Professional Documents
Culture Documents
Kepastian Hukum
Kepastian Hukum
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
ABSTRACT
The Supreme Court Decision Number 46 P / HUM / 2018 has triggered a split in
the legal paradigm in Indonesia. The philosophical discourse between justice,
certainty, and legal usefulness in the reality of Indonesian law reflect the intense
symptoms of legal positivism in the Supreme Court decision. It causes the loss
of a sense of justice and the hope of the community to obtain a track record of
candidates who are clean and with integrity. This research is normative-
philosophical legal research. The approach through the theory of justice by
John Stuart Mill and John Rawls will be used to see the conception of truth,
benefit, and legal certainty in decisions. The construction of sentences in a
decision applies the concept of justice as equality (justice as fairness) seen
from the judges' considerations. It emphasizes individual freedom (political
rights, elect, and choice) as a form of an effort to assert libertarian rights or
natural rights that cannot be negated by other people's freedom. Meanwhile, the
aspects of benefit and legal certainty emphasize the positivistic paradigm in law.
Three constitutional values (justice, certainty, and legal usefulness) have an
equally important position in the framework of the country's legal system.
ABSTRAK
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 memicu keterbelahan
paradigma berhukum di Indonesia. Diskursus filosofi antara keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan hukum dalam realitas hukum Indonesia mencerminkan
kuatnya gejala positivisme hukum dalam putusan MA dan menyebabkan
hilangnya rasa keadilan dan harapan masyarakat untuk memperoleh rekam
jejak caleg yang bersih dan berintegritas. Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatiffilosofis. Pendekatan melalui teori keadilan John Stuart Mill dan
John Rawls akan digunakan untuk melihat konsepsi keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum dalam putusan. Konstruksi keadilan dalam putusan
menerapkan konsep keadilan sebagai kesetaraan (justice as fairness) terlihat
dari pertimbangan hakim yang lebih menekankan kepada kebebasan individual
(hak politik, dipilih dan memilih) sebagai bentuk dari upaya untuk menegaskan
hak-hak libertarian atau hak natural yang tidak dapat dinegasi oleh kebebasan
orang lain. Sedangkan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum lebih
23
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
I. PENDAHULUAN
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 (PMA No. 46 Tahun
2018) 1 merupakan putusan yang dihasilkan dari perkara uji materil pasal 4 ayat
(3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran B.3 Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 20 Tahun 2018 (PKPU No. 20 Tahun 2018) 2 tentang Pencalonan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
“Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3 yang
mengatur tentang hak politik warga Negara, merupakan norma hukum
baru yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang- undangan yang lebih
tinggi dalam hal ini Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka ketentuan Pasal 4 ayat
(3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20
Tahun 2018 sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” harus
1 https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/db34083a4c17ab94aa322de5
2eb5a60b/pdf diakses pada 28 Februari 2019
2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 834.
3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 182 Tahun 2017, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6109.
4 Mantan Terpidana Korupsi yang bertindak sebagai Pemohon dalam Uji Materil Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Dengan adanya larangan mantan terpidana korupsi untuk
mencalonkan kembali menjadi anggota legislative berdasarkan PKPU No. 20 Tahun 2018
maka akan menghambat Jumanto untuk kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
di DPRD Kabupaten Probolinggo.
24
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
kembali dalam pemilhan legislatif tahun 2019. Hal inilah yang kemudian
membuat harapan KPU dan publik untuk menghadirkan caleg yang bersih dan
berintegritas menjadi terhambat.7
25
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
9 https://nasional.kompas.com/read/2018/09/15/11482971/pakar-putusan-ma-terhadap-pkpu-
menjauhkan-darihukum-progresif diakses pada 28 Februari 2019
10 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermatabat, (Jakarta: Raja Garafindo Persada,
2012), h.196.
11 I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis dan Historis, (Malang: Setara
Press, 2013), h. 41.
12 Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h.184.
13 Cabral, James E., et al. "Using technology to enhance access to justice." Harv. JL & Tech.
26 (2012): 241.
14 Lili Rasjidi, Hukum Sebagau Suatu Sistem, h. 184.
26
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
15 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa & Nusa
Media, 2004), h.135.
16 Awaludin Marwan, Teori Hukum Kontemporer, (Rangkang Education: Yogyakarta, 2010),
h.18.
17 Leiter, Brian. "In Praise of Realism (and against Nonsense Jurisprudence." Geo. LJ 100
(2011): 865.
27
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
IV. PEMBAHASAN
1. Hakikat Putusan Pengadilan
28
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
29
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
27
tersebut. Sifatnya yang transedental logis itu dapat ditelusui dari tiga aspek
yaitu aspek keadilan yang menjelaskan pada kesamaan hak di depan hukum,
aspek kemanfaatan yang berkiblat pada tujuan keadilan sebagai
pengejawantahan kebaikan dalam hidup manusia yang menentukan isi hukum,
sedangkan kepastian berarti membuka jaminan bahwa hukum yang berisi
keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan benar-benar berfungsi
28
sebagai peraturan yang ditaati. Oleh karena itu tiga nilai hukum (kepastian,
kemanfaatan, dan keadilan) mempunyai posisi yang sama penting dalam
kerangka sistem hukum negara. Tatkala ketiganya berkonfik, maka peran hakim
29
untuk secara seimbang menerapkan ketiga tujuan hukum tersebut. Peran
hakim dalam mempertimbangkan ketiga unsur tersebut sangat diperlukan.
30
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
contoh kriteria ini dapat diukur dari suatu tindakan tertentu yang dianggap benar
jika dapat memperbesar kebahagiaan dan anggap sebagai tindakan yang keliru
32
jika cenderung mengurangi kadar kebahagiaan. Standar keadilan didasarkan
pada kegunaannya. Keadilan tersebut hendaknya bersumber dari naluri
manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang di derita. Karena itu
perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak
hanya atas dasar kepentingan individu melainkan lebih luas dari itu. 33
Menurut pandangan Mill kebahagiaan dapat diukur dari dua hal yaitu,
kesenangan dan ketiadaan rasa sakit. 34 Dari pernyataan tersebut, mencuat dua
asumsi krusial yang melandasi dialektika keadilan dalam perspektif utilitarian
yaitu tujuan hidup adalah kebahagiaan dan kebenaran dari suatu tindakan yang
ditentukan oleh kontribusinya bagi kebahagiaan. 35 Bentham juga menegaskan
bahwa kebahagiaan berkorelasi secara terminologis dengan kesenangan dan
ketidakhadiran rasa sakit.36
31
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
38 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
15.
39 Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, diedit oleh J.H.
Burns dan H.L.A Hart, h. 11-12.
40 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda),
Diterjemahkan Oleh Yudi Santoso, h. 16.
41 Nodelman, Uri, Colin Allen, and John Perry. "Stanford encyclopedia of philosophy." (1995).
42 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda),
Diterjemahkan Oleh Yudi Santoso, h. 18.
32
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
Jika demikian, dari mana sumber intuisi khusus keadilan?. Menurut Mill,
sentimen keadilan berasal dari hasrat hewani untuk menolak atau mambalas
rasa sakit atas kerusakan yang menimpa dirinya dan orang lain. 45 Dalam diri
seseorang tidak ada yang bersifat moral dengan perasaan ini. Namun, ketika
seseorang berhadapan dengan subordinasi simpati-simpati sosial maka hasrat
untuk membalas berubah, yaitu mereka yang melanggar aturan mestinya
dihukum. Pada taraf ini barulah perasaan tersebut akan menjadi perasaan
moral. Singkatnya, dibalik keadilan bersembunyi kepentingan akan rasa aman,
sebuah kepentingan yang paling vital diantara kepentingan yang ada. 46 Aturan-
aturan keadilan di dukung oleh kemanfaatan untuk mempertahankan rasa
aman. Sehingga, ketika ada yang bertanya kenapa masyarakat harus membela
43 Fahmi, Khairul. "Menelusuri konsep keadilan pemilihan umum menurut UUD 1945." Jurnal
Cita Hukum 4.2 (2016): 167-186.
44 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda),
Diterjemahkan Oleh Yudi Santoso, h. 19-20.
45 Mill, John Stuart. "The Philosophy of John Stuart Mill: ethical, political, and religious." (1961).
46 Anderson, Elizabeth S. "John Stuart Mill and experiments in living." Ethics 102.1 (1991): 4-
26.
33
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
hak-hak saya, jawabannya terletak pada kepentingan bersama akan rasa aman
itu sendiri.47
langsung dari peraturan atau tindakan yang dilakukan. 48 Sejauh aturan tersebut
berakibat baik, maka peraturan atau tindakan itu dengan sendirinya baik dan
adil. Sebaliknya, jika berakibat buruk, maka peraturan atau tindakan tersebut
tidak baik dan tidak adil.49
47 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
21.
48 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls, (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), h. 21.
49 Khairul Fahmi, “Menelusuri Konsep Keadilan Pemilihan Umum Menurut UUD 1945”, h. 175.
50 Robert Paul Wolf, Understanding Rawls: A Reconstruction and Critique of A Theory of
Justice, (Princenton: Princenton University Press, 1977), h. 11.
51 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
49.
34
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
52
(original position) dan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance). Hasilnya
53
adalah keadilan sebagai kesetaraan (justice as fairness). Prinsip keadilan
sebagai kesetaraan dapat ditemukan melalui nukilan Rawls yang menyatakan
bahwa:
First: each person is to have an equal right to the most extensive scheme
of equal basic liberties compatible with a similar scheme of liberties for
others. Second: social and economic inequalities are to be arranged so
that they are both (a) reasonably expected to be to everyone’s advantage,
and (b) attached to positions and offices open to all.54
55
kebebasan dari yang satu dengan kebebasan dari yang lain. Untuk itu, prinsip
pertama dikategorikan sebagai prinsip yang berkenaan dengan kebebasan
warga negara sebagai perwujudan kebebasan politik (hak memilih serta dipilih
menduduki jabatan publik) bersama dengan kebebasan berbicara dan
berserikat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berfikir, kebebasan untuk
mempertahankan hak milik, dan kebebasan dari penangkapan
sewenangwenang sebagaimana didefinisikan oleh konsep rule of law. Dengan
demikian, Preskripi dari prinsip yang pertama ini adalah setara, karena setiap
individu dalam masyarakat yang adil mempunyai hak-hak dasar yang sama.
52 Marwan Efendy, Teori Hukum Dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi
Hukum Pidana, (Jakarta: Referensi, 2014), h. 77-78.
53 J. Mandle, “John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement”, Journal Utilitas, vol. 14, issue
2, 2002, Cambridge University, pp. 265-268. Lihat juga Stein, Stanley M., and Thomas L.
Harper. “Rawls’s ‘Justice as Fairness’: A Moral Basis for Contemporary Planning Theory”,
Planning Theory Journals, vol. 4, issue. 2, July 2005, h. 147– 172.
54 John Rawls, A Theory Of Justice (Revised Edition), (Cambridge, Massachusetts: The
Belknap Press Of Harvard University Press, 1971), h. 53.
55 Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Filsafat Hukum,
diterjemahkan oleh B. Arief Shidarta, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 85-87.
35
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
Kedua prinsip tersebut tunduk pada tata urutan leksikal yang berarti
bahwa kedua prinsip itu mewakili jejaring prioritas. Prinsip pertama merupakan
prioritas yang harus dipenuhi sebelum prinsip kedua. Urutan prioritas pertama
menguatkan prinsip “prioritas kebebasan” yang memungkinkan kebebasan
hanya demi kebebasan itu sendiri (kebebasan atas kebebasan). Sedangkan
prioritas kedua lebih menggambarkan prioritas keadilan terhadap efisiensi dan
kesejahteraan. Pada suatu tatanan masyarakat demokratis diasumsikan bahwa
setiap individu memiliki kebebasan dan tanggung jawab atas dirinya sendiri
dalam pergaulan yang demokratis. Kebebasan individu hanya boleh dibatasi
oleh kebebasan yang lainnya. Rawls (1971) menyatakan bahwa dalam
perspektif keadilan sebagai fairness, kebebasan dapat dibatasi karena alasan
pembatasan tersebut dapat mengakibatkan ketidaksamaan dalam kebebasan
politik, akan tetapi ketidaksamaan tersebut diperbolehkan apabila hal itu penting
demi terjaminnya kebebasan dari kelompok yang kurang beruntung. 56 Keadilan
hanya bisa diwujudkan dalam suatu tatanan masyarakat, bukan secara individu.
Dalam konteks ini pun selaras dengan Hans Kelsen bahwa keadilan adalah
kebahagian yang tidak bisa ditemukan sebagai seorang individu, sehingga ia
36
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
59 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
61.
60 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
62.
37
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
11 ayat (1) PKPU No. 20 Tahun 2018, yang intinya melarang mantan
terpidana korupsi untuk ikut serta dalam seleksi bakal calon anggota
legislative melalui penyaringan partai politik. 61 Padahal, seirama dengan
itu, jika ditelisik UU No. 7 Tahun 2017 tidak mengatur norma pelarangan
bagi mantan narapidana korupsi untuk tampil kembali dalam panggung
pemilu.
3. Tak hanya itu saja, norma yang terdapat dalam PKPU No. 20 Tahun
2018 juga membatasi hak konstitusional seseorang dalam rangka
memajukan dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Walhasil, ketentuan itu telah menghukum seseorang tanpa adanya
proses peradilan yang sah.63
4. Secara subtansial ketentuan dari Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (1)
PKPU No. 20 Tahun 2018 telah melanggar prisinsip konstitusionalitas
hak warga negara untuk dipilih, ketidakpastian hukum dalam penerapan
pembatasan hak, serta pembatasan hak kolektif untuk memajukan
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang telah
ditegaskan dalam UUD NRI Tahun 1945. 64
38
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
KUHP yang mengatur pencabutan hak politik hanya dapat dilakukan melalui
putusan in crach van gewisjde.66
Selaras dengan itu, PKPU No. 20 Tahun 2018 bertentangan dengan Pasal
240 ayat (1) huruf g UU Pemilu karena tidak ada norma atau aturan larangan
mencalonkan diri bagi mantan terpidana korupsi sebagaimana yang tercantum
dalam PKPU No. 20 Tahun 2018.67 Sehingga, larangan tersebut masuk ke
dalam wilayah pembatasan hak politik seseorang untuk mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif yang pada prinsipnya harus dibatasi melali kekuatan
undang-undang. Bahkan, materi PKPU No. 20 Tahun 2018 juga bertentangan
dengan pasal 12 huruf d UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan karena peraturan dibawah undang-undang
berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Sehingga, KPU telah membuat ketentuan yang tidak diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini disadari bahwa norma
tersebut merupakan norma hukum baru yang tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU No. 7 Tahun 2017 tentang
39
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
Pemilu. Dengam demikian, Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan
Lampiran Model B.3 yang mengatur tentang hak politik warga Negara,
merupakan norma hukum baru yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi dalam hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, maka ketentuan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1)
huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 sepanjang frasa
“mantan terpidana korupsi” harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum j.o Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
40
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
72
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.43.
71 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
49.
41
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
Konsistensi penegakan norma hukum positif (UU Pemilu dan UU P3) yang
dibenturkan dengan PKPU No. 20 Tahun 2018 (tanpa melihat dimensi adil atau
tidaknya) telah menyiratkan bahwa hakim dalam memutuskan perkara
bersandar pada kepastian hukum sebagai lex, Karena materi muatan UU
Pemilu dan UU P3 menjadi alas formulasi batu uji yang pada dasarnya adalah
suatu daya abtraksi tentang “[kepastian melalui hukum] dan [kepastian dari
hukum]”. Kepastian melalui hukum terkandung dalam prinsip ketepatgunaan,
finalitas, dan tujuan hukum. Hukum dijadikan sarana perlindungan individu dari
kesewenang-wenangan penguasa, sehingga pada taraf ini sangat logis jika
materi UU Pemilu dan UU P3 menjadi sarana perlindungan atas upaya
membatasi hak politik seseorang berdasarkan konsep “kepastian melalui
hukum”. Sedangkan, kepastian dari hukum itu sendiri diartikan melalui ciri-ciri
tertentu yaitu hukum itu hukum positif
42
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
43
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
Kepastian hukum bukan suatu yang a historis dan bebas nilai, melainkan
hasil konstruksi sekaligus konstelasi manusia secara totalitas. Karena
merupakan hasil konstruksi manusia, ia juga tidak melepaskan dari proses-
proses psikologis dan politis. Kepastian hukum tidak lebih dari sebuah reifikasi
yang tidak ada dibendakan sehingga seolah-olah konkret. Demikian pula,
76 Malby, Steven. "The rule of law and sustainable development." Commonwealth Law Bulletin
43.3-4 (2017): 521532.
77 H.L.A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1994), h. 203-204.
44
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
78 Silkenat, James R., James E. Hickey, and Petr Barenboĭm, eds. The legal doctrines of the
rule of law and the legal state (Rechtsstaat). Vol. 38. Heidelberg: Springer, 2014.
79 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004), h. 117.
45
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
praktikpraktik KKN pada masa yang akan datang. Sehingga, akibat dampak
perbuatannya kedepan akan sangat berpengaruh pada karier politiknya.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap Putusan MA No. 46
P/HUM/2018, maka dapat disimpulkan bahwa konstruksi keadilan cenderung
menganut konsep keadilan sebagai kesetaraan (justice as fairness) dari John
Rawls, ini terlihat dari pertimbangan hakim yang lebih menekankan kepada
kebebasan individual (hak politik, dipilih dan memilih) sebagai bentuk dari hak-
hak libertarian atau hak natural yang tidak dapat dinegasi oleh kebebasan
orang lain. Lebih lanjut, aspek kemanfaatan dan kepastian hukum lebih
mencerminkan paradigma positivistik dalam berhukum. Hal ini terlihat dari dua
pertimbangan, pertama tidak ada pertimbangan atas kepentingan bersama
(kemanfaatan terbesar) dalam putusan yang menjadi batu uji untuk melihat
implikasi norma pelarangan bagi mantan terpidana korupsi bagi masa depan
parlemen dan regenerasi perwakilan rakyat, selanjutnya, aspek kepastian
hukum dalam putusan hanya mengartikan hukum sebagai lex dan menegasi
dasar ontologis hukum sebagai suatu ius yang penuh dengan pertimbangan
gagasan moralitas dan keadilan, tanpa mencoba untuk menyingkap apa dibalik
teks (aspek meta-teleologis) PKPU No. 20 Tahun 2018. Hal ini disebabkan
argumentasi pertimbangan hanya mengutamakan dan mengandalkan sistem
logika hukum tertutup (close logical system) dari UU Pemilu dan UU P3 dalam
membantah penormaan larangan calon terpidana korupsi untuk menjadi
anggota legislatif tanpa mengkontemplasikan dan mengkonfrontasikannya
dengan “maksud” dan rasio legis pengaturan itu lahir. Sehingga konstelasi dari
ketiga aspek ini secara filosofis (keadilan, kepastian dan kemanfaatan)
DAFTAR PUSTAKA
46
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
BUKU
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls,
Yogyakarta : Kanisius, 2001.
47
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
Silkenat, James R., James E. Hickey, and Petr Barenboĭm, eds. The legal
doctrines of the rule of law and the legal state (Rechtsstaat). Vol. 38.
Heidelberg: Springer, 2014.
ARTIKEL JURNAL
48
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
Cabral, James E., et al. "Using technology to enhance access to justice." Harv.
JL & Tech. 26 (2012): 241.
Christiani, Theresia Anita. "Normative and Empirical Research Methods: Their
Usefulness and Relevance in the Study of Law as an Object." Procedia-
Social and Behavioral Sciences. 219 (2016): 201-207.
Fahmi, Khairul. "Menelusuri konsep keadilan pemilihan umum menurut UUD
1945." Jurnal Cita Hukum 4.2 (2016): 167-186.
Fallon Jr, Richard H. “The rule of law" as a concept in constitutional discourse”,
Columbia Law Review (1997): 1-56.
Hyronimus Rhiti, “Kepastian Hukum dari Perspektif Fenomenologi dan
Posmodernisme”, Makalah Pleno Konferensi Ke-III Asosiasi Filsafat
Hukum Indonesia, Surabaya, Tgl 27-28 Agustus 2013, Universitas
Airlangga.
Lindebaum, Dirk, and Effi Raftopoulou. "What would John Stuart Mill say? A
utilitarian perspective on contemporary neuroscience debates in
leadership." Journal of Business Ethics 144.4 (2017): 813-822.
Malby, Steven. "The rule of law and sustainable development." Commonwealth
Law Bulletin 43.34 (2017): 521-532.
Muhammad Saleh dan Dimas Firdausy Hunafa, “Pemilu Berintegritas:
Menggagas Pencabutan Hak Politik Bagi Narapidana Tindak Pidana
Korupsi yang Dipilih Melalui Pilihan Umum”, Jurnal Universitas Negeri
Semarang, 4.3 (2018): 1069-1086.
49
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45
WEBSITES
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/
db34083a4c17ab94aa322de52eb5a 60b/pdf. diakses pada 28 Februari
2019
Emerson Yuntho, ”Caleg berintegritas”, dalam Opini Kompas, 7 April 2018, h.6.
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/15/11482971/pakar-putusan-ma-
terhadap-pkpumenjauhkan-dari-hukum-progresif, diakses pada 28
Februari 2019
50