You are on page 1of 34

HIMPUNAN

-12 TKJ 1-

Sutradara : M. Agam Malik


Penulis naskah : Devina Lutfitasari
Kameramen : M. Hanif Al-furqon
Editor : M. Fakhri Wildan

NAMA PEMERAN LAKI-LAKI


1. Saepul Jamiludin sebagai Akmal
2. M.Jamaludin sebagai Narendra
3. Alpian Dwi Riandi sebagai Dimas
4. Azam Fahmi sebagai Jeffri
5. Adhitya Habibi sebagai Arjuna
6. Alfredo Martua sebagai Ale
7. Biqi Abdillah sebagai Rendi
8. Dwinta Yuli sebagai Ryanda
9. Diva Farizal sebagai Andi
10.Eka Rahadi sebagai Rion
11.Hafidz Riyansyah sebagai Gio
12.Lucky Rizky sebagai Jeno
13.Maghfiro Malik sebagai Maraka
14.M. Aditya sebagai Mang Dede
15.M. Alam Maulana sebagai Kemal
16.Noval Maulana sebagai mang Ahmad
17.Revan Fathir sebagai Malik
18.Satrio Razak sebagai Hendri
19.Syahdan sebagai Dosen
20.Yanuar sebagai Satria

NAMA PEMERAN PEREMPUAN


1. Klara Devia sebagai Naya
2. Sarmilah sebagai Renjani
3. Alpina Damayanti sebagai Ayunda
4. Desti Nuramelia sebagai Puri
5. Dini Khoironi sebagai Lia
6. Fida Amalia sebagai Jihan
7. Husnul Hotimah sebagai Laras
8. Mila Rosalinda sebagai Shilla
9. Nurul Hayanah sebagai Cheryl
10.Siti Jamilah sebagai Mila

SINOPSIS : Akmal dan Narendra, ditahun ketiga masa kuliahnya. Dua


orang yang sudah bersahabat sedari masa SMA itu terpilih untuk
menjadi ketua dan wakil himpunan, menggantikan Dimas dan Naya
yang periodenya sudah habis.

Akmal dengan ketidak percayaan diri mencoba untuk menjadi ketua


himpunan yang baik, banyak yang dia hadapi, tugas yang bertubi-
tubi juga rapat setiap hari. Akmal merangkul semua bebannya di
pundak, namun semua beban itu diringankan oleh teman-temannya
yang selalu merangkul pundaknya, membantunya dan selalu
mengatakan. Bahwa mereka percaya padanya, pada Akmal.

SHOOT 1
Dua tahun lalu, saat hari terakhir orientasi jurusan. Semua
mahasiswa dikumpulkan di satu lapangan untuk pemilihan ketua
angkatan ke 18.

Naya “Ini adalah hari terakhir kita ospek, hari Senin nanti
kalian sudah benar-benar menjadi mahasiswa dan mengikuti kelas
seperti pelajar pada umumnya. Tapi, disetiap angkatan harsulah
ada ketuanya. Siapa yang ingin mencalonkan sebagai ketua
angkatan, angkat tangan!”
Satupun dari mereka tidak ada yang mengangkat tangan, semuanya
hanya diam, sebagian menunduk sebagaian lagi pura-pura tidak
dengar.
Dimas “Lo semua gak punya tangan?, gak denger apa yang senior
kalian suruh?!”

Jefri “Kalo disuruh angkat tangan, semuanya angkat tangan! Badan


doang tinggi-tinggi, nyali lo pada ciut! Suruh jadi ketua
angkatan doang bukan jadi presiden!”

Belum ada yang bersuara ataupun mengangkat tangan, membuat Naya


mimijit pangkal hidungnya pusing. Naya menatap seluruh adik
tingkatnya, lalu menghela napas

Naya “Yaudah kalo gak ada dari kalian yang ingin mengajukan diri,
biar gue yang tunjuk kalian. Siap gak siap yang gua tunjuk harus
maju.”

Naya “Jeno, maju!”

Jeno yang ditunjuk tersentak. Menunjuk dirinya sendiri untuk


meyakinkan. “Saya kak?”
Naya mengangguk. Lalu Jeno pun maju dengan masih ragu.

Naya “Dari awal kegiatan maba, gue udah tandain lo. Gue liat lo
waktu jadi pemimpin kelompok, gue kira lo akan mengajukan diri
sebagai ketua angkatan. Tapi ternyata nyali lo kurang buat
ngajuin diri dan pengennya ditunjuk? Bener?”

Jeno hanya diam sambil menunduk.

Jeno “Gue percaya sama lo Jen, jadi ketua angkatan kaya kakak lo
dulu.”
Menghela napas, Jeno akhirnya mengangguk.

SHOOT 2

Jeno mengehela napas, ingatan dua tahun lalu saat dirinya


ditunjuk menjadi ketua angkatan kembali terputar. Jeno lalu
berdiri, menyibak rambutnya berkali-kali seraya berjalan dengan
cemas; bolak-balik seperti alat pelicin pakaian, sesekali ia
berhenti, melihat teman-teman himpunannya yang duduk melingkar.

Jeno mengulang kembali pertanyaannya “Jadi siapa yang mau maju?”

Dan jawabannya pun masih sama, sekumpulan pemuda itu masih saja
diam.

“Udah dua jam gue ngulang pertanyaan, masih gak ada yang mau
jawab? Masih mau pura-pura ngga denger? Apa perlu gue tulis nama
kalian semua, terus gue acak buat nentuin siapa yang mau maju?”

Hendri tiba-tiba menyelutuk. “Kenapa gak lo aja yang maju,Jen?”

Jeno tersentak, lalu menyeringai “Masih kurang gue jadi tumbal


angkatan?” Ekspresi wajahnya terlihat datar

Hendri yang mengajukan pertanyaan langsung merasa tidak enak.

Sementara itu Maraka berdiri, “Lo bukan tumbal, Jen”


Jeno “Bukan tumbal gimana?”
Jeno “Jelas-jelas gue tumbal,kacung atau apalah bahasa lain
pengganti ketua.”

Maraka mendekat, menepuk pundak Jeno “Ngga gitu Jen,kalo sampe


sekarang lo berpikir lo adalah tumbal angkatan, gue kasih tau,
senior milih lo karena mereka percaya lo adalah orang yang paling
tepat untuk mimpin angkatan.”

Lalu Arjuna angkat suara. “Janganlah,jangan Jeno. Kasian cape


banget ketua angkatan kalo jadi ketua himpunan juga. Kalo ketua
angkatannya dia dan ketua himpunannya juga dia, siapa yang mau
bantu?”

Narendra “Kita. Buat apa punya temen kalo ngga bisa saling
bantu?”

Jeno bertanya dengan mata memincing “Emang lo selama ini ada


bantunya?”
Jeno “Kalo gue dipanggil senior, dipanggil jurusan, siapa emang
yang bantu? Gue selalu dateng sendiri kemana-mana”

Semuanya menunduk, tidak ada yang melakukan pembelaan diri karena


rasa bersalah jelas ada.

Jeno “Gue Cuma minta bantuan kalian kali ini aja.”


Jeno “Angkatan ini tuh punya siapa sih? Himpunan tuh punya siapa?
Bukan cuma punya gue kan? Kalo kalian mikirnya kenapa ngga gue
aja yang maju jadi ketua himpunan. Sekalian aja gak usah ada
wakilnya, ngga usah ada kadep wakadep, ngga usah ada anggota, gue
aja kerja sendirian di himpunan”

Narendra berdiri, merangkul Jeno “Jen, Jen, Jen. Maaf-maaf, gua


tadi nggak maksud, mafin gua ya?”
Jeno tidak menjawab apa-apa

Maraka mengambil alih forum “Sebelumnya gue mau minta maaf, gue
tau, ada banyak orang yang pengen gue jadi ketua himpunan, tapi
maaf, gue ngga bisa. Gue udah bilang alasannya ke Jeno sama bang
Dimas. Gue minta maaf banget. Sekarang gue mau nanya serius sama
kalian, kalian beneran ngga ada yang mau maju?”

Masih tidak ada jawaban.

“Ngga usah pada bisa ngomong aja lo sekalian! Ditanya ngga ada
yang jawab!” Jeno tersulut emosi, dan disebelahnya Narendra sibuk
menenangkan dengan menepuk-nepuk pundak Jeno

Marka “Kalo kalian ngga ada yang mau mencalonkan diri sendiri,
sekarang gue tanya. Ada ngga diantara kita orang yang pengen
kalian calonin?”

“Elu sih Mal, fix!” dengan posisi duduk santai, Hendri menunjuk
Akmal.
Hendri merangkul pundak Akmal “Bisa Mal, gue yakin banget kalo lo
bisa”

Arjuna ikut menepuk pundak Akmal “Mal, Kita percaya sama lo”

Akmal melihat kearah Hendri dan Arjuna bergantian. “Masalahnya,


gue yang gak percaya sama diri sendiri”

Ale menegur “Masa kita percaya sama lo. Tapi lo gak bisa percaya
sama diri lo sendiri sih?”
Akmal menggaruk hidung sambil berpikir. “Kalo gue maju, ada yang
bersedia jadi wakilnya ngga diantara kalian?”

Lagi-lagi mereka semua memalingkan wajah, menghindari pandangan


Akmal.

Akmal merasa kecewa “Tuhkan pada gitu sama gue teh! Masa gue
disuruh susah sendiri? Tega!”

Hendri menunjuk Ryanda “Ryanda tuh Ryanda!”

Ryanda mendelik “Dari tadi gue diem aja kenapa masih ditunjuk-
tunjuk?”

Akmal bertanya pada Ryanda “Mau ngga Yan?”

Ryanda “Ngga ah, ngga kompeten. Lagian kalo kahimnya elu terus
wakilnya gue, apa kata dunia? Kita kan setipe. Tukang haha-hehe,
nanti ngga ada yang percaya. Mending kalo mau cari yang bisa
ngimbangin”
“Maraka” Arjuna memberikan jawaban

“Ngga-ngga, gue udah dititipin departemen humas sama kak Yara”

Dengan emosi yang sudah mereda, Jeno kembali berdiri dan melihat
Rendi yang sedaritadi diam. “Ren”

Rendi mengangkat kepalanya, melihat kesekeliling lalu menggeleng


sambil nyengir. “Jangan gue, mager”

Maraka “Ren, sayang banget kalo lo gak maju. Pemikiran-pemikiran


lo bagus, sayang kalo gak di pake”
Rendi “Jadi orang dibelakang layar ajalah gue. Gue mau kok diajak
mikir, tapi males kalo harus berdiri di depan”

Akmal “Kalo dari kalian ngga ada yang nemenin gue maju, mending
gue ngga usah ajalah sekalian”

Jeno “Udahlah Ren maju Ren!”

Rendi masih kekeuh “Ngga mau ah repot”

Narendra membuang napas “Hah, Rendi ngga mau. Maraka ngga bisa.
Siapa dong yang bisa ngimbangin Akmal selain mereka?!” Wajahnya
terlihat berpikir cukup keras dengan tangan bersidekap.

Maraka menatap Narendra cukup lama, diikuti oleh


Jeno,Rendi,Hendri dan semua orang yang berada dilingkaran
tersebut”

“Apa?” tanya Narendra “Ngapain pada ngeliatin?”


Lagi-lagi Maraka berdiri, tanpa basa-basi memeluk Narendra dan
menepuk-nepuk punggungnya. “Elu orangnya!”

Semua yang ada disana bersorak, kecuali satu orang.


Gio tiba-tiba berdiri membuat ruangan yang tadinya ramai bersorak
untuk Narendra jadi hening lagi.

“Selamat Mal, udah kepilih jadi ketua himpunan. Lo sebenernya


ngga kompeten-kompeten amat, Cuma ya karena gak ada pilihan lain,
udah jelas bakal lo yang naik. Good luck dah, semoga lu gak gagal
dan malu-maluin nama angkatan. Gue cabut dari himpunan, males
kalo yang mimpin orang kaya lo.”
Mendengar itu tentu saja Akmal marah, dia merasa diremehkan.
Tangannya terkepal erat, hendak maju membalas ucapan Gio tapi
Narendra menahannya.

“Aamiin-aamiin, makasih doanya. Kalo mau keluar sok mangga,


keluar aja. Semoga semua kegiatan diluar himpunannya lancar dan
berhasil yaa”

Balasan dari Narendra berhasil membuat Gio kesal, laki-laki itu


menatap Akmal remeh sebelum akhirnya pergi keluar dari ruangan.
Disusul sorakan dari para anak himpuanan lain.

“Yeuu belagu lu!” kata Hendri pada Gio, setelah cowok itu menutup
pintu dengan keras.

SHOOT 3

Musyawarah besar telah rampung, Akmal dan Narendra resmi menjadi


ketua dan wakil ketua himpunan.
Ucapan dan doa-doa saling berdatangan, membuat keduanya merasa di
hujani banyak cinta. Namun, pada saat bersamaan juga merasa berat
terbebani oleh harapan-harapan yang ditaruh diatas pundak.

Ketika ruangan kelas sudah sepi, Akmal dan Narendra baru berjalan
keluar. Langkah mereka yang baru beberapa itu berhenti karena
melihat kakak seniornya berdiri didekat sana.

Ada Naya dan Dimas, mantan ketua dan wakil himpunan tahun lalu.
Dimas “Ngobrol dulu bentar”
Akmal dan Narendra mengangguk, mengikuti Dimas dan Naya yang
duduk.
Dimas memukul bahu Akmal “Gimana? Udah siap?”
Akmal mengangguk lesu “Siap”
Naya langsung menegurnya. “Jangan loyo gitulah, masa kahim loyo?”

Dimas “Ada yang masih ngeganjel ya dihati lo?”

Lagi-lagi Akmal mengangguk lemah “Sebenernya udah siap. Tapi ada


satu omongan yang masih muter dikepala sampe sekarang. Itu
ngerusak kepercayaan diri banget”

Narendra “Gio?”

Naya “Gio siapa sih? Anak angkatan kalian? Emang dia ngomong
apa?”

Akmal dan Narendra saling tatap, ragu untuk memberitahu.


Naya menegur lagi “Gak usah saling liat-liatan, cerita. Ngomong
apa si Gio?”

Akmal menghembuskan napas lelah. “Dia bilang Akmal gak cocok jadi
kahim kak, gak kompeten katanya. Dia sampe keluar dari himpunan
soalnya gak mau dipimpin sama orang kaya Akmal.”

Mendengar itu Naya tersulut emosi “Seenaknya banget kalo ngomong.


Bawa orangnya kesini, gue omelin!”

“Nay, kalem” kata Dimas


Naya “Dia gak tau aja segimana kerasnya kalian berdua berusaha
gantiin gue sama Dimas jadi ketua dan wakil himpunan. Kalo dia
bilang kalian gak pantes, gak cocok, gak kompeten, kenapa gak dia
aja yang maju?!”

“Naya...” Dimas lagi-lagi menegurnya


Naya. “Apasih manggil-manggil mulu?!”
Dimas “Lu diem. Giliran gue yang ngomong”

Dimas melirik kearah Akmal dan Narendra bergantian.


“Kalian tau gak? Omongan gio kemaren tuh Cuma kalimat pembuka.
Nanti kalo kalian udah jalan lebih jauh. Bakal lebih banyak lagi
omongan-omongan yang gak ngenakin hati. Mau sekeras apapun kalian
usaha ngurusin Hima, pasti ada aja orang yang ngeremehin”

Dimas “Tapi kalo orang-orang berusaha bikin mental lo jatuh, lo


mau gimana? Mau berhenti?”

Akmal menggeleng “Ngga kak...”

Dimas “Makanya itu, omongan-omongan semacam itu ngga boleh bikin


lo ambruk kaya gini. Kerja keras lo gak boleh dihentikan sama
omongan apapun dari siapapun. Mal, Na, gue serius”

Dimas “Bukan Cuma omongan-omongan positif, omongan-omongan


negatif juga penting buat kalian. Kalian masukin kepala,dijadiin
motivasi untuk terus memperbaiki kinerja”

Akmal masih menunduk, raut wajahnya terlihat semakin kalut.

Dimas “Gue ngga marah ya, gue Cuma ngasih gambaran realita. Mau
gak mau kalian harus siap”

Naya “Emang gak gampang, tapi pasti bisa”

Akmal mengangkat kepala, menatap Naya “Kalo gak bisa gimana,


kak?”

Dimas “Lo gak harus selalu bisa, ketika lo ngerasa gak bisa lo
boleh istirahat”
Naya “Lo kerja disini kan ngga sendiri Mal. Ada Naren, ada
Maraka, ada Jeno, ada banyak. Waktu lo lagi ngerasa gak bisa.
Mungkin Naren bisa bantu lo. Maraka, Jeno juga.”

Narendra mengangguk, sebelah lengannya merangkul pundak Akmal.


“Bisa Mal, ngga ada yang susah kalo dijalinnya bareng-bareng”

SHOOT 4

Siang itu didalam ruangan sekretariat, hanya ada Akmal dan


Narendra. Kegiatan hari ini adalah rapat perdana yang akan
dipimpin langsung oleh ketua baru himpunan.
Akmal “Gue deg-degan, Na”
Narendra “Lebay lo, kaya mau apa aja.”
Akmal “Gue gak pernah mimpin rapat sebelumnya.”
Narendra “Udahlah, mimpin rapat mah gitu-gitu doang”
Akmal “Gitu gimana?”
Narendra “Ya gitu, salam. Assalamualaikum teman-teman terimakasih
sudah menyempatkan waktunya untuk hadir dirapat perdana himpunan
ini.”

Akmal “Kaku banget, Na”


Narendra “Yaudah atur sama lo enaknya gimana. Inikan Cuma rapat
himpunan bukan rapat negara yang dihadiri presiden. Biasa ajalah,
gausah deg-degan”

Akmal menghela napas “Iyasih, tapi nanti harus perkenalan diri


dulu ngga?”
Narendra “Gak usah, kan digrup udah perkenalan”

Tepat setelah itu, pintu sekre diketuk.


Lia dan Cherly “Assalamualaikum”

Akmal “Waalaikumsalam, sini masuk-masuk. Baru dateng berdua?”

Lia “Iya, gak tau kalo yang lain keman—

Belum sempat meneruskan, dari arah pintu terdengar suara gaduh


mengucapkan salam.

Ada sekitar 15 orang.

“ASSALAMUALAIKUM!!” Ucap salam mereka kompak.

Ada Jeno, Andi, Malik, Rion, Maraka, Ryanda, Satria, Arjuna,


Rendi, Ale, Mila, Puri, Jihan, Ayunda dan Laras.
Narendra “Waalaikumsalam, wahh rombongan ini mah.”

Maraka “Sengaja, gue kumpulin dulu tadi di kantin”


Narendra “Biar apa?”
Maraka “Ya biar kompaklah”

Narendra hanya mengangguk-angguk, sementara yang lain mulai


duduk.

Akmal menatap para anggotanya, jantungnya semakin berdebar


kencang. Akmal gugup namun berusaha untuk tenang.
Dia mengecek grup himpunan, ada sekitar 21 orang anggota dan
sekarang sudah hadir 19 orang termasuk dirinya dan Narendra. Itu
artinya hanya dua orang lagi yang belum datang.
Baru Akmal buka mulut, hendak bertanya kemana dua anggotanya
lagi. Namun ketukan pintu membuat bibirnya terkatup lagi.

Hendri mengetuk pintu “Assalamualaikum, boleh masuk gak?”


Akmal mengangguk. “Waalaikumsalam, sok masuk aja”
Ternyata Hendri tidak sendiri, dibelakangnya ada Shilla.

Hendri “Sori telat, abis jemput kanjeng ratu dulu soalnya” Sambil
melirik Shilla, yang langsung di pelototi oleh Shilla.

Setelah semua anggota himpunan berkumpul lengkap. Akmal menarik


napas. Membuka rapat dengan membaca bismillah, lalu tertawa
sebelum menyampaikan salam.
Akmal “Maaf ya kalo agak kaku, gue belum biasa mimpin rapat.”
Puri “Santailah Mal, kaya mimpin rapat apa aja”

Akmal “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”


Semua anggota “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”
Akmal “Selamat siang temen-temen. Hmm makasih udah pada dateng
dirapat perdana kita siang ini. Udah pada saling tau kan nama
sama posisinya disini apa aja?”

Maraka “Udah kok, tadi di kantin kita saling kenalan juga”


Ayunda “Iya, aman kok aman”

Akmal “Wahh terimakasih banget sama Maraka, udah inisiatif


ngumpulin anggota sebelum rapat.”

Maraka “Not a big problem, but. You’re welcome”


Akmal mengangguki ucapan Maraka, lalu melihat buku catatannya
“Gue akan langsung bacain agenda hari ini ya”

Hendri “Ashiaaap”
Akmal “Ini ada beberapa catatan sama evaluasi, terus kemaren juga
bang Dimas sama kak Naya ngasih beberapa saran yang menurut gue
bagus-bagus aja buat dilakuin di periode kita”

Akmal kemudian menjelaskan hal apa saja yang harus mereka


persiapkan sebelum rapat kerja. Ia membagi tugas, kemudian
melanjutkan omongannya dengan hal-hal yang harus mereka lakukan
selama periode kedepan.

Akmal “Pokoknya sekarang yang paling penting bikin SOP program


kerja departemen dulu ya? Di rapat selanjutnya udah bawa SOP
masing-masing bisa? Diketik terus di fotocopy sejumlah anggota
disini aja.”
Laras “Isi SOP nya kaya gimana, Mal?”

Maraka “Kalo departemen kita misalnya ada proker family


gathering pas wisuda. Nah itu nanti isi SOP-nya kaya kita harus
kumpul ditempat h-2 jam wisudawan keluar, pake jaket himpunan
juga”

Laras “Ohhh”
Satria “Ada kok contohnya, nanti tinggal di update aja, gampang”
Laras “Oke”

Akmal “Yang lain gimana? Ada yang masih bingung juga ngga?”

Mereka semua mengangguk, entah memang mengerti atau malu


bertanya.
Rendi “Eh gue juga minta tiap program kerja udah dibuat
anggarannya dong mulai dari sekarang, biar nanti gue sama Ale
enak ngealokasiin dananya”

Ale “Anggaran dananya harus jelas dan logis ya”

Rendi “Jangan dilebih-lebihinlah, bikin se real mungkin buat


anggran dana”

Shilla “Ren, tapi bukannya dekanat kalo ngasih duit suka dibawah
anggaran yang kita minta ya?”

Puri “Nah bener, menurut gue mending di naik-naikkin aja, biar


kita dapetnya sesuai sama yang kita butuhin”

Rendi dan Ale saling bertatap, berdiskusi pelan berdua.


Ale “Yang kalian kirim ke kita anggaran dana nyatanya aja”
Rendi “Iya, biar gue sama Ale yang naik-naikkin dananya kalo
perlu”
Akmal “Oke, atur aja baiknya gimana. Ada lagi gak nih dari
departemen keuangan?”

Malik “Uang kas! Uang kas?!”

Rendi “Oh iya uang kas, mau berapa perbulan? 20.000?”

Ryanda “Kegedean! 10.000 aja”


Arjuna “Pelit banget lu, himpunan kita gak kaya-kaya kalo sebulan
uang kas Cuma 10.000”

Ryanda “Lah kan 10.000 per orang. Sekarang anggota kita ada 21
orang. 21 dikali 10.000 dapetnya 210.000 lah dikit ya? 210.000
dikali 12 bulan aja Cuma dapet 2.520.000? Buat ngecover proker
kecil doang duit segitu.”

Arjuna “Nah makannya itu”


Jeno “15.000 ajalah biar ketemu ditengah”

Akmal “Yaudah fix nih 15.000?”


Rion menjawab cepat “Fix lah fix udah!”

Akmal “Oke keuangan clear ya? Terus apa lagi ya? Na apalagi Na?”

Narendra “Itu inau-inau”

Akmal “Oh iya, Maraka. Inaugrasi, gimana persiapannya lancar?”


Maraka “Inaugrasi yang megang Laras, gimana Ras?”

Laras “Gue belum tau banyak sih, kemarin gue ngobrol sama
ketuanya. Katanya lusa disuruh ikut rapat. Kalo bisa nanti antara
Akmal atau Naren datang ya?”
Akmal “Yaudah bisa diaturlah, kabarin ya Ras dimana sama jam
berapanya nanti”

Akmal “Gentian Na, gue minum dulu. Seret”


Narendra “Selanjutnya, buat departemen marketing. Kemarin kita
habis mikirin buat inovasi periode ini kita harus bikin apa.”

Ryanda “Apa tuuuhh”


Narendra “E-magazine! Bikin majalah himpunan cuy”
Maraka “Whoa that sounds cool”
Narendra “I knooooww right?”
Narendra “Soal terbitnya berapa bulan sekali nanti diomongin lagi
Yan sama anak-anak departemen elu.”

Ryanda mengangguki ucapan Narendra sambil mengacungkan jempol.

Mila “Ini bikin e-magazine aja? Kaya e-book gitu? Di


publikasiinnya di website?”

Akmal “Sebenernya sih pengennya ada versi cetak, Cuma


memperhitungkan anggaran kayaknya agak sulit”

Narendra “Nah itu”

Ryanda “Terus yang ngurus desain majalah siapa?”

Hendri memasang wajah sombong “Buat apa punya IT?”


Hendri “Ngedesain mah gampanglah, biar gue aja”

Akmal “Oke. Karena udah sore kita cukupkan aja ya, udah banyak
juga yang dibahas. Jangan lupa bikin SOP ya, mulai rapihin proker
sama pembagian kerja ke masing-masing anggota juga, sama jangan
lupa bikin notulensi. Udah itu aja sih, makasih buat semuanya.
Udah nyempetin waktu buat hadir di rapat ini, hati-hati pulang ke
kosannya, jangan lupa makan dan istirahat! Gue akhiri.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawab semua kompak.

Rapat pun selesai.

SHOOT 5
Siang itu Maraka menghampiri Akmal yang baru saja keluar kelas.
“Bro, lo udah cek email belum? Gue ngirim proposal”

Akmal “Proposal apa?”


Maraka “Buat konferensi di Medan.tiga bulan lagi”

Maraka “Banyak yang harus disiapin Mal, tiga bulan gak bakal
kerasa”

Akmal “Mepet banget tiga bulan? Apalagi ke Medan mah harus pake
pesawat, mahal”

Maraka “Itu dia”

Akmal mengangguk, kemudian memegang perut.

“Sambil makanlah ngobrolnya, gue lapar belum sempet sarapan tadi”


Sampai di kantin,Akmal memesan nasi uduk pada mang Ahmad. Sembari
menunggu nasi gorengnya jadi, mereka berdua melanjutkan obrolan
yang tertunda tadi.
“Jadi gimana? Siapa yang mau berangkat ke Medan?”

Maraka “Elu lah”


Akmal “Gue? Sendiri?”

Maraka “Lo mau berangkat sendiri?”


Akmal “Ya janganlah, takut nyasar”
Maraka “Kata bang Dimas sih yang harus berangkat, kahim sama
perwakilan humas”
Mang Ahmad datang membawakan nasi uduk pada Akmal.
Akmal “Makasih mang”
Mang Ahmad “Nya sok, selamat menikmati”

Akmal “Kalo yang berangkat kahim sama perwakilan humas, berarti


gue sama elo dong?”

Maraka “Gue mau bawa pengurus humas juga satu orang”

Akmal “Siapa?”

Maraka “Si Renjani”

Akmal “Oh, udah bilang ke Renjaninya?”


Maraka “Udah”
Akmal “Mauin emang dia? Kan perempuan sendiri?”

Maraka “Mauin kok, lagian pas di Medannya mah bakal banyak cewek
juga”

Akmal mengangguk “Terus apalagi yang mau diomongin?”


Maraka “Gitu aja sih, nanti kalo ada info lagi gue kabarin”

Maraka “Gue cabut, bentar lagi ada kelas.”

Akmal “Yoo”

Setelah perginya Maraka, Akmal kira dia bisa makan dengan tenang.
Namun nyatanya tidak, dia kembali dihampiri oleh anggotanya.
Sambil membawa sebuah kertas undangan, Andi menghampiri Akmal.

Andi “Gue cariin kemana-mana, ternyata lagi mangan”


Akmal “Iya bro, laper. Lo udah makan?”
Andi “Udah kok udah”
Akmal “Kenapa nih nyariin?”

Andi menaruh kertas undangan itu diatas meja “Ada undangan


seminar, acaranya besok”

Sambil mengunyah nasi uduk, Akmal membaca undangan seminar yang


sudah sangat akrab ditelinga mahasiswa sedari zaman maba.

Akmal “Ngedadak amat, biasanya lima atau tiga hari sebelum acara
undangan udah di bagiin”

Andi “Ga tau gue juga, tadi pagi adek kelas ngasih ke gue.
Disuruh perwakilan dari kita tiga orang”

Akmal mengangguk “Gampanglah, nanti diomongin di grup siapa aja


yang bisa dateng buat perwakilan”

Kini Andi yang mengangguk. “Oke, gitu aja deh. Gue pamit, mau
pulang”

Akmal “Ya, hati-hati”

Bersamaan itu Akmal selesai dengan makanannya, setelah kenyang


dan membayar. Akmal berjalan lagi untuk kelas selanjutnya.
Sambil menguap menahan kantuk. Akmal tetap memaksakan langkahnya
sampai kelas.
Baru kaki kirinya melewati pintu kelas, tiba-tiba suara dua
perempuan memanggilnya.

“Akmal!”

Akmal menarik napas, lalu membuangnya kasar. Mencoba bersabar


karena ini adalah resiko menjadi ketua himpunan.

Setelah menarik kaki kirinya dan berbalik badan, rupanya Jihan


dan Cheryl.

“Ada apa Ce, Ji?”

Jihan “Mal, kita mau minta tanda tangan buat proposal inaugrasi”
Akmal “Oh iya, mana proposalnya?”
Jihan langsung menyerahkan proposal itu kepada Akmal, dia pikir
Akmal akan langsung menandatanganinya. Ternyata tidak, Akmal
membacanya dengan rinci.

Namun belum selesai membaca, Akmal sudah melihat dosen mata


kuliahnya berjalan kearah kelas. Dengan senyum yang sopan serta
anggukan Akmal menyapa dosen tersebut. “Pak, izin sebentar”

“Ya” kata dosen itu, hanya membalas ucapan Akmal dengan satu
kata.

Setelah itu Akmal kembali menatap dua anggotanya lagi.


Akmal “Ini proposalnya mau dinaikkin kapan ke jurusan?”

Cheryl “Kalo sempet sih hari ini, Mal”


Akmal “Coba cek dulu bu Ritanya ada gak diruangan? Kalo gak
sempet hari ini, besok ajalah ya gue temenin”

Jihan “Gak bisa sekarang aja, Mal?”


Akmal menggeleng “Gak bisa, ini harus gue cek dulu, harus dibaca
dulu semuanya. Gue gak mau asal tanda tangan”

Jihan dan Cheryl saling bertatap sebelum mengangguk ragu.

Cheryl “Yaudah, nanti gue chat aja ya?”

Akmal mengangguk “Iya santai aja, kalian pada makan siang aja
dulu, nanti selesai kelas gue yang ngechat kalian deh, gue masuk
kelas dulu ya?”

Lagi-lagi Jihan dan Cheryl hanya bisa mengangguk. Lima detik


setelah Akmal memasuki kelas, Jihan dan Cheryl menjerit penuh
kekaguman.

Jihan “Iiihh, Gila si Akmal keren banget sih?!”


Cheryl “Sumpah! Gue baru sadar, ternyata Akmal ganteng juga ya
diliat dari deket??”

Jihan “Habis ini gue aja yang ngechat Akmal”

Cheryl “Gue aja, gapapa!”


Jihan “Ngga-ngga, gue aja!”
Cheryl “Gue!”
Jihan “Gue!”

Wibawa seorang pemimpin baru terbangun.


Ini baru awal. Mungkin nanti, akan lebih banyak lagi orang-orang
yang mengangumi Akmal.

SHOOT 6

Jam delapan malam, Akmal yang baru saja pulang langsung


merebahkan dirinya diatas kasur.

Ponselnya bergetar, dia kira yang meneleponnya anak-anak


himpunan. Ternyata adiknya.

“Oii!”. Sapa Akmal pada adiknya dilayar ponsel itu.


Kemal balas menyapanya “Oiii!”

Akmal “Gimana disana? Aman?”


Kemal “Aman. Lu lagi dimana?”
Akmal “Kosanlah, baru pulang rapat”
Kemal “Kirain pulang kerumah”
Akmal “Elu yang harus pulang, gue mah unggal minggu juga kalo gak
ada acara apa-apa mah balik ke rumah”

Kemal “Ya elu kan deket dari rumah, gue bolak-balik Bandung-
Jakarta ngabisin duit doang”
Akmal “Demi ketemu bunda kenapa ngga? Emang lo gak kangen sama
bunda?”

Kemal “Kangenlah, yakali ngga. Tapi mau gimana lagi? Gue sibuk,
tiap weekend juga gue ke kampus terus”
Akmal “Iya deh iya, asal jangan lupa selalu ngabarin bunda,
soalnya si bunda kalo gak dapet kabar dari elu. Koar-koarnya ke
gue”
Kemal tertawa “Iyaa”
Akmal “Nanti kalo balik ke bandung jangan lupa bawa oleh-oleh”
Kemal “Oleh-oleh Jakarta emang apa? Kerak telor?”
Akmal “Bebaslah terserah elu. Udah gue mau makan dulu, dah tutup”

Selepas Kemal menutup telponnya, Akmal hampir mengirimkan pesan


berisikan “nasi ayam jamur sama es teh manis satu” pada kontak
delivery. Namun ia mengurungkan niatnya dan malah menekan nomor
Renjani.

“Jan, Renjani. Dimana?”

Renjani “Di kosan, kenapa?”


Akmal “Bosen Jan, keluar yuk?”
Renjani “Udah malem Mal, males”
Akmal “Iya tau, makanya udah gak ada matahari”
Renjani “Kalo malem adanya apa?”
Akmal “Nyamuk”

Akmal “Udah hayuklah keluar, gue pengen makan bakso cuangki. Gue
jemput sekarang, gak nerima jawaban selain hayu”
Renjani “Gak mau!”
Akmal “Gak ada, tunggu. Gue kesana”

Setelah menutup telponnya, Akmal bergegas mandi.

Sampai didepan kosan Renjani, Akmal lihat cewek itu sudah stanby
diluar pagar.
“Gak mau Mal udah malem~” ledek Akmal
Renjadi berdecak. “Udahlah gak jadi”
Akmal “Dih ambekan, udah ayok naik”
Renjani naik, duduk dijok motor Akmal. Setelahnya, motor Akmal
melaju menembus angin dingin dikota Bandung.

Sampai di pinggir jalan, dimana satu gerobak cuangki langganan


mereka terletak. Akmal dan Renjani turun.

“Mang Dede!” Akmal memanggil tukang cuangkinya.

Mang Dede “Euyy, si Akmal sama Renjani meni udah jarang jajan
cuangki”

Renjani “Sibuk mang, banyak tugas”


Mang Dede “Ohh gitu”
Akmal “Iya. Mang, kaya biasa ya, dua”
Mang Dede “Siaap!”

Sambil menunggu, keduanya duduk.


“Mal, capek gak?”
Akmal menatap Renjani, alisnya terangkat satu. “Cape apa?”

Renjani “Itu, jadi ketua himpunan, cape gak?”


Akmal “Capelah”
Renjani “Apanya yang cape? Fisik, pikiran apa batin?”

Akmal menjawab cepat “Batin”


Renjani “Kenapa? Cerita dong”

Sebelum Akmal memulai sesi curhatnya, mang Dede sudah datang


membawakan dua mangkuk cuangki pada mereka.
Akmal “Makasih mang”
Mang Dede “Yaa”

Renjani “Jadi lo mau cerita apa?”


Akmal “Cape, Jan”
Renjani “Iya tau, terus?”
Akmal “Kaya gak adil”
Renjani “Apa yang gak adil”
Akmal “Hidup”
Renjani “Emang sejak kapan hidup adil?”
Akmal menatap Renjani. “Dulu adil kok Jan, jangan pesimis banget
lah sama idup”
Renjani “Iyaaaa terusss?”

Akmal menghela napas “Gue gak tau gue boleh kesel apa ngga, tapi
tadi pas sampe kosan. Gue ngerasa kesel, Jan”

Renjani “Karena?”
Akmal “Seharian di kampus gue capek, ngerjain tugas, dipanggil
jurusan, rapatlah, dan selalu ada aja yang nyariin gue”

Akmal “Tapi pas nyampe kosan, anak-anak pada enak banget nyantai.
Tiduran, pada main ps, telponanlah, gue doang yang cape sendiri”

Akmal “Padahal waktu itu mereka bilangnya kita berjuang sama-


sama, capek sama-sama. Tapi nyatanya, gue cape sendiri”

Renjani “Mungkin lo emang lagi cape aja, Mal”


Akmal “Kan emang iya, gue udah bilang. Gue cape”
Renjani “Ohhh”
Akmal “Jangan bodoh, Jan”
Renjani “Jangan bodoh, Mal”
Akmal membuang napas. “Jadi, gak ada solusi nih?”

Renjani “Jalani dengan ikhlas dulu aja, Mal. Kalo capek udah tau
kan harus ngapain?”

Akmal “Harus nelpon Jani”


Renjani mendelik “Istirahat, tidur. Bukan nelpon gue!”

Bersamaan habisnya cuangki mereka, sesi curhat Akmal pun rupanya


sudah habis. Atau mungkin belum?
Akmal “Iyaa, udah yuk?”
Renjani “Pulang?”
Akmal “Ngga, nyari tukang nasi goreng”
SHOOT 7

Paginya, dikoridor. Kebetulan Akmal bertemu Renjani.


“Jan, oii!”

Renjani berbalik badan, “Apaaa?”


Akmal “Jan, besok kita ke Medan”
Renjani “Iya tau, terus?”

Akmal “Udah baca proposalnya? Tau gak disana nanti ngapain aja?”
Renjani mengangguk “Taulah!”
Akmal “Apa coba?”
Renjani menarik napas, mencoba untuk tidak emosi dipagi yang
cerah ini. Walau begitu, dia tetap menjawab “Konferensi, LPJ-an,
seminar, lomba, liburan, gala dinner, udah?”

Akmal mengangguk-angguk dengan watadosnya memberikan jempol pada


Renjani. “Betul!”
Akmal “Udah tau belum berangkatnya sama siapa?”
Renjani “Mmm, kalo itu gue belum tau”
Akmal “Makanya gue nyamperin lo. Semalem gue sama anak-anak
ngobrol di kosan, kita sepakat berangkat dari kampus jam 5 subuh,
habis itu lo dianter sama Ryanda ke bandara, gue sama Narendra,
si Maraka dianter Jeno”

Renjani “Ya kenapa Ryanda gak jemput gue aja ke kosan, biar
langsung ke bandara?”

Akmal “Gak bisa, Jeno bilang. Anak-anak cewek pengen nganterin


kita. Tapi kalo ke bandara, keramean. Makannya titik tengahnya
kita dikumpulin dulu di kampus”

Renjani mengangguk-angguk “Ohh gitu, yaudah gue masuk kelas”


Akmal “Semangat Jan!”
Renjani “Elu yang semangat!”
Akmal “Pasti itu mah” sambil nyengir.

Pagi itu jam 5 subuh, semua anggota himpunan sudah berkumpul


didepan kampus.

Tiga orang dari mereka akan pergi ke Medan selama satu Minggu.
Akmal, Renjani dan Maraka sudah siap dengan tas mereka.

Selesai berpamitan, ketiganya sudah berada di atas motor yang


sudah dibagi kemarin.

Shilla berteriak “Akmal, Maraka. Jagain Renjani!”


Tapi langsung diralat oleh Laras “Salah Shill, gini. Renjani
jagain Akmal sama Maraka! Jangan sampe mereka berdua jelalatan!”

Ucapan Laras membuat semuanya tertawa subuh itu.


Lia melambaikan tangan diikuti semua, “Hati-hati weyy”

Akmal diatas motor memberikan jempol “Siaaapp!!”

Ketiga motor itupun melaju, kepergian Akmal, Maraka dan Renjani


masih diperhatikan oleh teman-temannya.

SHOOT 8

Ale melurskan kakinya saat sudah sampai diruang sekretariat.


“Tahun kemaren, waktu bang Jefri sama kak Naya pulang dari
Makassar, ada gosip ya? Kira-kira tahun ini abis dari Medan,
bakal ada gosip lagi ngga ya?”

Narendra “Siapa yang mau di gosipin? Si Akmal sama Maraka?”


Ale menggeleng “Bukan, masa mereka lesbi?”
Jeno “Terus siapa? Akmal sama Renjani?”

Ale mengangguk mantap “Iya!”


Jeno “Renjani terlalu keren buat Akmal”

Ale “Akmal juga keren, dia kan kahim”


Narenda tiba-tiba bercelutuk “Gue juga keren”
Kemudian Jeno menyela “Gue juga”

Mendengar kepercayaan diri teman-temannya yang tinggi, Ale hanya


mencibir.

Jendela sekretariat diketuk dari luar. Ada Ayunda disana.


Ayunda “Narendra!”
Narendra “Eh Ayu, masuk aja”

Ayunda kemudian berjalan masuk kedalam sekre. Karena sekarang


ketua himpunannya sedang di Medan, sudah tiga hari ini Narendra
yang selalu ditemui jika ada apa-apa.

Ayunda “Gue mau ngajak ngobrol soal website. Kemaren gue udah
ngobrol sama Hendri sama Shilla, cuma katanya ada beberapa yang
harus diomongin sama Akmal. Tapikan Akmal lagi ke Medan, ya? Jadi
sama lo aja gapapa?”

Narendra “Oh iya, hayu. Sambil makan ya? Gue belum makan soalnya,
biar mikirnya juga lancar”

Ayunda “Boleh”

Jeno berteriak “Hati-hati Yu, nanti yang lancar bukan cuman


mikirnya doang!”

Narendra berbalik badan, menaruh telunjuk di depan bibir.


Menyuruh Jeno untuk diam.

Narendra bergegas mengambil tas, lalu kembali menghampiri Ayunda


“Ayok!”

Ale “Kapan si Akmal pulang, kalo gini terus si Naren bakal menang
banyak”

Jeno hanya tertawa “Lo iri? bilang”


Ale “Kagak, enak aja iri”
SHOOT 9

Tujuh hari sudah Akmal, Maraka dan Renjani di Medan. Hari ini
adalah hari pertama Akmal masuk kuliah lagi setelah semalam
sampai di rumah. Akmal pulang ke rumah alih-alih ke kosan, biar
ada yang masakin, katanya pada Maraka semalam.

Niat hati ingin beristirahat, namun tanggung jawabnya masih


besar.

Sampai dikampus Akmal langsung dihampiri Narendra.


Narendra “Gimana bro, Medan?”

Akmal “Panas”
Narendra “Dapet apa di Medan?”
Akmal “Dapet hikmah”

Narendra “Bisa aja. Udah siap balik kerja keras bagai kuda
belum?”

Akmal “Gak mau ah, cape gue”


Narendra “Lo kira gue gak cape? Bentar lagi IMF-

“Masih itungan bulan” Sela Akmal


Narendra “Gak bakal kerasa, tau-tau udah H-7 aja ntar. Persiapan
masih setengah mateng, ini bener-bener harus kita kawal”

Akmal mengangguk lesu “Yaudah hayu”


Narendra “Kemana?”
Akmal “Ya ngomongin itu”
Narendra “Udah entar aja” katanya santai, sambil merangkul Akmal.
Akmal langsung melepas rangkulan Narendra, berusaha menahan
emosi. “Tadi elu yang ngotot gak bakal kerasa, tau-tau udah H-7
katanya, sekarang gue ajak kerjain malah entar-entar”

Narendra “Selow-selow, jangan emosi gitu dong”

Akmal “Tau ah, gue capek. Baru tidur dua jam doang tadi, harus
buru-buru ke kampus”

Narendra mengangguk-angguk “Iya sorry-sorry, lagian lo malah


pulang ke rumah, kan jaraknya ke kampus jadi lebih jauh”

Akmal menghela napas. Kemudian pundaknya kembali dirangkul.

Narendra “Udah hayu ikut gue ke sekre, anak-anak udah pada


nungguin”

Akmal hanya menurut, sesampainya di ruang sekretariat tempat


mereka rapat.
Baru Akmal membuka pintu, suara ledakan balon yang sengaja di
betuskan membuatnya kaget.
“Astagfirullah weyy??” sambil mengusap dada.

Hendri, pelaku pembetusan balon tertawa tanpa dosa.

Ruang sekre ramai,Maraka juga ada. Dan beberapa anggotanya


mengangkat tinggi-tinggi kardus yang sudah ditulisi kata-kata.

Akmal terharu, rasanya. Lelahnya hilang menguap begitu saja.


“Makasih semuanya, hahaha. Gue gak nyangka ada yang rindu gue
juga ternyata”

Setelahnya, mereka semua tertawa. Bergantian menyalami Akmal


sambil menepuk pundaknya, saling menguatkan dan memberi semangat.

Akmal dalam dialog terakhirnya.


“Hai gue Akmal. Tadinya, gue hanya seorang mahasiswa biasa yang
masuk himpunan karena terpaksa. Tapi kemudian ditahun ketiga gue
kuliah, gue malah jadi ketua himpunan. Gantiin bang Dimas sama
kak Naya.”

“Buat semua nggota gue, makasih udah percaya sama gue. Di periode
ini, gue akan berusaha semaksimal mungkin,semampu gue, gue gak
akan ngecewain kalian, walau semuanya gak bakal mudah. Tapi gue
percaya, gue pasti bisa. Dan buat Narendra,kita harus tetep sama-
sama, lo harus jadi wakil gue sampe akhir.”

END

You might also like