You are on page 1of 3

Pada lazuardi di hari itu ia bercerita.

Dengan wajah yang terbiaskan cahaya, dan


angin-angin yang menerbangkan anak rambutnya. Lelaki itu tersenyum; Jimin namanya.
Tangannya menggapai sinar jingga matahari yang mulai turun, seolah menggenggam
sinarnya. Menunggu waktu; mengamati hari yang mulai usang.

“Suatu ketika aku melihat,” Jimin mulai bercerita. Bibirnya masih mengukir senyum
ceria, hingga mentranya menjelma menjadi lipatan sabit. “Ada waktu yang berjalan cepat
tanpa mampu ditangkap logika. Lalu kita berserakan ketika mengejarnya,”

Netra Jimin memancarkan cinta; sering mereka bilang ia gila. Seperti itulah, lelaki itu
akan bercerita, mengoceh tentang waktu yang membuatnya terseok mengejar dunia. Tentang
fragmen cerita yang berserakan; sebagian besar mengenai akhir semesta. Ia akan terus
bercerita hingga hari menjelma menjadi malam.

“Waktu terus berjalan begitu cepat. Dahulu aku sering melihat indah lazuardi selama
mungkin. Namun kini jingganya dapat kuhitung dalam kerjaban mata.” Jimin mengoceh lagi.
Sendiri. Mereka membiarkannya, mereka bilang Jimin gila. Sebab itu ia berada dalam ruang
isolasi sendiri, dengan jendela menghadap langit.

Tapi satu hal itu yang membuat Jungkook ingin singgah lebih lama; dengan
seragamnya. Ia kadang mendengarkan Jimin berbicara soal senja. Dan lazuardi yang
berwarna jingga. Dimana Jungkook masih menilik ada sisa waras yang dikatakan nuraninya,
Jimin tidak gila.

Jika pagi telah menjelang; Jimin akan tertidur. Atau mungkin mencari elegi dalam
riuh rumah sakit jiwa. Lain waktu, ia akan menjadi-jadi. Layaknya yang mereka sebut tidak
waras. Meracau soal waktu, lalu menangis dan mengucap bahwa ia kehabisan waktu.

“Bumi kita telah menua!!”

“Hei!!”

Riuh. Semua orang menjadi riuh. Terutama Jungkook yang tengah mengambil cuti, sengaja
menyempatkan diri menjenguk Jimin. Dengan coklat di tangan dan sebuah buku kecil. Jimin
suka menulis. Sedang Jungkook suka melukis.

Hari itu Jimin memekik dengan lantang, menggeram dan menerjang siapapun yang
membawanya kembali tenang. Linang air mata jatuh pada pipi putihnya, sedang netranya
menggumpalkan ketakutan. Ia mencakar-kacar, mengoceh kata-kata yang sama secara
berulang.

“Bumi kita telah menua, sebab itu waktu berjalan begitu cepat. Maka tanda bahwa
kita akan binasa!”

Tapi hari itu, banyak orang sigap meringkusnya. Sebab Jimin keluar dari lingkaran
sadarnya, terus menangis, meraung dan memekik. Mengoceh tentang ketakutan dengan
suaranya yang melengking tinggi memilukan. Hari itu mereka mendeklarasikan; bahwa Jimin
memang benar adanya, ia gila.

Ada Jungkook yang teriris hatinya di seberang sana;

Pada senja berikutnya; ada lazuardi yang berwarna kehitaman. Di sapu awan tebal.
Namun kali ini Jimin tidak duduk di jendela sembari bercerita tentang harinya. Ia terbaring di
atas tilam, tersenyum kelam sembari menelusuri air hujan yang jatuh membasahi jendela.
Aroma lembab tanah yang tersapu hujan memenuhi ruangan; serta riuh suara hujan menjadi
teman helaan nafas Jimin yang menjadi satu per satu.

“Saya telah kehabisan waktu; dan menemukan diri berserakan ketika mengejarnya.”
Jimin mulai bicara lagi, namun nadanya lirih dan sendu. Tangannya terlipat di dada,
wajahnya diliputi ekspresi yang tidak mampu diterjemahkan. Jungkook sedang bertugas sore
itu, jadi ia tidak mampu terlalu lama berbicara dengan Jimin. Atau mendengar ocehannya.

Namun wajah Jimin terlihat sedikit pucat;

“Bumi telah menua, dan waktu akan merenggut apa saja yang melawannya. Termasuk
saya, mungkin hari ini saya telah kehabisan waktu. Semua hal yang diciptakan memiliki batas
waktu, sebab itulah waktu menjadi lari tanpa mampu berhenti.”

Jimin menutup kalimatnya dengan senyum sedih terkembang di wajah. Lalu nafasnya
menjadi hilang. Sore itu; di hari hujan dan lazuardi yang menghitam, Jimin melepas diri
menyerah dengan waktu.

.
.

Selesai.

Biodata Penulis

Feyi Jung adalah seorang mahasiswi institusi kesehatan, yang mencintai hujan dan badai
sekarang tengah menjadi horisontal dengan berdarah di atas aksara. Baginya kopi,
Bangtanboys dan Marvel adalah bumbu penyedap di dalam kehidupan yang kurang sedap.

You might also like