You are on page 1of 5

FIKIH MENYIKAPI POTENSI PERBEDAAN

AWAL SYAWAL/IDUL FITRI TAHUN 1444 H


Oleh: KH. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc

Kesimpulan Kajian
Menyikapi kemungkinan perbedaan 1 Syawal / Idul Fitri 1444 H dengan tuntunan fikih sebagai berikut ;
[1] Mengikuti keputusan pemerintah [sidang itsbat Kementerian agama] sebagai representasi
ulilamri.

[2] Anggota masyarakat yang berafiliasi dengan ormas tertentu / berada di lingkungan yang 'Idul
Fitrinya berbeda dengan putusan Pemerintah, maka ia dapat mengikuti ormas /lingkungannya
jika itu lebih maslahat dan menghindari mudharat.

[3] Menghormati realitas perbedaan terkait penentuan 1 Syawal / Idul Fitri, mengutamakan
kebersamaan (i’tilaf) dan tidak membesar-besarkan perbedaan (ikhtilaf), serta menjadi perekat
dan pemersatu [ukhuwah Islamiyah] di masyarakat.

Penjelasan

Bulan suci Ramadan tahun 1444 H. akan segera berakhir. Untuk menyikapi kemungkinan terjadinya
perbedaan awal Syawal dan pelaksanaan Idul Fitri, diperlukan pemahaman fikih yang moderat agar –
meskipun pada waktunya terjadi perbedaan pendapat—bisa disikapi dengan pemahaman yang tetap
menjaga suasana kebersamaan, keharmonisan, dan dapat meminimalkan kondisi tidak nyaman (haraj) di
tengah masyarakat muslim.

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan penjelasan fikih yang inklusif sehingga persaudaran tetap
terjaga, meskipun ketika terjadi perbedaan pendapat fikih. Pokok-pokok pandangan itu adalah sebagai
berikut:

a. Awal Syawal ditetapkan berdasarkan metode rukyat dan hisab.


b. Ketetapan dasar yang mengikat umat Islam menyangkut persoalan umum seperti awal Syawal
dan Idul Fitri adalah keputusan pemerintah sebagai representasi ulilamri, dalam hal ini
Kementerian Agama.
c. Fenomena keislaman di Indonesia bisa dikategorikan khas karena ada pihak selain pemerintah
yang dipandang secara kultural memiliki otoritas menetapkan persoalan umum seperti awal
Syawal/Idul Fitri. Realitas ini perlu disikapi dengan bijaksana. Maka, anggota masyarakat yang
berafiliasi dengan ormas tertentu / berada di lingkungan yang 'Idul Fitrinya berbeda dengan
putusan Pemerintah, maka ia dapat mengikuti ormas /lingkungannya jika itu lebih maslahat
dan menghindari mudharat.
d. Sebaiknya kita mengutamakan kebersamaan (i’tilaf) dan tidak membesar-besarkan perbedaan
(ikhtilaf) furu’.

Penjelasan atas poin-poin tersebut adalah sebagai berikut:

1. Rukyah dan Hisab Sebagai Metode Penetapan Awal Syawal


Metode yang dipergunakan dalam menetapkan awal bulan Hijriah adalah rukyat dan hisab. Di kalangan
ormas besar di Indonesia, rukyat merupakan kekhasan Nahdatul Ulama, sedangkan hisab menjadi
kekhasan Muhammadiyah. Kedua metode itu sah untuk dipergunakan dalam menentukan awal bulan
Hijriyah.

a. Rukyatul Hilal

Rukyat adalah cara menentukan awal bulan dengan mengamati penampakan bulan sabit (hilal) yang
pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak, baik dengan mata secara langsung maupun dengan alat
bantu optik seperti teleskop. Jika jarak waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu
pendek, secara ilmiah hilal mustahil terlihat. Rasulullah saw. bersabda,

َ َ‫علَ ْي ُك ْم فَأ َ ْك ِملُوا ِع َّدة‬


َ‫ش ْعبَانَ ثَ ََلثِين‬ َ ‫ي‬ ُ ‫ فَإِ ْن‬،‫ َوأَ ْف ِط ُروا ِل ُرؤْ يَتِ ِه‬،‫صو ُموا ِل ُرؤْ يَتِ ِه‬
َ ِ‫غب‬ ُ
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal Ramadan) dan berbukalah (Idul Fitri) karena melihatnya. Jika
(hilal) tertutup oleh mendung, sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (Al-Bukhari,
2/1810).

Ibn Hazem (tt.) mengatakan bahwa para ulama fikih telah ijmak, jika kabar mengenai terlihatnya hilal
yang menandai awal Syawal sudah terlihat, mereka wajib berbuka (melaksanakan Idul Fitri). Jika hilal
tidak terlihat, bilangan bulan Ramadan digenapkan menjadi tiga puluh hari.

Rukyatul hilal sebagai metode yang sah dalam menentukan awal Syawal telah menjadi ijmak ulama.

Metode ini dipergunakan sejak zaman Rasulullah saw. karena berkaitan dengan kondisi umat pada masa
awal Islam yang belum terbiasa dengan hisab. Diriwayatkan dari Ibn Umar, Nabi saw. bersabda,

َّ ‫ ال‬،‫ب‬
)‫ش ْه ُر هكذا هكذا (يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثَلثين‬ ُ ُ ‫ ََل نَ ْكت‬،ٌ‫إ ِِنَّا أ ُ َّمةٌ أ ُ ِميَّة‬
ُ ْ‫ب َو ََل نَح‬
ُ ‫س‬
“Kita adalah umat yang umi, tidak bisa membaca dan menghitung. Bulan itu begini dan begini
(maksudnya terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari). (Al-Bukhari, 2/1814).

b. Hisab

Hisab merupakan penghitungan ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan
terhadap bumi. Posisi matahari menjadi patokan dalam menentukan masuknya waktu salat, sementara
perkiraan posisi bulan menjadi patokan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya
periode bulan baru dalam kalender Hijriyah.
Meskipun tidak secara persis dipergunakan pada zaman Rasulullah saw., tetapi ia sah dipakai dalam
menentukan awal Syawal. Pendekatan ini tidak bertentangan dengan rukyat karena dianggap sebagai
penglihatan berdasarkan ilmu (rukyat ilmiah) mengenai posisi bulan terhadap bumi sebelum ia terjadi.
Sandarannya adalah firman Allah Swt.:

﴾ ‫اب‬ َ ‫السنِيْنَ َو ْال ِح‬


َ َۗ ‫س‬ ِ ‫ع َد َد‬ ِ ‫ضيَ ۤا ًء َّو ْالقَ َم َر نُ ْو ًرا َّوقَد ََّر ٗه َمن‬
َ ‫َاز َل ِلتَ ْعلَ ُم ْوا‬ ِ ‫س‬ ْ ‫﴿ ه َُو الَّذ‬
َّ ‫ِي َج َع َل ال‬
َ ‫ش ْم‬
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-
tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (Yunus/10:5)

2. Tuntunan Mengikuti Keputusan Ulilamri

Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah,
pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama menggabungkan kedua metode tersebut. Maka,
yang menjadi acuan awal Syawal adalah keputusan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama,
setelah mempertimbangkan dengan matang kedua metode tersebut. Berdasarkan fatwa itu pula,
seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal
Syawal. Allah Swt. berfirman,

﴾ ‫س ْو َل َواُو ِلى ْاَلَ ْم ِر ِم ْن ُك ْۚ ْم‬ َ ‫﴿ ٰ ٰٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَ ِط ْيعُوا ه‬
َّ ‫ّٰللا َواَ ِط ْيعُوا‬
ُ ‫الر‬
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. (An-Nisa'/4:59)

Menurut para ahli tafsir, ululamri berarti ulama, ahli fikih, atau penguasa (Al-Mawardi, tt.). Semua pihak
yang disebut ulilamri itu terlibat dalam penetapan awal Syawal karena mekanisme yang dilakukan oleh
pemerintah adalah dengan melibatkan para ulama dan ahli fikih. Oleh karena itu, ketetapan pemerintah
lebih utama diikuti mengenai persoalan ini. Beberapa pandangan ulama fikih seperti Al-Sindi dan Al-
Qarafi menguatkan persoalan ini.

Al-Sindi dalam Hasyiahnya menetapkan bahwa urusan ini merupakan kewenangan pemerintah, bukan
persoalan individu. Dia berkata,

‫علَى ْاْل َحاد‬ َ ‫اْل َمام َو ْال َج َما‬


َ ‫ َو َي ِجب‬،‫عة‬ ِ ْ ‫ َب ْل ْاْل َ ْمر ِفي َها ِإلَى‬،‫ْس لَ ُه ْم التَّف َُّرد ِفي َها‬َ ‫ َولَي‬،‫ْس ِل ْْل َحا ِد ِفي َها َد ْخل‬ َ ‫أَ َّن َه ِذ ِه ْاْل ُ ُمور لَي‬
َ ‫ش َها َدته يَ ْنبَ ِغي أَ ْن ََل يَثْبُت فِي َحقه‬
‫ش ْيء ِم ْن َه ِذ ِه‬ َ ‫اْل َمام‬ ِ ْ ‫علَى َهذَا فَإِذَا َرأَى أَ َحد ْال ِه ََلل َو َر َّد‬ َ ‫ َو‬،‫عة‬ َ ‫ْل َم ِام َو ْال َج َما‬
ِ ْ ‫اِتِبَاعه ْم ِل‬
َ ‫ َويَ ِجب‬،‫ْاْل ُ ُمور‬
َ ‫علَ ْي ِه أَ ْن يَتْبَع ْال َج َما‬
َ‫عة فِي ذَلِك‬
“Dalam perkara semacam ini (Idul Fitri), individu tidak memiliki hak dalam menetapkannya karena
otoritasnya tidak pada individu. Pemilik otoritas adalah imam dan jamaah. Individu wajib mengikuti
(keputusan) imam dan jamaah. Jika seseorang melihat Hilal, tetapi kesaksiannya ditolak oleh imam, dia
tidak berhak menetapkan untuk dirinya sendiri persoalan ini, sebaliknya dia wajib mengikuti jamaah.”
(Al-Sindi, tt.: 3/431).

Al-Qarafi menambahkan, keputusan pemerintah menyelesaikan perbedaan pendapat sehingga ia


menjadi rujukan, baik individu maupun mazhab. Dia berkata,
‫ َوتَتَغَي َُّر فُتْ َيا ُه َب ْع َد‬،‫ب ْال َحا ِك ِم‬
ِ ‫ع ْن َم ْذ َه ِب ِه ِل َم ْذ َه‬ ُ ‫ َو َي ْر ِج ُع ْال ُمخَا ِل‬،‫ف‬
َ ‫ف‬ َ ‫سا ِئ ِل ِاَلجْ ِت َها ِد َي ْرفَ ُع ْال ِخ ََل‬
َ ‫ا ْعلَ ْم أَ َّن ُح ْك َم ْال َحا ِك ِم ِفي َم‬
‫ْال ُح ْك ِم‬
“Ketahuilah, keputusan pemerintah dalam masalah ijtihadi menyelesaikan perselisihan. Orang yang
berbeda pandangan hendaknya rujuk dari mazhabnya untuk mengikuti pendapat hakim dan dia sudah
mengeluarkan fatwa hendaknya merubah fatwanya itu setelah keluar keputusan hakim.” (Al-Qarafi, tt.:
3/34)

3. Seputar Pemegang Otoritas Selain Pemerintah

Secara fikih, perbedaan pendapat fikih terjadi dalam dua ranah. Pertama, ranah pribadi seperti
perbedaan mengenai tata cara ibadah. Kedua, ranah masyarakat seperti mengenai awal Ramadan atau
Syawal. Mengenai persoalan pertama, pemerintah tidak boleh intervensi, sedangkan pada persoalan
kedua justru intervensi pemerintah menyelesaikan masalah, seperti yang sudah dibahas di atas.

Persoalannya, di negeri kita ada organisasi masa yang secara kultural dipandang memegang otoritas
selain pemerintah. Itu yang sering membuat terjadinya dualisme pelaksanaan Idul Fitri.

Idealnya kedepan, persoalan ini diselesaikan oleh para tokoh umat di negeri ini. Meskipun begitu,
realitasnya dualisme otoritas itu terjadi dan menjadi kekhasan umat Islam di Indonesia. Hal ini bisa
disebut sebagai kearifan lokal yang niscaya disikapi dengan bijaksana. Secara umum, ia bisa dipahami
dari perspektif ahlu dzikri (ulama) yang harus dijadikan rujukan. Allah Swt. berfirman,

ِ ‫﴿ فَسْـَٔلُ ْٰٓوا اَ ْه َل‬


﴾ َ‫الذ ْك ِر ا ِْن ُك ْنت ُ ْم ََل تَ ْعلَ ُم ْون‬
Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Al-Anbiya'/21:7)

Dalam kondisi ini, anggota masyarakat yang berafiliasi dengan ormas tersebut dapat mengikuti pilihan
fikihnya sendiri ketika ia memutuskan hari yang berbeda dengan pemerintah mengenai awal Syawal dan
Idul Fitri. Keleluasaan untuk memilih keragaman ini terjadi selama persoalan itu merupakan perbedaan
pendapat di bidang furu’. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda,

َ‫ضحُّون‬ ْ ‫ َوال ِف‬، َ‫صو ُمون‬


ْ َ ‫ َواْل‬، َ‫ط ُر يَ ْو َم ت ُ ْف ِط ُرون‬
َ ُ ‫ض َحى يَ ْو َم ت‬ ُ َ‫ص ْو ُم يَ ْو َم ت‬
َّ ‫ال‬
”Puasa adalah pada hari ketika mereka (masyarakat) berpuasa, hari raya (Idul Fitri) pada hari ketika
mereka berbuka (Idul Fitri), dan hari raya Idul Adha (berkurban) pada hari ketika mereka berkurban.”
(At-Tirmidzi, 3/697).

Menurut At-Tirmidzi, maksud hadis tersebut adalah berpuasa dan melaksanakan hari raya Idul Fitri
dilakukan bersama dengan masyarakat dan mayoritas umat Islam.

4. Mengutamakan Kebersamaan dalam Beragama

Pandangan di atas didasarkan atas pilihan fikih yang mengutamakan toleransi (tasamuh), kebersamaan
(i’tilaf) –namun bukan mencari-cari kenyamanan semata (tatabbu' al-rukhash wa al-hiyal), dan tidak
cenderung memperbesar perbedaan pendapat (ikhtilaf). Maka, menyikapi potensi perbedaan awal
Syawal atau Idul Fitri pada tahun ini, sebaiknya umat Islam mengedepankan semangat toleransi.
Seseorang disebut toleran di bidang fikih jika memberikan ruang bagi pendapat yang berbeda untuk
dilaksanakan sebesar ruang yang diinginkan untuk melaksanakan pendapat yang dianutnya.

Sayyid Muhammad Rasyid Rida (1358) telah menyebutkan satu diktum yang terkenal dengan sebutan
kaidah emas (al-qa’idah al-dzahabiyah), yaitu: kita saling membantu dalam persoalan yang disepakati
dan saling memberikan toleransi ketika berbeda pendapat. Semangat ini bisa merawat kebersamaan
dalam keragaman.

Juga sebagaimana Tausyiah MUI seputar Idul Fitri 1444 H/2023 M : Penetapan 1 Syawal 1444 H tahun ini
berpotensi mengalami perbedaan waktu. Maka, MUI menghimbau seluruh umat Islam agar menyikapi
perbedaan penentuan 1 Syawal dengan tidak mengurangi sikap toleransi (tasamuh) dan saling
menghargai terhadap sesama saudara muslim. Allah Swt berfirman;

ْ َ ‫ إِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُونَ إِ ْخ َوةٌ فَأ‬...


‫ص ِل ُحوا بَيْنَ أَخ ََو ْي ُك ْم‬
Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu...” [QS. Al-Hujurat: 10].

Semoga Allah Swt. menganugerahkan semangat untuk terus merawat ukhuwah di tengah umat Islam di
negeri ini. Taqabbalallahu minna wa minkum wa kullu ’am wa antum bikhair.[]

Referensi:

Al-Mawardi, Ali bin Muhammad. (tt.). Tafsir Al-Mawardi – Al-Nukat wa Al-Uyun. Bairut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah

Al-Qarafi, Ahmad bin Idris. (tt.). Anwar Al-Buruq fi Anwa’i Al-Furuq. Bairut: Alam Al-Kutub

Al-Sindi, Muhammad bin Abdul Hadi. (tt.). Hasyiah Al-Sindi ala Sunani Ibn Majah (Kifayah Al-Hajah fi
Syarhi Sunani Ibn Majah. Bairut: Dar al-Jail

Al-Thabari, Muhammad bin Jarir. (2001). Tafsir Al-Thabari – Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayi Al-Qur’an. Dar
Hajar li al-Thiba’ah wa al-Tauzi’ wa al-I’lan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan
Dzulhijjah

Ibn Hazem, Ali bin Ahmad. (tt.). Maratib Al-Ijma’ fi Al-Ibadati wa Al-Muamalati wa Al-I’tiqadat. Bairut:
Dar Al-Kutub al-Ilmiyah

Rida, Muhammad Sayid Rasyid. (1358). Intiqadu Al-Manar Haula Fatwa Ayat al-Sifat wa Ahaditsuha,
Majalah Al-Manar, vol. 35, th. 1358 H

You might also like