telah mendapat perhatian pada tingkat
nasional, ditunjukkan oleh Bappenas dalam dokumen Biodiversity Action Plan for
Indonesia (CII, 2005). Kekayaan alam ini sekarang menghadapi ancaman karena
berbagai kegiatan ekonomi terutama dengan memanfaatkan teknologi destruktif.
Penunjukan TNKT melahirkan reaksi beragam dari berbagai pihak. Sebagian
merasa pembentukan TNKT hanya akan menimbulkan konflik. Sebagian lainnya
merasa bahwa TNKT bisa menciptakan upaya pelestarian dan pengelolaan
sumberdaya alam yang lebih baik, asal dilakukan secara partisipatif. Mereka yang
optimis melihat adanya peluang kerjasama (kemitraan) atau kolaborasi dalam
mengelola TNKT. Apalagi hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia.
Dari uraian ini muncul pertanyaan, seperti apakah partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan TNKT saat ini, dan faktor-faktor apakah yang berpengaruh serta
bagaimana hubungan faktor-faktor tersebut dalam pengelolaan TNKT ? Untuk dapat
menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan telaah dalam bentuk penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis tingkat partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNKT, (2) menganalisis faktor-faktor yang
berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT, (3) menganalisis
hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan TNKT, dan (4) merumuskan strategi penyuluhan yang efektif untuk
mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
Penelitian telah dilaksanakan di Taman Nasional Kepulauan Togean pada
bulan Agustus sampai dengan September 2008 dan Maret sampai dengan April 2009.
Lima peubah digunakan untuk mengukur kapasitas masyarakat dan partisipasi mereka
dalam pengelolaan TNKT dengan menggunakan alat analisis Structural Eqution
Model (SEM) yang ditunjang program LISEREL 8.30. Kelima peubah tersebut adalah
karakteristik internal, proses penyuluhan, faktor eksternal, kapasitas masyarakat dan
partisipasi masyarakat.
Proses penyuluhan dan lingkungan ekternal memberikan pengaruh nyata
terhadap kapasitas masyarakat, sedangkan karakteristik internal dan kapasitas
masyarakat memberikan pengaruh yang nyata terhadap partisipasi masyarakat.
Kapasitas masyarakat dalam pengelolaan SDA adalah tergolong tinggi, namun
partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT adalah tergolong rendah. Hal ini
disebabkan pendekatan penyuluhan yang kurang partisipatif, lebih monolitik dan ”top
down” tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperanserta.
Pendekatan ini tidak mampu meyakinkan masyarakat tentang manfaat kehadiran
taman nasional di daerah mereka.
Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1). Partisipasi masyarakat
kepulauan Togean dalam pengelolaan TNKT berada pada kategori “rendah” karena
minimnya peluang untuk turut serta dalam menentukan status dan pengelolaan
kawasan TNKT tempat mereka bermukim, (2). Faktor-faktor yang berpengaruh
nyata pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT adalah faktor internal
individu dalam hal motivasi dan status sosial serta kapasitas masyarakat dalam hal
sikap mental dan kesetaraan. Faktor faktor ini memiliki korelasi dan dipengaruhi
secara nyata oleh proses penyuluhan, (3). Ketiga faktor yang berpengaruh pada
kapasitas masyarakat dan partisipasi dalam pengelolaan TNKT, yaitu peubah
karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan memiliki hubungan
yang erat, dan (4). Strategi yang dapat digunakan adalah meningkatan proses
penyuluhan yang konvergen dengan memberikan peluang yang luas kepada
masyarakat untuk ikut serta dalam proses pengelolaan TNKT.

Kata kunci : Partisipasi, komunitas, kapasitas, proses penyuluhan dan taman


nasional.
© Hak Cipta adalah milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis


dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL DENGAN POLA KEMITRAAN
DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

MUHD NUR SANGADJI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Fakultas Ekologi Manusia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Disertasi : Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional
dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean Provinsi
Sulawesi Tengah

Nama : Muhd Nur Sangadji

NIM : P061050031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS.


K e t u a

Prof. Dr. Pang S. Asngari, M.Ed Dr. Soenarmo, H.Soewito, M.Ed


Anggota Anggota

Diketahui

Koordinator Program Mayor, Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
ridho-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 ini ialah partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi (Taman Nasional).
Untuk berbagai hal yang amat berarti dalam penyelesaian studi dan
penulisan disertasi ini, penulis memperoleh banyak bimbingan dan masukan dari
banyak pihak. Atas segalanya, penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof. Dr.
Ir. Sumardjo, M.S, Prof. Dr. Pang S. Asngari dan Dr. Soenarmo H Soewito yang
telah memberikan bimbingan selama perkuliahan dan penulisan disertasi ini.
Penghargaan yang sama juga disampaikan kepada semua guru-guru di IPB
khusunya kepada Prof Dr Margono Slamet yang pikiran dan teorinya tentang
partisipasi yang penulis dapatkan selama mengikuti perkuliahan beliau, telah menjadi
inspirasi bagi penelitian ini. Kepada Prof Dr Khairil Anwar, Prof Dr Djoko Susanto,
Dr Suryo Adiwibowo dan Dr Siti Amanah, penulis sampaikan terima kasih atas
dukungannya selama ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr Sudirmaan Saad
dan Dr Basita Ginting Sugihen, MA atas kesediaan menjadi penguji ujian terbuka
ditengah kesibukan beliau.. Penulis juga amat berterima kasih kepada Dr Aji
Hermawan dan Teti Haryati, M.Si. yang sering penulis bertanya dan berdiskusi.
Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Dirjen Dikti atas
dukungan beasiswa BPPS serta program sandwich di Australia. Ucapan yang sama
disampaikan kepada Dr Mulyoto Pangestu atas kesediaan beliau untuk membimbing
selama mengikuti program sanwich di Monash University, Melbourne Australia.
Kepada Rektor Universitas Tadulako, Gubernur dan Wagub Sulteng,
Walikota, Wawali dan ketua Bappeda kota Palu, Bupati dan ketua DPRD Parigi
Moutong, Bupati dan Ketua Bappeda Tojo Una-Una, terima kasih atas dukungan
yang telah diberikan. Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor IPB, Dekan
Pascasarjana, Dekan FEMA dan Koordinator mayor PPN. Terima kasih yang sama
disampaikan kapada Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) dan Yayasan
Damandiri atas bantuan beasiswa yang amat berguna.
Kepada mereka yang berjasa ikut melapangkan jalan bagi terselanggaranya
penelitian ini antara lain: Dekan Fakultas Partanian Universitas Tadulako, Ketua
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) dan Ketua Pusat Penelitian Pendugaan
Konflik (P4K) Universitas Tadulako, penulis sampaikan terima kasih. Terima kasih
juga disampaikan kepada mereka yang secara individu memberikan berkontribusi
yang sangat berarti: Kanda Taslim DP dan Kanda Dahlan H. Hasan yang membuka
jalan menuju pulau Togean untuk penelitian ini. Kepada para sahabat, Abd Wahid,
Tomy Tampubolon, Muzakir Tawil, Ramadanil, Irwan Lakani, Zulkifli, Nur Edy
dan Cristo Hutabarat serta anggota CII Palu, bantuannya terlalu berarti.
Ucapan terimakasih dikhususkan kepada Desi, Kodir dan Syafruddin selaku
staf PPN-IPB atas sokongan administratif yang sangat penting. Kepada kawan-
kawan di PPN terutama Rozi, George, Mutu, Wignyo, Agus, Mappa, Hatta, Ikbal,
Johanes, Puji, Yumi dan Yunita, terima kasih atas persahabatan selama ini. Juga
kepada kawan-kawan dari Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulteng (HIMPAST)
dan Forum Mahasiswa Pascasarjana (WACANA) IPB atas kekompakan selama ini.
Secara khusus penulis mengungkapan rasa terima kasih kepada almarhum
Ayahanda KA Sangadji, pamanda Hasan Sangadji, Ali Sangadji dan Maulud
Sangadji, Bunda Hj Hadidjah A Rahman, Bunda Hj. Mahani Abdullah dan Bunda Hj
Sarlota Lapanjang, istri Rostiati Dg Rahmatu dan anak Moh Reza Sangadji serta
saudara (adik dan kakak), atas segala dukungan dan doa serta kasih sayangnya.
Akhirnya, kepada masyarakat kepulauan Togean khususnya Risman, Papa
Sup dan tiga kepala desa di lokasi penelitian yang cerita, ungkapan, harapan,
kegelisahan dan keluh kesahnya menjelma menjadi lembaran disertasi ini, penulis
haturkan terima kasih yang tak ternilai. Semogalah karya ini bermanfaat adanya.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tidore Halmahera Tengah-Maluku Utara pada tanggal


08 September 1962 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Hasanuddin Sangadji
dan Bunda Hj. Hadidjah A. Rahman. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan
Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, lulus pada tahun 1989.
Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Magister atau DEA L’home et Nature
(Ekologi Manusia) Program Pascasarjana Universitas Lyon 3 Perancis dan selesai
pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor diperoleh
tahun 2005 pada Program Pascasarjana IPB, Fakultas Ekologi Manusia, Program
Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan dengan fokus disertasi penyuluhan konservasi.
Penulis pernah mengikuti Training Managemen Kolaboratif/Kemitraan di
Jepang selama satu bulan pada tahun 2004, Sandwich program di Monash University
Australia tentang konservasi dan komunitas selama lebih tiga bulan pada tahun 2008-
2009 dan mempresentasikan makalah pada Internasional Round Table Discussion di
dua universitas di Malaysia (UPM dan IIUM) pada tahun 2009.
Sejak tahun 1990, penulis bertugas sebagai dosen tetap pada Fakultas
Pertanian Universitas Tadulako. Sebelumnya, penulis pernah bekerja sebagai asisten
manager pada perkebunan kelapa sawit selama 1989–1991. Tahun 2002–2003
dipercayakan sebagai Urban Management Advisory (UMA)-Program City
Development Strategy (CDS)–UNDP. Tahun 2003–2004 dipercaya selaku Sekretaris
Pokja Malino untuk Resolusi Konflik dan Perdamaian Poso. Tahun 2003 ditunjuk
sebagai Ketua Tim Seleksi KPU Kota Palu. Tahun 2003 (tiga Bulan) menjadi
konsultan Urban Sector Development Reform Program (USDRP)-World Bank.
Tahun 2004 Kontak Person pada Program Community Empowerment, BAPPENAS –
JICA-Jepang. Tahun 2004 (tiga bulan) menjadi tenaga ahli pada program UNDP
tentang “Capacity Building” pemerintah Maluku Utara.
Penulis aktif menulis baik buku, jurnal, maupun artikel. Beberapa buku
yang sudah dan siap terbit antara lain; Agriculture Itinerante : Un Cas de L’Interface
Home-Nature, Gagasan dari kampus Kaktus, Kajian Lingkungan hidup: Sebuah
Pengantar, Kumpulan Esay : menggagas Partisipasi, Palu: Kota Dua Wajah, Di
Kaki Menara Eiffel, Helai-Helai Daun Sakura, Catatan Pagi: 3 Tahun Merangkai
Cerita di Kampus IPB, Menoreh Asa di Punggung Bumi Tadulako, Catatan Sore di
Negeri Kanguru, dan Palajaran Dari Negeri Jiran. Sejumlah aritkel jurnal yang
ditulis selama kuliah S3 antara lain: tentang partisipasi dan pemberdayaan di jurnal
“Agroculture” Himpast Bogor dan jurnal Forhimapast Bandung. Dua judul dari
penelitian disertasi akan diterbitkan pada Jurnal Penyuluhan PPN IPB.
Beberapa artikel yang ditulis dan telah terbit di berbagai media masa antara
lain : “The Silen Voice”: Makna Keajaiban Demokrasi, Bom Palu dan Bahaya
“Civil Disobidiences.” “Good Governance” : Teori ataukah Realita, Ketika Pohon
bercabang Partai, Kuncinya Ternyata adalah Komunikasi, Pemimpin Amanah,
Mencari Rektor yang Berkualitas, Mengukur Leadership dari Bencana, Indonesia
Menangis, Sumber daya Air dan Hutan, Pembangunanan Partisiptif, Pariwisata Kita,
Amin Rais dan Makna Pengakuan Dosa, Reshafel Kabinet dan Logika Publik,
Pemberdayaan dan Resolusi Konflik, Palu: “Northern Gate Indonesia,” Pelajaran
Dari Negeri yang musnah, Dll, sejumlah lebih kurang 50 an artikel
Pengalaman Organisasi Intra kampus semenjak S1 sebagai Ketua umum
Senat Mahasiswa dan ekstra kampus sebagai ketua umum HMI Cabang Palu. Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) dan Pusat Penelitian Pengkajian dan
Pendugaan Konflik (P4K) Universitas Tadulako. Selama studi di IPB, bersama
kawan-kawan membidani lahirnya NGO di dalam kampus “Community Development
Institute (CDI)” dan menjadi ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana PPN-IPB 2006-
2007 serta penasehat Forum Wacana IPB dan Forum Wacana Indonesia periode
2008-2010. Penulis juga dipercayakan untuk memimpin organisasi volunter
(paguyuban) mahasiswa pascasarjana asal Sulawesi Tengah (HIMPAST) di Bogor.
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM
Dr. Ir. Suryo Adiwibowo, MS.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Sudirman Saad, M.Hum.


Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL …………………………………………………........ xiii


DAFTAR GAMBAR……………………………………………………. xiv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….. xv

PENDAHULUAN………………………………………….……………. 1
Latar Belakang ………………………………………………… 1
Masalah Penelitian …………………………………………….. 4
Tujuan Penelitian………............................................................. 5
Kegunaan Penelitian ………………………………….……….. 5
Pengertian Konsep dan Istilah…………………………………. 5

TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………. 8
Pengertian Partisipasi............................... ................................. 8
Bentuk dan Derajat Partisipasi.................................................. 10
Konsep Kemitraan..................................................................... 11
Partisipasi dan Kemitraan Pembangunan Masyarakat.............. 13
Implementasi Konsep Partisipasi.............................................. 16
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi................. 18
Karakteristik Individu............................................................ 19
Proses Penyuluhan................................................................. 26
Faktor Lingkungan................................................................. 36
Kapasitas Individu Masyarakat.................................…....... 43
Partisipasi Pengelolaan Taman Nasional ................................... 49
Pengertian Taman Nasional............................ ...................... 49
Partisipasi dan Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional...... 51

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS.............................................. 55


Kerangka Berpikir........................................................................ 55
Hipotesis Penelitian..................................................................... 64

METODE PENELITIAN............................................................................ 65
Rancangan Penelitian.................................................................. 65
Lokasi Penelitian.......................................................................... 65
Populasi dan Sampel.................................................................... 66
Instrumentasi............................................................................... 68
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah............................ 69
Analisis Data ............................................................................... 75
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 81

Gambaran Umum Lokasi Penelitian........................................... 81


Profil Sosial, Ekonomi dan Budaya Desa Sampel……………........ 86
Karakteristik Demografi Responden ................................................... 90
Rataan Skor peubah Penelitian................................................. 94
Analisis Pendugaan Parameter Model Kapasitas dan Partisipasi 104
Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT....................................
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kapasitas Masyarakat 110
dalam Pengelolaan TNKT.........................................................
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi Masyarakat 113
alam Pengelolaan TNKT............................................................
Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh................................ 120
Strategi Penyuluhan.................................................................... 121

KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 131


Kesimpulan.................................................................................. 131
Saran............................................................................................ 132
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 133

LAMPIRAN........................................................................................................... 144
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Hubungan antara metode penyuluhan, tahap-tahap ................. ......... 32


2. Paradigma Partisipasi Masyarakat melalui Pola Kemitraan.............. 59
3. Paradigma Kapasitas Individu Masyarakat, Rendah dan Tinggi........ 60
4 Paradigma Penyuluhan Partisipatif dan non partisipatif.................... 61
5. Rincian Sampel Penelitian di Wilayah Penelitian.............................. 68
6. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Instrument Penelitian................... 69
7. Indikator dan pengukuran karakteristik individu masyarakat............ 71
8. Indikator dan pengukuran proses penyuluhan.................................... 72
9. Indikator dan pengukuran Karakteristik Lingkungan Sosial.............. 73
10. Indikator dan pengukuran Kapasitas Individu Masyarakat............. 74
11. Indikator dan pengukuran Partisipasi Masyarakat ......................... 75
12 Rancangan pengujian model penelitian partisipasi masyarakat....... 79
13. Peubah dan sub peubah model persamaan struktural....................... 80
14. Sebaran Prosentase Jenis Kelamin Responden............................. 91
15 Sebaran Prosentase Tingkat Pendidikan Responden................... 91
16 Sebaran Prosentase Jenis Pekerjaan Responden........................... 92
17. Sebaran Prosentase Tingkat Usia Responden.............................. 93
18. Sebaran Prosentase Lama Tinggal Responden.............................. 93
19. Rataan Skor Karakteristik Individu.................................................. 94
20. Rataan Skor Proses Penyuluhan....................................................... 96
21. Rataan Skor Faktor Lingkungan ...................................................... 98
22. Rataan Skor Kapasitas Masyarakat ................................................. 100
23 Rataan Skor Partisipasi Masyarakat ................................................. 102
24. Koefisien dan t-hitung pengaruh karakteristik internal, .................. 106
25. Koefisien dan t-hitung pengaruh karakteristik internal, proses ...... 108
26. Arah, koefisien dan t-hitung dari hubungan peubah ....................... 109
27. Uji Kecocokan Model Konstruk Karakteristik Internal ................... 146
28. Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Karakteristik Internal.......... 147
148
29. Uji Kecocokan Model Konstruk Proses Penyuluhan........................
148
30. Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Proses Penyuluhan..............
31. Uji Kecocokan Model Faktor Lingkungan....................................... 150

32 Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Faktor Lingkungan.............. 150


33. Hasil Uji Kecocokan Model Konstruk Kapasitas Masyarakat ........ 152
34. Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Konstruk Kapasitas ........ 152
35. Hasil Uji Kecocokan Model Konstruk Partisipasi............................ 154

36. Rangkuman Validitas dan Reliabilitas Konstruk Partisipasi ............ 155


DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kategori atau susunan dari bentuk Co-manajemen ......................... 53


2. Alur hubungan antar peubah penelitian.......................................... 63
3. Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian .................. 77
4. Peta Administrasi Kepulauan Togean.............................................. 81
5. Segi Tiga Terumbu Karang............................................................ 83
6. Estimasi parameter model struktural partisipasi masyarakat........... 105
7. Statistik t-hitung parameter model struktural partisipasi.................. 106
8. Strategi Pengembangan Partisipasi Melalui Proses Penyuluhan.... 124
9. Path Diagram Nilai-t Karakteristik Internal.................................... 145
10 Path Diagram Standardized Loading Factor Karakteristik Internal 145

11. Path Diagram Nilai-t Proses Penyuluhan ………………………. 147


12. Path Diagram Standardized Loading Factor Proses Penyuluhan.. 147
13. Path Diagram Nilai-t Faktor Lingkungan Modifikasi................ 149
14. Path Diagram Standardized Loading Factor Faktor Lingkungan 149
15. Path Diagram Nilai-t Kapasitas Masyarakat Modifikasi............. 151

16. Path Diagram Standardized Loading Factor Kapasitas ……….. 151

17. Path Diagram Nilai-t Partisipasi Modifikasi............................. 153

18. Path Diagram Standardized Loading Factor Partisipasi ………. 153

19. Potensi ekonomi di kepulauan Togean.......................................... 178

20. Panorama indah di kepulauan Togean .......................................... 179

21. Bentuk partisipasi masyarakat di kepualaun Togean...................... 180

22. Infra struktur di kepulauan Togean……………………………… 181

23. Potensi kecerdasan anak-anak di kepulauan Togean…………….. 182

24. Beberapa bentuk interaksi dengan stakeholder………………….. 183


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Analisis Model Pengukuran ( Confirmatory Factor


Analysis/CFA)................................................................................ 144
2. Output lisrel parameter model struktural partisipasi..................... 156
3. Hasil Uji validitas dan reabilitas .................................................... 169
4. Foto-foto lokasi dan proses penelitian............................................ 178
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversity jenis hayati


dan mega center keanekaragaman hayati. Keanekaragaman ekosistem di
Indonesia juga sangat mengagumkan, ditunjukkan dengan adanya kurang lebih 50
tipe ekosistem alam dan termasuk salah satu dari tiga negara pemilik hutan tropis
terbesar di dunia (Ramade, 1987). Indonesia juga dikenal memiliki wilayah
terumbu karang terluas di kawasan Indo-Malaya dan bersama Philipina, Papua
Nugini dan Australia dijuluki segitiga terumbu karang, dengan keanekaragaman
jenis ikan hias laut terbesar dibanding Negara lain (Herminto, 1996).
Kondisi sumberdaya alam seperti diungkapkan di atas, dalam beberapa
tahun terakhir ini mengalami kerusakan yang semakin meluas. Antara tahun 1976
dan 1980, kerusakan hutan yang terjadi diperkirakan seluas 550.000 ha. Angka
ini berkembang menjadi rata-rata 1,6 juta hingga tahun 2000, bahkan data yang
dikemukakan Alikodra dan Syaukani (2004), sudah mencapai 3,8 juta ha per
tahun. Mekipun data pada 2007 terjadi penurunan menjadi 2,8 juta partahun,
namun total kerusakan telah mencapai 59 juta hektar dari luas hutan Indonesia
sebesar 120,3 juta hektar (Purnama, 2009). Butler (Mahmuddin, 2009)
menyebutkan antara tahun 1990–2005, Indonesia kehilangan lebih dari 28 juta
hektar hutan hujan tropis, termasuk 21,7 persen hutan perawan.
Di sektor kelautan, saat ini terdapat 5,30 % terumbu karang di Indonesia
yang masih dalam keadaan sangat baik ; 21,70 % dalam keadaan baik ; 33,50 %
sedang dan 39, 50 % rusak. Padahal setiap tahun diperoleh 9 juta ton hasil laut
dari terumbu karang dan angka ini merupakan 23 % perolehan hasil laut dunia
(Herminto, 1996).
Kerusakan sumberdaya hutan selain berdampak negatif terhadap
keanekaragaman hayati dan ekosistem sekitar hutan juga terhadap ekosistem laut.
Kerusakan ekosistem hutan dan laut secara langsung akan mengancam kehidupan
manusia baik sekarang maupun yang akan datang. Berbagai bencana yang
menimpa bangsa Indonesia akhir-akhir ini merupakan bukti dampak langsung
2

maupun tidak langsung dari kerusakan tersebut. Bila hal ini tidak segera disadari
dan ditangani secara serius, akan menjadi malapetaka dimudian hari.
Salah satu upaya mencegah terjadinya kerusakan adalah dengan
menetapkan kawasan konservasi dalam bentuk Taman Nasional. Menurut
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi alam. Selain itu, Taman Nasional berfungsi: (1) sebagai
kawasan perlindungan, (2) kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis
tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Pada bulan Oktober 2004 Kepulauan Togean yang terletak di Provinsi
Sulawesi Tengah, telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI melalui SK.
No.418/Menhut-II/2004 sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional
Kepulauan Togean (TNKT). Pulau tersebut memiliki luasan 362.605 ha terdiri
dari hutan dan perairan. Secara otomatis penunjukan tersebut mengubah status
Kepulauan Togean menjadi kawasan pelestarian alam yang fungsi pelestarian dan
pemanfaatan harus dilakukan secara seimbang sesuai UU No. 5 tahun 1990.
Penetapan TNKT didasari pada potensi sumberdaya alam dengan nilai
keragaman hayati yang sangat besar, baik untuk obyek wisata maupun kekayaan
berbagai jenis Flora dan Fauna Endemik Sulawesi yang perlu dilestarikan.
Kepulauan tersebut telah mendapat perhatian pada tingkat nasional, ditunjukkan
oleh Bappenas dalam dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (CII,
2005). Daya tarik ini menjadi lebih besar lagi dengan kekayaan kemajemukan
budaya penduduk dan pola hidup, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya
alam. Kekayaan alam ini sekarang menghadapi ancaman karena berbagai
kegiatan ekonomi berskala besar maupun kecil terutama dengan memanfaatkan
teknologi destruktif yang merusak sumberdaya alam.
Namun, penunjukan TNKT melahirkan reaksi beragam dari berbagai
pihak. Sebagian merasa pesimis atas pembentukan TNKT karena hanya akan
3

menimbulkan konflik, baik di tingkat masyarakat maupun kebijakan. Hal ini


berdasarkan pengalaman pada beberapa taman nasional di Indonesia, termasuk
yang terdekat Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang juga terletak di Sulawesi
Tengah. Oleh karenanya, sikap penolakan sempat muncul sebagai reaksi atas
kekhawatiran tersebut. Sebagian lainnya merasa bahwa TNKT bisa menciptakan
upaya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik, asal
dilakukan secara bersama dan partisipatif. Mereka yang optimis melihat adanya
peluang kerjasama (kemitraan) atau kolaborasi dalam mengelola TNKT. Apalagi
hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia.
Taman Nasional Kepulauan Togean dihuni oleh masyarakat dari berbagai
suku bangsa antara lain, Suku Bobongko, Togean, Saluan dan Suku Bajau. Selain
itu, juga terdapat suku-suku yang relatif baru seperti Ta’a-Ampana, Gorontalo,
Bugis, Makasar, Jawa, Kaili-Palu. Kehadiran berbagai etnik tersebut telah
menambah kaya khasanah kebudayaan dan tradisi di Kepulauan Togean dan
mempengaruhi pola interaksi baik interen masyarakat maupun antara masyarakat
dengan lingkungan (SDA). Interaksi tersebut pada beberapa tahun terakhir ini
memperlihatkan perkembangan yang mengkuatirkan, ditandai dengan
meningkatnya ekploitasi SDA dengan cara yang bertentangan dengan prinsip
konservasi akibat desakan kebutuhan.
Berdasarkan pengalaman dari banyak taman nasional di indonesia,
terdapat berbagai cara ekploitasi SDA di antaranya penyerobotan kawasan,
perambahan dan pendudukan seperti yang terjadi di TNLL. Sejak Juli 2001 ada
sekitar 2060 ha Kawasan TNLL dirambah dan diduduki oleh 1030 KK yang
berasal dari beberapa desa yang ada di sekitarnya (Laban, 2002).
Penyerobotan kawasan taman nasional seperti yang dilansir Mappatoba
(2004), diakibatkan oleh: (1) kurang perhatian pada proses melibatkan masyarakat
(partisipasi) dalam manajemen dan pengambilan keputusan berkait taman
nasional, (2) desakan kebutuhan bagi terutama masyarakat yang bermukim di
sekitar taman nasional, menyangkut lahan pertanian, kayu bakar, bahan
4

bangunan, tanaman obat, dan areal perburuan. Tentang kebutuhan lahan, Sangadji
(1997) mengungkapkan bahwa tradisi berladang masyarakat lokal yang
mensyaratkan luasan lahan dan jumlah populasi tertentu untuk siklus rotasi,
berbentur dengan konsesi lahan oleh berbagai pihak untuk tujuan ekonomi
maupun konservasi.
Guna menjembatani hal ini, pengelolaan taman nasional sebaiknya
melibatkan secara aktif masyarakat lokal agar kebutuhan mereka dapat
diakomodasi. Namun, kesuksesan pengelolaan ini akan sangat dipengaruhi oleh
partisipasi dan kemitraan semua pihak yang dalam penelitian ini difokuskan pada
masyarakat. Konsep partisipasi dan kemitraan sesungguhnya sudah banyak dikaji
namun dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi masih relatif baru. Sejak
pemerintah berupaya merubah paradigma pengelolaan kawasan konservasi dengan
keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004, belum ada
kawasan konservasi yang dapat dijadikan contoh. Penelitian tentang partisipasi
dalam pengelolaan kawasan konservasi pasca perubahan paradigma ini pun relatif
belum banyak. Pola pengelolaan ini diharapkan dapat mendukung tujuan
konservasi yang berintikan perlindungan, kelestarian dan pemanfaatan SDA baik
secara ekonomi, sosial maupun ekologi sehingga berdampak pada kesejahteraan
masyarakat terutama di sekitar kawasan TNKT.

Masalah Penelitian
Secara khusus masalah yang ditelaah sebagai pertanyaan penelitian
(question research) ialah:
(1) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat saat ini dalam pengelolaan
TNKT?
(2) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan TNKT?
(3) Bagaimana hubungan antara faktor-faktor yang berpengaruh pada
partisipasi?, dan
(4) Bagaimana alternatif desain strategi penyuluhan yang efektif untuk
mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT ?
5

Tujuan Penelitian
(1) Menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
(2) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan TNKT.
(3) Menganalisis hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNKT, dan
(4) Merumuskan strategi penyuluhan yang efektif untuk mendorong partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNKT.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara
prktis sebagai berikut :
(1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususnya yang berkaitan
dengan pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya
alam di kawasan konservasi (taman nasional).
(2) Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi
pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan strategi
penyuluhan yang tepat untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam
mengelola sumberdaya alam secara lestari terutama yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan konservasi.

Pengertian Baberapa Konsep dan Istilah


Beberapa pengertian dari sejumlah kata kunci dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut;
• Partisipasi memiliki konotasi yang beda-beda dalam pandangan para ahli.
Mubyarto (1984) mendefinisikan partisipasi sebagai kesediaan membantu
berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa
mengorbankan diri sendiri. Slamet (2003) memaknai partisipasi
masyarakat dalam pembangunan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam
kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikamati
hasil-hasil pembangunan.
6

• Kemitraan memiliki kata dasar ”mitra” yang dapat diartikan sebagai


“teman” atau “kawan.” Padanan kata kemitraan dalam bahasa Inggeris
adalah “friendship” atau “partnership.” Dalam kaitan dengan pengelolaan
Taman Nasional, kemitraan dapat dimaknai sebagai Pengelolaan bersama
atau Co-management, berintikan partisipasi, komitmen dan kerja sama
dari seluruh stakeholders (Aliadi, et al, 2002).
• Individu berasal dari bahasa latin yaitu individum yang berarti satuan
terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Merujuk pada Siti Amanah (2006),
Individu merupakan unit terkecil dari masyarakat dan dalam konsep
sosiologi merupakan akumulasi pengalaman, pandangan, tindakan
seseorang dan membentuk ciri-ciri pribadi. Ketika berhadapan dengan
suatu persoalan, individu akan melewati tiga fase yaitu ; fase persepsi, fase
penafsiran dan fase pengambilan keputusan.
• Masyarakat manurut Cristenson dkk. (Siti Amanah, 2006), orang-orang
yang hidup dalam batas geografis, integrasi sosial, memiliki ikatan
psikologis dan ikatan dengan tempat tinggal. Soekanto (1983)
mengemukakan bahwa masyarakat memiliki ciri hidup bersama,
berintegrasi dan bekerja sama untuk waktu yang lama dan sadar sebagai
suatu kesatuan dan satu sistem hidup bersama. Waren dan Cottrel (Ndraha,
1990) membedakan masyarakat (society) dan komunitas (community).
Komunitas adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu
dimana seluruh anggotanya berinteraksi satu sama lain, mempunyai
pembagian peran dan status yang jelas. Masyarakat adalah sekumpulan
orang yang mendiami wilayah tertentu dan anggotanya saling berinteraksi
namun bisa juga tidak saling mengenal, masing-masing anggotanya
menduduki status dan peranan tertentu yang sudah disediakan.
• Stakeholder adalah pihak-pihak yang terkait dengan suatu. Bessete (2004)
mendefinisikan stekeholder sebagai orang dengan suatu kepentingan atau
perhatian pada permasalahan. Individu dan institusi yang diidentifikasi
sebagai stakeholder yang pro dan kontra dengan suatu program/Proyek
7

dikelompokkan kedalam stakeholder utama (primer), stakeholder


pendukung (sekunder), dan stakeholder kunci (Ramirez, 1999).
• Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development, didefinisikan
berdasarkan Laporan World Commission on Environment and
Development (WCED) tahun 1987, UN (PBB) berjudul “Our Common
Future” (Moffat et al, 2001) adalah pembangunan yang berusaha untuk
memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan
generasi yang akan datang.
• Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi alam. Selain itu taman nasional berfungsi: (1)
sebagai kawasan perlindungan, (2) sebagai kawasan untuk
mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) sebagai
kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya (Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
8

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Partisipasi
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan pembangunan nasional amat
ditentukan oleh partisipasi masyarakat, bahkan menurut Roger (1994),
pembangunan itu sendiri adalah partisipasi. Pendapat ini juga didukung oleh
Slamet (2003), yang mengemukakan bahwa indikator keberhasilan pembangunan
bisa diukur dari ada tidaknya partisipasi masyarakat.
Sudah lama esensi partisipasi dijadikan indikator pembangunan.
Mengenai hal ini, Siti Amanah (2006) mengemukakan bahwa partisipasi
menjadi indikator dari istilah pembangunan masyarakat yang digunakan
pertama kali pada tahun 1930 di AS dan Inggris. Pernyataan-pernyataan ini
juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jaringan PBB untuk
pembangunan pedesaan dan keamanan pangan sebagai berikut : “... describes
participation as one of the ends as well as one of the means of development.”
Menurut Roger dan Shoemaker (1971), partisipasi adalah “the degree in
to which of a social system are involved in the decision making process.” Oleh
Davis dkk., (1989), partisipasi dianggap sebagai keterlibatan mental dan
emosional dalam situasi kelompok yang mendorong mereka berkontribusi
kepada tujuan dan berbagi tanggung jawab bagi pencapaian tujuan itu.
Bryant dan White (Ndraha, 1990) membagi partisipasi atas dua macam :
(1), partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan, dinamakan
partisipasi “horizontal.” (2). Partisipasi oleh bawahan dan atasan, antara klien dan
patron, atau antara masyarakat dengan pemerintah, diberi nama partisipasi
“vertical.” Pada sisi lain, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik seperti
pemberian suara dalam pemilihan, kampanye dan sebagainya, dikenal sebagai
partisipasi dalam proses politik. Keterlibatan dalam kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan, disebut partisipasi dalam proses administratif.
PBB sebagaimana dikutip Slamet (2003), mendefinisikan partisipasi
sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari penduduk pada tingkatan yang
berbeda : (a) dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan dan
9

pengalokasian sumber daya untuk mencapai tujuan tersebut; (b) pelaksanaan


program secara sukarela, dan. (c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program.
Asngari (2003) mengiktiarkan makna Partisipasi atas enam point: (1)
Partisipasi dalam pengambilan keputusan, (2) Partisipasi dalam pengawasan, (3)
Partisipasi mendapatkan manfaat dan penghargaan, (4) Partisipasi sebagai proses
pemberdayaan (empowerment), (5) Partisipasi bermakna kerja kemitraan
(partnership), (6) Partisipasi akibat pengaruh stakeholder dalam pengambilan
keputusan, pengawasan dan penggunaan “resource” yang bermanfaat. Resume
tersebut sejalan dengan uraian Yadov (Madrie, 1986) sebagai berikut :
“…..people’s involvement has to be understood in the following
foursense ; (1) participation ini decision making (2) participation in
implementation of development program and projects (3) participation
in monitoring and evaluation of development program and projects (4)
participation in sharing the benefit of development (Yadov,, 1980).

Dalam dunia penyuluhan pertanian, van den Ban dan Hawkins (1999),
merumuskan partisipasi sebagai berikut: (1) sikap kerja sama petani dalam
program penyuluhan dengan cara menghadiri rapat, mendemonstrasikan metoda
baru, mengajukan pertanyaan pada penyuluh dll., (2) pengorganisasian kegiatan
penyuluhan oleh kelompok petani, 3) menyediakan informasi untuk
merencanakan program penyuluhan yang efektif, (4) pengambilan keputusan
mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan, metoda, dan dalam evaluasi kegiatan,
(5) petani atau organisasinya membayar seluruh atau sebagian biaya yang
dibutuhkan untuk jasa penyuluhan, (6) supervisi agen penyuluhan oleh organisasi
petani yang mempekerjakanya.
Menurut Asngari (2008), berdasarkan area-area pembangunan maka
partisipasi dapat dikelompokkan dalam dua pilahan yaitu: (1) Partisipasi sebagai
suatu alat, dimaksudkan untuk menciptakan teknik atau metoda untuk
mengiplementasikan partisipasi dalam praktek pembangunan, dan (2) Partisipasi
sebagai tujuan, dimaknai sebagai pemberdayaan masyarakat sesuai kemampuan
mereka, untuk secara bersama mengambil bagian dan bertanggung jawab atas
pembangunan mereka sendiri.
10

Bentuk dan Derajat Partisipasi


Bentuk Partisipasi
Bertolak dari ragam pengertian partisipasi seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, Slamet (2003) menyederhanakan pemahaman tentang partisipasi
dalam pembangunan atas lima jenis : (1) Ikut memberi input proses
pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya,
(2) Ikut memberi input dan menikmati hasilnya, (3) Ikut memberi input dan
menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung, (4)
Tidak memberi input tetapi menikmati dan memanfaatkan hasil pembangunan, (5)
Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya.
Sedangkan Ndraha, (1990) menunjukan bentuk atau tahap partisipasi atas
beberapa kategori: (1) Partisipasi melalui kontak dengan pihak lain, (2)
Partisipasi dalam menyerap atau memberi tanggapan, (3) Partisipasi dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan, (4) Partisipasi dalam melaksanakan
operasional pembangunan, (5) Partisipasi dalam menerima, memelihara dan
mengembangkan hasil pembangunan, dan (6) Partisipasi dalam menilai
pembangunan, sesuai rencana dan hasilnya sesuai kebutuhan masyarakat.
Agar partisipasi bisa tumbuh, menurut Slamet (2003), paling tidak ada
tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu ; (1) adanya kesempatan untuk membangun
kesempatan dalam pembangunan, (2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan
kesempatan itu, (3) adanya kemauan untuk berpartisispasi. Pada era orde baru,
Sajogyo (1980) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat, khususnya
golongan petani, adalah jalan yang paling strategik dalam seperangkat
delapan jalur pemerataan pembangunan nasional.

Derajat Partisipasi
Derajad partisipasi digunakan untuk menggambarkan seberapa jauh
keterlibatan orang orang atau masyarakat dalam program pembangunan. Arnstein
(1969) menyebutnya dengan istilah tangga partisipasi yang terdiri dari; (1) non
partisipasi (manipulasi dan terapi), (2) derajad tokenisme (informasi, konsultasi
dan kompromi), dan (3) derajad kekuatan (kemitraan, delegasi dan kontrol).
11

Uraian yang relatif mirip terdapat dalam tulisan Asngari, (2003) sebagai
berikut: (1) Manipulasi, pada tahap ini partisipasi tidak lebih dari upaya
indoktrinasi. Jadi sesungguhnya disini tak ada partisipasi (non participation), (2)
Informasi, stakeholders diberikan informasi menyangkut hak dan kewajiban,
tanggung jawab dan lain lain. (Komunikasi satu arah), (3) consultation, telah
terjadi komunikasi dua arah di mana stakeholders sudah dapat mengekspresikan
saran/perhatian, namun belum menjamin diterimanya input tersebut, (4)
Consencus Building, para stakeholders berinteraksi untuk menciptakan posisi
negosiasi, (5). Decision Making, interaksi tersebut diarahkan hingga proses
pengambilan keputusan, (6). Risk sharing, stakeholders telah mengambil bagian
untuk ikut menanggung resiko dari kegagalan pembangunan, (7). Partnership,
telah terbangun kerja sama yang saling menguntungkan dikalangan stakeholders
pembangunan, dan (8). Self-Management, stakeholders telah sampai pada tahap
di mana segala urusan pembangunan harus dikerjakan secara baik.

Konsep Kemitraan
Pengertian Kemitraan
Kata mitra yang banyak digunakan saat ini dapat disamakan dengan
“teman” atau “kawan” dalam bahasa sehari hari. Padanan kata kemitraan dalam
bahasa inggerisnya yang paling dekat adalah “friendship” atau “partnership”.
Dalam American Heritage Dictionary, partnership adalah: “a relationship
between individual or groups that is characterized by mutual cooperation and
responsibility, as for achievement of a specified goa.” Menurut Kernaghan
(Suporahardjo, 2005:9), dalam konteks formal, kemitraaan merupakan “a legal
contract entered in to by two or more persons in which each agrees to furnish a
part of the capital or labor for a business enterprise, and by which each shares a
fixed proportion of profit and losses. Dalam konteks pelayanan kepentingan
publik, kemitraan didefinisikan sebagai: “a relationship involving the sharing of
power, work, support and or information with other for achievement of joint
goals and/or mutual benefit.”
12

Definisi tersebut mensyaratkan adanya hubungan kerja sama dan


tanggung jawab serta berbagi porsi (sharing) dalam hal sumberdaya, keuntungan
dan resiko untuk mencapai satu tujuan. Perlu diperhatikan bahwa “joint goals”
atau “mutual benefits” adalah elemen penting dari kemitraan”
Secara historis, pendekatan kemitraan (kolaborasi) mulai muncul sebagai
respon atas tuntutan kebutuhan mengenai manajemen pengelolaan sumberdaya
yang baru. Manajemen tersebut lebih demokratis, mengakui demensi manusia,
mengelola ketidak pastian, kerumitan dari potensi keputusan dan membangun
kesefahaman atas pilihan pilihan bersama. Oleh karena itu, pendekatan ini sering
disebut sebagai jembatan (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya.
Mengacu pada beberapa literatur, Suporahardjo (2005) mengemukakan
bahwa istilah partnership memiliki paling tidak tiga varian atau pola. Pertama,
koordinasi : tidak ada interaksi langsung antara organisasi tetapi organisasi
mempertimbangkan kegiatan pihak lain dalam perencanaannya. Kedua, ko-
operasi : organisasi berinteraksi atau bekerja sama untuk mencapai
misisnya dan tujuan yang lebih efektif. Ketiga, kolaborasi : organisasi
bekerja bersama untuk mencapai misi bersama, disamping juga berusaha
mencapai misi dan tujuan masing-masing.
Di dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, pola kemitraan dikenal
dengan skema “joint mangement” atau “Co-management” atau “collaborative
management”. Kemitraan dalam konteks ini biasanya didefinisikan sebagai
berbagai peran, tanggung jawab atau kewenangan antara pemerintah dan
pengguna sumberdaya lokal dalam mengelola sumberdaya tertentu.

Beberapa Asas Kemitraan


Konsep Kemitraan bersandar pada bentuk interaksi interdependensi
berdasarkan beberapa azas (Tadjudin, 2000), yang terdiri dari; kesederajatan,
keadilan, saling menghidupkan, keberlanjutan dan keterbukaan :
Kesederajatan, memandang bahwa semua orang memiliki derajat yang sama,
diimplementasi melalui pengakuan yang tegas dan memiliki kekuatan hukum
yang tetap terhadap hak-hak setiap stakeholder.
13

Keadilan, pendayagunaan hasil alam harus melihat aliran manfaat yang


terdistribusi secara adil (hak dan kontribusi secara proporsional) kepada setiap
stakeholder, diimbangi pembebanan aliran resiko secara adil pula.

Saling membutuhkan, stakeholder harus merasa adanya saling membutuhkan dan


tergantung atas sesamanya. Interaksi yang terbangun tidak atas “rasa
kedermawanan” dan “kesetiakawanan” belaka tetapi ditopang kesadaran bahwa
interaksi dengan pihak lain akan membawa manfaat.

Saling menghidupkan dan membesarkan, Kehadiran stakeholder yang satu akan


memberikan medium yang sehat bagi stakeholders lain. Bukan saling meniadakan
tetapi saling memberi manfaat.

Keberlanjutan, harus ada rancangan pemanfaat jangka panjang bersamaan dengan


upaya kelestariannya. Bila sumberdaya rusak maka aliran manfaat akan terhenti
dan aliran resiko akan mingkat.

Keterbukaan, adanya ketersediaan aliran informasi yang lancar dan berimbang


diantara stakeholder yang terlibat.

Azas-azas tersebut akan berjalan baik bila ditunjang kelembagaan yang


oleh McKen (Tadjudin, 2000) dirumuskan sebagai dukungan sosial budaya,
pemanduan kelembagaan, reduksi konflik, dukungan administrative, dan
keuangan untuk admistrasi, bukan untuk imbalan material. Selain azas-azas
tersebut, Marsal (Tadjudin, 2000) menyebutkan beberapa nilai-nilai yakni;
menghormati orang lain, integritas, kejelasan hak atau aturan main, konsensus,
hubungan berbasis kepercayaan, tanggung jawab, keterbukaan dan pengakuan.

Partisipasi dan Kemitraan dalam Pembangunan Masyarakat


Pada bagian pendahuluan dari bukunya yang berjudul “Cummunity
Development: Community based alternatives in an age of globalization, ” Ife,
(1995) mengemukakan kegagalan masyarakat modern memenuhi dua hal
fundamental yaitu; hidup harmoni dengan lingkungan dan dengan sesama
manusia, dalam uraian menarik berikut :
It has become clear that the current social, economic, and political order has
been unable to meet two of the most basic prerequisites for human civilization: the
need for people to be able to live in harmony with their environment and the need
for them to be able to live in harmony with each other”.
14

Berdasarkan pikiran tersebut, pembangunan masyarakat untuk menjamin


interaksi sesama manusia dan dengan lingkungan menjadi esensial dan partisipasi
mereka adalah mutlak. Menurut Siagian (1996), sedikitnya ada 10 prinsp dalam
penyelenggaraan pembangunan masyarakat, di mana salah satunya menekankan
pada aspek “partisipasi Masyarakat.” Maksudnya, betapapun dominannya peranan
pemerintah dalam pembangunan, tidak mungkin seluruh bebannya dipikul
seluruh aparaturnya, betapapun tingginya disiplin dan dedikasinya. Pembangunan
masyarakat itu sendiri sesungguhnya adalah suatu gerakan untuk menciptakan
tingkat kehidupan yang lebih baik dengan melibatkan (partisipasi) dari mereka.
Dari pengertian yang dikemukakan sebelumnya terlihat bahwa dalam
pembangunan masyarakat terkandung tiga hal yang amat kental mensyaratkan
pentingnya partisipasi, yaitu : (1) Adanya suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seluruh anggota masyarakat, (2) Kegiatan tersebut mempunyai tujuan, yaitu
menciptakan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, (3)
Kegiatan tersebut sangat memerlukan peran serta seluruh anggota masyarakat.
Peran serta yang dimaksud adalah keterlibatan langsung dari warga tanpa
adanya dorongan yang kuat dari pihak luar. Dalam hal ini peran serta yang
diharapkan tumbuh dan berkembang dari seluruh warga masyarakat hendaknya
meliputi: (1) peran serta dalam pemikiran, misalnya identifikasi masalah-
masalah yang perlu segera dibangun, membuat perencanaan pembangunan, dan
sebagainya (2) peran serta dalam penghimpunan dana, misalnya memberikan
sumbangan uang dan bahan-bahan untuk pembangunan (3) peran serta dalam
penyelesaian tenaga (4) peran serta menikmati hasil pembangunan.
Proses partisipasi ini bermula dari kesadaran dan pemahaman bersama
akan pengertian dan konsensus yang lahir dari pihak-pihak yang terlibat. Adanya
kesatuan pengertian dan konsensus ini, menurut Asngari (2008) merupakan titian
muhibah bagi terjadinya partisipasi dan kebersamaan langkah dalam suatu
agenda atau tindakan. Hal tersebut menyangkut kemauan bertanggung jawab dan
kemauan menanggung konsekwensi atau akibat tindakan itu. Berkaitan dengan
hal ini, rumusan seminar FAO pada tahun 1975 (Asngari, 2008), menyebutkan
bahwa : “Participation is a process of cooperative action in which a group of
15

individuals share in the responsibilities and consequences of a common


understanding or the achievement of a particular task”.
Asngari (2008) selanjutnya mengatakan bahwa kemauan bertanggung
jawab (responsibility) dan menanggung akibat dan mendapat manfaat (risk and
benefit) dapat tumbuh karena adanya kerja sama (partnership) dilandasi
keterbukaan dan saling pengertian dari individu yang terlibat. Ini berarti
kebersamaan terjadi oleh interaksi dan komunikasi antar individu secara intim dan
komunikatif. Rasa keterdekatan dan kehangatan menghantarkan proses ini.

Ketersedian untuk berpartisipasi ternyata dipengaruhi juga oleh


kewenangan atau kedaulatan untuk terlibat dalam suatu program atau kegiatan.
Sebuah laporan dalam bentuk artikel yang membahas “praktek partisipasi, sebuah
pelajaran dari program FAO mengenai partisipasi masyarakat” menjelaskan
bagaimana masyarakat miskin di desa, terdorong untuk berpatisipasi dalam
pembangunan oleh adanya kewenangan atau kedaulatan mereka untuk ikut
mengontrol melalui organisasi, bahkan sumber pembiayaannya berasal dari
mereka sendiri, dengan uraian;
..... that of people's participation through organizations controlled
and financed by the poor. The article is based on Chapter 1 of
"Participation in practice - Lessons from the FAO People's
Participation Programme.”
Laporan FAO ini sejalan dengan yang terjadi di Desa Bolano Sulawesi
Tengah, di mana sekelompok ibu-ibu membangun lembaga keuangan simpan
pinjam desa yang mereka sebut “Kredit Union Bolano” yang sangat partisipatif
dengan sumber biayanya berasal dari mereka sendiri. Untuk menjaga spirit
partisipasi dan kemandirian anggota, kelompok ini bahkan menolak bantuan
keuangan dari pemerintah daerah. Ironisnya, lembaga tersebut semakin
berkembang berdampingan dengan lembaga kooperasi yang semakin keahilangan
kepercayaan masyarakat setempat (Azis, 2008).

Implemantasi Konsep Partisipasi dan Kemitraan

Pengalaman menunjukan bahwa peran serta hanya dilihat dalam konteks


yang sempit, dengan kata lain, masyarakat cukup dipandang sebagai tenaga kasar
16

untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi


masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat
tidak didorong dayanya menjadi kreatif dan harus menerima keputusan yang
sudah diambil pihak luar. Partisipasi seperti ini menurut Cohen dan Uphoff
(1980) adalah bentuk partisipasi pasif dan tidak memiliki kesadaran kritis.
Cohen dan Uphoff (1980) selanjut mengemukakan bahwa konsep
partisipasi harus dapat menumbuhkan daya kreatif dalam diri sehingga
menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif mulai dari tahap
pembuatan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Pada saat merencanakan
kegiatan, menurut Suhandi, (2001) dan Takeda, (2001), banyak stakeholder
berkepentingan sehingga partisipasi menjadi isu yang sangat penting. Selanjutnya
Warner (1997) menyatakan bahwa stakeholder tersebut berbeda dalam hal
keinginan, kebutuhan, tata nilai, pengetahuan serta motivasi dan aspirasi.
Mengurus partisipasi dalam pandangan Cohen dan Uphoff (1980),
kadang-kadang melambatkan kemajuan pada tahap tertentu dalam urutan
pembangunan, seperti pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan, tetapi
mengabaikannya akan mengakibatkan kegagalan dalam pelaksanaan
pembangunan. Mengabaikan partisipasi dalam masyarakat pada tahap
perencanaan dan pengambilan keputusan mengakibatkan timbulnya "pseudo
participation" (partisipasi semu) atau partisipasi terpaksa.

Partisipasi dalam Perencanaan Pembangunan


Secara ideal dapat dikatakan bahwa sebuah program pembangunan, seawal
mungkin telah melibatkan warga masyarakat, mulai dari menganalisis masalah,
menetapkan kebutuhan dan permasalahan serta merencanakan kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Bila masyarakat sejak awal telah dilibatkan maka
secara moral akan tumbuh rasa memiliki dan rasa tanggung jawab sebab mereka
berpartisipasi dalam memutuskannya. Miller dan Rein (Madrie, 1986)
mengemukakan efektifitas partisipasi pada tahap ini amat penting dibandingkan
dengan bentuk perencanaan atau keputusan yang dibuat oleh tenaga ahli
sekalipun, dengan uraian sebagai berikut : .
17

Bringing in representatives at an early point in the planning may be


much more significant. Making resident aware of the isues involved in planning
will be more effective than insisting that these are professional decision which
cannot be discussed by untrained persons.”

Bahkan, pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan yang paling modern


dalam teori pembangunan kontemporer. Hal ini tertuang dalam laporan PBB
bidang jaringan pembangunan pedesaan dan keamanan pangan sebagai berikut :
The concept of participation is concerned with ensuring that the intended
beneficiaries of development projects and programmes are themselves involved
in the planning and execution of those projects and programmes. This is
considered important as it empowers the recipients of development projects to
influence and manage their own development - thereby removing any culture of
dependency. It is widely considered to be one of the most important concepts
in modern development theory.

Merencanakan kegiatan merupakan suatu proses yang dimulai dari analisis


masalah, potensi dan kebutuhan, menetapkan tujuan, menetapkan alternative-
alternatif kegiatan yang akan dikerjakan, dan bagaimana melakukan kegiatan-
kegiatan itu. Partisipasi pada tahap ini menurut Cohen dan Uphoff (1980), disebut
sebagai “participation in decission making.”

Partisipasi dalam Pelaksanaan Pembangunan


Dalam siklus program, setelah tahapan perencanaan akan dilanjutkan
dengan pelaksanaan. Cohen dan Uphoff (1980) menyebutkan macam partisipasi
ini sebagai “participation in implementation”. Kegiatan yang dilakukan dapat
berupa menyumbang uang, menyumbang tenaga, benda dan lsebagainya.
Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah upaya melaksanakan
kegiatan yang telah ditetapkan bersama sebelumnya dengan semandiri mungkin
dan memanfaatkan sumberdaya di masyarakat sendiri. Tentang hal ini,
Bhattacharya (Madrie, 1986) menguraikan sebagai berikut : the people of
community organize themselves for planning and action define their common and
individual needs and problems, make group and individual plans to meets their
needs and solve their problems, execute those with a maximum reliance upon
community resources…”
18

Partisipasi dalam Memanfaatkan Hasil Pembangunan

Sebuah program pembangunan harus mempunyai manfaat dan kegunaan


bagi masyarakat. Masyarakat harus bisa berpartisipasi dalam memanfaatkan
atau berpeluang untuk beraktivitas sehubungan dengan kegunaan program yang
telah selesai dikerjakan. Sebagai gambaran misalnya, bila jaringan irigasi telah
selesai dikerjakan maka masyarakat petani mau atau memanfaatkannya untuk
menanam padi di sawah dan mau memelihara jaringan irigasinya untuk menjamin
kelancaran air yang mengalir ke sawah. Cohen dan Uphoff (1980) menyebut
tahapan ini dengan “Participation in benefict” dan Yadov (Madrie, 1986)
menyebutkannya dengan “participation in sharing the benefit of development.”

Partisipasi dalam Evaluasi Pembangunan


Keluaran dari program pembangunan baik berupa fisik maupun non fisik
yang terlihat dalam proses maupun setelah selesai program akan dapat dinilai atau
dievaluasi. Bila masyarakat ikut berpartisipasi dalam menilai sebuah program
pembangunan, maka kisarannnya adalah sejauh mana proyek itu memenuhi
kebutuhan kelompoknya, komunitasnya dan masyarakatnya, sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan bersama sebelumnya. Cohen dan Uphoff (1980) menyebut
tahapan ini dengan “Participation in evaluation” dan Yadov (Madrie, 1986)
menyebutkannya dengan “participation in monitoring and evaluation of
development program and projects.”
Partisipasi dalam menilai hasil hasil pembangunan tersebut amatlah
bermanfaat karena akan berimplikasi pada dua hal sekaligus yaitu (1), bagi
masyarakat akan menjadi pelajaran tentang kekurangan dan kelebihan sehingga
berguna dalam merancang kegiatan serupa pada masa akan dating dengan lebih
baik. (2) bagi pemerintah akan menjadi imput yang sangat berharga untuk
penyempurnaan program pada masa akan datang.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi dan Kemitraan


Keberadaan kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat
untuk berpartisipasi sebagaimana dikemukakan Slamet (2003) akan dipengaruhi
19

oleh beberapa faktor di seputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya, terutama faktor-faktor: psikologis individu (kebutuhan,
harapan, motif, penghargaan), terpaan informasi, pendidikan (formal maupun
informal), struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal (norma dan adat-istiadat),
serta pengaturan dan pelayanan atau kebijakan pemerintah.
Soekanto (1983) menyebutkan beberapa faktor yang mengakibatkan
masyarakat tidak berpartisipasi dalam pembangunan, di antaranya :
• Faktor sosial budaya, yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang
bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap suatu perubahan. Hal ini
terjadi karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat yang
berimplikasi pada rendahnya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan.
• Faktor sosial ekonomi, yaitu adanya ketimpangan distribusi pendapatan
masyarakat khususnya di pedesaan, menyebabkan ketidak mampuan
masyarakat untuk berpartisipasi.
• Faktor sosial politik, yaitu masih adanya birokrasi politik yang ketat dan
kokoh yang menyebabkan masyarakat semakin tidak berdaya.
Keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat
dalam proses pembanguan tersebut, oleh Oppenheim (1966) diformulasikan
sebagai faktor dalam diri individu atau karakteristik individu (person inner
determinant) dan faktor di luar diri individu atau faktor lingkungan
(environmental factor).
Karakteristik Individu
Samson (Rahmat, 2001), mengemukakan bahwa Karakteristik individu
merupakan sifat yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek
kehidupan dan lingkungannya. Terdapat tiga teori yang menjelaskan
perkembangan individu hingga membentuk perilaku yaitu: nativisme (Plato),
emperisme (Locke) dan konvergensi (Stern) (Siti Amanah, 2006). Menurut
Mardikanto (1993), karakteristik individu adalah sifat yang melekat pada diri
seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain : umur, jenis
kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama.
20

Masyarakat desa dalam mengadopsi suatu inovasi, tidak terlepas dari fakor
individu warga masyarakat serta faktor lingkungan dimana ia tinggal. Faktor
individu merupakan karakteristik warga masyarakatnya maupun karakteristik
individunya. Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa, dalam
penyebaran suatu ide baru atau difusi inovasi dalam suatu sistem sosial, pelakunya
minimal memiliki tiga karakteristik yaitu status sosial, kepribadian dan
kemampuan berkomunikasi.

Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu faktor internal individu yang
memungkinkan seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan
keterampilan. Saharuddin (1987) mengatakan bahwa tingkat pendidikan
seseorang mempengaruhi partisipasinya pada tingkat perencanaan, oleh
karena itu semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat diharapkan
semakin baik pula cara berpikir dan cara bertindaknya. Slamet (2003)
mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan
pada perilaku manusia. Sejalan dengan itu, Soeitoe (1982) mengemukakan
bahwa pendidikan adalah suatu proses yang diorganisir dengan tujuan
mencapai sesuatu hasil yang nampak sebagai perubahan dalam tingkah laku.
Menurut Bloom (Mulyasa, 2002), kognitif merupakan perilaku yang
berkenaan dengan aspek pengetahuan seseorang, sedangkan afektif berkenaan
dengan perasaan dan emosi terhadap suatu obyek, keadaan atau terhadap orang
lain, dan psikomotor merupakan perilaku yang berkenaan dengan keterampilan
seseorang mengerjakan sesuatu. Pendidikan akan membuat seseorang menjadi
modern, sebagaimana dilansir Asngari, (2001) dari pikiran Inkeles bahwa salah
satu ciri orang modern adalah menempatkan pendidikan formal ditunjang
pendidikan non formal dan informal sebagai sesuatu yang sangat tinggi nilainya.
Pendidikan formal menurut Winkel (1987), adalah pendidikan sekolah
yang dalam penyelenggaraannya menempuh serangkaian kegiatan terencana dan
terorganisir. Sedangkan, pendidikan non formal lebih dikenal sebagai bentuk
pendidikan luar sekolah. Menurut Tampubolon (2001), pendidikan non formal
21

adalah kegiatan pendidikan di luar sistem pendidikan formal dan bertujuan


merubah perilaku masyarakat dalam arti luas. Sasarannya mencakup semua
kelompok umur dan semua sektor kehidupan masyarakat. Bentuk nyatanya dapat
berupa penyuluhan, penataran, kursus, mapun ketrampilan teknis lainnya yang
bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan peserta didik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan akan meningkatkan
kemampuan kapasitas rasional dari masyarakat. Masyarakat yang rasional
sebelum memutuskan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, didahului oleh
masa belajar dan menilai manakala partisipasi itu mendatangkan manfaat bagi
dirinya. Jika bermanfaat, akan berpartisipasi, dan jika tidak, masyarakat tidak
tergerak untuk berpartisipasi.

Pengalaman
Salah satu faktor yang turut menunjang perilaku seseorang adalah
pengalaman yang juga diukur dalam karakteristik individu. Menurut Gagne
(1977) pengalaman adalah akumulasi dari proses belajar mengajar yang dialami
oleh seseorang. Kecenderungan seseorang untuk berbuat, tergantung dari
pengalamannya, karena menentukan minat dan kebutuhan yang dirasakan. Hal-
hal yang telah dialami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan
terhadap stimulus sosial. Menurut Padmowihardjo (1999), secara psikologis
seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh
pengalaman indera. Menurut Rahmat (2001), faktor pengalaman dapat menambah
wawasan berpikir semakin luas, mempengaruhi cara bertindak dan memberi corak
pada kepribadian seseorang.

Persepsi
Persepsi adalah proses yang berkaitan dengan petunjuk inderawi dan
pengalaman masa lampau yang relevan untuk memberi gambaran terstruktur dan
bermakna pada suatu situasi tertentu. Menurut Walgito (2002) persepsi adalah
suatu proses yang didahului oleh pengindraan dalam bentuk stimulus ke kesyaraf
otak sehingga membentuk persepsi individu. Mar’at (1981) menggambarkan
22

persepsi sebagai proses pengamatan individu dari komponen kognisi, yang


dipengaruhi oleh pengalaman dan proses belajar, cakrawala dan pengetahuan.
Litterer (Asngari, 2003) mengemukakan bahwa persepsi adalah “the
understanding or view people have of things in the world around them.” Adanya
persepsi berimplikasi terhadap munculnya motivasi, kemauan, tanggapan dan
perasaan dari stimulus yang diterima. Ada tiga rangkaian proses yang membentuk
persepsi, yaitu: seleksi, organisasi dan interpretasi. Dalam konteks ini, persepsi
individu masyarakat adalah pandangan mereka terhadap suatu obyek yaitu
partisipasi sehingga memberikan reaksi tertentu yang dihasilkan dari kemampuan
menyeleksi, mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus dan
merubahnya dalam bentuk penerimaan atau penolakan.
Setiap orang memiliki perbedaan dalam hal kebutuhan, motif dan minat
sehingga persepsi mereka tentang sesuatupun berbeda menurut kebutuhan, motif,
minat dan latar belakang masing-masing. Persepsi dua orang dalam melihat
obyek yang sama bisa berbeda. Karena itu persepsi seseorang terhadap suatu
obyek bisa tepat, dan bisa pula keliru, atau mendua. Faktor penting untuk
mengatasi kekeliruan tersebut adalah pengertian yang tepat mengenai obyek yang
dipersepsikan. Berkaitan dengan partisipasi, bila masyarakat memiliki pengertian
yang sama tentang obyek partisipasi serta manfaat yang ditimbulkannya, mereka
akan dengan kesadaran untuk ikut mengambil bagian.

Motivasi
Istilah motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak.
Crowford (2005) mengemukakan bahwa motivasi adalah proses yang dapat
menyebabkan orang bertindak atau berperilaku dengan cara tertentu. Oppenheim
(1966) mengemukakan bahwa untuk berperilaku tertentu atau berpartisipasi, ada
dua hal yang mendukung yaitu adanya unsur yang bersumber dari diri seseorang
dan terdapat lingkungan yang memungkinkan untuk berperilaku tertentu. Unsur
dalam diri dan lingkungan tersebut yang memotivasi seseorang untuk berperilaku
tertentu. Dengan kata lain, unsur yang bersumber dari diri seseorang disebut
motivasi intrinstik dan iklim atau lingkungan adalah motivasi ekstrinsik. Iklim,
23

lingkungan atau motivasi ekstrinsik tersebut dapat bersumber dari upaya untuk
meningkatkan daya dalam apa yang disebut “pemberdayaan.”
Dalam kaitannya dengan motivasi berpartisipasi, terdapat pandangan
yang mengatakan bahwa terwujudnya partisipasi dalam pembangunan dapat
disebabkan oleh adanya paksaan atau sanksi, ajakan pihak lain, ataupun
kesadaran sendiri. Namun, unsur paksaan atau sanksi ditolak oleh Malhotra
(Kartasubrata, 1986) yang menyatakan bahwa partisipasi dapat tercipta karena
kehendak sendiri, sukarela, spontan atau digerakan (induce), akan tetapi tidak
dipaksa sebagaimana diuraikan berikut : and by people’s participation, we mean
willing and voluntary participation, it may be spontaneous or induced, but
certainly not “coerced,” for that is not participation.”
Pendapat Malhotra tersebut disempurnakan oleh Slamet (2003) yang
mengemukakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah berarti
pengarahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah
tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan
memperbaiki kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Pandangan ini
lebih menekankan pada kesadaran kritas masyarakat akan manfaat dari partisipasi
mereka bagi kepentingan mereka sendiri, sebab boleh jadi masyarakat ikut
berpartisipasi secara sukarela tetapi mereka tidak menyadari manfaatnya. Proses
menuju pada penyadaran inilah, peranan penyuluhan sangat esensial sebagai
bentuk intervensi yang humanis.

Kosmopolitan
Kosmopolitan adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar
sistem sosialnya sendiri (Mardikanto, 1993). Sifat kekosmopolitan dicirikan oleh
frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa.
Warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat
berlangsung cepat, sedangkan warga yang “localite” (terkungkung dalam sistem
sosialnya sendiri), adopsi inovasi sangat lamban karena tidak adanya keinginan
baru untuk hidup lebih baik seperti orang lain diluar sistem sosialnya sendiri.
24

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Farid, 2008), kosmopolitan


diartikan sebagai orang yang mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas.
Sifat kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan
mereka dari orang lain, yaitu memiliki status sosial yang lebih tinggi, partisipasi
sosial yang lebih tinggi, lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, lebih
banyak menggunakan media massa dan memiliki hubungan lebih banyak dengan
orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya.
Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa orang yang sifat
kekosmopolitan tinggi biasanya mencari informasi di luar lingkungannya.
Sebaliknya, orang yang sifat kekosmopolitannya rendah cenderung mempunyai
ketergantungan pada tetangga atau teman dalam lingkungan yang sama.
Seseorang yang mempunyai pergaulan luas dan cepat mencari informasi yang
diperlukan, dapat diartikan mempunyai kekosmopolitan tinggi.

Gender
Bessette (2004) mengatakan bahwa dalam banyak kasus, sangat penting
untuk memberikan perhatian spesial pada isu gender. Dalam setiap pengaturan,
kebutuhan, peran social dan tanggung jawab, posisi perempuan dan laki-laki
selalu dibedakan. Derajat akses terhadap sumber daya dan partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan juga berbeda antara laki-laki dan perempuan. Cara
mereka untuk memandang masalah umum dan solusinya juga berbeda. Hal yang
sama juga terjadi pada kaum muda dengan jenis kelamin yang berbeda. Sangat
sering terjadi perbedaan tajam antara peran dan kebutuhan dari anak-anak
perempuan dan perempuan dewasa, atau antara laki-laki dewasa dan anak muda
dalam persepsi melihat suatu masalah yang sama.
Konsekwensinya, menurut Bessette (2004) kepentingan dan kebutuhan
mereka menjadi berbeda dan kontribusi mereka kepada pembangunan juga
berbeda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dahulu, fokus perhatian lebih kepada
“kumunitas”, tanpa memperhatikan aspek gender. Hasilnya adalah, wanita dan
kaum muda sering tidak dipandang dalam proses pembangunan walaupun
partisipasinya sangat esensial.
25

Buttman, et al, (2003) mengemukakan bahwa pandangan tentang gender


menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan
pekerjaan yang dipilihnya. Gender secara langsung berpengaruh pada pekerjaan
rumah tangga tidak hanya pada pendapatan. Hasil penelitian Sumardjo (1988) di
Jawa, menunjukkan bahwa pada rumah tangga dengan kepala keluarga Ibu, akibat
bercerai atau meningal suami, ibu-bu melakukan pekerjaan ganda. Namun, pada
rumah tangga dengan kepala rumah tangga suami, ibu melakukan pekerjaan
rumah tangga dengan status seperti pembantu.
Dari perspektif komunikasi, isu gender memberikan dua hal, yaitu :
Pertama, harus membedakan secara jelas antara kebutuhan laki-laki dan
perempuan dan untuk hal ini perlu belajar bagaimana membangun kemunikasi
antara keduanya. Namun yang sering terjadi, kaum perempuan sering tidak
dikutsertakan dalam pertemuan warga, atau bila diundang mereka relative tidak
diberi kesempatan untuk bicara. Persoalannya sering terkait masalah cultural dan
kalaupun ada perempuan ikut berpartisipasi umumnya mereka bukanlah wakil dari
masyarakat bersangkutan. Hal ini diakui oleh Bessette (2004) sebagai berikut:
In many settings, women are often barred village meeting, or if they are
admitted, they do not always have the right to speak. Even where this
inhibition is cultural rather than formal, it must be taken into account. It
often happens that women who are authorized to participate in these
meetings are not really representative of local women as a whole.

Kedua, sangat penting untuk mendorong peran partisipasi kaum perempuan.


Kepentingannya adalah bagaimana membawa kaum perempuan berpartisipasi
dalam mendefinisi masalah yang mereka hadapi dan menemukan solusinya, dari
pada memobilisasi mereka. Partisipasi sangat berbeda dengan mobilisasi karena
partisipasi memerlukan proses terutama pendidikan, pemberdayaan, dan
penyadaran yang keseluruhannya tercakup dalam penyuluhan.

Status Sosial
Menurut Robbin (2003), status sosial adalah posisi atau peringkat yang
ditentukan secara sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota/individu
oleh orang lain. Robbin lebih lanjut mengemukakan ;
26

“. . . kita hidup dalam suatu masyarakat yang terstruktur menurut kelas.


Meskipun ada usaha mebuat masyarakat lebih egaliter, kita tidak banyak
beranjak kearah tanpa kelas. Bahkan kelompok terkecil mengembangkan
peran, hak dan ritual untuk membendakan anggotanya”.
Status merupakan suatu faktor penting dalam memahami perilaku
manusia karena merupakan suatu motivator yang cukup penting dan mempunyai
konsekwensi perilaku yang utama bila individu mempersepsikan suatu disparitas
antara apa yang mereka yakini tentang bagaimana status mereka dan apa yang
orang lain persepsikan Robbin (2003).
Status sosial juga memiliki keterkaitan dengan aspek norma, rasa kedilan
dan budaya dari suatu masyarakat. Terdapat kecenderungan menurut Keyes
(Robbin, 2003) bahwa anggota masyarakat berstatus tinggi sering diberi lebih
banyak kebebasan untuk menyimpang dari norma. Dari aspek keadilan, penting
bagi anggota kelompok untuk meyakini bahwa status itu adil atau wajar
(equitable). Jika dipersepsikan adanya ketidakadilan maka terciptalah ketidak
seimbangan yang terjadi dalam berbagai jenis perilaku korektif. Pada setiap
budaya memiliki perbedaan pada criteria yang menyebabkan terjadinya status
sosial, mulai dari posisi keluarga, peran formal dalam organisasi hingga prestasi.
Dapat disimpulkan bahwa status sosial amat berkait dengan keturunan
(geonologis), pangkat dan kedudukan (peran formal), harta benda dan prestasi.

Proses Penyuluhan
Sumardjo (2008) mengemukakan bahwa kemampuan rakyat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan adalah sejalan dengan efektivitas proses
belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar menyebabkan rakyat memperoleh
dan memahami informasi, kemudian secara kognitif memprosesnya menjadi
pengetahuan tentang adanya kesempatan dan melatih dirinya agar mampu berbuat
(konatif) serta secara intrinsik termotivasi untuk mau (afektif) bertindak atas dasar
manfaat yang akan dapat diraihnya. Dikemukakan lebih lanjut bahwa
keseluruhan proses ini merupakan lingkup peran penyuluhan pembangunan dan
bagian utama yang harus dikembangkan dalam ilmu penyuluhan pembangunan.
27

Penyuluhan pembangunan sesungguhnya adalah pengembangan lebih


lanjut dari istilah penyuluhan pertanian berdasarkan kenyataan bahwa penyuluhan
juga dibutuhkan dalam sektor pembangunan yang lain. Tentang hal ini, Slamet
(2003) menguraikan bahwa istilah penyuluhan pada awalnya dikenal sebagai
“Agricultural Extension.” Karena penggunaannya di bidang lain, maka
sebutannya berubah menjadi Extension Education dan Development
Communication. Meskipun antara ketiga istilah tersebut terdapat perbedaan,
namun pada dasarnya mengacu pada disiplin ilmu yang sama.
Istilah “penyuluhan” pertama kali dikemukakan oleh James Stuart dari
Trinity College (Cambridge) tahun 1967, sehingga Stuart dikenal sebagai Bapak
Penyuluhan (van Den Ban dan Hawkins, 1999). Berbagai istilah digunakan untuk
menggambarkan proses belajar penyuluhan, seperti: (1) voorlichting (Belanda)
yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan
jalannya, (2) beratung (Jerman) yang mengandung makna sebagai seorang pakar
memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut berhak
menentukan pilihannya, (3) erziehung (mirip artinya dengan pendidikan di
Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang
sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (4) forderung (Austria) yang
diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diinginkan, dan (5)
fulgarisation (perancis) menekankan penyederhanaan pesan bagi orang awam
(van den Ban dan Hawkins, 1999).
Secara harfiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor
ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dengan demikian, penyuluhan
dapat diartikan sebagai proses memberikan penerangan tentang sesuatu yang
"belum diketahui." Namun, penerangan yang dilakukan harus terus menerus
sampai segala sesuatu yang diterangkan benar-benar dipahami, dihayati, dan
dilaksanakan oleh masyarakat (Mardikanto, 1993). van Den Ban dan Hawkins
(1999) mengartikan penyuluhan sebagai keterlibatan seseorang melakukan
komunikasi secara sadar untuk membantu sesamanya memberikan pendapat
sehingga bisa membuat keputusan yang benar.
28

Asngari (2003) mengartikan penyuluhan sebagai kegiatan mendidik orang


dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai yang dikehendaki yakni orang
makin modern. Ini merupakan usaha memberdayakan potensi individu klien agar
lebih berdaya secara mandiri. Berdasarkan pandangan tersebut disimpulkan
bahwa kegiatan penyuluhan selalu berorientasi pada perubahan perilaku serta
penemuan baru dan mampu meningkatkan kesadaran dan rasa percaya diri
individu. Karena itu Asngari (2008) lebih lanjut menekankan pentingnya
mengembangkan falsafah penyuluhan antara lain : (1) falsafah mendidik, (2)
falsafah pentingnya pribadi individu, (3) falsafah demokrasi, (4) falsafah bekerja
bersama antara penyuluh/agen pembaharuan dengan klien, (5) falsafah membantu
klien agar mereka mampu membantu diri sendiri, (6) falsafah membakar sampah
dan (7) falsafah berkelanjutan.
Menurut Mardikanto (1996), kegiatan penyuluhan terus dikembangkan
untuk menggerakkan kesadaran dan partisipasi masyarakat agar mereka memiliki
kemampuan menolong dirinya sendiri untuk perbaikan mutu hidup dan
kesejahteraan. Sejalan dengan pemikiran ini, Sumardjo (1999) mengemukakan
bahwa pada falsafah penyuluhan terdapat makna “menolong orang agar mampu
menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraannya” (Helping people to help themselves through educational means
to improve their level of living). Menyangkut falsafah ini, Asngari (2008:6)
mengutip pikiran Bryant sebagai berkut :
“The whole extension philosophy is built on the idea of helping
people help them selves, and getting them to realize that is their
interest to help them selves. It is essential that they will not get
real help until they do it them selves.”

Falsafah penyuluhan tersebut juga sejalan dengan prinsip pemberdayaan


(Empowerment) yang dikemukakan oleh Ife (1995), “. . ..empowerment means
providing people with the resources, knowledge and skill to increase their
capacity to determine their own future and participate in affect of their
community. Maknanya adalah bahwa menyiapkan komunitas atau individu
dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian dan pengetahuan agar kapasitas
29

komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi menentukan masa depan.


Lebih lanjut Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan bertujuan
membangun kemandirian (self reliance); artinya, komunitas berusaha
menggunakan sumberdaya lokal sendiri, dari pada bantuan luar, baik SDM, SDA,
keuangan, dan teknik. Prinsip kemandirian bukan berarti tanpa bantuan orang
lain, tetapi justru mendorong masyarakat untuk bekerjasama, berkotribusi,
bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan sesuatu. Dalam kaitan ini,
Nyerere (Susanto, 1979) mengemukakan pendangannya sebagai berikut :
“. . ..People cannot be developed, they can only develop themselves, For a
while it is possible for an outsider to build a man’s house, an outsider
cannot give the man pride and self confidence in himself as a human being.
Those things a man has to create in himself by his own action. He develops
himself by making his own decicions, by increasing his understanding of
what he is doing and why ; by increasing his own knowledge and ability in
the life community he lives in. .. .”

Kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup


rakyat banyak dan peningkatan itu hanya tercapai kalau ada partisipasi, maka
tantangan utama pada pembangunan nasional adalah “bagaimana meningkatkan
partisipasi rakyat ?.” Partisipasi rakyat tersebut dapat ditingkatkan melalui
kegiatan penyuluhan dan untuk itu maka tantangannya adalah “bagaimana
menciptakan, mengembangan dan melaksanakan program penyuluhan
pembangunan yang sangkil dan mengkus” (Sumardjo, 1999).
Program penyuluhan yang baik tentu mempertimbangkan berbagai
persyaratan, antara lain: materi penyuluhan, metode, media dan kualitas
penyuhan dan lain lain. Tentang hal tersebut, Mosher (Sumardjo, 1999)
menyebutkan bahwa penyuluhan dapat disebutkan sebagai pendidikan
pembangunan karena sifatnya yang selektif, dalam arti memilih bahan atau materi
dan metode pendidikannya yang bersifat langsung dan segera menunjang
pembangunan yang dikehendaki. Melalui upaya pendidikan pembangunan berupa
penyuluhan, kemampuan orang orang, keluarga dan masyarakat untuk menerima
perubahan yang dapat meningkatkan kesejahteraannya dapat dipercepat.
30

Materi Penyuluhan
Mardikanto (1996) mengatakan bahwa materi penyuluhan pada
hakekatnya merupakan segala pesan yang ingin dikomunikasikan penyuluh
kepada masyarakat sasarannya. Dengan kata lain, materi penyuluhan adalah
pesan yang ingin disampaikan dalam proses komunikasi pembangunan. Dengan
demikian, materi penyuluhan adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh
penyuluh kepada individu atau masyarakat sasaran.
Dengan mengambil kasus di bidang pertanian, materi yang disampaikan
dalam penyuluhan menurut Ibrahim dkk (2003) amatlah luas dan dapat berupa
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dikelompokkan menjadi lima, yaitu: (1)
teknik pertanian, (2) ekonomi pertanian, (3) manajemen usaha tani, (4) dinamika
kelompok, dan (5) politik pertanian. Untuk penyuluhan di luar pertanian,
materinya tentu disesuaikan dengan bidang yang bersangkutan.
Ragam materi yang perlu disiapkan dalam setiap kegiatan penyuluhan
menurut Mardikanto (1993), merujuk pada Vademecum Bimas didunia pertanian
meliputi : (1) Kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pembangunan
pertanian, (2) Hasil-hasil penelitian atau pengujian dan rekomendasi teknis yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwewenang, (3) Pengalaman petani yang
berhasil, (4) Informasi pasar, (5) Petunjuk teknis penggunaan alat/sarana produksi,
(6) Informasi kelembagaan pertanian, dan (7) Dorongan terciptanya swakarsa,
swakarya dan swasembada masyarakat.
Dalam kaitan dengan materi penyuluhan, Mardikanto (1993) mengatakan
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) pentingnya pengembangan
kebiasaan untuk mengkritisi setiap materi belajar, terutama setiap inovasi yang
belum teruji di wilayah calon penerima manfaat, (2) selalu mengacu kepada
kebutuhan calon penerima manfaat, (3) materi belajar tidak harus benar-benar
baru tetapi dapat berupa praktek lama, kebiasaan, atau teknologi yang telah
dikembangkan masyarakat setempat, dan (4) sumber materi belajar tidak selalu
berasal dari pakar, orang lain atau textbook, atau surat kabar, majalah, radio, TV,
akan tetapi lebih diutamakan dari pelaku-pelaku setempat yang telah
31

berpengalaman yang disampaikan secara lisan dalam diskusi, pertemuan-


pertemuan, percakapan informal, dll.

Metode Penyuluhan
Metode penyuluhan, menurut Ibrahim dkk. (2003) adalah cara-cara
penyampaian materi penyuluhan secara sistematis sehingga materi penyuluhan
tersebut dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat sasaran. Pengalaman
menunjukkan bahwa metode penyuluhan sangat berperan dalam menunjang
keberhasilan program penyuluhan, karena sebaik apapun materi penyuluhan yang
disampaikan tidak akan mampu merubah perilaku sasaran yang diinginkan bila
metode penyuluhan yang digunakan kurang tepat.
Dalam memilih metode penyuluhan menurut Slamet dan Asngari,
(Sumardjo, 1999), perlu dipertimbangkan banyaknya sasaran yang dilayani,
sesering berinteraksi dengan sasaran dan murah tetapi menjadi media pengalaman
yang efektif. Lebih lanjut dijelaskan, penggunaan metode penyuluhan harus
didasarkan pada: (1) sesuai keadaan sasaran, (2) cukup dalam jumlah dan mutu,
(3) tepat sasaran dan pada waktunya, (4) amanat harus mudah diterima dan
dimengerti, dan (5) murah pembiayaannya atau efisien.
Setiap metode pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa pada prinsipnya, makin sedikit sasaran
belajar dengan menggunakan suatu metode yang sama cenderung makin
efektif, tetapi sebaliknya cenderung makin tidak efisien. Dalam pelaksanaannya,
kegiatan tersebut dapat dilakukan secara langsung (face to face) atau misalnya
dengan telpon, dapat pula dilakukan secara tidak langsung, yaitu menggunakan
surat dan media massa tetapi umpan balik tidak dapat terjadi secara spontan.
Mardikanto (1993) merujuk pada Kang dan Song, menyimpulkan bahwa
tidak ada satupun metode yang selalu efektif, maka perlu metode secara
simultan yang saling menunjang dan melengkapi.
Secara umum terdapat banyak metode yang dipergunakan dalam
kegiatan penyuluhan, antara lain : ceramah, diskusi, kunjungan lapang,
magang, studi banding, temu lapangan dan lain-lain. Dengan demikian, setiap
32

penyuluh setelah memperhatikan kondisi keragaman baik masyarakat sasaran


maupun lingkungannya, harus memahami dan mampu memilih atau
mengkombinasikan metode penyuluhan yang paling sesuai untuk kegiatan
penyuluhan yang akan dijalaninya di masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Wiriatmadja dan Suriatna (Sumardjo, 1999), hubungan antara
metode penyuluhan, tahap dalam proses komunikasi dan adopsi inovasi
digambarkan pada Tabel 1.
Tebel 1. Hubungan antara metode penyuluhan, tahap-tahap dalam proses
komunikasi dan tahap adopsi inovasi.
Metode Penyuluhan Tahap Komunikasi Tahap Adopsi
Cara Perorangan Menggerakkan Usaha Adopsi/penerapan
Cara Kelompok Meyakinkan Mencoba
Membangkitkan Menilai
Keinginan
Cara Massal Menggugah hati Menumbuhkan minat
Menarik Perhatian Menumbuhkan kesadaran

Dalam penjabaran yang cukup rinci berkaitan dengan metode, Mardikanto


(1993) menyebutkan beberapa hal penting dalam penyuluhan, yaitu: (1)
Pentingnya meninggalkan proses pendidikan yang menggurui, (2) penting
membangun kebiasaan dan semangat belajar seumur hidup, (3) mendorong
kebiasaan sasaran untuk mengkritisi setiap materi belajar, terutama setiap inovasi
yang belum teruji di wilayah calon penerima manfaat, (4) penggunaan alat bantu
dan atau alat peraga tidak harus menggantungkan peralatan/teknologi tertentu,
tetapi dapat memanfaatkan benda dari keadaan lapang, dan (5) keadaan nara
sumber atau fasilitator, bukan penentu atau pengambil keputusan, tetapi cukup
sebagai pemberi pertimbangan yang harus dicermati sesuai dengan kemampuan
dan sumber daya yang dimiliki.

Media Penyuluhan
Sadiman dkk (1986) mengemukakan bahwa media adalah segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima
sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat sedemikian
rupa sehingga proses belajar dapat berjalan. Senada dengan itu, Mardikanto
33

(1993) mengemukakan bahwa media penyuluhan adalah alat perlengkapan guna


memperlancar proses mengajarnya. Dengan kata lain, media penyuluhan adalah
alat bantu yang dapat memperjelas penyampaian materi penyuluhan.
Dalam kaitan media dengan metode penyuluhan, Sumardjo (1999),
menguraikan media penyuluhan ke dalam empat kategori, yaitu : (1) lisan, (2)
tertulis atau tercetak, (3) terlihat atai terproyeksi, dan (4) terperaga. Dijelaskan
lebih lanjut bahwa pada prinsipnya, makin banyak indera sasaran belajar
dilibatkan dalam suatu proses belajar maka cenderung makin efektif.
Hamalik (1986) membagi media penyuluhan atas lima golongan yaitu: (1)
bahan cetakan atau bacaan (suplementary material) seperti: buku, komik, koran,
majalah, bulletin, folder, pamflet, dan lain-lain; (2) Alat-alat audio visual yang
terdiri dari media tanpa proyeksi (papan tulis, bagan, diagram, grafik, poster,
kartun dll), media tiga demensi (model, benda asli, benda tiruan, diorama, boneka,
peta, globe, museum dll), media dengan alat masinal (slide film, film strip,
rekaman, radio, televisi, komputer dll); (3) umber-sumber masyarakat berupa
obyek-obyek : (peninggalan sejarah, dokumentasi, bahan-bahan dan masalah-
masalah), dari berbagai bidang (daerah, penduduk, sejarah, industri, kebudyaan,
politik dll); (4) Kumpulan benda (material collection), berupa benda yang dibawa
oleh masyarakat seperti; daun yang terserang penyakit, bibit unggul dan lain-lain;
dan (5) Contoh berupa tingkah laku yang diperbuat penyuluh seperti: melakukan
gerakan tertentu menggunakan tangan, kaki, badan, mimik dan lain-lain.
Beberapa alasan penting mendasari urgensi penggunaan media penyuluhan
menurut Ibrahim dkk (2003), yaitu: (1) menjadi sarana penyampaian pesan yang
tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan menggunakan kata-kata, (2)
memperkuat penjelasan yang tidak dapat ditirukan oleh penyuluh, dan (3) pesan-
pesan yang disampaikan dengan menggunakan media tidak mudah hilang dari
ingatan penerima dalam proses penyuluhan.

Interaksi Kalayan dengan Penyuluh


Interaksi adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia,
yakni perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki
34

perilaku individu yang lain atau sebaliknya (Gerungan, 1999). Farid (2008)
mengacu pada konsep Departemen Agama RI, menguraikan bahwa interaksi
sosial merupakan suatu hubungan sosial yang dianamis, menyangkut hungan
orang dengan orang, antara kelompok dengan kelompok masyarakat atau antara
orang dengan kelompok masyarakat.
Interaksi dengan penyuluh diartikan sebagai terjadinya hubungan antara
masayarakat dengan penyuluh, baik yang berasal dari pemerintah maupun non-
pemerintah. Menurut Soekanto (2002), hubungan yang terjadi antara seseorang
dengan orang lain dapat bersifat primer dan sekunder. Hubungan primer terjadi
apabila seseorang mengadakan hubungan langsung dengan bertemu dan
berhadapan muka. Hubungan yang bersifat sekunder terjadi melalui perantara baik
orang lain maupun alat-alat seperti telepon, radio dan sebagainya.
Wiraatmadja (1990) menyatakan bahwa dalam kegiatan penyuluhan,
seorang penyuluh harus mengadakan hubungan dengan petani, hubungan
tersebut dapat menimbulkan komunikasi. Komunikasi yang baik akan berjalan
timbal balik atau terjadinya feedback Hal ini penting bagi penyuluh, yaitu
untuk dapat mengambil tindakan selanjutnya. Tujuan penyuluh mengadakan
komunikasi dengan sasarannya adalah untuk mengadakan perubahan perilaku,
karena perubahan itu maka sasaran akan menjadi lebih terbuka untuk hal-hal baru
Dalam konteks penelitian ini, akan lebih difokuskan pada hubungan antara
masyarakat baik secara individu maupun kelompok dengan penyuluh atau
sebaliknya. Oleh karena itu maka dalam mempersiapkan suatu kegiatan
penyuluhan, selain penyuluh dituntuk mempersiapkan diri juga kesiapan
masyarakat sebagai warga belajar juga sangat penting.
Beberapa prinsip kesiapan warga belajar tersebut oleh Padmowihardjo
(1999) dikemukakan sebagai berikut : (1) prinsip effect, peserta didik memiliki
keinginan untuk belajar sehingga timbul rasa senang dan gairah belajar. Untuk
membangkitkan minat belajar maka dapat dilakukan dengan: (a) mengorganisir
penyajian, (b) mudah, (c) memperhatikan individu warga belajar, (d) memakai
variasi cara, (e) melibatkan warga belajar aktif berperan, (f ) hargai warga
belajar dan jangan dipermalukan, (g) beri latihan, dan (h) usahakan warga
35

belajar ingin mencapai sukses agar merasa senang, puas dan ingin terus, dan
(i) hindari hal-hal yang dapat menurunkan minat; (2) prinsip latihan yaitu
dengan mengulang sesuatu. Makin mudah dan sederhana suatu latihan maka
akan terjadi kebiasaan yang benar; dan (3) prinsip kesiapan yaitu berkaitan
dengan kondisi neuron (sel syaraf).
Peserta didik butuh belajar karena adanya minat, rasa ingin tahu,
perangsang, penghargaan, rasa aman, rasa takut, promosi, kebanggaan dan
sanjungan. Disini peran penyuluh dapat memotivasi klien sehingga timbul minat
belajar dan timbulnya interaksi kedua pihak dengan intensif. Dalam penelitian ini,
interaksi dengan penyuluh adalah tingkat intensitas bertemunya individu
masyarakt dengan penyuluh, untuk mendapatkan informasi tentang usahanya.

Kemampuan Penyuluh
Bertolak dari pengertian penyuluhan yang lebih berorientasi pada
perubahan perilaku mengisyaratkan bahwa seorang penyuluh dituntut memiliki
kemampuan yang mumpuni agar perannya menggerakkan masyarakat untuk
melakukan perubahan-perubahan dapat tercapai dengan baik. Dalam kaitan ini,
Sumardjo (1999) menekankan pentinya aspek kesiapan (readiness) penyuluh
dalam bentuk penguasaan, misalnya; (1) materi penyuluhan (content area) berkait
dengan unsur memahami, menguasi dan mau menerapkannya kepada sasaran, (2)
metode atau teknik (proses area), berkait dengan unsur mampu menerapkan secara
tepat dan partisipatif. Tentang kesiapan (readiness) ini, Husle, et al., (Sumardjo,
1999) mendefinisikannya sebagai berkut :
”. . . .the adequacy of the student’t existing in relation to some
instructional objectives.”. ”Maturation refer to biological growth
which occurs largely under the influences of heredity”. Readiness is
the product of both training (or learning) and maturation).”

Peran penyuluh sebagai agen perubahan oleh Lippitt, et al. (1958)


dinyatakan sebagai berikut: (1) melakukan diagnosis masalah yang benar-benar
diperlukan masyarakat sasaran dengan menganalisis motivasi dan kemampuan
masyarakat sasaran untuk melakukan perubahan; (2) penilaian kapasitas dan
motivasi untuk berubah, yaitu agen perubahan harus mampu menilai kesiapan
36

kelayan, apakah memiliki kapasitas dan motivasi yang cukup untuk membangun
kebersamaan; (3) penilaian terhadap sumberdaya dan motivasi agen yaitu :apakah
agen perubahan benar-benar memiliki motivasi dan sumberdaya yang diperlukan
terhadap pekerjaannya; (4) pemilihan sasaran sesuai hasil perubahan yaitu: agen
perubahan harus mampu menyiapkan beberapa inisiatif keputusan tentang apa
yang diarahkan dan bagaimana sebaiknya ditempuh dan apa yang dilakukan lebih
dahulu; (5) memilih peran yang sesuai, yaitu: memilih peran agen dan menerima
masukan dari proses perubahan itu, apakah agen mendorong atau memberi
petunjuk; (6) memelihara hubungan dengan sasaran dan menjelaskan harapan dari
perubahan serta mengatur mutu dan intensitas hubungan; (7) mengenali dan
mengarahkan perubahan yang meliputi tahapan perubahan yang direncanakan dan
tema yang membantu hubungan; dan (8) memilih tehnik yang spesifik sesuai
perilaku apa yang harus dilakukan dan dikatakan pada momen tertentu.
Robbin (2003) mendefinisikan kemampuan (ability) sebagai kapasitas
individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Suparno
(2002) menyatakan bahwa kemampuan adalah kecakapan atau kekuatan atau
kewenangan yang memadai untuk melakukan suatu tugas sesuai dengan yang
disyaratkan. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh
menurut Mardikanto (1993) adalah kemampuan berkomunikasi seperti
ketrampilan berempati dan berinteraksi dengan masyarakat sasarannya..
Dalam melakukan tahapan tersebut seorang penyuluh harus dapat
membangkitkan semangat peserta didik dan selalu berprinsip bahwa mereka
mengerjakan semuanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk penyuluh. Oleh karena
itu penyuluh harus melakukan proses pembelajaran tersebut secara persuasif,
meliputi ; (1) memanfaatkan perhatian yang ada, (2) membangunkan hasrat yang
terpilih (motif, kebiasaan, minat ), (3) hubungan antara keinginan dan meyakinkan
tujuan, dan (4) menimbulkan tanggapan yang prosedural.

Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang penting dalam
megetahui upaya seseorang untuk melakukan suatu usaha. Menurut Sampson
37

(Rakhmat, 2001), faktor lingkungan eksternal individu adalah ciri-ciri yang dapat
menekan atau mempengaruhi seseorang, berasal dari luar dirinya.

Norma yang Dianut


Sarwono (2001) mengemukakan bahwa norma adalah aturan yang berlaku
dalam masyarakat. Norma dapat tertulis, resmi dan formal, dapat tertulis tetapi
tidak resmi serta dapat tidak tertulis dan tidak resmi (misalnya norma adat atau
norma susila). Norma juga biasa disebut sebagai peraturan sosial. Norma-
norma sosial merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan
dalam situasi-situasi tertentu dan merupakan unsur paling penting untuk
meramalkan tindakan manusia dalam sistem sosial. Dengan demikian, norma
dapat dipandang sebagai pedoman tentang perilaku yang diharapkan atau pantas
menurut kelompok atau masyarakat bersangkutan.
Berkaitan dengan pengelolaan SDA, sudah umum diketahui bahwa
beberapa daerah di Indonesia mempunyai norma tradisional telah dipraktekkan
secara turun temurun seperti Sassi di Maluku, Mane’e di Talaud, Labuang di
Talise Minahasa dan Awig-awig di Bali. Aturan dan sanksi yang diterapkan dalam
pengelolaan sumberdaya secara tradisional ini sudah berjalan dalam jangka waktu
yang cukup lama dan diterima, diikuti, dan diakui oleh anggota masyarakat.
Sekalipun cara ini mendapat legitimasi dari anggota masyarakat setempat namun
mulai menghilang karena seringkali diabaikan bahkan sengaja dihilangkan oleh
pemerintahan modern. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya alam secara
partisipatif harus mengidentifikasi sistem pengelolaan yang ada di dalam
masyarakat dan sedapat mungkin mengembangkan dan memadukannya ke dalam
perencanaan pengelolaan bersama (co-managemen).

Kerja Sama
Di masyarakat, telah lama dikenal kerja sama dalam menyelesaikan
berbagai agenda dengan berbagai macam istilah yang bersifat lokal untuk jenis
dan tahap kegiatan. Istilah yang sangat umum dikenal, misalnya gotong royong,
kerja bakti dan bhakti massal.. Kegiatan kerja sama saat ini bahkan berkembang
dalam bentuk yang lebih modern seperti misalnya dalam bentuk “jaringan kerja.”
38

Kerjasama kelompok dalam pengertian luas adalah kerjasama antara


kelompok dengan pihak lain di luar dirinya yang diwujudkan dengan pola
kemitraan. Penelitian Purnaningsih (2006) mengungkapkan bahwa pola
kemitraan agribisnis sebagai suatu inovasi berpotensi untuk menjadi suatu strategi
peningkatan pendapatan petani. Dalam pola kemitraan, pihak perusahaan
mamfasilitasi pengusaha kecil dengan modal usaha, teknologi, manajemen
modern dan kepastian pemasaran hasil, sedangkan pengusaha kecil melakukan
proses produksi sesuai dengan petunjuk teknis dari pihak pengusaha besar.
Dengan memaksimalkan kekuatan dan meminimalkan kelemahan dari
kedua belah pihak maka keduanya akan memperoleh keuntungan bersama. Pihak
perusahaan dapat memperoleh produk sesuai kualitas yang diinginkan, jaminan
pasokan bahan baku dan minim resiko kegagalan panen. Namun ditemukan pula
bahwa banyak kasus penerapan pola kemitraan yang tidak bisa berlanjut karena
berbagai alasan, baik alasan yang bersumber dari petani maupun perusahaan,
koperasi atau pedagang pengumpul.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh kelompok tani dengan adanya
kerjasama adalah antara lain : (1) persoalan yang dihadapi kelompok tani
termasuk anggotanya terlalu berat untuk diatasi sendiri. Pihak lain yang memiliki
kemampuan dalam mengatasi persoalan tersebut, sehingga terjadi saling tukar
pengalaman, (2) meningkatkan tugas yang harus dihadapi oleh masing-masing
pihak, (3) penggabungan sumber daya dari dua pihak akan menghasilkan tujuan
yang lebih baik, dan (4) memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk dapat
mengembangkan kemampuannya (Ditjen Bina Produksi Hortikultur Deptan
2003) . Kelompok yang mandiri dalam aspek kerjasama dapat dilihat dengan ciri-
ciri sebagai berikut : (1) memiliki inisiatif kerjasama, (2) mendasarkan pada
prinsip kesetaraan, (3) mengoptimalkan keuntungan bagi kelompok tani maupun
anggotanya, dan (4) cara mengembangkan kerjasama.
Berdasarkan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
mengembangkan usaha, kelompok masyarakat diperlukan kerjasama antar sesama
anggota, antara kelompok dengan pihak lain atau dengan pola kemitraan dengan
perusahaan, lembaga keuangan atau pihak lainnya diluar kelompok. Kerjasama
39

yang ada akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Kerjasama akan


muncul bila ada kepercayaan, kejelasan tujuan, manfaat dan keterbukaan.

Akses Informasi
Ruben (1988) mengemukakan bahwa Informasi sangat penting dalam
membangun hubungan antar manusia dan melakukan interaksi dalam kehidupan
bermasyarakat. Saat ini dunia memasuki zaman baru yang dicirikan oleh ledakan
informasi (information explosion). Kemajuan teknologi informasi seolah membuat
semua orang dapat mengetahui apa saja yang ingin mereka ketahui dengan segera.
Informasi dapat dilakukan dengan jalan komunikasi secara kontinu sebagai upaya
membangun jaringan baik secara formal mapun nonformal. Komunikasi,
menurut Hamundu (1997), adalah upaya bersama antara seseorang dengan orang
lain membangun kebersamaan guna membentuk suatu hubungan.
Dalam dunia pertanian modern, van den Ban dan Hawkins (1999),
mengemukakan bahwa informasi merupakan sumber daya penting. Perkembangan
komputer dan perbaikan telekomunikasi memudahkan memperoleh informasi
teknis dan ekonomis dengan cepat dan menggunakannya dengan efektif untuk
pengambilan keputusan. Informasi berupa laporan hasil penelitian, data pasar,
data pertumbuhan akan berguna untuk memilih teknologi produksi yang tepat,
menciptakan kondisi pertumbuhan yang optimal, menentukan anggaran
pengeluaran dan melihat usaha yang paling menguntungkan serta memutuskan
kapan dan dimana menjual hasilnya.
Informasi tersebut akan semakin membangkitkan motivasi masyarakat
untuk mencari ide baru dalam praktek usahanya, akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan dan produktivitas. Untuk mengenali permasalahan, dituntut
memperoleh akses informasi yang lebih banyak sumber informasinya dan
tergantung pada karakteristik sumber informasi dan kualitas serta intensitas
interaksi antara masyarakat dengan sumber informasi tersebut.
Akses terhadap informasi membuat masyarakat memiliki pilihan yang lebih
banyak bagi jenis informasi yang diinginkan. Soekartawi (1998) mengatakan
bahwa sumber informasi sangat berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi.
40

Khusus di bidang pertanian, menurut (Cangara, 2000), sumber informasi dapat


diklasifikasikan sebagai berikut : (1) Media massa, berupa majalah pertanian,
koran, siaran radio dan televisi; (2) Sumber informal terdiri dari tetangga petani
dan teman, kelompok usaha, kelompok profesi dan kelompok sosial; (3) Sumber
komersial terdiri dari hubungan petani dengan pedagang dan dealer, demonstrator
dan bulletin komersial; dan (4) Sumber agen pemerintah terdiri dari bulletin,
pertemuan dan hubungan petani/peternak dengan penyuluh dan ahli.

Menurut Kaye (1997), informasi akan sangat bermanfaat setelah diolah


dengan mempertimbangkan serangkaian faktor-faktor antara lain : (1) relevansi
berkaitan dengan persoalan aktual yang ada; (2) akurasi, layak dipercaya dan
dapat diuji kebenarannya; (3) kelengkapan, menerangkan seluruh cakupan yang
tengah dipertimbangkan; (4) ketajaman, menunjukkan perbedaan antara pilihan
yang satu dengan yang lain; (5) ketepatan waktu, apakah informasi dan data-data
tersebut masih berlaku dan absah atau sebaliknya sudah usang; dan (6)
keterwakilan, apakah informasi yang dikumpulkan cukup mewakili kenyataan.
Dengan demikian, informasi memegang peranan penting dalam membuka
wawasan terhadap dunia nyata yang dihadapi, karena informasi akan merubah
kebiasaan lama kepada kebiasaan baru sebagai dampak penyesuaian informasi
yang diterima. Dalam kaitan dengan penelitian ini, diharapkan masyarakat
memperolah informasi baru tentang pola pengelolaan SDA yang lebih
menguntungkan tetapi ramah lingkungan.

Pemimpin Informal
Dalam studi kepemimpinan dikenal adanya pemimpin formal dan
informal. Pemimpin formal disebut juga pemimpin resmi yang menduduki kursi
kepemimpinan dalam suatu lembaga. Mereka mempunyai nama jabatan, tugas dan
tanggung jawab yang sudah dirumuskan secara tegas. Pemimpin informal
menurut Soekanto ( 2002). adalah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan
formal, namun karena ia memiliki kualitas unggul, maka sehingga mempengaruhi
kondisi serta perilaku suatu kelompok atau masyarakat. Menurut Mangunharjana
(Ginting, 1999), pemimpin informal tidak menduduki tempat tertentu dalam
41

struktur kemasyarakatan dan tidak mempunyai nama jabatan, tidak dibebani tugas
dan tanggung jawab yang jelas, kecuali kalau memiliki kualifikasi tertentu, seperti
bidang agama, adat dan sebagainya.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Hofstede (1991) mengartikan
pemimpin informal secara singkat sebagai pemimpin, yang kedudukannya tidak
memiliki kaitan dengan jebatan resmi kenegaraan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
konsekwensi dari pengertian ini maka Kepala Desa, Hansip, Ketua RW dan ketua
RT tidaklah termasuk pemimpin informal itu. Untuk ukuran desa, Hofstede
(1991) mengartikan pemimpin informal di desa sebagai orang yang berpengaruh
dan diakui sebagai pemimpin oleh suatu kelompok atau golongan tertentu atau
oleh seluruh masyarakat desa, tetapi tidak memegang jabatan resmi dalam
pemerintahan desa. Mereka memiliki kharisma dan sering didatangi warga untuk
meminta nasehat serta saran dalam memecahkan masalah di pedesaan sehingga
sering menjadi pusat informasi dari warga desa.
Karl Jackson yang dikutip Hofstede, (1991) memberikan uraian menarik
mengenai hubungan pemimpin dan pengikutnya dalam karangannya yang
berjudul ”Perticipation in Rebellion.” Dalam uraiannya, Jakson membeberkan
masalah kewenangan tradisional yang diberikan kepada sang pemimpin sebagai
suatu tipe kekuasaan. Kewenangan tradisional atau bisa diterjemahkan sebagai
”Power” , oleh Jakson didefinisikan sebagai berikut : “Power is defined
behaviorally. It refers to an interaction between persons and group in which at a
particular moment in time one actor (the influencer) changes the behavior of a
secon actor (the influencee).”
Kewenangan tradisional dapat diuraikan lebih lanjut sebagai suatu bentuk
interaksi dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1) Orang yang mempengaruhi
(influencer) atau pemimpin, mengirimkan suatu pesan kepada yang dipengaruhi
(influencee), dan (2) Orang yang dipengaruhi (influencee) menerima pesan itu
sebagai dasar tingkah lakunya tanpa mengevaluasinya terlebih dahulu.
Sudah umum diketahui bahwa pemimpin informal di desa mempunyai
pengaruh besar untuk menggalang gerakan membangun diri di kalangan
masyarakat desa. Tokoh-tokoh berpengaruh seperti ini menjadi pusat komando
42

masyarakat dan berperan (1) memutuskan apa yang akan dilakukan kelompok, (2)
memberi perintah dan pengarahan, (3) memberi sanksi, dan (4) tempat bergantung
bagi pengikutnya hampir dalam semua segi kehidupan. Rogers dan Shoemaker
(1971) menguraikan ciri-ciri yang harus dimiliki seorang pemimpin informal
(opinion leaders) yang dapat mempengaruhi warga desa dalam adopsi inovasi
yaitu yang memiliki ciri-ciri antara lain : (1) banyak berhubungan dengan media
massa, (2) kosmopolit, (3) sering berhubungan dengan agen pembaharu, (4)
partisipasi sosialnya besar, (5) status sosial ekonominya tinggi, dan (6) lebih
inovatif dibanding dengan pengikutnya.
Berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, suatu uraian yang sangat
menarik dikemukakan oleh Sumardjo (2008), untuk membedakan pemimpin yang
sukses dan efektif. Pemimpin sukses dapat mencapai tujuan, tetapi pemimpin
efektif dapat mempengaruhi orang lain (follower) untuk mencapai tujuan. Dengan
kata lain, pemimpin sukses belum tentu efektif. Jadi, pemimpin yang sukses dan
efektif sangat erat hubungannya dengan konsep partisipasi.

Potensi Konflik
Secara sederhana, konflik dapat diartikan sebagai pertentangan antar aktor
individu, kelompok atau masyarakat. Fitzduf (2002) mengemukakan bahwa
konflik dapat terjadi pada saat para aktor perbedaan tujuan dan cara mencapainya.
Ahli yang lain mengemukakan bahwa konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan,
dan nilai-nilai kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah
agresi. Konflik merupakan proses almiah, dan bisa menjadi salah satu faktor
yang sangat produktif dan memacu perkembangan manusia, namun konsekwensi
yang diutimbulkannya juga dapat sangat destruktif (Fitzduf, 2002). Konflik
menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran yang lebih serius dari sekedar
kompetisi, meskipun, konflik, kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada
dasarnya saling berkaitan.
Dengan menerima asumsi dan hipotesa Teori Kebutuhan Manusia, Burton
(Fitzduf, 2002) menyatakan bahwa individu sebagai anggota kelompok, akan
memperjuangan kebutuhannya di dalam lingkungannya. Jika usaha mereka
43

halangi oleh kelompok lain maka akan terjadi konflik. Dalam setiap peristiwa
konflik ada unsur kerjasama (kooperasi); keterlibatan kerjasama (cooperative
engagements) seringkali melahirikan unsur konflik.
Konflik merupakan suatu yang alamiah maka perlu dikelola dengan baik.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun
pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu
pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan komunikasi
(perilaku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi
kepentingan (interests) dan interpretasi. Manajemen konflik dapat melibatkan
bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa
bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Burton
membedakan antara manajement konflik, penyelesaian (settlement) dan resolusi
konflik. Manajemen dapat berupa kecakapan resolusi perselisihan alternatif (by
alternative dispute resolution skills) dan ”settlement” adalah ‘dengan proses
wewenang dan hukum’ (by authoritative and legal processes’) dan dapat
dipaksakan oleh kelompok elit.

Kapasitas Individu Masyarakat


Pengertian kapasitas berasal dari bahasa Ingreris ”capacity” yang
bermakna: daya tampung, daya serap, ruang atau fasilitas yang tersedia, dan
kemampuan maksimal. Penggunaan istilah ini selalu dikaitkan dengan
kemampuan atau kekuatan seseorang yang ditampilkan dalam bentuk tindakan.
PKPD (Farid, 2008) mengungkapkan bahwa kapasitas adalah kemampuan
individu, organisasi atau sistem untuk melaksanakan tugas atau fungsi-fungsi dan
mencapai tugas-tugas secara efektif dan efisien.
Oleh The Ontario Prevention Clearinghouse (2002), kapasitas
didefenisikan sebagai ”the actual knowledge, skillset, partiscipation, leadership
and resource requered by individual, organizatioon, or a community to effectively
address localisues and concerns.” CIDA (2002) memberikan pengertian
kapasitas sebagai ”the abilities, skill and understandings, attitudes, values,
relationships, behaviors, motivations, resources and condition that enable
44

individuals, organisations, network/sectors, and broader social system to carry


out functions, and achieve their development objectives over times.”
Berkaitan dengan pendidikan, Mardikanto (1993) mendefinisikan
kapasitas belajar sebagai kemampuan seseorang untuk menerima rangsangan atau
pengalaman baru. Kapasitas belajar ini dipengaruhi oleh keadaan fisik seperti
jenis kelamin, keadaan psikis berupa umur dan tingkat pendidikan serta faktor
lingkungan sosial budaya..
Dalam kaitan dengan penelitian ini, kapasitas merupakan kemampuan
individu masyarakat untuk berpartisipasi dalam kemitraan pengelolaan TNKT.
Slamet (2003) mengemukakan bahwa kemampuan, kemauan dan kesempatan
merupakan syarat bagi masyarakat untuk partisipasi. Kemampuan dipengaruhi
oleh pengetahuan, ketramplan dan sikap mental. Pengetahuan sangat perlu bagi
masyarakat sehingga mereka cepat tanggap terhadap kesempatan yang ada.
Meyer (2001) mengemukakan bahwa praktek kemitraan atau kolaborasi tidak
dapat direalisir semata-mata berdasarkan kesepakatan antar pihak; seringkali
terdapat kesenjangan kapasitas di antara stakeholder berkait dengan pengelolaan
sumberdaya yang dapat menghalangi kemitraan.
Dengan mengambil kasus petani, Scroorl (Yolanda, 2000)
mengemukakan bahwa partisipasi petani timbul dari kepincangan struktural yang
terdapat dalam sistem sosial, yakni kepincangan antara kemampuan menyerap
informasi dan kesempatan untuk menggunakan informasi. Kepincangan dapat
timbul karena antara lain: (1) Kemampuan untuk menyerap informasi bertambah,
akan tetapi kesempatan untuk menerapkannya relatif tidak ada; (2) kemampuan
dan kesempatan itu kedua-duanya bertambah, tetapi bertambahnya kemampuan
lebih cepat daripada bertambahnya kesempatan; dan (3) kemampuan bertambah,
sedangkan bersamaan dengan itu, kesempatan berkurang.
Salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas tersebut adalah melalui
penyuluhan. Tentang hal ini, Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa
kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan adalah sejalan dengan
efectivitas proses belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar membuat mereka
memahami informasi, memprosesnya menjadi pengetahuan (kognitif) dan mampu
45

berbuat (konatif) serta termotivasi (afektif) untuk bertindak. Keseluruhan proses


ini merupakan ruang lingkup peran penyuluhan. Sejalan dengan pandangan ini,
Farid (2008) mengemukakan bahwa peningkatan kapasitas masyarakat harus
bertolak dari tata nilai, prioritas kebutuhan dan mengorganisasikan mereka untuk
melakukannya sendiri.

Pengetahuan
Menurut Soekanto (2002), pengetahuan adalah kesan didalam pikiran
seseorang sebagai hasil penggunaan pancaindera, yang berbeda sekali dengan
kepercayaan (beliefs), takhayul (supertition) dan penerangan yang keliru
(misinformation). Walgito (2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
mengenal suatu obyek baru selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut
dan dapat bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang obyek itu. Meskipun
tidak selalu linier, umunya bila seseorang bersikap tertentu terhadap suatu obyek,
berarti orang tersebut telah mengetahui dengan benar tentang obyek dimaksud..

Kibler et al. (Zahid, 1997) mendefinisikan pengetahuan sebagai ingatan


mengenai sesuatu yang bersifat spesifik atau umum; ingatan mengenai metode
atau proses; ingatan mengenai pola, susunan atau keadaan. Hal itu selaras dengan
yang dikemukakan oleh Winkel (1987) bahwa pengetahuan merupakan ingatan
tentang hal-hal yang pernah dipelajari (fakta, kaidah, prinsip atai metode).
Pengetahuan juga dapat dipandang sebagai sekumpulan informasi yang dipahami,
yang diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktu-
waktu sebagai alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungannya. Individu
mendapatkan pengetahuan baik melalui proses belajar, pengalaman atau melalui
media yang kemudian disimpan dalam memori individu.
Taksonomi Bloom mengklasifikasi rana pengetahuan dalam enam bagian,
yakni : (1) pengetahuan (knowledge): mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah
dipelajari; (2) pemahaman (comprehension): mencakup kemampuan untuk
menangkap makna dan arti; (3) penerapan (aplication); mencakup kemampuan
untuk menerapkan; (4) analisa (analysis): kemampuan merinci suatu kesatuan ke
dalam bagian-bagian; (5) sintesa (syntesis): mencakup kemampuan untuk
46

membentuk suatu kesatuan atau pola baru; dan (6) evaluasi (evaluation):
kemampuan membentuk pendapat mengenai sesuatu hal. Purwanto (2002)
menyebutkan bahwa pengetahuan seseorang dan jenis pengetahuan apa yang telah
dikuasainya memainkan peranan penting dalam pekerjaannya.

Ketrampilan
Ketrampilan dapat didefinisikan sebagai aspek perilaku yang berhubungan
dengan kemampuan menggerakkan otot-otot tubuh (Padmowihardjo, 2001).
Namun, ahli lain mengemukakan bahwa ketrampilan tidak dibatasi pada aspek
fisik semata. Spencer et al, (1993) mengemukakan bahwa ketrampilan adalah
kecakapan menyelesaikan tugas baik fisik maupun mental. Dalam tulisan Yukl
(1994) ketrampilan dibagi atas tiga kategori sebagai berikut: (1) Teknis (teknical
skill), lebih bersifat fisik dan berkait dengan peralatan; (2) Hubungan antar pribadi
(interpersonal skill), berupa empati, persuasi dll.; dan (3) ketrampilan konseptual
(conceptual skill), bersifat nalar dan analitis.
Menurut Winkel (1987), ranah instruksional di bidang psikomotorik ada
tujuh, yakni: (1) persepsi: kemampuan mengadakan diskriminasi antara dua
perangsang atau lebih, berdasarkan perbedaan ciri fisik yang khas; (2) kesiapan:
kemampuan menempatkan dirinya dan akan memulai suatu rangkaian gerakan; (3)
gerakan terbimbing mencakup kemampuan melakukan suatu rangkaian gerak,
sesuai dengan contoh yang diberikan; (4) gerakan yang terbiasa; kemampuan
untuk melakukan suatu rangkaian gerak dengan lancar karena sudah dilatih
secukupnya; (5) gerakan komplek; kemampuan melakukan keterampilan atas
beberapa komponen, dengan lancar, tepat dan efisien; (6) penyesuaian pola
gerakan; kemampuan mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak
dengan kondisi setempat; dan (7) kreativitas: kemampuan melahirkan pola gerak
baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.

Sikap Mental
Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungan
seseorang yang kurang lebih bersifat permanent mengenai aspek-aspek tertentu
dalam lingkungannya (van den Ban dan Hawkins, 1999). Sikap adalah
47

kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi


obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi.
Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil
belajar sehingga dapat diperteguh atau diubah (Rakhmat, 2001). Siti Amanah
(2006) mempertegas bahwa sikap adalah kecenderungan dan kesiapan untuk
bertindak atau merespon, bukan tindakan atau respon itu sendiri. Pandangan ini
mengacu pada definisi sikap oleh Gagne (1977), yaitu: ”. . . . .an internal state
that influence (moderates) the choices of personal action made by the individual”.
Menurut Walgito (2002), sikap terbentuk dalam perkembangan individu
dan faktor pengalaman individu mempunyai peranan sangat penting dalam rangka
pembentukan sikap. Selanjutnya dikemukan bahwa untuk mengukur sikap
dapatlah digunakan pernyataan dan subjek yang diteliti akan memilih salah satu
jawaban yang disediakan, misalkan: sangat setuju, setuju, tidak mempunyai
pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju, dan seseorang menanggapai sesuatu
pernyataan hanya dapat memilih satu dari lima jawaban tersebut.
Mar’at (1981) menyebutkan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu, selanjutnya memberikan nilai
terhadap stimulus dalam bentuk baik dan buruk, positif atau negatif,
menyenangkan atau tidak, setuju atau tidak setuju kemudian mengkristal sebagai
potensi reaksi terhadap obyek sikap. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sarwono
(2002) bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang, yang ditunjukan dalam
kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang.
Kratwohl dan Bloom (Soenarmo, 2005) membagi aspek sikap mental
ke dalam lima macam, yakni: (1) penerimaan (receiving): kepekaan
memperhatikan rangsangan itu; (2) reaksi untuk menanggapi (responding): reaksi
tanggapan; (3) penilaian (valuing): kemampuan memberikan penilaian terhadap
sesuatu; (4) pengorganisasian (organization): kemampuan membentuk sesuatu
sistem nilai; dan (5) pengaturan (characterization by a value complex) atau
pembentukan pola hidup: mencakup kemampuan mengahayati nilai-nilai
48

kehidupan sedemikian rupa sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan


menjadi pegangan dalam mengatur kehidupan sendiri.

Kesetaraan
Kesetaraan atau kesederajatan atau persamaan adalah merupakan salah
satu azas atau prasyarat yang sangat esensial dalam proses partisipasi dan
kemitraan. Kata kesetaraan adalah terjemahan dari bahasa inggeris “equality”.
Dalam Dictionary: quick_english-indonesian - WordNet dapat didefinisi sebagai; (1) the
quality of being the same in quantity or measure or value or status (ant:
inequality), dan (2) a state of being essentially equal or equivalent; equally
balanced; "on a par with the best" (http://kamus.landak.com/cari/equality).
Menurut Wiktionary - Wikipedia, kesetaraan biasanya secara umum
menunjukan pada ide tentang persamaan perlakuan (Equality commonly refers to
the idea of equal treatment). Kata “equality” juga sering dikaitkan dengan (1)
Egalitarianism, the belief that all/some people ought to be treated equally, (2)
Equality before the law, (3) Equality of opportunity, (4) Equality of outcome or
equality of condition, (5) Gender equality (6) Social equality (http: //en.
wikipedia.org/wiki/Equality).
Dalam kaitan dengan penelitian ini, kesetaraan secara sosial merupakan
terminology yang sangat relevan untuk dikaji. Dalam literatur elektronik (http : //
en. wikipedia. Org / wiki / Equality ) , kesetaraan sosial atau “Social equality”
didefinisikan sebagai;
“. . . a social state of affairs in which all people within a specific society
or isolated group have the same status in a certain respect. At the very
least, social equality includes equal rights under the law, such as
security, voting rights, freedom of speech and assembly, and the extent of
property rights. However, it also includes access to education, health
care and other social securities. It also includes equal opportunities and
obligations, and so involves the whole society” ‘Equal opportunities’ is
interpreted as being judged by ability, which is compatible with a free-
market economy.”

Dari uraian definisi kesetraan ini terlihat cakupan yang luas mulai dari
persamaan hak dasar hingga hak pribadi termasuk akses pada pendidikan dan
kesehatan serta persamaan untuk memperoleh kesempatan berdasarkan
49

kemampuan dari individu atau kelompok masyarakat. Pandangan ini sejalan


dengan uraian Tadjudin (2000), bahwa kesetaraan atau kesederajatan dalam
pengelolaan SDA, memandang bahwa semua orang memiliki derajat yang sama,
diimplementasi melalui pengakuan terhadap hak-hak setiap stakeholder. Hak
tersebut dapat berupa hak milik (individu dan ulayat), hak kultivasi (guna usaha),
hak akses (memanfaatkan atau memungut hasil), dan hak pengelolaan.

Partisipasi Pengelolaan Taman Nasional Pola Kemitraan

Pengertian Taman Nasional


Taman Nasional, oleh IUCN (1980) didefinisikan sebagai areal dimana:
(1) Satu atau beberapa ekosistem tidak berubah oleh kegiatan eksploitasi atau
pemilikan lahan; spesies flora dan fauna, kondisi geomorfologi dan kondisi
habitatnya memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan nilai rekreasi atau yang memiliki
nilai lanskap alam dengan keindahan yang tinggi; (2) Pemerintah perlu
memberikan perhatian untuk mencegah kegiatan eksploitasi atau penyerobotan
lahan serta mencari upaya efektif untuk mempertahankan kepentingan ekologi,
geomorfologi atau keindahan alamnya; dan (3) Pengunjung diperbolehkan masuk
dengan tujuan mendapatkan inspirasi, pendidikan, kebudayaan dan rekreasi.
Dalam Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang koservasi SDA hayati
dan ekosistem, Kawasan Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Tujuan ditetapkannya taman
Nasional adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati
serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan. Adapun fungsi
kawasan Taman Nasional adalah sebagai tempat perlindungan sistem penyangga
kehidupan; sebagai wilayah pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
atau satwa beserta ekosistemnya dan untuk pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya.
50

Berdasarkan sistem zonasi pengelolaannya kawasan taman nasional dapat


dibagi atas: (1) zona inti, (2) zona pemanfaatan, dan (3) zona rimba dan atau
zona lain yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian SDA hayati
dan ekosistemnya. Ditetapkan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut: (1) mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya, (2) mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit
penyusunnya, (3) mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang
masih asli dan atau belum diganggu manusia, (4) mempunyai luas yang cukup
dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin
berlangsungnya proses ekologis secara alami, (5) mempunyai ciri khas
potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya
konservasi, dan (6) mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta
ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut : (1) mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa
formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik, (2)
mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik
untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam, (3) kondisi lingkungan di
sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam, (4) Ditetapkan
sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut, (5) kawasan
yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa
yang perlu dilakukan upaya konservasi, (6) memiliki keanekaragaman jenis
dalam menyangga pelestarian zona inti dan pemanfaatan, dan (7) merupakan
tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
Zona inti dimanfaatkan untuk keperluan: (a) penelitian dan pengembangan
yang menunjang pemanfaatan, (b) ilmu pengetahuan, (c) pendidikan, dan (d)
kegiatan penunjang budidaya. Zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk
keperluan: (a) pariwisata dan rekreasi, (b) penelitian dan pengembangan, dan
(c) pendidikan dan atau kegiatan penunjang budidaya. Zona Rimba dapat
dimanfaatkan untuk keperluan: (a) penelitian dan pengembangan yang menunjang
51

pemanfaatan, (b) ilmu pengetahuan, (c) pendidikan, (d) kegiatan penunjang


budidaya, dan (e) wisata alam terbatas.

Partisipasi dan Kemitraan dalam Pengelolaan Taman Nasional

Pengelolaan kawasan konservasi menghadapi berbagai masalah yang


amat kompleks. Salah satunya adalah terbatasnya kemampuan pemerintah dalam
menjaga keutuhan ekosistemnya sehingga berubah menjadi sumberdaya alam
yang terbuka (open acces). Kondisi ini sering kali dimanfaatkan pihak yang tidak
bertanggung jawab (free-rider) bagi keuntungan ekonomi jangka pendek dengan
mengorbankan keutuhan ekosistem. Perkembangan saat ini justru makin parah
karena proses pengrusakan terjadi melalui kerjasama berbagai pihak dengan
masyarakat lokal sebagai pelaksana lapangan.
Kenyataan tersebut, menurut berbagai kalangan ditengarai akibat
perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan perlindungan selama ini yang
kurang partisipatif, transparan, bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
Konsekwesinya, kurang terakomodasi aspirasi terutama masyarakat lokal
sehingga muncul keenganan untuk ikut berbagi peran dan tanggung jawab
(sharing of role and responsibility).
Dalam kaitan ini, sesungguhnya keberpihakan kita pada masyarakat lokal
tidak sekedar karena mereka lemah dari sisi kapasitas, atau karena memiliki
pengetahuan lokal yang positif dan atau sebaliknya karena mereka memiliki
perilaku merusak sebagai ancaman. Keberpihakan atau pembelaan lebih esensial
karena kehidupan perekonomian dan budayanya sangat tergantung pada
sumberdaya alam disekitarnya (Tadjudin, 2000). Dengan kata lain, keberpihakan
patut dilakukan karena mereka memiliki hak, baik akses maupun milik untuk
mengelola. Kenyataan memperlihatkan bahwa peminggiran hak ini berimplikasi
pada hilangnya kearifan lokal yang unggul dan menggusur peran dan tanggung
jawab tradisional serta memunculkan perilaku baru masyarakat yang merusak.
Hasil penelitian Tampubolon dan Nahar (2007) di Kepalauan Togean menunjukan
bahwa pengakuan hak (recognition) menjadi kata kunci kesediaan masyarakat
untuk mau bermitra dalam pengelolaan taman nasional.
52

Dalam Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, disebutkan


bahwa “Konservasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga
masyarakat. Hal ini memperkuat pengakuan Negara terhadap hak adat yang
menurut peraturan perundang-undang dijamin. Disamping itu, secara nyata
(defacto), sesungguhnya masyarakat telah memiliki sistem pengelolaan SDA
secara tradisional yang terbukti hingga kini sesuai dengan prinsip konservasi.
Sesungguhnya telah ditawarkan berbagai konsep konservasi antara lain
“Integrated Concervation and development Program” (ICDP) yang bertujuan
menjembatani upaya konservasi dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat
dengan melibatkan masyarakat lokal (Wells dan Brandon, 1995). Menurut
Adiwibowo dkk. (2009), konsep ini kemudian berkembang menjadi konsep
kesepakatan antara pengelola kawasan konservasi dan masyarakat. Di taman
nasional Kerinci, konsep ini dikenal dengan Kesepakatan Konservasi Desa
(KKD) dan di taman nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah dikenal dengan
Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM).
Menurut Manulang (Kassa, 2009), konsep kesepakatan konservasi atau
KKD/KKM diperlukan karena beberapa alasan antara lain: (1). masyarakat tidak
atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud kehadiran sebuah kawasan
konservasi di daerah mereka, (2). masyarakat menyangka mereka akan sangat
dirugikan oleh kehadiran kawasan konservasi di daerah mereka, dan (3) pihak
pengelola belum atau tidak mengenal sepenuhnya keadaan dan aspirasi
masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
Atas dorongan dan komitmen berbagai pihak baik dari regulasi maupun
emperik memperkuat gagasan untuk mendorong peranserta masyarakat dalam
pengelolaan SDA. Berbagai terminologi diperkenalkan antara lain: pengelolaan
berbasis masyarakat “community based manajemen,” mengikutsertakan para
pihak “stakeholder participation,” berbagi tanggung jawab “sharing of
responsibility.” berbagi manfaat atau sharing of benefit dan berbagi peran atau
sharing of role. Apapun model yang ditawarkan untuk menjembatani kepentingan
bersama ini, terminologi partisipasi dan kemitraan menjadi kata kuncinya.
53

Beberapa tahun terakhir ini ditawarkan satu konsep kemitraan dalam


mengelola SDA, dengan istilah Collaborative manajement (co-management).
Cukup sulit untuk menemukan kecocokan kata kolaborasi dalam bahasa
Indonesia. Kata gotong royong dapat dipertimbangkan, namun tidak cukup kuat
untuk menggantikan kata kolaborasi. Gotong royong bermakna kegiatan yang
melibatkan semua pihak, tetapi terlalu bermuatan sosial dan kurang muatan
ekonominya. Disamping itu, secara tradisonal terlalu merefleksikan kontribusi
sukarela yang didorong oleh kewajiban sosial. Jadi, bukan merupakan suatu
mekanisme kerja yang didorong oleh pengakuan hak dari setiap pihak yang
bekerja bersama.
Berkaitan dengan itu Sen dan Nielsen (1996) mengajukan 5 (lima ) bentuk
co-manajemen yakni: (1) instruktif, (2) konsultatif, (3) kooperatif, (4)
pendampingan, dan (5) informatif, dajikan pada Gambar 2.

Stated-based management

Community-based management

State Co-management Community


centralized self-
management Instructive – Consultative – Cooperative – Advisory management
I f ti
Gambar 1 Kategori atau susunan dari bentuk Co-manajemen.
Sumber: Sen & Nielsen (1996).

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat diartikan bahwa pengelolaan


dengan pola co-manajemen kawasan konservasi adalah kemitraan di antara para
pihak untuk menyetujui berbagi fungsi, wewenang dan tanggung-jawab. Co-
manajemen menurut Borrini-Feyerabend et al.(2000), berbeda dengan
pengelolaan partisipatori lainnya atau dengan pengelolaan berbasis masyarakat
(community-based resources management), karena menuntut adanya kesadaran
dan distribusi tanggung-jawab pemerintah secara formal Dalam konteks ini,
konsultasi masyarakat dan perencanaan partisipatif ditujukan untuk menetapkan
54

bentuk-bentuk peranserta yang lebih tahan lama, terukur dan setara dengan
melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan terkait dan sah (legitimate)
dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam.
Beberapa rumusan dari tujuan kemitraan dalam mengelola SDA yang
diadopsi dari Tadjudin (2000) adalah: (1) menyediakan instrumen untuk
mengenali stakeholder. Pada stakeholder, melekat atribut berupa : hak, aspirasi,
tujuan individu, kelembagaan dan potensi konflik. Keberadaannya harus diakui
secara adil, tanpa pretensi memenangkan pihak tertentu; (2) meningkatkan
potensi kerja sama antar stakeholder secara egaliter dengan prinsip kemakmuran
bersama dan prinsip kelestarian lingkungan hidup; (3) menciptakan mekanisme
pemberdayaan agar teraktualisasi pengetahuan/kearifan lokal secara baik sehingga
lahir sistem pendistribusian manfaat dan resiko yang adil; (4) menciptakan
mekanisme pembelajaran dialogik guna merumusan pola pendayagunaan SDA
yang produktif dan lestari; (5) memperbaiki tindakan perlindungan SDA melalui
mekanisme internalisasi hal-hal eksternal yang mengancam kelestarian SDA; dan
(6) menyediakan sistem manajemen yang membuka kesempatan selebar-lebarnya
bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan manajerialnya.
Berbagai kegiatan partisipatif pengelolaan taman nasional berupa
penataan kawasan: (1) penguatan perlindungan dan pengamanan, dan (2)
penguatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan; pengembangan
SDM petugas dan masyarakat; pengembangan sarana dan prasarana penunjang
kolaborasi (pengelolaan dan pemanfaatan); dan pembinaan partisipasi masyarakat
( program peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat).
55

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Kerangka Berpikir

Menurut Cole et al. (Sumardjo, 1999), pembangunan berkelanjutan (PB)


(sustainable development), dan interdependensi ekonomi dan lingkungan
(environment) merupakan konsep yang semakin penting di dunia sejak awal tahun
1970 an. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, merupakan esensi dasar
yang menjadi sasaran akhir dari penelitian ini, yaitu tercapainya keseimbangan
antara kelestarian alam di satu sisi dan kesejahteraan masyarakat di sisi yang lain.
Dalam laporan World Commission on Environment and Development, UN
tahun 1987 berjudul Our Common Future, tercantum konsep pembangunan
berkelanjutan yang didefinisikan sebagai “pembangunan yang berusaha untuk
memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang
akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.” Selanjutnya Bank
Dunia pada tahun 1988 (Sumardjo, 1999) memasukkan proposisi bahwa
pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan (the alleviation of poverty) dan
manajemen lingkungan hidup (environmental management) harus mendapat
perhatian secara konsisten dan terus menerus. Kegiatan tersebut sangat
membutuhkan partisipasi dari semua pihak baik, masyarakat, pemerintah maupun
stakeholder lainnya. Tentang hal ini, dapat disimak pada uraian berikut :(http//
wikipedia/org/wiki/economic/social/environmental/ atural_resources).

“A sustainable approach to development is one which takes account of


economic, social and environmental factors to produce projects and
programmes which will have results which are not dependent on finite
resources. Something which is sustainable will not use more natural
resources than the local environment can supply; more financial
resources than the local community and markets can sustain; and will
have the necessary support from the community, government and
other stakeholders to carry on indefinitely.”

Pada era tahun 1980 an, istilah keberlanjutan atau sustainable mulai
dipopulerkan dan dikaitkan dengan konsep ekologi, kemudian berkembang pada
tiga aspek secara integratif yaitu: ekologi, sosial dan ekonomi. Keberlanjutan
56

sumberdaya alam bermakna kondisi yang memungkinkan terjadinya kelestarian,


mendukung kehidupan ekonomi manusia dan terjaganya tatanan kehidupan sosial
masayarakat. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan beberapa syarat antara lain:
pertama, meningkatkan potensi produksi yang ramah lingkungan hidup. Kedua,
menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Kedua
syarat ini pada hakikatnya ialah ramah lingkungan hidup, sosial-ekonomi dan
budaya. Di bidang pertanian (Reijntjes et al., 1995) bahkan memperluas cakupan
definisi keberlanjutan pada aspek kemanusiaan dan adaptasi (Sumardjo, 1999).
Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting berkaitan
dengan kenyataan bahwa perilaku masyarakat dalam mengembangkan usahanya
berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam, umumnya tidak sekedar
tidak mampu meningkatkan pendapatan usahanya tetapi juga sekaligus merusak
lingkungann hidup tempat atau sumber usaha. Siti Amanah (2006) menguraikan
dua masalah utama perilaku masyarakat dalam pemanfaatan SDA pesisir, yaitu:
(1) usaha yang umumnya bersifat subsisten, keterbatasan modal, bergantung pada
satu sektor usaha dan rendahnya kemauan dan kemampuan kegiatan pasca panen
atau diversifikasi usaha, dan kesulitan pemasaran; dan (2) perilaku sebagian
masyarakat dalam menangkap ikan yang merusak lingkungan dengan
menggunakan kompresor, dan zat kimia (potassium cyanide). Sinyalemen ini
relatif serupa dengan kejadian yang ada di Kepulauan Togean.
Berbagai upaya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan terutama
dari segi ekologis telah dilakukan, antara lain dengan menetapkan kawasan
konservasi. Salah satu bentuk penetapan kawasan konservasi tersebut adalah
Tanaman Nasional sebagai upaya mencegah terjadinya kerusakan yang semakin
parah. Namun, meskipun konsep Taman Nasional telah dirumuskan dengan tiga
fungsi : (1) sebagai kawasan perlindungan; (2) kawasan untuk mempertahankan
keragaman jenis tumbuhan dan satwa; dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari
potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, tetap masih menimbulkan
masalah yang pelik di masyarakat. Hal ini berkaitan dengan adaptasi dan
tarnsformasi perilaku tertentu dan respon masyarakat terhadap konsep dan
implementasi kawasan konservasi. Wilayah masyarakat yang sebelumnya
57

terbuka (open access) menjadi tertutup (close access). Masyarakat yang


sebelumnya bebas mengeksplotasi SDA menjadi terbatas dengan aturan main
tertentu yang disyaratkan sebuah kawasan konservasi.
Hal lain yang mendasar dan sering memperkeruh konflik adalah tidak
diikutsertakannya masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
serta evaluasi dari penetapan dan operasionalisasi Taman Nasional. Akibatnya
hak dan tanggung jawab masyarakat terabaikan serta ketidak jelasan manfaat
yang diperoleh. Disamping itu, implementasi konsep Taman Nasional pada masa
lalu yang terlalu berorientasi pada kelestarian alam dan mengabaikan aspek
kepentingan atau kebutuhan masyarakat lokal.
Menyadari akan hal tersebut maka melalui proses yang cukup panjang
sejak tahun 2001, lahirlah satu konsep partisipasi dalam pengelolaan kawasan
konservasi termasuk taman nasional. Pada tahun 2004, keluarlah Peraturan
menteri kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004, tentang kemitraan pengelolaan
Taman Nasional yang populer dikenal dengan “pengelolaan kolaboratif.”
Konsep ini, sebagaimana tertulis dalam naskah akademik permenhut tersebut,
telah mendorong terjadinya pergeseran cara pandang pada bidang pengelolaan
kawasan yang dilindungi (protected area), antara lain ;
(1) Dari semata mata kawasan perlindungan keanekaragaman hayati ke
perlindungan yang memiliki fungsi sosial-ekonomi jangka panjang untuk
pembangunan berkelanjutan.
(2) Beban biaya yang semula hanya pemerintah menjadi pemerintah dan
penerima manfaat (beneficery pays principle).
(3) Penentuan Kebijakan dari atas menjadi dari bawah (participatory)
(4) Dari pengelolaan berbasis pemerintah (state base manajement) manjadi
berbasis multi-stakeholder (collaborative manajement) atau berbasis
masyarakat lokal (local community based)
(5) Perubahan pola pelayanan pemerintah dari birokratis-normatif menjadi
profesional-responsif, fleksibel-netral.
(6) Tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis.
(7) Peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan fasilitator.
58

Paradigma Partisapsi dan Kemitraan


Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi, apalagi termuat
secara resmi dalam peraturan menteri, mencerminkan suatu upaya untuk
mewujudkan efektivitas pengelolaan kawasan yang dilindungi, terpenuhinya
kebutuhan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan
sumberdaya alam, serta terpenuhinya keinginan para pihak untuk mengakhiri
konflik tanpa ada pihak yang dikalahkan atau merasa dikalahkan.
Untuk mengukur atau memetakan tingkat peran partisipasi stakeholder
dalam kemitraan pengeloaan kawasan konservasi, The International Institute for
Environment and Development (IIED) (Meyers, 2001), mengajukan satu
pendekatan yang dikenal dengan The four Rs (empat R). Piranti empat R ini
berusaha untuk menjadikan istilah “peranan” lebih operasional dengan
menerjemahkannya ke dalam Right (hak), Responsibilities (tanggung jawab),
Revenue (manfaat yang diterima) dan Relationship (hubungan) di antara
stakeholder. Penulis mengadopsi dan memodivikasi piranti empat R tersebut
untuk mengukur berpartisipasi atau tidak berpartisipasinya masyarakat kepualaun
Togean dalam pengelolaan TNKT. Indikator partisipasi dan non partisipasi
dalam pengelolaan TNKT dengan pola kemitraan yang mengacu pada piranti
empat R dapat dilihat pada Tabel 2.

Paradigma Kapasitas Masyarakat


Implementasi konsep partisiapsi dan kemitraan hingga kini masih
menemui banyak sekali kendala dan belum ada satupun kawasan konservasi
yang sukses menerapkan konsep ini dengan memuaskan. Dalam kenyataannya,
kelompok yang merasa kalah atau merasa akan dikalahkan adalah masyarakat
lokal, karena mereka memiliki keterbatasan kapasitas dalam berbagai hal. Oleh
karena itu maka keberpihakan yang nyata sebagai upaya untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat agar setara dengan stakeholder lain amatlah penting karena
merupakan salah satu prinsip mutlak dari kemitraan. Paradigma kapasitas yang
dibangun dalam riset ini diadopsi dan dimodivikasi oleh penulis dari konsepsi
para ahli dan disesuaikan dengan kondisi lapangan dan semangat kemitraan.
59

Indikator untuk mengukur paradigma kapasitas individu masyarakat kepulauan


Togean disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Paradigma Partisipasi Masyarakat melalui Pola Kemitraan.


Peubah Indi Non Partisipatif Pertisipatif
Kator
Pemerintah/instansi terkait atau * Masyarakat terlibat dalam
pihak luar yang menentukan sosialisasi TNKT
semua hal menyangkut * Masyarakat terlibat meng -
identifikasi kebutuhan, identifikasi kebutuhan ( felt and
potensi, prioritas masalah, real need).
jenis program, pelaku * terlibat mengidentifikasi potensi.
Hak (Right)

program, sumber/ besar biaya, * terlibat menentukan prioritas


waktu, lokasi dan sasaran masalah
program (pendekatan top * terlibat menentukan jenis
down). program.
* terlibat menentukan pelaku
program
* terlibat menentukan sumber/
besar biaya.
Partisipasi dalamProses Kemitraan

* terlibat menentukan waktu,lokasi


dan sasaran
Tanggung jawab
(Responsibility)

pemerintah mengalokasikan * masyarakat terlibat memberikan


sumberdaya dan melaksanakan kontribusi
program, masyarakat hanya * terlibat dalam sosialisasi program
menonton dan bermasa bodoh * terlibat dan pelaksanaan program.
pada program yang ada. * terlibat dalam memelihara hasil
Program
Pemerintah mengontrol * masyarakat terlibat menentukan
Manfaat (Revenue)

segalanya dan masyarakat manfaat program


tinggal menerima hasil dan * terlibatan memanfaatkan hasil
menanggung resiko. program
* terlibat dalam menanggung resiko
program
* terlibat dalam menilai hasil akhir
program

* terjadi hubungan saling * Terbangun hubungan saling


Relasi (Relation)

curiga pengertian/serasi antara


* komunikasi tidak harmonis stakeholder.
antar stakeholder. * tercipta komunikasi yang setara
* tdak ada kepedulian antar antar stakeholder
stakeholder. * tercipta kerjasama antar
stakeholder (PEMDA, BTNKT,
SWASTA).
60

Tabel 3. Paradigma Kapasitas Individu Masyarakat, Rendah dan Tinggi..


Pe Indi- Rendah Tinggi
kator
Ubah
* pengetahuan terbatas pada apa yg * pengetahuan luas terkait
Pengetahuan

diperoleh secara turun temurun. inovasi usaha yang ramah


* tidak mengetahui adanya hal baru lingkungan
yang dapat dimanfaatkan untuk * Memahami pentingnya belajar
kemajuan usaha. hal yang baru untuk kemajuan
* tidak faham konservasi usahanya secara berkelanjutan.
* mengerti pentinya konservasi
Kapasitas Individu Masyarakat

* Memliki ketrampilan terbatas. * Memiliki variasi ketrampilan


Sikap mental Ketrampilan.

* Memakai alat yg merusak * Memakai alat ramah


* Pengambilan karang berlebihan lingkungan
* konversi bakau berlebihan * Pengendalian dan pemulihan
(transplantasi karang)
* Pengendalian dan replanting
* sulit menerima perbedaan * mudah menerima perbedaan
* sulit menerima perubahan * mudah menerima perubahan
* bereaksi negatif thdp inovasi * bereaksi positif terhadap
* selalu curiga dan skeptis inovasi
* sulit bekerjasama * terbuka, dan saling percaya
* mudah berkerja sama
* Selalu merasa minder * Percaya diri.
* Tdk menghargai hak orang lain. * Menghargai hak-hak orang
Kesetaraan

* Pasrah kepada keadaan. lain


* Selalu berusaha untuk
mengatasi keadaan

Paradigma Penyuluhan
Diasumsikan bahwa meningkatnya kapasitas masyarakat sebagai salah
satu syarat partisipasi dalam pengelolaan taman nasional dengan pola kemitraan
merupakan fungsi pendidikan yang dilaluinya, dalam hal ini adalah penyuluhan.
Paradigma penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini adalah penyuluhan
yang bersifat partisipatif baik diukur dari materi, metode, media, frekwensi
interaksi klien dengan penyuluh serta kemampuan penyuluhnya. Paradigma
penyuluhan partisipatif dan non partisipatif yang dibangun dalam penelitian ini
diadopsi dan dimodivikasi dari berbagai ahli. Indikator dari penyuluhan yang
partisipatif dan non partisipatif tersebut disajikan pada Tabel 4.
61

Tabel 4 Paradigma Penyuluhan Partisipatif dan non partisipatif.


Peu Indi Non Partisipastif Partisipastif
bah kator
penyuluhan * berdasar kebutuhan program * menjawab kebutuhan masyarakat
yang ditetapkan dari luar. setempat
Materi

* teknologi diintrodusir dari luar * menggali dari teknologi yg


tanpa pertimbangan lokal berkembang di masyarakat.
* ditentukan sepihak dari luar * dibicarakan bersama mayarakat
Setempat
* berorientasi pada penyuluh atau * mengacu pada keadaan
penyuluhan penyuluhan

pihak luar. masyarakat setempat


Metoda

* menggurui dan searah. * dialogis, suasana demokratis dan


berbagi pengalaman.
Proses penyuluhan

* di tentukan oleh penyuluh * disesuaikan kebutuhan


* tergantung pada alat bantu dari masyarakat setempat
luar * dapat memanfaatkan apa yang
Media

ada di lapangan.
.
* Jarang berkomunikasi dengan * aktif membangun komunikasi
dgnpenyuluh

penyuluh dengan penyuluh


Frekwensi

* tidak terdapat jadwal pertemuan * disepakati pertemuan periodik


interaksi

periodik antara masyarakat dengan


penyuluh.

* lemah dalam komunikasi dan * memiliki kemampuan teknis dan


motivasi. non teknis yang memadai .
Kemampuan

* Jarang mengunjungi masyarakat * mengunjungi masyarakat secara


* ikut memecahkan masalah periodik
penyuluh

masyarakat * sering ikut mencari solusi dari


masalah yang dihadapi
masyarakat

Hubungan antar Peubah Penelitian


Pendekatan kemitraan (co-management) untuk tujuan eksploitasi
sumberdaya alam yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan ekologi dapat
dipandang sebagai hal yang baru di Indonesia. Secara resmi, pendekatan ini
baru diakui Negara pada tahun 2004. Sebagai hal yang baru, konsep tersebut
dapat dipandang sebagai sebuah inovasi yang memerlukan persyaratan tertentu
bagi masyarakat untuk mengadopsinya. Untuk sampai ketingkat adopsi inovasi
tersebut harus melalui transformasi perubahan perilaku atau kesediaan untuk
berpartisipasi. Dalam kaitan ini, partisipasi terhadap konsep kemitraan ini
dipandang sebagai bentuk dari perilaku (Madrie, 1986 dan Sahidu, 1998).
62

Pandangan tersebut mengacu pada pandangan Beal (Madrie, 1986) sebagai


berikut : “. . . there are many subtle behavior pattern intern of gestures, attitude,
or manner that constute participation.
Untuk dapat berperilaku tertentu, Oppenheim (1966), menerangkan ada
dua hal yang mendukungnya, yaitu: (1) ada unsur yang mendorong untuk
berperilaku tertentu itu pada diri seseorang (person inner determinant), dan (2)
terdapat lingkungan (environmental factor) yang memungkinkan terjadinya
perilaku tertentu.
Kedua faktor yang mempengaruhi perilaku partisipasi masyarakat yang
dalam penelitian ini dijabarkan sebagai faktor yang bersumber dari dalam
diri individu masyarakat, lingkungan sosialnya dan faktor rekayasa atau
intervensi dalam bentuk penyuluhan. Faktor-faktor tersebut baik secara langsung
maupun melalui peningkatan kapasitas masyarakat, berpengaruh terhadap
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan bersama taman nasional Kepulaun
Togean. Faktor–faktor ini selanjutnya dijadikan sebagai peubah bebas yang
akan diteliti untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan.
Peubah bebas yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari tiga faktor
yaitu: karakteristik individu masyarakat yang terdiri dari (pendidikan,
pengalaman, persepsi, motivasi, kosmopolitan, gender dan status sosial), proses
penyuluhan yang terdiri dari (materi penyuluhan, metoda penyuluhan, media
penyuluhan, frekwensi interaksi dengan penyuluh dan kemampuan penyuluh).
Karakteristik Lingkungan yang terdiri dari (norma yang dianut, kerja sama,
akses informasi, peran pemimpin informal dan konflik) dan Peubah terikat
terdiri dari dua faktor yaitu : kapasitas individu masyarakat yang terdiri dari
(pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, dan kesetaraan) dan partisipasi dalam
kemitraan yang terdiri dari (hak, tanggung jawab, manfaat, relasi dan solidaritas).
Gambaran yang lebih rinci mengenai peubah dan cara mengukurnya, akan
disajikan pada bahagian metodologi.
Secara skematis kerangka berpikir dan keterkaitan antar peubah dalam
Pengelolaan TNKT untuk kesejahteraan dan konservasi lingkungan, disajikan
pada Gambar 2.
63

KARAKTERISTIK
INTERNAL (X1)
X11 Pendidikan
X12 Pengalaman
X13 Persepsi
X14 Motivasi
X15 Kosmopolitan
X16 Gender
X15 Status Sosial

KAPASITAS DIRI
MASYARAKAT (Y1)

PROGRAM Y11 Pengetahuan


PENYULUHAN (X2) Y12 Ketrampilan
Y13 Sikap mental
X21 Materi Y14 Kesetaraan
X22 Metoda
X23 Media
X24 Interaksi dengan
penyuluh
X25 Kemampuan

PARTISIPASI
MASYARAKAT (Y2)
FAKTOR Y21 Hak
LINGKUNGAN (X3) Y22 Tanggung jawab
X31 Norma Y23 Manfaat
X32 Kerja sama Y24 Relasi
Y25 Solidaritas
X33 Akses informasi
X34 Pemimpin Informal
X35 Potensi Konflik

Keterangan:
= Hubungan langsung
= Hubungan tidak langsung
= Hubungan korelasi

Gambar 2 Alur hubungan antar peubah penelitian.


64

Gambar 2 menunjukkan adanya hubungan langsung maupun tidak


langsung dari karakteristik penyuluh, kompetensi penyuluh dan motivasi
penyuluh pada kinerja mereka maupun perilaku petani. Selain itu terdapat pula
hubungan korelasi antara karakteristik penyuluh, kompetensi penyuluh dan
motivasi penyuluh.

Hipotesis

Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dijelaskan, dapat dirumuskan


hipotesis kerja penelitian sebagai berikut:
(1) Karakteristik internal, proses penyuluhan, dan faktor lingkungan
berpengaruh nyata pada kapasitas diri individu masyarakat dalam
pengelolaan TNKT
(2) Karakteristik individu, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas
diri individu masyarakat berpengaruh nyata pada partisipasi mereka
dalam pengelolaan TNKT
(3) Terdapat hubungan yang nyata antara peubah karakteristik internal, proses
penyuluhan dan faktor lingkungan.
65

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, jenis penelitian yang digunakan adalah


penelitian deskriptif explanatory (Singarimbun dan Effendi, 1989), yaitu jenis
penelitian untuk mendiskripsikan, menguji hubungan dan pengaruh antar
peubah, mengacu pada hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Jenis
penelitian ini juga disebut sebagai “ex Post Facto,” yaitu bentuk penelitian
untuk menilai peristiwa yang telah terjadi guna menemukan faktor-faktor
penyebab melalui pengamatan atau penilaian kondisi faktual di lapangan.
Pengamatan utama penelitian adalah menilai kapasitas masyarakat dan partispasi
mereka dalam pengelolaan TNKT serta mempelajari faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan analisis
deskriptif dan paradigma kuantitatif sesuai pendapat Miller, Black dan
Champion (Sumardjo, 1999) sebagai tumpuan analisis, dilengkapi dengan
informasi berdasarkan data kualitatif sesuai pendapat Dey dan Moleong
(Sumardjo, 1999) untuk mendukung dan mempertajam analisis kuantitatif.
Tujuan utama dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat
suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan
memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Sevilla et al. 1993).
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui wawancara, pengisian questioner maupun FGD
dengan teknik ”search conference” baik kepada responden maupun kepada
informan, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil penelitian terdahulu dan
kajian pustaka yang relevan serta data yang telah dikumpulkan pihak lain baik
seperti Balai TNKT dan intansi pemerintah lainnya, maupun kalangan NGO.

Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Lokasi TNKT Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi
Sulawesi Tengah, pada bulan Agustus–September 2008. Pemilihan lokasi
66

penelitian didasarkan pada (1) adanya kebijakan baru penetapan Taman


Nasional yang dikelola secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat sekitar
kawasan, (2) belum banyaknya contoh pengelolaan Taman Nasional yang
dirancang dengan pendekatan partisipasi masyarakat sekitar kawasan dengan pola
kemitraan, dan (3) meskipun letaknya terpencil, namun sarana transportasi dan
komunikasi cukup lancar.

Populasi dan Sampel Panelitian

Populasi penelitian adalah masyarakat pada tiga kecamatan di kawasan


Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT), Kabupaten Towuna Provinsi
Sulawesi Tengah yang melakukan kegiatan dominan dibidang pertanian dan
perikanan. Berdasarkan hasil survei awal (prelimenery survey) yang diadakan
pada akhir bulan agustus 2007, ditetapkan tiga desa yang dijadikan sampel
secara sengaja “purposive sampling” berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tertentu (Singarimbun dan Effendi, 1989). Tiga desa yang dipilih yaitu: Desa
Lembanato di Kecamatan Togean, desa Kabalutan di Kecamatan Walea
kepulauan dan desa Tanjung Pude di Kecamatan Una-una. Tiga kecamatan dan
tiga desa yang dipilih secara sengaja tersebut didasarkan atas rumusan masalah,
tujuan dan kerangka pemikiran, kemudian diterjemahkan dalam bentuk kriteria
atau indikator-indikator, serta pertimbangan keterbatasan waktu dan dana serta
akurasinya (Oppenheim, 1966).
Adapun indikator penentuan desa-desa tersebut mewakili beberapa hal
antara lain: desa terbuka dan terisolir, kondisi ekologis yang masih baik maupun
telah mengalami kerusakan, penyebaran penduduk baik jumlah maupun suku
bangsa serta homogenitasnya, sentuhan penyuluhan atau program konservasi,
dan ada tidaknya kearifan lokal yang masih dianut masyarakatnya.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak berstrata (stratified ramdom
sampling) (Singarimbun dan Effendi, 1989) serta disesuaikan dengan prosedur
penggunaan ukuran sampel dalam pengujian Struktral Equation Modeling (SEM).
Persyaratan penggunaan “sampel size” dalam pengujian SEM (Solimun, 2002)
adalah sebagai beriku :
67

(1) Bila parameter menggunakan metode kemungkinan maksimum ; besar


sampel yang digunakan adalah 100-200 ; minimum absolutnya adalah 50.
(2) Sebanyak 5-10 kali jumlah parameter dalam model yang akan diduga.
(3) Sama dengan 5-10 kali jumlah peubah manifest (indikator) dari
keseluruhan peubah/peubah laten.
(4) Secara umum program Linier Struktural Relation (LISREL) yang
digunakan dalam analisis SEM menghendaki ukuran sampel 10 kali
jumlah peubah.
(5) Besar sampel minimum dalam LISREL adalah 10 kali jumlah parameter
(independen) yang ada dalam model yang diduga.

Teknik penentuan jumlah sampelnya menggunakan rumus Slovin


(Riduwan, 2004) sebagai berikut:

N
n=
N.d2 + 1

Keterangan: n = jumlah sampel


N = Jumlah populasi
d2 = Presisi yang ditetapkan
Presisi dalam pengambilan sampel ini sebesar 13 %.

Jumlah sampel penelitian sebanyak 166 orang dengan perincian pada tiap
kecamatan disajikan pada Tabel 5. Selain sampel, informasi juga diperoleh dari
informan kunci seperti : pemuka masyarakat, kepala Desa, pengurus organisasi
masyarakat, penyuluh atau fasilitator/pendamping masyarakat termasuk pegiat
NGO dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan Manula, perempuan dan
anak muda yang keseluruhannya berjumlah 40 orang. Informasi yang diharapkan
dari informan kunci ini terutama menyangkut perubahan lingkungan kawasan
TNKT dan aspek sosial ekonomi dan harapan tentang masa depan kawasan yang
dijadikan lokasi penelitian.
68

Tabel 5. Rincian Sampel Penelitian berdasarkan data sensus tahun 2007

No Kecamatan Nama Jumlah Jumlah Keterangan


Desa Populasi Sampel
(jiwa)
1 Una-Una Tanjung 572 53 Desa terbuka, dekat ibu
kota kecamatan, nelayan
Pude
dan petani
2 Walea Kabalutan 2027 58 Desa pesisir (terisolir),
nelayan.
3 Togean Lembanato 740 55 Desa pedalaman
(terisolir), petani
Total 166

Instrumentasi
Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah yang
dikaji. Validitas instrumen adalah tingkat kesesuaian antara konsep dengan hasil
pengukuran dari konsep yang bersangkutan. Kesesuaian ditentukan dengan
mengadakan perbandingan antara konsep nominal dengan definisi operasional.
Validitas daftar pertanyaan diperlukan untuk mendapatkan data yang sesuai
dengan tujuan penelitian. Validitas dimaksud adalah bangun pengertian
(Construct validity), berkenaan dengan kesanggupan alat ukur mengenai
pengertian yang terkandung dalam materi yang diukurnya (Sujana, 2003).
Menurut Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1989), alat ukur dikatakan
sahih (valid) bila alat ukur tersebut dapat mengukur obyek yang sebenarnya ingin
diukur. Terdapat beberapa cara untuk menetapkan kesahihan atau keabsahan
suatu alat ukur yang dipakai, yaitu (1) validitas konstruk : artinya peneliti
menyusun tolok ukur operasional dari kerangka suatu konsep yang akan diukur,
(2) validitas isi : yakni alat ukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap
sebagai aspek kerangka konsep, dan (3) validitas eksternal : yakni alat ukur baru
yang akan digunakan tidak berbeda hasilnya jika dibandingkan dengan alat ukur
yang sudah valid.
Pengujian validitas instrumen dalam penelitian ini digunakan cara validitas
konstruk, yaitu menyusun tolok ukur operasional dari kerangka suatu konsep
69

dengan cara pemahaman atau logika berpikir atas dasar pengetahuan ilmiah yang
isi kuesionernya disesuaikan dengan konsep dan teori yang telah dikemukakan
oleh para ahli. Disamping itu, melakukan konsultasi dengan pihak yang dianggap
menguasai materi daftar kuesioner yang digunakan.
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan tingkat konsistensi suatu alat
ukur, sehingga dapat dipercaya atau diandalkan. Suatu alat ukur dikatakan
mempunyai tingkat keterandalan tinggi (reliable) apabila alat ukur tersebut
digunakan dua kali atau lebih untuk mengukur gejala yang sama mempunyai hasil
pengukuran relatif konsisten (Singarimbun dan Effendi, 1989). Hasil uji validitas
dan reabilitas secara lengkap dapat dilihat pada bagian lampiran dan intisarinya
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Instrument Penelitian

No Peubah Validitas Reabilitas Keterangan


1 (X1) 0,581-0,824 0,859 valid dan
Faktor Internal reliabel
2 (X2) 0,721-0,801 0,856 valid dan
Proses penyuluhan reliabel
3 (X3) 0,623-0,801 0,857 valid dan
Faktor lingkungan reliabel
4 (Y1) 0,821-0,857 0,857 valid dan
Kapasitas reliabel
5 (Y2) 0,617-0,848 0,858 valid dan
Partisispasi reliabel

Keterangan : Dilakukan juga uji validitas dan reabilitas dengan menggunakan analisis SEM
(Structural Equation Model) dengan program LISREL. Hasil pengujian tersebut
menunjukan nilai valid dan reliabel (lamp. 1 dan 3).

Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah


Definisi operasional menurut Singarimbun dan Effendi (1989), adalah
suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti untuk mengetahui
bagaimana mengukur peubah yang digunakan. Untuk kepentingan pengujian
secara statistik, perlu dilakukan transformasi agar semua data yang terkumpul
memiliki kisaran yang sama, yaitu 0 – 100. Mengacu pada Sumardjo (1999),
pedoman transformasi dapat dilakukan dengan menentukan nilai indeks terkecil
70

diberikan untuk jumlah skor terendah dan nilai 100 untuk jumlah skor tertinggi
dari tiap indikator. Transfromasi semacam ini digunakann untuk menghitung nilai
keragaman yang terjadi dalam setiap peubah penelitian ini, terutama yang
berskala ordinal menjadi interval atau rasio sehingga layak diuji dengan
menggunakan statistik parametrik.
Rumus umum transformasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :

(1). Transformasi Indek Indikator :


Jumlah skor yang dicapai – Jumlah skor minimum yang diharapkan
------------------------------------------------------------------------------------------ x 100
Jumlah skor maksimum yang diharapkan – skor minimum yang diharapkan

(2). Transformasi Indek Peubah


Jumlah skor yang dicapai – Jumlah skor minimum yang diharapkan
------------------------------------------------------------------------------------------ x 100
Jumlah skor maksimum yang diharapkan – skor minimum yang diharapkan

Ket : selang nilai indek peubah 0 - 100

Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah :


(1). Karakteristik Individu Masyarakat (X1), adalah ciri-ciri yang melekat pada
individu masyarakat yang membedakan dirinya dengan orang lain.
Karakteristik Individu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan
formal, pendidikan non formal, persepsi, motivasi, kosmopolitan, pengalaman
dan gender dengan sejumlah indikator dan pengukurannya (Tabel 7).
71

Tabel 7. Indikator dan pengukuran karakteristik individu masyarakat.


Peubah Indikator/patokan Parameter/ukuran Satuan
X.1.1. Tingkat pendidikan Tidak Tamat SD
Pendidikan formal. Tamat SD, SMP
SMA, Tamat S1, S2,
S3.
Pendidikan non formal Berapa kali/
(kursus, penyuluhan dan Frekwensi.
pelatihan.
X.1.2 Pendapat atau Sangat tidak setuju
Persepsi pemahaman terhadap Tidak setuju
pengelolaan TNKT secara Netral
berkelanjutan Setuju
Sangat setuju
Karakteristik Individu {X1)

X.1.3 Hal yang mendorong Sangat rendah


Motivasi responden baik dari dalam Rendah
(intristik) maupun dari Sedang
luar (ekstrinsik) untuk Tinggi
terlibat dalam pengelolaan Sangat Tinggi
TNKT
X. 1.4. Tingkat hubungan Jarak dan
Kosmopolitan, seseorang dengan dunia Frekwensi
luar di luar system
sosialnya.
X.1.5. Waktu yang dicurahkan Tahun kerja
Pengalaman Usaha untuk kegiatan usahanya
X.1.6 Pandangan responden Sangat tidak setuju
Gender tentang kesenjangan/ Tidak setuju
hambatan/akses dalam Netral
pengelolaan TNKT Setuju
karena jenis kelamin . Sangat setuju
X.1.7 Pandangan responden Sangat tidak setuju
Status sosial tentang posisi sosial Tidak setuju
individu masyarakat Netral
terkait budya, pendidikan Setuju
dan harta Sangat setuju

(2). Proses Penyuluhan (X2 ), adalah serangkaian kegiatan dan kebutuhan yang
diperlukan untuk menjamin efektifitas dari kegiatan penyuluhan. Proses
penyuluhan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah materi penyuluhan,
metoda penyuluhan, media penyuluhan, frekwensi interaksi masyarakat
dengan penyuluh dan kemampuan penyuluh dengan sejumlah indikator dan
pengukurannya (Tabel 8).
72

Tabel 8 Indikator dan pengukuran proses penyuluhan.


Peubah Indikator/patokan Parameter/ukuran Satuan
X.2.1. Segala sesuatu yang diajarkan Sangat tidak setuju
Materi penyuluhan kepada masyarakat pada saat Tidak setuju
penyuluhan, diukur Netral
berdasarkan penilaian Setuju
responden terhadap kesesuaian Sangat setuju
materi dengan kebutuhan
usahanya.
X.2.2. Cara penyampaian materi Sangat tidak setuju
Metoda penyuluhan penyuluhan yang dapat Tidak setuju
dimengerti dan diterima Netral
sasaran , diukur berdasarkan Setuju
Proses penyuluhan {X2)

penilaian responden terhadap Sangat setuju


jenis metoda yang digunakan.
X.2.3. Alat Bantu untuk memperjelas Sangat tidak setuju
Media penyuluhan, penyampaian materi Tidak setuju
penyuluhan, diukur Netral
berdasarkan penilaian Setuju
responden terhadap jenis Sangat setuju
media yang digunakan
X.2.4. Tingkat intensitas bertemunya Sangat tidak setuju
Frekwensi interaksi responden dengan penyuluh, Tidak setuju
masyarakat dengan untuk mendapatkan informasi Netral
penyuluh tentang usahanya. Setuju
Sangat setuju
X.2.5. Kemampuan penyuluh dalam Sangat tidak setuju
Kemampuan melakukan tugas penyuluhan, Tidak setuju
penyuluh diukur berdasarkan penilaian Netral
responden terhadap Setuju
kemampuan penyuluh dalam Sangat setuju
memebrikan materi
penyuluhan.

(3). Karakteristik Lingkungan Eksternal (X3 ), adalah kondisi faktor-faktor


eksternal yang berpengaruh terhadap keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan TNKT dengan pola kemitraan. Karakteristik Lingkungan
eksternal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah norma yang dianut,
kerja sama, peran pemimpin informal, dan akses informasi dan konflik
dengan sejumlah indikator dan pengukurannya (Tabel 9).
73

Tabel 9 Indikator dan pengukuran Karakteristik Lingkungan Sosial.


Peubah Indikator/patokan Parameter/ukuran Pilihan
jawaban
X.3.1. Ketersediaan norma atau adat yang Benar
masih berlaku. Salah
Norma Tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap norma adat yang berlaku.
X.3.2. Ketersediaan model kerja sama Benar
Kerja sama antar stakeholder Salah
Tingkat kepercayaan terhadap
sesama
Frekwensi mengikuti kegiatan
organisasi sosial
Karakteristik Lingkungan {X3)

X. 3.3 Tingkat ketersediaan sumber Benar


Akses Informasi informasi Salah
Tingkat Kemudahan untuk
memperoleh informasi.
Tingkat kesesuaian informasi
Tingkat keakuratan informasi
Tingkat keaktualan informasi
X.3.4. Tingkat kepercayaan masyarakat Benar
Peran pemimpin padanya Salah
in formal keaktifan dalam memecahkan
masalah social
Tingkat kepatuhan masyarakat
padanya
Keikutsertaan pengikut
Memotivasi pengikut
X. 3.5. Tingkat intensitas konflik di Benar
Konflik masyarakat Salah
Aktor yang terlibat dalam konflik
Penyebab terjadinya konflik
Cara mengatasi konflik
Tingkat keaktifan mencegah konlik

(4). Kapasitas Individu Masyarakat (Y1), adalah daya yang ada pada diri
seseorang untuk mengambil keputusan (untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu) berkaitan dengan keterlibatannya dalam pengelolaan
TNKT. Kapasitas Individu msayarakat yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah daya yang diekspresikan melalui pegetahuan, ketrampilan, sikap
mental, dan perasaan setara dengan sejumlah indikator dan pengukurannya
disajikan pada Tabel 10.
74

Tabel 10. Indikator dan pengukuran Kapasitas Individu Masyarakat.


Peubah Indikator Parameter Satuan
(patokan) (ukuran)
Y.1.1. Segala sesuatu yang Sangat tidak setuju
Pengetahuan diketahui/pemahaman Tidak setuju
masyarakat tentang pengelolaan Netral
TNKT secara berkelanjutan Setuju
Kapasitas Individu Masyarakat {Y1)

Sangat setuju
Y.1.2. Kecakapan yang dimiliki Sangat tidak setuju
Ketrampilan masyarakat untuk melaksanakan Tidak setuju
usahanya, diukur berdasarkan Netral
kemampuan psikomotorik Setuju
tentang pengelolaan TNKT Sangat setuju
secara berkelanjutan
Y.1.3 Sikap mental yang dimiliki Sangat tidak setuju
Sikap mental masyarakat berkaitan dengan Tidak setuju
keberadaan TNKT dan Netral
pengelolaannya. Setuju
Sangat setuju
Y.2.4 Kesetaraan Sikap satu individu terhadap Sangat tidak setuju
dirinya dan terhadap individu Tidak setuju
lain terkait persamaan hak Netral
dalam pengelolaan TNKT . Setuju
Sangat setuju

(5). Partisipasi dalam kemitraan (Y2), adalah suatu proses dimana Partisipasi
dalam kemitraan adalah kesediaan individu masyarakat untuk terlibat dalam
pengelolaan TNKT, didasari oleh prinsip persamaan hak melalui hubungan
yang setara dan adil serta kesadaran akan tanggung jawab atas manfaat
yang diperoleh dan resiko yang dihadapi bersama. Partisipasi masyarakat
ini diukur melalui kualitas dan kuantitas keterlibatan masyarakat mulai dari
merencanakan, melaksanakan, memperoleh manfaat hingga melakukan
evaluasi terhadap kegiatan atau program secara berkelanjutan dengan
sejumlah indikator dan pengukurannya (Tabel 11).
75

Tabel 11 Indikator dan Pengukuran Partisipasi Masyarakat Melalui Proses


Kemitraan.

Peubah Indikator Parameter Satuan


(patokan) (ukuran)
Y.2.1. Terlibat dalam identifikasi masalah Tidak Pernah
Hak (Right) Terlibat dalam identifikasi potensi Kadang kadang
Terlibat menentukan prioritas Sering
masalah Selalu
Terlibat menentukan jenis program.
Terlibat menentukan waktu dan lokasi
program
Y.2.2. Terlibat dalam memberikan Tidak Pernah
Tanggung jawab kontribusi Kadang kadang
Partisipasi dalam Kemitraan {Y2)

Responsibility) Terlibat dalam sosialisasi program Sering


Terlibat dan pelaksanaan program. Selalu
Terlibat memelihara hasil program
Y.2.3. Terlibat menentukan manfaat Tidak Pernah
Manfaat program Kadang kadang
(Revenue). Terlibat memanfaatkan hasil program Sering
Terlibat dalam menanggung resiko Selalu
program
Terlibat menilai (evaluasi) hasil akhir
program
Y.2.4. Terlibat dalam membangun kerjasama Tidak Pernah
Relasi (Relation) secara adil. Kadang kadang
Terlibat menjaga kelangsungan Sering
hubungan yang setara antar sesama Selalu
Terlibat mendorong semangat gotong
royong di masyarakat
Y2.5. Terlibat membangun kepedulian Tidak Pernah
Solidaritas kepedulian masyarakat (community Kadang kadang
care) Sering
Terlibat mendorong semangat Selalu
kesukarelaan

Analisis Data

Seluruh data yang terkumpul ditabulasi sesuai dengan kategorinya, lalu


dianalisis sesuai kebutuhan penelitian. Untuk mengetahui hubungan antar peubah
penelitian dan menemukan model empiris hubungan antar peubah dan faktor-
faktor pendukungnya, digunakan analisis SEM dengan program LISREL.
Pengujian kesesuaian model dilakukan dengan menggunakan beberapa
ukuran kesesuaian model Goodness-of-Fit-Test (GFT). Menurut Joreskog &
76

Sorbon dalam Kusnendi (2008) bahwa suatu model struktural diindikasikan sesuai
atau fit bila memenuhi tiga jenis GFT, yaitu: 1) p-value ≥ 0,05, 2) Root Means
Square Error of Approximation (RMSEA) ≤ 0,08, dan Comparative Fit Indeks
(CFI) ≥ 0,90.
Analisis data yang menggunakan model persamaan struktural (Structural
Equation Modeling, SEM) tersebut dimaksudkan untuk menguji kerangka
hipotetik seperti tertera pada gambar 3. Untuk mengestimasi parameter model,
dirumuskan persamaan model pengukuran dan persamaan model struktural
sebagai berikut:

• Persamaan model pengukuran


(1) Pengukuran peubah karakteristik
X1.1 = λ1 X1 + δ1
X1.2 = λ2 X1 + δ2
X1.3 = λ3 X1 + δ3
X1.4 = λ4 X1 + δ4
X1.5 = λ5 X1 + δ5
X1.6 = λ6 X1 + δ6
X1.7 = λ7 X1 + δ7
(2) Pengukuran peubah proses penyuluhan
X2.1 = λ8 X2 + δ8
X2.2 = λ9 X2 + δ9
X2.3 = λ10 X2 + δ10
X2.4 = λ11 X2 + δ11
X2.5 = λ12 X2 + δ12
77

δ1 δ2 δ3 δ4 δ5 δ6 δ7

X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7

λ1 λ2 λ3 λ4 λ5 λ6 λ7

Karakteristik Y1.1 Є1
Internal λ18
δ8 X2.1 (X1)
λ8
γ1
Y1.2 Є2

δ9 X2.2 λ9 φ1 ζ1 λ19

γ4 Y1.3 Є3
δ10 X2.3 λ20
λ10 Φ3 Proses Kapasitas
X2.4 penyuluhan masyarakat
δ11 γ2 λ21
Y1.4 Є4
λ11 (X2) Y1)

δ12 X2.5 λ12 γ5


Φ2 β

Faktor γ3
lingkungan λ22
Y2.1
Partisipasi Є5
(X3) masyarakat
λ13 γ6 (Y2) λ23
δ13 X3.1 Y2.2 Є6
ζ2 λ24
λ14
δ14 λ15 λ16 λ17 λ26 λ25
X3.2 Y2.3 Є7

X3.3 X3.4 X3.5 Y2.5 Y2.4

δ15 δ16 δ17 Є9 Є8

Gambar 3 Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian.


78

(3) Pengukuran peubah faktor lingkungan


X3.1 = λ13 X3 + δ13
X3.2 = λ14 X3 + δ14
X3.3 = λ15 X3 + δ15
X3.4 = λ16 X3 + δ16
X3.5 = λ17 X3 + δ17
(4) Pengukuran kapasitas individu masyarakat
Y1.1 = λ18 Y1 + є1
Y1.2 = λ19 Y1 + є2
Y1.3 = λ20 Y1 + є3
Y1.4 = λ20 Y1 + є4
(5) Pengukuran peubah partispasi
Y2.1 = λ21 Y2 + є12
Y2.2 = λ22 Y2 + є13
Y2.3 = λ23 Y1 + є3
Y2.4 = λ24 Y1 + є4
Y2.5 = λ25 Y1 + є3
• Persamaan model struktural
(1) Model kapasitas masyarakat
Y1 = γ1 X1 + γ2 X2 + γ3 X3 + ζ1
(2) Model partisipasi masyarakat
Y2 = γ4 X1 + γ5 X2 + γ6 X3 + β Y1 + ζ2
Untuk menguji model, dirumuskan rancangan pengujian model, tertera
pada Tabel 12.
79

Tabel 12 Rancangan pengujian model penelitian partisipasi masyarakat.

Model Hipotesis Statistik Kriteria


Uji Uji
Overall Hо: Matriks kovariansi data sampel tidak Nilai p, Diharapkan
Model Fit berbeda dengan matriks kovariansi populasi RMSEA, Hо diterima,
yang diestimasi. Dan CFI jika: p ≥
H1: Matriks kovariansi sampel berbeda dgn 0,05;
matriks kovariansi populasi yang diestimasi. RMSEA
< 0,08
dan atau
CFI > 0,90
Model Hо: γ1 = γ2 = γ3 = 0: Karakteristik atau Nilai t Diharapkan
kapasitas proses atau lingkungan tidak Ho ditolak,
masyarakat berpengaruh pada kapasitas jika: nilai
masyarakat. t-hitung
H1: γ1 > 0: Karakteristik berpengaruh nyata ≥ 1,96
pada kapasitas masyarakat.
H1: γ2 > 0: Proses berpengaruh nyata pada
kapasitas masyarakat.
H1: γ3 > 0: Lingkungan berpengaruh nyata
pada kapasitas masyarakat.
Model Hо: γ4 = γ5 = γ6 = β = 0: Karakteristik atau Nilai t Diharapkan
partisipasi proses atau lingkungan atau kapasitas Ho ditolak,
Masyarakat tidak berpengaruh pada partisipasi. jika: nilai
H1: γ1 > 0: Karakteristik berpengaruh nyata t-hitung
pada partisipasi masyarakat. ≥ 1,96
H1: γ2 > 0: Proses berpengaruh nyata pada
partisipasi masyarakat.
H1: γ3 > 0: Lingkungan berpengaruh nyata
pada partisipasi masyarakat.
H1: β > 0: Kapasitas berpengaruh nyata
pada partispasi masyarakat.

Penjelasan peubah dan sub peubah dari model pada Gambar 4 dijelaskan
pada Tabel 13.
80

Tabel 13. Peubah dan Sub Peubah Model Persamaan Struktural.

No. Peubah Sub peubah Notasi

Laten Eksogen

1. Karakteristik Internal Pendidkan X1.1


(X1) Pengalaman X1.2
Persepsi X1.3
Motivasi X1.4
Kosmopolitan X1.5
Gender X1.6
Status sosial X1.7
2. Proses Penyluhan Materi X2.1
(X2)
Metoda X2.2
Media X2.3
Interaksi penyuluh X2.4
Kemampuan penyuluh X2.5
3. Faktor lingkungan Norma X3.1
(X3)
Kerja sama X3.2
Akses Informas i X3.3
Pemimpin informal X3.4
Potensi konflik X3.5

Laten Endogen

1. Kapasitas masyarakat Pengetahuan Y1.1


(Y1)
Ketrampilan Y1.2
Sikap mental Y1.3
Kesetaraan Y1.4
2. Partisipasi masyarakat Hak Y2.1
(Y2)
Tanggung Jawab. Y2.2
Manfaat Y2.3
Relasi Y2.4
Solidaritas Y2.5
81

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Letak dan Luasan


Secara Geografis Kepulauan Togean terletak di tengah Teluk Tomini yang
memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat 00°08'21"-00°45'12" LS dan
121°33'36 BT, dengan luas daratan kurang lebih 755,4 Km2, , terdiri dari kurang
lebih 50 pulau besar dan kecil (CII, 2005) (Gambar 3)..
Kepulauan Togean termasuk dalam wilayah Kabupaten Tojo Una-Una
(sejak tahun 2003) yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Poso.
Pengelolaannya mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan
Togean yang dibuat oleh Kabupaten Poso sebagai kabupaten induk. Berdasarkan SK
Gubernur Sulawesi Tengah nomor 136/1028/Bappeda tahun 1996, kawasan hutan
Kepulauan Togean dibagi menjadi hutan lindung, Area Penggunaan Lain, Hutan
Produksi yang dapat dikonversi, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Dengan
penunjukan sebagai Taman Nasional, fungsi hutan yang menjadikan pengelolaan
yang berbasis pemanfaatan SDA yang terarah.

Gambar 4. Peta Administrasi Kepulauan Togean

Kawasan Kepulauan Togean tidak hanya memiliki arti penting bagi


Kabupaten Tojo Una-Una, namun bagi ekosistem Teluk Tomini. Kawasan ini
82

berfungsi sebagai area perlindungan flora dan fauna khas dan endemik, fungsi
hidrologi serta optimalisasi pemanfaatan SDA laut, sekaligus juga mendukung
perkembangan perekonomian daerah khususnya di bidang pariwisata dan perikanan.
Bahkan secara nasional Kepulauan Togean menjadi bagian dari Program
Pengembangan Perikanan Terpadu Teluk Tomini.
Pada tahun 2004, menteri Kehutanan RI berdasarkan SK No.
418/Menhut/04 menunjuk kawasan ini menjadi TNKT seluas 362.605 ha yang
meliputi 25.832 ha wilayah daratan dan 336.773 ha wilayah perairan (CII, 2005).

Kondisi Biologi
Kepulauan Togean memiliki berbagai tipe ekosistem flora dan fauna,
baik di darat maupun di laut, mulai dari terumbu karang (coral reefs), serta
padang lamun (sea-grass bed), mangrove dan hutan dataran rendah:

(1) Terumbu karang


Kepulauan Togean merupakan salah satu bagian ekosistem terumbu
karang penting dari ”segitiga terumbu karang” (coral triangle)(Gambar
4) yang merupakan area-area yang memiliki keragaman karang tertinggi di
dunia. Coral triangle ini meliputi wilayah Indonesia, Philipina, Malaysia,
Papua Nugini, hingga Kepulauan Micronesia. Dalam dokumen Marine
Rapid Assessment Program (MRAP) dinyatakan bahwa Togean merupakan
"the heart of coral triangle" (Hutabarat, 1996).
Hasil MRAP di Kepulauan Togean yang dilakukan oleh CII
bekerjasama dengan Lembaga Oceanografi LIPI dan Universitas
Hasanuddin berhasil mengidentifikasi sedikitnya 262 spesies karang,
termasuk jenis endemik Togean, yaitu Acropora togeanensis pada 11 titik
pengamatan. Enam jenis karang baru juga ditemukan di Kepulauan Togean.
Studi tersebut juga mencatat jenis ikan terumbu karang di
Kepulauan Togean sebanyak 596 species ikan yang termasuk dalam 62
famili. Jenis Paracheilinus togeanensis dan Ecsenius sp diduga kuat
merupakan endemik yang hanya bisa ditemukan di Kepulauan Togean.
83

Selain itu juga tercatat 555 species moluska dari 103 famili, 336 jenis
gastropoda, 211 jenis bivalvia, 2 jenis cephalopoda, 2 jenis scaphopoda dan
4 jenis chiton.

Gambar 5. Segi Tiga Terumbu Karang Yang Meliputi: 1 = Teluk Tomini; 2 =


Kalimantan Bagian Utara; Kalimantan; 3 = Sulawesi Tenggara; 4 =
Lesser Sunda; 5 = Kepala Burung (Raja Ampat, Teluk Cenderwasi);
6 = Halmahera; 7 = Area Sula Spur (Termasuk Kepulauan
Banggai); 8 = Laut Banda; 9 = Regio Fak Fak; 10 = Selat
Makassar/Laut Flores; 11 = Laut Sulawesi.

(2) Padang Lamun


Ekosistem padang lamun adalah ekosistem tumbuhan laut yang
tumbuh di dasar laut berpasir yang tidak terlalu dalam dan sinar masih
dapat menembus sehingga tumbuhan tersebut masih dapat berfotosintesa.
Ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove berfungsi sebagai
perangkap sedimen dan menstabilkan dasar perairan yang diakibatkan oleh
sedimen yang berasal dari daratan sehingga tidak masuk ke ekosistem
terumbu karang yang ada di belakangnya.
Ekosistem padang lamun mempunyai produktivitas yang tinggi
sehingga dapat menopang kehidupan berbagai organisme, tumbuhan
penyusun padang lamun di Perairan Kepulauan Togean berdasarkan hasil
pengumpulan data oleh tim pemetaan MCRMP (CII, 2005) dijumpai tujuh
species yaitu: Cymodocea rortundata, C. serulata, Enhalus acroides,
Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila ovalis dan
84

Syringodium isotifolium. Di setiap lokasi pengamatan dijumpai karakteristik


tumbuhan yang berbeda-beda. Species Thalassia hemprichii dan Enhalus
acroides hampir ditemukan di semua lokasi.
(3) Mangrove
Menurut data BKSDA dan Bappeda Kabupaten Poso, luas hutan
mangrove Kepulauan Togean diperkirakan ada sekitar 4.800 ha, tersebar di
pulau besar seperti Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian Pulau
Waleabahi, sedangkan hasil survei yang dilakukan oleh CII dan Yayasan
Pijak tahun 2001 mengidentifikasi ada 33 spesies mangrove di Kepulauan
Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14
spesies mangrove ikutan (associate mangrove). Ke-33 jenis mangrove
tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia.
Keberadaan hutan mangrove (bakau) di Kepulauan Togean selain
menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan
ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakat
Kepulauan Togean. Meski tidak terlalu luas, hutan mangrove memiliki
fungsi yang sangat penting bagi Kepulauan Togean yang merupakan
kawasan pulau-pulau kecil.
(4) Hutan Tropis Dataran Rendah
Hutan tropis dataran rendah di Kepulauan Togean meliputi areal
seluas 23.148 ha; keberadaan hutan tropis ini sangat mendukung
pengembangan ekowisata, penelitian dan kebutuhan penduduk, karena: (1)
merupakan habitat spesies flora dan fauna Togean yang dilindungi, (2)
sebagai daerah catchment area (area tangkapan air hujan) dalam
pengaturan tata air tanah, dan (3) daerah yang menyediakan laboratorium
alam bagi ilmuwan misalnya biologi dan biogeografi karena hewan langka
dan dilindungi terdapat di kawasan ini.
Flora dalam kawasan hutan di Kepulauan Togean terdiri dari jenis-
jenis pohon, liana berkayu, epifit, paku-pakuan, lumut dan jamur. Jenis
pohon komersial yang umum dijumpai antara lain adalah uru (Elmerrillia
85

ovalisor or podocarpus sp), palapi (Heritiera javanica), siuri


(Koordersiodendron pinnatum), Dracontomelon mangifera, Duabanga
moluccana, Anthocephalus macrophyllus, Sterculia dan Palquium, serta
beberapa jenis Dipterocarpaceae seperti: Shorea sp, Dipterocarpus sp dan
Hopea sp. Kawasan hutan mengalami pembukaan (hutan sekunder)
tegakan yang umum dijumpai adalah kole (Alphitonia excelsa), ndolia
(Cananga odorata), Anthocephalus chinensis, Alstonia spectabilis, Mallotus
spp., Macaranga spp., Nauclea orientalis dan Octomeles sumatrana.
Kepulauan Togean memiliki keragaman hayati fauna yang tinggi. Di
darat (terrestrial) dan di laut (marine) tercatat beberapa jenis fauna endemik
dan dilindungi, antara lain: (1) Babi Rusa (Babyrousa babirusa), dapat
dijumpai di Batudaka, Togean, Talakatoh, Malenge, Pangempa, Bambu
dan Batang yang populasinya mencapai 500 ekor. Babi rusa juga
dinyatakan sebagai hewan yang dilindungi oleh IUCN (CII, 2005); (2)
Kuskus (Phalanger ursinus); (3) Rusa (Cervus timorensis); (3) Biawak
Togean (Varanus salvator togeanus); (4) Tarsius (Tarsius sp); (5) Elang
Sulawesi (Spizaetus lanceolatus); (6) Julang Sulawesi atau Alo (Rhyticeros
cassidix); (7) monyet Togean (Macaca togeanus); dan (8) Kepiting
Kenari (Birgus latro).

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya


Secara administratif Kepulauan Togean dibagi ke dalam empat wilayah
Kecamatan, yaitu Kecamatan Una-una, Kecamatan Togean, dan Kecamatan
Walea Kepulauan dan Kecamatan Walea dengan jumlah Desa keseluruhan
mencapai 48 Desa yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Desa.
Selanjutnya dilaporkan bahwa penduduk Kepulauan Togean berjumlah 32.910
jiwa dengan kepadatan penduduk 38 jiwa per kilometer persegi yang menyebar
hampir di seluruh Kepulauan Togean.
Penduduk Togean memiliki latar belakang etnik yang beragam, di
antaranya adalah: Suku Bobongko, Bajau, Saluan, Togean, Kaili, Bare'e,
86

Ta'a, Pamona, Jawa, Gorontalo, dan Bugis. Suku Bobongko, Bajau, Saluan
dan Suku Togean sering dianggap sebagai etnis asli Kepulauan Togean.
Suku Togean banyak mendiami wilayah Kepulauan Togean bagian Barat dan
suku Saluan tersebar di beberapa Desa di Kecamatan Walea Kepulauan, sebelah
Timur Kepulauan Togean. Adapun Suku Bajau dan Suku Bobongko lebih
menyebar tetapi terkonsentrasi pada beberapa Desa tertentu. Jumlah penduduk
di Kepulauan Togean berdasarkan pengelompokkan etnis adalah sebagai
berikut; Pamona 16 jiwa, Ta'a 1.626 jiwa, Gorontalo 4.256 jiwa, Bare'e 674
jiwa, Bugis 2.395 jiwa, Bada 80 jiwa, Togean 7.238 jiwa, Jawa 910 jiwa dan
etnis lain yang tidak teridentifikasi 14.864 jiwa.
Seorang peneliti bahasa asal Belanda yang pernah tinggal di Teluk Kilat
pada tahun 1892, mencatat bahwa Suku Bobongko kemungkinan berasal dari
daerah Danau Limboto, Sulawesi Utara mengingat akar bahasanya yang sama.
Sedangkan Bahasa Suku Togean cenderung menyerupai Bahasa Bare'e dan
Taa yang ada di wilayah Ampana dan Tojo. Adapun Suku Saluan lebih
menyerupai bahasa yang digunakan di wilayah Balantak, Kabupaten Banggai,
jika demikian, maka sesungguhnya Kepulauan Togean sejak lama telah
menjadi daerah tujuan migrasi orang-orang dari wilayah daratan Sulawesi dan
sekitarnya (CII, 2005).
Berdasarkan latar belakang agama, Penduduk di Togean umumnya
beragama Islam, Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. Berdasarkan data BPS
tahun 2004 diketahui persentase jumlah penduduk berdasarkan agama adalah
sebagai berikut; Islam 98.99persen, Protestan 0.86persen, Katolik 0.04persen,
Hindu 0.02persen, dan Budha 0.09persen.

Profil Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Sampel

Untuk mendapatkan data terbaru mengenai kodisi sosial ekonomi dan


budaya masyarakat Desa di Kepulauan Togean, peneliti mengumpulkan data
Desa melalui kegiatan wawancara mendalam dan FGD dengan pola “Search
conference” di tiga Desa yang tersebar di tiga Kecamatan yaitu; Desa Tanjung
87

Pude Kecamatan Una-una, Desa Lembanato Kecamatan Togean, serta Desa


Kabalutan Kecamatan Wakai. Secara ringkas hasil survei di tiga Desa tersebut
adalah sebagai berikut:

Desa Tanjung Pude, Kecamatan Una-una.


Desa Tanjung Pude terletak di Kecamatan Una-una dengan luas wilayah
sebesar 7,26 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 572 orang. Etnis yang
mendiami Desa Tanjung Pude adalah Gorontalo, Mandar, Togean, Bugis, dan
Kaili. Penduduk Desa Tanjung Pude pada umumnya merupakan mantan
penduduk pulau Una-una yang mengungsi karena meletusnya gunung Colo pada
tahun 1983. Mata pencaharian utama penduduk secara garis besar terbagi atas
tiga jenis yaitu berkebun (± 50persen), nelayan (± 40persen) dan tukang
kayu/bangunan, pegawai, pelajar dan lain-lain (± 10persen). Nelayan Desa
Tanjung Pude menangkap ikan pada malam hari dengan menggunakan perahu
bagan dan rompong sedangkan pada pagi dan siang hari mereka ke darat untuk
menjual ikan di pasar atau pedagang pengumpul. Selain menangkap ikan untuk
konsumsi penduduk lokal, para nelayan juga menangkap ikan hidup jenis kerapu
dan sunu yang dijual ke pedagang pengumpul dan perusahaan swasta. Ikan hidup
ini kemudian diekspor ke Hongkong, China, Taiwan dan Jepang.
Karena mereka berasal dari pulau Una-una, maka lahan perkebunan petani
Desa Tanjung Pude terletak jauh di pulau Una-una yang dapat ditempuh dengan
perahu motor ± 3-4 jam perjalanan dari Desa. Jenis-jenis tanaman yang
dibudidayakan antara lain adalah cengkeh, kelapa, coklat dan jagung sebagai
tanaman sampingan. Hasil-hasil pertanian dan perkebunan ini biasanya
dipasarkan di pasar lokal di Wakai dan Ampana atau ke pedagang pengumpul.
Karena letak areal perkebunan yang jauh dari Desa, pada umumnya petani
menetap dalam jangka waktu beberapa hari di kebun. Setelah menetap dan
mengusahakan areal perkebunan di pulau Una-una, petani memasarkan hasil
perkebunan di ibukota Kecamatan dan kembali ke rumah. Di waktu senggang
mereka turun ke laut untuk mencari ikan untuk konsumsi sendiri.
88

Pada umumnya penduduk Desa mengetahui keberadaan Taman Nasional.


Mereka pun mengkhawatirkan terjadinya penyempitan ruang gerak masyarakat
dalam mengusahakan areal perkebunan dan mencari ikan dengan adanya Taman
Nasional. Dalam menentukan zonasi, mereka berharap pemerintah dapat
melibatkan masyarakat sehingga tidak terjadi penyempitan areal perkebunan dan
pembatasan ruang untuk mencari ikan. Masyarakat mendukung pemerintah
dalam penertiban nelayan pengguna bom dan bius. Masyarakat berharap kegiatan
destruktif tersebut dapat dikurangi karena aktivitas tersebut menyebabkan
berkurangnya hasil tangkapan ikan.

Desa Lembanato, Kecamatan Togean


Desa Lembanato terletak di pulau Togean, Kecamatan Togean dengan luas
wilayah 13,83 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 740 orang. Suku bangsa yang
mendiami Desa Lembanato amat homogen, seluruhnya adalah etnis Bobongko.
Mata pencaharian utama penduduk secara garis besar terbagi atas dua jenis yaitu
berkebun (± 90persen) dan nelayan (± 10persen). Nelayan biasanya menangkap
ikan pada malam hari dengan menggunakan perahu bagan dan rompong. Jenis
biota laut antara lain adalah ikan, udang, kepiting, cumi-cumi dan teripang.
Penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai petani pada umumnya
memiliki lahan pertanian/perkebunan. Jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan
antara lain adalah cengkeh, kelapa, dan coklat. Hasil-hasil pertanian dan
perkebunan ini biasanya dipasarkan di pasar lokal di Wakai dan Ampana atau ke
pedagang pengumpul. Kegiatan harian para petani ini dimulai pada pagi hari dan
kembali ke rumah pada sore hari. Ada kalanya mereka menginap di areal
pertanian pada saat menjelang panen untuk menjaga hasil pertanian dari para
pencuri. Di malam hari mereka turun ke laut untuk mencari ikan dengan alat
pancing untuk konsumsi sendiri.
Masyarakat Desa Lembanato telah mengetahui adanya Taman Nasional,
akan tetapi jika ada aturan-aturan baru perlu melibatkan masyarakat dalam
pengelolaannya. Di Desa Lembanato dan Matobiai telah ada Daerah Perlindungan
Laut (DPL) Teluk Kilat yang didampingi oleh Conservation International
89

Indonesia (CII). Selama ini kegiatan perlindungan terumbu karang telah berjalan
dengan baik selama ± 1,5 tahun dan masyarakat Desa telah merasakan
manfaatnya. Tokoh masyarakat yang diwawancarai berharap agar pola
pengelolaan DPL ini dapat diadopsi oleh pengelola TNKT.

Desa Kabalutan, Kecamatan Walea


Secara historis, pada tahun 1923, ada tiga orang dari kampung Benteng
bernama Camba, Peta dan Cati mencari teripang dan rotan di daerah ini. Mereka
membangun tempat tinggal sementara (sabua) yang kemudian juga di datangi oleh
imigran lainnya. Akhirnya, berkembang menjadi perkampungan yang diberi
nama Susunang. Nama ini kemudian berkembang menjadi Kabalutan (Rahmat,
2000). Desa Kabalutan ini didominasi oleh komunitas Bajo.
Kabalutan terletak di pulau Talatako, Kecamatan Walea dengan luas area
1.473 hektar. Sebagian besar areal didominasi oleh tanah berbatu (limestone)
sehinga sulit ditumbuhi tanaman. Sebahagian besar penduduk (90 persen) dari
total 2027 jiwa bermata pencaharian sebagai nelayan dan sekitar 80 persen
pendapatan masyarakat berasal dari sektor perikanan. Hanya bagian kecil
penduduk bergerak di bidang pertanian, peternakan, perdagangan, pelayan publik,
guru dan manteri, pengumpul kelapa. Penduduk lokal kabalutan juga memiliki
perkebunan di beberapa pulau di sekitar kampungnya. Mereka menanam kelapa,
kopi, cengkih, dan coklat. Perkebunan merupakan pendapatan alternatife
terutama ketika musim melaut sedang sulit (musim angin dan ombak).
Terdapat pasar mingguan dan beberapa kios di mana masyarakat menjual
dan membeli barang kebutuhan sehari-hari. Pada tahun 2006 lalu, diprakarsai
oleh kepala Desa, penduduk Kabalutan berhasil membongkar gunung,
meratakannya dan kemudian membangun sebuah pasar permanen yang saat ini
telah berfungsi. Hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan raksasa secara
partsipatif, karena melibatkan semua warga untuk membongkar gunung secara
manual dan membangun gedung pasar secara swadaya. Kegiatan ini layak
menjadi contoh bila kemauan keras diikuti kerja sama yang baik, dapat
90

menyelesaikan agenda Desa yang semula dianggap mustahil bahkan dianggap


sebagai ide gila.
Kebanyakan perempuan Desa Kabalutan terlibat dalam penjualan ikan
dan hasil laut lainnya, sedangkan kaum prianya, selain melaut, mereka juga
membuat perahu, jaring dan berbagai aktivitas terkait untuk mendapatkan
tambahan pendapatan. Kajian Saad (2009) tentang masyarakat bajo mempertegas
peran strategis kaum perempuan Bajo sebagai pengelola keuangan keluarga.
Informasi ini penting berkaitan dengan upaya penyuluhan dan pemberdayaan
yang diarahkan pada sasaran yang tepat.
Masyarakat Desa Kabalutan telah mengetahui adanya TNKT dan tidak
mempermasalahkannya, asalkan lokasi-lokasi pemancingan dan penangkapan
ikan selama ini tetap terbuka untuk diakses. Masyarakat Desa Kabalutan juga
telah mengelola Daerah Perlindungan Laut (DPL). Selama ini kegiatan
perlindungan terumbu karang telah berjalan dengan baik dan masyarakat Desa
telah merasakan manfaatnya.

Karakteristik Demografi Responden


Karakteristik responden menggambarkan responden yang berpartisipasi
dalam penelitian. Deskripsi responden diperlukan untuk menunjukkan bahwa
responden dalam penelitian benar-benar mewakili kondisi populasi penelitian
yang sebenarnya.

Jenis Kelamin Responden


Jenis kelamin dari responden cukup berimbang dengan presentase pria
52.41 persen dan Wanita 47.59 persen (Tabel 14). Di Desa sampel dan di
Kepulauan Togean, umumnya pria dan wanita memiliki peran yang sangat penting
baik dalam hal urusan domestik maupun mencari nafkah. Temuan melalui
kunjungan wawancara maupun FGD dan Searce Conference menunjukkan bahwa
kalangan wanita pun mampu melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh
kaum laki-laki. Pekerjaan itu antara lain berkebun, menangkap ikan dan
membudidayakan rumput laut. Selain itu, keikutsertaan kaum ibu dan wanita
91

remaja dalam bebagai kegiatan sosial keagamaan dan adat istiadat (beberapa di
antaranya diikuti oleh peneliti) cukup menonjol, menunjukkan bahwa masalah
kesenjangan gender tidak terlalu nampak. Dengan kata lain, pembagian peran
dalam relasi gender cukup terlihat. Berkaitan dengan masalah konservasi, hasil
penelitian Lowe (2004) di Togean menunjukkan peran kaum ibu amatlah penting.
Kaum Ibu sering menolak hasil laut yang diperoleh dengan cara membom atau
menggunakan bahan kimia, karena alasan kesehatan untuk dikonsumsi.

Tabel 14 Sebaran Presentase Jenis Kelamin Responden


Faktor
Group Jumlah Persentase (%)
Demografi
Pria 87 52,41
Jenis Kelamin
Wanita 79 47,59
Total 166 100,00

Tingkat Pendidikan Responden


Dilihat dari tingkat pendidkan responden, jenjang pendidikan formal
berkisar antara SD hingga perguruan tinggi dengan presentase terbesar (44.58
persen) berpendidikan SD (Tabel 15). Di Desa sampel terdapat dua sekolah
SMA yang memungkinkan lulusan SMP tidak perlu melanjutkan pendidikan ke
Ampana (ibu kota Kabupaten) dan Palu (ibu kota Propinsi). Kehadiran lembaga
pendidikan yang dapat menciptakan tingkat pendidikan yang relatif tinggi
diharapkan ikut dan membentuk pola pikir masyarakat terhadap upaya
mengelolaan SDA di Kepulauan Togean secara berkelanjutan.

Tabel 15. Sebaran Presentase Tingkat Pendidikan Responden


Faktor
Group Jumlah Presentase (%)
Demografi
SD 75 45,18
SMP/Sederajat 51 30,73
PENDIDIKAN
SMA/Sederajat 37 22,29
PT 3 1,80
Total 166 100,00
92

Jenis Pekerjaan Responden


Jenis pekerjaan responden cukup bervariasi mulai dari petani, nelayan, ibu
rumah tangga, pedagang, pegawai dan Pelajar (Tabel 16). Namun sesungguhnya
berdasarkan hasil penulusuran melalui wawancara diperoleh kenyataan bahwa
umumnya masyarakat Togen memiliki pekerjaan ganda. Seorang petani,
umumnya juga adalah nelayan dan sebaliknya bahkan ibu rumah tangga juga
berfungsi sebagai petani dan atau nelayan. Seorang pelajar yang sedang aktif
sekolah pun adalah petani atau nelayan. Pekerjaan sampingan sebagai petani dan
nelayan yang sulit dipisahkan dengan pekerjaan utama sebagai pelajar. Pekerjaan
sampingan tersebut mereka lakukan pada saat sore hari atau libur sekolah untuk
kegiatan berkebun dan sore atau malam hari dan libur untuk kegiatan melaut
sebagai nelayan. Kegiatan berkebun dan melaut dilakukan secara bergantian,
baik bersifat substitusi maupun komplementer sesuai dengan kondisi alam.
Tabel 16. Sebaran Presentase Jenis Pekerjaan Responden

Faktor Demografi Group Jumlah Presentase (%)


TANI 55 32,13
IRT 28 16,87
NELAYAN 48 28,92
Pekerjaan
PELAJAR 25 15,06
DAGANG 6 3,61
PNS 4 2,41
Total 166 100,00

Tingkat Usia Responden


Usia responden berkisar antara 15 tahun hingga lebih dari 60 tahun dengan
presentase terbesar berkisar antara 26-36 tahun (30-72 persen) (Tabel 17). Bila
kita kaji lebih jauh, dengan batasan usia produktif adalah kurang dari 56 tahun,
maka lebih 90 sampel masih berada dalam kisaran usia produktif. Secara apriori
dapat dikatakan bahwa mereka yang masih memiliki usia produktif inilah yang
dalam kegiatan sehari harinya lebih banyak memberikan kontribusi terhadap
pengelolaan SDA di TNKT. Hasil penelitian Lowe (2004) menginformasikan
bahwa anak muda nelayan memiliki kemampuan menyelam yang tinggi dan
93

berkontribusi besar terhadap kerusakan SDA laut dalam hal menggunakan bahan
destruktif. Lowe juga mengungkapkan bahwa peran orang tua justru sebagai
pemasok bahan destruktif tersebut. Tentang mengapa masyarakat menggunakan
bahan berbahaya tersebut, menurut Saad (2009), antara lain disebabkan karena
mereka terdesak dari wilayah perairan yang selama ini menjadi daerah
penangkapan mereka.
Tabel 17. Sebaran Presentase Tingkat Usia Responden
Faktor
Group Jumlah Presentase (%)
Demografi
15-25 38 22,89
26-36 51 30,72
Usia
37-47 34 20.48
48-58 27 16,27
58-68 16 9,64
Total 166 100,00

Lama Tinggal Responden


Lama tinggal dari responden di pulau Togean berkisar antara 1 tahun
hingga lebih dari 35 tahun dengan presentase terbesar adalah antara 11-20 tahun
(35,54 persen) (Tabel 18).
Tabel 18. Sebaran Presentase Lama Tinggal Responden
Faktor
Group Jumlah Presentase (%)
Demografi
1 – 10 Tahun 40 24,10
Lama Tinggal 11-20 Tahun 59 35,54
(Tahun) 21=30 Tahun 31 18,67
>30 Tahun 36 21,68
Total 166 100,00

Kalau kita mengambil kisaran lebih dari 11 tahun lama tinggal, maka
presentase mencapai lebih dari 70 persen. Bila dibandingkan dengan usia
responden, dapat disimpulkan banyak responden yang sangat mengenal wilayah
mereka bahkan sebagian besar lahir di pulau ini. Lama tinggal ini sangat
penting dalam kaitan dengan akurasi rekaman hidup atau pengetahuan terhadap
kecenderungan status keberadaan sumber daya alam di kepulaun Togean.
94

Rataan Skor Peubah Penelitian

Rataan skor adalah tanggapan yang diberikan responden terhadap


pertanyaan yang diajukan berdasarkan indikator dari varibel penelitian. Berikut ini
diuraikan tingkat penilaian responsen terhadap peubah karakteristik individu,
proses penyuluhan, faktor eksternal, kapasitas dan partisipasi masyarakat.

Karakteristik Individu
Karakteristik internal berada pada kategori tinggi sedangkan motivasi dan
status sosial masing-masing berada pada kategori tinggi dan sedang (Tabel 19).
Karakteristik Individu yang diteliti meliputi beberapa komponen namun dua
komponen yang merefleksikan peubah atau memiliki kecocokan model yang kuat
yaitu: motivasi dan status sosial. Kedua komponen tersebut diperoleh melalui
analisis model pengukuran (measurement model) atas tujuh komponen yang
ditetapkan sebelumnya. Model pengukuran berusaha mengkonfirmasi apakah
peubah-peubah teramati tersebut memang merupakan ukuran/refleksi dari peubah
latennya sehingga model pengukuran dikenal juga dengan Confirmatory Factor
Analisys.. Berdasarkan analisis model pengukuran tersebut, komponen motivasi
dan status sosial memiliki keeratan atau validitas, reabilitas dan kecocokan model
yang kuat dalam membentuk faktor internal individu masyarakat di kepulauan
Togean (Lampiran 1). Untuk melihat penilaian atas motivasi dan status sosial
tersebut disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Rataan Skor Karakteristik Individu (X1) di Kepulauan Togean
Tanjung Pude Lemba Nato Kabalutan Total
Peubah (n=53 (n=55) (n=58) (166)
X1
Karakteristik 57 67 69 65
Individu
X1.4
Motivasi 64 80 76 73
X1.7
Status Sosial 49 60 63 56
Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah;
41- ≤60 = sedang; 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.
95

Motivasi yang diukur dari sejumlah indikator manifest menunjukkan


bahwa masyarakat memiliki hasrat yang tinggi untuk mendapatkan manfaat yang
besar baik untuk kepentingan usaha, permodalan, hasil yang meningkat, hubungan
sosial dan penyelamatan lingkungan. dalam pengembangan usaha ekonomi yang
berkelanjutan. Dengan demikian, penilaian tinggi terhadap motivasi ini
menggambarkan bahwa masyarakat Togean menggantungkan usaha mereka pada
alam sehingga mereka berkepentingan menjaganya sebagai tempat dan sumber
nafkah secara berkelanjutan, namun terkendala dengan permodalan. Selain itu,
penilaian tinggi pada motivasi juga bermakna bahwa masyarakat Togean memiliki
keinginan kuat untuk saling berkomunikasi dan berhubungan antar sesama dalam
ikatan sosial yang harmonis.
Kalau saat ini sering terjadi penyimpangan perilaku disebabkan karena
Desakan dari dalam dan tekanan dari luar. Desakan dari dalam adalah kebutuhan
keluarga dan dari luar karena terdesak oleh masuknya pihak luar yang bersaing
baik secara ilegal seperti mengambil hasil laut dengan menggunakan bahan
berbahaya. Bahkan dalam beberapa kesempatan disinyalir terjadi kerja sama
pihak luar membawa bahan berbahaya seperti bahan kimia dan bom untuk
diserahkan kepada nelayan lokal.
Untuk aspek status sosial mendapat penilaian sedang, menggambarkan
bahwa masyarakat Togean memiliki percaya diri yang cukup baik menyangkut
pengetahuan, kebendaan maupun kedudukan yang memungkinkan mereka bisa
ikut dalam pengelolaan SDA di TNKT. Hal tersebut dibuktikan baik melalui
berbagai pengetahuan dan praktek hubungan mereka dengan alam dalam hal
memenuhi kebutuhan nafkah, maupun melalui kemudahan mereka dalam
mengadopsi inovasi berkaitan dengan usaha ekonomi. Sebagai contoh, usaha
seperti budidaya rumput laut, teripang, berbagai jenis ikan dan mutiara adalah
bidang yang pernah mereka geluti. Kalau usaha-usaha tersebut nampak tidak
berjalan dengan baik, disebabkan beberapa faktor seperti ; manajemen usaha dan
keadaan eksternal seperti modal dan pemasaran serta aspek teknis seperti hama
penyakit yang selalu menjadi kendala.
96

Proses Penyuluhan
Komponen media penyuluhan, metode dan kemampuan penyuluh berada
pada kategori tinggi sedangkan komponen frekuensi penyuluhan memiliki
kategori sedang dan proses penyuluhan yang dibentuk oleh keempat komponen
tersebut berada pada kategori tinggi. Penilaian tinggi terhadap media dan metode
penyuluhan serta kemampuan penyuluh tersebut mengindikasikan bahwa
masyarakat merasa puas dengan teknik penyuluhan yang dilakukan selama ini dan
kapasitas penyuluh yang terlibat. Namun dari segi frekuensi penyuluhan,
masyarakat memberi penilaian sedang, berarti intensitas penyuluhan masih perlu
ditingkatkan (Tabel 20).
Proses penyuluhan yang diteliti meliputi empat komponen yaitu: media,
metode, interaksi dan kemampuan penyuluh. Keempat komponen tersebut
diperoleh melalui analisis model pengukuran (measurement model) untuk
mengkonfirmasi (Confirmatory Factor Analisys.) atas lima komponen yang
ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan analisis model pengukuran tersebut,
komponen media, metode, interaksi dan kemampuan penyuluh memiliki keeratan
atau validitas, reabilitas dan kecocokan model yang kuat dalam membentuk
faktor proses penyuluhan di TNKT (Lampiran1). Untuk melihat penilaian atas
komponen tersebut disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Rataan Skor Proses Penyuluhan (X2) di Kepulauan Togean
Tanjung Lemba Nato Kabalutan Total
Peubah Pude (n=55) (n=58) (166)
(n=53)
X2
Proses Penyuluhan 59 61 69 63
X2.2.
Metode Penyuluhan 67 74 72 71
X2.3.
Media Penyuluhan 63 52 72 62
X2.4
Interaksi Penyuluh 46 51 62 54
X2.5
Kemampuan 60 62 71 64
Penyuluh
Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 =
sedang 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.
97

Bersadarkan hasil wawancara mendalam, diketahui bahwa penyuluhan


yang dilakukan selama ini tertuju kepada tiga hal yaitu: usaha pertanian dan
perikanan, konservasi dan lingkungan hidup serta manfaat Taman Nasional.
Namun, dari ketiga materi tersebut, keberadaan tanaman nasional tergolong materi
atau isu yang yang relatif baru, dengan tingkat kesimpang siuran yang sangat
tinggi. Hal ini tidak diimbangi dengan intensitas penyuluhan yang tinggi pula
sehingga masyarakat terombang ambing oleh ketidak jelasan status taman
nasional dan manfaat yang diperoleh. Disamping itu, pendekatan penyuluhan
yang berkaitan dengan Taman Nasional bersifat ”monolitik” dan ”top down”
sehingga masyarakat tidak mendapat peluang yang memadai untuk berinteraksi
menentukan masa depan kawasan tempat mereka bermukim.
Hal lain yang cukup berpengaruh adalah hubungan koordinasi antar aktor
penyelanggara penyuluhan yang berkaitan dengan keberadaan taman nasional
terutama antara pemerintah pusat yang diwakili balai taman nasional dan
pemerintah daerah. Hubungan tersebut berkait dengan kewenangan, program
hingga anggaran kegiatan yang belum menemukan mekanisme yang tepat.
Peraturan menteri kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004, tentang kemitraan
pengelolaan Taman Nasional, mendorong perubahan paradigma pengelolaan
kawasan konservasi, antara lain: (1) dari semata kawasan perlindungan
keanekaragaman hayati ke perlindungan dengan fungsi sosial-ekonomi jangka
panjang, (2) biaya yang semula hanya pemerintah menjadi pemerintah dan
penerima manfaat, (3), kebijakan dari atas menjadi dari bawah, (4) dari
pengelolaan berbasis pemerintah manjadi multi-stakeholder atau berbasis
masyarakat lokal, (5) perubahan pola pelayanan pemerintah dari birokratis-
normatif menjadi profesiona-responsif, (6) dari sentralistis menjadi desentralistis,
dan (7) peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan fasilitator.
Perubahan paradigma ini pasti tidak mudah dilaksanakan karena
membutuhkan kesiapan aparatur yang tanggap, pengorganisasian yang memadai,
sistem atau mekanisme yang tepat serta ditunjang sarana dan prasarana serta
dukungan dana yang cukup.
98

Faktor Lingkungan

Faktor Lingkungan berada pada kategori tinggi, sedangkan komponen


pimpinan informal dan kerja sama yang membentuk faktor lingkungan juga
berada pada kategori tinggi. Penilaian tinggi terhadap pimpinan informal dan
kerja sama mengindikasikan bahwa masyarakat memberikan apresiasi yang tinggi
terhadap peran pimpinan informal, saling percaya antar sesama dalam bentuk
kerjasama baik untuk kepentingan sosial maupun ekonomi (Tabel 21)
Faktor lingkungan yang diteliti meliputi dua komponen yaitu ; pemimpin
informal dan kerjasama. Kedua komponen tersebut diperoleh melalui analisis
model pengukuran (measurement model) untuk mengkonfirmasi (Confirmatory
Factor Analisys) lima komponen yang ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan
analisis model pengukuran tersebut, komponen pemimpin informal dan
kerjasama memiliki keeratan atau validitas, reabilitas dan kecocokan model yang
kuat dalam membentuk faktor lingkungan di TNKT (Lampiran 1). Untuk melihat
penilaian atas komponen pemimpin informal dan kerjasama tersebut disajikan
pada Tabel 21.
Tabel 21. Rataan Skor Faktor Lingkungan (X3) di Kepulauan Togean
Tanjung Pude Lemba Nato Kabalutan Total
Peubah (n=53) (n=55) (n=58) (166)
X3
Faktor Lingkungan 64 63 72 68
X3.2
Kerjasama 67 80 72 71
X3.4
Pimpinan Informal 63 62 71 67
Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 =
sedang 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.

Berdasarkan hasil kajian melalui FGD dan ”Search conference” berkaitan


dengan kepemimpinan dan kerjasama, terungkap bahwa asimilasi dan akulturasi
budaya di antara penduduk mengakui institusi dan kelembagaan yang berlaku
secara formal seperti pemerintahan dan pada beberapa etnis juga berlaku institusi
dan kelembagaan informal yang dipimpin oleh pemimpin informal yang secara
struktural tradisional tetap diakui, yakni Dewan Adat.
99

Dewan adat terdiri dari ketua adat dan anggota dewan adat, mewakili
masyarakat dan ditunjuk dari anggota yang dituakan. Dewan adat berperan dalam
tataran pemeliharaan etika sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut. Suku
Bobongko misalnya, mempunyai sejarah panjang sebagai kerajaan kecil dengan
strata sosial tertentu. Mereka mengenal struktur kepemimpinan yang terdiri dari
tau da’a (Pemimpin yang dikarenakan masih mempunyai garis keturunan raja),
tolomato (kepala pemerintahan), talenga ulea (pembantu kepala pemerintahan)
dan panabela (kepala lipu/kampung) serta yang paling akhir lapisan masyarakat
biasa (grass root). Kepala Desa dipersepsikan sederajat dengan tolomato, yang
menjalankan dan mengemban amanat sebagai kepala pemerintahan yang harus
memperjuangkan aspirasi dan keinginan mayoritas masyarakat dengan selalu
memperhatikan keputusan-keputusan adat masyarakat. Beberapa pemimpin
informal tersebut, dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan misalnya dalam
menentukan saat tanam dan panen serta waktu turun ke laut.
Selain dewan adat, pada beberapa etnis juga dikenal adanya sifat-sifat
gotong-royong yang telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
masyarakat Bajo dikenal dengan istilah melakukan bapongka, yaitu suatu kegiatan
melaut yang dilakukan secara berkelompok. Kegiatan bapongka dilakukan untuk
mengumpulkan hasil laut antara lain teripang dan jenis ikan bergerombol
(schooling fish) seperti lolosi atau ekor kuning (Caesio sp).selama beberapa hari
secara bersama sama.
Masyarakat adat Bobongko memandang laut dan hutan sebagai tempat
keramat. Khusus hutan, diyakini sebagai tempat tinggal leluhur yang merupakan
pelindung dari kekuatan jahat dan melapetaka, maka areal hutan dan gunung
tertentu sangat disakralkan dan pantang dibuka. Hutan yang dapat dibuka adalah
Pangale 1) dan Yopo 2). Pembukaan areal hutan selalu didahului dengan upacara

1
) Hutan yang kondisi geografisnya tidak terlalu curam dan tidak terdapat tanda-tanda atau benda-benda
yang dikeramatkan. Pengelolaan dan peruntukannya secara bersama-sama bagi kepentingan masyarakat
Desa.

2
) Sama seperti Pangale, hanya saja Yopo dapat dikuasai secara pribadi dan hasil dari hutan tersebut
sebagian di masukkan ke kas Desa untuk keperluan masyarakat setempat.
100

pembukaan tanah, yang dilakukan di gunung yang dianggap keramat, sangat


berkaitan dengan kegiatan ziarah dan ritual tolak bala. Dalam masa penelitian,
penulis berkesempatan mengikuti beberapa kegiatan bernuansa adat atau tradisi
terutama ritual panen dan pengolahan tahan pertanian.

Kapasitas Masyarakat

Kapasitas masyarakat berada pada kategori tinggi, sedangkan komponen


mentalitas dan kesetaraan yang membentuk kapasitas juga berada pada kategori
tinggi (Tabel 22). Penilaian tinggi terhadap sikap mental dan kesetaraan
mengindikasikan bahwa masyarakat Togean, disamping memiliki adat istiadat
yang masih dijalankan, juga memiliki sikap terbuka terhadap masuknya inovasi
untuk kemajuan. Mengacu pada teori fungsi sikap yang dikemukakan oleh Katz,
masyarakat togean bisa dikategorikan pada posisi ”utilitarian.” Komponen
kesetaraan yang diukur melalui pengetahuan, kemampuan dan percaya diri
menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapasitas yang memadai untuk
menerima gagasan konservasi atau usaha ekonomi berkelanjutan
Faktor kapasitas masyarakat yang diteliti meliputi dua komponen yaitu:
sikap mental dan kesetaraan. Kedua komponen tersebut diperoleh melalui analisis
model pengukuran (measurement model) untuk mengkonfirmasi (Confirmatory
Factor Analisys.) atas empat komponen yang ditetapkan sebelumnya. Untuk
melihat penilaian atas komponen sikap mental dan kesetaraan tersebut disajikan
pada Tabel 22.
Tabel 22. Rataan Skor Kapasitas Masayarakat (Y1) di Kepulauan Togean
Tanjung Pude Lemba Nato Kabalutan Total
Peubah (n=53 (n=55) (n=58) (166)
Y1
Kapasitas 67 73 84 75
Masyarakat
Y1.3
Sikap Mental 55 75 88 78
Y1.4
Kesetaraan 65 71 81 73
Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 =
sedang 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.
101

Berdasarkan analisis model pengukuran tersebut, komponen sikap mental


dan kesetaraan memiliki keeratan atau validitas, reabilitas dan kecocokan model
yang kuat dalam membentuk faktor kapasitas masyarakat di TNKT (Lampiran).
Mengacu pada hasil wawancara mendalam serta penelusuran informasi
melalui FGD dan SC menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapasitas atau
kemampuan tertentu yang sangat menakjubkan dalam mengelola ekosistem. Pada
masyarakat Bajo misalnya, mereka memiliki kemampuan mengumpulkan hasil
laut yang ditunjang pemahaman kondisi dan jenis karang yang diperoleh secara
turun temurun. Mereka memiliki pembagian terhadap tipe terumbu karang yaitu
sappa, lana, dan timpusu. Dalam hal tehnik tangkap untuk memanfaatkan sumber
daya laut, sebagaimana juga dijelaskan oleh Hutabarat (CII, 2005), masyarakat
Bajo memiliki berbagai teknik tangkap, diantaranya missi (memancing), ngarua
(memukat), mana (memanah dengan alat tradisional), dan nyuluh/balobe atau
ngobor (dengan menggunakan petromaks).
Beberapa suku di Togean dalam memanfaatkan sumber daya alam
terestrial (hutan) juga memiliki sistem pemanenan yang diperoleh secara turun-
temurun. Mereka menerapkan beberapa aturan serta praktek pengelolaan
sumberdaya alam yang ramah lingkungan dan berdampak positif terhadap
kelestarian alam. Ini merupakan bentuk budaya lokal hasil dari proses adaptasi
dan interaksi antara masyarakat Togean dan alamnya selama bertahun-tahun.
Misalnya Orang Bobongko masih menerapkan hukum bayan dan aturan adat
gogam pagaluman dalam pemanfaatan hutan sagu di Lembanato.
Dengan bergesernya kebutuhan ekonomi dan adanya Desakan untuk
melakukan pemungutan hasil laut dengan cara cepat, murah, mudah dan banyak,
maka budaya tersebut mulai terkikis. Sebagian nelayan menggunakan bahan
peledak, racun dan cara-cara tidak ramah lingkungan lain dalam menangkap
ikan dan hasil laut lainnya. Hal yang sama juga terjadi di daerah pedalaman
untuk praktek pertanian dan perkebunan.
102

Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat berada pada kategori rendah sedangkan komponen


tanggung jawab, manfaat dan relasi yang mendukung peubah partisipasi juga
berada pada kategori rendah baik pada masing masing Desa sampel maupun
totalnya (Tabel 23).
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT yang diteliti meliputi
beberapa komponen, namun hanya dua komponen yaitu: manfaat dan relasi yang
memiliki kecocokan model. Kedua komponen tersebut diperoleh melalui analisis
model pengukuran (measurement model) untuk mengkonfirmasi (Confirmatory
Factor Analisys) atas lima komponen yang ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan
analisis model pengukuran tersebut, komponen manfaat dan relasi memiliki
keeratan atau validitas, reliabilitas dan kecocokan model yang kuat dalam
membentuk faktor Partisipasi (Lampiran 1). Untuk melihat penilaian atas
komponen Manfaat dan Relasi tersebut disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Rataan Skor Partisipasi Masyarakat (Y2) di Kepulauan Togean
Tanjung Pude Lemba Nato Kabalutan Total
Peubah (n=53 (n=55) (n=58) (166)
Y2
Partisipasi Masy. 23 27 36 29
Y2.2
Tanggung Jawab 24 29 35 27
Y2.3
Manfaat 26 31 38 32
Y2.4
Relasi 17 21 33 24
Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 =
sedang 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.

Penilaian rendah terhadap partisipasi dan semua komponen manifesnya


mengindikasikan bahwa masyarakat tidak merasa puas dengan gagasan tentang
adanya TNKT. Mereka merasa tidak bertanggung jawab atau lebih tepatnya, tidak
diberi tanggung jawab untuk ikut mengelola taman nasional tersebut. Dari segi
kegunaannya, masyarakat menganggap bahwa taman nasional tidak memiliki
manfaat bagi kehidupan mereka. Selain itu, mereka juga merasakan bahwa
hubungan antar stakeholders taman nasional terutama dengan pihak pemerintah
berkaitan dengan keberadaan taman nasional ini amatlah rendah.
103

Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat Togean tidak teryakini


akan manfaat keberadaan TNKT sehingga tidak muncul rasa memiliki (sense of
belonging) dan juga tidak hadir rasa tanggung jawab (sense of responsibility).
Hal ini ditunjang oleh kurang gencarnya frekuensi penyuluhan yang dilakukan
berbarengan dengan simpang siurnya informasi dan isu tentang keberadaan taman
nasional. Pada saat bersamaan, masyarakat dikuatirkan dengan dampak kehadiran
taman nasional berdasarkan referensi praktek sebelumnya di tempat lain serta
beberapa kenyataan hubungan buruk masyarakat dengan aparatur yang terkesan
(berlebihan) dalam menangani pelanggaran pemanfaatan hasil alam baik di laut
maupun di darat. Hubungan buruk ini oleh masyarakat dianggap sebagai akibat
dari adanya taman nasional.
Bila kenyataan ini kita kaji dari aspek teori sikap dapat dijelaskan bahwa
diterima atau ditolaknya suatu objek atau gagasan paling tidak dipengaruhi oleh
beberapa hal seperti sifat objek, pengalaman masa silam, keadaan saat ini dan
harapan masa depan. Dari segi objek, nampaknya masyarakat Togean belum
mengenal apa sesungguhnya taman nasional. Mereka mendapatkan informasi
pengalaman masa silam tentang praktek pengelolaan taman nasional di berbagai
daerah, umumnya tidak berpihak kepada hak dan kebutuhan masyarakat lokal.
Selain itu, mereka juga menyaksikan dalam suasana keseharian tentang
praktek kebijakan pengelolaan SDA di tengah makin berkurangnya kelimpahan
dan jenis SDA serta makin sempitnya ruang usaha. Oleh karena itu, kehadiran
taman nasional yang membawa ide pembatasan, dalam pandangan mereka akan
semakin mempersulit mereka memperoleh nafkah. Dengan demikian, kehadiran
taman nasional menurut mereka akan berdampak pada hilangnya access dan
kedaulatan mereka pada SDA di wilayah mereka, sesuatu anggapan yang terbalik
dengan misi taman nasional berdasarkan paradigma kemitraan.
Dari sudut pandang teori adopsi inovasi (Roger dan Shomaker, 1971),
dapat dikemukakan bahwa sosialisasi taman nasional masih berkisar pada aspek
informatif yang berdampak pada pengetahuan semata. Aspek yang tidak kalah
penting yaitu persuasif yang mempengaruhi sisi afektif kurang gencar dilakukan,
104

sehingga masyarakat kurang teryakini. Kondisi ekternal seperti suasana konflik


antar aktor dan hubungan koordinasi antar lembaga juga ikut memberi andil yang
sangat berarti. Dari sisi derajad partisipasi (Arnstein, 1969), masih berada pada
tahapan Informasi dan konsultasi yaitu: stakeholders baru diberikan informasi
menyangkut hak dan kewajiban, tanggung jawab dan lain lain (Komunikasi satu
arah). Kalaupun telah terjadi komunikasi dua arah di mana stakeholders sudah
dapat mengekspresikan saran/perhatian, namun belum menjamin diterimanya
input tersebut.

Analisis Pendugaan Parameter Model Kapasitas dan


Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh, dilakukan pengujian


model struktural melalui analisis SEM. Pengujian model dilakukan dengan
maksud ; Pertama, menguji kesesuaian model secara keseluruhan (overall model
fit test). Kedua, menguji secara individual, kebermaknaan (test of significance)
hasil pendugaan parameter model. Pengujian pertama berkaitan dengan
generalisasi, yakni melihat sejauh mana hasil pendugaan perameter model
dapat diberlakukan terhadap populasi, sedangkan pengujian kedua berkaitan
dengan Hipotesis penelitian.
Sebuah model dikatakan fit dengan data menurut kriteria Goodness of fit
test (GFT) apabila minimal mampu menghasilkan nilai p-hitung ≥ 0,05,
nilai RMSEA ≤ 0,08 dan nilai CFI ≥ 0,90. Hasil pengujian parameter model
struktural tersebut disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan nilai
chi-square sebesar 65.03 dengan df (degrees of freedom) sebesar 53 dan p-
hitung sebesar 0,12 > dari 0,05, RMSEA sebesar 0,037 < dari 0,08 dan nilai CFI
sebesar 0,99 > dari 0,90.
Merujuk pada ukuran kesesuaian model menurut Kusnendi (2008), maka
model tersebut memiliki kecocokan (Goodness of fit) yang baik. Dengan kata
lain, model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovarian populasi atau hasil
estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Hasil
105

pengujian kesesuaian model menunjukkan bahwa model pengukuran sudah sangat


sesuai atau fit dengan data.

Motivasi
(X1.3)
Karakteristik
0,65 Internal (X1)
Status 0,81
Sosial Mental
(X1.7) 0,60 (Y1.3)

0,28
Metode 0,50 Kapasitas
penuluhan Masyarakat
(X2.2)
Media 0,89 0,60 0,80
Penyuluhan Setara
(X2.3) 0,51 Proses
(Y1.4)
Penyuluhan (X2) - 0,35
Interaksi 0,79 0,54
(X2.4)
T. jawab
0,90 (Y2.2)
Kemampua
0,56
penyuluh 0,56
(X2.5) -0,23
Manfaat
Kerja sama 1,00 (Y2.3)
(X3.2) 0,51 Partisipasi
Faktor Masyarakat Relasi
Lingkungan (X3) 0,78
(Y2.4)
Pemimpin 0,72
Informal (X3.4)

Chi-Square=64.96, df=53, p-value=0.12558, RMSEA=0.037, CFI= 0.99

Gambar 6 Estimasi parameter model struktural partisipasi masyarakat.

Hasil uji kebermaknaan dengan uji t-test pada parameter model dengan
nilai statistik t-hitung yang ditetapkan menurut Joreskog dan Sorbon (Kusnendi,
2008) adalah sebesar 1,96 terlihat pada Gambar 7. Gambar 6 menunjukkan
hasil uji kebermaknaan pada masing-masing estimasi parameter model struktural.
Sebuah indikator dikatakan nyata apabila nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel
pada taraf kesalahan yaitu sebesar 1,96 (Kusnendi, 2008). Output Lisrel dalam
bentuk diagram jalur (path diagram) akan memberikan informasi aspek
kebermaknaannya.
106

Motivasi
(X1.3)

7,74
Status
Sosial Karakteristik
Mental
(X1.7) Internal (X1) (Y1.3)
8,92 7,12

Metode Kapasitas
6,43 Masyarakat
penuluhan 3,26
(X2.2)
Media 14,30 3,87 5,47
Penyuluhan Setara
(X2.3) 6,85 Proses
(Y1.4)
Penyuluhan (X2)
Interaksi 11,92 3,47
(X2.4)
T. Jawab
14,62 - 2,93 (Y2.2)
6,18
Kemampua
9,80 -2,10
penyuluh Manfaat
(X2.5) 8,76 (Y2.3)

Kerja sama 7,04 Partisipasi


(X3.2) Faktor Masyarakat
Lingkungan (X3) Relasi
18,13 7,74
(Y2.4)

Pemimpin
Informal (X3.4)

Chi-Square=64.96, df=53, p-value=0.12558, RMSEA=0.037, CFI= 0.99

Gambar 7 Statistik t-hitung parameter model struktural partisipasi masyarakat


Pendugaan parameter model partisispasi masyarakat dalam pengelolaan
TNKT (Gambar 6) menunjukan koefisien bobot faktor dan koefisien jalur lebih
besar dari yang disyaratkan sebesar 1,96. Dengan demikian, model seperti
gambar tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat generalisasi
tentang fenomena yang diteliti. Untuk melihat pengaruh langsung dan pengaruh
tidak langsung dari peubah karakteristik individu, proses penyuluhan dan faktor
lingkungan terhadap kapasitas masyarakat disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. koefisien dan t-hitung penguruh karakteristik internal, proses
penyuluhan dan faktor lingkungan pada kapasitas masyarakat.
Pengaruh Pengaruh tdk t-hitung
Hubungan antar Peubah/Sub Peubah
langsung langsung
Karakteristik Kapasitas
0,12 - 0,98
internal masyarakat
Proses Kapasitas
0,60 - 3,87
penyuluhan masyarakat
Faktor Kapasitas
-0,23 - 2,10
lingkungan masyarakat
Keterangan : t 0,05 tabel = 1,96
107

Tabel 24 menunjukkan bahwa pengaruh langsung peubah karakteristik


internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan pada kapasitas masyarakat
masing masing sebesar 0,12, 0,60 dan -0,23. Karakteristik internal berpengaruh
tidak nyata, proses penyuluhan berpengaruh nyata positif dan faktor lingkungan
berpengaruh nyata negatif pada α = 0,05. Secara matematik, persamaan model
struktural kapasitas masyarakat adalah Y1 = 0,12X1 + 0,60X2 + (-0,23X3),
dimana Y1 merupakan kapasitas masyarakat; X1 adalah karakteristik internal; X2
adalah proses penyuluhan dan X3 adalah faktor lingkungan. Secara bersama
(simultan), pengaruh ketiga peubah tersebut pada kapasitas masyarakat, yaitu
0,33, nyata pada α .= 0,05. Dengan demikian, Hipotesis 1 diterima. Hasil ini
dapat dijelaskan bahwa :
(1) Meskipun berpengaruh tidak nyata atau sangat kecil, karakteristik individu
secara langsung berkontribusi positif pada kapasitas yang berarti setiap
peningkatan satu unit karakteristik individu, akan meningkatkan kapasitas
sebesar 12 persen.
(2) Proses penyuluhan secara langsung berpengaruh positif pada kapasitas, yang
berarti setiap peningkatan satu unit proses penyuluhan, akan meningkatkan
kapasitas sebesar 60 persen.
(3) Faktor lingkungan secara langsung berpengaruh negatif pada kapasitas,
yang berarti setiap peningkatan satu unit faktor lingkungan, akan
menurunkan kapasitas sebesar 23 persen.
(4) Karakteristik individu, proses penyuluhan dan faktor lingkungan secara
simultan berpengaruh pada kapasitas.
Untuk melihat pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung dari
peubah karakteristik individu, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas
terhadap partisipasi masyarakat disajikan pada Tabel 25.
108

Tabel 25. Koefisien dan t-hitung penguruh karakteristik internal, proses


Penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas terhadap
partisipasi
Pengaruh Pengaruh tdk t-hitung
Hubungan antar Peubah/Sub Peubah
langsung langsung
Karakteristik Partisipasi
-0,35 0,06 2,93
internal masyarakat
Proses Partisipasi
-0,13 0,33 -0,84
penyuluhan masyarakat
Faktor Partisipasi
0,06 -0,12 0,60
lingkungan masyarakat
Kapasitas Partisipasi
0,54 - 3,47
Masyarakat masyarakat
Keterangan : t 0,05 tabel = 1,96
Tabel 25 menunjukkan bahwa pengaruh langsung peubah karakteristik
internal, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas diri masyarakat
pada partisipasi masyarakat masing masing sebesar -0,35, -0,13, 0,06 dan 0,54.
Karakteristik internal berpengaruh nyata negatif, proses penyuluhan berpengaruh
tidak nyata negatif, faktor lingkungan berpengaruh tidak nyata positif dan
kapasitas masyarakat perpengaruh nyata positif terhadap partisipasi masyarakat
pada α = 0,05. Secara matematik, persamaan model struktural partisipasi
masyarakat adalah Y2 = (-0,35X1) + (-0,13X2) + 0,06X3 + 0,54Y1; Y2
merupakan partisipasi masyarakat; Y1 merupakan kapasitas masyarakat; X1
adalah karakteristik internal; X2 adalah proses penyuluhan dan X3 adalah faktor
lingkungan. Secara bersama (simultan), pengaruh keempat peubah tersebut pada
partisipasi masyarakat, yaitu 0,26 yang nyata pada α = 0,05. Dengan demikian,
Hipotesis 2 diterima. Hasil ini dapat dijelaskan bahwa :
(1) Karakteristik individu secara langsung berpengauruh nyata negatif pada
partisipasi, yang berarti setiap peningkatan satu unit karakteristik individu,
akan menurunkan partisipasi mereka sebasar 35 persen.
(2) Proses penyuluhan secara langsung tidak berpengaruh nyata terhadap
partisipasi namun secara tidak langsung (melalui kapasitas) berpengaruh
nyata positif pada partisipasi, yang berarti setiap peningkatan satu unit
proses penyuluhan, akan meningkatkan partisipasi sebesar 33 persen.
109

(3) Faktor lingkungan secara langsung berpengaruh tidak nyata positif pada
partisipasi, yang berarti setiap peningkatan satu unit faktor lingkungan
masyarakat, akan meningkatkan partisipasi sebesar 6 persen
(4) Kapasitas diri individu masyarakat di kepulauan Togean secara langsung
berpengaruh nyata positif pada partisipasi mereka, yang berarti setiap
peningkatan satu unit kapasitas masyarakat, akan meningkatkan partisipasi
sebesar 54 persen
(5) Karakteristik individu, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas
secara simultan berpengaruh pada partisipasi dengan koefisien determinasi
sebesar 26 persen.
Untuk melihat arah, koefisien dan t-hitung dari hubungan peubah
karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan disajikan pada
Tabel 26.
Tabel 26. Arah, koefisien dan t-hitung dari hubungan peubah karakteristik
internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan.
Arah/koefisien t-hitung
Hubungan antar Peubah
Hubungan
Karakteristik Individu Proses penyuluhan 6,43
0,50
Proses penyuluhan
Faktor lingkungan 0,56 9,80
Faktor lingkungan 3,26
Karakteristik individu 0,28

Keterangan : t 0,05 tabel = 1,96


Berdasarkan Tabel 26, diketahui bahwa hubungan antara karakteristik
individu dengan proses penyuluhan dan faktor lingkungan adalah erat dengan
koefisien hubungan secara berurutan, yaitu; 0,50, 0,56 dan 0,28. Hubungan ketiga
peubah tersebut nyata pada α .= 0,05. Dengan demikian, Hipotesis 3 diterima.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
(1) Hubungan karakteristik individu dengan proses penyuluhan cukup kuat dan
positif.
(2) Hubungan proses penyuluhan dengan faktor lingkungan cukup kuat dan
positif.
(3) Hubungan karakteristik individu dengan faktor lingkungan tidak cukup kuat
walupun bersifat positif.
110

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kapasitas


Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT

Hasil analisis SEM memperlihatkan bahwa dari tiga peubah bebas yang
dikaji, ketiga tiganya memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap kapasitas
masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Kecuali karakteristik individu, proses
penyuluhan dan faktor lingkungan berpengaruh nyata pada kapasitas masyarakat
dalam pengelolaan TNKT.

Pengaruh Peubah Proses Penyuluhan


terhadap Kapasitas Masyarakat
Proses penyuluhan berpengaruh positif terhadap peningkatan kapasitas
masyarakat dalam pengelolaan TNKT (Gambar 5 dan 6). Proses penyuluhan,
baik media dan metoda mapun kemampuan penyuluh berada pada kategori tinggi,
sedangkan interaksi antara penyuluh dan masyarakat berada pada kategori sedang.
Bila intensitas interaksi penyuluh dengan masyarakat ditingkatkan maka kapasitas
masyarakat akan meningkat pula dan selanjutnya diharapkan meningkatkan
partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT. Intensitas kontak penyuluh dengan
masyarakat dalam kasus konservasi dan pengelolaan taman nasional ini akan
berguna dalam menjaga hubungan psikologis dan menghindari bias informasi
akibat ketidak pastian kebijakan dan langkah implemantasinya.
Pernyataan tersebut di atas didasari pada hasil analisis SEM yang
menunjukkan bahwa nilai t-hitung antara peubah proses penyuluhan
memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap kapasitas. Nilai t-hitung 3,87
lebih besar dari nilai t-tabel (1,960), mengisyaratkan bahwa proses penyuluhan
sebagai peubah laten eksogen (dependent) memberikan kontribusi yang sangat
bararti terhadap kapasitas sebagai peubah laten endogen (dependent). Peubah
manifest proses penyuluhan yang dilihat dalam hal ini adalah media penyuluhan,
metode penyuluhan, interaksi dan kemampuan penyuluh. Sedangkan kapasitas
masyarakat yang menggambarkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan
TNKT terdiri dari sikap mental dan kesetaraan. Kenyataan ini menunjukkan
111

bahwa intervensi melalui penyuluhan dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas


mereka dalam pengelolaan TNKT.
Penelitan yang berkaitan dengan pengaruh penyuluhan dalam
meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat (petani) pernah dilakukan
oleh Sumardjo (1999) dan Subagyo (2008). Temuan dari penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa syarat untuk menerapkan model peningkatan kapasitas
melalui penyuluhan adalah ketersediaan penyuluhan baik kuantitas maupun
kualitas serta dukungan organisasi penyuluhan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa
kualitas penyuluhan yang profesional merupakan prasyarat utama
terselenggaranya suatu penyuluhan yang dapat meningkatkan kapasitas petani.
Hasil penelitian Anantanyu (2009) tentang partisipasi petani dan kapasitas
kelembagaan kelompok tani juga mengungkapkan pentingnya dukungan
penyuluhan bagi peningkatan kapasitas petani, pemenuhan kebutuhan petani dan
peningkatan motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok.

Pengaruh Peubah Lingkungan


terhadap Kapasitas Masyarakat

Meningkatnya faktor lingkungan berpengaruh pada menurunnya kapasitas


masyarakat dalam pengelolaan TNKT (Gambar 5dan6). Kondisi ini dapat
dijelaskan bahwa peubah tokoh masyarakat sebagai salah satu unsur pembentuk
faktor lingkungan, sangat antipati dengan gagasan taman nasional akibat distorsi
informasi dan lemahnya koordinasi dalam sosialisasi pengelolaan taman nasional.
Akibatnya, segala yang berkaitan dengan taman nasional selalu ditanggapi apriori
oleh masyarakat termasuk tokoh masyarakatnya.
Hal tersebut didasari pada hasil analisis SEM yang menunjukkan bahwa
nilai t-hitung antar peubah faktor lingkungan memperlihatkan pengaruh yang
nyata terhadap kapasitas masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Nilai t-hitung
yang diperoleh yaitu -2,10 lebih besar t-tabel (1,960) yang berarti faktor
lingkungan yang merupakan peubah laten eksogen memberikan sumbangan
yang berarti terhadap kapasitas masyarakat sebagai peubah laten endogen.
Peubah manifest faktor lingkungan yang dilihat dalam hal ini adalah indikator
112

kerjasama dan pemimpin informal sedangkan Kapasitas Masyarakat yang


menggambarkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan TNKT terdiri dari
sikap mental dan kesetaraan.
Pengaruh signifkan yang antagonis tersebut bermakna jika faktor
lingkungan meningkat dan faktor yang lainnya tetap maka peubah kapasitas
masyarakat akan menurun. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa unsur pembentuk
faktor lingkungan, dalam hal ini kerjasama dan peran pemimpin informal
memberikan respon negatif terhadap upaya meningkatkan kapasitas masyarakat
untuk pengelolaan TNKT. Seperti juga masyarakat pada umumnya, para tokoh
masyarakat sangat antipati dengan gagasan taman nasional akibat distorsi
informasi dan lemahnya koordinasi dalam sosialisasi pengelolaan taman nasional
dengan pola kemitraan (kolaborasi). Suasana yang diliputi konflik sangat terasa
berkaitan dengan isu taman nasional. Akibatnya, segala sesuatu yang berkaitan
dengan taman nasional selalu ditanggapi dengan apriori oleh masyarakat
termasuk tokoh masyarakatnya.
Ketika upaya sosialisasi Taman Nasional dilakukan, tokoh masyarakat dari
seluruh Desa di Kepulauan Togean selalu diikutsertakan dalam berbagai
pertemuan hingga pelatihan di Togean, Ampana dan Palu. Kegiatan tersebut di
prakarsai oleh NGO bekerjasama dengan pemerintah daerah dan Balai Taman
Nasional. Kolaborasi ini juga pernah mensponsori para tokoh masyarakat tersebut
untuk mengunjungi Taman Nasional Komodo dan Bunaken. Namun saat kembali
ke pulau Togean, tidak dilanjutkan dengan kegiatan sosialisasi kepada
masyarakat sehingga muncul saling curiga antara masyarakat dan tokoh
masyarakat. Dalam ketidak pastian yang memuncak diikuti berbagai isu dan
kejadian yang merugikan masyarakat membuat pembicaraan mengenai Taman
Nasional menjadi hambar dan masyarakat enggan serta alergi membicarakannya.
Hingga rangkaian penelitian ini berakhir pada Agustus 2009, kondisi di
lapangan masih cenderung tidak pasti akibat konflik kepentingan (akibat ketidak
tahuan atau ketidak jelasan wewenang serta lemahnya koordinasi) dari berbagai
aktor mengenai status TNKT. Masalah ini menjadi makin rumit karena potensi
113

konflik tidak hanya melanda antar masyarakat dan dengan pemerintah tetapi juga
antar pemerintah lokal dan pemerintah pusat baik soal kejelasan status maupun
kekisruhan Tata Ruang Nasonal.

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi Masyarakat


dalam Pengelolaan TNKT

Hasil analisis SEM (Gambar 5 dan 6) memperlihatkan bahwa dari tiga


peubah bebas yang dikaji, ketiga tiganya memperlihatkan pengaruh yang berbeda
terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Kecuali peubah
proses penyuluhan dan faktor lingkungan, karakteristik individu dan kapasitas
masyarakat memberikan pengaruh nyata pada tingkat partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan TNKT.

Pengaruh Peubah Internal terhadap


Partisipasi Masyarakat

Meningkatnya karakteristik individu berpengaruh pada menurunnya


partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT (Gambar 5 dan 6). Kenyataan
ini secara kontekstual dapat dijelaskan bahwa masyarakat menyangsikan manfaat
kehadiran taman nasional di wilayah mereka. Berdasarkan teori partisipasi,
masyarakat akan tergerak mau terlibat bila mereka meyakini manfaatnya (Eberley,
2007). Selain itu, konsep Taman Nasional merupakan hal yang relatif baru bagi
masyarakat Togean. Informasi atau gambaran buruk praktek Taman Nasional di
berbagai daerah serta kesimpang siuran informasi menimbulkan sikap penolakan
masyarakat terhadap TNKT. Masyarakat menganggap kehadiran taman nasional
akan membatasi ruang gerak mereka untuk mencari nafkah, padahal motivasi
mereka yang tinggi untuk berpartisipasi di TNKT justru untuk mengakses lahan
usaha dengan mudah. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan intervensi berupa
pemberian pemahaman dalam bentuk penyuluhan untuk meyakinkan mereka akan
manfaat taman nasional dan meningkatkan kapasitas mereka.
114

Kenyataan ini dapat dibuktikan melalui analisis SEM yang


memperlihatkan terdapat pengaruh yang nyata antara peubah karakteristik
individu dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Nilai t-hitung
yang diperoleh adalah - 2,93 lebih besar dari nilai t-tabel (1,960) yang berarti
bahwa karakteristik individu yang merupakan peubah laten eksogen dapat
memberikan kontribusi yang bermakna dan menentukan terhadap partisipasi
masarakat dalam pengelolaan TNKT sebagai peubah laten endogen. Peubah
manifest (indikator-indikator) karakteristik internal yang dilihat dalam hal ini
adalah motivasi dan status sosial, sedangkan partisipasi Masyarakat dalam
pengelolaan TNKT, terdiri dari peubah manfaat dan relasi.
Unsur unsur pembentuk karaketristik internal terdiri dari motivasi dan
status sosial yang indikatornya menggambarkan harapan masyarakat akan hidup
yang lebih baik termasuk kemauan mereka untuk menyelamatkan lingkungan.
Namun motivasi yang tinggi untuk menyelamatkan lingkungan tidak identikan
dengan kesediaan mereka untuk berpartisipasi, meskipun taman nasional
membawa misi kesejahteraan dan kelestarian lingkungan. Taman nasional
adalah cara, sedangkan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan adalah tujuan.
Masyarakat memandang bahwa tujuan ini bisa dicapai dengan berbagai cara dan
tidak mesti dalam bentuk taman nasional.
Namun, terlepas dari baik buruknya taman nasional, dari perspektif
penyuluhan dan temuan lapangan menunjukkan terjadi bias informasi yang
sangat kentara lantaran proses penyuluhan mulai dari sosialisasi hingga adopsi
inovasi tidak berlangsung secara utuh. Terjadi distorsi informasi akibat tidak
diterapkannya prinsip-prinsip kolaborasi, kemitraan atau partisipasi dalam
pengelolaan taman nasional. Model penyuluhan yang dibangun masih bersifat
satu arah, belum dalam bentuk penyuluhan yang konvergen yang memungkinkan
masyarakat ikut dalam proses paling awal hingga ketingkat pengambilan
keputusan. Selain itu, persepsi dan koordinasi (program dan budget) antar pelaku
penyelenggara penyuluhan baik tingkat pusat (balai Taman Nasional) maupun
115

pemda lokal nampak belum berjalan baik. Akibatnya, terjadi reaksi prokontra
yang kian saat makin membentuk anggapan negatif terhadap TNKT.
Peran stakeholder seperti NGO (civil society) dan pihak swasta juga
memberi warna tersendiri bahkan lebih bersifat antagonistik. Dalam beberapa
kasus, terjadi gesekan yang amat tajam antara masyarakat dengan pihak swasta
dalam hal penguasaan ruang di laut. Gesekan juga terjadi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah bahkan antara sesama NGO tentang implikasi dari
penetapan pulau Togean sebagai Taman Nasional. NGO lokal yang biasanya
menjadi corong masyarakat belum sepenuhnya percaya pada niat baik
pembentukan TNKT. NGO lain seperti CII (Concervacy International Indonesia)
yang telah lama mendampingi masyarakat di pulau Togean dan dianggap ikut
membidani penetapan taman nasional ini, tiba-tiba angkat kaki karena alasan masa
kontrak selesai. Masyarakat akhirnya terjebak pada pro-kontra kehadiran taman
nasional yang kemudian bersublimasi dengan politik lokal membuat kesan negatif
terhadap konsep taman nasional makin mencuat. Keseluruhan situasi ini
memberikan pengaruh yang kuat atas penilaian masyarakat terhadap kehadiran
taman nasional yang ditunjukan oleh rendahnya tingkat partisipasi mereka dalam
pengelolaan TNKT meskipun mereka memiliki kapasitas yang memadai.

Pengaruh Peubah Proses Penyuluhan


terhadap Partisipasi Masyarakat

Proses penyuluhan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap partisipasi


Kenyataan ini didasari pada hasil analisis SEM yang memperlihatkan nilai t-
hitung yang diperoleh adalah - 0,13 lebih kecil dari nilai t-tabel (1,960). Hal ini
berarti bahwa proses penyuluhan yang merupakan peubah laten eksogen
(independent) belum dapat memberikan kontribusi langsung yang bermakna,
namun proses penyuluhan dapat memberikan sumbangannya tidak langsung yang
sangat berarti melalui peubah kapasitas terhadap partisispasi masyarakat sebagai
peubah laten endogen (dependent) dengan koefisien bobot faktor sebesar 0,33.
Peubah manifest (indikator-indikator) proses penyuluhan yang dilihat dalam hal
116

ini adalah media penyuluhan, metode penyuluhan, interaksi dan kemampuan


penyuluh. Sedangkan peubah Partisipasi Masyarakat yang menggambarkan
kemampuan masyarakat dalam pengelolaan TTNKT yang terdiri dari indikator
Manfaat dan Relasi.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa intervensi dalam bentuk
penyuluhan tidak bisa langsung meningkatkan partisipasi masyarakat tanpa
melalui peningkatan kapasitas mereka. Dengan kata lain, kapasitas yang
meningkat sebagai fungsi dari hasil penyuluhan yang efektif akan dapat
meningkatkan partisispasi. Proses penyuluhan yang dilakukan dengan efektif
juga akan dapat meningkatkan motivasi atau kemauan serta membangun peluang
atau kesempatan yang merupakan syarat bagi terjadinya partisipasi. Berdasarkan
pandangan ini maka meskipun tidak memiliki hubungan langsung, namun
proses penyuluhan memiliki peranan yang sangat strategis serta menjadi kunci
percepatan bagi terjadinya partisipasi.

Pengaruh Peubah Lingkungan


terhadap Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis SEM (Gambar 5 dan 6) memperlihatkan tidak terdapat


pengaruh yang nayata antara peubah Faktor Lingkungan dengan Partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Nilai t-hitung yang diperoleh adalah 0,60
lebih kecil dari nilai t-tabel (1,960). Hal ini berarti bahwa Faktor Lingkungan
yang merupakan peubah laten eksogen (independent) belum dapat memberikan
kontribusi yang bermakna atau sumbangannya sangat kecil terhadap Partisispasi
Masyarakat sebagai peubah laten endogen (dependent). Peubah manifest
(indikator-indikator) faktor lingkungan yang dilihat dalam hal ini adalah
kerjasama dan pemimpin informal, sedangkan peubah partisipasi masyarakat yang
menggambarkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan TNKT yang terdiri
dari indikator manfaat, tanggung jawab dan relasi.
Kedaan ini dapat dijelaskan bahwa faktor lingkungan terutama kerjasama
yang telah terbangun di masyarakat tidak memiliki hubungan langsung dengan
117

bentuk kerjasama pengelolaan TNKT. Seperti diketaui bahwa masyarakat Togean


memiliki tradisi kerjasama atau kegotong royongan yang terpelihara dari generasi
ke generasi dari setiap suku bangsa yang ada. Kegiatan kerja sama tersebut terjadi
pada saat acara kematian, pesta pernikahan, membuka kebun hingga memanen
hasil dan kerja sama dalam menangkap hasil laut. Dengan kata lain, meskipun
potensi kerja sama ada di masyarakat atau mereka sudah terbiasa untuk
melaksanakan kerjasama namun bila kesempatan untuk melakukan kerjasama
tidak ada, maka kerjasama, dalam hal ini dimanifestasikan dalam bantuk
partisipasi, tidak tercipta.

Pengaruh Peubah Kapasitas Masyarakat


terhadap Partisipasi Masyarakat

Kapasitas berpengaruh nyata terhadap partisispasi masyarakat dalam


pengelolaan TNKT (Gambar 5dan6). Pengaruh ini sangat berarti karena
kapasitas masyarakat dianggap salah satu faktor yang menentukan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi. Menurut Slamet (2003), Wilson and Koester
(2008), syarat terjadinya partisipasi adalah kemampuan, disamping kemauan dan
kesempatan. Ramirez (Suporaharjo, 2005), mengemukakan bahwa masyarakat
secara umum adalah stakeholder terhadap objek yang melekat, tetapi stakeholder
masih dapat diidentifikasi sebagai aktor sosial, yaitu mereka yang mempunyai
kapasitas untuk berpartisispasi terutama dalam proses pengambilan keputusan.
Namun, kapasitas yang meningkat saja tidak otomatis menyebabkan meningkat
partisipasi karena ada faktor penentu lain yaitu peluang atau kesempatan.
Kenyataan tersebut dibuktikan melalui hasil analisis SEM yang
menunjukkan bahwa kapasitas masyarakat berpengaruh nyata terhadap
partisispasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Nilai t-hitung yang diperoleh
adalah 3,47, lebih besar dari nilai t-tabel (1,960), bermakna bahwa kapasitas
masyarakat yang merupakan peubah laten endogen (intervening) memberikan
kontribusi yang sangat bararti terhadap Partisipasi sebagai peubah laten eksogen
(dependent). Peubah manifest (indikator-indikator) kapasitas masyarakat yang
118

dilihat dalam hal ini adalah sikap mental dan kesetaraan. Partisipasi masyarakat
yang menggambarkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan TNKT diukur
dari manfaat, tanggung jawab dan relasi. .

Pengaruh Bersama Karakteristik Internal, Proses Penyuluhan, Faktor


Lingkungan dan Kapasitas terhadap Partisipasi Masyarakat.

Peubah karakteristik internal, proses penyuluhan, dan kapasitas


berpengaruh pada partisipasi masyarakat. Karakteristik internal berpengaruh
nyata negatif secara langsung, dan berpengaruh tidak nyata positif secara tidak
langsung. Proses penyuluhan berpengaruh tidak nyata negatif secara langsung
dan berpengaruh nyata positif secara tidak langsung. Faktor lingkungan
berpengaruh tidak nyata baik langsung maupun tidak langsung.. Sedangkan
kapasitas masyarakat perpengaruh nyata positif secara langsung terhadap
partisipasi masyarakat.
Hasil analisis SEM (Gambar 5 dan 6) dan analisis jalur menunjukkan
hanya peubah Kapasitas memperlihatkan pengaruh yang nyata positif terhadap
partisispasi. Sedangkan peubah eksogen yang memberikan kontribusi terbesar
bagi peningkatan kapasitas adalah proses penyuluhan dengan koefisien sebesar
0,60. Hal ini berarti bahwa intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat adalah menaikan kapasitas mereka melalalui peningkatan
kualitas proses penyuluhan.
Semua peubah eksogen mulai dari karakteristik internal, proses
penyuluhan, faktor lingkungan dan peubah endogen kapasitas berada pada
kategori tinggi, namun partisispasi berada pada posisi rendah. Bila mengacu pada
teori partisipasi menurut Slamet (2003), maka peubah peubah tersebut hanya
mampu mengungkapkan fenomena faktual terpenuhinya dua syarat partisipasi
yaitu kemauan dan kemampuan, sedangkan syarat kesempatan tidak terwujud.
Dengan kata lain, unsur motivasi atau kemauan (karakter individu) dan unsur
kapasitas, tidak diimbangi dengan syarat kesempatan yang diperoleh masyarakat.
Dengan demikian, meskipun unsur kemauan dan kemampuan berada pada
119

kategori tinggi namun tidak cukup kuat untuk mendorong terjadinya partisipasi
karena tidak adanya kesempatan.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, terungkap bahwa gagasan
menjadikan wilayah kepulauan Togean sebagai kawasan Konservasi dalam bentuk
taman nasional menuai kontroversi dan isu yang sarat dengan potensi konflik.
Dalam kondisi seperti ini, penyuluhan yang dilakukan juga bersifat mekanistik
satu arah dengan frekuensi yang sangat terbatas. Meskipun secara nasional telah
ditetapkan model pendekatan kemitraan (kolaboratif) atau partisipatif dalam
pengelolaan taman nasional, namun di tingkat implementasi masih terkendala
mekanisme koordinasi dan keseriusan menemukan solusi. Masyarakat terombang
ambing di antara harapan dan ancaman terhadap kehidupan mereka di tengah
praktek manajemen taman nasional. Akibat selanjutnya muncul pandangan
negatif dan anti pati terhadap gagasan taman nasional serta para aktor yang
membawa gagasan ini.
Sesungguhnya perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi
mengakui bahwa perencanaan terpusat atau pendekatan cetak biru tidak kondusif
lagi bagi manajemen sumberdaya lokal secara partisispatif. Namun, perubahan
paradigma dari menagement terpusat ke partnership management (partisipatif)
ditingkat konsep saja tak cukup berarti bila tidak diikuti dengan paraktek nyata di
lapangan. Pendekatan-pendekatan ekploratif termasuk pembelajaran (penyuluhan
atau pemberdayaan) adalah hal yang menjanjikan. Elemen kekuatan lokal yang
diwujudkan dalam partisipasi mereka dalam proses pengambilan keputusan,
termasuk perencanaan dan manajemen merupakan faktor kunci keberhasilan.
Hasil penelitian Kassa (2009) di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi
Tengah juga menunjukkan bahwa faktor kunci yang tidak mendukung
keberhasilan co-management/partnership management atau kemitraan di taman
nasional Lore Lindu adalah rendahnya partisipasi stakeholder, negosiasi yang
tidak melibatkan seluruh stakeholder, dan ketidak jelasan untuk mendapatkan
akses sumberdaya. Camala et al. (1977) menguraikan tingkatan tindakan dan
konsekwensi sikap partisipasi antara lain: Order-Reaction, Guide-Imagination,
120

Involving-Understanding, Empowering-Comitmen and Action. Uraian ini


mensyaratkan pelibatan dan pemberdayaan menjadi kata kunci yang menentukan.

Hubungan antar Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kapasitas dan


Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT

Terdapat hubungan di antara ketiga peubah independen, yaitu karakteristik


internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan (Tabel 26). Hubungan
karakteristik internal dan proses penyuluhan bersifat positif, bermakna bila
perubahan yang terjadi pada karakteristik individu akan diikuti pula dengan
perubahan searah pada proses penyuluhan dan sebaliknya. Keeratan hubungan
kedua peubah tersebut tergolong kuat, ditunjukan oleh koefisien hubungan sebesar
0,5 yang lebih besar atau sama dengan 0,5. Dengan demikian, bila motivasi dan
status sosial berubah akan diikuti pula oleh proses penyuluhan dan sebaliknya.
Hubungan karakteristik internal dan faktor lingkungan bersifat positif,
artinya perubahan yang terjadi pada karakteristik internal akan diikuti pola oleh
perubahan pada faktor lingkungan, dan sebaliknya. Namun keeratan hubungan
kedua peubah tersebut tergolong lemah, ditandai dengan koefisien hubungan
sebesar 0,28 yang lebih kecil dari 0,5.
Hubungan Proses penyuluhan dan faktor lingkungan bersifat positif,
artinya perubahan yang terjadi pada Proses penyuluhan akan diikuti pola oleh
perubahan pada faktor lingkungan, dan sebaliknya. Keeratan hubungan kedua
peubah tersebut tergolong kuat, ditandai dengan koefisien hubungan sebesar 0,56,
yang besar dari 0,5. Dengan demikian, bila proses penyuluhan berubah akan
diikuti pula oleh perubahan pada faktor lingkungan. Sebaliknya, bila faktor
lingkungan berubah, akan diikuti pula oleh perubahan pada proses penyuluhan.
Hubungan antar faktor ini mempertegas betapa peran penyuluhan sangat
menentukan dalam proses mendorong lahirnya pertisipasi masyarakat dalam
pengelolaan TNKT. Peranan tersebut harus ditunjang faktor eksternal seperti
implementasi paradigma kemitraan dalam pengelolaan taman nasional,
121

implementasi kebijakan di bidang penyuluhan dan suasana sosial politik budaya


dan hankam yang kondusif.

Strategi Penyuluhan untuk Pengembangan Kapasitas dan


Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT

Sintesis dari penelitian ini diperoleh Strategi Pengembangan Partisipasi


melalui proses penyuluhan dan kapasitas sebagai berikut :
(1) Mengingat partisipasi masyarakat adalah ”rendah” meskipun motivasi
(willingness) dan kapasitas (capacity) mereka ”tinggi,” maka perlu adanya
bentuk penyuluhan yang memberi peluang (opportunity) berperan dalam
pengelolaan TNKT. Pemberian peluang ini adalah bentuk
penghargaan/pengakuan (recognition) terhadap masyarakat lokal atas hak
ekologis yang terhalang karena kepentingan konservasi.
(2) Agar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT terarah dan
bertanggung jawab maka perlu ada wadah (formal atau informal) untuk
memfasilitasi proses partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
(3) Untuk menjamin tetap terjaganya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
TNKT secara berkesinambungan maka perlu ada mekanisme yang efektif
untuk pembagian manfaat (sharing of benefit) dan penanggungan resiko
(sharing of risk) dari SDA di wilayah TNKT.
(4) Mengingat partisipasi dipengaruhi secara nyata oleh kapasitas, sedangkan
kapasitas dipengaruhi secara nyata oleh proses penyuluhan maka fokus
untuk meningkatkan partisipasi terletak pada proses penyuluhan baik
kualitas (materi, media, metode, penyuluh, interaksi dan pola pendekatan)
maupun kuantitas (intensitas penyuluhan) serta kelembagaan penyuluhan.
(5) Agar respon negatif pada faktor lingkungan terhadap kapasitas dan karakter
individu masyarakat terhadap partisipasi dapat berubah menjadi positif maka
perlu ditingkatkan proses penyuluhan mengingat adanya keeratan hubungan
yang positif antara proses penyuluhan dengan karakteristik individu dan
faktor lingkungan.
122

Uraian yang komprehensif mengenai strategi ini dikembangkan lebih


lanjut dalam bentuk Model Pengembangan Partisipasi melalui proses penyuluhan
dan kapasitas masyarakat dalam Pengelolaan TNKT sebagaimana tertera pada
Gambar 8. Proses penyuluhan tersebut hendaknya dilakukan melalui beberapa
tahap sebagai berikut:

Tahap pertama, adalah analisis dan identifikasi kebutuhan secara


partisipatif antara penyuluh dan masyarakat. Riset ini menemukan bahwa
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT rendah sebagai akibat dari
minimnya kesempatan untuk berperanserta. Oleh karena itu, strategi paling awal
adalah mengikutkan masyarakat dalam proses identifikasi kebutuhan. Pada tahap
ini, penyuluh dan masyarakat harus dapat mengidentifikasi dan menentukan
kebutuhan yang dirasakan (felt need) dan kebutuhan sesungguhnya (real need)
berkait dengan TNKT.
Kebutuhan masyarakat yang dimanifestasikan dalam sub peubah motivasi
mendapat skor tinggi pada beberapa indikator seperti kebutuhan akan akses
permodalan, ruang atau lokasi usaha dengan hasil yang memadai (akses ruang
dan SDA) serta keinginan untuk menjaga kelestarian alam dan menjalin
hubungan sosial dengan sesama (jaminan keberlanjutan)..
Patut diakui bahwa saat ini di pulau Togean terjadi benturan tiga
kepentingan antara ekonomi, sosial dan ekologi. Desakan kebutuhan ekonomi
yang terus meningkat berhadapan ”vis a vis” dengan ketersediaan SDA yang kian
langka akibat rusaknya ekosistem, eksploitasi berlebihan (jumlah dan intensitas)
dan masalah hak kelola masyarakat terutama dalam perspektif tata ruang atau
penggunaan ruang terbuka.
Ide pembatasan atau pengaturan penggunaan SDA seperti yang dibawa
oleh gagasan konservasi dalam bentuk Taman Nasional untuk mengatasi situasi
terkurasnya SDA, dipandang oleh masyarakat sebagai upaya untuk membuat
mereka makin sulit untuk memperoleh nafkah. Hasil penelitian Arif Satria (2002)
mengungkapkan bahwa kesejahteraan terutama para nelayan lebih dipengaruhi
123

oleh dua hal yaitu akses pemanfaatan mereka pada sumberdaya dan kontrol
mereka pada sumberdaya tersebut. Kajian ini sejalan dengan banyak penelitian
sebelumnya yang mengusulkan jalan keluar untuk mengatasi SDA perikanan
berupa kontrol pada akses dan pemanfaatan sumber daya (Saad, 2009).
Ketika diadakan wawancara mendalam di Desa Tanjung Pude, seorang
responden mengungkap kerisauannya sebagai berikut : ”sedangkan tidak dibatasi
pengambilannya, kami sudah mengalami kesulitan menangkap ikan dan teripang
apalagi kalau dibatasi.”
Ungkapan masyarakat ini memperteguh kebenaran hasil kajian Satria
tersebut, namun sekaligus mengungkapkan bahwa masyarakat memiliki
pemahaman yang sangat minim tentang makna konservasi dan arti kehadiran
taman nasional di wilayah mereka. Seperti diketahui bahwa taman nasional
membawa tiga misi yaitu misi perlindungan, misi konservasi dan misi
pemanfaatan. Dari ketiga misi tersebut tampak akan terjadi perubahan
penggunaan ruang yang semula bebas akses menjadi terbatas. Tetapi keterbatasan
tersebut sesungguhnya untuk kepentingan jangka panjang pemanfaatan SDA atau
ruang nafkah secara berkelanjutan. Namun pembatasan tersebut, terutama dalam
jangka pendek pasti menimbulkan kontraksi sosial akibat ketidak fahaman dan
Desakan kebutuhan. Hal ini akan sangat terasa misalnya pada kasus pengaturan
pemanenan teripang yang serba dilematis. Oleh karena itu, diperlukan jalan
keluar yang komprehensif untuk mengatasi dilema ini melalui proses penyuluhan.
Tahap kedua, adalah proses penyuluhan yang dapat meningkatkan
kapasitas masyarakat dan selanjutnya akan meningkatkan partispasi mereka.
Strategi peningkatan kapasitas melalui penyuluhan membutuhkan ketersediaan
penyuluh yang berkualitas dalam menguasai materi, metode dan kemampuan
berkomunikasi baik kualitas mapun intensitasnya serta dukungan kebijakan yang
memadai. Kualitas penyuluh yang profesional merupakan prasyarat utama bagi
terselenggaranya suatu penyuluhan yang dapat meningkatkan kapasitas
masyarakat. Penyuluh yang profesional akan berfungsi lebih sebagai fasilitator,
124

mediator dan pemandu sehingga penyuluhan berlangsung secara demokratis dan


egaliter.

MASUKAN (Input):

(Partisipasi rendah) Dukungan


Identifikasi : Kebijakan
akses ruang dan SDA, akses penerapan
modal, menjaga kelestarian alam dan pendekatan
menjalin hubungan sosial kemitraan
pengelolaan
Kawasan
konservasi

PROSES :
Kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan
Motivasi atau kemauan dan Kapasitas
Masyarakat

KELUARAN (Output):
Peningkatan Kapasitas masyarakat terutama
berkaitan dengan sikap mental dan kesetaraan
serta motivasi atau kemauan

MANFAAT (Outcome): DAMPAK


Masyarakat bersedia untuk ikut (Impact):
berpartisipasi dalam kegiatan Masyarakat sejahtera
pengelolaan TNKT & Lingkungan lestari

Gambar 8. Strategi Pengembangan Partisipasi Melalui Proses Penyuluhan dan


Kapasitas Masyarakat dalam Pengelolaan TNKT

Strategi penyuluhan terutama berkaitan dengan materi penyuluhan,


selain yang berhubungan dengan motivasi dan pengetahuan tentang teknis inovasi
dan alternatif usaha, juga aspek keberlanjutan ekologis. Sumber informasi tidak
hanya berasal dari penyuluh tetapi juga berasal dari masyarakat sehingga mereka
125

sebagai subyek yang berperan aktif dan partisipatif dalam proses penelusuran,
penggalian dan penemuan ilmu dan teknologi. Selain itu, materi teknis yang
dikembangkan harus diikuti dengan upaya membuka akses permodalan dan
pemasaran serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai.
Berdasarkan temuan penelitian ini, semua upaya ini baru akan efektif bila
diimbangi dengan pemberian kesempatan (oportunity), kepercayaan (trust) dan
penghargaan atau pengakuan akan hak masyarakat lokal (recognition) dan
pelibatan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain strategi
pendekatan harus bersifat komprehensif berupa penyuluhan (pemberdayaan)
partisipatif dalam bentuk pendampingan terpadu. Penyuluhan partisipatif
memungkinkan tergalinya kebutuhan real masyarakat dan pendampingan terpadu
akan menjadi jembatan bagi terpecahkannya masalah secara holistik atas
dukungan semua aktor terkait.
Interaksi dengan penyuluh tergolong sedang maka intervensi penyuluhan
harus dilakukan dengan intensitas yang makin meningkat. Komunikasi pada
penyuluhan untuk meningkatkan kapasitas haruslah model komunikasi yang
konvergen yang menggambarkan partisipasi penyuluh dan masyarakat yang saling
bertukar informasi dalam pemahaman, pengertian dan kebutuhan sehingga
menemukan kesamaan pandang. Kebalikannya adalah model komunikasi linier
yang menyebabkan masyarakat bersifat pasif karena komunikasi hanya
berlangsung satu arah. Model dan intensitas komunikasi ini selain diharapkan
dapat mengimbangi dan menepis isu negatif juga meyakinkan mereka akan
substansi konservasi yang akan membawa manfaat bagi mereka saat ini maupun
untuk anak cucu mereka kelak. Hanya bila masyarakat teryakini akan manfaat
sebuah ide yang dibawa dan kesempatan yang dibuka maka dengan mudah
mereka akan ikut berpartisipasi.
Lembaga penyelenggara penyuluhan baik pemerintah pusat, pemerintah
daerah maupun kalangan NGO harus memilik kesamaan pandang tentang baik
paradigma penyuluhan maupun substansi yang akan disuluhkan. Dalam hal
status, mekanisme hingga wewenang atau otoritas pengelolaan taman nasional
126

misalnya, menimbulkan kebingungan di tingkat masyarakat sehingga


memperbesar peluang penolakan.
Dengan demikian, analisis akar masalah dapat diarahkan pada peningkatan
kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konservasi dan perbaikan kebijakan
pengelolaan dan implementasinya. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian
Amzu (2007), di Taman Nasional Meru Betiri yang mensintesis akar masalah
konservasi dengan dua pendekatan, yaitu: (1) membangun sikap masyarakat pro-
konservasi dan (2) perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan. Kalau
kita kaitkan dengan teori partisipasi maka pendekatan pertama tersebut mewakili
aspek ”kemauan dan kemampuan” sedangkan pendekatan kedua mewakili aspek
”kesempatan.”
Strategi tahap satu dan dua ini juga sejalan dengan Surjadi dan Supriatna
(1998) yang mengelompokan tiga hal yaitu ; ”base line data colection, communty
development toward environmenttaly sound development and policy outreach.”

Tahap Ketiga : adalah keluaran (output) yaitu terjadi peningkatan motivasi


atau kemauan dan kapasitas masyarakat sebagai hasil proses penyuluhan yang
benar dan tepat. Ukuran keberhasilan penyelenggaraan penyuluhan adalah
perubahan perilaku masyarakat yang ditunjukan oleh kapasitas yang tinggi dalam
hal keterbukaan menerima inovasi, pengetahuan dan kemampuan dalam usaha
ekonomi yang ramah lingkungan serta tingkat kepedulian pada penyelamatan
lingkungan dan sumberdaya alam.
Dalam hal ini dibutuhkan transformasi perilaku dari kebiasaan lama
memanfaatkan SDA secara bebas ke kebiasaan baru penggunaan terbatas dengan
memperhitungkan daya dukung dan keberlanjutannya. Disadari bahwa akan
terjadi dilema antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Ide
moratorium (istirahat sementara) sebagai instrumen pembatasan misalnya, akan
berhadapan dengan terhenti sementara atau hilangnya peluang usaha harian
masyarakat (one day fishing) untuk memenuhi nafkah atau ekonomi keluarga (job
opportunity). Namun bila tidak dilakukan moratorium maka stok sumberdaya
alam makin menipis dan akan punah satu ketika sehingga masyarakat kehilangan
127

kesempatan usaha secara parmanen. Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah
bila sumberdaya alam tersebut termasuk kategori ”endemik” yang amat bernilai
tinggi baik ekonomi, sosial maupun ekologi yang sesungguhnya menjadi
tanggung jawab universal.
Kondisi ini hanya bisa difahami dan dipatuhi oleh individu masyarakat
yang memiliki kapasitas yang tinggi baik berkaitan dengan aspek teknis produksi
maupun aspek konservasi lingkungan dan hubungan sosial yang baik. Individu
masyarakat dengan kapasitas ini, akan dapat berfungsi sebagai ”aktor sosial.”
Aktor sosial dalam hal ini adalah mereka yang mempunyai kapasitas atau
pengetahuan dan kemampuan untuk berpartisispasi terutama dalam proses
pengambilan keputusan.
Tahap ke empat adalah manfaat (outcome) yang diperoleh sebagai akibat
meningkatnya kapasitas masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi
mereka. Terdapat tiga hal yang menjadi prasyarat bagi lahirnya partisispasi yaitu:
kemaun, kemampuan dan kesempatan. Faktor kemauan akan berhubungan
dengan motivasi dan motivasi yang kuat selalu berkaitan dengan manfaat yang
diperoleh. Hanya masyakarat yang merasa memperoleh manfaat yang akan mau
mengikuti suatu anjuran.
Jika tidak ada cara yang berarti untuk memberi keuntungan bagi
masyarakat lokal untuk upaya konservasi mereka berarti tidak adil dan sering kali
sangat tidak realistis untuk mengharapkan mereka mengorbankan kebutuhan
mereka sendiri demi cita cita konservasi. Banyak upaya yang telah dilakukan
bahkan dalam bentuk proyek konservasi, tidak memberi manfaat yang berarti
bagi masyarakat lokal. Sering kali biaya proyek diinternalisasi di dalam
masyarakat tetapi keuntungannya dinikmati di tempat lain.
Oleh karena itu, pendekatan partisipasi dalam bentuk penyuluhan dan
pemberdayaan di bidang pembangunan dan konservasi harus diimbangi dengan
upaya untuk menyediakan masyarakat lokal dengan insentif ekonomi melalui
jaminan akses kepada sumberdaya atau melalui mekanisme kompensasi untuk
menggantikan peluang usaha mereka yang hilang, terhalang atau tertangguhkan,
128

sehingga mereka tidak menjadi korban konservasi. Kompensasi dapat bersumber


dari dana pemberdayaan baik dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, lembaga
internasional, maupun dalam bentuk CSR yang bersumber dari perusahaan yang
banyak beroperasi di Pulau Togean. Bentuk keikutsertaan institusi baik
pemerintah maupun swasta ini bisa dibangun dalam pola kemitraan sebagai model
pendekatan dalam pengelolaan TNKT. Sumberdana yang lain dapat diusahakan
melalui konsep imbal jasa dan valuasi lingkungan yang penerapannya masih
membutuhkan prospek.
Potensi alam dan wisata bisa menjadi satu unsur penunjang atau alternatif
usaha dalam bentuk pemanfaatan jasa lingkungan. Temuan penelitian Rahmat
(2000), yang mengungkapkan bahwa 70 persen masyarakat Togean menyetujui
kegiatan ekoturisme sebagai skala prioritas di Desanya dan 90 persen masyarakat
mempercayai bahwa ekoturisme akan membawa perbaikan bagi Desa dan
masyarakat Togean. Upaya tersebut dapat secara komplementer menunjang tujuan
konservasi di satu sisi dan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan di sisi yang
lain. Upaya ekoturisme ini sesungguhnya pernah digagas bersama antara
masyarakat dengan pihak NGO bahkan hingga pada pembentukan kelembagaan
dan memperoleh sukses luar biasa namun tidak berkesinambungan.
Sebagai contoh, pada tahun 1997, Konsorsium Togean yang dibentuk oleh
YABSHI dan CII bersama masyarakat setempat membentuk Jaringan Ekowisata
Togean (JET). Seluruh anggota JET adalah penduduk lokal yang ingin
memperoleh manfaat dari kedatangan wisatawan, seperti nelayan, petani, pemilik
penginapan (homestay) dan pengelola atraksi wisata. Mereka mengembangkan
beberapa atraksi wisata alam, seperti pembuatan jalur treking di hutan Malenge
serta jembatan kayu menyusuri hutan bakau di Desa Lembanato. Bahkan, atraksi
jembatan bakau ini sempat menarik keuntungan dari turis yang datang, penetapan
tarif masuk sebesar Rp 15.000,- per kepala (belum termasuk sumbangan sukarela)
Dari kegiatan-kegiatan tersebut tahun, 1999 JET dianugerahi British Airways
Award untuk kategori Highly Recommended Tourism for Tomorrow. Penghargaan
129

ini diterima langsung oleh salah seorang warga Togean asal Desa Lembanato di
London, Inggris (salah satu responden dalam penelitian ini).
Saat ini, kesuksesan bersama tersebut tinggal kenangan karena tidak ada
upaya untuk menjaga sisi keberlanjutannya karena ditinggal pergi lembaga NGO
pendamping. Selain itu, bersamaan dengan kerusuhan Poso yang berdampak
pada turunnya kunjungan wisata, juga karena tidak dilakukan pengambil alihan
(take over) pembinaan agar masyarakat benar benar mandiri untuk
menjalankannya sendiri.

Tahap ke lima adalah dampak (impact) yang merupakan hasil jangka


panjang dari proses penyuluhan, peningkatan kapasitas dan partisipasi. Hasil
jangka panjang tersebut dicirikan oleh meningkatnya kesejahteraan masyarakat
dan terjaganya lingkungan hidup secara lestari. Pada tahap ini telah muncul
pemahaman dan kesadaran pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Untuk menjamin proses dan pencapaian ini secara berkesinambungan,
dibutuhkan intervensi berupa dukungan kebijakan karena motivasi dan kapasitas
yang dibangun dari proses penyuluhan saja tidaklah menjadi jaminan bagi
bangkitnya partisipasi. Motivasi dapat diidentikan dengan kemauan dan kapasitas
identik dengan kemampuan, keduanya berasal dari dalam sedangkan kesempatan,
dalam hal ini, datangnya dari luar terutama dalam bentuk kebijakan. Kebijakan
tersebut berkaitan dengan kemauan politik yang diwujudkan dalam bentuk aturan
hukum dan diimplementasikan dalam wujud program. Program ini hendaknya
dapat menjamin keharmonisan antara pengembangan ekonomi, kelestarian
lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal.
Bila masyarakat lokal patut dilindungi hak dan kepentingannya bukan
semata karena mereka memiliki kearifan yang positif atau karena saat ini banyak
yang berperilaku negatif. Bukan pula sekedar karena mereka merupakan
sumberdaya produktif atau sebagai potensi ancaman. Mereka layak dibela karena
kehidupannya sangat tergantung pada SDA di sekitarnya. Selain itu, keberadaan
mereka secara legal di satu kawasan dan interaksinya dengan SDA jauh lebih awal
sebelum negara ada. Oleh karena itu masyarakat lokal itu perlu dipulihkan
130

haknya (hak akses, hak milik atau hak untuk mengelola). Faktanya, hak mereka
itu sering dipinggirkan dan proses ini justru menghilangkan kearifan lokal yang
kemudian memunculkan perilaku baru yang merusak. Padahal, berbagai
pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan yang
memadai untuk mengelola SDA secara produktif dan lestari.
Berdasarkan temuan penelitian, kebijakan yang amat dibutuhkan dapat
berupa: (1) penataan tata ruang dengan memperhatikan hak-hak masyarakat, (2)
konsistensi penerapan paradigma kemitraan pengelolaan taman nasional, (3)
penerapan paradigma penyuluhan konvergen, yang dimulai dengan analisis
kebutuhan hingga merancang dan melaksanakan program (4) akses permodalan
dan pembangunan sarana prasarana penunjang usaha khususnya di bidang
perikanan/kelautan dan pertanian yang merupakan sektor usaha mayoritas
masyarakat Togean. Hanya bila langkah langkah ini dilakukan dengan benar
maka kita akan optimis mencapai tujuan jangka panjang sebagai dampak (impact)
dari proses penyuluhan, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan TNKT yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat dan kelestarian
lingkungan hidup secara simultan.
131

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat dirumuskan


kesimpulan sebagai berikut:
(1) Partisipasi masyarakat kepulauan Togean dalam pengelolaan TNKT berada
pada kategori “rendah” karena minimnya peluang untuk turut serta dalam
menentukan status dan pengelolaan kawasan TNKT tempat mereka
bermukim. Minimnya peluang ini berkait dengan koordinasi dan kolaborasi
serta suasana konflik antar aktor baik masyarakat, NGO, pihak swasta dan
antar pemerintah.
(2) Kapasitas masyarakat menyangkut sikap mental dan kesetaraan dalam
pengelolaan TNKT dipengaruhi secara nyata oleh proses penyuluhan
terutama intensitas dan faktor lingkungan dalam hal peran pemimpin
informal dan kerjasama.
(3) Faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan TNKT adalah faktor internal individu dalam hal motivasi dan
status sosial serta kapasitas masyarakat dalam hal sikap mental dan
kesetaraan. Faktor faktor ini memiliki korelasi dan pengaruh positif yang
nyata dengan proses penyuluhan.
(4) Ketiga faktor yang berpengaruh pada kapasitas masyarakat dan partisipasi
dalam pengelolaan TNKT, yaitu karakteristik internal, proses penyuluhan
dan faktor lingkungan memiliki hubungan yang erat dan positif.
(5) Strategi yang dapat digunakan adalah meningkatan proses penyuluhan yang
konvergen dengan memberikan peluang yang luas kepada masyarakat
untuk ikut serta dalam proses pengelolaan TNKT. Ikut sertanya masyarakat
dalam pengelolaan TNKT diikuti dengan pemberdayaan akan melahirkan
pemahaman, kesadaran, komitmen dan tindakan yang membangkitkan rasa
memiliki untuk mengelola dan memelihara secara bersama-sama.
132

Saran

Saran temuan ini ditujukan kepada lembaga terkait baik pada tingkat
daerah mapun pusat dan para penyuluh guna mendorong peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNKT, sebagai berikut:
(1) Mengingat rendahnya partisipasi adalah akibat dari minimnya peluang dan
biasnya informasi yang diterima masyarakat tentang TNKT maka pihak
yang berkepentingan perlu meningkatkan intensitas penyuluhan dengan
membuka peluang partisipasi yang luas bagi masyarakat untuk ikut
memikirkan bahkan menjadi penentu dalam proses pengelolaan TNKT.
(2) Agar partisipasi masyarakat dapat efektif, maka pemerintah pusat dan daerah
perlu segera memberikan kepastian status TNKT diikuti penerapan secara
konsisten konsep kemitraan (kolaborasi) yang menjamin keterlibatan
masyarakat dalam struktur kelembagaan formal/informal untuk
memfasilitasi partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT.
(3) Agar terjadi integrasi pembangunan secara berkelanjutan di TNKT maka
pihak-pihak berkepentingan mutlak mendorong partisipasi masyarakat
dalam hal pembangunan ekonomi, sosial dan konservasi dengan
menghormati hak ekologis mereka dan membangun mekanisme yang efektif
untuk mengelola manfaat (sharing of benefit) dari pemanfaatan SDA di
kawasan konservasi. Dengan kata lain perlu ada jaminan akses kepada
sumberdaya atau kompensasi atas akses mereka yang terhambat akibat
penetapan kawasan ini sebagai Taman Nasional..
(4) Mengingat keterbatasan penelitian ini yang lebih banyak mengungkap aspek
internal yang menyebabkan terjadinya partisipasi, maka perlu penelitian
sejenis mengenai faktor lain yang bersifat ekternal yang belum diteliti pada
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdussamad. 1991. “Partisipasi Petani dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian.”


[Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.

Adiwibowo, S, Shohibuddin M, Savitri LA, Sjaf S, Yusuf M. 2009. Analisis Isu


Permukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia. SAINS Sayogyo
Institute.

Aliadi, A, Kismadi B dan Munggoro DW. 2002. Berbagi Pengalaman


Pengelolaan SDA Berbasis Masyarakat. Bogor : Pustaka Latin.

Alikodra, HS, dan HR Saukani. 2004. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas :
Menyibak Tragedi Kehancuran Hutan. Cetakan Pertama. Bandung:
Nuansa

Amzu, E. 2007. “Sikap Masyarakat dan Konservasi : Suatu Analisis Kedawung


(Parkia Timoriana (DC) Merr) sebagai stimulus Tumbuhan Obat bagi
Masyarakat, Kasus Taman Nasional Meru Betiri”. [Disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana IPB.

Anantanyu, S. 2009. “Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan


Kelompok Tani. Kasus di Privinsi Jawa Barat.” [Disertasi]. Bogor: Sekolah
Percasarjana IPB..

Arif, M. 1995. Materi Pokok Organisasi dan Manajemen. Jakarta : Universitas


Terbuka.

Arif Satria. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakartan: PT Pustaka Cidesindo.

Arnstein, Sherrry R. (1969). A leader of Citizen Participation. Journal of the


American Institute of Planners, Vol 35: pp. 216.
Asngari, PS. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha
Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis.
Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor: Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.

________. 2003. “Pentingnya Memahami Falsafah Penyuluhan Pembangunan dalam


Rangka Pemberdayaan Masyarakat. Di Dalam Membentuk Pola Prilaku
Manusia Pembangunan. Diedit oleh Sudrajat dan Yustina. Bogor: IPB Press.

132
Asngari. 2008. ”Peranan Perguruan Tinggi dalam Pengembangan SDM
Pembangunan.” Di Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan Yang
Bermartabat. Diedir oleh Sudrajat dan Yustina. Bogor: Syndex Plus.

Aziz, K. 2008. Kredit Union Bolano. Makalah, disajikan pada Seminar tentang
Good Practices. Sulawesi Capacity Development Project,Palu : JICA-
Bapedda Sulteng.

Borrini, FG., Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Co-management of
Natural resources: Organising, Negotiating and Learning-by-Doing.
Heidelberg: GTZ and IUCN.
Buttman, M, Paula E, Folbre N, Liana S, dan Goerge M. 2003. “When does gender
trump money: bargainng and the time in household work.” American Journal
of Sociology.

Bessete, G. 2004. Involving the Community : A Guide to Participatory Development


Comunication Penang : South Bond, International Development Research
Centre.

Chamala, Shankariah and PM. Shingi. 1977. “Establishing and Strengthening


Farmer Organizations.” Dalam Improving Agricultural Extension: A
Reference Manual. Disunting oleh Burton E. Swanson, Robert P. Bentz, dan
Andrew J. Sofranko. Roma: FAO.

Cangara. 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada

[CII] Conservation International Indonesia. 2005. Konservasi Berbasis Masyarakat


Melalui Daerah Perlindungan Laut Di Kepulauan Togean. Palu : CII
Togean Program
[CIDA] Canadian International Development Agency 2002. ”A Capacity
Development Experience in the Water Sector in Indonesia”. Manado: The
North Sulawesi Water Resources International Project,
Cohen, J., Uphoff N. 1980. Participation place in rural development : seeking
clarity trough Specificity. J. World Development Vol 8.

Crawford, M. 2005. Kepemimpinan dan Kerjasama Tim di Dalam Manajemen


Kependidikan. Jakarta : Garamedia Widiasarana Indonesia.
Davis K, John WN. 1989. Perilaku dalam Organisasi. Agus Dharma, Penerjemah.
Surakarta: Universitas Negeri Surakarta.

133
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta : Dephut.

_______. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004 Tentang


Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan dalam
Rangka Social Forestry. Jakarta : Dephut.

______, 2004. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 Tentang


Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam. Jakarta. : Dephut.

[Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Eberley, W. 2007. Stakeholder participation in poverty reduction. [INEF Report


86]. Duisburg : Institute For Development and Peace.

Farid, A. 2008. “Kemandirian Petani dalam pengambilan keputusan Pengelolaan


usaha tani: kasus petani Sayuran di kabupaten Bondowoso dan Pasuruan
Propinsi Jawa Timur.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.

Fitzduf, M. 2002. Ketrampilan Komunitas Dalam Menghadapi Konflik. Buku


Pegangan untuk Kerja Kelompok di Irlandia Utara. Jakarta: Britis Council.

Gagne, RM. 1977. The Condition of Learning. New York : Rinehart and Winson.

Gerungan, WA. 1999. Psicologi Sosial. Bandung : Eresco.

Ginting, R. 1999. “Peranan pemimpin informal dalam menggerakan partisipasi


masyarakat untuk pembangunan desa.” [Disertasi]. Bogor : Program
Pascasarjana IPB.

Hamalik, O. 1986. Metodologi Pengajaran Ilmu Pendidikan, Berdasarkan


Pendekatan Kompetensi. Bandung : Mandar Maju.

Hamundu, M. 1997. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Jakarta : Warna


Indonesia.

Herminto, S. 1996. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengembangan Terpadu


Kawasan Kepulauan Togen, Sulawesi Tengah. Editor : Hadi Purnomo dan
Cristoverius Hutabarat. Kerja Sama Dirjen Perlindungan Hutan dan PSDA,
KLH dan Pemda Sulawesi Tengah.

134
Hofstede, W. 1991. Pembangunan Masyarakat. Kumpulan Karangan. Society in
Transition. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Hutabarat, C. 1996. Potensi dan Ancaman Terhadap ekosistem Terumbu Karang Di


kepulauan Togean. Bogor. YABSHI.

Ibrahim, JT, Sudiyono, Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian.


Malang : Bayu Media Publising.

Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives. Vision,


Analysis and Practice, Australia, Longman.

[IUCN]. 1980. World Conservation Strategy: Living Resource Conservation for


Sustainable Development. International Union for Conservation of Nature
and Natural Resources - UNEP - WWF. Gland: Switzerland.

________ 1985. United Nations List of National Parks and Protected Area.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.
Gland, Switzerland.

Kartasubrata, J. 1986. “Partisipasi rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan


di jawa: studi kehutanan sosial di daerah hutan produksi, hutan lindung dan
hutan konservasi.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, IPB.

Kassa, S. 2009. “Konsep pengembangan co-management untuk melestarikan Taman


Nasional Lore Lindu.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, IPB.

Katz, D. 1960. “The Functional Approach to the Study of Attitudes.” Di dalam The
Canadian Pespective Consumer Behavior, oleh Kindra, Larose dan Muller.
Canada: International Thomson Publishing.

Kaye, H. 1997. Mengambil Keputusan Penuh Percaya Diri. Jakarta. Mitra Utama.

Kerlinger, FN. 2004. Asas-Asas Penelitian Behavioral. (Terjemahan). Yogyakarta :


Gajah Mada University.

Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural: Satu dan Multigroup Sampel


dengan LISREL. Bandung: Alfabeta.

Laban, BY. 2002. Prospek Nagatif Penebangan Liar di Taman Nsional lore Lindu
(Negatif prospect of Illegal Logging in Lore Lindu Nasional Park) Palu :
TNLL.

135
Lippit, R., W Jeanne, W Bruce . 1958 . The Dynamics of Planned Change.
Harcourt: Brace & World, Inc.
Lowe, C. 2004. Making the monkey : how the Togean macaquue went from new
form to endemic speciesin Indonesiaans conservation biology. University of
Washinton. Jurnal Cultural Anthropology vol 19 issu 4.

Madrie. 1986. “Beberapa faktor penentu partisipasi anggota masyarakat dalam


pembangunan pedesaan.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.

Mappatoba, M. 2004. Co-management of Protected Areas. The case of Community


Agreement on Concervation in the Lore Lindu National Park, Central
Sulawesi-Indonesia. Gottingen : Cuvillier Verlag.

Mar’at. 1981. Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta : Ghalia


Indonesia.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta :


Universitas Sebelas Maret.

Moffat, I., Hanley , Wilson MD. 2001. Measuring and Modelling Sustainable
Development. New York : The Parteneon Publihing Group.

Muhammad, A. 1995. Komunikasi Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara.

Mubyarto. 1984. Prasarana pada Widyakarya Nasional Teknologi Pedesaan.


Jakarta : LIPI.

Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kkonsep, Karakteristik dan


Implementasi) . Bandung : Remaja Rosdakarya.

Ndraha, T. 1990. Pembangunan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.

[OPC] The Ontario Prevention Clearinghouse. 2002. Capacity Building for Healt
Promotion: More than bricks and mortar. Ontario Toronto.

Oppenheim, AN. 1966. Questioner Design, Interiewing and


AttitudebMeasurement. New York : Basic Book, Inc.

Padmowihardjo, S. 1999. Perilaku komunikasi, perilaku wirausaha peternak dan


penyuluhan sistem agribisnis ayam. [Disertasi]. Bogor : Program
Pascasarjana IPB.

136
Padmowihardjo, 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan
Sistem dan Usaha Agribisnis. Jakarta : Departemen Pertanian.

Purnaningsih, N. 2006. ”Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di


Provinsi Jawa Barat.” [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.

Purwanto, M. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Rahmat, A. 2000. “The Present Situation and Potentialof Ecotourism in The


Togean Islan, Central Sulawesi Indonesia.” [Thesis] Ontario : Waterloo
University.

Rakhmat, J. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ramade, F. 1987. Les catastrophes écologiques. Paris : Mc Graw-Hill.

Ramirez, R. 1999. Stakeholder Analysis and Conflict Management dalam Daniel


Buckles, 1999. Cultivating Peace, Conflict and Collaboration in Natural
Resource Management WBI Washinton DC USA : WBI

Reijntjes, C. B Haverkort dan A Water-Bayer. 1995. Une agriculture pour


demain ; Introduction à une agriculture durable avec peu d’intrants
externes. Paris: Edition Kartala et CTA – KARTALA.

Riduwan. 2003. Skala Pengukuran Variabel –Variabel. Bandung: Alfabeta.

Robbins, SP. 2003. Perilaku organisasi: Konsep, Kontroversi, dan Aplikasi.


Pudjaatmaka H, Molan B, penerjemah. Jakarta: Prenhallindo.

Roger, EM, dan FF Shoemaker. 1971. Communication of Inovations. A Cross


Cultural Approach. New York: A Division of The Macmillan Company.

Roger, EM. 1994. The Diffussion Process. Edisi Keempat New York: The Free Press.

Ruben, D.B. 1988. Communication and Human Behavior. New York: Macmillan
Publishing Company.

Rudito, B. 2003. Akses Peranserta Masayarakat. Lebih Jauh Memahami Community


Development. Jakarta : Indonesia Center for Sustainability Development
(ICSD).

Saad, S. 2009. Bajo. Berumah di Laut Nusantara. Jakarta : Coremap II.

137
Saad, S. 2009. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan. Eksistensi dan Prospek
Pengaturannya di Indonesia. Yogyakarta : LKIS.

Sadiman, AS, Haryono dan Rahardjo, 1986. Media Pendidikan: Pengertian,


Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta : Rajawali.

Saharuddin. 1987. ”Partisipasi kontak tani dalam perencanaan dan pelaksanaan


program penyuluhan pertanian.” [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.

Sahidu, A. 1998. ”Partisipasi masyarakat tani pengguna lahan sawah dalam


pembangunan pertanian di daerah Lombok, NTB.” [Disertasi]. Bogor :
Program Pascasarjana IPB.

Sajogyo. 1980. Menuju Partisipasi Mendasar Golongan Petani dalam Dasawarsa


1980-an : Sebuah Tanggapan Atas Kertas Kerja Induk HKTI di Seminar
Petani buruh Jakarta.. Bogor : Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan IPB.

Sangadji, MN. 1997. ”Le system d’agriculture itinerante; un cas de l’interface


home-nature et da la problema d’amanagement au centre du Selebes.”
[These]. Lyon France : Universite de Lyon3.

Sarwono, B. 2001. Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial.


Jakarta: Balai Pustaka.

Sen, S, Nielsen JR. 1996. Fisheries Co-management: a Comparative Analysis.


Journal Marine Policy 5:405.
Sevilla, Consuelo G., A Ochave, G Punsalan, P Regala dan Uriarte G. 1993.
Pengantar Metode Penelitian, Tuwu A, penerjemah. Jakarta : UI-Press.

Siagian, SP. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Balai Pustaka.

Sidney, S. 1985. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT


Gramedia..

Sidu, D. 2006. “Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi


Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tengah.” [Disertasi]. Bogor : Program
Pascasarjana IPB.

Singarimbun, M., dan S Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3S.

Siti Amanah. 2006. “Pengembangan masyarakat pesisir berdasarkan kearifan


lokal: Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.” [Disertasi]. Bogor :
Sekolah Pascasarjana IPB.
138
Slamet, M. 2003. “Meningkatkan Pertisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Perdesaan.” Di dalam Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan. :
Diedit oleh Sudrajad dan Yustina. Bogor : IPB Press.

Soedijanto, P. 1994. Psikologi Belajar-Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka

Soeitoe, S. 1982. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Soekanto. 2002. Beberapa Upaya untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat


dalam Pembangunan Desa. Jakarta : Analisa CSIS.

Soekartawi. 1998. Pembangunan Pertanian. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Soenarmo, HS., 2005. Kumpulan Materi Psikologi Pendidikan. Ilmu Penyuluhan


Pembangunan. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Solimun. 2002. Multivariate Analysis: Struktural Equation Modeling (SEM), Lisrel


dan Amos. Malang : Universitas Brawijaya.

Spencer, Lyle M., dan Signe M. Spencer, 1993. Competence at Work: Model For
Superior Performance. New York: John Wiley and Sonc Inc.

Sri Handayani. 2008. “Partisipasi masyarakat kampung kota untuk meningkatkan


kualitas lingkungan permukiman: kasus perumahan kampung kota di
Bandung.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB.

Subagyo, H. 2008. “Peranan kapasitas petani dalam mewujudkan keberhasilan


usaha tani : kasus petani sayuran dan padi di kabupaten Malang dan Pasuruan
Propinsi Jawa Timur.” [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.

Sudjana. 2003. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung. Tarsito.

Suhandi, AS. 2001. The Indonesian experience on community based ecotourism


development. Paper Presented at National Seminar on Sustainable Tourism
Development: Community-Based Tourism Development and Coastal Tourism
Management in Indonesia. Jakarta, 27-28 June 2002. ESCAP-IOTO-WTO.
Jakarta.

Sumardjo. 1988. “Partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi rumah tangga di


pedesaan jawa (studi kasus penerapam intensifikasi tembakau pada desa di
lingkungan perkebunan besar di Kabupaten Klaten).” [Tesis]. Bogor: Fakultas
Pascasarjana, IPB.

139
Sumardjo. 1999. “Transformasi model penyuluhan pertanian menuju pengembangan
kemandirian petani. kasus di Propinsi Jawa Barat.” [Disertasi]. Bogor :
Program Pascasarjana IPB.

________, 2008. Penyuluhan pembangunan pilar pendukung kemajuan dan


kemandirian masyarakat” Di Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan
Yang Bermartabat. Diedit oleh Sudrajat dan Yustina. Bogor: Syndex Plus.

Suparno, S. 2002. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta : Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.

Suporahardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi. Memahami Paluralisme


Membangun Konsensus. Bogor : Pustaka Latin.

Surjadi, P., dan J Supriatna. 1998. Bridging Community Needs and Government
Plannng in the Togean Islands, Central Sulawesi Indonesia. Conservation
International.
Susanto, J. 1979. Nutrition Community Education Program at Village Level : To
Make People Aware of Using Local Green-Leaf-Vegetables To Prevent
Xerophthalmia In Indonesia. Paper. Cornell University. USA.

Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian.


Penjelasan Konsep, Istilah, Teori, dan Indikator serta Variabel. Jakarta : PT.
Bina Rena Pariwara,.

Tadjudin, Dj. 2000. Managemen Kolaborasi. Latin, Bogor.

Triton, PB. 2006. SPSS. 13.0 Terapan; Riset Statistik Parametrik.Yogyakarta :C.V.
Andi offset.

Tampubolon dan Nahar. 2007. Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Ekowisata


di Kepulauan Togean. Palu. FH UNTAD-Bappeda Tojo Una-Una.

van den Ban AW, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan Pertanian (Terjemahan),
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Andi Opset.

Warner, M. 1997. Consensus participation: an example for protected area planning.


Public Administration and Development. Journal 17:413-432.

[WCED] 1987. Our Common Future. Canada : The World Commission on


Environment and Development.
140
Wells, M., Katerina Eadie Brandon. 1995. People and park: Linking Protected
Area Management with Local Communities (3 rd ED). The World Bank,
WWF dan USAID. Washington D.C.

Wilson, E., dan D Koester. 2008. Community participation in international


projects; an analitical perspective from Rusia Far East. J. Environment
Development Sustain. Vol 10.

Winkel, WS. 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta ; Gramedia.

Wiriatmadja, S. 1990. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta : Yasaguna.

Yolanda. 2000. “Partisipasi Petani dalam Kegiatan PIR Kelapa Sawit (Kasus
Petani PIR di Kabupaten Manokwari-Irian Jaya.” [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana. IPB.

Yusuf, AM. 1991. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Bina Aksara.

Zahid, A. 1997. “Hubungan karakteristik peternak sapi perah dengan sikap dan
perilaku aktual dalam pengelolaan limbah peternakan.” [Tesis]. Bogor :
Program Pascasarjana, IPB.

Yukl, Gery. 1994. Kepemimpinan dalam Organisasi (Leadership in Organization


3ed). Diterjemahkan oleh Yusup Udaya. Jakarta: Prenhallindo.

Acuan Situs Web

Http://www.scripp.ohiou.Edu/News/cmdd/articel_Ef.htm. Kerangka Teori


Penyelesaian Konflik Akses tanggal 21 Juli 2008

Http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/ . Manajemen-konflik-definisi-dan-teori-
teori-konflik. Akses tangga 21 Juli 2008

Http : // en. wikipedia. Org / wiki / Equality . Equality. Akses tgl 15 Juli 2008

Http://kamus.landak.com/cari/equality. Equality. Akses tanggal 15 juli 2008

Http://en.wikipedia.org/wiki/International_development. Akses tanggal 15 Juli 2005.

Http//wikipedia/org/wiki/economic/social/environmental/natural_resources.
Akses pada tanggal 10 April 2008

141
Http://en.wikipedia.org/wiki/International_development) Akses tgl 10 April 2008.

Hhttp://www.rdfs.net/themes/participation_en.htm. , Akses pada tgl 10 April 2008.

Lowe, C. 2004. Wild Profusion. Biodiversity Conservation in An Indonesian


Archipelago. http://bookgoogle.com. Akses tgl 28 agustus 2009.

Kechot M. Z. 2004. Kaki Tangan Sebagai Pencetus Kualiti dan Produktiviti


Organisasi. Diakses dari hhtp//www.pkukm.ukm.my/-
ppa/04kakitgnpencetuskualiti.htm pada tanggal 18 Desember 2007.

Mahmuddin, 2009. Produktivitas Ekosistem Hutan Hujan Tropis.


http://mahmuddin.wordpress.com/2009/09/09. Akses tgl 11 Agustus 2009.

Meyer, 2001. The Four Rs. James.mayers@iied.org. www.iied.org/forestry/tool and


www.livelihood.org. Akses tanggal 11 Agusutus 2009.

[OECD] Organization for Economic Co-operation and Developmant. 1996).


Capacity Developmant; Principles in Practices. Workshop on Capacity
Development in Environment, Rome December 1996.
http://www.oecd.org/doc. akses pada tgl 23 Mei 2008.

[PKPD]. 2004. Pengembangan kapasitasPemerintah Daerah. (artikel on Line),


http://www.gtzfdm.or.id/PKPD/konsep_pengembangan.htmpada, diakses
pada tanggal 23 Mei2008.

Purnama, B., M., 2009, Degradasi hutan Indonesia Capai 2,8 Juta hekter pertahun,
http://www.kapanlagi.com/h/0000166208.html. Akses tgl 11 Agustus 2009.

Takeda, N. 2001. People participation in regional development management


(Japanese experiences). Paper Presented for the Seminar on “Regional
Development Management Policy to Support Autonomy.. Jakarta, 29 March
2001. JICA. Jakarta. www.jica.org.

Tampubolon, M. 2001. Problematik dan Prospek Pembangunan Masyarakat Desa


Ditinjau dari segi Pendidikan Nonformal. Diakses dari
http//www.depdiknas.co.id. 18 Desember 2007.

142
Perticipation is a process of cooperative action in which a group of individuals share
in the responsibilities and consequences of a common understanding or the
achievement of a particular task.

FOA, 1975, Seminar in the role of women in integrated rural development with
emphases on population problems. Cairo, October 28 – nov 3 1978, Rome.

Janabrota Bhattacharyya (Ndraha, 1990) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian


dalam kegiatan bersama.

Agus Sabti. 2002. Kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi
: kasus petani sayuran di propinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor : Program
Pascasarjana IPB.

Depdagri. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah. Departemen Dalam Negeri. Sekretariat Negara. Jakarta

143
Borrini-Feyerabend G. 1996. Collaboratif Management of Protected Areas: Tailoring
the Approach to the Context. Issues in Social Policy, IUCN. Gland
Switzerland.

Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Co-


management of Natural resources: Organising, Negotiating and Learning-by-
Doing. GTZ Germany.
Sen S, Nielsen JR. 1996. Fisheries Co-management: a Comparative Analysis. Marine
Policy 5:405-418.
Kontal matsui

144
81

You might also like