Professional Documents
Culture Documents
Referat Myasthenia Gravis
Referat Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis
Disusun Oleh:
112021192
PEMBIMBING:
Referat
Myasthenia Gravis
Disusun oleh:
112021192
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan
fluktuatif pada otot-otot ekstra okular; bulbar, dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang
terjadi akan memburuk saat beraktivitas dan membaik setelah beristirahat. MG disebabkan
oleh adanya autoantibodi pada membran pascasinaps pada taut saraf otot (neuromuscular-
junction). Autoantibodi yang banyak ditemukan pada serum pasien MG adalah antibodi
terhadap reseptor asetilkolin. Saat ini diketahui antibodi lain yang terdapat pada pasien MG,
(LRP4). Walaupun mekanisme timbulnya autoimun pada MG masih belum diketahui secara
pasti, diduga beberapa faktor berperan dalam terjadinya reaksi autoimun tersebut, yaitu jenis
kelamin, hormon, dan kelenjar timus yang abnormal pada hampir 80% penderita MG.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan
fluktuatif pada otot-otot ekstra okular; bulbar, dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang
terjadi akan memburuk saat beraktivitas dan membaik setelah beristirahat. MG disebabkan
oleh adanya autoantibodi pada membran pascasinaps pada taut saraf otot (neuromuscular-
junction).1
Epidemiologi
Insidens terjadinya myasthenia gravis sekitar 1,7-21,3 per 1000.000 dimana dapat
terjadi di semua usia dan jenis kelamin. Perbandingan terjadinya myasthenia gravis antara
perempuan dan lakl-laki adalah 7:3. Sedangkan pada usia diatas 50 tahun perbandingannya
2:3. Prevalensi paling tinggi pada perempuan yaitu usia 20-30 tahun, sedangkan laki-laki usia
60 tahun. Risiko terjadinya myasthenia gravis akan meningkat 4,5% jika dalam keluarga,
saudara kandung atau orang tua memiliki riwayat MG atau penyakit autoimun lainnya.1
Etiologi
Miastenia Gravis disebabkan oleh adanya autoantibodi pada membran pascasinaps pada
taut saraf otot (neuromuscular-junction). Autoantibodi yang banyak ditemukan pada serum
pasien MG adalah antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Saat ini diketahui antibodi lain yang
terdapat pada pasien MG, yakni muscle-specific kinase (MuSK) dan low-density lipoprotein
receptorrelated protein (LRP4). Walaupun mekanisme timbulnya autoimun pada MG masih
belum diketahui secara pasti, diduga beberapa faktor berperan dalam terjadinya reaksi
autoimun tersebut, yaitu jenis kelamin, hormon, dan kelenjar timus yang abnormal pada
hampir 80% penderita MG.1
Patofisiologi
Kelemahan otot yang terjadi pada MG disebabkan oleh proses autoimun pada taut saraf
otot. Faktor utama dan paling penting dalam patofisiologi MG adalah terbentuknya
autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) pada membran pascasinaps. Tedapat tiga
proses yang menyebabkan gagalnya kontraksi otot akibat proses autoantibodi ini.3
Pertama, antibodi yang melekat pada AChR akan mengaktifkan kaskade komplemen
yang membentuk membrane attack compleks (MAC) yang kemudian menghancurkan AChR
serta merusak struktur lipatan-lipatan membran pascasinaps, sehingga mengurangi luas
permukaannya. Akibatnya asetilkolin yang dapat berikatan dengan AChR pada membran
pascasinaps menjadi jauh lebih sedikit.3
Kedua, antibodi yang berikatan pada dua AChR akan mengaktifkan proses endositosis
AChR, sehingga terjadi degradasi AChR pada membran pascasinaps. Degradasi ini lebih
cepat daripada pembentukan AChR baru, sehingga semakin menurunkan jumlah ACh yang
berikatan dengan AChR.3
Antibodi yang melekat pacta AChR akan memblok ACh, sehingga tidak dapat
berikatan dengan AChR. Kompetisi antara autoantibodi dan ACh untuk dapat berikatan
dengan AChR akan semakin menurunkan jumlah ACh yang berikatan dengan AChR.3
Manifestasi Klinis
MG secara klinis memiliki ciri kelelahan dan kelemahan pada otot. Keluhan kelemahan
meningkat sepanjang hari, diperburuk dengan aktivitas dan mengalami perbaikan dengan
istirahat. Ciri-cirinya meliputi ptosis, diplopia, disartria, disfagia, serta kelemahan otot
pernapasan dan anggota gerak.1
Pada sekitar 70% penderita MG, gejala awal yang dialami adalah keluhan pada mata
yang asimetris, yang mengenai otot-otot ekstraokular, berupa turunnya kelopak atas (ptosis)
dan penglihatan ganda (diplopia). Dari seluruh tipe okular, sekitar 50% berkembang menjadi
tipe generalisata, yaitu kelemahan terjadi pada otot-otot bulbar dan otot-otot proksimal,
sedangkan sekitar 15% tetap sebagai tipe okular. Gejala klinis yang berat sering ditemukan
pada tahun pertama sampai tahun ketiga, jarang sekali ditemui perbaikan klinis yang
sempurna dan permanen.1
1. Gejala Okular
Ptosis dan diplopia yang asimetris merupakan gejala okular yang paling sering
ditemukan. Gejala okular akan menetap pada 10-16% pasien MG dalam masa 3 tahun
pertama dan menjadi sekitar 3-10% setelah 3 tahun. Bila gejala okular menetap
sampai lebih dari 3 tahun, maka sekitar 84% tidak mengalami perubahan menjadi tipe
general ataupun bulbar.
2. Gejala Bulbar
a. Disfoni dan disartria yang muncul setelah berbicara beberapa lama, sering terjadi
pada onset pertama kali.
b. Disfagia (gangguan menelan) muncul setelah penderita memakan makanan padat.
Penderita dapat mengalami kesulitan menggerakan rahang bawah saat mengunyah
makanan, sehingga harus dibantu oleh tangan (tripod position).
c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering tidak disadari oleh penderita, baru diketahui
setelah orang lain melihat menurunnya ekspresi wajah atau senyumannya tampak
datar (myasthenic snarl).
3. Leher dan Ekstremitas
a. Leher terasa kaku, nyeri, dan sulit untuk menegakkan kepala (dropped head)
akibat kelemahan pada otot-otot ekstensor leher.
b. Pada ekstremitas, kelemahan lebih sering terjadi pada ektremitas atas dan
mengenai otot-otot proksimal (deltoid dan triseps ). Pada keadaan yang berat,
kelemahan dapat terjadi juga pada otot-otot distal.
4. Gangguan Pernapasan
Sering terjadi pada MG tipe general. Penderita merasakan kesulitan menarik napas
akibat kelemahan otot-otot bulbar dan pernapasan.
Terdapat juga klasifikasi oleh Task Force of the Medical Scientific Advisory Board of the
Myasthenia Gravis Foundation of America. Berdasarkan manifestasi klinis dan derajat
kelemahan motorik yang sering digunakan untuk evaluasi pasien dalam praktik sehari hari.
Diagnosis1,4
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis secara menyeluruh untuk menilai
kekuatan motorik dan derajat kelemahan otot-otot yang terkena.
a. Tes Wartenberg: Penderita diminta untuk melihat ke atas bidang datar dengan sudut
kurang lebih 30 derajat selama 60 detik, positifbilaterjadi ptosis.
b. Tes hitung, penderita diminta untuk menghitung 1-100, positif bila suara menjadi
sengau (suara nasal) atau suara menghilang.
c. Ice pack eye test; celah antara kedua kelopak mata yang mengalami ptosis akan
diukur terlebih dahulu kemudian dengan es yang terbalut kain akan ditempelkan ke
kelopak mata penderita. Celah antara keduakelopak mata yang bertambah Iebar
setelah penempelan es selama 2 menit dianggap positif.
Uji Tensilon
Bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis dan respons terhadap pengobatan. Hasil positif
bila ditemukan perbaikan gejala kelemahan motorik secara cepat, tetapi dalam waktu
singkat. Apabila pemeriksaan ini tidak tersedia, pemberian obat penghambat AChE oral
seperti piridostigmin dapat diberikan, namun perbaikan gejala lebfh lambat, baru terlihat
setelah 1-2 jam.
Pada tes ini disuntikkan 1,5mg atau 3cc prostigmin metilsulfat secara intramuskular
(diberikan pula atropin O,Bmg bila perllb). Jika kelemahan itu benar disebabkan oleh
MG, maka gejala-gejala seperti ptosis, strabismus, atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Banding5
Multiple sclerosis
Lambert-Eaton syndrome
Cavernous sinus thrombosis
Brainstem glioma
Botulism
Graves ophthalmopathy
Polymyositis & dermatomyositis
Tatalaksana
Simptomatik
Immunotherapy
Terapi suportif5
Kontrol berat badan, terutama pada pasien yang otot pernapasannya terganggu.
Pasien MG yang mengalami infeksi harus secepatnya diobati karena dapat memicu
eksaserbasi dan menimbulkan gangguan pernapasan.
Menghindari obat-obatan yang dapat memicu eksaserbasi myasthenia gravis
Komplikasi
Prognosis
Pada myasthenia gravis okular yang kelemahannya menetap lebih dari 2 tahun, hanya
10-12% yang akan menjadi myasthenia gravis generalisata. Angka kematian sekitar 7%,
membaik 50%, dan tidak ada perubahan 30%. Sebagian besar pasien dapat teratasi dengan
baik setelah pemberian obat, yang membuat penyakit ini fatal karena adanya komplikasi pada
bagian respirasi seperti pneumonia aspirasi.3
Penutup
Myasthenia gravis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya kelemahan otot pada
tubuh yang disebabkan oleh autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor sehingga jumlah
asetilkolin di neuromuscular junction berkurang. Pada pasien miastenia gravis usia muda
lebih banyak ditemukan pada wanita. Sedangkan pada pasien usia lebih dari 60 tahun lebih
banyak ditemukan laki-laki. Myasthenia gravis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, tes sederhana, serologi autoantibodi, sera uji tensilon. Penanganan yang cepat dan tepat
akan memberikan hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ranakusuma TAS. Buku Ajar Neurologi Departemen FK UI RSCM. Jilid 2. Jakarta. 2017
2. Tugasworo D. Myasthenia Gravis Diagnosis dan Tatalaksana. Undip Press.
Semarang. 2018
3. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi departemen FK UI RSCM. Jilid 1.
Tangerang:Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017
4. Melzer N, Ruck T, Fuhr P, dkk. Clinical features, pathogenesis, and treatment of
myasthenia gravis: a supplement to guidelines of the German Neurological Society. J
Neurol 2016:1-22
5. Suresh, AB, Asuncion RM. Myasthenia gravis. Di unduh pada tanggal 4 Oktober
2022 di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559331/
6. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical neurology. Ed.9. New York:Mc
Graw Hill Education;2012.256
7. Gilhus NE, Verschuuren JJ. Myasthenia gravis: subgroup classification and
therapeutic strategies. Lancet Neurol. 2015;14:1023-36
8. Bershad EM, Feen ES, Suarez JI. Myasthenia gravis crisis. Sourthern Medical
Journal. 2008;101(1):63