Professional Documents
Culture Documents
Hubungan Faktor Internal Institusi Dan Implementasi Sistem Akunta
Hubungan Faktor Internal Institusi Dan Implementasi Sistem Akunta
12-31-2013
Rusdi Akbar
Universitas Gadjah Mada, rusdi.akbar.phd@gmail.com
Recommended Citation
Sofyani, Hafiez and Akbar, Rusdi (2013) "HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL INSTITUSI DAN IMPLEMENTASI
SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (SAKIP) DI PEMERINTAH DAERAH," Jurnal
Akuntansi dan Keuangan Indonesia: Vol. 10: Iss. 2, Article 4.
DOI: 10.21002/jaki.2013.10
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jaki/vol10/iss2/4
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Economics & Business at UI Scholars Hub.
It has been accepted for inclusion in Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia by an authorized editor of UI
Scholars Hub.
184 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205
Hafiez Sofyani
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin
hafiez.sofyani@gmail.com
Rusdi Akbar
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
rusdi.akbar.phd@gmail.com
Abstract
The purpose of this study was to examine the association between technical, organizational, individual
characteristics of local government officials factors and the implementation of performance measurement
systems (PMS) in local government. The study was conducted in territory of local government of Yogyakarta
Special Region (DIY). The samples are local government officials in Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) who are directly involved in the implementation of the Performance Accountability System for
Government Entity (SAKIP) and reporting Performance Accountability Reports for Government Entity
(LAKIP). The results found the factors that positively and significantly associated with implementation of
a PMS were organizational factors, namely: training and organization’s response are open to change, and
the individual characteristics factors, namely: high self-efficacy and conscientiousness trait.
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah menguji hubungan antara faktor teknis, organisasional, karakteristik
individu pegawai pemda dan implementasi sistem pengukuran kinerja di tingkat pemerintah daerah.
Penelitian dilakukan di lingkup pemerintah daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sampel penelitian
adalah pegawai pemerintah daerah di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang secara langsung terlibat
dalam pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan pelaporan Laporan
Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Hasil penelitian menemukan bahwa faktor–faktor
yang berhubungan secara positif dan signifikan terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja adalah
faktor organisasional, yakni: pelatihan dan respon organisasi yang terbuka terhadap perubahan, dan faktor
karakteristik individu, yakni: self efficacy yang tinggi dan sifat conscientiousness.
Kata Kunci : faktor [teknis, organisasional, dan karakteristik individu], Sistem Pengukuran
Kinerja, SAKIP, LAKIP.
1
Penelitian ini disponsori oleh beasiswa In Search of Balance (ISB) kerjasama Universitas Gadjah Mada dan Adger
University of Norway.
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 185
dilakukan di pemerintah negara-negara ba- adalah kesatuan (entity) sosial yang di-
gian di Amerika Serikat. Alasan mengapa koordinasikan secara sadar, dengan sebuah
penelitian ini perlu dilaksanakan di Indonesia batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang
adalah karena terdapat kemungkinan hasil bekerja atas dasar yang relatif terus menerus
penelitian yang dilakukan oleh Cavaluzzo dan untuk mencapai suatu tujuan bersama. Karena
Ittner (2004) dan Julnes dan Holzer (2001) di organisasi ditopang oleh sekelompok orang
Amerika akan memiliki hasil berbeda ketika atau individu yang berada di dalamnya, maka
dilakukan di Indonesia, atau yang biasa keberhasilan suatu organisasi akan bergantung
disebut kesenjangan empiris (empirical gap) pada kualitas atau kompetensi dari individu
riset. Perbedaan itu dimungkinkan karena yang berada di dalam organisasi tersebut.
karakteristik negara dan budaya kerja pegawai Hasil penelitian ini menemukan bahwa
pemerintah di Amerika dan Indonesia, seperti faktor–faktor yang berhubungan secara positif
aspek power distance dan aspek organisasional, dan signifikan terhadap implementasi sistem
yang juga berbeda. Misalnya, mengacu kepada pengukuran kinerja untuk pengembangan
penelitian Hofstede (2001), ditemukan bahwa sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas
perbedaan budaya seperti power distance kinerja, dan penggunaan informasi kinerja
yang dimiliki setiap negara akan berdampak adalah faktor organisasional yakni: pelatihan
pada pola perilaku berbeda dari warga negara dan respon organisasi yang terbuka terhadap
tersebut. Bukti ini dikuatkan oleh Lopez et perubahan. Sedangkan self efficacy yang
al. (2007) dalam penelitiannya yang menguji tinggi dan conscientiousness yang masuk
pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja dalam kategori faktor karakteristik individu
manajer level menengah orang Amerika dan hanya berhubungan, masing-masing, terhadap
Meksiko dengan informasi relevan terkait tugas pengembangan sistem pengukuran kinerja dan
sebagai variabel pemoderasi. Dalam penelitian penggunaan informasi kinerja.
tersebut, Lopez et al. (2007) menemukan Penelitian ini diharapkan akan mem-
bahwa untuk dapat mencapai kinerja yang berikan kontribusi dalam pengembangan
diharapkan melalui proses partisipasi ang- teori Isomorpisme Institusional, khususnya
garan, maka aspek komunikasi informasi terkait aspek-aspek yang penting diperhatikan
relevan terkait tugas kepada manajer orang agar tujuan diadakannya sistem pengukuran
Meksiko harus lebih ditekankan ketimbang kinerja pemerintah daerah benar-benar dapat
kepada manajer orang Amerika. Lopez et al. tercapai secara substansial dan normatif.
(2007) melanjutkan bahwa temuan tersebut Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan
bisa jadi disebabkan oleh psikologis distance dapat bermanfaat sebagai masukan dan bahan
orang Meksiko yang tinggi dibandingkan pertimbangan kebijakan bagi para praktisi di
orang Amerika yang rendah. pemerintahan daerah dalam memahami dan
Selain menguji faktor teknis dan orga- upaya meningkatkan kualitas pelaksanaan
nisasional, penelitian ini juga menguji faktor sistem pengukuran kinerja, serta sebagai
lain yang diduga memengaruhi implementasi bahan pertimbangan jika di masa mendatang
sistem pengukuran kinerja, yakni faktor terjadi perubahan pada sistem pengukuran
karakteristik individu; self efficacy yang kinerja instansi pemerintah di Indonesia.
tinggi, kepribadian conscientiousnes, opennes
to experience, dan kompetensi (McClelland TELAAH LITERATUR DAN
1973; McRae dan Costa 1986; Lee dan Bobko PENGEMBANGAN HIPOTESIS
1994; Robbins 1998; Meister 1998; McElroy
et al. 2007). Kemungkinan adanya peran Teori Institusional
karakteristik individu dalam implementasi Berkenaan dengan studi organisasi, salah
sistem pengukuran kinerja sesuai dengan satu teori yang banyak digunakan oleh banyak
pendapat Robbins (2010) bahwa organisasi peneliti sebagai konsep dasar penelitian adalah
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 187
No. 7 Tahun 1999 sebagai peraturan yang serta untuk kesesuaian sosial dan ekonomi.
menuntut dijalankannya SAKIP adalah Konsep isomorpisme institusional merupakan
bentuk isomorpisme mimetik atau upaya alat yang berguna untuk memahami politik dan
meniru-niru pemerintah Indonesia terhadap tata cara yang meliputi kehidupan organisasi
pemerintahan di negara lain yang dinilai yang lebih modern, khususnya di lingkungan
lebih maju. Sebagaimana pernyataan March organisasi pemerintahan.
dan Olsen (1976), isomorpisme meniru- DiMaggio dan Powell (1983) meng-
niru akan dilakukan oleh suatu organisasi identifikasi tiga mekanisme untuk perubahan
ketika teknologi organisasi kurang dipa- atau upaya yang dilakukan organisasi untuk
hami. Isomorpisme yang sifatnya meniru- menyesuaikan diri dengan lingkungan (insti-
niru memiliki dampak kurang baik, yakni tutional isomorphic). Pertama, isomorpisme
cenderung untuk terjebak pada pelaksanaan koersif, merupakan hasil dari tekanan
suatu mekanisme kerja yang hanya sebatas formal maupun informal yang diberikan
seremonial formal, bukan berorientasi pada
pada organisasi dengan organisasi lainnya
substansi (Tolbert dan Zucker 1983; Gudono
dimana mereka saling bergantung dan di
2014) . Hal semacam itu memungkinkan dalamnya terdapat fungsi organisasi. Kedua,
berdampak pada pelaksanaan sistem peng- isomorpisme mimetik atau meniru-niru, terjadi
ukuran kinerja yang tidak bernilai tambah ketika teknologi organisasi kurang dipahami
dan tekanan yang ada hanya memunculkan
(March dan Olsen 1976), ketika tujuan yang
kepatuhan semu atau pelaksanaan ritual yang
ambigu, atau ketika terdapat ketidakpastian
bertujuan agar organisasi dilihat patuh oleh
lingkungan yang simbolik (Wijaya dan Akbar
lingkungan di luarnya (Gudono 2014).
2013), maka organisasi akan cenderung
menjadikan diri mereka sebagai model yang
Isomorpisme Institusional dan Pelaksanaan
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi sama seperti organisasi lain dan mendorong
Pemerintah (SAKIP) di Indonesia organisasi untuk melakukan imitasi. Ketiga
DiMaggio dan Powell (1983) berpendapat adalah isomorpisme normatif yang berkaitan
bahwa dari waktu ke waktu, ketika mencapai dengan profesionalisme (Larson 1977; Collins
taraf yang mapan, organisasi cenderung untuk 1979; DiMaggio 1983).
bergerak ke arah keseragaman, meskipun Implementasi sistem pengukuran kinerja
mungkin menunjukkan keseragaman yang sebagaimana yang diatur di Inpres No. 7 Tahun
hanya berada pada tataran awal. Istilah terbaik 1999, dilihat dari segi teoritis, adalah bentuk
untuk menggambarkan proses “keseragaman” isomorpisme mimetik atau upaya meniru-niru
adalah “isomorpisme”. Hawley (1983) menge- pemerintah Indonesia terhadap pemerintahan
mukakan isomorpisme adalah proses yang di negara lain yang dinilai lebih maju. Menurut
memaksa satu unit dalam populasi menyerupai Tolbert dan Zucker (1983) reformasi pelayanan
unit lain dalam menghadapi pengaturan yang sipil diadopsi karena menjadi simbolis dari
sama dari suatu kondisi lingkungan tertentu. pemerintahan yang baik bukan karena tujuan
Menurut Meyer (1979) dan Fennell (1980), ada efisiensi. Oleh karenanya, peniruan yang
dua jenis isomorpisme: pertama, isomorpisme dilakukan dapat mengarahkan organisasi
kompetitif (competitive isomorphism), yakni: kepada pelaksanaan suatu mekanisme kerja
asumsi rasionalitas sistem yang menekankan yang hanya sebatas seremonial formal, bukan
persaingan pasar, perubahan yang bagus, berorientasi pada substansi (March dan Olsen
dan pengukuran kesesuaian; dan yang kedua 1976, DiMaggio dan Powell 1983; Tolbert dan
isomorpisme institusional (institutional iso- Zucker 1983; Gudono 2014).
morphism); organisasi bersaing tidak hanya Selain itu, Sihaloho dan Halim (2005)
menilai bahwa niat penggunaan sistem
untuk sumber daya dan pelanggan, tetapi untuk
pengukuran kinerja di sebagian besar instansi
kekuasaan legitimasi politik dan institusional,
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 189
pemerintah lebih didominasi oleh tekanan luar akan dilaporkan dalam bentuk Laporan
(lihat juga, Tolbert dan Zucker 1983; Gudono Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
2014). Dalam beberapa kondisi, tekanan- (LAKIP) yang dilakukan secara berjenjang
tekanan (coercion) yang ada mengarahkan serta berkala dan disampaikan kepada atasan.
organisasi pada unsur yang dilegitimasi, seperti Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
prosedur standar operasi untuk mencapai adalah perwujudan kewajiban suatu instansi
profesionalisme, serta memiliki pengaruh pemerintah untuk mempertanggungjawabkan
untuk mengarahkan perhatian pada kinerja keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi
(Zucker 1987). Namun, isomorpisme koersif organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran
juga berpotensi memunculkan kepatuhan yang telah ditetapkan melalui pertanggung-
semu atau pelaksanaan ritual yang bertujuan jawaban secara periodik (BPKP 2007). Selain
agar organisasi dilihat patuh oleh lingkungan mengamanatkan pengembangan sistem peng-
di luarnya (Gudono 2014). Oleh karenanya, ukuran kinerja dan pelaporan akuntabilitas
agar permasalahan-permasalahan yang ada kinerja, Inpres No. 7 Tahun 1999 juga
dapat dimitigasi, maka perlu untuk melakukan mengamanatkan kepada instansi pemerintah
penelitian yang berkaitan dengan faktor agar hasil dari laporan kinerja dapat digunakan
pendorong berhasilnya suatu pelaksanaan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan
sistem pengukuran kinerja di instansi perbaikan atau merevisi program kerja untuk
pemerintahan. tahun anggaran berikutnya.
Cavaluzzo dan Ittner (2004) meng- Dalam pelaksanaan sistem pengukuran
emukakan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja, teknologi informasi adalah salah satu
keberhasilan implementasi sistem pengukuran penopang dan alat bantu pelaksanaan. Kravchuk
kinerja terbagi menjadi dua kategori, yaitu dan Schack (1996) mengatakan bahwa instansi
faktor teknis, meliputi: kesulitan menentukan pemerintah sering menghadapi masalah atau
ukuran kinerja dan keterbatasan sistem hambatan, seperti perbedaan definisi data,
informasi; dan faktor organisasional, meliputi: teknologi, kemudahan untuk mengakses, dan
komitmen manajemen, otoritas pembuatan jumlah data yang diperoleh dimana data-data
keputusan, dan pelatihan. Julnes dan Holzer tersebut digunakan untuk membuat LAKIP dan
(2001) juga mengemukakan bahwa faktor mengevaluasi capaian kinerja instansi. Selain
organisasional berupa respon organisasi yang itu, Gates (1999) menemukan bahwa hambatan
terbuka terhadap perubahan serta keberadaan utama yang kerap terjadi dalam implementasi
insentif bagi pegawai untuk menerapkan sistem pengukuran kinerja strategis adalah
suatu sistem baru juga berdampak positif dan pengabaian terhadap pengukuran aktivitas
menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. yang sulit, mengukur hal yang benar dengan
salah, dan mengukur hal yang salah dengan
Pengembangan Hipotesis benar. Hal semacam inilah yang sering kali
mengganggu keberhasilan pelaksanaan sistem
Faktor Teknis pengukuran kinerja.
Keterbatasan Sistem Informasi dan Kesulitan Upaya yang mungkin ditempuh suatu
Menentukan Ukuran Kinerja instansi pemerintah ketika menghadapi
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi keterbatasan sistem informasi dan kesulitan
Pemerintah (SAKIP) yang diatur dalam Inpres dalam menentukan ukuran kinerja adalah
No. 7 Tahun 1999, dalam implementasinya, dengan cara meniru institusi lain yang juga
mengamanatkan agar instansi pemerintah mendapat tuntutan yang sama. Peniruan ini
daerah melakukan pengembangan sistem disebut isomorpisme mimetik (March dan Olsen
pengukuran kinerja, yakni pembuatan 1976; DiMaggio dan Powell 1983; Mizruchi
program kerja berbasis capaian indikator dan Fein 1999; Gudono 2014). Namun,
kinerja yang diharapkan akan dicapai. instansi pemerintah daerah di Indonesia bisa
Selanjutnya, program yang telah dilaksanakan
190 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205
saja tidak menghadapi keterbatasan sistem dari perjuangan kolektif anggota organisasi
informasi yang dikarenakan masih banyaknya untuk menentukan kondisi dan metode kerja
kemungkinan instansi pemerintah daerah yang mereka untuk tujuan yang mengarah kepada
menjalankan sistem pengukuran kinerja secara profesionalisme (Larson 1977, Collins
manual. Selain itu, kesulitan menentukan 1979, dan DiMaggio 1983). Manajemen
ukuran kinerja yang dialami pegawai yang memiliki perasaan bertanggungjawab
pemerintah yang terjadi di Amerika bisa jadi yang kuat terhadap organisasi diduga akan
tidak dialami pegawai instansi pemerintah menerapkan sistem pengukuran kinerja secara
daerah di Indonesia. Hal ini dikarenakan baik dan melakukan pengembangan sistem
kesulitan itu diabaikan dan penentuan pengukuran kinerja secara baik pula. Kondisi
ukuran kinerja tetap dilakukan meski dengan ini kemudian memicu lahirnya fenomena yang
pelaksanaan seadanya, hanya menjalankan disebut isomorpisme normatif. Berdasarkan
aspek formal peraturan saja (Gates 1999; uraian tersebut, maka hipotesis yang di-
Cavaluzzon dan Ittner 2004; Akbar et al. 2012). rumuskan adalah sebagai berikut:
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis H3a: Komitmen manajemen berhubungan
yang dirumuskan adalah sebagai berikut: positif dengan pengembangan sistem
H1a: Keterbatasan sistem informasi pengukuran kinerja.
berhubungan negatif dengan H3b: Komitmen manajemen berhubungan
pengembangan sistem pengukuran positif dengan akuntabilitas kinerja.
kinerja. H3c: Komitmen manajemen berhubungan
H1b: Keterbatasan sistem informasi ber- positif dengan penggunaan informasi
hubungan negatif dengan akuntabilitas kinerja.
kinerja.
H1c: Keterbatasan sistem informasi ber- Otoritas Pembuatan Keputusan
hubungan negatif dengan penggunaan Anderson dan Young (1999) menyatakan
informasi kinerja. bahwa manajer yang memiliki otoritas
H2a: Kesulitan menentukan ukuran ki- dalam membuat keputusan percaya bahwa
nerja berhubungan negatif dengan inovasi dapat mendukung aktivitas-aktivitas
pengembangan sistem pengukuran pembuatan keputusannya, sehingga lebih
kinerja. menyukai untuk mengimplementasikan dan
H2b: Kesulitan menentukan ukuran ki- menggunakan ukuran-ukuran kinerja. Otoritas
nerja berhubungan negatif dengan pembuatan keputusan yang diberikan kepada
akuntabilitas kinerja. pimpinan organisasi akan membuka ruang
H2c: Kesulitan menentukan ukuran ki- kepada para pimpinan untuk memiliki
nerja berhubungan negatif dengan wewenang dalam menentukan kondisi, metode
penggunaan informasi kinerja. kerja organisasi dan untuk mengembangkan
kognitif serta melegitimasi otonomi pekerjaan
Faktor Organisasional mereka kepada tujuan yang mengarah kepada
Komitmen Manajemen profesionalisme (Larson 1977; Collins
Bansal et al. (2004) mendefinisikan 1979; dan DiMaggio 1983). Kondisi ini
komitmen sebagai kekuatan yang mengikat yang kemudian memicu lahirnya fenomena
seseorang pada suatu tindakan yang memiliki isomorpisme normatif. Namun, kondisi ini
relevansi dengan satu atau lebih sasaran. akan berbeda dengan instansi pemerintah
Komitmen manajemen merupakan hal yang daerah di Indonesia dimana permintaan
paling penting dalam proses mendesain, otoritas yang lebih besar bagi para kepala
mengimplementasikan, dan menggunakan instansi bisa saja menghadapi hambatan yang
sistem pengukuran kinerja. Sejalan dengan potensial dalam meningkatkan akuntabilitas
pandangan isomorpisme institusional, komit- organisasi pemerintah. Hambatan tersebut
men manajemen secara normatif adalah bentuk
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 191
terjadi karena pelaksanaan kerja dan otoritas Respon Organisasi yang Terbuka terhadap
pegawai telah diatur secara hukum, birokrasi, Perubahan
dan pemisahan wewenang antara unit- Menurut Marshall (1996), dalam
unit organisasi pemerintah. Sehingga, hal rangka mencapai tujuannya, maka sebuah
ini dapat memunculkan batasan otoritas organisasi memerlukan perubahan budaya
dalam pengambilan keputusan oleh manajer dari yang tradisional menuju budaya modern.
dan selanjutnya menghambat pelaksanaan Di Indonesia, perubahan budaya organisasi
sistem pengukuran kinerja (Cavaluzzo dan mulai terjadi secara besar-besaran pasca era
Ittner 2004). Kondisi ini juga mungkin reformasi dan salah satunya melahirkan Inpres
dapat menghambat lahirnya fenomena No. 7 Tahun 1999. Namun, sikap organisasi
isomorpisme normatif dan justru mengarah dalam menjalankan Inpres No. 7 Tahun
kepada isomorpisme mimetik atau koersif. 1999 bisa saja didorong oleh tekanan dari
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis pemerintah pusat maupun dari sumber lainnya,
yang dirumuskan adalah sebagai berikut: atau dari kacamata isomorpisme institusional
H4a: Otoritas pembuatan keputusan disebabkan oleh fenomena isomorpisme
berhubungan positif dengan peng- koersif. Namun, alasan untuk menjalankan
embangan sistem pengukuran Inpres No.7 Tahun 1999 bisa juga didorong
kinerja. oleh peniruan lembaga lain yang juga
H4b: Otoritas pembuatan keputusan mendapat mandat yang sama agar dilihat patuh
berhubungan positif dengan akun- oleh lingkungan di luarnya (March dan Olsen
tabilitas kinerja. 1976; DiMaggio dan Powell 1983; Gudono
H4c: Otoritas pembuatan keputusan 2014).
berhubungan positif dengan peng- Amanat Inpres No. 7 Tahun 1999 hanya
gunaan informasi kinerja. akan berjalan dengan berhasil jika organisasi
pemerintah selaku pengemban amanat
Pelatihan menerima perubahan budaya organisasi
Nurkhamid (2008) menyampaikan bah- tersebut secara terbuka. Julnes dan Holzer
wa pelatihan dapat menjadi sarana bagi para (2001) menemukan bahwa perilaku (attitude)
pegawai untuk memahami, menerima, dan anggota organisasi dalam merespon perubahan
merasakan secara nyaman inovasi yang hadir, berpengaruh positif terhadap implementasi
serta mengurangi tekanan atau kebingungan sistem pengukuran kinerja. Berdasarkan uraian
para pegawai atas tuntutan proses implementasi di atas, maka hipotesis yang dirumuskan
suatu inovasi yang hadir. Dari kacamata adalah sebagai berikut:
teori isomorpisme institusional, pelatihan H6a: Respon organisasi yang terbuka
yang bersandar kepada pendidikan formal terhadap perubahan berhubungan
dapat menjadi faktor pendorong lahirnya positif dengan pengembangan sistem
isomorpisme normatif di suatu lembaga, dalam pengukuran kinerja.
hal ini pemerintahan (Larson 1977; Collins H6b: Respon organisasi yang terbuka
1979; DiMaggio 1983 dan Gudono 2014). terhadap perubahan berhubungan
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis positif dengan akuntabilitas kinerja.
yang dirumuskan adalah sebagai berikut: H6c: Respon organisasi yang terbuka
H5a: Pelatihan berhubungan positif dengan terhadap perubahan berhubungan
pengembangan sistem pengukuran positif dengan penggunaan informasi
kinerja.
kinerja.
H5b: Pelatihan berhubungan positif
Insentif
dengan akuntabilitas kinerja.
Julnes dan Holzer (2001) mengemukakan
H5c: Pelatihan berhubungan positif dengan
bahwa respon organisasi terhadap suatu
penggunaan informasi kinerja.
perubahan juga berkaitan dengan adanya
192 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205
Tabel 1
Definisi Operasional dan Instrumen Pengukuran Variabel
Instrumen
Simbol Nama Variabel Definisi Operasional
Pengukuran
Gambar 1
Model Penelitian
Tabel 2
Profil Responden
Karakteristik Jumlah Orang Persentase
Tingkat Pendidikan
Diploma 2 2,06%
S1 49 50,52%
S2 44 45,36%
S3 2 2,06%
Jumlah 97 100,00%
Lama Menjabat
1-5 Tahun 81 83,51%
5,1-10 Tahun 12 12,37%
>10 Tahun 4 4,12%
Jumlah 97 100,00%
Gender
Laki-laki 45 46,39%
Perempuan 52 53,61%
Jumlah 97 100,00%
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 197
Tabel 3
Response Rate dan Usable Response Rate
% Dari
Tidak Tidak Sesuai
Keterangan Disebar Diterima Dianalisis Jumlah
Lengkap Kriteria Sampel
Disebar
DIY 24 22 6 2 14 58,33%
Yogyakarta 21 19 3 1 15 71,43%
Sleman 24 21 7 3 11 45,83%
Bantul 29 27 2 2 23 79,31%
Gunung Kidul 23 23 5 4 14 60,87%
Kulon Progo 21 21 1 0 20 95,24%
Jumlah 142 133 24 12 97 68,31%
awal (minggu pertama) menggunakan Mann- berkisar antara 0,33 sampai 0,66 atau berada
Whitney Test (Field 2009). Dari hasil Mann- pada level moderate (Chin 1998).
Whitney Test diperoleh simpulan bahwa semua
variabel yang digunakan antara tanggapan Evaluasi Model Pengukuran
awal dan akhir tidak berbeda signifikan secara Dari Tabel 4, dapat disimak bahwa
statistik. Hal itu ditunjukkan oleh nilai Asymp. validitas konvergen semua konstruk variabel
Sig. (2-tailed) setiap variabel yang bernilai terpenuhi karena nilai AVE dan communality
lebih besar daripada 0,05. lebih dari 0,5. Hal ini berarti probabilitas
Selain itu, untuk memastikan tidak ada indikator disuatu konstruk masuk ke variabel
perbedaan jawaban dari responden antar yang dimaksud lebih besar (lebih dari 0,5)
daripada probabilitas indikator tersebut masuk
wilayah pemerintah daerah, dilakukan Kruskal
ke variabel lain. Meskipun idealnya skor AVE
Wallis Test, yakni uji nonparametrik yang
> 0,5, namun skor > 0,4 masih diberi toleransi
digunakan untuk membandingkan tiga atau
(Lai dan Fan 2008; Vinzi et al. 2010). Untuk uji
lebih kelompok data sampel secara bersamaan
validitas diskriminan, parameter yang diukur
(Supangat 2007). Dari hasil Kruskal Wallis Test, adalah dengan melihat skor cross loading,
diperoleh simpulan bahwa tidak ada perbedaan dari hasil analisis PLS, nilai cross loading
jawaban dari responden antar enam wilayah masing-masing konstruk bernilai lebih dari
yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. 0,50. Dengan demikian, dapat disimpulkan
Hal itu dilihat dari tingkat signifikansi (nilai bahwa masing-masing indikator di masing-
Asym. Sig) dari masing-masing variabel yang masing konstruk pada model pengukuran telah
lebih besar daripada 0,05. memenuhi syarat validitas diskriminan karena
masing-masing indikator di suatu konstruk
Model Struktural berbeda dengan indikator di konstruk lain dan
Dalam model struktural, terdapat 14 mengumpul pada konstruk yang dimaksud
konstruk yang terdiri dari 11 konstruk eksogen dengan skor > 0,6.
(independen) dan 3 (tiga) konstruk endogen Untuk hasil uji reliabilitas ditunjukkan
(dependen). Model struktural disajikan pada oleh skor composite reliability dan cronbach
Gambar 2. alpha (lihat Tabel 4) juga mengindikasikan
Model struktural dievaluasi dengan bahwa semua konstruk memenuhi syarat yakni
menggunakan R2 (R-Square) untuk konstruk memiliki nilai > 0,6, kecuali variabel Komitmen
dependen. Dari Tabel 4 dapat dilihat nilai R2 Manajemen (KM) yang nilai skor cronbach
untuk konstruk AKT (Akuntabilitas), PIK alpha-nya rendah yakni 0,379981. Dengan
(Penggunaan Informasi Kinerja), dan PSPK demikian, konstruk-konstruk penelitian, sela-
(Pengembangan Sistem Pengukuran Kinerja) in konstruk KM (Komitmen Manajemen),
198 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205
Gambar 2
Model Struktural
KSI
AKT
KMUK
KM
PLT
PSPK
RTP
INS
SE
PIK
CON
OTE KTDK
Tabel 4
Iterasi Algoritma PLS
Composite Cronbachs
AVE R Square Communality Redundancy
Reliability Alpha
Tabel 5
Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis
yang dirumuskan dan memiliki nilai t-statistik Selanjutnya, self efficacy dan conscien-
lebih besar dari t-tabel (1,64). Dari Tabel 8 dapat tiousness secara empiris juga berhubungan
disimpulkan bahwa variabel yang berhubungan positif terhadap implementasi sistem peng-
signifikan terhadap pengembangan sistem ukuran kinerja. Hasil ini sejalan dengan
pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja, pendapat Lee dan Bobko (1994) dan Guadagno
dan penggunaan informasi kinerja terdiri et al. (2007) sebagaimana yang dipaparkan
dari respon organisasi yang terbuka terhadap dalam perumusan hipotesis. Tetapi, hubungan
perubahan dan pelatihan. Sedangkan self yang tercipta dari masing-masing variabel
efficacy dan conscientiousness masing-masing hanya dalam hal pengembangan sistem
berhubungan terhadap pengembangan sistem pengukuran kinerja dan penggunaan informasi
pengukuran kinerja dan penggunaan informasi kinerja. Temuan ini menguatkan pendapat
kinerja. Robbins (2010) yang mengatakan bahwa
Temuan dari hasil uji hipotesis meng- organisasi adalah entitas yang ditopang oleh
indikasikan pelatihan menjadi sarana yang anggota organisasi atau individu yang ada di
baik untuk meningkatkan kapasitas pegawai dalamnya. Argumen tersebut mengisyaratkan
agar dapat menjalankan tugasnya dengan bahwa kinerja organisasi yang baik berasal
baik dan profesional, khususnya terkait dari pegawai yang memiliki kinerja yang baik
implementasi SAKIP. Profesionalisme sendiri pula, dan salah satu pemicu pegawai pemda
merupakan sumber penting dari lahirnya memiliki kinerja yang baik adalah self efficacy
isomorpisme normatif. Hasil ini konsisten tinggi dan karakter conscientiousness yang
dengan penelitian yang dilakukan Cavaluzzo dimiliki pegawai pemda tersebut.
dan Ittner (2004). Pelatihan dapat menjadi Sebagaimana penjelasan Bandura
pemicu awal agar pelaksanaan SAKIP benar- (1986), self efficacy adalah kemampuan
benar berorientasi terhadap substansi, bukan individu menilai kapabilitas dirinya dalam
sebatas pemenuhan kewajiban administratif mengorganisir dan melaksanakan kegiatan-
pemda. Oleh karenanya, setiap pemda kegiatan yang mensyaratkan pencapaian
sebaiknya senantiasa mengupayakan adanya tingkat kinerja tertentu atau menghadapi situasi
pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan yang prospektif. Hal ini mengindikasikan
terkait sistem pengukuran kinerja guna terus bahwa self efficacy mempunyai pengaruh
mendorong keberhasilan implementasi sistem terhadap hubungan antara penetapan tujuan
pengukuran kinerja yang menyentuh pada dan kinerja individu (Robbins 1998). Individu
level normatif. yang memiliki self efficacy tinggi akan
Respon organisasi yang terbuka ter- mungkin menjalankan sistem pengukuran
hadap perubahan secara empirik juga kinerja sebagai suatu amanat yang harus
berhubungan positif terhadap implementasi dilakukan sebaik mungkin, ideal, dan dengan
sistem pengukuran kinerja, baik dalam hal pengorganisasian kerja yang baik demi
pengembangan sistem pengukuran kinerja, mempertahankan profesionalismenya. Selain
pelaporan akuntabilitas kinerja maupun itu, rasional, kedisiplinan, kehati-hatian,
penggunaan informasi kinerja. Hasil ini kesukaan menganalisis, dan sifat cenderung
mengindikasikan bahwa keterbukaan orga- menggunakan informasi yang tersedia
nisasi terhadap perubahan mekanisme kerja di untuk membuat kesimpulan atau sebagai
tubuh organisasi akan berdampak baik terhadap dasar pengambilan keputusan oleh individu
kinerja organisasi. Namun, keterbukaan conscientiousness (Korzaan dan Boswell
yang ada bisa jadi bersifat koersif mengingat 2008; McRae dan Costa 1986) memungkinkan
perubahan mekanisme kerja yang biasanya untuk mengarahkan tindakan individu
dituangkan dalam peraturan dan juga bisa jadi tersebut kepada pola perilaku normatif,
bersifat normatif karena adanya pemahaman dalam hal ini terhadap implementasi sistem
organisasi dan inisiasi untuk meningkatkan pengukuran kinerja, misalnya menggunakan
profesionalitas kerja. informasi kinerja untuk membuat keputusan,
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 201
Tabel 6
Ringkasan Perbandingan Hasil Penelitian
Cavaluzzo dan Ittner Julnes dan
Hipotesis Hubungan Hasil Keterangan
(2004) Holzer (2001)
H1a KMUK -> AKT Tidak Terdukung Tidak Berhubungan Konsisten
H1b KMUK -> PIK Tidak Terdukung Berhubungan Negatif Berbeda*
H1c KMUK -> PSPK Tidak Terdukung Berhubungan Negatif Berbeda*
H2a KSI -> AKT Tidak Terdukung Berhubungan Negatif Berbeda*
H2b KSI -> PIK Tidak Terdukung Berhubungan Positif Berbeda*
H2c KSI -> PSPK Tidak Terdukung Tidak Berhubungan Konsisten
H4a OPK -> AKT Tidak Terdukung Berhubungan Positif Berbeda*
H4b OPK -> PIK Tidak Terdukung Berhubungan Positif Berbeda*
H4c OPK -> PSPK Tidak Terdukung Berhubungan Positif Berbeda*
H5a PLT -> AKT Terdukung Berhubungan Positif Konsisten
H5b PLT -> PIK Terdukung Berhubungan Positif Konsisten
H5c PLT -> PSPK Tidak Terdukung Berhubungan Positif Berbeda*
H6a RTP -> AKT Terdukung Berhubungan positif Konsisten
H6b RTP -> PIK Terdukung Berhubungan positif Konsisten
H6c RTP -> PSPK Terdukung Berhubungan positif Konsisten
H7a INS -> AKT Tidak Terdukung Berhubungan positif Berbeda*
H7b INS -> PIK Tidak Terdukung Berhubungan positif Berbeda*
H7c INS -> PSPK Tidak Terdukung Berhubungan positif Berbeda*
H8a SE -> AKT Tidak Terdukung
H8b SE -> PIK Tidak Terdukung
H8c SE -> PSPK Terdukung
H9a CON -> AKT Tidak Terdukung
H9b CON -> PIK Terdukung
H9c CON -> PSPK Tidak Terdukung
H10a OTE -> AKT Tidak Terdukung
H10b OTE -> PIK Tidak Terdukung
H10c OTE -> PSPK Tidak Terdukung
H11a KTDK -> AKT Tidak Terdukung
H11b KTDK -> PIK Tidak Terdukung
H11c KTDK -> PSPK Tidak Terdukung
H12a PSPK -> AKT Terdukung Berhubungan Positif Konsisten
H12b PSPK -> PIK Terdukung Berhubungan Positif Konsisten
H12c AKT -> PSPK ->PIK Terdukung Berhubungan Positif Konsisten
merevisi program, dan mengevaluasi hipotesis yang hasilnya berbeda (lihat Tabel
program dalam rangka meningkatkan kinerja 6). Faktor teknis yang hipotesisnya tidak
instansi. Oleh karenanya, menjadi penting terdukung, kemungkinan dikarenakan kendala
mempertimbangkan dua aspek ini ketika dan kesulitan teknis dalam hal implementasi
pemda mengadakan rekrutmen pegawai. SAKIP oleh pemda dianggap tidak begitu
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian signifikan pengaruhnya dan dapat diatasi
terdahulu, maka ada beberapa hasil pengujian dengan baik. Selain alasan tersebut, argumen
202 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205
yang dirumuskan pada hipotesis bisa jadi yang menangani pelaksanaan SAKIP dan
menjadi penjelasan relevan, yakni kesulitan pelaporan LAKIP, khususnya terkait proses
menentukan ukuran kinerja yang dialami pengembangan SAKIP.
pegawai pemerintah yang terjadi di Amerika Terakhir, tidak berhubungannya kesesuaian
bisa jadi tidak dialami pegawai instansi tugas dengan kompetensi pendidikan dengan
pemerintah daerah di Indonesia karena implementasi SAKIP sebagaimana yang
kesulitan tersebut diabaikan dan penentuan ditunjukkan pada hasil pengujian hipotesis bisa
ukuran kinerja tetap dilakukan meski dengan jadi dikarenakan ketidaksesuaian tugas dengan
pelaksanaan seadanya, hanya menjalankan kompetensi pendidikan tersebut dapat ditutupi
aspek formal peraturan semata (Cavaluzzo oleh adanya pelatihan yang secara signifikan
dan Ittner 2004; Akbar et al. 2012). Alasan lain berhubungan positif terhadap implementasi
yang mungkin menjelaskan hasil ini adalah sistem pengukuran kinerja. Selain itu, ada
masih banyaknya instansi pemda, dalam hal kemungkinan kompetensi nonakademik yang
ini SKPD, yang melaksanakan SAKIP secara dimiliki pegawai dan pengalaman yang cukup
manual. Ketiadaan sistem informasi sebagai lama oleh pegawai SKPD juga dapat menutupi
penopang implementasi SAKIP menjadikan kekurangan pegawai yang tugasnya tidak
tidak adanya keterbatasan sistem informasi itu sesuai dengan kompetensi pendidikannya.
sendiri. Meski demikian, hal itu tentu memiliki
Selain itu, insentif yang diduga secara konsekuensi implementasi SAKIP yang akan
empiris berhubungan terhadap implementasi cenderung bersifat mimetik dan berdampak
sistem pengukuran kinerja, baik dalam hal kurang baik pada instansi.
pengembangan sistem pengukuran kinerja,
pelaporan akuntabilitas kinerja maupun SIMPULAN
penggunaan informasi kinerja juga tidak
terdukung. Hasil ini bisa jadi dikarenakan Faktor-faktor yang berhubungan se-
fakta di lapangan dimana semua pemda di
cara positif dan signifikan dengan im-
lingkup DIY, selain pemda Bantul, tidak
plementasi sistem pengukuran kinerja untuk
memberlakukan sistem reward dengan
pengembangan sistem pengukuran kinerja,
pemberian insentif tertentu untuk menstimulus
akuntabilitas kinerja, dan penggunaan informasi
pelaksanaan sistem pengukuran kinerja
kinerja adalah faktor organisasional, yakni
(SAKIP). Tidak adanya insentif ini dapat
pelatihan dan respon organisasi yang terbuka
dikarenakan tidak adanya undang-undang
terhadap perubahan. Sedangkan self efficacy
yang mengaturnya. Hasil ini berbeda dengan
dan conscientiousness yang masuk dalam
hasil penelitian terdahulu yang mengemukakan
kategori faktor karakteristik individu hanya
bahwa pelaksanaan sistem pengukuran kinerja
berhubungan positif masing-masing dengan
di Amerika ditopang oleh adanya sistem reward
pengembangan sistem pengukuran kinerja dan
dalam bentuk insentif (Julnes dan Holzer
penggunaan informasi kinerja.
2001). Adapun otoritas pembuatan keputusan
Dari simpulan hasil penelitian tersebut,
dan karakter pegawai kreatif (opennes to
maka untuk menunjang keberhasilan im-
experience) yang juga tidak terdukung
plementasi sistem pengukuran kinerja, as-
hipotesisnya atau dinilai tidak berhubungan
terhadap pelaksanaan sistem pengukuran pek penting yang harus diperhatikan
kinerja bisa jadi disebabkan hukum, aturan oleh pemerintah daerah adalah, pertama
birokrasi, dan pemisahan wewenang antara mengupayakan adanya pelatihan yang ter-
unit-unit organisasi pemerintah dapat me- struktur dan berkelanjutan serta sikap terbuka
munculkan batasan otoritas dan daya kreatif kepada perubahan mekanisme kerja yang baik.
dalam bekerja pegawai pemda (Cavaluzzo dan Kedua, sangat disarankan untuk menghadirkan
Ittner 2004). Batasan inilah yang selanjutnya elemen insentif untuk menstimulus pelak-
mengekang ruang gerak unit bagian tertentu sanaan SAKIP dan pencapaian kinerja
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 203
instansi. Terakhir, penting bagi instansi untuk hanya menggunakan satu pendekatan analisis
menempatkan individu dengan karakter self saja.
efficacy tinggi dan conscientiousness guna
terus mendorong keberhasilan implementasi UCAPAN TERIMA KASIH
sistem pengukuran kinerja yang menyentuh
pada level isomorpisme normatif. Penulis mengucapkan terima kasih yang
Penelitian ini tentunya memiliki banyak sebesar-besarnya kepada Universitas Gadjah
keterbatasan, antara lain: pertama, data Mada dan Adger University of Norway yang
penelitian ini merupakan hasil dari instrumen menjadi sponsor utama penelitian ini dalam
yang berdasarkan pada persepsi responden. skema beasiswa In Search of Balance (ISB).
Hal ini dapat menimbulkan masalah jika Juga kepada seluruh kepala Satuan Kerja
persepsi responden berbeda dengan keadaan Perangkat Daerah (SKPD) pemerintah daerah
sesungguhnya. Kedua, pengukuran variabel Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta,
kesesuaian tugas dengan kompetensi pen- Kabupaten Sleman, Bantul, Gunung Kidul,
didikan (KTdK) hanya dilakukan dengan dan Kulon Progo, Kedutaan Besar Norwegia
pendekatan pembobotan yang sangat mungkin di Indonesia, dan seluruh pihak yang terlibat
memiliki kelemahan. Ketiga, penelitian ini dalam pelaksanaan penelitian ini.
hanya dilakukan di lingkup wilayah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga kurang DAFTAR PUSTAKA
mampu menggeneralisasi praktik–praktik
pengukuran kinerja secara luas, khususnya di Akbar, R., P. Robyn, and P. Brian. 2012.
Indonesia. Terakhir, penelitian ini dilakukan Performance Measurement in Indonesia:
dengan pendekatan kuantitatif saja, sehingga The Case of Local Government. Pacific
memiliki kekurangan dalam menangkap isu Accounting Review, 24 (3), 262-291.
fenomena isomorpisme dalam implementasi Atkinson, A. A., and J. Q. McCrindell. 1997.
SAKIP di pemda. Strategic Performance Measurement in
Beberapa masukan yang direkomendasi- Government. Cost & Management, 20–23.
kan untuk pengembangan penelitian berikut- Atkinson, A. A., J. H. Waterhouse, and R. B.
nya, yaitu: pertama, peneliti berikutnya Wells. 1997. A Stakeholder Approach
dapat mencari faktor-faktor lain yang terkait to Strategic Performance Measurement.
dengan implementasi sistem pengukuran Sloan Management Review, 25–37.
kinerja. Kedua, penelitian selanjutnya Bandura. 1986. Social Foundation of Though
sangat disarankan untuk dilakukan di pemda and Action: A Social Theory. Englewood
selain lingkup DIY atau bahkan memperluas Cliffs, NJ: Prentice Hall.
wilayah penelitian hingga ke seluruh pemda di Bandura. 1997. Self-efficacy; The Exercise of
Indonesia. Ketiga, melakukan perbaikan untuk Control. W. H. Freemand and Company.
instrumen pengukuran variabel kesesuaian Bansal, H. S., P. G. Irving, and S. F. Taylor.
tugas dengan kompetensi pendidikan (KTdK). 2004. A Three Component Model of
Terakhir, penggunaan riset campuran (mixed Customer Commitment to Service
method) sangat disarankan bagi penelitian Providers. Academy of Marketing
berikutnya, karena dengan menggunakan Science, 32 (3).
teknik ini maka hasil yang diperoleh dapat Cavalluzzo, K. S. and C. D. Ittner. 2004.
digali lebih dalam, khususnya terkait fenomena Implementing Performance Measure-
ment Innovations: Evidence From
isomorpisme dalam implementasi sistem
Government. Accounting, Organizations
pengukuran kinerja pemerintah. Model riset
and Society, 29, 243-267.
campuran juga memungkinkan peneliti untuk
Chin, W.W. 1998. Issues and Opinion on
melihat suatu fenomena dari sudut pandang
Structural Equation Modeling. MIS
yang beragam dan kaya dibandingkan apabila
Quarterly, 22 (1).
204 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2013, Vol. 10, No. 2, hal 184 - 205
Chin, W. W., B. L. Marcolin, and P. R. Newsted. 2nd edition. Thousand Oaks, CA: Sage
2003. A Partial Least Squares Latent Publications, Inc.
Variable Modeling Approach for Hood, C. 1995. The ‘‘Newpublic Management’’
Measuring Interaction Effects: Results in The 1980s: Variations on a Theme”.
from A Monte Carlo Simulation Study Accounting, Organizations and Society,
and Voice Mail Emotion/Adoption 20, 93–109.
Study. Information System Research, 14 Inpres RI No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas
(2), 189-217. Kinerja Instansi Pemerintah.
Collins, R. 1979. The Credential Society. New Ittner, C. D., D. F. Larcker, and T. Randall.
York: Academic Press. 2002. Performance Implications of
DiMaggio, P. J., and W. W. Powell. 1983. Strategic Performance Measurement
The Iron Cage Revisited: Institutional in Financial Services Firms. Working
Isomorphism and Collective Rationality paper, University of Pennsylvania and
in Organizational Fields. Dalam W. W. University of Utah.
Powell and P. J. DiMaggio (editor). The Julnes, P. L. and M. Holzer. 2001. Promoting
New Institutionalism in Organizational the Utilization of Performance Measures
Analysis. Chicago: The University of in Public Organization: An Empirical
Chicago Press. Study of Factors Affecting Adoption and
Fennell, M. L. 1980. The Effects of Environ- Implementation. Public Administration
mental Characteristics on the Structure Review, 61 (6), 693–708.
of Hospital Clusters. Administrative Kloot, L. 1999. Performance Measurement
Science Quarterly, 25, 484-510.
and Accountability in Victorian Local
Field, A. 2009. Discovering Statistics Using
Government. The International Journal
SPSS. London: Sage.
of Public Sector Management, 12 (7),
Gates, S. 1999. Aligning Strategic Performance
565-583.
Measures and Results. NewYork, NY:
Korzaan, M. L. and K. T. Boswell. 2008.
The Conference Board.
The Influence of Personality Traits
Guadagno, R. E., B. M. Okdie, and C. A.
and Information Privacy Concerns
Eno. 2007. Who Blogs? Personality
on Behavioral Intentions. Journal of
Predictors of Blogging. Computer in
Computer Information System, 16-24.
Human Behavior, 24 (5), 1993-2004.
Gudono. 2014. Teori Organisasi Edisi 3. Kravchuk, R. S., and W. S. Ronald. 1996.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Designing Effective Performance Mea-
Hartono, J. dan Abdillah. 2009. Konsep dan surement System Under the Government
Aplikasi PLS (Partial Least Square) Performance and Result Act of 1993.
untuk Penelitian Empiris. Yogyakarta: Public Administration Review, 56 (4),
BPFE Yogyakarta. 348-358.
Hawley, A. 1968. Human Ecology in David L. Lai, M. C. and S. L. Fan. 2008. Use of Fit
Sills (ed), International Encyclopedia Perception in Employee Behavioral
of the Social Sciences. New York: Criteria in Taiwan IT Industry. Business
Macmillan. and Information, 5 (1).
Henseler, J., C. M. Ringle, and R. R, Sinkovics. Larson, M. S. 1977. The Rise of Professionalism:
2009. The Use of Partial Least Squares A Sociological Analysis. Berkeley:
International Marketing. Advances in University of California Press.
International Marketing, 20, 277–319. Lee, C., and P. Bobko. 1994. Self Efficacy
Hofstede, G. 2001. Culture’s Consequences: Belief: Comparation of Measures.
Comparing Values, Behaviors, Insti- Journal of Applied Psychology, 60, 187-
tutions, and Organizations Across Nations 191.
Hafiez Sofyani dan Rusdi Akbar, Hubungan Faktor Internal Institusi ... 205