Professional Documents
Culture Documents
Unsur Unsur Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Sma Negeri 1 Medan
Unsur Unsur Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Sma Negeri 1 Medan
DISUSUN OLEH :
Kelas : XI MIA 1
Mayoritas penduduk Suku Aceh adalah beragama Islam dan memiliki kekayaan budaya yang
beragam. Kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki sarat dengan nilai-nilai Islam dan adat-
istiadat setempat. Suku Aceh memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang. Nenek moyang
Suku Aceh berasal dari berbagai wilayah di luar Indonesia.
Yakni Arab, Melayu, Semenanjung Malaysia, dan India. Tiap-tiap periode tertentu memiliki
ciri khas budaya dari Nenek Moyang yang berbeda. Hal ini terjadi karena wilayah Aceh
menjadi salah satu tempat singgah paling sering dikunjungi bagi para pedagang di seluruh
dunia
Dulu sebelum Islam datang, masyarakat Aceh mayoritas memeluk Agama Hindu. Hal ini
dapat dibuktikan dari beberapa budaya Aceh yang masih memiliki unsur-unsur Hindu dan
budaya India. Namun setelah Agama Islam datang, kebudayaan Aceh mengalami perubahan
dan menyesuaikan dengan kebudyaan Islam.
Sehingga sejak saat itu, mayoritas Suku Aceh beragama Islam. Kebudayaan-kebudayaan
Suku Aceh masih tetap lestari hingga sekarang. Beberapa kebudayaan Aceh cukup terkenal
dan masih menjadi suatu ikon yang nampak apabila masyarakat di wilayah lain mengenang
tentang Aceh.
7 UNSUR KEBUDAYAAN DI PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
A. Bahasa
Aceh merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia dan luas wilayahnyapun tidak
terlalu besar juga, namun demikian provinsi Aceh memiliki beragam bahasa kebudayaan.
Bahasa kebudayaan di provinsi aceh akan kita bahas sebagai berikut ini.
1. Bahasa Alas
Orang Alas berasal dari kabupaten Aceh Tenggara yang disebut Tanah Alas. Kata “alas”
sendiri dalam bahas Gayo berarti “tikar”, dan nama ini ada hubungannya dengan keadaan
wilayah pemukiman orang Alas yang terbentang luas seperti tikar terkembang di sela-sela
Bukit Barisan. Jumlah penduduknya diperkirakan sekitar 90.000 jiwa lebih.
Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu
bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Hulu,
dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang Alas dibedakan berdasarkan
penggunaan dialek bahasa tersebut.
Sukubangsa Anak Jamek atau Aneuk Jamee di kecamatan Samadua dan Manggeng,
Kabupaten Aceh Selatan. Jumlah populasinya diperkirakan sekitar 14.000 jiwa. Aneuk Jamee
dalam bahasa Aceh secara harfiah berarti “anak tamu” atau pendatang.
Dilihat dari segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal dari bahasa
Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh. Penggunaan bahasa Aneuk
Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara lain dialek samadua dan dialek Tapak Tuan.
Orang Gayo berdiam di Kabupaten aceh Tengah, sebagian lain di Kabupaten Aceh Tenggara
dan Aceh Timur, terutama di sekitar Danau Laut Tawar. Tempat bermukim orang Gayo
disebut tanoh Gayo (Tanah gayo). Diperkirakan jumlah orang Gayo seluruhnya sekitar
120.000 jiwa.
Bahasa Gayo digunakan dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan bahasa gayo dibedakan
atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan
Deret, dan dialek Gayo Luwes yang meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi.
4. Bahasa Simeuleue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Acehyang merupakan bahasa ibu bagi
masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam
penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau
dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar
pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa
daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di Kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa
daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan
bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah
bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu
bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek
Devayan yang digunakan di wilayah Kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di
Kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah
Kecataman Simeulue Barat dan Kecamatan Salang.
5. Bahasa Tamiang
Orang Tamiang mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Timur, yang dahulu
merupakan wilayah administratif Kawedanan Tamiang. Diperkirakan saat ini orang tamiang
berjumlah sekitar 125.000 jiwa lebih.
Orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang kebanyakan kosa
katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa bahasa Tamiang
merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Bahasa Tamiang ditandai oleh
mengucapkan huruf R menjadi Gh, misalnya kata “orang” dibaca menjadi oghang. Sementara
itu huruf Tsering C, misalnya kata “tiada”dibaca “ciade”.
Sukubangsa ini dikenal pula dengan nama orang Muslim Gunung Kong atau Orang Cumbok.
Dalam pergaulan sehari-hari orang Gumbak Cadek menggunakan suatu bahasa yang
merupakan gabungan dialek Aceh Gayo.
7. Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah
Aceh yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Singkil, khususnya mereka yang
mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya
sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue.
Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika upaya-upaya untuk kemajuan,
pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa
ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
8. Bahasa Singkil.
Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di Kabupaten Singkil. Saya
katakana sebagian, karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di Kabupaten Singkil
yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa
Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak)
khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu
masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa
Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa
komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia.
Dari sudut pandang ilmu linguistics, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok
masyarkat di provinsi Aceh yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.
9. Bahasa Kluet.
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah Kecamatan
Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet,
terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh
secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-
beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat
dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu
saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik
dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.
Mereka juga memiliki pabrik pabrik perinduustrian yang di dunakan untuk mengolah hasil
hasil perkebunan mereka seperti hasil perkebunan kelapa sawit, tebu, tembakau, karet dan
lain sebaginya sehingga dapat dikatakkan bahwa teknologi yang mereka miliki saat ini tidak
kalah dengan daerah daerah yang lain bahkan juga bisa dikatakan lebih maju dari daerah
daerah yang lain.
Dengan singkat, potensi untuk pembangunan daerah orang aceh, yang untuk sementara
terletak dalam sektor pertanian, cukup ada. Sedangkan untuk sektor sektor perumahan
penduduk atau pembangunan itu perlu ditingkatkan.
1. Bercocok Tanam
3. Berdagang.
4. Perindustrian
Perindustrian juga sudah sejak lama dibangun di Aceh. Industri pupuk juga telah lama
berkembang dan sekarang menjadi salah satu indtri terbesar di
Aceh. Pupuk yang dihasilkan itu seperti pupuk AAF dan PIM.
Selain itu, terdapat pula ribuan indutri rumah tangga. Dikabupaten
aceh timur terdapat beberapa kawasa indutri. Industri yang
dikembangkan antara lain indutri kayu lapis, pabrik lem, pabrik
kertas, pabrik minyak kelapa sawit dan pengolahan hasil bumi lainya.
5. Nelayan
Diprovinsi ini juga ada kawasan perairan yang kaya akan sumber daya ikan. Sepanjang pantai
timur, pantai uutara dan pantai barat merupakan perairan
potensial untuk wilayah perikanan. Hasil hasil perikanannya
berupa ikan air laut, ikan air tawar dan udang. Sehingga sebagian
dari mereka juga bermata pencaharian sebagi nelayan.
Kekayaan provinsi Nanggroe Aceh Darusalam tidak terlepas dari kandungan bahan mineral
yang terdapat di provinsi ini. Minyak mentah, gas alam cair, emas dan perak merupakan
kekayaan bumi nanggroe aceh darusalam. Gas alam cair ditemukan dikabupaten aceh utara
tepatnya di Arun Lhokseumawe. Gas alam cair ini telah diolah oleh PT Arun LNG. Industri
pengolahan gas alam cair ini telah berlangsung sejak 1974.
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan
prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal
di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab
ayah sepenuhnya.
Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan
Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap
sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat
pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan
ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah
keluarga inti yang disebut rumah tangga. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang
mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang
utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat
golongan masyarakat, yaitu golongan Keluarga Sultan, Golongan Uleebalang, Golongan
Ulama, dan Golongan Rakyat Biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas
sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah
ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang
keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan.
Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut
Teungku atau Tengku.
Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas tiga lapisan sosial,
yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang bepake. Golongan pertama terdiri atas
raja beserta keturunannya. yang menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk
perempuan; golongan kedua adalah orangÂorang yang memperoleh hak dan kekuasaan
tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan ketiga merupakan
golongan orang kebanyakan.
3. Sistem Kemasyarakatan
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang
dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah
(madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong
disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa
kepada sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-
pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut
(penasehat adat).
Struktur masyarakat suku Aceh yang lama didasarkan atas kesatuan-kesatuan teritorial, dari
bentuk terkecil sampai dengan terbesar dengan urut-urutan sebagai berikut:
4. Daerah Sague (sagi), yaitu gabungan dari mukim-mukim yang lebih luas lagi.
1.Pemerintahan Gampong terdiri dari beberapa pejabat, yaitu: Keusyik, yaitu kepala
Gampong.
Jabatan ini bersifat turun-temurun dan diresmikan oleh Ulee Balang. Kewajibannya adalah :
3. Ureung Tua Yaitu suatu majelis desa yang terdiri dari orang-orang tua yang sudah banyak
pengalaman dan paham benar mengenai adat-istiadat Aceh.
Dengan demikian maka gampong adalah corak masyarakat yang demokratis, di mana unsur-
unsur agama dan adat mempunyai kedudukan dan fungsi/tugas yang seimbang. Kesatuan
antara adatr dan agama ini sering disebut Adat Makuta Alam.
Daerah mukim adalah kesatuan hukum yang bercorak agama. Kepala mukim disebut Imam,
yang dipilih oleh Ulee Balang untuk menjadi pemimpin masyarakat di dalam lingkungannya
(lingkungan mukim).
Daerah Ulee Balang bersifat otonom tanpa campur tangan dari Sultan, dikepalai oleh seorang
Ulee Balang yang bersifat turun-temurun.
Daerah Sague (sagi) dikepalai oleh seorang Panglima Sagi. Ia mempunyai hubungan
keturunan langsung dengan Sultan. Karena itu seorang Panglima kadang-kadang juga
menjadi penasehat Sultan.
Pendidikan agama di aceh merupakan pendidikan yang universal bagi setiap anak sejak umur
7 tahun. Pertama mengikuti pendidikan di meunasah (madrasah). Setelah di Maadrasah
merka melanjutkan di pesantren sampai berumur 15 tahun keatas.
F. Sistem Religi
Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal
menerima agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini
dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya
"pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia
dengan tempat dari mana agama tersebut berasal.
Agama islam lebih menonjol dalam segala bentuk dan
manivestasi di dalam masyarakat, biarpun pengaruh
adat tidak hilang sama sekali. Pengaruh agama
terhadap kehidupan masyarakat sangat berhubungan dengan kerohanian dan kepribadian
seseorang yang mempengaruhi sifat kekeluargaan seperti pernikahan, harta waris, dan
kematian. Dengan berlakunya syariah islam
di Aceh, maka seluruh pelanggaran antara orang-orang maupun golongan lebih banyak
diputuskan berdasarkan hukum islam.
Walaupun orang Aceh hampir semuanya beragama islam namun terdapat juga gereja di
Aceh. Gereja-gereja ini umumnya didirikan oleh Belanda dan sedikit adanya gereja-gereja
baru. Catatan resmi tentang jumlah gereja di Aceh tidak ada. Kecuali catatan tahun 1954 yang
menyatakan jumlah gereja di Aceh 36 buah.
G. Kesenian
Wilayah Aceh kaya akan tradisi dan budaya. Lagu daerahnya yaitu “Piso Suri” Bungong
Jeumpa”. Tarian dari daerah ini antara lain tari Seudati, tari Saman, tari Meusekat, tari Ular-
Ular , tari Guel Randai. Tari Seudati merupakan tari yang paling terkenal, bahkan ke
mancanegara. Tari ini dimainkan oleh beberapa orang. Keunikan tarian ini yaitu ketangkasan,
kecepatan, dan kekompakan para penarinya.
Seni hias khas Aceh yaitu bentuk pilin berganda. Seni hias ini biasa digunakan pada ukiran
kain tenun. Bentuk pilin berganda terdiri atas susunan lima huruf. Senjata tradisionalnya yaitu
Rencong. Pegangan rencong biasanya terbuat dari besi yang bertulisan ayat-ayat Alquran.
Selain rencong, terdapat pula kesenian tradisional lainnya, yaitu Pedang Daun tebu
(digunakan oleh panglima perang) dan Rendeuh (digunakan prajurit).
Rumah adat daerah aceh adalah rumoh aceh. Rumoh aceh ini berbentuk Rumah Panggung
yang terbuat dari kayu meranti. Rumoh aceh terdiri atas tiga serambi yaitu Seuramoe keu
(Serambi deoan), rumah inong (serambi tengah), dan seuramoe likot (serambi belakang).
Selain itu, terdapat pula rumah adat untuk menyimpan padi (lumbubg padi), yaitu krong pade
atau berandang. Selain itu, ada juga makanan khas. Makanan kas tersebut antara lain gulai,
timpan, daging masak pedas, dan masak udang cumi.
-Tari Saman
Sebenarnya, Tari Saman adalah tari yang dibawakan oleh penari laki-laki secara
berkelompok. Jumlah penari dalam kelompok Tari Saman berjumlah ganjil, minimal 9 orang.
Tarian ini adalah tarian khas Suku Gayo, yakni suku tertua di Aceh.
Tari Saman dibawakan dengan gerakan menepuk dada dan lantai, diiringi gendangan rebana
oleh seorang syeh yang juga menyanyikan lagu dalam bahasa Gayo. Kostum yang digunakan
pun adalah pakaian adat suku Gayo.
-Ratoh Jaroe
-Tari Seudati
Arbab
Instrumen ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri (instrumen induknya) dan
penggeseknya (stryk stock) dalam bahasa daerah disebut: Go Arab. Instrumen ini memakai
bahan: tempurung kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai
Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini
dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb.
Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir
kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang.
Bangsi Alas
Bangsi Alas adalah sejenis instrumen tiup dari bambu yang dijumpai di daerah Alas,
Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan adanya
orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada
seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai.
Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang
telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang
mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu
suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan orang kaya yang sering dibungkus dengan perak atau
suasa.
dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang
pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee
ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya
hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.
Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan
musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap
menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
Rapai
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana
dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang
berfungsi pengiring kesenian tradisional.
Rapai ini banyak jenisnya: Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai Daboih, Rapai Geurimpheng
(rapai macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.
Geundrang (Gendang)
Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang
termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau
memakai kayu pemukul. Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di
daerah pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat
pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.
Tambo
Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang
iboh), kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi
sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk
mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung.
Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat
teknologi microphone.
Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah
kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2
jenis :
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga
lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan
dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).