You are on page 1of 13

REFERAT

Myasthenia Gravis

                                

Disusun Oleh:

Novella Ruana Fista Hamady

112021192

PEMBIMBING:

dr. Endang Kustiowati, Sp.S (K), M.Si, Med

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RS PANTI WILASA DR CIPTO

PERIODE 17 Oktober – 19 November 2022


LEMBAR PENGESAHAN

Referat

Myasthenia Gravis

Disusun oleh:

Novella Ruana Fista Hamady

112021192

Telah diperiksa dan disahkan

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf

RS Panti Wilasa Dr. Cipto

Periode 17 Oktober 2022 – 19 November 2022

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana

Semarang, 06 November 2022

Dr. dr. Endang Kustiowati, Sp. S (K)., M. Si. Med


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan

fluktuatif pada otot-otot ekstra okular; bulbar, dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang

terjadi akan memburuk saat beraktivitas dan membaik setelah beristirahat. MG disebabkan

oleh adanya autoantibodi pada membran pascasinaps pada taut saraf otot (neuromuscular-

junction). Autoantibodi yang banyak ditemukan pada serum pasien MG adalah antibodi

terhadap reseptor asetilkolin. Saat ini diketahui antibodi lain yang terdapat pada pasien MG,

yakni muscle-specific kinase (MuSK) dan low-density lipoprotein receptorrelated protein

(LRP4). Walaupun mekanisme timbulnya autoimun pada MG masih belum diketahui secara

pasti, diduga beberapa faktor berperan dalam terjadinya reaksi autoimun tersebut, yaitu jenis

kelamin, hormon, dan kelenjar timus yang abnormal pada hampir 80% penderita MG.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan
fluktuatif pada otot-otot ekstra okular; bulbar, dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang
terjadi akan memburuk saat beraktivitas dan membaik setelah beristirahat. MG disebabkan
oleh adanya autoantibodi pada membran pascasinaps pada taut saraf otot (neuromuscular-
junction).1

Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler


yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin dan protein post sinaptik
terkait oleh autoantibodi.2

Epidemiologi
Insidens terjadinya myasthenia gravis sekitar 1,7-21,3 per 1000.000 dimana dapat
terjadi di semua usia dan jenis kelamin. Perbandingan terjadinya myasthenia gravis antara
perempuan dan lakl-laki adalah 7:3. Sedangkan pada usia diatas 50 tahun perbandingannya
2:3. Prevalensi paling tinggi pada perempuan yaitu usia 20-30 tahun, sedangkan laki-laki usia
60 tahun. Risiko terjadinya myasthenia gravis akan meningkat 4,5% jika dalam keluarga,
saudara kandung atau orang tua memiliki riwayat MG atau penyakit autoimun lainnya.1

Etiologi
Miastenia Gravis disebabkan oleh adanya autoantibodi pada membran pascasinaps pada
taut saraf otot (neuromuscular-junction). Autoantibodi yang banyak ditemukan pada serum
pasien MG adalah antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Saat ini diketahui antibodi lain yang
terdapat pada pasien MG, yakni muscle-specific kinase (MuSK) dan low-density lipoprotein
receptorrelated protein (LRP4). Walaupun mekanisme timbulnya autoimun pada MG masih
belum diketahui secara pasti, diduga beberapa faktor berperan dalam terjadinya reaksi
autoimun tersebut, yaitu jenis kelamin, hormon, dan kelenjar timus yang abnormal pada
hampir 80% penderita MG.1

Patofisiologi

Kelemahan otot yang terjadi pada MG disebabkan oleh proses autoimun pada taut saraf
otot. Faktor utama dan paling penting dalam patofisiologi MG adalah terbentuknya
autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) pada membran pascasinaps. Tedapat tiga
proses yang menyebabkan gagalnya kontraksi otot akibat proses autoantibodi ini.3
Pertama, antibodi yang melekat pada AChR akan mengaktifkan kaskade komplemen
yang membentuk membrane attack compleks (MAC) yang kemudian menghancurkan AChR
serta merusak struktur lipatan-lipatan membran pascasinaps, sehingga mengurangi luas
permukaannya. Akibatnya asetilkolin yang dapat berikatan dengan AChR pada membran
pascasinaps menjadi jauh lebih sedikit.3

Kedua, antibodi yang berikatan pada dua AChR akan mengaktifkan proses endositosis
AChR, sehingga terjadi degradasi AChR pada membran pascasinaps. Degradasi ini lebih
cepat daripada pembentukan AChR baru, sehingga semakin menurunkan jumlah ACh yang
berikatan dengan AChR.3

Antibodi yang melekat pacta AChR akan memblok ACh, sehingga tidak dapat
berikatan dengan AChR. Kompetisi antara autoantibodi dan ACh untuk dapat berikatan
dengan AChR akan semakin menurunkan jumlah ACh yang berikatan dengan AChR.3

Pada 85% pasien MG dapat ditemukan antibodi terhadap reseptor asetilkolin


(antiAChR) dalam darah. Namun terdapat juga pada pasien yang tidak memiliki auto antibodi
terhadap reseptor asetilkolin memiliki auto antibodi terhadap MuSK atau LRP4 yang menjadi

bagian dari struktur protein agrin.3

Gambar 1. Patofisiologi Miastenia Gravis

Manifestasi Klinis
MG secara klinis memiliki ciri kelelahan dan kelemahan pada otot. Keluhan kelemahan
meningkat sepanjang hari, diperburuk dengan aktivitas dan mengalami perbaikan dengan
istirahat. Ciri-cirinya meliputi ptosis, diplopia, disartria, disfagia, serta kelemahan otot
pernapasan dan anggota gerak.1

Pada sekitar 70% penderita MG, gejala awal yang dialami adalah keluhan pada mata
yang asimetris, yang mengenai otot-otot ekstraokular, berupa turunnya kelopak atas (ptosis)
dan penglihatan ganda (diplopia). Dari seluruh tipe okular, sekitar 50% berkembang menjadi
tipe generalisata, yaitu kelemahan terjadi pada otot-otot bulbar dan otot-otot proksimal,
sedangkan sekitar 15% tetap sebagai tipe okular. Gejala klinis yang berat sering ditemukan
pada tahun pertama sampai tahun ketiga, jarang sekali ditemui perbaikan klinis yang
sempurna dan permanen.1

Gejala klinis MG dapat berupa:1

1. Gejala Okular
Ptosis dan diplopia yang asimetris merupakan gejala okular yang paling sering
ditemukan. Gejala okular akan menetap pada 10-16% pasien MG dalam masa 3 tahun
pertama dan menjadi sekitar 3-10% setelah 3 tahun. Bila gejala okular menetap
sampai lebih dari 3 tahun, maka sekitar 84% tidak mengalami perubahan menjadi tipe
general ataupun bulbar.
2. Gejala Bulbar
a. Disfoni dan disartria yang muncul setelah berbicara beberapa lama, sering terjadi
pada onset pertama kali.
b. Disfagia (gangguan menelan) muncul setelah penderita memakan makanan padat.
Penderita dapat mengalami kesulitan menggerakan rahang bawah saat mengunyah
makanan, sehingga harus dibantu oleh tangan (tripod position).
c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering tidak disadari oleh penderita, baru diketahui
setelah orang lain melihat menurunnya ekspresi wajah atau senyumannya tampak
datar (myasthenic snarl).
3. Leher dan Ekstremitas
a. Leher terasa kaku, nyeri, dan sulit untuk menegakkan kepala (dropped head)
akibat kelemahan pada otot-otot ekstensor leher.
b. Pada ekstremitas, kelemahan lebih sering terjadi pada ektremitas atas dan
mengenai otot-otot proksimal (deltoid dan triseps ). Pada keadaan yang berat,
kelemahan dapat terjadi juga pada otot-otot distal.
4. Gangguan Pernapasan
Sering terjadi pada MG tipe general. Penderita merasakan kesulitan menarik napas
akibat kelemahan otot-otot bulbar dan pernapasan.

Terdapat juga klasifikasi oleh Task Force of the Medical Scientific Advisory Board of the
Myasthenia Gravis Foundation of America. Berdasarkan manifestasi klinis dan derajat
kelemahan motorik yang sering digunakan untuk evaluasi pasien dalam praktik sehari hari.

Gambar 2. Klasifikasi Miastenia Gravis

Diagnosis1,4

Anamnesis

Adanya kelemahan/kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan membaik


setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi diplopia tau ptosis),
dapat disertai kelumpuhan anggota badan (terutama otot deltoid, triseps, dan ekstensor jari-
jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervus kranialis.

Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis secara menyeluruh untuk menilai
kekuatan motorik dan derajat kelemahan otot-otot yang terkena.

Tes Klinis Sederhana

a. Tes Wartenberg: Penderita diminta untuk melihat ke atas bidang datar dengan sudut
kurang lebih 30 derajat selama 60 detik, positifbilaterjadi ptosis.
b. Tes hitung, penderita diminta untuk menghitung 1-100, positif bila suara menjadi
sengau (suara nasal) atau suara menghilang.
c. Ice pack eye test; celah antara kedua kelopak mata yang mengalami ptosis akan
diukur terlebih dahulu kemudian dengan es yang terbalut kain akan ditempelkan ke
kelopak mata penderita. Celah antara keduakelopak mata yang bertambah Iebar
setelah penempelan es selama 2 menit dianggap positif.

Uji Tensilon

Bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis dan respons terhadap pengobatan. Hasil positif
bila ditemukan perbaikan gejala kelemahan motorik secara cepat, tetapi dalam waktu
singkat. Apabila pemeriksaan ini tidak tersedia, pemberian obat penghambat AChE oral
seperti piridostigmin dapat diberikan, namun perbaikan gejala lebfh lambat, baru terlihat
setelah 1-2 jam.

Uji Prostigmin (Neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 1,5mg atau 3cc prostigmin metilsulfat secara intramuskular
(diberikan pula atropin O,Bmg bila perllb). Jika kelemahan itu benar disebabkan oleh
MG, maka gejala-gejala seperti ptosis, strabismus, atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.

Pemeriksaan Penunjang

 Serologi : antibodi reseptor antiasetilkolin, antibodi Muscle-specific Kinase (MuSK),


antibodi LRP4.
 Elektrodiagnostik : RNS (Repetitive nerve stimulation), SFEMG (Single Fiber
Electromyography)
 Radiologi : CT-Scan/MRI untuk melihat adanya timoma atau tidak

Diagnosis Banding5

 Multiple sclerosis
 Lambert-Eaton syndrome
 Cavernous sinus thrombosis
 Brainstem glioma
 Botulism
 Graves ophthalmopathy
 Polymyositis & dermatomyositis

Tatalaksana

Simptomatik

 Asetilkolinesterase inhibitor (AChEI)


o Pyridostigmin bromida (mestinon) 30-120mg/4 jam/oral
Terdapat adanya efek samping kolinergik pada penggunaan obat ini. namun
biasanya dosis dibawah 300mg/hari ridak menimbulkan efek samping. Pada
pemberian intravena terdapat efek samping kolinergik seperti spasme bronkial,
hipersalivasi, berkeringat, bradikardi, dan AV block serta miosis. Sehingga
pada pemberian IV 24 jam/hari perlu dilakukan monitor terus menerus atau
berada dalam perawatan intensif. 3,4,6
o Neostigmine bromide 0.5-2.5 mg/hari

Immunotherapy

 Kortikosteroid, digunakan pada pasien yang tidak membaik dengan penggunaan


asetilkolinesterase dan sudah dilakukan timektomi namun terjadi eksaserbasi
kelemahan pada otot. Diberikan Prednison 10-20mg/hari, kemudian dinaikan
5mg/hari setiap minggu hingga mencapai remisi. Penggunaan glukokortikoid dosis
tinggi bisa dilakukan pada pasien yang dirawat untuk terapi plasmapharesis atau
immunoglobulin intravena. Diberikan prednisone 60-100mg/hari secara oral dan
dilakukan tappering off 5-15mg/hari jika sudah ada perbaikan.4,7
 Azathioprine, diberikan pada pasien dengan keadaan berat atau penyakit tetap
progresif walaupun sudah dilakukan timektomi dan pengobatan menggunakan
asetilkolinesterase/kortikosteroid. Dosis yang diberikan yaitu 2-3mg/kgBB/hari
diberikan dari dosis terkecil. Diberikan selama 8 minggu pertama. Setiap minggu
harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan fungsi hati karena adanya risiko
terjadi leukopenia dan efek hepatotoksik terutama bulan pertama pengobatan.
Pemberian azathioprine lebih efektif jika dikombinasi dengan kortikosteroid dan efek
samping yang timbul lebih sedikit. Kombinasi ini merupakan pilihan pertama pada
pasien myasthenia gravis generalisata yang membutuhkan terapi immunosupresif.4,7
 Mycophenolate mofetil, diberikan pada myasthenia gravis ringan hingga sedang jika
pengobatan pilihan pertama tidak berhasil. Biasanya dikombinasi dengan
prednisolone.4
 Rituximab, salah satu pengobatan untuk myasthenia gravis yang efektif untuk
myasthenia gravis tipe sedang hingga berat yang tidak berespon terhadap pengobatan
pilihan pertama.4

 Plasmapheresis, berguna untuk menghilangkan antibodi reseptor dari sirkulasi.


Biasanya digunakan pada krisis myasthenia gravis atau sebelum dilakukan timektomi
 Intravenous Immunoglobulin (IVIG), diberikan dosis 400mg/kgBB/hari selama 5 hari
berturut-turut.
 Thymectomy, dilakukan pada pasien dengan timoma dibawah usia 60 tahun atau lebih
dari 60 dengan kelemahan yang tidak dibatasi hanya pada otot ekstraokular.
Timektomi tidak direkomendasikan pada pasien dengan autoantibodi MuSK, LRP4,
dan hanya terjadi pada gejala okular karena tidak didapatkan adanya efek terapeutik
yang signifikan. Pemberian IVIG dan plasmapharesis sebelum dilakuka operasi akan
menurunkan risiko terjadi komplikasi, dan mempercepat perbaikan gejala.

Gambar 3. pasien sebelum dan sesudah menggunakan terapi immunosupresif


Gambar 4. Alur tatalaksana myasthenia gravis generalisata

Terapi suportif5

 Kontrol berat badan, terutama pada pasien yang otot pernapasannya terganggu.
 Pasien MG yang mengalami infeksi harus secepatnya diobati karena dapat memicu
eksaserbasi dan menimbulkan gangguan pernapasan.
 Menghindari obat-obatan yang dapat memicu eksaserbasi myasthenia gravis

Gambar 5. Obat-obatan yang dapat memicu eksaserbasi myasthenia gravis

Komplikasi

 Krisis myasthenia gravis, merupakan terjadinya kelemahan otot pernapasan yang


membuat gagal napas akut dan membutuhkan perawatan di ICU karena kolapsnya
otot orofaringeal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien gelisah serta nafas cepat
dan dalam.8
Gambar 6. hal yang mencetus krisis myasthenia gravis

 Krisis kolinergik, terjadi pada pasien yang mendapat asetilkolinesterase inhibitor


dalam jumlah banyak sehingga mengalami toksisitas muskarinik dan nikotinik.
Gejalanya berupa peningkatan keringat, air mata, saliva, sekret paru, diare, mual
muntah, bradikardia, dan fasikulasi.8

Prognosis

Pada myasthenia gravis okular yang kelemahannya menetap lebih dari 2 tahun, hanya
10-12% yang akan menjadi myasthenia gravis generalisata. Angka kematian sekitar 7%,
membaik 50%, dan tidak ada perubahan 30%. Sebagian besar pasien dapat teratasi dengan
baik setelah pemberian obat, yang membuat penyakit ini fatal karena adanya komplikasi pada
bagian respirasi seperti pneumonia aspirasi.3

Penutup

Myasthenia gravis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya kelemahan otot pada
tubuh yang disebabkan oleh autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor sehingga jumlah
asetilkolin di neuromuscular junction berkurang. Pada pasien miastenia gravis usia muda
lebih banyak ditemukan pada wanita. Sedangkan pada pasien usia lebih dari 60 tahun lebih
banyak ditemukan laki-laki. Myasthenia gravis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, tes sederhana, serologi autoantibodi, sera uji tensilon. Penanganan yang cepat dan tepat
akan memberikan hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ranakusuma TAS. Buku Ajar Neurologi Departemen FK UI RSCM. Jilid 2. Jakarta. 2017
2. Tugasworo D. Myasthenia Gravis Diagnosis dan Tatalaksana. Undip Press.
Semarang. 2018
3. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi departemen FK UI RSCM. Jilid 1.
Tangerang:Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017
4. Melzer N, Ruck T, Fuhr P, dkk. Clinical features, pathogenesis, and treatment of
myasthenia gravis: a supplement to guidelines of the German Neurological Society. J
Neurol 2016:1-22
5. Suresh, AB, Asuncion RM. Myasthenia gravis. Di unduh pada tanggal 4 Oktober
2022 di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559331/
6. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical neurology. Ed.9. New York:Mc
Graw Hill Education;2012.256
7. Gilhus NE, Verschuuren JJ. Myasthenia gravis: subgroup classification and
therapeutic strategies. Lancet Neurol. 2015;14:1023-36
8. Bershad EM, Feen ES, Suarez JI. Myasthenia gravis crisis. Sourthern Medical
Journal. 2008;101(1):63

You might also like