You are on page 1of 11
emt tt re ens RSA SEEN TRCN Bab 6 Privasi Privasi adalah salah satu konsep dari gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya, di mana konsep ini amat dekat dengan konsep ruang personal dan teritorialitas seperti yang dibahas di muka. Materi-materi yang akan dibahas di dalamnya antara lain meliputi: A. Pengertian Privasi B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Privasi Faktor Personal Faktor Situasional Faktor Budaya C. Pengaruh Privasi Terhadap Perilaku A. PENGERTIAN PRIVASI Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu.-Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justra ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986). Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekankan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain. Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendakioleh seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar dengan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain, dengan cara mendekati atau menjauhinya. Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari privasi tergantung dari pola-pola perilaku dalam konteks budaya dan dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu. Rapoport (dalam Soesilo, 1988): mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan ‘untuk mengor.trol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan, Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik tethadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. 60 sists xt A AOA EO RST TE ES, Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wright man & Deaux, 1981) dan ahli-abli lain (seperti Bates, 1964; Kira, 1966 dalam Altman, 1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukkan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya. ‘Altman (1975), hampir sama dengan yang dikatakan Rapoport, mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinarnis, Menurutnya privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi ini mengandung beberapa pengertian yang lebih luas. Pertama, unit sosial yang digambarkan bisa berupa hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dan seterusnya, Kedua, penjelasan mengenai privasi sebagai proses dua arah; yaitu pengontrolan input yang masuk ke individu dari luar atau output dari individu ke pihak lain. Ketiga, definisi ini menunjukkan suatu kontrol yang selektif atau suatu proses yang aktif dan dinamis. ‘Altman (1975) menjabarkan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengaturdan pengontrol interaksi interpersonal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang . lain, Privasi dibagi menjadi dua macam, yaitu privasi rendah yang terjadi bila hubungan dengan orang lain dikehendaki, dan privasi tinggi yang terjadi bila ingin menyendiri dan hubungan dengan orang lain dikurangi. Fungsi privasi kedua adalah merencanakan dan membuat strategi ‘untuk berhubungan dengan orang lain, yang meliputi keintiman atau jarak dalam berhubungan dengan orang lain. Fungsi ketiga privasi adalah memperjelas identitas diri. Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut : a). Perilaku verbal Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”. b). Perilaku non verbal Perilaku ini dilakukan dengan menunjukkan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagaitanda senang atau tidak senang, Misalnya seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupur terus-menerus melihat waktn yang ‘menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mendekati dan menghadapkan mnka, tertawa, menganggukkan kepala merhberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomunikasi dengan orang lain. c). Mekarisme kultural Budayz mempunyaibermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada orang lain dan hal ini sudah 61 diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; Altman & Chemers dalam Dibyo Hartono, 1986). d). Ruang personal . Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu. Sommer (dalam Altman, 1975) mendefinisikan beberapa karakteristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oleh orang lain. Ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada satu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Fisher dkk. (1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Hal ini tergantung dengan siapa seseorang itu berhubungan. Keempat, pelanggaran Tuang personal oleh orang lain akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini dikontrol dengan kuat. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa individu yang mempunyai kecenderungan berafiliasi tinggi, ekstrovert atau yang mempunyai sifat hangat dalam berhubungan interpersonal mempunyai ruang personal yang lebih kecil daripada individu yang introvert (Gifford, 1987). e). Teritorialitas Pembentukan kawasan teritorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas- batas tersebut nyata dengan tempat yang relatif tetap. ‘Menurut Holahan (1982) teritorialitas adalah suatu pola perilaku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas sebuah lokasi geografis tertentu. Pola perilaku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar. Altman (1975) mendefinisikan teritorialitas sebagai berikut: 1) Teritori merupakan wilayah geografis. Daerah ini meliputi tanah dengan batas-batas alam, tempat tertentu, gedung dan bangunan. 2) Daerah itu untuk bermacam-macam keperluan biologis dan sosial- psikologis. 3) Ada kontrol terhadap daerah penggunaannya, misalnya dengan memberikan tanda-tanda tertentu (pagar, bangunan, dan lain-lain). 4) Teritori dapat dikontrol oleh perorangan ataupun kelompok. 5) Pemilik teritori berusaha mempertahankan teritori tersebut dari penerobosan orang lain. Altman (1975) membagi teritorialitas menjadi 3 macam. Pertama, terito:i primer merupakan tempat yang bersifat pribadi yang mencerminkan harga diri dan identitas pemiliknya. Misalnya ruang tidur, ruang kerja, pekarangan, dan lain-lain. Kedua, teritori sekunder merupakan tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah saling mengenal atau orang-orang yang mempunyai kepentingan terhadap kelompok itu misalnya 62 tangga bersama, toilet, pintu gerbang, dan lain-lain. Ketiga, teritori umum, yaitu tempat- tempat terbuka untuk umum. Misalnya bioskop, taman umum, plaza, dan lain-lain. Sementara itu Marshall (dalam Holahan, 1982); Sarwono (1992) berusaha membuat alat yang berisi serangkaian pernyataan tentang privasi dalam berbagai situasi (dinamakan Privacy Preference Scale) dan ia menemukan adanya enam jenis orientasi tentang privasi yang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu tingkah laku menarik diri (withdrawal) dan mengontrol informasi (control of information). Tiga orientasi yang termasuk dalam tingkah laku menarik diri adalah solitude (keinginan untuk menyendiri), seclusion (keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga serta kebisingan lalu lintas) dan intimacy (keinginan untuk dekat dengan keluargadan orang-orang tertentu, tetapi jaul: dari semua orang lain). Tiga orientasi lain yang termasuk dalam tingkah laku mengontrol informasi adalah anonymity (keinginan untuk merahasiakan:jati diri), reserve (keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang.fatfi) dan not-neighboring (keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga). Hampir sama dengan Marshall, Westin (dalam Altman, 1975; Wrightman & Deaux, 1981) menjadi privasi menjadi empat macam, yaitu solitude, intimacy, anonymity dan reserve, Dalam solitude seseorang ingin menyendiri dan bebas dari pengamatan orang lain serta dalam kondisi privasi yang ekstrem. Intimacy ialah keadaan seseorang yang bersama orang lain namun bebas dari pihak-pihak lain. Anonymity ialah keadaan seseorang yang tidak menginginkan untuk dikenal oleh pihak lain, sekalipun ia berada di dalam suatu keramaian umum. Sedang reserve ialah keadaan seseorang yang menggunakan pembatas psikologis untuk mengontrol gangguan yang tidak dikehendaki. Berdasarkan pembahasan di atas, maka kita dapat mengatakan bahwa konsep privasi ternyata sangat dekat dengan konsep ruang personal dan teritorialitas. Altman (1975) membuat suatu model organisasi konseptual. Altman mempertimbangkan ruang personal, teritorial, dan kesesakan untuk mencapai privasi. Isolasi Sosial (Privasi yang dicapai lebih besar dari yang diinginkan) v Kedudukan Privasi yang Kontrol Privasi yang Optimum (privasi Pola-pola —®Diinginkan —>Mekanisme —® Dicapai ©—® yang diinginkan Perilaku (ideal) Interpersonal (Keluaran) = privasi yang dicapai) 4 Kesesakun (Privasi yang dicapai lebih kecil dari yang diinginkan) © *— Gambar 1.6. Model Privasi Yang Dapat Dicapai dengan Mempertimbangkan Ruang Personal dan Teritorialitas Sumber: Altman (1975) B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRIVASI Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional, dan faktor budaya, Faktor Personal. Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonim dan reserve saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagian besar waktunya di kota akan lebih memilih keadaan anonim dan intimacy. Sementara itu Walden dan kawan-kawan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi. Dalam sebuah penelitian pada para penghuni asrama ditemukan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbedaan dalam merespon perbedaan keadaan antara ruangan yang berisi dua orang dengan ruangan yang berisi tiga orang. Dalam hubungannya dengan privasi, subjek pria lebih memilih ruangan yang berisi dua orang, sedangkan subjek wanita tidak mempermasalahkan keadaan dalam dua ruangan tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi dengan kepadatan yang lebih tinggi. Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara ‘umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyenditi (Gifford, 1987). Penelitian Marshall (dalam Gifford, 1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi di dalam rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah di sini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah. Seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain di sekitanya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar. Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987). Dua buah studi tersebut antara Jain akan disajikan pada alinea-alinea berikut. Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukkan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal di dalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford, 1987). Hasil pengamatan Gifford (1987) di suatu desa di bagian Selatan India menunjukkan bahwa semau keluarga memiliki rumah yang sangat dekat satu sama lain, 64 2c HR LEE IE RE sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya. Orang-orang desa tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukkan bahwa pengamatan yang dangkal seringkali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antaza orang Arab dengan orang India. Studi Patterson dan Chiswick (dalam Gifford, 1987) di bawah ini menggambarkan privasi masyarakat Iban, Serawak, Kalimantan. Orang-orang Iban tinggal di rumah panjang dengan privasi yang (diduga) kurang, dimana kesempatan untuk menyendiri atau keintiman ada di belakang pintu-pintu yang tertutup. Apakah orang-orang Iban memiliki privasi yang amat memprihatinkan? Atau apakah mereka tidak membutuhkan privasi? Patterson dan Chiswick menemukan orang Iban tampaknya membutuhkan privasi kira-kira sebanyak yang kita butuhkan, akan tetapi mereka melakukannya dengan mekanisme yang berbeda. Mekanisme-mekanisme ini adalah suatu kesepakatan sosial. Sebagai contoh, orang Iban memiliki cara khusus untuk berganti pakaian di daerah yang bersifat publik dengan cara yang sederhana. Terdapat aturan-aturan bagi anak-anak untuk mengurangi hal-hal yang tidak dinginkan dalam hubungannya dengan orang dewasa. Rumah panjang itu tertutup bagi anak- anak dalam banyak kesempatan. Pada saat mulai pubertas, ruang tidur anak mulai dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya. Geertz dalam suatu presentasi seminar seperti yang disebutkan oleh Westin pada tahun 1970 (dalam Altman, 1975) menerangkan privasi keluraga pada masyarakat Jawa dan Bali: DiJawa, orang tinggal di rumah kecil dengan dinding dari bambu. Hampir semua rumah terdiri dari keluarga inti tunggal, yang terdiri dari ibu, ayah, dan anak yang belummenikah... Rumah-rumah berhadapan dengan jalan dengan halaman yang bersih didepan rumahnya. Tidak terdapat dinding atau pagar di sekeliting rumahnya, dinding- dinding (bambu) rumahnya tipis dan dianyam secara longgar, dan umumnya bahkan tanpa pintu. Di dalam rumah orang bebas untuk berlalu-lalang, bahkan orang luar dapat pula bebas berlalu-lalang di dalam rumah sepanjang hari atau pada sore hari. Singkamya, privasimenurutisilah kita adalah tentang ketidaktertutupan yang diperoleh. ‘Anda dapat berjalan bebas menuju ruang dimana pria dan wanita tidur berbaring (dalam keadaan berpakaian tentunya). Bila anda memasuki dari belakang ataupun dari depan rumah, maka anda akan menerima lebih banyak peringatan daripada sambutan yang yang akan mempermalukan kehadiran anda ‘Hasilnya adalah pertahanan mereka yang lebih bersifat psikologis. Hubungan- hubungan di dalam rumah tangga bahkan sangat terkendali: orang berbicara pelan, menyembunyikan perasaannya, dan apabila anda menjadi bagian dari keluarga Jawa, ‘maka akan memiliki perasaan bahwa anda seperti berada di suatu alun-alun tetapi harus berperilaku sopan-santun yung sepantasnya. Orang Jawa menutup dirinya terhadap orang lain dengan suatu “dinding etiket” (di mana sopan-santun adalah hal yang dijaga dengan bait), dengan emosi yang terkendali, dan umumnya dengan kekurangterusterangan dalam kata dan tindakan, Hal ini tidak berarti bahwa orang Jawa tidak menginginkan atau tidak memiliki nilai privasi. Akan tetapi mereka memiliki 65 er PER SP SE NRE ES semacam mekanisme untuk mengatur penghalang secara fisik dan sosial terhadap orang luar yang masuk secara fisik menuju rumah tangga mereka. Mereka harus mengaturnya secara psikologis dengan cara yang berbeda. Di Bali orang tinggal di dalam haiaman rumah yang dikelilingi oleh dinding batu yang tinggi, di mana pintu masuknya sempit terbuat dari balok kayu yang dipotong setengahnya. Di dalam halaman tersebut tinggal beberapa keluarga inti (atau dalam ” istilah Antropologi disebut sebagai “patrilineal extended family"). Keluarga seperti itu bisa terdiri dari satu atau belasan keluarga inti dengan anggota-anggotanya seperti pada keluarga Jawa, dimana para pemimpinnya adalah sanak saudara dari sistem patrilineal seperti: ayah, dua anak laki-lakinya yang sudah menikah, dua saudara laki- lakinya yang sudah menikah, ayahnya, Sangat kontras keadaannya dengan Jawa, orang yang bukan sanak saudaranya hampir tidak pernah memasuki halaman rumah. Di dalam halaman yang seperti benteng, orang luar lebih baik tidak terdorong untuk memasukinya. Sanak saudara lain boleh datang memasuki halaman untukmembicarakan sesuatu, dan dalam beberapa kasus satu atau dua orang teman dekat boleh melakukan hal itu, Kecuali dari itu bila anda berada di dalam halaman rumah anda, maka anda bebas dari publik, Hanya keluarga dekat yang berada di sekeliling anda. Geertz kemudian mengatakan bahwa karakter rumah Orang Bali adalah: Sesuatu yang amat hangat, humor, dan terbuka.. Sesegera orang Bali melangkahkan kakinya ke pintu keluar menuju ke jalan, melewati alun-alun, pasar, dan candi-candi, la menjadi lebih atau kurang seperti orang Jawa. . PENGARUH PRIVASI TERHADAP PERILAKU Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk ‘mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri. Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa perigelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan. Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pasdengan orang lain dalam banyak situasi. © Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diti ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang “sulit”. Sementara hal yang senada diungkapkan 66 exe NRA RLE, 2:8 ER ERRATA oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari. Selain itu, privasi juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal dan menilai diri sendiri (Altman, 1975; Sarwono, 1992; Holahan, 1982). Proses mengenal dan menilai diri ini tergantung pada kemampuan untuk mengatur sifat dan gaya interaksi sosial dengan orang lain. Bila kita tidak dapat mengontrol interaksi dengan orang lain, kita akan memberikan informasi yang negatif tentang kompetensi pribadi kita (Holahan, 1982) atau akan terjadi proses ketelanjangan sosial dan proses deindividuasi (Sarwono, 1992). Menurut Westin (dalam Holahan, 1982) dengan privasi kita juga dapat melakukan evaluasi diri dan membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri (personal autonomy). Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain. Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks di dalam kelompok sosial; kedua, privasi membantu kita memantapkan perasaan identitas pribadi. Menurut Fisher dkk. (1984), salah satu aspek yang sangat penting dari desain ruang dalam ialah jumiah privasi yang disediakan. Kita kadangkala membutuhkan nya agar dapat ““pergi dari sernuanya”. Desain arsitektur dapat dilakukan dengan menambah atau mengurangi kemudahan orang melakukan hal tersebut. Pada beberapa seting sulit bagi kita untuk “menyendiri”, sementara pada seting yang lain hal ini lebih mudah. Misalnya, asrama yang menempatkan satu mahasiswa di suatu kamar akan meningkatkan lebih banyak privasi daripada dua orang di satu kamar. Demikian pula, pemanfaatan pembatas di sekitar daerah kerja seseorang dapat menambah kesan privasi tempat tersebut. Tidak demikian halnya dengan Altman (1975) yang berpendapat bahwa privasi adalah konsep sentral, yang berbeda dengan pandangan tradisional. Sebelumnya privasi dilihat sebagai proses dari keinginan untuk menjadi sendirian sampai keinginan untuk pergi dari orang lain (sebagaimana pendapat Fisher dkk. di atas). Para praktisi berdasarkan pendapat tersebut seringkali menterjemahkannya dalam rancangan pada area tersendiri di dalam rumah atau di tempat lain, Dalam pandangan Altman, privasi memiliki pendekatan yang lebih jauh, yaitu sebagai “perubahan dari proses pengaturan pembatas diri atau orang lain terhadap seseorang atau kelompok, dari keinginan untuk terpisah dari orang lain pada suatu saat sampai keinginan untuk berhubungan dengan orang lain pada saat yang lain”, Altman menggambarkan privasi sebagai proses dialektika, dimana dihadirkan dua hal: sesuatu keinginan untuk berhubungan dengan orang lain dan sesuatu keinginan untuk menghindari orang lain; dengan cara yang dominan pada saat tertentu dan pada saat yang lain menjadi lebih kuat. Sebagai garnbaran ringkasnya adalah ketika sescorang menjadi sendirian untuk jangka waktu yang terlalu lama (isolasi) dan menjadi satu atau bersama-sama dengan orang lain dalam jangka waktu yang terlalu Jama juga adalah sesuatu hal yang tidak menyenangkan. Untuk menterjemahkan pandangan ini ke dalam desain praktis adalah hal yang tidak mudah. Prinsip umum yang kita pakai adalah merancang suatu lingkungan yang responsif, 67 (epee om oor tena enn RR RRR A RE PEER, yang memungkinkan kemudahan bagi keterpisahan maupun kebersamaan. Suatu ruangan seyogyanya responsif terhadap perubahan keinginan pemakainya untuk berhubungan atau tidak berhubungan dengan orang lain sesuai dengan kebutuhan. Lingkungan yang meriekankan kemungkinan sedikitnya interaksi atau justru kemungkinan lebih banyak menerimainformasi adalah lingkungan yang dianggap statis dan tidak responsif terhadap perubahan kebutuhan privasi. Seorang perancang hendaknya mencoba menciptakan lingkungan yang memungkinkan adanya perbedaan tingkat kendali dalam hubungannya dengan orang lain, Salah satu contoh adalah pintu, yang merupakan ontoh sederhana dari desain yang responsif dan memungkinkan pengaturan interaksi sosial, Terbukanya pintu berarti suatu keinginan untuk kontak sosial, sedangkan tertutupnya pintu berarti keinginan untuk tidak berhubungan dengan orang lain (Altman, 1975). Pada hakikatnya, dinding-dinding dan pintu-pintu yang disediakan oleh rumah kita besar kemungkinannya adalah mekanisme paling umum yang sesungguhnya kita gunakan untuk mengelola privasi. Bahkan beberapa studi melaporkan bahwa terdapat hubungan antara individu dengan privasinya melalui faktor eksterior (ruang luar), seperti ukurannya yang besar atau jaraknya yang lebar dengan tetangga. Jika suatu rumah berukuran besar, "maka privasi bukanlah menjadi masalah, kecuali jika karena terlalu besarnya rumah dengan sedikitnya jumlah anggota keluarga justru akan menjadikan anggota keluarga menjadi terisolasi dan teralinasi satu sama lain (Gifford, 1987). Sependapat dengan Altman, Lang (1987) melihat bahwa penggunaan dinding, tirai pembatas, jarak, ataupun pembatas teritorial secara simbolis atau nyata, merupakan mekanisme untuk mencapai privasi dimana seorang perancang dapat mengembangkannya dalam berbagai macam cara. Permukaan dinding dengan berbagai macam sifat seperti tembus cahaya, tembus pandang, atau tembus suara akan dapat menghubungkan jalannya informasi dari suatu tempat ke tempat lain, atau dari yang kurang privasinya ke yang lebih banyak privasinya. ‘Suatu desain rumah tinggal dapat mempengaruhi perasaan privasi secara langsung ialah dengan cara meningkatkan atau mengurangi kemungkinan melihat dan dilihat oleh orang Jain. Ini mengacu kepada penyerapan visual, dimana kesan privasi lebih sulit dicapai ketika orang masih bisa dilihat. Jika anda hidup di rumah kaca dan bisa melihat orang di luar atau sebaliknya, perasaan privasi anda akan lebih kecil dibandingkan jika anda dapat menghalanginya. Sesuai dengan hal ini, suatu penelitian menunjukkan bahwa pembatas yang menghalangi pandangan orang lain akan mengurangi pengaruh orang tersebut sementara pembatas yang tidak menutup pandangan (misalnya panel tembus pandang) tidak mengura- ngi pengaruh orang lain (Fisher dkk., 1984). Tetapi apakah privasi dapat dicapai hanya dengan pembatas fisik yang mengalangi penglihatan saja ? Salah satu studi menarik pernah dilakukan oleh Leo Kuper (dalam Lang, 1987) terhadap Pengembangan rumah-rumah di Inggris. Dalam studinya terhadap rumah kopel, Kuper menemukan bahwa para penghuni mendapati kesulitan dalam mencapai privasi, karena walaupun privasi secara visual mereka tercapai tetapi tidak demikian halnya dengan privasi secara pendengaran. Pengaturan dinding tidak mencukupi untuk mencapai privasi, lokasi 68 pintu seperti itu membuat sulit untuk menempatkan posisi tempat tidur selain seperti yang terlihat dalam gambar 2.6. tersebut. Para penghuni mengeluh bahwa mereka mendengar terlalu banyak apa yang terjadi pada tetangga mereka dan agaknya kehadiran tetangga akan menghalangi perilaku mereka sendiri. Privasi dalam Konteks Budaya. Menurut Altman (1975) “ruang keluarga” di dalam rumah pada rumah-rumah di daerah pinggiran Amerika Serikat umunya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Rumah-rumah di sana, menggunakan ruang-ruang tertentu seperti ruang baca, ruang tidur, dan kamar mandi sebagai tempatuntuk meyendiri dan tempat untuk berpikir. Dengan cara itu seseorang yang tidak memiliki cukup ruang di dalam rumah dapat memperoleh privasi secara maksimal. Selama ini kita terpaku bahwa suatu desain tertentu memiliki fungsi tunggal, sebagai ruang untuk berinteraksi secara terbatas atau sebaliknya secara berlebihan, tetapi bukan untuk fungsi keduanya sekaligus. Oleh karena itu, untuk mencapai privasi yang herbeda kita harus pergi ke suatu tempat lain, Kita tidak pernah berpikir untuk memiliki ruang yang sama untuk beberapa fungsi serta dapat diubah sesuai dengan kebutuhan kita. Untuk berubahnya kebutuhan, kita tidak perlu mengubah tempat. Prinsip ini telah dipakai oleh orang Jepang, dimana di dalam rumah dinding dapat dipindah- pindahkan ke luardan ke dalam ruangan, Satu area yang sama kemungkinan dapat difungsikan untuk makan, tidur, dan interaksi sosial dalam waktu yang berbeda. Logikanya adalah bahwa penggunaan lingkungan yang mudah diubah-ubah tersebut adalah cara agar lingkungan tersebut fleksibel terhadap perubahan kebutuhan privasi. Ruang Tidur Ruang Tidur Ruang Tamu Gambar 2.6, Pelanggaran dari Beberapa Persyaratan Privasi Sumber: Kuper (dalam Lang, 1987) 69 1a SAN EERE PR EE A REE ORS NE LATIHAN SOAL 1. Apa fungsi privasi bagi individu? 2. Apa yang terjadi jika: a, privasi lebih besar dari yang diinginkan b. _privasi lebih kecil dari yang diinginkan? 3. Jelaskan kaitan antara ruang personal, teritorialitas, dan kesesakan terhadap privasi? 4. Apakah konsep privasi dapat diterapkan pada masyarakat Kalimantan, Jawa, dan Bali? Apakah mereka-mereka ini dapat mencapai privasi? 5. Bagaimana cara orang Jepang mencapai privasi? 70

You might also like