Professional Documents
Culture Documents
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN DISERTASI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
The aim of this research are : (1) to analyze the level of community
participation on management of Togean Island National Park, (2) to analyze the
factors that influence the community participation, (3) to analyze the correlation
of the factors that influence the community participation, and (4) to formulate a
strategy of extension to increase the effectiveness of community participation on
management of Togean Island National Park. The research was conducted in Togean
Island National Park in Central Sulawesi on August to September 2008 and March
to April 2009. Five variables are used to measure the community participation by
using Structural Equation Model (SEM) and LISREL 8.30. Those variables are
internal individu, extension process, external factors, community capacity and
community participation. The result of research shown that participation of
community is on the low level. Internal characteristic and community capacity have a
significant effect on community participation. The independent variables such as
internal characteristics, extension process and external factors have positive
significant correlation. The strategy that can be used to increase the community
participation is to improve the process of extension by giving the opportunity to
community for involving on management of Togean Island National Park. This
strategy should be supported by government policy to apply consistently, the
partnership approach on management of National Park in the local level.
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Fakultas Ekologi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Disertasi : Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional
dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean Provinsi
Sulawesi Tengah
NIM : P061050031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Halaman
PENDAHULUAN………………………………………….……………. 1
Latar Belakang ………………………………………………… 1
Masalah Penelitian …………………………………………….. 4
Tujuan Penelitian………............................................................. 5
Kegunaan Penelitian ………………………………….……….. 5
Pengertian Konsep dan Istilah…………………………………. 5
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………. 8
Pengertian Partisipasi............................... ................................. 8
Bentuk dan Derajat Partisipasi.................................................. 10
Konsep Kemitraan..................................................................... 11
Partisipasi dan Kemitraan Pembangunan Masyarakat.............. 13
Implementasi Konsep Partisipasi.............................................. 16
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi................. 18
Karakteristik Individu............................................................ 19
Proses Penyuluhan................................................................. 26
Faktor Lingkungan................................................................. 36
Kapasitas Individu Masyarakat.................................…....... 43
Partisipasi Pengelolaan Taman Nasional ................................... 49
Pengertian Taman Nasional............................ ...................... 49
Partisipasi dan Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional...... 51
METODE PENELITIAN............................................................................ 65
Rancangan Penelitian.................................................................. 65
Lokasi Penelitian.......................................................................... 65
Populasi dan Sampel.................................................................... 66
Instrumentasi............................................................................... 68
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah............................ 69
Analisis Data ............................................................................... 75
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 81
LAMPIRAN........................................................................................................... 144
DAFTAR TABEL
Halaman
Halaman
Halaman
Latar Belakang
maupun tidak langsung dari kerusakan tersebut. Bila hal ini tidak segera disadari
dan ditangani secara serius, akan menjadi malapetaka dimudian hari.
Salah satu upaya mencegah terjadinya kerusakan adalah dengan
menetapkan kawasan konservasi dalam bentuk Taman Nasional. Menurut
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi alam. Selain itu, Taman Nasional berfungsi: (1) sebagai
kawasan perlindungan, (2) kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis
tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Pada bulan Oktober 2004 Kepulauan Togean yang terletak di Provinsi
Sulawesi Tengah, telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI melalui SK.
No.418/Menhut-II/2004 sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional
Kepulauan Togean (TNKT). Pulau tersebut memiliki luasan 362.605 ha terdiri
dari hutan dan perairan. Secara otomatis penunjukan tersebut mengubah status
Kepulauan Togean menjadi kawasan pelestarian alam yang fungsi pelestarian dan
pemanfaatan harus dilakukan secara seimbang sesuai UU No. 5 tahun 1990.
Penetapan TNKT didasari pada potensi sumberdaya alam dengan nilai
keragaman hayati yang sangat besar, baik untuk obyek wisata maupun kekayaan
berbagai jenis Flora dan Fauna Endemik Sulawesi yang perlu dilestarikan.
Kepulauan tersebut telah mendapat perhatian pada tingkat nasional, ditunjukkan
oleh Bappenas dalam dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (CII,
2005). Daya tarik ini menjadi lebih besar lagi dengan kekayaan kemajemukan
budaya penduduk dan pola hidup, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya
alam. Kekayaan alam ini sekarang menghadapi ancaman karena berbagai
kegiatan ekonomi berskala besar maupun kecil terutama dengan memanfaatkan
teknologi destruktif yang merusak sumberdaya alam.
Namun, penunjukan TNKT melahirkan reaksi beragam dari berbagai
pihak. Sebagian merasa pesimis atas pembentukan TNKT karena hanya akan
3
bangunan, tanaman obat, dan areal perburuan. Tentang kebutuhan lahan, Sangadji
(1997) mengungkapkan bahwa tradisi berladang masyarakat lokal yang
mensyaratkan luasan lahan dan jumlah populasi tertentu untuk siklus rotasi,
berbentur dengan konsesi lahan oleh berbagai pihak untuk tujuan ekonomi
maupun konservasi.
Guna menjembatani hal ini, pengelolaan taman nasional sebaiknya
melibatkan secara aktif masyarakat lokal agar kebutuhan mereka dapat
diakomodasi. Namun, kesuksesan pengelolaan ini akan sangat dipengaruhi oleh
partisipasi dan kemitraan semua pihak yang dalam penelitian ini difokuskan pada
masyarakat. Konsep partisipasi dan kemitraan sesungguhnya sudah banyak dikaji
namun dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi masih relatif baru. Sejak
pemerintah berupaya merubah paradigma pengelolaan kawasan konservasi dengan
keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004, belum ada
kawasan konservasi yang dapat dijadikan contoh. Penelitian tentang partisipasi
dalam pengelolaan kawasan konservasi pasca perubahan paradigma ini pun relatif
belum banyak. Pola pengelolaan ini diharapkan dapat mendukung tujuan
konservasi yang berintikan perlindungan, kelestarian dan pemanfaatan SDA baik
secara ekonomi, sosial maupun ekologi sehingga berdampak pada kesejahteraan
masyarakat terutama di sekitar kawasan TNKT.
Masalah Penelitian
Secara khusus masalah yang ditelaah sebagai pertanyaan penelitian
(question research) ialah:
(1) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat saat ini dalam pengelolaan
TNKT?
(2) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan TNKT?
(3) Bagaimana hubungan antara faktor-faktor yang berpengaruh pada
partisipasi?, dan
(4) Bagaimana alternatif desain strategi penyuluhan yang efektif untuk
mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT ?
5
Tujuan Penelitian
(1) Menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
(2) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan TNKT.
(3) Menganalisis hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNKT, dan
(4) Merumuskan strategi penyuluhan yang efektif untuk mendorong partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNKT.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara
prktis sebagai berikut :
(1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususnya yang berkaitan
dengan pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya
alam di kawasan konservasi (taman nasional).
(2) Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi
pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan strategi
penyuluhan yang tepat untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam
mengelola sumberdaya alam secara lestari terutama yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan konservasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Partisipasi
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan pembangunan nasional amat
ditentukan oleh partisipasi masyarakat, bahkan menurut Roger (1994),
pembangunan itu sendiri adalah partisipasi. Pendapat ini juga didukung oleh
Slamet (2003), yang mengemukakan bahwa indikator keberhasilan pembangunan
bisa diukur dari ada tidaknya partisipasi masyarakat.
Sudah lama esensi partisipasi dijadikan indikator pembangunan.
Mengenai hal ini, Siti Amanah (2006) mengemukakan bahwa partisipasi
menjadi indikator dari istilah pembangunan masyarakat yang digunakan
pertama kali pada tahun 1930 di AS dan Inggris. Pernyataan-pernyataan ini
juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jaringan PBB untuk
pembangunan pedesaan dan keamanan pangan sebagai berikut : “... describes
participation as one of the ends as well as one of the means of development.”
Menurut Roger dan Shoemaker (1971), partisipasi adalah “the degree in
to which of a social system are involved in the decision making process.” Oleh
Davis dkk., (1989), partisipasi dianggap sebagai keterlibatan mental dan
emosional dalam situasi kelompok yang mendorong mereka berkontribusi
kepada tujuan dan berbagi tanggung jawab bagi pencapaian tujuan itu.
Bryant dan White (Ndraha, 1990) membagi partisipasi atas dua macam :
(1), partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan, dinamakan
partisipasi “horizontal.” (2). Partisipasi oleh bawahan dan atasan, antara klien dan
patron, atau antara masyarakat dengan pemerintah, diberi nama partisipasi
“vertical.” Pada sisi lain, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik seperti
pemberian suara dalam pemilihan, kampanye dan sebagainya, dikenal sebagai
partisipasi dalam proses politik. Keterlibatan dalam kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan, disebut partisipasi dalam proses administratif.
PBB sebagaimana dikutip Slamet (2003), mendefinisikan partisipasi
sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari penduduk pada tingkatan yang
berbeda : (a) dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan dan
9
Dalam dunia penyuluhan pertanian, van den Ban dan Hawkins (1999),
merumuskan partisipasi sebagai berikut: (1) sikap kerja sama petani dalam
program penyuluhan dengan cara menghadiri rapat, mendemonstrasikan metoda
baru, mengajukan pertanyaan pada penyuluh dll., (2) pengorganisasian kegiatan
penyuluhan oleh kelompok petani, 3) menyediakan informasi untuk
merencanakan program penyuluhan yang efektif, (4) pengambilan keputusan
mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan, metoda, dan dalam evaluasi kegiatan,
(5) petani atau organisasinya membayar seluruh atau sebagian biaya yang
dibutuhkan untuk jasa penyuluhan, (6) supervisi agen penyuluhan oleh organisasi
petani yang mempekerjakanya.
Menurut Asngari (2008), berdasarkan area-area pembangunan maka
partisipasi dapat dikelompokkan dalam dua pilahan yaitu: (1) Partisipasi sebagai
suatu alat, dimaksudkan untuk menciptakan teknik atau metoda untuk
mengiplementasikan partisipasi dalam praktek pembangunan, dan (2) Partisipasi
sebagai tujuan, dimaknai sebagai pemberdayaan masyarakat sesuai kemampuan
mereka, untuk secara bersama mengambil bagian dan bertanggung jawab atas
pembangunan mereka sendiri.
10
Derajat Partisipasi
Derajad partisipasi digunakan untuk menggambarkan seberapa jauh
keterlibatan orang orang atau masyarakat dalam program pembangunan. Arnstein
(1969) menyebutnya dengan istilah tangga partisipasi yang terdiri dari; (1) non
partisipasi (manipulasi dan terapi), (2) derajad tokenisme (informasi, konsultasi
dan kompromi), dan (3) derajad kekuatan (kemitraan, delegasi dan kontrol).
11
Uraian yang relatif mirip terdapat dalam tulisan Asngari, (2003) sebagai
berikut: (1) Manipulasi, pada tahap ini partisipasi tidak lebih dari upaya
indoktrinasi. Jadi sesungguhnya disini tak ada partisipasi (non participation), (2)
Informasi, stakeholders diberikan informasi menyangkut hak dan kewajiban,
tanggung jawab dan lain lain. (Komunikasi satu arah), (3) consultation, telah
terjadi komunikasi dua arah di mana stakeholders sudah dapat mengekspresikan
saran/perhatian, namun belum menjamin diterimanya input tersebut, (4)
Consencus Building, para stakeholders berinteraksi untuk menciptakan posisi
negosiasi, (5). Decision Making, interaksi tersebut diarahkan hingga proses
pengambilan keputusan, (6). Risk sharing, stakeholders telah mengambil bagian
untuk ikut menanggung resiko dari kegagalan pembangunan, (7). Partnership,
telah terbangun kerja sama yang saling menguntungkan dikalangan stakeholders
pembangunan, dan (8). Self-Management, stakeholders telah sampai pada tahap
di mana segala urusan pembangunan harus dikerjakan secara baik.
Konsep Kemitraan
Pengertian Kemitraan
Kata mitra yang banyak digunakan saat ini dapat disamakan dengan
“teman” atau “kawan” dalam bahasa sehari hari. Padanan kata kemitraan dalam
bahasa inggerisnya yang paling dekat adalah “friendship” atau “partnership”.
Dalam American Heritage Dictionary, partnership adalah: “a relationship
between individual or groups that is characterized by mutual cooperation and
responsibility, as for achievement of a specified goa.” Menurut Kernaghan
(Suporahardjo, 2005:9), dalam konteks formal, kemitraaan merupakan “a legal
contract entered in to by two or more persons in which each agrees to furnish a
part of the capital or labor for a business enterprise, and by which each shares a
fixed proportion of profit and losses. Dalam konteks pelayanan kepentingan
publik, kemitraan didefinisikan sebagai: “a relationship involving the sharing of
power, work, support and or information with other for achievement of joint
goals and/or mutual benefit.”
12
oleh beberapa faktor di seputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya, terutama faktor-faktor: psikologis individu (kebutuhan,
harapan, motif, penghargaan), terpaan informasi, pendidikan (formal maupun
informal), struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal (norma dan adat-istiadat),
serta pengaturan dan pelayanan atau kebijakan pemerintah.
Soekanto (1983) menyebutkan beberapa faktor yang mengakibatkan
masyarakat tidak berpartisipasi dalam pembangunan, di antaranya :
• Faktor sosial budaya, yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang
bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap suatu perubahan. Hal ini
terjadi karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat yang
berimplikasi pada rendahnya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan.
• Faktor sosial ekonomi, yaitu adanya ketimpangan distribusi pendapatan
masyarakat khususnya di pedesaan, menyebabkan ketidak mampuan
masyarakat untuk berpartisipasi.
• Faktor sosial politik, yaitu masih adanya birokrasi politik yang ketat dan
kokoh yang menyebabkan masyarakat semakin tidak berdaya.
Keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat
dalam proses pembanguan tersebut, oleh Oppenheim (1966) diformulasikan
sebagai faktor dalam diri individu atau karakteristik individu (person inner
determinant) dan faktor di luar diri individu atau faktor lingkungan
(environmental factor).
Karakteristik Individu
Samson (Rahmat, 2001), mengemukakan bahwa Karakteristik individu
merupakan sifat yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek
kehidupan dan lingkungannya. Terdapat tiga teori yang menjelaskan
perkembangan individu hingga membentuk perilaku yaitu: nativisme (Plato),
emperisme (Locke) dan konvergensi (Stern) (Siti Amanah, 2006). Menurut
Mardikanto (1993), karakteristik individu adalah sifat yang melekat pada diri
seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain : umur, jenis
kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama.
20
Masyarakat desa dalam mengadopsi suatu inovasi, tidak terlepas dari fakor
individu warga masyarakat serta faktor lingkungan dimana ia tinggal. Faktor
individu merupakan karakteristik warga masyarakatnya maupun karakteristik
individunya. Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa, dalam
penyebaran suatu ide baru atau difusi inovasi dalam suatu sistem sosial, pelakunya
minimal memiliki tiga karakteristik yaitu status sosial, kepribadian dan
kemampuan berkomunikasi.
Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu faktor internal individu yang
memungkinkan seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan
keterampilan. Saharuddin (1987) mengatakan bahwa tingkat pendidikan
seseorang mempengaruhi partisipasinya pada tingkat perencanaan, oleh
karena itu semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat diharapkan
semakin baik pula cara berpikir dan cara bertindaknya. Slamet (2003)
mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan
pada perilaku manusia. Sejalan dengan itu, Soeitoe (1982) mengemukakan
bahwa pendidikan adalah suatu proses yang diorganisir dengan tujuan
mencapai sesuatu hasil yang nampak sebagai perubahan dalam tingkah laku.
Menurut Bloom (Mulyasa, 2002), kognitif merupakan perilaku yang
berkenaan dengan aspek pengetahuan seseorang, sedangkan afektif berkenaan
dengan perasaan dan emosi terhadap suatu obyek, keadaan atau terhadap orang
lain, dan psikomotor merupakan perilaku yang berkenaan dengan keterampilan
seseorang mengerjakan sesuatu. Pendidikan akan membuat seseorang menjadi
modern, sebagaimana dilansir Asngari, (2001) dari pikiran Inkeles bahwa salah
satu ciri orang modern adalah menempatkan pendidikan formal ditunjang
pendidikan non formal dan informal sebagai sesuatu yang sangat tinggi nilainya.
Pendidikan formal menurut Winkel (1987), adalah pendidikan sekolah
yang dalam penyelenggaraannya menempuh serangkaian kegiatan terencana dan
terorganisir. Sedangkan, pendidikan non formal lebih dikenal sebagai bentuk
pendidikan luar sekolah. Menurut Tampubolon (2001), pendidikan non formal
21
Pengalaman
Salah satu faktor yang turut menunjang perilaku seseorang adalah
pengalaman yang juga diukur dalam karakteristik individu. Menurut Gagne
(1977) pengalaman adalah akumulasi dari proses belajar mengajar yang dialami
oleh seseorang. Kecenderungan seseorang untuk berbuat, tergantung dari
pengalamannya, karena menentukan minat dan kebutuhan yang dirasakan. Hal-
hal yang telah dialami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan
terhadap stimulus sosial. Menurut Padmowihardjo (1999), secara psikologis
seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh
pengalaman indera. Menurut Rahmat (2001), faktor pengalaman dapat menambah
wawasan berpikir semakin luas, mempengaruhi cara bertindak dan memberi corak
pada kepribadian seseorang.
Persepsi
Persepsi adalah proses yang berkaitan dengan petunjuk inderawi dan
pengalaman masa lampau yang relevan untuk memberi gambaran terstruktur dan
bermakna pada suatu situasi tertentu. Menurut Walgito (2002) persepsi adalah
suatu proses yang didahului oleh pengindraan dalam bentuk stimulus ke kesyaraf
otak sehingga membentuk persepsi individu. Mar’at (1981) menggambarkan
22
Motivasi
Istilah motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak.
Crowford (2005) mengemukakan bahwa motivasi adalah proses yang dapat
menyebabkan orang bertindak atau berperilaku dengan cara tertentu. Oppenheim
(1966) mengemukakan bahwa untuk berperilaku tertentu atau berpartisipasi, ada
dua hal yang mendukung yaitu adanya unsur yang bersumber dari diri seseorang
dan terdapat lingkungan yang memungkinkan untuk berperilaku tertentu. Unsur
dalam diri dan lingkungan tersebut yang memotivasi seseorang untuk berperilaku
tertentu. Dengan kata lain, unsur yang bersumber dari diri seseorang disebut
motivasi intrinstik dan iklim atau lingkungan adalah motivasi ekstrinsik. Iklim,
23
lingkungan atau motivasi ekstrinsik tersebut dapat bersumber dari upaya untuk
meningkatkan daya dalam apa yang disebut “pemberdayaan.”
Dalam kaitannya dengan motivasi berpartisipasi, terdapat pandangan
yang mengatakan bahwa terwujudnya partisipasi dalam pembangunan dapat
disebabkan oleh adanya paksaan atau sanksi, ajakan pihak lain, ataupun
kesadaran sendiri. Namun, unsur paksaan atau sanksi ditolak oleh Malhotra
(Kartasubrata, 1986) yang menyatakan bahwa partisipasi dapat tercipta karena
kehendak sendiri, sukarela, spontan atau digerakan (induce), akan tetapi tidak
dipaksa sebagaimana diuraikan berikut : and by people’s participation, we mean
willing and voluntary participation, it may be spontaneous or induced, but
certainly not “coerced,” for that is not participation.”
Pendapat Malhotra tersebut disempurnakan oleh Slamet (2003) yang
mengemukakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah berarti
pengarahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah
tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan
memperbaiki kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Pandangan ini
lebih menekankan pada kesadaran kritas masyarakat akan manfaat dari partisipasi
mereka bagi kepentingan mereka sendiri, sebab boleh jadi masyarakat ikut
berpartisipasi secara sukarela tetapi mereka tidak menyadari manfaatnya. Proses
menuju pada penyadaran inilah, peranan penyuluhan sangat esensial sebagai
bentuk intervensi yang humanis.
Kosmopolitan
Kosmopolitan adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar
sistem sosialnya sendiri (Mardikanto, 1993). Sifat kekosmopolitan dicirikan oleh
frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa.
Warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat
berlangsung cepat, sedangkan warga yang “localite” (terkungkung dalam sistem
sosialnya sendiri), adopsi inovasi sangat lamban karena tidak adanya keinginan
baru untuk hidup lebih baik seperti orang lain diluar sistem sosialnya sendiri.
24
Gender
Bessette (2004) mengatakan bahwa dalam banyak kasus, sangat penting
untuk memberikan perhatian spesial pada isu gender. Dalam setiap pengaturan,
kebutuhan, peran social dan tanggung jawab, posisi perempuan dan laki-laki
selalu dibedakan. Derajat akses terhadap sumber daya dan partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan juga berbeda antara laki-laki dan perempuan. Cara
mereka untuk memandang masalah umum dan solusinya juga berbeda. Hal yang
sama juga terjadi pada kaum muda dengan jenis kelamin yang berbeda. Sangat
sering terjadi perbedaan tajam antara peran dan kebutuhan dari anak-anak
perempuan dan perempuan dewasa, atau antara laki-laki dewasa dan anak muda
dalam persepsi melihat suatu masalah yang sama.
Konsekwensinya, menurut Bessette (2004) kepentingan dan kebutuhan
mereka menjadi berbeda dan kontribusi mereka kepada pembangunan juga
berbeda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dahulu, fokus perhatian lebih kepada
“kumunitas”, tanpa memperhatikan aspek gender. Hasilnya adalah, wanita dan
kaum muda sering tidak dipandang dalam proses pembangunan walaupun
partisipasinya sangat esensial.
25
Status Sosial
Menurut Robbin (2003), status sosial adalah posisi atau peringkat yang
ditentukan secara sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota/individu
oleh orang lain. Robbin lebih lanjut mengemukakan ;
26
Proses Penyuluhan
Sumardjo (2008) mengemukakan bahwa kemampuan rakyat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan adalah sejalan dengan efektivitas proses
belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar menyebabkan rakyat memperoleh
dan memahami informasi, kemudian secara kognitif memprosesnya menjadi
pengetahuan tentang adanya kesempatan dan melatih dirinya agar mampu berbuat
(konatif) serta secara intrinsik termotivasi untuk mau (afektif) bertindak atas dasar
manfaat yang akan dapat diraihnya. Dikemukakan lebih lanjut bahwa
keseluruhan proses ini merupakan lingkup peran penyuluhan pembangunan dan
bagian utama yang harus dikembangkan dalam ilmu penyuluhan pembangunan.
27
Materi Penyuluhan
Mardikanto (1996) mengatakan bahwa materi penyuluhan pada
hakekatnya merupakan segala pesan yang ingin dikomunikasikan penyuluh
kepada masyarakat sasarannya. Dengan kata lain, materi penyuluhan adalah
pesan yang ingin disampaikan dalam proses komunikasi pembangunan. Dengan
demikian, materi penyuluhan adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh
penyuluh kepada individu atau masyarakat sasaran.
Dengan mengambil kasus di bidang pertanian, materi yang disampaikan
dalam penyuluhan menurut Ibrahim dkk (2003) amatlah luas dan dapat berupa
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dikelompokkan menjadi lima, yaitu: (1)
teknik pertanian, (2) ekonomi pertanian, (3) manajemen usaha tani, (4) dinamika
kelompok, dan (5) politik pertanian. Untuk penyuluhan di luar pertanian,
materinya tentu disesuaikan dengan bidang yang bersangkutan.
Ragam materi yang perlu disiapkan dalam setiap kegiatan penyuluhan
menurut Mardikanto (1993), merujuk pada Vademecum Bimas didunia pertanian
meliputi : (1) Kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pembangunan
pertanian, (2) Hasil-hasil penelitian atau pengujian dan rekomendasi teknis yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwewenang, (3) Pengalaman petani yang
berhasil, (4) Informasi pasar, (5) Petunjuk teknis penggunaan alat/sarana produksi,
(6) Informasi kelembagaan pertanian, dan (7) Dorongan terciptanya swakarsa,
swakarya dan swasembada masyarakat.
Dalam kaitan dengan materi penyuluhan, Mardikanto (1993) mengatakan
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) pentingnya pengembangan
kebiasaan untuk mengkritisi setiap materi belajar, terutama setiap inovasi yang
belum teruji di wilayah calon penerima manfaat, (2) selalu mengacu kepada
kebutuhan calon penerima manfaat, (3) materi belajar tidak harus benar-benar
baru tetapi dapat berupa praktek lama, kebiasaan, atau teknologi yang telah
dikembangkan masyarakat setempat, dan (4) sumber materi belajar tidak selalu
berasal dari pakar, orang lain atau textbook, atau surat kabar, majalah, radio, TV,
akan tetapi lebih diutamakan dari pelaku-pelaku setempat yang telah
31
Metode Penyuluhan
Metode penyuluhan, menurut Ibrahim dkk. (2003) adalah cara-cara
penyampaian materi penyuluhan secara sistematis sehingga materi penyuluhan
tersebut dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat sasaran. Pengalaman
menunjukkan bahwa metode penyuluhan sangat berperan dalam menunjang
keberhasilan program penyuluhan, karena sebaik apapun materi penyuluhan yang
disampaikan tidak akan mampu merubah perilaku sasaran yang diinginkan bila
metode penyuluhan yang digunakan kurang tepat.
Dalam memilih metode penyuluhan menurut Slamet dan Asngari,
(Sumardjo, 1999), perlu dipertimbangkan banyaknya sasaran yang dilayani,
sesering berinteraksi dengan sasaran dan murah tetapi menjadi media pengalaman
yang efektif. Lebih lanjut dijelaskan, penggunaan metode penyuluhan harus
didasarkan pada: (1) sesuai keadaan sasaran, (2) cukup dalam jumlah dan mutu,
(3) tepat sasaran dan pada waktunya, (4) amanat harus mudah diterima dan
dimengerti, dan (5) murah pembiayaannya atau efisien.
Setiap metode pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa pada prinsipnya, makin sedikit sasaran
belajar dengan menggunakan suatu metode yang sama cenderung makin
efektif, tetapi sebaliknya cenderung makin tidak efisien. Dalam pelaksanaannya,
kegiatan tersebut dapat dilakukan secara langsung (face to face) atau misalnya
dengan telpon, dapat pula dilakukan secara tidak langsung, yaitu menggunakan
surat dan media massa tetapi umpan balik tidak dapat terjadi secara spontan.
Mardikanto (1993) merujuk pada Kang dan Song, menyimpulkan bahwa
tidak ada satupun metode yang selalu efektif, maka perlu metode secara
simultan yang saling menunjang dan melengkapi.
Secara umum terdapat banyak metode yang dipergunakan dalam
kegiatan penyuluhan, antara lain : ceramah, diskusi, kunjungan lapang,
magang, studi banding, temu lapangan dan lain-lain. Dengan demikian, setiap
32
Media Penyuluhan
Sadiman dkk (1986) mengemukakan bahwa media adalah segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima
sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat sedemikian
rupa sehingga proses belajar dapat berjalan. Senada dengan itu, Mardikanto
33
perilaku individu yang lain atau sebaliknya (Gerungan, 1999). Farid (2008)
mengacu pada konsep Departemen Agama RI, menguraikan bahwa interaksi
sosial merupakan suatu hubungan sosial yang dianamis, menyangkut hungan
orang dengan orang, antara kelompok dengan kelompok masyarakat atau antara
orang dengan kelompok masyarakat.
Interaksi dengan penyuluh diartikan sebagai terjadinya hubungan antara
masayarakat dengan penyuluh, baik yang berasal dari pemerintah maupun non-
pemerintah. Menurut Soekanto (2002), hubungan yang terjadi antara seseorang
dengan orang lain dapat bersifat primer dan sekunder. Hubungan primer terjadi
apabila seseorang mengadakan hubungan langsung dengan bertemu dan
berhadapan muka. Hubungan yang bersifat sekunder terjadi melalui perantara baik
orang lain maupun alat-alat seperti telepon, radio dan sebagainya.
Wiraatmadja (1990) menyatakan bahwa dalam kegiatan penyuluhan,
seorang penyuluh harus mengadakan hubungan dengan petani, hubungan
tersebut dapat menimbulkan komunikasi. Komunikasi yang baik akan berjalan
timbal balik atau terjadinya feedback Hal ini penting bagi penyuluh, yaitu
untuk dapat mengambil tindakan selanjutnya. Tujuan penyuluh mengadakan
komunikasi dengan sasarannya adalah untuk mengadakan perubahan perilaku,
karena perubahan itu maka sasaran akan menjadi lebih terbuka untuk hal-hal baru
Dalam konteks penelitian ini, akan lebih difokuskan pada hubungan antara
masyarakat baik secara individu maupun kelompok dengan penyuluh atau
sebaliknya. Oleh karena itu maka dalam mempersiapkan suatu kegiatan
penyuluhan, selain penyuluh dituntuk mempersiapkan diri juga kesiapan
masyarakat sebagai warga belajar juga sangat penting.
Beberapa prinsip kesiapan warga belajar tersebut oleh Padmowihardjo
(1999) dikemukakan sebagai berikut : (1) prinsip effect, peserta didik memiliki
keinginan untuk belajar sehingga timbul rasa senang dan gairah belajar. Untuk
membangkitkan minat belajar maka dapat dilakukan dengan: (a) mengorganisir
penyajian, (b) mudah, (c) memperhatikan individu warga belajar, (d) memakai
variasi cara, (e) melibatkan warga belajar aktif berperan, (f ) hargai warga
belajar dan jangan dipermalukan, (g) beri latihan, dan (h) usahakan warga
35
belajar ingin mencapai sukses agar merasa senang, puas dan ingin terus, dan
(i) hindari hal-hal yang dapat menurunkan minat; (2) prinsip latihan yaitu
dengan mengulang sesuatu. Makin mudah dan sederhana suatu latihan maka
akan terjadi kebiasaan yang benar; dan (3) prinsip kesiapan yaitu berkaitan
dengan kondisi neuron (sel syaraf).
Peserta didik butuh belajar karena adanya minat, rasa ingin tahu,
perangsang, penghargaan, rasa aman, rasa takut, promosi, kebanggaan dan
sanjungan. Disini peran penyuluh dapat memotivasi klien sehingga timbul minat
belajar dan timbulnya interaksi kedua pihak dengan intensif. Dalam penelitian ini,
interaksi dengan penyuluh adalah tingkat intensitas bertemunya individu
masyarakt dengan penyuluh, untuk mendapatkan informasi tentang usahanya.
Kemampuan Penyuluh
Bertolak dari pengertian penyuluhan yang lebih berorientasi pada
perubahan perilaku mengisyaratkan bahwa seorang penyuluh dituntut memiliki
kemampuan yang mumpuni agar perannya menggerakkan masyarakat untuk
melakukan perubahan-perubahan dapat tercapai dengan baik. Dalam kaitan ini,
Sumardjo (1999) menekankan pentinya aspek kesiapan (readiness) penyuluh
dalam bentuk penguasaan, misalnya; (1) materi penyuluhan (content area) berkait
dengan unsur memahami, menguasi dan mau menerapkannya kepada sasaran, (2)
metode atau teknik (proses area), berkait dengan unsur mampu menerapkan secara
tepat dan partisipatif. Tentang kesiapan (readiness) ini, Husle, et al., (Sumardjo,
1999) mendefinisikannya sebagai berkut :
”. . . .the adequacy of the student’t existing in relation to some
instructional objectives.”. ”Maturation refer to biological growth
which occurs largely under the influences of heredity”. Readiness is
the product of both training (or learning) and maturation).”
kelayan, apakah memiliki kapasitas dan motivasi yang cukup untuk membangun
kebersamaan; (3) penilaian terhadap sumberdaya dan motivasi agen yaitu :apakah
agen perubahan benar-benar memiliki motivasi dan sumberdaya yang diperlukan
terhadap pekerjaannya; (4) pemilihan sasaran sesuai hasil perubahan yaitu: agen
perubahan harus mampu menyiapkan beberapa inisiatif keputusan tentang apa
yang diarahkan dan bagaimana sebaiknya ditempuh dan apa yang dilakukan lebih
dahulu; (5) memilih peran yang sesuai, yaitu: memilih peran agen dan menerima
masukan dari proses perubahan itu, apakah agen mendorong atau memberi
petunjuk; (6) memelihara hubungan dengan sasaran dan menjelaskan harapan dari
perubahan serta mengatur mutu dan intensitas hubungan; (7) mengenali dan
mengarahkan perubahan yang meliputi tahapan perubahan yang direncanakan dan
tema yang membantu hubungan; dan (8) memilih tehnik yang spesifik sesuai
perilaku apa yang harus dilakukan dan dikatakan pada momen tertentu.
Robbin (2003) mendefinisikan kemampuan (ability) sebagai kapasitas
individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Suparno
(2002) menyatakan bahwa kemampuan adalah kecakapan atau kekuatan atau
kewenangan yang memadai untuk melakukan suatu tugas sesuai dengan yang
disyaratkan. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh
menurut Mardikanto (1993) adalah kemampuan berkomunikasi seperti
ketrampilan berempati dan berinteraksi dengan masyarakat sasarannya..
Dalam melakukan tahapan tersebut seorang penyuluh harus dapat
membangkitkan semangat peserta didik dan selalu berprinsip bahwa mereka
mengerjakan semuanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk penyuluh. Oleh karena
itu penyuluh harus melakukan proses pembelajaran tersebut secara persuasif,
meliputi ; (1) memanfaatkan perhatian yang ada, (2) membangunkan hasrat yang
terpilih (motif, kebiasaan, minat ), (3) hubungan antara keinginan dan meyakinkan
tujuan, dan (4) menimbulkan tanggapan yang prosedural.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang penting dalam
megetahui upaya seseorang untuk melakukan suatu usaha. Menurut Sampson
37
(Rakhmat, 2001), faktor lingkungan eksternal individu adalah ciri-ciri yang dapat
menekan atau mempengaruhi seseorang, berasal dari luar dirinya.
Kerja Sama
Di masyarakat, telah lama dikenal kerja sama dalam menyelesaikan
berbagai agenda dengan berbagai macam istilah yang bersifat lokal untuk jenis
dan tahap kegiatan. Istilah yang sangat umum dikenal, misalnya gotong royong,
kerja bakti dan bhakti massal.. Kegiatan kerja sama saat ini bahkan berkembang
dalam bentuk yang lebih modern seperti misalnya dalam bentuk “jaringan kerja.”
38
Akses Informasi
Ruben (1988) mengemukakan bahwa Informasi sangat penting dalam
membangun hubungan antar manusia dan melakukan interaksi dalam kehidupan
bermasyarakat. Saat ini dunia memasuki zaman baru yang dicirikan oleh ledakan
informasi (information explosion). Kemajuan teknologi informasi seolah membuat
semua orang dapat mengetahui apa saja yang ingin mereka ketahui dengan segera.
Informasi dapat dilakukan dengan jalan komunikasi secara kontinu sebagai upaya
membangun jaringan baik secara formal mapun nonformal. Komunikasi,
menurut Hamundu (1997), adalah upaya bersama antara seseorang dengan orang
lain membangun kebersamaan guna membentuk suatu hubungan.
Dalam dunia pertanian modern, van den Ban dan Hawkins (1999),
mengemukakan bahwa informasi merupakan sumber daya penting. Perkembangan
komputer dan perbaikan telekomunikasi memudahkan memperoleh informasi
teknis dan ekonomis dengan cepat dan menggunakannya dengan efektif untuk
pengambilan keputusan. Informasi berupa laporan hasil penelitian, data pasar,
data pertumbuhan akan berguna untuk memilih teknologi produksi yang tepat,
menciptakan kondisi pertumbuhan yang optimal, menentukan anggaran
pengeluaran dan melihat usaha yang paling menguntungkan serta memutuskan
kapan dan dimana menjual hasilnya.
Informasi tersebut akan semakin membangkitkan motivasi masyarakat
untuk mencari ide baru dalam praktek usahanya, akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan dan produktivitas. Untuk mengenali permasalahan, dituntut
memperoleh akses informasi yang lebih banyak sumber informasinya dan
tergantung pada karakteristik sumber informasi dan kualitas serta intensitas
interaksi antara masyarakat dengan sumber informasi tersebut.
Akses terhadap informasi membuat masyarakat memiliki pilihan yang lebih
banyak bagi jenis informasi yang diinginkan. Soekartawi (1998) mengatakan
bahwa sumber informasi sangat berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi.
40
Pemimpin Informal
Dalam studi kepemimpinan dikenal adanya pemimpin formal dan
informal. Pemimpin formal disebut juga pemimpin resmi yang menduduki kursi
kepemimpinan dalam suatu lembaga. Mereka mempunyai nama jabatan, tugas dan
tanggung jawab yang sudah dirumuskan secara tegas. Pemimpin informal
menurut Soekanto ( 2002). adalah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan
formal, namun karena ia memiliki kualitas unggul, maka sehingga mempengaruhi
kondisi serta perilaku suatu kelompok atau masyarakat. Menurut Mangunharjana
(Ginting, 1999), pemimpin informal tidak menduduki tempat tertentu dalam
41
struktur kemasyarakatan dan tidak mempunyai nama jabatan, tidak dibebani tugas
dan tanggung jawab yang jelas, kecuali kalau memiliki kualifikasi tertentu, seperti
bidang agama, adat dan sebagainya.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Hofstede (1991) mengartikan
pemimpin informal secara singkat sebagai pemimpin, yang kedudukannya tidak
memiliki kaitan dengan jebatan resmi kenegaraan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
konsekwensi dari pengertian ini maka Kepala Desa, Hansip, Ketua RW dan ketua
RT tidaklah termasuk pemimpin informal itu. Untuk ukuran desa, Hofstede
(1991) mengartikan pemimpin informal di desa sebagai orang yang berpengaruh
dan diakui sebagai pemimpin oleh suatu kelompok atau golongan tertentu atau
oleh seluruh masyarakat desa, tetapi tidak memegang jabatan resmi dalam
pemerintahan desa. Mereka memiliki kharisma dan sering didatangi warga untuk
meminta nasehat serta saran dalam memecahkan masalah di pedesaan sehingga
sering menjadi pusat informasi dari warga desa.
Karl Jackson yang dikutip Hofstede, (1991) memberikan uraian menarik
mengenai hubungan pemimpin dan pengikutnya dalam karangannya yang
berjudul ”Perticipation in Rebellion.” Dalam uraiannya, Jakson membeberkan
masalah kewenangan tradisional yang diberikan kepada sang pemimpin sebagai
suatu tipe kekuasaan. Kewenangan tradisional atau bisa diterjemahkan sebagai
”Power” , oleh Jakson didefinisikan sebagai berikut : “Power is defined
behaviorally. It refers to an interaction between persons and group in which at a
particular moment in time one actor (the influencer) changes the behavior of a
secon actor (the influencee).”
Kewenangan tradisional dapat diuraikan lebih lanjut sebagai suatu bentuk
interaksi dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1) Orang yang mempengaruhi
(influencer) atau pemimpin, mengirimkan suatu pesan kepada yang dipengaruhi
(influencee), dan (2) Orang yang dipengaruhi (influencee) menerima pesan itu
sebagai dasar tingkah lakunya tanpa mengevaluasinya terlebih dahulu.
Sudah umum diketahui bahwa pemimpin informal di desa mempunyai
pengaruh besar untuk menggalang gerakan membangun diri di kalangan
masyarakat desa. Tokoh-tokoh berpengaruh seperti ini menjadi pusat komando
42
masyarakat dan berperan (1) memutuskan apa yang akan dilakukan kelompok, (2)
memberi perintah dan pengarahan, (3) memberi sanksi, dan (4) tempat bergantung
bagi pengikutnya hampir dalam semua segi kehidupan. Rogers dan Shoemaker
(1971) menguraikan ciri-ciri yang harus dimiliki seorang pemimpin informal
(opinion leaders) yang dapat mempengaruhi warga desa dalam adopsi inovasi
yaitu yang memiliki ciri-ciri antara lain : (1) banyak berhubungan dengan media
massa, (2) kosmopolit, (3) sering berhubungan dengan agen pembaharu, (4)
partisipasi sosialnya besar, (5) status sosial ekonominya tinggi, dan (6) lebih
inovatif dibanding dengan pengikutnya.
Berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, suatu uraian yang sangat
menarik dikemukakan oleh Sumardjo (2008), untuk membedakan pemimpin yang
sukses dan efektif. Pemimpin sukses dapat mencapai tujuan, tetapi pemimpin
efektif dapat mempengaruhi orang lain (follower) untuk mencapai tujuan. Dengan
kata lain, pemimpin sukses belum tentu efektif. Jadi, pemimpin yang sukses dan
efektif sangat erat hubungannya dengan konsep partisipasi.
Potensi Konflik
Secara sederhana, konflik dapat diartikan sebagai pertentangan antar aktor
individu, kelompok atau masyarakat. Fitzduf (2002) mengemukakan bahwa
konflik dapat terjadi pada saat para aktor perbedaan tujuan dan cara mencapainya.
Ahli yang lain mengemukakan bahwa konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan,
dan nilai-nilai kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah
agresi. Konflik merupakan proses almiah, dan bisa menjadi salah satu faktor
yang sangat produktif dan memacu perkembangan manusia, namun konsekwensi
yang diutimbulkannya juga dapat sangat destruktif (Fitzduf, 2002). Konflik
menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran yang lebih serius dari sekedar
kompetisi, meskipun, konflik, kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada
dasarnya saling berkaitan.
Dengan menerima asumsi dan hipotesa Teori Kebutuhan Manusia, Burton
(Fitzduf, 2002) menyatakan bahwa individu sebagai anggota kelompok, akan
memperjuangan kebutuhannya di dalam lingkungannya. Jika usaha mereka
43
halangi oleh kelompok lain maka akan terjadi konflik. Dalam setiap peristiwa
konflik ada unsur kerjasama (kooperasi); keterlibatan kerjasama (cooperative
engagements) seringkali melahirikan unsur konflik.
Konflik merupakan suatu yang alamiah maka perlu dikelola dengan baik.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun
pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu
pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan komunikasi
(perilaku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi
kepentingan (interests) dan interpretasi. Manajemen konflik dapat melibatkan
bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa
bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Burton
membedakan antara manajement konflik, penyelesaian (settlement) dan resolusi
konflik. Manajemen dapat berupa kecakapan resolusi perselisihan alternatif (by
alternative dispute resolution skills) dan ”settlement” adalah ‘dengan proses
wewenang dan hukum’ (by authoritative and legal processes’) dan dapat
dipaksakan oleh kelompok elit.
Pengetahuan
Menurut Soekanto (2002), pengetahuan adalah kesan didalam pikiran
seseorang sebagai hasil penggunaan pancaindera, yang berbeda sekali dengan
kepercayaan (beliefs), takhayul (supertition) dan penerangan yang keliru
(misinformation). Walgito (2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
mengenal suatu obyek baru selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut
dan dapat bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang obyek itu. Meskipun
tidak selalu linier, umunya bila seseorang bersikap tertentu terhadap suatu obyek,
berarti orang tersebut telah mengetahui dengan benar tentang obyek dimaksud..
membentuk suatu kesatuan atau pola baru; dan (6) evaluasi (evaluation):
kemampuan membentuk pendapat mengenai sesuatu hal. Purwanto (2002)
menyebutkan bahwa pengetahuan seseorang dan jenis pengetahuan apa yang telah
dikuasainya memainkan peranan penting dalam pekerjaannya.
Ketrampilan
Ketrampilan dapat didefinisikan sebagai aspek perilaku yang berhubungan
dengan kemampuan menggerakkan otot-otot tubuh (Padmowihardjo, 2001).
Namun, ahli lain mengemukakan bahwa ketrampilan tidak dibatasi pada aspek
fisik semata. Spencer et al, (1993) mengemukakan bahwa ketrampilan adalah
kecakapan menyelesaikan tugas baik fisik maupun mental. Dalam tulisan Yukl
(1994) ketrampilan dibagi atas tiga kategori sebagai berikut: (1) Teknis (teknical
skill), lebih bersifat fisik dan berkait dengan peralatan; (2) Hubungan antar pribadi
(interpersonal skill), berupa empati, persuasi dll.; dan (3) ketrampilan konseptual
(conceptual skill), bersifat nalar dan analitis.
Menurut Winkel (1987), ranah instruksional di bidang psikomotorik ada
tujuh, yakni: (1) persepsi: kemampuan mengadakan diskriminasi antara dua
perangsang atau lebih, berdasarkan perbedaan ciri fisik yang khas; (2) kesiapan:
kemampuan menempatkan dirinya dan akan memulai suatu rangkaian gerakan; (3)
gerakan terbimbing mencakup kemampuan melakukan suatu rangkaian gerak,
sesuai dengan contoh yang diberikan; (4) gerakan yang terbiasa; kemampuan
untuk melakukan suatu rangkaian gerak dengan lancar karena sudah dilatih
secukupnya; (5) gerakan komplek; kemampuan melakukan keterampilan atas
beberapa komponen, dengan lancar, tepat dan efisien; (6) penyesuaian pola
gerakan; kemampuan mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak
dengan kondisi setempat; dan (7) kreativitas: kemampuan melahirkan pola gerak
baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.
Sikap Mental
Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungan
seseorang yang kurang lebih bersifat permanent mengenai aspek-aspek tertentu
dalam lingkungannya (van den Ban dan Hawkins, 1999). Sikap adalah
47
Kesetaraan
Kesetaraan atau kesederajatan atau persamaan adalah merupakan salah
satu azas atau prasyarat yang sangat esensial dalam proses partisipasi dan
kemitraan. Kata kesetaraan adalah terjemahan dari bahasa inggeris “equality”.
Dalam Dictionary: quick_english-indonesian - WordNet dapat didefinisi sebagai; (1) the
quality of being the same in quantity or measure or value or status (ant:
inequality), dan (2) a state of being essentially equal or equivalent; equally
balanced; "on a par with the best" (http://kamus.landak.com/cari/equality).
Menurut Wiktionary - Wikipedia, kesetaraan biasanya secara umum
menunjukan pada ide tentang persamaan perlakuan (Equality commonly refers to
the idea of equal treatment). Kata “equality” juga sering dikaitkan dengan (1)
Egalitarianism, the belief that all/some people ought to be treated equally, (2)
Equality before the law, (3) Equality of opportunity, (4) Equality of outcome or
equality of condition, (5) Gender equality (6) Social equality (http: //en.
wikipedia.org/wiki/Equality).
Dalam kaitan dengan penelitian ini, kesetaraan secara sosial merupakan
terminology yang sangat relevan untuk dikaji. Dalam literatur elektronik (http : //
en. wikipedia. Org / wiki / Equality ) , kesetaraan sosial atau “Social equality”
didefinisikan sebagai;
“. . . a social state of affairs in which all people within a specific society
or isolated group have the same status in a certain respect. At the very
least, social equality includes equal rights under the law, such as
security, voting rights, freedom of speech and assembly, and the extent of
property rights. However, it also includes access to education, health
care and other social securities. It also includes equal opportunities and
obligations, and so involves the whole society” ‘Equal opportunities’ is
interpreted as being judged by ability, which is compatible with a free-
market economy.”
Dari uraian definisi kesetraan ini terlihat cakupan yang luas mulai dari
persamaan hak dasar hingga hak pribadi termasuk akses pada pendidikan dan
kesehatan serta persamaan untuk memperoleh kesempatan berdasarkan
49
Stated-based management
Community-based management
bentuk-bentuk peranserta yang lebih tahan lama, terukur dan setara dengan
melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan terkait dan sah (legitimate)
dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam.
Beberapa rumusan dari tujuan kemitraan dalam mengelola SDA yang
diadopsi dari Tadjudin (2000) adalah: (1) menyediakan instrumen untuk
mengenali stakeholder. Pada stakeholder, melekat atribut berupa : hak, aspirasi,
tujuan individu, kelembagaan dan potensi konflik. Keberadaannya harus diakui
secara adil, tanpa pretensi memenangkan pihak tertentu; (2) meningkatkan
potensi kerja sama antar stakeholder secara egaliter dengan prinsip kemakmuran
bersama dan prinsip kelestarian lingkungan hidup; (3) menciptakan mekanisme
pemberdayaan agar teraktualisasi pengetahuan/kearifan lokal secara baik sehingga
lahir sistem pendistribusian manfaat dan resiko yang adil; (4) menciptakan
mekanisme pembelajaran dialogik guna merumusan pola pendayagunaan SDA
yang produktif dan lestari; (5) memperbaiki tindakan perlindungan SDA melalui
mekanisme internalisasi hal-hal eksternal yang mengancam kelestarian SDA; dan
(6) menyediakan sistem manajemen yang membuka kesempatan selebar-lebarnya
bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan manajerialnya.
Berbagai kegiatan partisipatif pengelolaan taman nasional berupa
penataan kawasan: (1) penguatan perlindungan dan pengamanan, dan (2)
penguatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan; pengembangan
SDM petugas dan masyarakat; pengembangan sarana dan prasarana penunjang
kolaborasi (pengelolaan dan pemanfaatan); dan pembinaan partisipasi masyarakat
( program peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat).
55
Kerangka Berpikir
Pada era tahun 1980 an, istilah keberlanjutan atau sustainable mulai
dipopulerkan dan dikaitkan dengan konsep ekologi, kemudian berkembang pada
tiga aspek secara integratif yaitu: ekologi, sosial dan ekonomi. Keberlanjutan
56
Paradigma Penyuluhan
Diasumsikan bahwa meningkatnya kapasitas masyarakat sebagai salah
satu syarat partisipasi dalam pengelolaan taman nasional dengan pola kemitraan
merupakan fungsi pendidikan yang dilaluinya, dalam hal ini adalah penyuluhan.
Paradigma penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini adalah penyuluhan
yang bersifat partisipatif baik diukur dari materi, metode, media, frekwensi
interaksi klien dengan penyuluh serta kemampuan penyuluhnya. Paradigma
penyuluhan partisipatif dan non partisipatif yang dibangun dalam penelitian ini
diadopsi dan dimodivikasi dari berbagai ahli. Indikator dari penyuluhan yang
partisipatif dan non partisipatif tersebut disajikan pada Tabel 4.
61
ada di lapangan.
.
* Jarang berkomunikasi dengan * aktif membangun komunikasi
dgnpenyuluh
KARAKTERISTIK
INTERNAL (X1)
X11 Pendidikan
X12 Pengalaman
X13 Persepsi
X14 Motivasi
X15 Kosmopolitan
X16 Gender
X15 Status Sosial
KAPASITAS DIRI
MASYARAKAT (Y1)
PARTISIPASI
MASYARAKAT (Y2)
FAKTOR Y21 Hak
LINGKUNGAN (X3) Y22 Tanggung jawab
X31 Norma Y23 Manfaat
X32 Kerja sama Y24 Relasi
Y25 Solidaritas
X33 Akses informasi
X34 Pemimpin Informal
X35 Potensi Konflik
Keterangan:
= Hubungan langsung
= Hubungan tidak langsung
= Hubungan korelasi
Hipotesis
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Lokasi TNKT Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi
Sulawesi Tengah, pada bulan Agustus–September 2008. Pemilihan lokasi
66
N
n=
N.d2 + 1
Jumlah sampel penelitian sebanyak 166 orang dengan perincian pada tiap
kecamatan disajikan pada Tabel 5. Selain sampel, informasi juga diperoleh dari
informan kunci seperti : pemuka masyarakat, kepala Desa, pengurus organisasi
masyarakat, penyuluh atau fasilitator/pendamping masyarakat termasuk pegiat
NGO dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan Manula, perempuan dan
anak muda yang keseluruhannya berjumlah 40 orang. Informasi yang diharapkan
dari informan kunci ini terutama menyangkut perubahan lingkungan kawasan
TNKT dan aspek sosial ekonomi dan harapan tentang masa depan kawasan yang
dijadikan lokasi penelitian.
68
Instrumentasi
Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah yang
dikaji. Validitas instrumen adalah tingkat kesesuaian antara konsep dengan hasil
pengukuran dari konsep yang bersangkutan. Kesesuaian ditentukan dengan
mengadakan perbandingan antara konsep nominal dengan definisi operasional.
Validitas daftar pertanyaan diperlukan untuk mendapatkan data yang sesuai
dengan tujuan penelitian. Validitas dimaksud adalah bangun pengertian
(Construct validity), berkenaan dengan kesanggupan alat ukur mengenai
pengertian yang terkandung dalam materi yang diukurnya (Sujana, 2003).
Menurut Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1989), alat ukur dikatakan
sahih (valid) bila alat ukur tersebut dapat mengukur obyek yang sebenarnya ingin
diukur. Terdapat beberapa cara untuk menetapkan kesahihan atau keabsahan
suatu alat ukur yang dipakai, yaitu (1) validitas konstruk : artinya peneliti
menyusun tolok ukur operasional dari kerangka suatu konsep yang akan diukur,
(2) validitas isi : yakni alat ukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap
sebagai aspek kerangka konsep, dan (3) validitas eksternal : yakni alat ukur baru
yang akan digunakan tidak berbeda hasilnya jika dibandingkan dengan alat ukur
yang sudah valid.
Pengujian validitas instrumen dalam penelitian ini digunakan cara validitas
konstruk, yaitu menyusun tolok ukur operasional dari kerangka suatu konsep
69
dengan cara pemahaman atau logika berpikir atas dasar pengetahuan ilmiah yang
isi kuesionernya disesuaikan dengan konsep dan teori yang telah dikemukakan
oleh para ahli. Disamping itu, melakukan konsultasi dengan pihak yang dianggap
menguasai materi daftar kuesioner yang digunakan.
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan tingkat konsistensi suatu alat
ukur, sehingga dapat dipercaya atau diandalkan. Suatu alat ukur dikatakan
mempunyai tingkat keterandalan tinggi (reliable) apabila alat ukur tersebut
digunakan dua kali atau lebih untuk mengukur gejala yang sama mempunyai hasil
pengukuran relatif konsisten (Singarimbun dan Effendi, 1989). Hasil uji validitas
dan reabilitas secara lengkap dapat dilihat pada bagian lampiran dan intisarinya
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Instrument Penelitian
Keterangan : Dilakukan juga uji validitas dan reabilitas dengan menggunakan analisis SEM
(Structural Equation Model) dengan program LISREL. Hasil pengujian tersebut
menunjukan nilai valid dan reliabel (lamp. 1 dan 3).
diberikan untuk jumlah skor terendah dan nilai 100 untuk jumlah skor tertinggi
dari tiap indikator. Transfromasi semacam ini digunakann untuk menghitung nilai
keragaman yang terjadi dalam setiap peubah penelitian ini, terutama yang
berskala ordinal menjadi interval atau rasio sehingga layak diuji dengan
menggunakan statistik parametrik.
Rumus umum transformasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
(2). Proses Penyuluhan (X2 ), adalah serangkaian kegiatan dan kebutuhan yang
diperlukan untuk menjamin efektifitas dari kegiatan penyuluhan. Proses
penyuluhan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah materi penyuluhan,
metoda penyuluhan, media penyuluhan, frekwensi interaksi masyarakat
dengan penyuluh dan kemampuan penyuluh dengan sejumlah indikator dan
pengukurannya (Tabel 8).
72
(4). Kapasitas Individu Masyarakat (Y1), adalah daya yang ada pada diri
seseorang untuk mengambil keputusan (untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu) berkaitan dengan keterlibatannya dalam pengelolaan
TNKT. Kapasitas Individu msayarakat yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah daya yang diekspresikan melalui pegetahuan, ketrampilan, sikap
mental, dan perasaan setara dengan sejumlah indikator dan pengukurannya
disajikan pada Tabel 10.
74
Sangat setuju
Y.1.2. Kecakapan yang dimiliki Sangat tidak setuju
Ketrampilan masyarakat untuk melaksanakan Tidak setuju
usahanya, diukur berdasarkan Netral
kemampuan psikomotorik Setuju
tentang pengelolaan TNKT Sangat setuju
secara berkelanjutan
Y.1.3 Sikap mental yang dimiliki Sangat tidak setuju
Sikap mental masyarakat berkaitan dengan Tidak setuju
keberadaan TNKT dan Netral
pengelolaannya. Setuju
Sangat setuju
Y.2.4 Kesetaraan Sikap satu individu terhadap Sangat tidak setuju
dirinya dan terhadap individu Tidak setuju
lain terkait persamaan hak Netral
dalam pengelolaan TNKT . Setuju
Sangat setuju
(5). Partisipasi dalam kemitraan (Y2), adalah suatu proses dimana Partisipasi
dalam kemitraan adalah kesediaan individu masyarakat untuk terlibat dalam
pengelolaan TNKT, didasari oleh prinsip persamaan hak melalui hubungan
yang setara dan adil serta kesadaran akan tanggung jawab atas manfaat
yang diperoleh dan resiko yang dihadapi bersama. Partisipasi masyarakat
ini diukur melalui kualitas dan kuantitas keterlibatan masyarakat mulai dari
merencanakan, melaksanakan, memperoleh manfaat hingga melakukan
evaluasi terhadap kegiatan atau program secara berkelanjutan dengan
sejumlah indikator dan pengukurannya (Tabel 11).
75
Analisis Data
Sorbon dalam Kusnendi (2008) bahwa suatu model struktural diindikasikan sesuai
atau fit bila memenuhi tiga jenis GFT, yaitu: 1) p-value ≥ 0,05, 2) Root Means
Square Error of Approximation (RMSEA) ≤ 0,08, dan Comparative Fit Indeks
(CFI) ≥ 0,90.
Analisis data yang menggunakan model persamaan struktural (Structural
Equation Modeling, SEM) tersebut dimaksudkan untuk menguji kerangka
hipotetik seperti tertera pada gambar 3. Untuk mengestimasi parameter model,
dirumuskan persamaan model pengukuran dan persamaan model struktural
sebagai berikut:
δ1 δ2 δ3 δ4 δ5 δ6 δ7
λ1 λ2 λ3 λ4 λ5 λ6 λ7
Karakteristik Y1.1 Є1
Internal λ18
δ8 X2.1 (X1)
λ8
γ1
Y1.2 Є2
δ9 X2.2 λ9 φ1 ζ1 λ19
γ4 Y1.3 Є3
δ10 X2.3 λ20
λ10 Φ3 Proses Kapasitas
X2.4 penyuluhan masyarakat
δ11 γ2 λ21
Y1.4 Є4
λ11 (X2) Y1)
Faktor γ3
lingkungan λ22
Y2.1
Partisipasi Є5
(X3) masyarakat
λ13 γ6 (Y2) λ23
δ13 X3.1 Y2.2 Є6
ζ2 λ24
λ14
δ14 λ15 λ16 λ17 λ26 λ25
X3.2 Y2.3 Є7
Penjelasan peubah dan sub peubah dari model pada Gambar 4 dijelaskan
pada Tabel 13.
80
Laten Eksogen
Laten Endogen
berfungsi sebagai area perlindungan flora dan fauna khas dan endemik, fungsi
hidrologi serta optimalisasi pemanfaatan SDA laut, sekaligus juga mendukung
perkembangan perekonomian daerah khususnya di bidang pariwisata dan perikanan.
Bahkan secara nasional Kepulauan Togean menjadi bagian dari Program
Pengembangan Perikanan Terpadu Teluk Tomini.
Pada tahun 2004, menteri Kehutanan RI berdasarkan SK No.
418/Menhut/04 menunjuk kawasan ini menjadi TNKT seluas 362.605 ha yang
meliputi 25.832 ha wilayah daratan dan 336.773 ha wilayah perairan (CII, 2005).
Kondisi Biologi
Kepulauan Togean memiliki berbagai tipe ekosistem flora dan fauna,
baik di darat maupun di laut, mulai dari terumbu karang (coral reefs), serta
padang lamun (sea-grass bed), mangrove dan hutan dataran rendah:
Selain itu juga tercatat 555 species moluska dari 103 famili, 336 jenis
gastropoda, 211 jenis bivalvia, 2 jenis cephalopoda, 2 jenis scaphopoda dan
4 jenis chiton.
Ta'a, Pamona, Jawa, Gorontalo, dan Bugis. Suku Bobongko, Bajau, Saluan
dan Suku Togean sering dianggap sebagai etnis asli Kepulauan Togean.
Suku Togean banyak mendiami wilayah Kepulauan Togean bagian Barat dan
suku Saluan tersebar di beberapa Desa di Kecamatan Walea Kepulauan, sebelah
Timur Kepulauan Togean. Adapun Suku Bajau dan Suku Bobongko lebih
menyebar tetapi terkonsentrasi pada beberapa Desa tertentu. Jumlah penduduk
di Kepulauan Togean berdasarkan pengelompokkan etnis adalah sebagai
berikut; Pamona 16 jiwa, Ta'a 1.626 jiwa, Gorontalo 4.256 jiwa, Bare'e 674
jiwa, Bugis 2.395 jiwa, Bada 80 jiwa, Togean 7.238 jiwa, Jawa 910 jiwa dan
etnis lain yang tidak teridentifikasi 14.864 jiwa.
Seorang peneliti bahasa asal Belanda yang pernah tinggal di Teluk Kilat
pada tahun 1892, mencatat bahwa Suku Bobongko kemungkinan berasal dari
daerah Danau Limboto, Sulawesi Utara mengingat akar bahasanya yang sama.
Sedangkan Bahasa Suku Togean cenderung menyerupai Bahasa Bare'e dan
Taa yang ada di wilayah Ampana dan Tojo. Adapun Suku Saluan lebih
menyerupai bahasa yang digunakan di wilayah Balantak, Kabupaten Banggai,
jika demikian, maka sesungguhnya Kepulauan Togean sejak lama telah
menjadi daerah tujuan migrasi orang-orang dari wilayah daratan Sulawesi dan
sekitarnya (CII, 2005).
Berdasarkan latar belakang agama, Penduduk di Togean umumnya
beragama Islam, Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. Berdasarkan data BPS
tahun 2004 diketahui persentase jumlah penduduk berdasarkan agama adalah
sebagai berikut; Islam 98.99persen, Protestan 0.86persen, Katolik 0.04persen,
Hindu 0.02persen, dan Budha 0.09persen.
Indonesia (CII). Selama ini kegiatan perlindungan terumbu karang telah berjalan
dengan baik selama ± 1,5 tahun dan masyarakat Desa telah merasakan
manfaatnya. Tokoh masyarakat yang diwawancarai berharap agar pola
pengelolaan DPL ini dapat diadopsi oleh pengelola TNKT.
remaja dalam bebagai kegiatan sosial keagamaan dan adat istiadat (beberapa di
antaranya diikuti oleh peneliti) cukup menonjol, menunjukkan bahwa masalah
kesenjangan gender tidak terlalu nampak. Dengan kata lain, pembagian peran
dalam relasi gender cukup terlihat. Berkaitan dengan masalah konservasi, hasil
penelitian Lowe (2004) di Togean menunjukkan peran kaum ibu amatlah penting.
Kaum Ibu sering menolak hasil laut yang diperoleh dengan cara membom atau
menggunakan bahan kimia, karena alasan kesehatan untuk dikonsumsi.
berkontribusi besar terhadap kerusakan SDA laut dalam hal menggunakan bahan
destruktif. Lowe juga mengungkapkan bahwa peran orang tua justru sebagai
pemasok bahan destruktif tersebut. Tentang mengapa masyarakat menggunakan
bahan berbahaya tersebut, menurut Saad (2009), antara lain disebabkan karena
mereka terdesak dari wilayah perairan yang selama ini menjadi daerah
penangkapan mereka.
Tabel 17. Sebaran Presentase Tingkat Usia Responden
Faktor
Group Jumlah Presentase (%)
Demografi
15-25 38 22,89
26-36 51 30,72
Usia
37-47 34 20.48
48-58 27 16,27
58-68 16 9,64
Total 166 100,00
Kalau kita mengambil kisaran lebih dari 11 tahun lama tinggal, maka
presentase mencapai lebih dari 70 persen. Bila dibandingkan dengan usia
responden, dapat disimpulkan banyak responden yang sangat mengenal wilayah
mereka bahkan sebagian besar lahir di pulau ini. Lama tinggal ini sangat
penting dalam kaitan dengan akurasi rekaman hidup atau pengetahuan terhadap
kecenderungan status keberadaan sumber daya alam di kepulaun Togean.
94
Karakteristik Individu
Karakteristik internal berada pada kategori tinggi sedangkan motivasi dan
status sosial masing-masing berada pada kategori tinggi dan sedang (Tabel 19).
Karakteristik Individu yang diteliti meliputi beberapa komponen namun dua
komponen yang merefleksikan peubah atau memiliki kecocokan model yang kuat
yaitu: motivasi dan status sosial. Kedua komponen tersebut diperoleh melalui
analisis model pengukuran (measurement model) atas tujuh komponen yang
ditetapkan sebelumnya. Model pengukuran berusaha mengkonfirmasi apakah
peubah-peubah teramati tersebut memang merupakan ukuran/refleksi dari peubah
latennya sehingga model pengukuran dikenal juga dengan Confirmatory Factor
Analisys.. Berdasarkan analisis model pengukuran tersebut, komponen motivasi
dan status sosial memiliki keeratan atau validitas, reabilitas dan kecocokan model
yang kuat dalam membentuk faktor internal individu masyarakat di kepulauan
Togean (Lampiran 1). Untuk melihat penilaian atas motivasi dan status sosial
tersebut disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Rataan Skor Karakteristik Individu (X1) di Kepulauan Togean
Tanjung Pude Lemba Nato Kabalutan Total
Peubah (n=53 (n=55) (n=58) (166)
X1
Karakteristik 57 67 69 65
Individu
X1.4
Motivasi 64 80 76 73
X1.7
Status Sosial 49 60 63 56
Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah;
41- ≤60 = sedang; 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.
95
Proses Penyuluhan
Komponen media penyuluhan, metode dan kemampuan penyuluh berada
pada kategori tinggi sedangkan komponen frekuensi penyuluhan memiliki
kategori sedang dan proses penyuluhan yang dibentuk oleh keempat komponen
tersebut berada pada kategori tinggi. Penilaian tinggi terhadap media dan metode
penyuluhan serta kemampuan penyuluh tersebut mengindikasikan bahwa
masyarakat merasa puas dengan teknik penyuluhan yang dilakukan selama ini dan
kapasitas penyuluh yang terlibat. Namun dari segi frekuensi penyuluhan,
masyarakat memberi penilaian sedang, berarti intensitas penyuluhan masih perlu
ditingkatkan (Tabel 20).
Proses penyuluhan yang diteliti meliputi empat komponen yaitu: media,
metode, interaksi dan kemampuan penyuluh. Keempat komponen tersebut
diperoleh melalui analisis model pengukuran (measurement model) untuk
mengkonfirmasi (Confirmatory Factor Analisys.) atas lima komponen yang
ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan analisis model pengukuran tersebut,
komponen media, metode, interaksi dan kemampuan penyuluh memiliki keeratan
atau validitas, reabilitas dan kecocokan model yang kuat dalam membentuk
faktor proses penyuluhan di TNKT (Lampiran1). Untuk melihat penilaian atas
komponen tersebut disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Rataan Skor Proses Penyuluhan (X2) di Kepulauan Togean
Tanjung Lemba Nato Kabalutan Total
Peubah Pude (n=55) (n=58) (166)
(n=53)
X2
Proses Penyuluhan 59 61 69 63
X2.2.
Metode Penyuluhan 67 74 72 71
X2.3.
Media Penyuluhan 63 52 72 62
X2.4
Interaksi Penyuluh 46 51 62 54
X2.5
Kemampuan 60 62 71 64
Penyuluh
Keterangan : Kategori penilaian: 0 - ≤20 = sangat rendah; 21- ≤40 = rendah; 41- ≤60 =
sedang 61- ≤80 = tinggi; 81- ≤100 = sangat tinggi.
97
Faktor Lingkungan
Dewan adat terdiri dari ketua adat dan anggota dewan adat, mewakili
masyarakat dan ditunjuk dari anggota yang dituakan. Dewan adat berperan dalam
tataran pemeliharaan etika sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut. Suku
Bobongko misalnya, mempunyai sejarah panjang sebagai kerajaan kecil dengan
strata sosial tertentu. Mereka mengenal struktur kepemimpinan yang terdiri dari
tau da’a (Pemimpin yang dikarenakan masih mempunyai garis keturunan raja),
tolomato (kepala pemerintahan), talenga ulea (pembantu kepala pemerintahan)
dan panabela (kepala lipu/kampung) serta yang paling akhir lapisan masyarakat
biasa (grass root). Kepala Desa dipersepsikan sederajat dengan tolomato, yang
menjalankan dan mengemban amanat sebagai kepala pemerintahan yang harus
memperjuangkan aspirasi dan keinginan mayoritas masyarakat dengan selalu
memperhatikan keputusan-keputusan adat masyarakat. Beberapa pemimpin
informal tersebut, dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan misalnya dalam
menentukan saat tanam dan panen serta waktu turun ke laut.
Selain dewan adat, pada beberapa etnis juga dikenal adanya sifat-sifat
gotong-royong yang telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
masyarakat Bajo dikenal dengan istilah melakukan bapongka, yaitu suatu kegiatan
melaut yang dilakukan secara berkelompok. Kegiatan bapongka dilakukan untuk
mengumpulkan hasil laut antara lain teripang dan jenis ikan bergerombol
(schooling fish) seperti lolosi atau ekor kuning (Caesio sp).selama beberapa hari
secara bersama sama.
Masyarakat adat Bobongko memandang laut dan hutan sebagai tempat
keramat. Khusus hutan, diyakini sebagai tempat tinggal leluhur yang merupakan
pelindung dari kekuatan jahat dan melapetaka, maka areal hutan dan gunung
tertentu sangat disakralkan dan pantang dibuka. Hutan yang dapat dibuka adalah
Pangale 1) dan Yopo 2). Pembukaan areal hutan selalu didahului dengan upacara
1
) Hutan yang kondisi geografisnya tidak terlalu curam dan tidak terdapat tanda-tanda atau benda-benda
yang dikeramatkan. Pengelolaan dan peruntukannya secara bersama-sama bagi kepentingan masyarakat
Desa.
2
) Sama seperti Pangale, hanya saja Yopo dapat dikuasai secara pribadi dan hasil dari hutan tersebut
sebagian di masukkan ke kas Desa untuk keperluan masyarakat setempat.
100
Kapasitas Masyarakat
Partisipasi Masyarakat
Motivasi
(X1.3)
Karakteristik
0,65 Internal (X1)
Status 0,81
Sosial Mental
(X1.7) 0,60 (Y1.3)
0,28
Metode 0,50 Kapasitas
penuluhan Masyarakat
(X2.2)
Media 0,89 0,60 0,80
Penyuluhan Setara
(X2.3) 0,51 Proses
(Y1.4)
Penyuluhan (X2) - 0,35
Interaksi 0,79 0,54
(X2.4)
T. jawab
0,90 (Y2.2)
Kemampua
0,56
penyuluh 0,56
(X2.5) -0,23
Manfaat
Kerja sama 1,00 (Y2.3)
(X3.2) 0,51 Partisipasi
Faktor Masyarakat Relasi
Lingkungan (X3) 0,78
(Y2.4)
Pemimpin 0,72
Informal (X3.4)
Hasil uji kebermaknaan dengan uji t-test pada parameter model dengan
nilai statistik t-hitung yang ditetapkan menurut Joreskog dan Sorbon (Kusnendi,
2008) adalah sebesar 1,96 terlihat pada Gambar 7. Gambar 6 menunjukkan
hasil uji kebermaknaan pada masing-masing estimasi parameter model struktural.
Sebuah indikator dikatakan nyata apabila nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel
pada taraf kesalahan yaitu sebesar 1,96 (Kusnendi, 2008). Output Lisrel dalam
bentuk diagram jalur (path diagram) akan memberikan informasi aspek
kebermaknaannya.
106
Motivasi
(X1.3)
7,74
Status
Sosial Karakteristik
Mental
(X1.7) Internal (X1) (Y1.3)
8,92 7,12
Metode Kapasitas
6,43 Masyarakat
penuluhan 3,26
(X2.2)
Media 14,30 3,87 5,47
Penyuluhan Setara
(X2.3) 6,85 Proses
(Y1.4)
Penyuluhan (X2)
Interaksi 11,92 3,47
(X2.4)
T. Jawab
14,62 - 2,93 (Y2.2)
6,18
Kemampua
9,80 -2,10
penyuluh Manfaat
(X2.5) 8,76 (Y2.3)
Pemimpin
Informal (X3.4)
(3) Faktor lingkungan secara langsung berpengaruh tidak nyata positif pada
partisipasi, yang berarti setiap peningkatan satu unit faktor lingkungan
masyarakat, akan meningkatkan partisipasi sebesar 6 persen
(4) Kapasitas diri individu masyarakat di kepulauan Togean secara langsung
berpengaruh nyata positif pada partisipasi mereka, yang berarti setiap
peningkatan satu unit kapasitas masyarakat, akan meningkatkan partisipasi
sebesar 54 persen
(5) Karakteristik individu, proses penyuluhan, faktor lingkungan dan kapasitas
secara simultan berpengaruh pada partisipasi dengan koefisien determinasi
sebesar 26 persen.
Untuk melihat arah, koefisien dan t-hitung dari hubungan peubah
karakteristik internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan disajikan pada
Tabel 26.
Tabel 26. Arah, koefisien dan t-hitung dari hubungan peubah karakteristik
internal, proses penyuluhan dan faktor lingkungan.
Arah/koefisien t-hitung
Hubungan antar Peubah
Hubungan
Karakteristik Individu Proses penyuluhan 6,43
0,50
Proses penyuluhan
Faktor lingkungan 0,56 9,80
Faktor lingkungan 3,26
Karakteristik individu 0,28
Hasil analisis SEM memperlihatkan bahwa dari tiga peubah bebas yang
dikaji, ketiga tiganya memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap kapasitas
masyarakat dalam pengelolaan TNKT. Kecuali karakteristik individu, proses
penyuluhan dan faktor lingkungan berpengaruh nyata pada kapasitas masyarakat
dalam pengelolaan TNKT.
konflik tidak hanya melanda antar masyarakat dan dengan pemerintah tetapi juga
antar pemerintah lokal dan pemerintah pusat baik soal kejelasan status maupun
kekisruhan Tata Ruang Nasonal.
pemda lokal nampak belum berjalan baik. Akibatnya, terjadi reaksi prokontra
yang kian saat makin membentuk anggapan negatif terhadap TNKT.
Peran stakeholder seperti NGO (civil society) dan pihak swasta juga
memberi warna tersendiri bahkan lebih bersifat antagonistik. Dalam beberapa
kasus, terjadi gesekan yang amat tajam antara masyarakat dengan pihak swasta
dalam hal penguasaan ruang di laut. Gesekan juga terjadi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah bahkan antara sesama NGO tentang implikasi dari
penetapan pulau Togean sebagai Taman Nasional. NGO lokal yang biasanya
menjadi corong masyarakat belum sepenuhnya percaya pada niat baik
pembentukan TNKT. NGO lain seperti CII (Concervacy International Indonesia)
yang telah lama mendampingi masyarakat di pulau Togean dan dianggap ikut
membidani penetapan taman nasional ini, tiba-tiba angkat kaki karena alasan masa
kontrak selesai. Masyarakat akhirnya terjebak pada pro-kontra kehadiran taman
nasional yang kemudian bersublimasi dengan politik lokal membuat kesan negatif
terhadap konsep taman nasional makin mencuat. Keseluruhan situasi ini
memberikan pengaruh yang kuat atas penilaian masyarakat terhadap kehadiran
taman nasional yang ditunjukan oleh rendahnya tingkat partisipasi mereka dalam
pengelolaan TNKT meskipun mereka memiliki kapasitas yang memadai.
dilihat dalam hal ini adalah sikap mental dan kesetaraan. Partisipasi masyarakat
yang menggambarkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan TNKT diukur
dari manfaat, tanggung jawab dan relasi. .
kategori tinggi namun tidak cukup kuat untuk mendorong terjadinya partisipasi
karena tidak adanya kesempatan.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, terungkap bahwa gagasan
menjadikan wilayah kepulauan Togean sebagai kawasan Konservasi dalam bentuk
taman nasional menuai kontroversi dan isu yang sarat dengan potensi konflik.
Dalam kondisi seperti ini, penyuluhan yang dilakukan juga bersifat mekanistik
satu arah dengan frekuensi yang sangat terbatas. Meskipun secara nasional telah
ditetapkan model pendekatan kemitraan (kolaboratif) atau partisipatif dalam
pengelolaan taman nasional, namun di tingkat implementasi masih terkendala
mekanisme koordinasi dan keseriusan menemukan solusi. Masyarakat terombang
ambing di antara harapan dan ancaman terhadap kehidupan mereka di tengah
praktek manajemen taman nasional. Akibat selanjutnya muncul pandangan
negatif dan anti pati terhadap gagasan taman nasional serta para aktor yang
membawa gagasan ini.
Sesungguhnya perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi
mengakui bahwa perencanaan terpusat atau pendekatan cetak biru tidak kondusif
lagi bagi manajemen sumberdaya lokal secara partisispatif. Namun, perubahan
paradigma dari menagement terpusat ke partnership management (partisipatif)
ditingkat konsep saja tak cukup berarti bila tidak diikuti dengan paraktek nyata di
lapangan. Pendekatan-pendekatan ekploratif termasuk pembelajaran (penyuluhan
atau pemberdayaan) adalah hal yang menjanjikan. Elemen kekuatan lokal yang
diwujudkan dalam partisipasi mereka dalam proses pengambilan keputusan,
termasuk perencanaan dan manajemen merupakan faktor kunci keberhasilan.
Hasil penelitian Kassa (2009) di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi
Tengah juga menunjukkan bahwa faktor kunci yang tidak mendukung
keberhasilan co-management/partnership management atau kemitraan di taman
nasional Lore Lindu adalah rendahnya partisipasi stakeholder, negosiasi yang
tidak melibatkan seluruh stakeholder, dan ketidak jelasan untuk mendapatkan
akses sumberdaya. Camala et al. (1977) menguraikan tingkatan tindakan dan
konsekwensi sikap partisipasi antara lain: Order-Reaction, Guide-Imagination,
120
oleh dua hal yaitu akses pemanfaatan mereka pada sumberdaya dan kontrol
mereka pada sumberdaya tersebut. Kajian ini sejalan dengan banyak penelitian
sebelumnya yang mengusulkan jalan keluar untuk mengatasi SDA perikanan
berupa kontrol pada akses dan pemanfaatan sumber daya (Saad, 2009).
Ketika diadakan wawancara mendalam di Desa Tanjung Pude, seorang
responden mengungkap kerisauannya sebagai berikut : ”sedangkan tidak dibatasi
pengambilannya, kami sudah mengalami kesulitan menangkap ikan dan teripang
apalagi kalau dibatasi.”
Ungkapan masyarakat ini memperteguh kebenaran hasil kajian Satria
tersebut, namun sekaligus mengungkapkan bahwa masyarakat memiliki
pemahaman yang sangat minim tentang makna konservasi dan arti kehadiran
taman nasional di wilayah mereka. Seperti diketahui bahwa taman nasional
membawa tiga misi yaitu misi perlindungan, misi konservasi dan misi
pemanfaatan. Dari ketiga misi tersebut tampak akan terjadi perubahan
penggunaan ruang yang semula bebas akses menjadi terbatas. Tetapi keterbatasan
tersebut sesungguhnya untuk kepentingan jangka panjang pemanfaatan SDA atau
ruang nafkah secara berkelanjutan. Namun pembatasan tersebut, terutama dalam
jangka pendek pasti menimbulkan kontraksi sosial akibat ketidak fahaman dan
Desakan kebutuhan. Hal ini akan sangat terasa misalnya pada kasus pengaturan
pemanenan teripang yang serba dilematis. Oleh karena itu, diperlukan jalan
keluar yang komprehensif untuk mengatasi dilema ini melalui proses penyuluhan.
Tahap kedua, adalah proses penyuluhan yang dapat meningkatkan
kapasitas masyarakat dan selanjutnya akan meningkatkan partispasi mereka.
Strategi peningkatan kapasitas melalui penyuluhan membutuhkan ketersediaan
penyuluh yang berkualitas dalam menguasai materi, metode dan kemampuan
berkomunikasi baik kualitas mapun intensitasnya serta dukungan kebijakan yang
memadai. Kualitas penyuluh yang profesional merupakan prasyarat utama bagi
terselenggaranya suatu penyuluhan yang dapat meningkatkan kapasitas
masyarakat. Penyuluh yang profesional akan berfungsi lebih sebagai fasilitator,
124
MASUKAN (Input):
PROSES :
Kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan
Motivasi atau kemauan dan Kapasitas
Masyarakat
KELUARAN (Output):
Peningkatan Kapasitas masyarakat terutama
berkaitan dengan sikap mental dan kesetaraan
serta motivasi atau kemauan
sebagai subyek yang berperan aktif dan partisipatif dalam proses penelusuran,
penggalian dan penemuan ilmu dan teknologi. Selain itu, materi teknis yang
dikembangkan harus diikuti dengan upaya membuka akses permodalan dan
pemasaran serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai.
Berdasarkan temuan penelitian ini, semua upaya ini baru akan efektif bila
diimbangi dengan pemberian kesempatan (oportunity), kepercayaan (trust) dan
penghargaan atau pengakuan akan hak masyarakat lokal (recognition) dan
pelibatan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain strategi
pendekatan harus bersifat komprehensif berupa penyuluhan (pemberdayaan)
partisipatif dalam bentuk pendampingan terpadu. Penyuluhan partisipatif
memungkinkan tergalinya kebutuhan real masyarakat dan pendampingan terpadu
akan menjadi jembatan bagi terpecahkannya masalah secara holistik atas
dukungan semua aktor terkait.
Interaksi dengan penyuluh tergolong sedang maka intervensi penyuluhan
harus dilakukan dengan intensitas yang makin meningkat. Komunikasi pada
penyuluhan untuk meningkatkan kapasitas haruslah model komunikasi yang
konvergen yang menggambarkan partisipasi penyuluh dan masyarakat yang saling
bertukar informasi dalam pemahaman, pengertian dan kebutuhan sehingga
menemukan kesamaan pandang. Kebalikannya adalah model komunikasi linier
yang menyebabkan masyarakat bersifat pasif karena komunikasi hanya
berlangsung satu arah. Model dan intensitas komunikasi ini selain diharapkan
dapat mengimbangi dan menepis isu negatif juga meyakinkan mereka akan
substansi konservasi yang akan membawa manfaat bagi mereka saat ini maupun
untuk anak cucu mereka kelak. Hanya bila masyarakat teryakini akan manfaat
sebuah ide yang dibawa dan kesempatan yang dibuka maka dengan mudah
mereka akan ikut berpartisipasi.
Lembaga penyelenggara penyuluhan baik pemerintah pusat, pemerintah
daerah maupun kalangan NGO harus memilik kesamaan pandang tentang baik
paradigma penyuluhan maupun substansi yang akan disuluhkan. Dalam hal
status, mekanisme hingga wewenang atau otoritas pengelolaan taman nasional
126
kesempatan usaha secara parmanen. Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah
bila sumberdaya alam tersebut termasuk kategori ”endemik” yang amat bernilai
tinggi baik ekonomi, sosial maupun ekologi yang sesungguhnya menjadi
tanggung jawab universal.
Kondisi ini hanya bisa difahami dan dipatuhi oleh individu masyarakat
yang memiliki kapasitas yang tinggi baik berkaitan dengan aspek teknis produksi
maupun aspek konservasi lingkungan dan hubungan sosial yang baik. Individu
masyarakat dengan kapasitas ini, akan dapat berfungsi sebagai ”aktor sosial.”
Aktor sosial dalam hal ini adalah mereka yang mempunyai kapasitas atau
pengetahuan dan kemampuan untuk berpartisispasi terutama dalam proses
pengambilan keputusan.
Tahap ke empat adalah manfaat (outcome) yang diperoleh sebagai akibat
meningkatnya kapasitas masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi
mereka. Terdapat tiga hal yang menjadi prasyarat bagi lahirnya partisispasi yaitu:
kemaun, kemampuan dan kesempatan. Faktor kemauan akan berhubungan
dengan motivasi dan motivasi yang kuat selalu berkaitan dengan manfaat yang
diperoleh. Hanya masyakarat yang merasa memperoleh manfaat yang akan mau
mengikuti suatu anjuran.
Jika tidak ada cara yang berarti untuk memberi keuntungan bagi
masyarakat lokal untuk upaya konservasi mereka berarti tidak adil dan sering kali
sangat tidak realistis untuk mengharapkan mereka mengorbankan kebutuhan
mereka sendiri demi cita cita konservasi. Banyak upaya yang telah dilakukan
bahkan dalam bentuk proyek konservasi, tidak memberi manfaat yang berarti
bagi masyarakat lokal. Sering kali biaya proyek diinternalisasi di dalam
masyarakat tetapi keuntungannya dinikmati di tempat lain.
Oleh karena itu, pendekatan partisipasi dalam bentuk penyuluhan dan
pemberdayaan di bidang pembangunan dan konservasi harus diimbangi dengan
upaya untuk menyediakan masyarakat lokal dengan insentif ekonomi melalui
jaminan akses kepada sumberdaya atau melalui mekanisme kompensasi untuk
menggantikan peluang usaha mereka yang hilang, terhalang atau tertangguhkan,
128
ini diterima langsung oleh salah seorang warga Togean asal Desa Lembanato di
London, Inggris (salah satu responden dalam penelitian ini).
Saat ini, kesuksesan bersama tersebut tinggal kenangan karena tidak ada
upaya untuk menjaga sisi keberlanjutannya karena ditinggal pergi lembaga NGO
pendamping. Selain itu, bersamaan dengan kerusuhan Poso yang berdampak
pada turunnya kunjungan wisata, juga karena tidak dilakukan pengambil alihan
(take over) pembinaan agar masyarakat benar benar mandiri untuk
menjalankannya sendiri.
haknya (hak akses, hak milik atau hak untuk mengelola). Faktanya, hak mereka
itu sering dipinggirkan dan proses ini justru menghilangkan kearifan lokal yang
kemudian memunculkan perilaku baru yang merusak. Padahal, berbagai
pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan yang
memadai untuk mengelola SDA secara produktif dan lestari.
Berdasarkan temuan penelitian, kebijakan yang amat dibutuhkan dapat
berupa: (1) penataan tata ruang dengan memperhatikan hak-hak masyarakat, (2)
konsistensi penerapan paradigma kemitraan pengelolaan taman nasional, (3)
penerapan paradigma penyuluhan konvergen, yang dimulai dengan analisis
kebutuhan hingga merancang dan melaksanakan program (4) akses permodalan
dan pembangunan sarana prasarana penunjang usaha khususnya di bidang
perikanan/kelautan dan pertanian yang merupakan sektor usaha mayoritas
masyarakat Togean. Hanya bila langkah langkah ini dilakukan dengan benar
maka kita akan optimis mencapai tujuan jangka panjang sebagai dampak (impact)
dari proses penyuluhan, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan TNKT yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat dan kelestarian
lingkungan hidup secara simultan.
131
Kesimpulan
Saran
Saran temuan ini ditujukan kepada lembaga terkait baik pada tingkat
daerah mapun pusat dan para penyuluh guna mendorong peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNKT, sebagai berikut:
(1) Mengingat rendahnya partisipasi adalah akibat dari minimnya peluang dan
biasnya informasi yang diterima masyarakat tentang TNKT maka pihak
yang berkepentingan perlu meningkatkan intensitas penyuluhan dengan
membuka peluang partisipasi yang luas bagi masyarakat untuk ikut
memikirkan bahkan menjadi penentu dalam proses pengelolaan TNKT.
(2) Agar partisipasi masyarakat dapat efektif, maka pemerintah pusat dan daerah
perlu segera memberikan kepastian status TNKT diikuti penerapan secara
konsisten konsep kemitraan (kolaborasi) yang menjamin keterlibatan
masyarakat dalam struktur kelembagaan formal/informal untuk
memfasilitasi partisipasi mereka dalam pengelolaan TNKT.
(3) Agar terjadi integrasi pembangunan secara berkelanjutan di TNKT maka
pihak-pihak berkepentingan mutlak mendorong partisipasi masyarakat
dalam hal pembangunan ekonomi, sosial dan konservasi dengan
menghormati hak ekologis mereka dan membangun mekanisme yang efektif
untuk mengelola manfaat (sharing of benefit) dari pemanfaatan SDA di
kawasan konservasi. Dengan kata lain perlu ada jaminan akses kepada
sumberdaya atau kompensasi atas akses mereka yang terhambat akibat
penetapan kawasan ini sebagai Taman Nasional..
(4) Mengingat keterbatasan penelitian ini yang lebih banyak mengungkap aspek
internal yang menyebabkan terjadinya partisipasi, maka perlu penelitian
sejenis mengenai faktor lain yang bersifat ekternal yang belum diteliti pada
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, HS, dan HR Saukani. 2004. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas :
Menyibak Tragedi Kehancuran Hutan. Cetakan Pertama. Bandung:
Nuansa
132
Asngari. 2008. ”Peranan Perguruan Tinggi dalam Pengembangan SDM
Pembangunan.” Di Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan Yang
Bermartabat. Diedir oleh Sudrajat dan Yustina. Bogor: Syndex Plus.
Aziz, K. 2008. Kredit Union Bolano. Makalah, disajikan pada Seminar tentang
Good Practices. Sulawesi Capacity Development Project,Palu : JICA-
Bapedda Sulteng.
Borrini, FG., Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Co-management of
Natural resources: Organising, Negotiating and Learning-by-Doing.
Heidelberg: GTZ and IUCN.
Buttman, M, Paula E, Folbre N, Liana S, dan Goerge M. 2003. “When does gender
trump money: bargainng and the time in household work.” American Journal
of Sociology.
133
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta : Dephut.
Gagne, RM. 1977. The Condition of Learning. New York : Rinehart and Winson.
134
Hofstede, W. 1991. Pembangunan Masyarakat. Kumpulan Karangan. Society in
Transition. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
________ 1985. United Nations List of National Parks and Protected Area.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.
Gland, Switzerland.
Katz, D. 1960. “The Functional Approach to the Study of Attitudes.” Di dalam The
Canadian Pespective Consumer Behavior, oleh Kindra, Larose dan Muller.
Canada: International Thomson Publishing.
Kaye, H. 1997. Mengambil Keputusan Penuh Percaya Diri. Jakarta. Mitra Utama.
Laban, BY. 2002. Prospek Nagatif Penebangan Liar di Taman Nsional lore Lindu
(Negatif prospect of Illegal Logging in Lore Lindu Nasional Park) Palu :
TNLL.
135
Lippit, R., W Jeanne, W Bruce . 1958 . The Dynamics of Planned Change.
Harcourt: Brace & World, Inc.
Lowe, C. 2004. Making the monkey : how the Togean macaquue went from new
form to endemic speciesin Indonesiaans conservation biology. University of
Washinton. Jurnal Cultural Anthropology vol 19 issu 4.
Moffat, I., Hanley , Wilson MD. 2001. Measuring and Modelling Sustainable
Development. New York : The Parteneon Publihing Group.
[OPC] The Ontario Prevention Clearinghouse. 2002. Capacity Building for Healt
Promotion: More than bricks and mortar. Ontario Toronto.
136
Padmowihardjo, 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan
Sistem dan Usaha Agribisnis. Jakarta : Departemen Pertanian.
Roger, EM. 1994. The Diffussion Process. Edisi Keempat New York: The Free Press.
Ruben, D.B. 1988. Communication and Human Behavior. New York: Macmillan
Publishing Company.
137
Saad, S. 2009. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan. Eksistensi dan Prospek
Pengaturannya di Indonesia. Yogyakarta : LKIS.
Siagian, SP. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Balai Pustaka.
Singarimbun, M., dan S Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3S.
Spencer, Lyle M., dan Signe M. Spencer, 1993. Competence at Work: Model For
Superior Performance. New York: John Wiley and Sonc Inc.
139
Sumardjo. 1999. “Transformasi model penyuluhan pertanian menuju pengembangan
kemandirian petani. kasus di Propinsi Jawa Barat.” [Disertasi]. Bogor :
Program Pascasarjana IPB.
Surjadi, P., dan J Supriatna. 1998. Bridging Community Needs and Government
Plannng in the Togean Islands, Central Sulawesi Indonesia. Conservation
International.
Susanto, J. 1979. Nutrition Community Education Program at Village Level : To
Make People Aware of Using Local Green-Leaf-Vegetables To Prevent
Xerophthalmia In Indonesia. Paper. Cornell University. USA.
Triton, PB. 2006. SPSS. 13.0 Terapan; Riset Statistik Parametrik.Yogyakarta :C.V.
Andi offset.
van den Ban AW, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan Pertanian (Terjemahan),
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Yolanda. 2000. “Partisipasi Petani dalam Kegiatan PIR Kelapa Sawit (Kasus
Petani PIR di Kabupaten Manokwari-Irian Jaya.” [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana. IPB.
Zahid, A. 1997. “Hubungan karakteristik peternak sapi perah dengan sikap dan
perilaku aktual dalam pengelolaan limbah peternakan.” [Tesis]. Bogor :
Program Pascasarjana, IPB.
Http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/ . Manajemen-konflik-definisi-dan-teori-
teori-konflik. Akses tangga 21 Juli 2008
Http : // en. wikipedia. Org / wiki / Equality . Equality. Akses tgl 15 Juli 2008
Http//wikipedia/org/wiki/economic/social/environmental/natural_resources.
Akses pada tanggal 10 April 2008
141
Http://en.wikipedia.org/wiki/International_development) Akses tgl 10 April 2008.
Purnama, B., M., 2009, Degradasi hutan Indonesia Capai 2,8 Juta hekter pertahun,
http://www.kapanlagi.com/h/0000166208.html. Akses tgl 11 Agustus 2009.
142
Perticipation is a process of cooperative action in which a group of individuals share
in the responsibilities and consequences of a common understanding or the
achievement of a particular task.
FOA, 1975, Seminar in the role of women in integrated rural development with
emphases on population problems. Cairo, October 28 – nov 3 1978, Rome.
Agus Sabti. 2002. Kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi
: kasus petani sayuran di propinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor : Program
Pascasarjana IPB.
Depdagri. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah. Departemen Dalam Negeri. Sekretariat Negara. Jakarta
143
Borrini-Feyerabend G. 1996. Collaboratif Management of Protected Areas: Tailoring
the Approach to the Context. Issues in Social Policy, IUCN. Gland
Switzerland.
144
81