You are on page 1of 23

Volume 10 Article 4

Issue 2 Volume 10, Issue 2, 2013

12-31-2013

HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL INSTITUSI DAN IMPLEMENTASI


SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
(SAKIP) DI PEMERINTAH DAERAH
Hafiez Sofyani
IAIN Antasari Banjarmasin, hafiez.sofyani@gmail.com

Rusdi Akbar
Universitas Gadjah Mada, rusdi.akbar.phd@gmail.com

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jaki

Recommended Citation
Sofyani, Hafiez and Akbar, Rusdi (2013) "HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL INSTITUSI DAN IMPLEMENTASI
SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (SAKIP) DI PEMERINTAH DAERAH," Jurnal
Akuntansi dan Keuangan Indonesia: Vol. 10: Iss. 2, Article 4.
DOI: 10.21002/jaki.2013.10
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jaki/vol10/iss2/4

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Economics & Business at UI Scholars Hub.
It has been accepted for inclusion in Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia by an authorized editor of UI
Scholars Hub.
184 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia


Volume 10 Nomor 2, Desember 2013

HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL INSTITUSI DAN IMPLEMENTASI


SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (SAKIP)
DI PEMERINTAH DAERAH1

Hafiez Sofyani
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin
hafiez.sofyani@gmail.com

Rusdi Akbar
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
rusdi.akbar.phd@gmail.com

Abstract

The purpose of this study was to examine the association between technical, organizational, individual
characteristics of local government officials factors and the implementation of performance measurement
systems (PMS) in local government. The study was conducted in territory of local government of Yogyakarta
Special Region (DIY). The samples are local government officials in Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) who are directly involved in the implementation of the Performance Accountability System for
Government Entity (SAKIP) and reporting Performance Accountability Reports for Government Entity
(LAKIP). The results found the factors that positively and significantly associated with implementation of
a PMS were organizational factors, namely: training and organization’s response are open to change, and
the individual characteristics factors, namely: high self-efficacy and conscientiousness trait.

Keywords: factors [technical, organizational, and individual characteristics], Performance Measurement


System, SAKIP, LAKIP.

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah menguji hubungan antara faktor teknis, organisasional, karakteristik
individu pegawai pemda dan implementasi sistem pengukuran kinerja di tingkat pemerintah daerah.
Penelitian dilakukan di lingkup pemerintah daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sampel penelitian
adalah pegawai pemerintah daerah di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang secara langsung terlibat
dalam pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan pelaporan Laporan
Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Hasil penelitian menemukan bahwa faktor–faktor
yang berhubungan secara positif dan signifikan terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja adalah
faktor organisasional, yakni: pelatihan dan respon organisasi yang terbuka terhadap perubahan, dan faktor
karakteristik individu, yakni: self efficacy yang tinggi dan sifat conscientiousness.
Kata Kunci : faktor [teknis, organisasional, dan karakteristik individu], Sistem Pengukuran
Kinerja, SAKIP, LAKIP.

1
Penelitian ini disponsori oleh beasiswa In Search of Balance (ISB) kerjasama Universitas Gadjah Mada dan Adger
University of Norway.
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 185

LATAR BELAKANG lebih didominasi oleh tekanan luar (coercive


isomorphism), yakni kepatuhan kepada aturan
Fokus perhatian organisasi sektor publik baku formal, tanpa melakukan pengembangan
terhadap isu kinerja dimulai oleh pemerintah sistem pengukuran kinerja secara normatif.
Amerika Serikat dengan memberikan prioritas Fenomena ini sejalan dengan pendapat
utama dalam mengembangkan strategi baru Gudono (2014) yang mengemukakan bahwa
terkait sistem pengukuran kinerja. Fokus paksaan atau tekanan dari suatu peraturan
tersebut disahkan dalam The Government Per- atas suatu pelaksanaan mekanisme kerja dapat
formance and Results Act of 1993 (Atkinson et menimbulkan masalah berupa ketaatan semu
al. 1997). Inisiatif yang sama juga muncul di oleh instansi yang dituntut.
beberapa negara seperti Australia, Selandia Selain itu, masalah implementasi sis-
Baru, Inggris Raya, dan berbagai negara tem pengukuran kinerja juga dikarenakan
lainnya (Atkinson dan McCrindell 1997; Hood kemampuan sistem pengukuran kinerja
1995; Smith 1993). untuk meningkatkan kinerja, transparansi
Di Indonesia, sistem pengukuran kinerja dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
untuk pemerintah, baik pusat maupun daerah, masih sering diperdebatkan atau dipertanyakan
mulai diatur semenjak dikeluarkannya Instruksi (Akbar et al. 2012). Nurkhamid (2008)
Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999. Inpres mengemukakan bahwa permasalahan pe-
tersebut mengamanatkan dilaksanakannnya laksanaan sistem akuntabilitas kinerja
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi dapat muncul pada tahap pengembangan
Pemerintah (SAKIP) di semua level instansi sistem pengukuran kinerja maupun pada
pemerintahan. Akan tetapi, hingga 2013, tahap penggunaan hasil dari implementasi
implementasi SAKIP masih menemui berbagai sistem pengukuran kinerja. Pemicu lain dari
permasalahan. Dari segi teoritisnya, lahirnya munculnya permasalahan adalah motivasi
Inpres No. 7 Tahun 1999 adalah bentuk adanya pengukuran kinerja yang dilakukan banyak
isomorpisme mimetik (mimetic isomorphism) instansi pemerintah lebih didominasi oleh
atau upaya meniru yang dilakukan pemerintah keinginan manajemen atau pimpinan untuk
Indonesia terhadap pemerintahan di negara mematuhi ketentuan pemerintah pusat serta
lain yang dinilai lebih maju penyelenggaraan kepentingan parlemen, bukan untuk akun-
pemerintahannya. Isomorpisme yang sifatnya tabilitas publik (Meyer 1979; Fennel 1980;
mimetik atau imitasi dapat memicu masalah, Akbar et al. 2012).
yakni kecenderungan untuk terjebak pada Sihaloho dan Halim (2005) menyarankan
pelaksanaan suatu mekanisme kerja yang agar sebelum instansi pemerintah menjalankan
sifatnya sebatas seremonial formal, bukan suatu sistem pengukuran kinerja, maka perlu
berorientasi pada substansi (Tolbert dan untuk memperhatikan beberapa faktor internal
Zucker 1983; Gudono 2014). organisasi supaya menghindari informasi hasil
Sihaloho dan Halim (2005) menge- pengukuran kinerja menjadi informasi yang
mukakan bahwa sebagian besar instansi tidak termanfaatkan atau agar pelaksanaan
pemerintah secara konsisten mengikuti sistem sistem pengukuran kinerja tersebut tidak
pengukuran kinerja yang dirumuskan oleh dilakukan hanya sebatas pemenuhan tuntutan
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan tertib administratif saja. Berangkat dari saran
(BPKP) dan Lembaga Administrasi Negara tersebut, maka penelitian ini menguji secara
(LAN). Namun, dalam sistem pengukuran empiris faktor-faktor internal yang berhubungan
kinerja yang dianut tersebut, efisiensi bukanlah dengan keberhasilan implementasi sistem
suatu ukuran kinerja yang harus dikembangkan. pengukuran kinerja dalam konteks pemerintah
Hal tersebut selanjutnya menjadikan instansi di Indonesia, khususnya di pemerintah daerah.
lebih cenderung untuk mengabaikan aspek Penelitian ini merupakan pengem-
efisiensi. Hal itu mengindikasikan bahwa bangan dari hasil penelitian Julnes dan Holzer
niat penggunaan sistem pengukuran kinerja (2001) dan Cavaluzzo dan Ittner (2004) yang
186 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

dilakukan di pemerintah negara-negara ba- adalah kesatuan (entity) sosial yang di-
gian di Amerika Serikat. Alasan mengapa koordinasikan secara sadar, dengan sebuah
penelitian ini perlu dilaksanakan di Indonesia batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang
adalah karena terdapat kemungkinan hasil bekerja atas dasar yang relatif terus menerus
penelitian yang dilakukan oleh Cavaluzzo dan untuk mencapai suatu tujuan bersama. Karena
Ittner (2004) dan Julnes dan Holzer (2001) di organisasi ditopang oleh sekelompok orang
Amerika akan memiliki hasil berbeda ketika atau individu yang berada di dalamnya, maka
dilakukan di Indonesia, atau yang biasa keberhasilan suatu organisasi akan bergantung
disebut kesenjangan empiris (empirical gap) pada kualitas atau kompetensi dari individu
riset. Perbedaan itu dimungkinkan karena yang berada di dalam organisasi tersebut.
karakteristik negara dan budaya kerja pegawai Hasil penelitian ini menemukan bahwa
pemerintah di Amerika dan Indonesia, seperti faktor–faktor yang berhubungan secara positif
aspek power distance dan aspek organisasional, dan signifikan terhadap implementasi sistem
yang juga berbeda. Misalnya, mengacu kepada pengukuran kinerja untuk pengembangan
penelitian Hofstede (2001), ditemukan bahwa sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas
perbedaan budaya seperti power distance kinerja, dan penggunaan informasi kinerja
yang dimiliki setiap negara akan berdampak adalah faktor organisasional yakni: pelatihan
pada pola perilaku berbeda dari warga negara dan respon organisasi yang terbuka terhadap
tersebut. Bukti ini dikuatkan oleh Lopez et perubahan. Sedangkan self efficacy yang
al. (2007) dalam penelitiannya yang menguji tinggi dan conscientiousness yang masuk
pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja dalam kategori faktor karakteristik individu
manajer level menengah orang Amerika dan hanya berhubungan, masing-masing, terhadap
Meksiko dengan informasi relevan terkait tugas pengembangan sistem pengukuran kinerja dan
sebagai variabel pemoderasi. Dalam penelitian penggunaan informasi kinerja.
tersebut, Lopez et al. (2007) menemukan Penelitian ini diharapkan akan mem-
bahwa untuk dapat mencapai kinerja yang berikan kontribusi dalam pengembangan
diharapkan melalui proses partisipasi ang- teori Isomorpisme Institusional, khususnya
garan, maka aspek komunikasi informasi terkait aspek-aspek yang penting diperhatikan
relevan terkait tugas kepada manajer orang agar tujuan diadakannya sistem pengukuran
Meksiko harus lebih ditekankan ketimbang kinerja pemerintah daerah benar-benar dapat
kepada manajer orang Amerika. Lopez et al. tercapai secara substansial dan normatif.
(2007) melanjutkan bahwa temuan tersebut Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan
bisa jadi disebabkan oleh psikologis distance dapat bermanfaat sebagai masukan dan bahan
orang Meksiko yang tinggi dibandingkan pertimbangan kebijakan bagi para praktisi di
orang Amerika yang rendah. pemerintahan daerah dalam memahami dan
Selain menguji faktor teknis dan orga- upaya meningkatkan kualitas pelaksanaan
nisasional, penelitian ini juga menguji faktor sistem pengukuran kinerja, serta sebagai
lain yang diduga memengaruhi implementasi bahan pertimbangan jika di masa mendatang
sistem pengukuran kinerja, yakni faktor terjadi perubahan pada sistem pengukuran
karakteristik individu; self efficacy yang kinerja instansi pemerintah di Indonesia.
tinggi, kepribadian conscientiousnes, opennes
to experience, dan kompetensi (McClelland TELAAH LITERATUR DAN
1973; McRae dan Costa 1986; Lee dan Bobko PENGEMBANGAN HIPOTESIS
1994; Robbins 1998; Meister 1998; McElroy
et al. 2007). Kemungkinan adanya peran Teori Institusional
karakteristik individu dalam implementasi Berkenaan dengan studi organisasi, salah
sistem pengukuran kinerja sesuai dengan satu teori yang banyak digunakan oleh banyak
pendapat Robbins (2010) bahwa organisasi peneliti sebagai konsep dasar penelitian adalah
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 187

teori institusional (institusional theory). Teori menyatakan bahwa akuntabilitas kinerja


institusional telah banyak digunakan untuk instansi pemerintah adalah perwujudan
menjelaskan fenomena serta memberikan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk
pandangan yang kompleks dan kaya dalam mempertanggungjawabkan keberhasilan atau
lingkungan organisasi sektor publik (Van kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam
Helden 2005; Gudono 2014). Menurut Dacin mencapai tujuan dan sasaran yang telah di-
et al. (2002) teori institusional merupakan tetapkan melalui pertanggungjawaban secara
penjelasan populer dan kuat untuk tindakan periodik (BPKP 2007).
individu dan organisasi. Teori institusional Terbitnya Inpres No. 7 Tahun 1999 juga
memaknai keberadaan organisasi dipengaruhi menjadi pintu gerbang reformasi birokrasi
oleh tekanan normatif yang kadang-ka- pasca orde baru. Bersamaan dengan itu, lahir
dang timbul dari sumber eksternal seperti pula Sistem Akuntabilitas dan Kinerja Instansi
lingkungan, namun bisa juga timbul dari dalam Pemerintah (SAKIP) sebagai salah satu
(internal) organisasi itu sendiri. konsekuensi dari diterapkannya otonomi daerah
Gagasan kunci di balik institusionalisasi di Indonesia. SAKIP sebagai manifestasi dari
adalah bahwa banyak tindakan organisasi Inpres No. 7 Tahun 1999 menuntut instansi
mencerminkan suatu pola dalam melakukan pemerintah mempertanggungjawabkan dan
hal-hal yang berkembang dari waktu ke waktu menjelaskan mengenai keberhasilan/kegagalan
dan disahkan dalam sebuah organisasi dan tingkat kerja yang dicapainya dengan me-
lingkungan (Pfeffer 1982). Oleh karena itu, laporkan dokumen yang disebut Laporan
adalah mungkin untuk memprediksi praktik Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah
dalam organisasi dari persepsi perilaku yang (LAKIP). Untuk pemerintah daerah tingkat
sah berasal dari nilai-nilai budaya, tradisi dalam provinsi dan kabupaten/kota, yang dimaksud
lingkungan industri, sejarah organisasi, tradisi instansi pemerintah adalah Satuan Kerja
manajemen yang populer, dan sejenisnya. Perangkat Daerah (SKPD). SKPD adalah
Hal-hal yang dilakukan dalam cara tertentu suatu unit kerja pemerintah yang diberikan hak
hanya karena telah menjadi satu-satunya dan tanggungjawab untuk mengelola sendiri
cara yang dapat diterima untuk dilakukan administrasi dan keuangannya.
(Zucker 1977). Kaitannya dengan pelaksanaan Kondisi yang terjadi saat ini meng-
sistem pengukuran kinerja di pemerintah gambarkan bahwa sistem pengukuran kinerja
daerah adalah bahwa menjadi mungkin dapat yang dilaksanakan di instansi pemerintah belum
ditemukan aspek-aspek yang mendukung dan terbangun secara baik. Dalam laporan yang
menghambat tercapainya tujuan organisasi, diunggah di situs Kementerian Pendayagunaan
dalam hal ini pencapaian kinerja, yang Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
distimulus dengan diberlakukannya sistem mengenai pelaporan akuntabilitas kinerja, dari
pengukuran kinerja. semua pemerintah daerah di Indonesia tahun
2010, hanya terdapat sembilan pemerintah
SAKIP di Indonesia provinsi dan lima kabupaten/kota yang dinilai
Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) B (baik). Pada tahun 2012, terjadi penurunan
Nomor 7 tahun 1999 tentang akuntabilitas pada kabupaten yang memeroleh predikat
kinerja instansi pemerintah dan keputusan B (baik), yakni hanya dua kabupaten saja,
Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor yaitu; Sukabumi dan Sleman (Menpan 2013).
589/IX/Y/1999 tentang pedoman penyusunan
Kondisi-kondisi yang dipaparkan di atas
Pelaporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah,
mengindikasikan terdapat masalah-masalah
yang telah diperbaiki dengan Keputusan LAN
pada implementasi sistem pengukuran kinerja
Nomor 239/IX/6/8/2003, maka pemerintah
di Indonesia.
(institusi di bawah naungan pemerintahan)
Permasalahan-permasalahan tersebut
wajib untuk melaksanakan sistem pengukuran
kemungkinan dikarenakan lahirnya Inpres
kinerja (SPK). Inpres No. 7 Tahun 1999
188 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

No. 7 Tahun 1999 sebagai peraturan yang serta untuk kesesuaian sosial dan ekonomi.
menuntut dijalankannya SAKIP adalah Konsep isomorpisme institusional merupakan
bentuk isomorpisme mimetik atau upaya alat yang berguna untuk memahami politik dan
meniru-niru pemerintah Indonesia terhadap tata cara yang meliputi kehidupan organisasi
pemerintahan di negara lain yang dinilai yang lebih modern, khususnya di lingkungan
lebih maju. Sebagaimana pernyataan March organisasi pemerintahan.
dan Olsen (1976), isomorpisme meniru- DiMaggio dan Powell (1983) meng-
niru akan dilakukan oleh suatu organisasi identifikasi tiga mekanisme untuk perubahan
ketika teknologi organisasi kurang dipa- atau upaya yang dilakukan organisasi untuk
hami. Isomorpisme yang sifatnya meniru- menyesuaikan diri dengan lingkungan (insti-
niru memiliki dampak kurang baik, yakni tutional isomorphic). Pertama, isomorpisme
cenderung untuk terjebak pada pelaksanaan koersif, merupakan hasil dari tekanan
suatu mekanisme kerja yang hanya sebatas formal maupun informal yang diberikan
seremonial formal, bukan berorientasi pada
pada organisasi dengan organisasi lainnya
substansi (Tolbert dan Zucker 1983; Gudono
dimana mereka saling bergantung dan di
2014) . Hal semacam itu memungkinkan dalamnya terdapat fungsi organisasi. Kedua,
berdampak pada pelaksanaan sistem peng- isomorpisme mimetik atau meniru-niru, terjadi
ukuran kinerja yang tidak bernilai tambah ketika teknologi organisasi kurang dipahami
dan tekanan yang ada hanya memunculkan
(March dan Olsen 1976), ketika tujuan yang
kepatuhan semu atau pelaksanaan ritual yang
ambigu, atau ketika terdapat ketidakpastian
bertujuan agar organisasi dilihat patuh oleh
lingkungan yang simbolik (Wijaya dan Akbar
lingkungan di luarnya (Gudono 2014).
2013), maka organisasi akan cenderung
menjadikan diri mereka sebagai model yang
Isomorpisme Institusional dan Pelaksanaan
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi sama seperti organisasi lain dan mendorong
Pemerintah (SAKIP) di Indonesia organisasi untuk melakukan imitasi. Ketiga
DiMaggio dan Powell (1983) berpendapat adalah isomorpisme normatif yang berkaitan
bahwa dari waktu ke waktu, ketika mencapai dengan profesionalisme (Larson 1977; Collins
taraf yang mapan, organisasi cenderung untuk 1979; DiMaggio 1983).
bergerak ke arah keseragaman, meskipun Implementasi sistem pengukuran kinerja
mungkin menunjukkan keseragaman yang sebagaimana yang diatur di Inpres No. 7 Tahun
hanya berada pada tataran awal. Istilah terbaik 1999, dilihat dari segi teoritis, adalah bentuk
untuk menggambarkan proses “keseragaman” isomorpisme mimetik atau upaya meniru-niru
adalah “isomorpisme”. Hawley (1983) menge- pemerintah Indonesia terhadap pemerintahan
mukakan isomorpisme adalah proses yang di negara lain yang dinilai lebih maju. Menurut
memaksa satu unit dalam populasi menyerupai Tolbert dan Zucker (1983) reformasi pelayanan
unit lain dalam menghadapi pengaturan yang sipil diadopsi karena menjadi simbolis dari
sama dari suatu kondisi lingkungan tertentu. pemerintahan yang baik bukan karena tujuan
Menurut Meyer (1979) dan Fennell (1980), ada efisiensi. Oleh karenanya, peniruan yang
dua jenis isomorpisme: pertama, isomorpisme dilakukan dapat mengarahkan organisasi
kompetitif (competitive isomorphism), yakni: kepada pelaksanaan suatu mekanisme kerja
asumsi rasionalitas sistem yang menekankan yang hanya sebatas seremonial formal, bukan
persaingan pasar, perubahan yang bagus, berorientasi pada substansi (March dan Olsen
dan pengukuran kesesuaian; dan yang kedua 1976, DiMaggio dan Powell 1983; Tolbert dan
isomorpisme institusional (institutional iso- Zucker 1983; Gudono 2014).
morphism); organisasi bersaing tidak hanya Selain itu, Sihaloho dan Halim (2005)
menilai bahwa niat penggunaan sistem
untuk sumber daya dan pelanggan, tetapi untuk
pengukuran kinerja di sebagian besar instansi
kekuasaan legitimasi politik dan institusional,
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 189

pemerintah lebih didominasi oleh tekanan luar akan dilaporkan dalam bentuk Laporan
(lihat juga, Tolbert dan Zucker 1983; Gudono Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
2014). Dalam beberapa kondisi, tekanan- (LAKIP) yang dilakukan secara berjenjang
tekanan (coercion) yang ada mengarahkan serta berkala dan disampaikan kepada atasan.
organisasi pada unsur yang dilegitimasi, seperti Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
prosedur standar operasi untuk mencapai adalah perwujudan kewajiban suatu instansi
profesionalisme, serta memiliki pengaruh pemerintah untuk mempertanggungjawabkan
untuk mengarahkan perhatian pada kinerja keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi
(Zucker 1987). Namun, isomorpisme koersif organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran
juga berpotensi memunculkan kepatuhan yang telah ditetapkan melalui pertanggung-
semu atau pelaksanaan ritual yang bertujuan jawaban secara periodik (BPKP 2007). Selain
agar organisasi dilihat patuh oleh lingkungan mengamanatkan pengembangan sistem peng-
di luarnya (Gudono 2014). Oleh karenanya, ukuran kinerja dan pelaporan akuntabilitas
agar permasalahan-permasalahan yang ada kinerja, Inpres No. 7 Tahun 1999 juga
dapat dimitigasi, maka perlu untuk melakukan mengamanatkan kepada instansi pemerintah
penelitian yang berkaitan dengan faktor agar hasil dari laporan kinerja dapat digunakan
pendorong berhasilnya suatu pelaksanaan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan
sistem pengukuran kinerja di instansi perbaikan atau merevisi program kerja untuk
pemerintahan. tahun anggaran berikutnya.
Cavaluzzo dan Ittner (2004) meng- Dalam pelaksanaan sistem pengukuran
emukakan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja, teknologi informasi adalah salah satu
keberhasilan implementasi sistem pengukuran penopang dan alat bantu pelaksanaan. Kravchuk
kinerja terbagi menjadi dua kategori, yaitu dan Schack (1996) mengatakan bahwa instansi
faktor teknis, meliputi: kesulitan menentukan pemerintah sering menghadapi masalah atau
ukuran kinerja dan keterbatasan sistem hambatan, seperti perbedaan definisi data,
informasi; dan faktor organisasional, meliputi: teknologi, kemudahan untuk mengakses, dan
komitmen manajemen, otoritas pembuatan jumlah data yang diperoleh dimana data-data
keputusan, dan pelatihan. Julnes dan Holzer tersebut digunakan untuk membuat LAKIP dan
(2001) juga mengemukakan bahwa faktor mengevaluasi capaian kinerja instansi. Selain
organisasional berupa respon organisasi yang itu, Gates (1999) menemukan bahwa hambatan
terbuka terhadap perubahan serta keberadaan utama yang kerap terjadi dalam implementasi
insentif bagi pegawai untuk menerapkan sistem pengukuran kinerja strategis adalah
suatu sistem baru juga berdampak positif dan pengabaian terhadap pengukuran aktivitas
menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. yang sulit, mengukur hal yang benar dengan
salah, dan mengukur hal yang salah dengan
Pengembangan Hipotesis benar. Hal semacam inilah yang sering kali
mengganggu keberhasilan pelaksanaan sistem
Faktor Teknis pengukuran kinerja.
Keterbatasan Sistem Informasi dan Kesulitan Upaya yang mungkin ditempuh suatu
Menentukan Ukuran Kinerja instansi pemerintah ketika menghadapi
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi keterbatasan sistem informasi dan kesulitan
Pemerintah (SAKIP) yang diatur dalam Inpres dalam menentukan ukuran kinerja adalah
No. 7 Tahun 1999, dalam implementasinya, dengan cara meniru institusi lain yang juga
mengamanatkan agar instansi pemerintah mendapat tuntutan yang sama. Peniruan ini
daerah melakukan pengembangan sistem disebut isomorpisme mimetik (March dan Olsen
pengukuran kinerja, yakni pembuatan 1976; DiMaggio dan Powell 1983; Mizruchi
program kerja berbasis capaian indikator dan Fein 1999; Gudono 2014). Namun,
kinerja yang diharapkan akan dicapai. instansi pemerintah daerah di Indonesia bisa
Selanjutnya, program yang telah dilaksanakan
190 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

saja tidak menghadapi keterbatasan sistem dari perjuangan kolektif anggota organisasi
informasi yang dikarenakan masih banyaknya untuk menentukan kondisi dan metode kerja
kemungkinan instansi pemerintah daerah yang mereka untuk tujuan yang mengarah kepada
menjalankan sistem pengukuran kinerja secara profesionalisme (Larson 1977, Collins
manual. Selain itu, kesulitan menentukan 1979, dan DiMaggio 1983). Manajemen
ukuran kinerja yang dialami pegawai yang memiliki perasaan bertanggungjawab
pemerintah yang terjadi di Amerika bisa jadi yang kuat terhadap organisasi diduga akan
tidak dialami pegawai instansi pemerintah menerapkan sistem pengukuran kinerja secara
daerah di Indonesia. Hal ini dikarenakan baik dan melakukan pengembangan sistem
kesulitan itu diabaikan dan penentuan pengukuran kinerja secara baik pula. Kondisi
ukuran kinerja tetap dilakukan meski dengan ini kemudian memicu lahirnya fenomena yang
pelaksanaan seadanya, hanya menjalankan disebut isomorpisme normatif. Berdasarkan
aspek formal peraturan saja (Gates 1999; uraian tersebut, maka hipotesis yang di-
Cavaluzzon dan Ittner 2004; Akbar et al. 2012). rumuskan adalah sebagai berikut:
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis H3a: Komitmen manajemen berhubungan
yang dirumuskan adalah sebagai berikut: positif dengan pengembangan sistem
H1a: Keterbatasan sistem informasi pengukuran kinerja.
berhubungan negatif dengan H3b: Komitmen manajemen berhubungan
pengembangan sistem pengukuran positif dengan akuntabilitas kinerja.
kinerja. H3c: Komitmen manajemen berhubungan
H1b: Keterbatasan sistem informasi ber- positif dengan penggunaan informasi
hubungan negatif dengan akuntabilitas kinerja.
kinerja.
H1c: Keterbatasan sistem informasi ber- Otoritas Pembuatan Keputusan
hubungan negatif dengan penggunaan Anderson dan Young (1999) menyatakan
informasi kinerja. bahwa manajer yang memiliki otoritas
H2a: Kesulitan menentukan ukuran ki- dalam membuat keputusan percaya bahwa
nerja berhubungan negatif dengan inovasi dapat mendukung aktivitas-aktivitas
pengembangan sistem pengukuran pembuatan keputusannya, sehingga lebih
kinerja. menyukai untuk mengimplementasikan dan
H2b: Kesulitan menentukan ukuran ki- menggunakan ukuran-ukuran kinerja. Otoritas
nerja berhubungan negatif dengan pembuatan keputusan yang diberikan kepada
akuntabilitas kinerja. pimpinan organisasi akan membuka ruang
H2c: Kesulitan menentukan ukuran ki- kepada para pimpinan untuk memiliki
nerja berhubungan negatif dengan wewenang dalam menentukan kondisi, metode
penggunaan informasi kinerja. kerja organisasi dan untuk mengembangkan
kognitif serta melegitimasi otonomi pekerjaan
Faktor Organisasional mereka kepada tujuan yang mengarah kepada
Komitmen Manajemen profesionalisme (Larson 1977; Collins
Bansal et al. (2004) mendefinisikan 1979; dan DiMaggio 1983). Kondisi ini
komitmen sebagai kekuatan yang mengikat yang kemudian memicu lahirnya fenomena
seseorang pada suatu tindakan yang memiliki isomorpisme normatif. Namun, kondisi ini
relevansi dengan satu atau lebih sasaran. akan berbeda dengan instansi pemerintah
Komitmen manajemen merupakan hal yang daerah di Indonesia dimana permintaan
paling penting dalam proses mendesain, otoritas yang lebih besar bagi para kepala
mengimplementasikan, dan menggunakan instansi bisa saja menghadapi hambatan yang
sistem pengukuran kinerja. Sejalan dengan potensial dalam meningkatkan akuntabilitas
pandangan isomorpisme institusional, komit- organisasi pemerintah. Hambatan tersebut
men manajemen secara normatif adalah bentuk
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 191

terjadi karena pelaksanaan kerja dan otoritas Respon Organisasi yang Terbuka terhadap
pegawai telah diatur secara hukum, birokrasi, Perubahan
dan pemisahan wewenang antara unit- Menurut Marshall (1996), dalam
unit organisasi pemerintah. Sehingga, hal rangka mencapai tujuannya, maka sebuah
ini dapat memunculkan batasan otoritas organisasi memerlukan perubahan budaya
dalam pengambilan keputusan oleh manajer dari yang tradisional menuju budaya modern.
dan selanjutnya menghambat pelaksanaan Di Indonesia, perubahan budaya organisasi
sistem pengukuran kinerja (Cavaluzzo dan mulai terjadi secara besar-besaran pasca era
Ittner 2004). Kondisi ini juga mungkin reformasi dan salah satunya melahirkan Inpres
dapat menghambat lahirnya fenomena No. 7 Tahun 1999. Namun, sikap organisasi
isomorpisme normatif dan justru mengarah dalam menjalankan Inpres No. 7 Tahun
kepada isomorpisme mimetik atau koersif. 1999 bisa saja didorong oleh tekanan dari
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis pemerintah pusat maupun dari sumber lainnya,
yang dirumuskan adalah sebagai berikut: atau dari kacamata isomorpisme institusional
H4a: Otoritas pembuatan keputusan disebabkan oleh fenomena isomorpisme
berhubungan positif dengan peng- koersif. Namun, alasan untuk menjalankan
embangan sistem pengukuran Inpres No.7 Tahun 1999 bisa juga didorong
kinerja. oleh peniruan lembaga lain yang juga
H4b: Otoritas pembuatan keputusan mendapat mandat yang sama agar dilihat patuh
berhubungan positif dengan akun- oleh lingkungan di luarnya (March dan Olsen
tabilitas kinerja. 1976; DiMaggio dan Powell 1983; Gudono
H4c: Otoritas pembuatan keputusan 2014).
berhubungan positif dengan peng- Amanat Inpres No. 7 Tahun 1999 hanya
gunaan informasi kinerja. akan berjalan dengan berhasil jika organisasi
pemerintah selaku pengemban amanat
Pelatihan menerima perubahan budaya organisasi
Nurkhamid (2008) menyampaikan bah- tersebut secara terbuka. Julnes dan Holzer
wa pelatihan dapat menjadi sarana bagi para (2001) menemukan bahwa perilaku (attitude)
pegawai untuk memahami, menerima, dan anggota organisasi dalam merespon perubahan
merasakan secara nyaman inovasi yang hadir, berpengaruh positif terhadap implementasi
serta mengurangi tekanan atau kebingungan sistem pengukuran kinerja. Berdasarkan uraian
para pegawai atas tuntutan proses implementasi di atas, maka hipotesis yang dirumuskan
suatu inovasi yang hadir. Dari kacamata adalah sebagai berikut:
teori isomorpisme institusional, pelatihan H6a: Respon organisasi yang terbuka
yang bersandar kepada pendidikan formal terhadap perubahan berhubungan
dapat menjadi faktor pendorong lahirnya positif dengan pengembangan sistem
isomorpisme normatif di suatu lembaga, dalam pengukuran kinerja.
hal ini pemerintahan (Larson 1977; Collins H6b: Respon organisasi yang terbuka
1979; DiMaggio 1983 dan Gudono 2014). terhadap perubahan berhubungan
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis positif dengan akuntabilitas kinerja.
yang dirumuskan adalah sebagai berikut: H6c: Respon organisasi yang terbuka
H5a: Pelatihan berhubungan positif dengan terhadap perubahan berhubungan
pengembangan sistem pengukuran positif dengan penggunaan informasi
kinerja.
kinerja.
H5b: Pelatihan berhubungan positif
Insentif
dengan akuntabilitas kinerja.
Julnes dan Holzer (2001) mengemukakan
H5c: Pelatihan berhubungan positif dengan
bahwa respon organisasi terhadap suatu
penggunaan informasi kinerja.
perubahan juga berkaitan dengan adanya
192 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

insentif. Simons (2000) mengemukakan 1977; Collins 1979). Berdasarkan uraian


bahwa salah satu cara untuk mendorong orang tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan
agar bekerja sesuai dengan tujuan organisasi adalah sebagai berikut:
adalah melalui insentif formal berupa H8a: Self-efficacy yang tinggi dari pegawai
reward atau pembayaran yang diharapkan pemerintah daerah berhubungan
untuk memotivasi kinerja. Oleh karenanya, positif dengan pengembangan sistem
insentif merupakan elemen penting yang pengukuran kinerja.
sangat berperan dalam desain kebanyakan H8b: Self-efficacy yang tinggi dari pegawai
sistem pengukuran kinerja. Adanya insentif pemerintah daerah berhubungan
diharapkan akan mengarahkan para pegawai positif dengan akuntabilitas kinerja.
kepada profesionalisme kerja yang semakin H8c: Self-efficacy yang tinggi dari pegawai
meningkat, khususnya dalam kaitannya pemerintah daerah berhubungan
dengan pelaksanaan sistem pengukuran positif dengan penggunaan informasi
kinerja. Ujung dari kebijakan insentif adalah kinerja.
agar implementasi sistem pengukuran kinerja
tidak hanya karena tuntutan, atau koersif, Kepribadian Conscientiousness
tetapi dapat meningkatkan profesionalitas dan Conscientiousness (di referensi lain
menyentuh level isomorpisme normatif (March disebut dengan “intellect”) adalah karakter
dan Olsen 1976; Larson 1977; Collins 1979). individu yang memiliki kemampuan
Namun, di Indonesia insentif bisa saja tidak menghindari masalah dan mencapai level
berhubungan terhadap pelaksanaan sistem kesuksesan yang tinggi melalui perencanaan
pengukuran kinerja di instansi pemerintah yang penuh tujuan dan ketekunan (McRae
daerah, karena tidak semua instansi pemerintah dan Costa 1986). Selain itu, individu
daerah memberlakukan sistem reward dalam conscientiousness juga identik dengan karakter
pelaksanaan sistem pengukuran kinerja. yang memiliki rasionalitas, kedisiplinan,
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis kehati-hatian, suka menganalisis, dapat
yang dirumuskan adalah sebagai berikut: menentukan tindakan, mengadopsi opini,
H7a: Insentif berhubungan positif dengan dan cenderung menggunakan informasi yang
pengembangan sistem pengukuran tersedia untuk membuat kesimpulan atau
kinerja. sebagai dasar pengambilan keputusan yang
H7b: Insentif berhubungan positif dengan dimiliki (McRae dan Costa 1986; Korzaan dan
akuntabilitas kinerja. Boswell 2008). Karakter-karakter individu
H7c: Insentif berhubungan positif dengan conscientiousness memiliki potensi untuk
penggunaan informasi kinerja. mengarahkan tindakan individu tersebut
kepada pola perilaku normatif terhadap
Faktor Karakteristik Individu implementasi sistem pengukuran kinerja.
Self Efficacy
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis
Individu yang memiliki self efficacy tinggi
yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
akan mencurahkan semua perhatiannya untuk
H9a: Kepribadian conscientiousness
mencapai tujuan tertentu dari suatu tugas (Lee
berhubungan posit if de nga n
dan Bobko, 1994). Dengan demikian, individu
pengembangan sistem pengukuran
yang memiliki self efficacy tinggi berpotensi
kinerja.
menjalankan sistem pengukuran kinerja
H9b: Kepribadian conscientiousness
sebagai suatu amanat yang harus dilakukan
berhubungan positif dengan akun-
sebaik mungkin dan seperti yang seharusnya
tabilitas kinerja.
demi mempertahankan profesionalismenya.
H9c: Kepribadian conscientiousness
Hal ini sejalan dengan pandangan isomorpisme
berhubungan positif dengan peng-
institusional bahwa isomorpisme normatif
gunaan informasi kinerja.
terkait dengan profesionalisme (Larson
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 193

Kepribadian Opennes to Experience Dalam konteks penelitian ini, individu


McElroy et al. (2007) menyatakan bahwa yang memiliki latar belakang pendidikan
orang dengan tipikal opennes to experience di sektor publik, khususnya pemerintahan,
memiliki keingintahuan dan kesediaan untuk ataupun pendidikan yang sesuai dengan tugas
mengeksplorasi suatu ide baru. Individu dan jabatan yang diemban, dinilai lebih mampu
yang terbuka (openness) cenderung untuk menjalankan konsep sistem pengukuran kinerja
menemukan ide-ide baru dan mendapatkan dengan baik daripada individu sebaliknya.
nilai-nilai luar biasa. Sifat imajinatif, kreatif, Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis
dan memiliki keinginan intelektual tinggi yang yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
dimiliki individu dengan tipikal opennes to H11a: Kesesuaian tugas dengan kompetensi
be r hubungan posit if de n g a n
experience (McRae dan Costa 1986; Korzaan
pengembangan sistem pengukuran
dan Boswell 2008) akan mungkin untuk
kinerja.
mengarahkan tindakan individu tersebut
H11b: Kesesuaian tugas dengan kompetensi
kepada keinginan melaksanakan sistem
berhubungan positif dengan akun-
pengukuran kinerja secara baik dan profesional, tabilitas kinerja.
tidak hanya sebatas tuntutan administratif saja. H11c: Kesesuaian tugas dengan kompetensi
Profesionalisme adalah indikasi dari adanya berhubungan positif dengan peng-
isomorpisme normatif (Larson 1977; Collins gunaan informasi kinerja.
1979; DiMaggio 1983). Berdasarkan uraian di
atas, maka hipotesis yang dirumuskan adalah Pengembangan Kinerja, Akuntabilitas Ki-
sebagai berikut: nerja, dan Penggunaan Informasi Kinerja
H10a: Kepribadian opennes to experience Berbagai literatur mengenai peng-
b e r h u b u n gan p ositif de ngan ukuran kinerja menyebutkan bahwa keter-
pengembangan sistem pengukuran sediaan laporan informasi kinerja akan
kinerja. dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja
H10b: Kepribadian opennes to experience dan penggunaan informasi kinerja untuk
berhubungan positif dengan akun- mendukung pembuatan keputusan di
tabilitas kinerja. suatu organisasi (Artley 2001; The Urban
H10c: Kepribadian opennes to experience Institute 2002). Sedangkan Kloot (1999)
berhubungan positif dengan dan menyampaikan bahwa salah satu faktor
penggunaan informasi kinerja. yang memengaruhi peningkatan penggunaan
informasi kinerja adalah tersedianya informasi
Kesesuaian Tugas dengan Kompetensi kinerja yang dihasilkan dari implementasi
Pendidikan sistem pengukuran kinerja suatu organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis
Meister (1998) mengemukakan bahwa
yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
kompetensi merupakan pengetahuan, kete-
H12a: Pengembangan sistem pengukuran
rampilan, tindakan atau perilaku, dan pola
kinerja berhubungan positif secara
pikir yang secara reliabel membedakan antara langsung dengan akuntabilitas ki-
seseorang dengan orang lain, khususnya nerja.
dalam hal pencapaian kinerja. Oleh karenanya, H12b: Pengembangan sistem pengukuran
keberhasilan suatu penugasan akan dipengaruhi kinerja berhubungan positif secara
oleh pengetahuan atau kompetensi pendidikan langsung dengan penggunaan infor-
dari seseorang yang melaksanakan tugas masi kinerja.
tersebut. Kompetensi yang diperoleh dari H12c: Pengembangan sistem pengukuran
pendidikan formal merupakan salah satu dari kinerja berhubungan positif secara
sumber penting isomorpisme normatif (Larson tidak langsung dengan penggunaan
1977; Collins 1979; DiMaggio 1983; Gudono informasi kinerja melalui akun-
2014). tabilitas kinerja.
194 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

METODE PENELITIAN SEM berbasis kovarian (misalnya AMOS


dan LISREL), PLS menempatkan tuntutan
Desain Penelitian yang minimal pada skala pengukuran, ukuran
Penelitian ini menggunakan pendekatan sampel, distribusi variabel, dan distribusi
penelitian penjelasan (explanatory research) residual (Chin et al. 2003; Hartono dan
yang berguna untuk menganalisis bagaimana Abdillah 2009; Solihin dan Ratmono 2013).
suatu variabel memengaruhi variabel yang
lain melalui pengujian hipotesis (Cooper Definisi Operasional dan Instrumen
dan Schindler 2006). Dimensi waktu dalam Pengukuran Variabel
penelitian ini menggunakan pendekatan cross Penelitian ini menginduksi penelitian
sectional, yaitu penelitian dengan melibatkan terdahulu dari Julnes dan Holzer (2001) dan
satu waktu tertentu dengan banyak sampel Cavaluzzo dan Ittner (2004). Oleh karenanya,
untuk menguji hubungan antara variabel– instrumen penelitian sebagian besar mengutip
variabel independen dengan variabel dependen. dari penelitian terdahulu tersebut. Sedangkan
untuk variabel tambahan yang masuk dalam
Populasi dan Sampel faktor karakteristik individu diambil dari
Penelitian dilakukan di Pemerintah beberapa literatur riset psikologi. Definisi
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, operasional dan instrumen pengukuran
Pemerintah Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, variabel dapat disimak pada Tabel 1.
Kulon Progo, Sleman, dan Kota Yogyakarta.
Objek penelitian adalah Instansi Pemerintah Model Penelitian
Daerah yakni dinas, badan, dan kantor. Model penelitian ini dapat dilihat pada
Metoda pemilihan sampel adalah purposive Gambar 1.
sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan
kriteria tertentu, yakni: pejabat minimal eselon Tahapan dan Teknik Analisis Data
empat di masing–masing SKPD dengan Berikut langkah–langkah pengujian hipo-
harapan para pejabat dinas/badan/kantor yang tesis dengan menggunakan PLS:
menjadi responden telah terlibat dalam proses 1. Merancang Model Struktural (Inner
penyusunan perencanaan strategis dan laporan Model), digunakan untuk memprediksi
kinerja sehingga responden yang dipilih hubungan kausalitas antar konstruk
diyakini telah memahami kondisi di dalam (variabel laten).
dinas, kantor atau badan yang ditempatinya 2. Evaluasi Model Struktural (Inner Model),
(Sihaholo dan Halim 2005; Nurkhamid 2008). untuk menilai seberapa baik model yang
diajukan untuk memprediksi konstruk
Teknik Pengumpulan Data yang diukur. Evaluasi dilakukan dengan
Data yang akan dikumpulkan dalam melihat skor R Square (R2) yang dihasilkan
penelitian ini adalah data primer melalui dari Tabel Iterasi Algoritma PLS.
penyebaran angket kuesioner dan observasi 3. Merancang Model Pengukuran (Outer
terkait pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Model) dan Konstruksi Diagram Jalur.
Kinerja Instansi Pemerintah di beberapa 4. Evaluasi Model Pengukuran (Outer
SKPD. Model). Parameter untuk menilai model
pengukuran adalah validitas konvergen,
Alat Analisis validitas diskriminan, dan uji reliabilitas
Penelitian ini akan menggunakan alat yang diperoleh melalui proses interasi
analisis Partial Least Square (PLS), yakni algoritma.
teknik Structural Equation Modeling (SEM) 5. Pengujian Hipotesis, dilakukan dengan
berbasis varian yang secara simultan dapat membandingkan nilai T-table dengan nilai
melakukan pengujian model pengukuran T-statistik yang dihasilkan dari proses
sekaligus pengujian model struktural (Hartono bootstrap.
dan Abdillah 2009). Sebagai lawan dari metode
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 195

Tabel 1
Definisi Operasional dan Instrumen Pengukuran Variabel

Instrumen
Simbol Nama Variabel Definisi Operasional
Pengukuran

Keterbatasan kemampuan sistem informasi yang dimiliki


Keterbatasan Cavaluzzo dan
x1 suatu organisasi untuk memberikan data yang diperlukan
Sistem Informasi Ittner (2004)
secara valid, reliabel, dan tepat waktu.
Kesulitan
Permasalahan pendefinisian dan penginterpretasian ukuran Cavaluzzo dan
x2 Menentukan
kinerja yang dihadapi oleh organisasi. Ittner (2004)
Ukuran Kinerja

Komitmen Komitmen manajemen untuk menyediakan sumber daya Cavaluzzo dan


x3
Manajemen dalam implementasi sistem pengukuran kinerja organisasi Ittner (2004)

Otoritas pembuatan keputusan berdasarkan informasi kinerja


Otoritas Pembuatan Cavaluzzo dan
x4 yang dideligasikan oleh organisasi kepada personilnya untuk
Keputusan Ittner (2004)
mendukung pencapaian tujuan strategis organisasi.

Pelatihan yang sudah diberikan oleh organisasi kepada


Cavaluzzo dan
x5 Pelatihan personil organisasi yang terkait dengan implementasi sistem
Ittner (2004)
pengukuran kinerja.
Respon terhadap Julnes dan
x6 Sikap pimpinan beserta stafnya terhadap perubahan (inovasi).
Perubahan Holzer (2001)
Kebijakan kompensasi yang dilakukan organisasi dalam Julnes dan
x7 Insentif
menanggapi inovasi sebagai kegiatan yang berisiko. Holzer (2001)
Keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam
x8 Self Efficacy melaksanakan tugas dan mencapai target kinerja yang telah Bandura (1997)
ditetapkan.
Korzaan dan
Karakter individu yang rasional, suka menganalisis, dapat Boswell (2008)
menentukan tindakan, dan mengadopsi opini, serta cenderung berdasarkan
x9 Conscientiousness
menggunakan informasi yang tersedia untuk membuat International
kesimpulan atau sebagai dasar pengambilan keputusan. Personality Item
Pool (IPIP)
Korzaan dan
Karakter individu seperti rasa keingintahuan intelektual, Boswell (2008)
Opennes to mudah menerima dan memiliki banyak toleransi terhadap hal- berdasarkan
x10
Experience hal atau ide baru, keinginan dan kemauan untuk mengalami International
hal baru atau merumuskan ide baru. Personality Item
Pool (IPIP)
Kesesuaian Tugas Menggambarkan kesesuaian tugas dan jabatan individu
x11 Pembobotan
dengan Kompetensi dengan kompetensi akademik individu tersebut.
Upaya organisasi melakukan pengembangan sistem
Pengembangan
pengukuran kinerja yang dicerminkan dengan penentuan Cavaluzzo dan
y1 Sistem Pengukuran
dan penetapan berbagai tipe ukuran kinerja yang berorientasi Ittner (2004)
Kinerja
hasil untuk berbagai kebijakan/program/kegiatan.

Akuntabilitas Perasaan bertanggungjawab untuk mencapai target capaian Cavaluzzo dan


y2
Kinerja dari suatu program/kegiatan/kebijakan. Ittner (2004)
Penggunaan Berbagai jenis penggunaan informasi kinerja untuk Cavaluzzo dan
y3
Informasi Kinerja mendukung pengambilan keputusan dalam suatu organisasi. Ittner (2004)
196 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

Gambar 1
Model Penelitian

HASIL PENELITIAN Bias Tidak Merespon


DAN PEMBAHASAN Pengumpulan data dari kuesioner yang
telah disebarkan memerlukan waktu sekitar
Gambaran Umum Responden dua minggu. Sehingga, untuk memastikan
Rincian profil responden, response rate, tidak ada jawaban yang bias, maka 60 respon
dan usable response rate berdasarkan hasil akhir (minggu kedua) dibandingkan dengan
penyebaran angket kuesioner dapat dilihat tanggapan sebelumnya yaitu sebesar 59 respon
pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2
Profil Responden
Karakteristik Jumlah Orang Persentase
Tingkat Pendidikan
Diploma 2 2,06%
S1 49 50,52%
S2 44 45,36%
S3 2 2,06%
Jumlah 97 100,00%
Lama Menjabat
1-5 Tahun 81 83,51%
5,1-10 Tahun 12 12,37%
>10 Tahun 4 4,12%
Jumlah 97 100,00%
Gender
Laki-laki 45 46,39%
Perempuan 52 53,61%
Jumlah 97 100,00%
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 197

Tabel 3
Response Rate dan Usable Response Rate

% Dari
Tidak Tidak Sesuai
Keterangan Disebar Diterima Dianalisis Jumlah
Lengkap Kriteria Sampel
Disebar
DIY 24 22 6 2 14 58,33%
Yogyakarta 21 19 3 1 15 71,43%
Sleman 24 21 7 3 11 45,83%
Bantul 29 27 2 2 23 79,31%
Gunung Kidul 23 23 5 4 14 60,87%
Kulon Progo 21 21 1 0 20 95,24%
Jumlah 142 133 24 12 97 68,31%

awal (minggu pertama) menggunakan Mann- berkisar antara 0,33 sampai 0,66 atau berada
Whitney Test (Field 2009). Dari hasil Mann- pada level moderate (Chin 1998).
Whitney Test diperoleh simpulan bahwa semua
variabel yang digunakan antara tanggapan Evaluasi Model Pengukuran
awal dan akhir tidak berbeda signifikan secara Dari Tabel 4, dapat disimak bahwa
statistik. Hal itu ditunjukkan oleh nilai Asymp. validitas konvergen semua konstruk variabel
Sig. (2-tailed) setiap variabel yang bernilai terpenuhi karena nilai AVE dan communality
lebih besar daripada 0,05. lebih dari 0,5. Hal ini berarti probabilitas
Selain itu, untuk memastikan tidak ada indikator disuatu konstruk masuk ke variabel
perbedaan jawaban dari responden antar yang dimaksud lebih besar (lebih dari 0,5)
daripada probabilitas indikator tersebut masuk
wilayah pemerintah daerah, dilakukan Kruskal
ke variabel lain. Meskipun idealnya skor AVE
Wallis Test, yakni uji nonparametrik yang
> 0,5, namun skor > 0,4 masih diberi toleransi
digunakan untuk membandingkan tiga atau
(Lai dan Fan 2008; Vinzi et al. 2010). Untuk uji
lebih kelompok data sampel secara bersamaan
validitas diskriminan, parameter yang diukur
(Supangat 2007). Dari hasil Kruskal Wallis Test, adalah dengan melihat skor cross loading,
diperoleh simpulan bahwa tidak ada perbedaan dari hasil analisis PLS, nilai cross loading
jawaban dari responden antar enam wilayah masing-masing konstruk bernilai lebih dari
yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. 0,50. Dengan demikian, dapat disimpulkan
Hal itu dilihat dari tingkat signifikansi (nilai bahwa masing-masing indikator di masing-
Asym. Sig) dari masing-masing variabel yang masing konstruk pada model pengukuran telah
lebih besar daripada 0,05. memenuhi syarat validitas diskriminan karena
masing-masing indikator di suatu konstruk
Model Struktural berbeda dengan indikator di konstruk lain dan
Dalam model struktural, terdapat 14 mengumpul pada konstruk yang dimaksud
konstruk yang terdiri dari 11 konstruk eksogen dengan skor > 0,6.
(independen) dan 3 (tiga) konstruk endogen Untuk hasil uji reliabilitas ditunjukkan
(dependen). Model struktural disajikan pada oleh skor composite reliability dan cronbach
Gambar 2. alpha (lihat Tabel 4) juga mengindikasikan
Model struktural dievaluasi dengan bahwa semua konstruk memenuhi syarat yakni
menggunakan R2 (R-Square) untuk konstruk memiliki nilai > 0,6, kecuali variabel Komitmen
dependen. Dari Tabel 4 dapat dilihat nilai R2 Manajemen (KM) yang nilai skor cronbach
untuk konstruk AKT (Akuntabilitas), PIK alpha-nya rendah yakni 0,379981. Dengan
(Penggunaan Informasi Kinerja), dan PSPK demikian, konstruk-konstruk penelitian, sela-
(Pengembangan Sistem Pengukuran Kinerja) in konstruk KM (Komitmen Manajemen),
198 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

Gambar 2
Model Struktural

KSI

AKT

KMUK

KM

PLT
PSPK

RTP

INS

SE

PIK
CON

OTE KTDK

Tabel 4
Iterasi Algoritma PLS

Composite Cronbachs
AVE R Square Communality Redundancy
Reliability Alpha

AKT 0,47387 0,777464 0,473236 0,613566 0,47387 0,049116


CON 0,67316 0,89147 0,839625 0,67316
INS 0,939929 0,969034 0,936121 0,939929
KM 0,476278 0,718572 0,379981 0,476277
KMUK 0,619121 0,863864 0,817405 0,61912
KSI 0,573736 0,840076 0,746601 0,573736
KTDK 1 1 1 1
OPK 0,433994 0,750339 0,61004 0,433993
OTE 0,710309 0,907303 0,870019 0,710309
PIK 0,665424 0,908587 0,50844 0,874145 0,665424 0,040923
PLT 0,887801 0,969364 0,958103 0,887801
PSPK 0,645509 0,878533 0,286024 0,81845 0,645509 0,001498
RTP 0,527678 0,816825 0,704317 0,527678
SE 0,538317 0,821524 0,747657 0,538317
Catatan: nilai R Square: 0,67 = substantial, 0,33 = moderate, 0,19 = weak, Chin (1998, dikutip dari Henseler, 2009)
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 199

Tabel 5
Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis

Hipotesis Hubungan Arah Koefesien T-Value Hasil


H1a KMUK -> AKT - -0,05023 0,313778 Tidak Terdukung
H1b KMUK -> PIK - 0,07275 0,585061 Tidak Terdukung
H1c KMUK -> PSPK - -0,11454 0,550463 Tidak Terdukung
H2a KSI -> AKT - -0,0588 0,496625 Tidak Terdukung
H2b KSI -> PIK - -0,07373 0,591014 Tidak Terdukung
H2c KSI -> PSPK - -0,02931 0,209100 Tidak Terdukung
H4a OPK -> AKT + 0,137035 1,533224 Tidak Terdukung
H4b OPK -> PIK + 0,090816 0,967743 Tidak Terdukung
H4c OPK -> PSPK + 0,075759 0,541648 Tidak Terdukung
H5a PLT -> AKT + 0,19237 2,517794* Terdukung
H5b PLT -> PIK + 0,296631 3,985309* Terdukung
H5c PLT -> PSPK + -0,04121 0,42994 Tidak Terdukung
H6a RTP -> AKT + 0,197613 1,911794* Terdukung
H6b RTP -> PIK + 0,219365 2,260142* Terdukung
H6c RTP -> PSPK + 0,268738 2,450125* Terdukung
H7a INS -> AKT + 0,088489 1,00635 Tidak Terdukung
H7b INS -> PIK + -0,2366 2,108944 Tidak Terdukung
H7c INS -> PSPK + 0,168761 1,578009 Tidak Terdukung
H8a SE -> AKT + 0,083529 0,732224 Tidak Terdukung
H8b SE -> PIK + 0,145 1,297199 Tidak Terdukung
H8c SE -> PSPK + 0,209785 1,733182* Terdukung
H9a CON -> AKT + 0,15637 1,270705 Tidak Terdukung
H9b CON -> PIK + 0,175011 1,797711* Terdukung
H9c CON -> PSPK + 0,01212 0,08046 Tidak Terdukung
H10a OTE -> AKT + 0,06031 0,599775 Tidak Terdukung
H10b OTE -> PIK + 0,012862 0,117262 Tidak Terdukung
H10c OTE -> PSPK + 0,035696 0,328744 Tidak Terdukung
H11a KTDK -> AKT + 0,04521 0,581382 Tidak Terdukung
H11b KTDK -> PIK + -0,07485 0,959456 Tidak Terdukung
H11c KTDK -> PSPK + -0,01049 0,137729 Tidak Terdukung
H12a PSPK -> AKT + 0,239338 2,727981* Terdukung
H12b PSPK -> PIK + 0,267782 2,465997* Terdukung
0,481327 5,575069*
H12c PSPK->AKT -> PIK + Terdukung
0,479591 5,557762*
Catatan: *signifikan pada nilai T-Table 1,645 (one-tailed) dan P-value<0,05
merupakan konstruk yang valid karena telah Pengujian Hipotesis
memenuhi kriteria validitas konvergen dan Untuk menguji hipotesis, maka dilakukan
diskriminan serta dapat diandalkan (reliabel), pengujian model struktural dengan memakai
sehingga layak digunakan untuk pengujian fungsi bootstraping dalam PLS (lihat Tabel 5).
hipotesis. Hipotesis terdukung jika arah koefisien hasil
bootstraping PLS sama dengan arah hipotesis
200 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

yang dirumuskan dan memiliki nilai t-statistik Selanjutnya, self efficacy dan conscien-
lebih besar dari t-tabel (1,64). Dari Tabel 8 dapat tiousness secara empiris juga berhubungan
disimpulkan bahwa variabel yang berhubungan positif terhadap implementasi sistem peng-
signifikan terhadap pengembangan sistem ukuran kinerja. Hasil ini sejalan dengan
pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja, pendapat Lee dan Bobko (1994) dan Guadagno
dan penggunaan informasi kinerja terdiri et al. (2007) sebagaimana yang dipaparkan
dari respon organisasi yang terbuka terhadap dalam perumusan hipotesis. Tetapi, hubungan
perubahan dan pelatihan. Sedangkan self yang tercipta dari masing-masing variabel
efficacy dan conscientiousness masing-masing hanya dalam hal pengembangan sistem
berhubungan terhadap pengembangan sistem pengukuran kinerja dan penggunaan informasi
pengukuran kinerja dan penggunaan informasi kinerja. Temuan ini menguatkan pendapat
kinerja. Robbins (2010) yang mengatakan bahwa
Temuan dari hasil uji hipotesis meng- organisasi adalah entitas yang ditopang oleh
indikasikan pelatihan menjadi sarana yang anggota organisasi atau individu yang ada di
baik untuk meningkatkan kapasitas pegawai dalamnya. Argumen tersebut mengisyaratkan
agar dapat menjalankan tugasnya dengan bahwa kinerja organisasi yang baik berasal
baik dan profesional, khususnya terkait dari pegawai yang memiliki kinerja yang baik
implementasi SAKIP. Profesionalisme sendiri pula, dan salah satu pemicu pegawai pemda
merupakan sumber penting dari lahirnya memiliki kinerja yang baik adalah self efficacy
isomorpisme normatif. Hasil ini konsisten tinggi dan karakter conscientiousness yang
dengan penelitian yang dilakukan Cavaluzzo dimiliki pegawai pemda tersebut.
dan Ittner (2004). Pelatihan dapat menjadi Sebagaimana penjelasan Bandura
pemicu awal agar pelaksanaan SAKIP benar- (1986), self efficacy adalah kemampuan
benar berorientasi terhadap substansi, bukan individu menilai kapabilitas dirinya dalam
sebatas pemenuhan kewajiban administratif mengorganisir dan melaksanakan kegiatan-
pemda. Oleh karenanya, setiap pemda kegiatan yang mensyaratkan pencapaian
sebaiknya senantiasa mengupayakan adanya tingkat kinerja tertentu atau menghadapi situasi
pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan yang prospektif. Hal ini mengindikasikan
terkait sistem pengukuran kinerja guna terus bahwa self efficacy mempunyai pengaruh
mendorong keberhasilan implementasi sistem terhadap hubungan antara penetapan tujuan
pengukuran kinerja yang menyentuh pada dan kinerja individu (Robbins 1998). Individu
level normatif. yang memiliki self efficacy tinggi akan
Respon organisasi yang terbuka ter- mungkin menjalankan sistem pengukuran
hadap perubahan secara empirik juga kinerja sebagai suatu amanat yang harus
berhubungan positif terhadap implementasi dilakukan sebaik mungkin, ideal, dan dengan
sistem pengukuran kinerja, baik dalam hal pengorganisasian kerja yang baik demi
pengembangan sistem pengukuran kinerja, mempertahankan profesionalismenya. Selain
pelaporan akuntabilitas kinerja maupun itu, rasional, kedisiplinan, kehati-hatian,
penggunaan informasi kinerja. Hasil ini kesukaan menganalisis, dan sifat cenderung
mengindikasikan bahwa keterbukaan orga- menggunakan informasi yang tersedia
nisasi terhadap perubahan mekanisme kerja di untuk membuat kesimpulan atau sebagai
tubuh organisasi akan berdampak baik terhadap dasar pengambilan keputusan oleh individu
kinerja organisasi. Namun, keterbukaan conscientiousness (Korzaan dan Boswell
yang ada bisa jadi bersifat koersif mengingat 2008; McRae dan Costa 1986) memungkinkan
perubahan mekanisme kerja yang biasanya untuk mengarahkan tindakan individu
dituangkan dalam peraturan dan juga bisa jadi tersebut kepada pola perilaku normatif,
bersifat normatif karena adanya pemahaman dalam hal ini terhadap implementasi sistem
organisasi dan inisiasi untuk meningkatkan pengukuran kinerja, misalnya menggunakan
profesionalitas kerja. informasi kinerja untuk membuat keputusan,
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 201

Tabel 6
Ringkasan Perbandingan Hasil Penelitian
Cavaluzzo dan Ittner Julnes dan
Hipotesis Hubungan Hasil Keterangan
(2004) Holzer (2001)
H1a KMUK -> AKT Tidak Terdukung Tidak Berhubungan Konsisten
H1b KMUK -> PIK Tidak Terdukung Berhubungan Negatif Berbeda*
H1c KMUK -> PSPK Tidak Terdukung Berhubungan Negatif Berbeda*
H2a KSI -> AKT Tidak Terdukung Berhubungan Negatif Berbeda*
H2b KSI -> PIK Tidak Terdukung Berhubungan Positif Berbeda*
H2c KSI -> PSPK Tidak Terdukung Tidak Berhubungan Konsisten
H4a OPK -> AKT Tidak Terdukung Berhubungan Positif Berbeda*
H4b OPK -> PIK Tidak Terdukung Berhubungan Positif Berbeda*
H4c OPK -> PSPK Tidak Terdukung Berhubungan Positif Berbeda*
H5a PLT -> AKT Terdukung Berhubungan Positif Konsisten
H5b PLT -> PIK Terdukung Berhubungan Positif Konsisten
H5c PLT -> PSPK Tidak Terdukung Berhubungan Positif Berbeda*
H6a RTP -> AKT Terdukung Berhubungan positif Konsisten
H6b RTP -> PIK Terdukung Berhubungan positif Konsisten
H6c RTP -> PSPK Terdukung Berhubungan positif Konsisten
H7a INS -> AKT Tidak Terdukung Berhubungan positif Berbeda*
H7b INS -> PIK Tidak Terdukung Berhubungan positif Berbeda*
H7c INS -> PSPK Tidak Terdukung Berhubungan positif Berbeda*
H8a SE -> AKT Tidak Terdukung
H8b SE -> PIK Tidak Terdukung
H8c SE -> PSPK Terdukung
H9a CON -> AKT Tidak Terdukung
H9b CON -> PIK Terdukung
H9c CON -> PSPK Tidak Terdukung
H10a OTE -> AKT Tidak Terdukung
H10b OTE -> PIK Tidak Terdukung
H10c OTE -> PSPK Tidak Terdukung
H11a KTDK -> AKT Tidak Terdukung
H11b KTDK -> PIK Tidak Terdukung
H11c KTDK -> PSPK Tidak Terdukung
H12a PSPK -> AKT Terdukung Berhubungan Positif Konsisten
H12b PSPK -> PIK Terdukung Berhubungan Positif Konsisten
H12c AKT -> PSPK ->PIK Terdukung Berhubungan Positif Konsisten

merevisi program, dan mengevaluasi hipotesis yang hasilnya berbeda (lihat Tabel
program dalam rangka meningkatkan kinerja 6). Faktor teknis yang hipotesisnya tidak
instansi. Oleh karenanya, menjadi penting terdukung, kemungkinan dikarenakan kendala
mempertimbangkan dua aspek ini ketika dan kesulitan teknis dalam hal implementasi
pemda mengadakan rekrutmen pegawai. SAKIP oleh pemda dianggap tidak begitu
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian signifikan pengaruhnya dan dapat diatasi
terdahulu, maka ada beberapa hasil pengujian dengan baik. Selain alasan tersebut, argumen
202 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

yang dirumuskan pada hipotesis bisa jadi yang menangani pelaksanaan SAKIP dan
menjadi penjelasan relevan, yakni kesulitan pelaporan LAKIP, khususnya terkait proses
menentukan ukuran kinerja yang dialami pengembangan SAKIP.
pegawai pemerintah yang terjadi di Amerika Terakhir, tidak berhubungannya kesesuaian
bisa jadi tidak dialami pegawai instansi tugas dengan kompetensi pendidikan dengan
pemerintah daerah di Indonesia karena implementasi SAKIP sebagaimana yang
kesulitan tersebut diabaikan dan penentuan ditunjukkan pada hasil pengujian hipotesis bisa
ukuran kinerja tetap dilakukan meski dengan jadi dikarenakan ketidaksesuaian tugas dengan
pelaksanaan seadanya, hanya menjalankan kompetensi pendidikan tersebut dapat ditutupi
aspek formal peraturan semata (Cavaluzzo oleh adanya pelatihan yang secara signifikan
dan Ittner 2004; Akbar et al. 2012). Alasan lain berhubungan positif terhadap implementasi
yang mungkin menjelaskan hasil ini adalah sistem pengukuran kinerja. Selain itu, ada
masih banyaknya instansi pemda, dalam hal kemungkinan kompetensi nonakademik yang
ini SKPD, yang melaksanakan SAKIP secara dimiliki pegawai dan pengalaman yang cukup
manual. Ketiadaan sistem informasi sebagai lama oleh pegawai SKPD juga dapat menutupi
penopang implementasi SAKIP menjadikan kekurangan pegawai yang tugasnya tidak
tidak adanya keterbatasan sistem informasi itu sesuai dengan kompetensi pendidikannya.
sendiri. Meski demikian, hal itu tentu memiliki
Selain itu, insentif yang diduga secara konsekuensi implementasi SAKIP yang akan
empiris berhubungan terhadap implementasi cenderung bersifat mimetik dan berdampak
sistem pengukuran kinerja, baik dalam hal kurang baik pada instansi.
pengembangan sistem pengukuran kinerja,
pelaporan akuntabilitas kinerja maupun SIMPULAN
penggunaan informasi kinerja juga tidak
terdukung. Hasil ini bisa jadi dikarenakan Faktor-faktor yang berhubungan se-
fakta di lapangan dimana semua pemda di
cara positif dan signifikan dengan im-
lingkup DIY, selain pemda Bantul, tidak
plementasi sistem pengukuran kinerja untuk
memberlakukan sistem reward dengan
pengembangan sistem pengukuran kinerja,
pemberian insentif tertentu untuk menstimulus
akuntabilitas kinerja, dan penggunaan informasi
pelaksanaan sistem pengukuran kinerja
kinerja adalah faktor organisasional, yakni
(SAKIP). Tidak adanya insentif ini dapat
pelatihan dan respon organisasi yang terbuka
dikarenakan tidak adanya undang-undang
terhadap perubahan. Sedangkan self efficacy
yang mengaturnya. Hasil ini berbeda dengan
dan conscientiousness yang masuk dalam
hasil penelitian terdahulu yang mengemukakan
kategori faktor karakteristik individu hanya
bahwa pelaksanaan sistem pengukuran kinerja
berhubungan positif masing-masing dengan
di Amerika ditopang oleh adanya sistem reward
pengembangan sistem pengukuran kinerja dan
dalam bentuk insentif (Julnes dan Holzer
penggunaan informasi kinerja.
2001). Adapun otoritas pembuatan keputusan
Dari simpulan hasil penelitian tersebut,
dan karakter pegawai kreatif (opennes to
maka untuk menunjang keberhasilan im-
experience) yang juga tidak terdukung
plementasi sistem pengukuran kinerja, as-
hipotesisnya atau dinilai tidak berhubungan
terhadap pelaksanaan sistem pengukuran pek penting yang harus diperhatikan
kinerja bisa jadi disebabkan hukum, aturan oleh pemerintah daerah adalah, pertama
birokrasi, dan pemisahan wewenang antara mengupayakan adanya pelatihan yang ter-
unit-unit organisasi pemerintah dapat me- struktur dan berkelanjutan serta sikap terbuka
munculkan batasan otoritas dan daya kreatif kepada perubahan mekanisme kerja yang baik.
dalam bekerja pegawai pemda (Cavaluzzo dan Kedua, sangat disarankan untuk menghadirkan
Ittner 2004). Batasan inilah yang selanjutnya elemen insentif untuk menstimulus pelak-
mengekang ruang gerak unit bagian tertentu sanaan SAKIP dan pencapaian kinerja
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 203

instansi. Terakhir, penting bagi instansi untuk hanya menggunakan satu pendekatan analisis
menempatkan individu dengan karakter self saja.
efficacy tinggi dan conscientiousness guna
terus mendorong keberhasilan implementasi UCAPAN TERIMA KASIH
sistem pengukuran kinerja yang menyentuh
pada level isomorpisme normatif. Penulis mengucapkan terima kasih yang
Penelitian ini tentunya memiliki banyak sebesar-besarnya kepada Universitas Gadjah
keterbatasan, antara lain: pertama, data Mada dan Adger University of Norway yang
penelitian ini merupakan hasil dari instrumen menjadi sponsor utama penelitian ini dalam
yang berdasarkan pada persepsi responden. skema beasiswa In Search of Balance (ISB).
Hal ini dapat menimbulkan masalah jika Juga kepada seluruh kepala Satuan Kerja
persepsi responden berbeda dengan keadaan Perangkat Daerah (SKPD) pemerintah daerah
sesungguhnya. Kedua, pengukuran variabel Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta,
kesesuaian tugas dengan kompetensi pen- Kabupaten Sleman, Bantul, Gunung Kidul,
didikan (KTdK) hanya dilakukan dengan dan Kulon Progo, Kedutaan Besar Norwegia
pendekatan pembobotan yang sangat mungkin di Indonesia, dan seluruh pihak yang terlibat
memiliki kelemahan. Ketiga, penelitian ini dalam pelaksanaan penelitian ini.
hanya dilakukan di lingkup wilayah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga kurang DAFTAR PUSTAKA
mampu menggeneralisasi praktik–praktik
pengukuran kinerja secara luas, khususnya di Akbar, R., P. Robyn, and P. Brian. 2012.
Indonesia. Terakhir, penelitian ini dilakukan Performance Measurement in Indonesia:
dengan pendekatan kuantitatif saja, sehingga The Case of Local Government. Pacific
memiliki kekurangan dalam menangkap isu Accounting Review, 24 (3), 262-291.
fenomena isomorpisme dalam implementasi Atkinson, A. A., and J. Q. McCrindell. 1997.
SAKIP di pemda. Strategic Performance Measurement in
Beberapa masukan yang direkomendasi- Government. Cost & Management, 20–23.
kan untuk pengembangan penelitian berikut- Atkinson, A. A., J. H. Waterhouse, and R. B.
nya, yaitu: pertama, peneliti berikutnya Wells. 1997. A Stakeholder Approach
dapat mencari faktor-faktor lain yang terkait to Strategic Performance Measurement.
dengan implementasi sistem pengukuran Sloan Management Review, 25–37.
kinerja. Kedua, penelitian selanjutnya Bandura. 1986. Social Foundation of Though
sangat disarankan untuk dilakukan di pemda and Action: A Social Theory. Englewood
selain lingkup DIY atau bahkan memperluas Cliffs, NJ: Prentice Hall.
wilayah penelitian hingga ke seluruh pemda di Bandura. 1997. Self-efficacy; The Exercise of
Indonesia. Ketiga, melakukan perbaikan untuk Control. W. H. Freemand and Company.
instrumen pengukuran variabel kesesuaian Bansal, H. S., P. G. Irving, and S. F. Taylor.
tugas dengan kompetensi pendidikan (KTdK). 2004. A Three Component Model of
Terakhir, penggunaan riset campuran (mixed Customer Commitment to Service
method) sangat disarankan bagi penelitian Providers. Academy of Marketing
berikutnya, karena dengan menggunakan Science, 32 (3).
teknik ini maka hasil yang diperoleh dapat Cavalluzzo, K. S. and C. D. Ittner. 2004.
digali lebih dalam, khususnya terkait fenomena Implementing Performance Measure-
ment Innovations: Evidence From
isomorpisme dalam implementasi sistem
Government. Accounting, Organizations
pengukuran kinerja pemerintah. Model riset
and Society, 29, 243-267.
campuran juga memungkinkan peneliti untuk
Chin, W.W. 1998. Issues and Opinion on
melihat suatu fenomena dari sudut pandang
Structural Equation Modeling. MIS
yang beragam dan kaya dibandingkan apabila
Quarterly, 22 (1).
204 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205

Chin, W. W., B. L. Marcolin, and P. R. Newsted. 2nd edition. Thousand Oaks, CA: Sage
2003. A Partial Least Squares Latent Publications, Inc.
Variable Modeling Approach for Hood, C. 1995. The ‘‘Newpublic Management’’
Measuring Interaction Effects: Results in The 1980s: Variations on a Theme”.
from A Monte Carlo Simulation Study Accounting, Organizations and Society,
and Voice Mail Emotion/Adoption 20, 93–109.
Study. Information System Research, 14 Inpres RI No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas
(2), 189-217. Kinerja Instansi Pemerintah.
Collins, R. 1979. The Credential Society. New Ittner, C. D., D. F. Larcker, and T. Randall.
York: Academic Press. 2002. Performance Implications of
DiMaggio, P. J., and W. W. Powell. 1983. Strategic Performance Measurement
The Iron Cage Revisited: Institutional in Financial Services Firms. Working
Isomorphism and Collective Rationality paper, University of Pennsylvania and
in Organizational Fields. Dalam W. W. University of Utah.
Powell and P. J. DiMaggio (editor). The Julnes, P. L. and M. Holzer. 2001. Promoting
New Institutionalism in Organizational the Utilization of Performance Measures
Analysis. Chicago: The University of in Public Organization: An Empirical
Chicago Press. Study of Factors Affecting Adoption and
Fennell, M. L. 1980. The Effects of Environ- Implementation. Public Administration
mental Characteristics on the Structure Review, 61 (6), 693–708.
of Hospital Clusters. Administrative Kloot, L. 1999. Performance Measurement
Science Quarterly, 25, 484-510.
and Accountability in Victorian Local
Field, A. 2009. Discovering Statistics Using
Government. The International Journal
SPSS. London: Sage.
of Public Sector Management, 12 (7),
Gates, S. 1999. Aligning Strategic Performance
565-583.
Measures and Results. NewYork, NY:
Korzaan, M. L. and K. T. Boswell. 2008.
The Conference Board.
The Influence of Personality Traits
Guadagno, R. E., B. M. Okdie, and C. A.
and Information Privacy Concerns
Eno. 2007. Who Blogs? Personality
on Behavioral Intentions. Journal of
Predictors of Blogging. Computer in
Computer Information System, 16-24.
Human Behavior, 24 (5), 1993-2004.
Gudono. 2014. Teori Organisasi Edisi 3. Kravchuk, R. S., and W. S. Ronald. 1996.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Designing Effective Performance Mea-
Hartono, J. dan Abdillah. 2009. Konsep dan surement System Under the Government
Aplikasi PLS (Partial Least Square) Performance and Result Act of 1993.
untuk Penelitian Empiris. Yogyakarta: Public Administration Review, 56 (4),
BPFE Yogyakarta. 348-358.
Hawley, A. 1968. Human Ecology in David L. Lai, M. C. and S. L. Fan. 2008. Use of Fit
Sills (ed), International Encyclopedia Perception in Employee Behavioral
of the Social Sciences. New York: Criteria in Taiwan IT Industry. Business
Macmillan. and Information, 5 (1).
Henseler, J., C. M. Ringle, and R. R, Sinkovics. Larson, M. S. 1977. The Rise of Professionalism:
2009. The Use of Partial Least Squares A Sociological Analysis. Berkeley:
International Marketing. Advances in University of California Press.
International Marketing, 20, 277–319. Lee, C., and P. Bobko. 1994. Self Efficacy
Hofstede, G. 2001. Culture’s Consequences: Belief: Comparation of Measures.
Comparing Values, Behaviors, Insti- Journal of Applied Psychology, 60, 187-
tutions, and Organizations Across Nations 191.
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 205

Lopez, M. A. L., W. W. Stammerjohan, and F. M. Robbins, S. P. and A. J. Timothy. 2010.


Mcnair. 2007. Differences in the Role of Organizational Behavior 14th Edition.
Job-Relevant Information in the Budget New Jersey: Prentice Hall.
Participation-Performance Relationship Scott, R.W. 1998. Organizations: Rational,
Among U.S. And Mexican Managers: A Natural, and Open System 4th edition.
Question of Culture or Communication. Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall.
Journal of Management Accounting Sholihin, M. dan D. Ratmono. 2013. Analisis
Research, 19, 105–136. SEM-PLS dengan WarpPLS 3.0 untuk
March, J. G. and J. P. Olsen. 1976. Ambiguity Hubungan Nonlinier dalam Penelitian
and Choice in Organizations. Bergen, Sosial dan Bisnis. Yogyakarta: Penerbit
Norway: Universitetsforlaget. Andi.
McClelland, D. C. 1973. Testing for Com- Sihaloho, F. L. dan A. Halim. 2005. Pengaruh
p e t e n ce raher than Intelle ge nc e . Fak tor- Fak tor Rasional, Po litik
American Psychologist, 28 (1), 1-14. dan Kultur Organisasi Terhadap
McCrae dan Costa. 1986. Clinical Assessment Pe manfaatan I nformasi Kin e r ja
Can Benefit from Recent Advances Instansi Pemerintah Daerah. Paper
in Personality Psychology. American dipresentasikan dalam Simposium
Psychologist, 41, 1001-1003. Nasional Akuntansi VIII, Solo.
McElroy, J. C. et al. 2007. Dispotional Factors Simons, R. 2000. Performance Measurement
in Internet Use: Personality Versus and Control System for Implementing
Cognitive Style. MIS Quarterly, 31 (4), Strategy: Text dan Cases. New Jersey:
809-820. Prentice Hall.
Meister, J. C. 1998. Corporate Universities Smith, P. 1993. Outcome-Related Performance
in Building a World Class Work Force. Indicators and Organizational Control
New York: McGraw-Hill, Inc. in the Public Sector. British Journal of
M e y e r, J . W. a n d B . R o w a n . 1 9 7 7 . Management, 4, 135–151.
Institutionalized Organizations: Formal The Urban Institute. 2002. How and Why
Structure as Myth and Ceremony. Nonprofits Use Outcome Information.
American Journal of Sociology, 83, Washington, D.C: The Urban Institute.
340–63. Tolbert, P. S. and L. G. Zucker. 1983.
Mizruchi, M. S. and L. C. Fein. 1999. The Institutional Sources of Change in the
Social Construction of Organizational Formal Structure of Organizations: The
Knowledge A Study of the Uses of Diffusion of Civil Service Reforms,
Coercive, Mimetic, and Normative 1880-1935. Administrative Science
Isomorphism. Administrative Science Quarterly, 23, 22-39.
Quarterly, 44 (4), 653-683. Vinzi, V. E., et al. 2010. Handbook of Partial
Nurkhamid, M. 2008. Implementasi Ino- Least Squares: Concepts, Methods and
vasi Sistem Pengukuran Kinerja Applications. Springer Handbooks of
Instansi Pemerintah. Jurnal Akuntansi Computational Statistics.
Pemerintah, 3 (1), 45-76. Wijaya, A. H. C. and R. Akbar. 2013. The
PER/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Influence of Information, Organizational
Umum Penetapan Indikator Kinerja Objective and Targets, and External
U t a ma D i L ingkungan In sta nsi Pressure toward The Adoption of
Pemerintah. Performance Measurement System in
Pfeffer, J. 1982. Organizations and Orga- Public Sector. Journal of Indonesian
nization Theory. Boston: Pitman. Economy and Business, 28, 62-83.
Robbins, S. P. 1998. Organizational Behavior:
Foundation, Realities, dan Challenges
2nd Edition. New York: McGraw Hill.

You might also like