You are on page 1of 28

RES JUDICATA

ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

KONSTRUKSI KEADILAN, KEPASTIAN, DAN KEMANFAATAN


HUKUM
DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 46P/HUM/2018

Raju Moh. Hazmi1


Fakultas Hukum, Universitas Andalas
Email: rajumohhazmi1@gmail.com

ABSTRACT
The Supreme Court Decision Number 46 P / HUM / 2018 has triggered a split in
the legal paradigm in Indonesia. The philosophical discourse between justice,
certainty, and legal usefulness in the reality of Indonesian law reflect the intense
symptoms of legal positivism in the Supreme Court decision. It causes the loss
of a sense of justice and the hope of the community to obtain a track record of
candidates who are clean and with integrity. This research is normative-
philosophical legal research. The approach through the theory of justice by
John Stuart Mill and John Rawls will be used to see the conception of truth,
benefit, and legal certainty in decisions. The construction of sentences in a
decision applies the concept of justice as equality (justice as fairness) seen
from the judges' considerations. It emphasizes individual freedom (political
rights, elect, and choice) as a form of an effort to assert libertarian rights or
natural rights that cannot be negated by other people's freedom. Meanwhile, the
aspects of benefit and legal certainty emphasize the positivistic paradigm in law.
Three constitutional values (justice, certainty, and legal usefulness) have an
equally important position in the framework of the country's legal system.

Keywords: Justice, certainty, and legal usefulness, The Supreme Court


Decision

ABSTRAK
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 memicu keterbelahan
paradigma berhukum di Indonesia. Diskursus filosofi antara keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan hukum dalam realitas hukum Indonesia mencerminkan
kuatnya gejala positivisme hukum dalam putusan MA dan menyebabkan
hilangnya rasa keadilan dan harapan masyarakat untuk memperoleh rekam
jejak caleg yang bersih dan berintegritas. Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatiffilosofis. Pendekatan melalui teori keadilan John Stuart Mill dan
John Rawls akan digunakan untuk melihat konsepsi keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum dalam putusan. Konstruksi keadilan dalam putusan
menerapkan konsep keadilan sebagai kesetaraan (justice as fairness) terlihat
dari pertimbangan hakim yang lebih menekankan kepada kebebasan individual
(hak politik, dipilih dan memilih) sebagai bentuk dari upaya untuk menegaskan
hak-hak libertarian atau hak natural yang tidak dapat dinegasi oleh kebebasan
orang lain. Sedangkan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum lebih

23
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

menitikberatkan paradigma positivistik dalam berhukum. Tiga nilai hukum


(kepastian, kemanfaatan, dan keadilan) mempunyai posisi yang sama penting
dalam kerangka sistem hukum negara.

Kata Kunci: Keadilan, Kepastian, Kemanfaatan, Hukum, Putusan Pengadilan

I. PENDAHULUAN
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 (PMA No. 46 Tahun
2018) 1 merupakan putusan yang dihasilkan dari perkara uji materil pasal 4 ayat
(3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran B.3 Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 20 Tahun 2018 (PKPU No. 20 Tahun 2018) 2 tentang Pencalonan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


Kabupaten/Kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu3. Dalam putusannya, MA mengabulkan permohonan hak uji materil dari
pemohon Jumanto4 yang menyatakan bahwa:

“Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3 yang
mengatur tentang hak politik warga Negara, merupakan norma hukum
baru yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang- undangan yang lebih
tinggi dalam hal ini Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka ketentuan Pasal 4 ayat
(3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20
Tahun 2018 sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” harus

1 https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/db34083a4c17ab94aa322de5
2eb5a60b/pdf diakses pada 28 Februari 2019
2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 834.
3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 182 Tahun 2017, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6109.
4 Mantan Terpidana Korupsi yang bertindak sebagai Pemohon dalam Uji Materil Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Dengan adanya larangan mantan terpidana korupsi untuk
mencalonkan kembali menjadi anggota legislative berdasarkan PKPU No. 20 Tahun 2018
maka akan menghambat Jumanto untuk kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
di DPRD Kabupaten Probolinggo.

24
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017


tentang Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. 5

Implikasinya calon anggota legislatif mantan narapidana korupsi dapat


maju kembali pada pemilu tahun 2019. Namun, reaksi publik berkata lain. Hujan
kritik dari kanal publik tak henti menghantam putusan tersebut. Bertepatan
dengan keinginan luhur KPU dan nalar publik untuk melahirkan pemilu yang
berintegritas dan demokratis agar masyarakat dapat memilih calon anggota
parlemen yang bersih dan punya rekam jejak yang baik 6, maka melalui putusan
MA tersebut, calon legislatif yang diisi oleh mantan narapidana korupsi dapat
mencalonkan diri

kembali dalam pemilhan legislatif tahun 2019. Hal inilah yang kemudian
membuat harapan KPU dan publik untuk menghadirkan caleg yang bersih dan
berintegritas menjadi terhambat.7

Segelintir kalangan juga menilai Mahkamah Agung telah nyata membela


calon legislatif korupsi dan gagal untuk membela aspirasi publik yang
menghendaki agar wakil rakyat mendatang hanya diisi mereka yang
berintegritas. Putusan MA ini bertentangan dengan hati nurani publik yang telah
terlanjur menempatkan koruptor sebagai musuh bersama (common enemy).
Sehingga, sangat tidak pantas mereka menjadi wakil rakyat di DPR dan DPRD. 8
Tak hanya itu, Dialektika terhadap putusan MA juga menyentuh tataran filosofis.
Putusan ini menunjukan bahwa sistem hukum di Indonesia tidak mencerminkan
paradigma hukum yang progresif dan lebih berpihak pada aturan yang bersifat

5 Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.73.


6 Emerson Yuntho, ”Caleg berintegritas”, dalam Opini Kompas, 7 April 2018, h.6.
7 Muhammad Saleh dan Dimas Firdausy Hunafa, “Pemilu Berintegritas: Menggagas
Pencabutan Hak Politik Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi yang Dipilih Melalui Pilihan
Umum”, Jurnal Universitas Negeri Semarang, 4.3 (2018): 1069-1086.
8 Agus Riewanto, ”Mahkamah Agung Pembela Caleg Narapidana Korupsi”, dalam Opini
Media Indonesia, 17 September 2018.

25
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

prosedural ketimbang memperhatikan rasa keadilan dalam kehidupan


masyarakat dan kemanfaatan bagi kehidupan demokrasi yang bersih. 9

Realitas tersebut membelah paradigma berhukum di Indonesia.


Pergulatan filosofis antara keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum
kembali memantik diskursus paradigmatik realitas hukum di Indonesia. Di satu
sisi, kuatnya cara pandang positivisme hukum dalam putusan MA telah
menghilangkan rasa keadilan dan harapan masyarakat untuk memperoleh
rekam jejak caleg yang bersih dan berintegritas. Penganut mahzab positivisme
hukum menghendaki dilepaskannya anasir meta yuridis atas ontologi hukum.
Setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-
norma positif serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang
konkret antara warga masyarakat dan wakil-wakilnya. 10 Pada taraf ini konsepsi
hukum mengalami pergeseran, hukum bukan lagi dikonstruksi sebagai asas-
asas moral meta yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius
yang telah mengalami positivisasi sebagai suatu lex.11 Sehingga, esensi dari
tujuan hukum adalah menciptakan kepastian hukum untuk mewujudkan
12
keteraturan. Dalam konteks ini pun terma-terma diluar hukum seperti
moralitas, keadilan, politik, budaya, dan sosial absen sebagai basis
pertimbangan putusan Padahal di sisi yang berseberangan tidak hanya
kepastian hukum yang menjadi dasar untuk melahirkan putusan, namun posisi
keadilan dan kemanfaatan hukum juga menjadi sentral dalam pertimbangan. 13
Untuk itu, hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang merupakan suatu
kenyataan dalam mengatur relasi antar manusia yang sekaligus menciptakan
14
harmonisasi resiprokal dalam konteks kepentingannya. Hukum haruslah

9 https://nasional.kompas.com/read/2018/09/15/11482971/pakar-putusan-ma-terhadap-pkpu-
menjauhkan-darihukum-progresif diakses pada 28 Februari 2019
10 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermatabat, (Jakarta: Raja Garafindo Persada,
2012), h.196.
11 I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis dan Historis, (Malang: Setara
Press, 2013), h. 41.
12 Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h.184.
13 Cabral, James E., et al. "Using technology to enhance access to justice." Harv. JL & Tech.
26 (2012): 241.
14 Lili Rasjidi, Hukum Sebagau Suatu Sistem, h. 184.

26
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

ditempatkan pada segi kemanfaatannyaa dan merupakan suatu kristalisasi


jantung sosial yang mewujudkan spririt atau jiwa suatu bangsa (volkgeist). 15

Hukum dalam artian lain bersumber dari masyarakat untuk masyarakat,


setiap masyarakat memiliki pertimbangan moralitas masing-masing. Hukum
yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral dan politik masyarakat.
Berisikan keinginan, hati nurani rakyat, harapan, kebutuhan, dan kebudayaan
masyarakat.16 Karena itu, senada dengan Ronald Dworkin bahwa hukum
bukanlah tumpukan perintah, melainkan disana ada rasa moral yang dipahat
secara rasional dan filosofis yang berujung pada rekontruksi keputusan hukum
yang ideal.17

II. RUMUSAN MASALAH


Putusan MA memantik penafsiran dikotomis diantara tujuan hukum yang
harus diemban oleh lembaga peradilan. Berdasarkan pertimbangan hakim
dalam putusan, bagaimana dialektika filosofis antara keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian Hukum dalam PMA No. 46 Tahun 2018 ?. Untuk menjawab
pertanyaan pertama mengenai keadilan, maka akan dijabarkan melalui dua
pendekatan teori keadilan dari John Stuart Mill dan John Rawls sebagai pisau
analisa untuk melihat konsepsi keadilan dalam putusan. Selanjutnya akan
dilihat secara kritis bagaimana representasi keadilan berdasarkan pertimbangan
hakim di dalam putusan. Setelah menemukan rasio legis keadilan, maka akan
diuraikan konstruksi kepastian dan kemanfaatan hukum berdasarkan
pertimbangan hakim sebagainana yang dijelaskan dalam putusan. Dari
sistematisasi tersebut dapat dilihat konsepsi keadilan, konstruksi kepastian dan
kemanfaatan hukum yang terpantul dalam PMA No. 46 Tahun 2018.

15 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa & Nusa
Media, 2004), h.135.
16 Awaludin Marwan, Teori Hukum Kontemporer, (Rangkang Education: Yogyakarta, 2010),
h.18.
17 Leiter, Brian. "In Praise of Realism (and against Nonsense Jurisprudence." Geo. LJ 100
(2011): 865.

27
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

III. METODE PENELITIAN


Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-filosofis. 18 Pendekatan
melalui teori keadilan John Stuart Mill dan John Rawls akan digunakan untuk
melihat konsepsi keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum putusan
Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018.

IV. PEMBAHASAN
1. Hakikat Putusan Pengadilan

Pengadilan merupakan sarana bagi para pihak yang bersengketa untuk


mendapatkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum di dalam suatu
perkara. Setidaknya tiga konsep itu tak akan pernah luput dari pertimbangan
hakim dalam memutus perkara. Keberadaan keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan dapat dilihat dari argumentasi dan pertimbangan putusan. 19 Agar
dapat menyelesaikan perkara maka dalam mengambil putusan hakim
seharusnya mandiri, imparsial, dan independen dari intervensi pihak manapun.
Hakim hanya terikat pada peristiwa, fakta-fakta relevan dan kaidah hukum
landasan yuridis. 20
Bahkan, jauh lebih kompleks, penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman bertumpu pada kecermatan hakim dalam menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 21

Hakim dalam menetapkan sebuah putusan yang baik tidak hanya


berdasarkan kepada hukum (system denken), lebih dari itu harus
mempertimbangkan hati nuraninya untuk memperhatikan keadilan dan
kemanfaatan ketika putusan itu telah dijatuhkan (problem denken).22 Putusan
hakim yang hanya berdasarkan hukum an sich dan tidak dari hati nuraninya
akan berakibat pada kegagalan untuk menghadirkan keadilan dan
18 Christiani, Theresia Anita. "Normative and Empirical Research Methods: Their Usefulness
and Relevance in the Study of Law as an Object." Procedia-Social and Behavioral Sciences.
219 (2016): 201-207.
19 Fallon Jr, Richard H. “The rule of law" as a concept in constitutional discourse”, Columbia
Law Review (1997): 156.
20 Wantu, Fence M. "Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim." Mimbar Hukum-
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 19.3 (2007): 395.
21 Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
kekuasaan Kehakiman, 22 Pound, Roscoe. “Law and Morals--Jurisprudence
and Ethics.” NCL Rev. 23 (1944): 185-222.

28
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

kemanfaatan, meskipun begitu putusan hakim (vonnis) sejatinya juga


dihadirkan untuk menyelesaikan suatu perkara dalam bingkai tegaknya hukum
dan keadilan.22 Sehingga, pertimbangan nilai keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan dalam menyelesaikan perkara akan menjadi the power solving
legal problem.23

Penerapan dan penegakan hukum yang baik harus mampu memberikan


pertimbangan yang proporsional terhadap tiga nilai yaitu keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan yang sifatnya resiprokal. Relasi resiprokalitas tersebut selaras
dengan pernyataan Gustav Radbruch dalam Leawoods (2000) yang
menyatakan bahwa hukum sebagai kompleksitas aturan untuk kehidupan
bersama dengan tujuan untuk memberikan kemanfaatan, keadilan, dan
kepastian hukum. 24
Hukum merupakan setiap yang bermanfaat untuk orang,
namun karakter hukum juga berarti kemauan untuk memberikan keadilan dan
memperlakukan setiap orang secara setara. Tak kalah pentingnya, hukum
harus jadi aturan yang ditaati dan berlaku bagi seluruh masyarakat untuk
menjamin kepastian hukumnya.25

Dalam nukilannya itu, Radbruch menyatakan hukum mempunyai arti


penting untuk mewujudkan cita hukum. cita hukum diartikan sebagai “sesuatu
yang mendahului” yaitu secara logis bersifat mendahului pengertiannya yang
defenitif. 26
Sifatnya yang transedental mengarahkan pemahaman bahwa cita
hukum adalah konsep hipotetis, pengandaian subjektifivtas objek pikiran yang
melampui realitas dan tidak pasti. Dengan kata lain, hukum positif adalah
wujud nyata (sein yang imanen) dari cita hukum yang bersifat transedental logis

22 Respationo, HM Soerya, and M. Guntur Hamzah. "Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas


Hukum Refleksif Dalam Penegakan Hukum." Yustisia Jurnal Hukum 2.2 (2013): 101-107.
23 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya Atma
Jaya, 2014), h. 43
24 Leawoods, Heather. "Gustav Radbruch: An extraordinary legal philosopher." Wash. UJL &
Pol'y 2 (2000): 489.
25 Radbruch, Gustav. "Five minutes of legal philosophy (1945)." Oxford Journal of Legal
Studies 26.1 (2006): 13-15.
26 Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum: Dari Klasik Sampai Postmodernisme, (Yogyakarta:
Penerbit UAJY, 2012), bab I.

29
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

27
tersebut. Sifatnya yang transedental logis itu dapat ditelusui dari tiga aspek
yaitu aspek keadilan yang menjelaskan pada kesamaan hak di depan hukum,
aspek kemanfaatan yang berkiblat pada tujuan keadilan sebagai
pengejawantahan kebaikan dalam hidup manusia yang menentukan isi hukum,
sedangkan kepastian berarti membuka jaminan bahwa hukum yang berisi
keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan benar-benar berfungsi
28
sebagai peraturan yang ditaati. Oleh karena itu tiga nilai hukum (kepastian,
kemanfaatan, dan keadilan) mempunyai posisi yang sama penting dalam
kerangka sistem hukum negara. Tatkala ketiganya berkonfik, maka peran hakim
29
untuk secara seimbang menerapkan ketiga tujuan hukum tersebut. Peran
hakim dalam mempertimbangkan ketiga unsur tersebut sangat diperlukan.

Jikalau hanya diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya


dikorbankan,

demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian


hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu selanjutnya. Hubungan
kompromitas harus ada diantara ketiganya. Namun, dalam prakteknya tidak
selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional antara ketiga
unsur tersebut.30

2. Keadilan Adalah Kebahagian Terbesar

Mazhab utilitarian memahami keadilan sebagai kebaikan terbesar. John


Stuart Mill mengungkapkan bahwa, mazhab utilitarian itu mengarahkan
paradigma ke arah kemanfaatan atau prinsip kebahagian terbesar. 31 Sebagai

27 Hyronimus Rhiti, “Kepastian Hukum dari Perspektif Fenomenologi dan Posmodernisme”,


Makalah Pleno
Konferensi Ke-III Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surabaya, Tgl 27-28 Agustus 2013,
Universitas Airlangga, h. 2.
28 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Surabaya: CV Kita, 2007), h. 151.
29 Heather Leawoods, “Gustav Radbruch: An Extraordinary Legal Philosopher”, h. 494.
30 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 161.
31 Lindebaum, Dirk, and Effi Raftopoulou. "What would John Stuart Mill say? A utilitarian
perspective on contemporary neuroscience debates in leadership." Journal of Business

30
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

contoh kriteria ini dapat diukur dari suatu tindakan tertentu yang dianggap benar
jika dapat memperbesar kebahagiaan dan anggap sebagai tindakan yang keliru
32
jika cenderung mengurangi kadar kebahagiaan. Standar keadilan didasarkan
pada kegunaannya. Keadilan tersebut hendaknya bersumber dari naluri
manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang di derita. Karena itu
perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak
hanya atas dasar kepentingan individu melainkan lebih luas dari itu. 33

Menurut pandangan Mill kebahagiaan dapat diukur dari dua hal yaitu,
kesenangan dan ketiadaan rasa sakit. 34 Dari pernyataan tersebut, mencuat dua
asumsi krusial yang melandasi dialektika keadilan dalam perspektif utilitarian
yaitu tujuan hidup adalah kebahagiaan dan kebenaran dari suatu tindakan yang
ditentukan oleh kontribusinya bagi kebahagiaan. 35 Bentham juga menegaskan
bahwa kebahagiaan berkorelasi secara terminologis dengan kesenangan dan
ketidakhadiran rasa sakit.36

Selanjutnya, Mill dalam Lebacqz (1986) juga menentukan secara eksplisit


perbedaan dari jenis kesenangan dan rasa sakit tersebut. Seperti kesenangan
intelektual dianggap lebih berguna

dari pada kesenangan lahiriah. Sehingga kesenangan intelektual secara


instrinsik menjadi lebih unggul.37 Pertautan makna kebahagiaan itu
mengakibatkan, mazhab utilitarian terbelah menjadi dua aliran. Kelompok

Ethics 144.4 (2017): 813-822.


32 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda),
Diterjemahkan Oleh Yudi Santoso, (Bandung: Nusamedia, 1986), h. 14.
33 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 271.
34 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
14.
35 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
14-15.
36 Bentham, Jeremy. An introduction to the principles of morals and legislation. (McMaster
University Archive for the History of Economic Thought, 1781), h. 11-12.
37 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
15.

31
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

pertama menganggap kebahagiaan esensial terdapat dalam kesenangan dan


nihilnya rasa sakit (Utilitarianisme hedonistik) Sedangkan kelompok kedua
menambahkan bahwa kebahagiaan juga bertautan dengan kebenaran dan
keindahan (Utilitarianisme Ideal).38 Berkaitan dengan asumsi dari kelompok
kedua, maka kebenaran dari suatu tindakan sangat ditentukan oleh
kontribusinya bagi kebahagiaan. Terkait hal ini Bentham menegaskan: “…1.
Nilai setiap kesenangan yang berbeda-beda itu. 2. Nilai rasa sakit. 5.
Jumlahkan semua nilai kesemua kesenangan disatu sisi, dan nilai semua rasa
sakit disisi lain. 6. Hitunglah jumlah pribadi-pribadi yang kepentingannya terlibat
disini juga; dan ulangi lagi proses diatas satu persatu, seimbangkan”. 39

Berdasarkan analisis Bentham ini, kesimpulannya adalah setiap tindakan


harus berdasarkan pada perhitungan yang matang dan waktu yang panjang.
Pada sisi lain, Mill ingin menyederhanakan dengan cara menganggap bahwa
tindakan individu dapat dibenarkan jika memiliki kemanfaatan bagi semua
pihak.40 Oleh karena itu, suatu tindakan menjadi benar atau salah tergantung
pada kontribusi kemanfaatan yang dapat dirasakan oleh semua pihak. Relasi
antara keadilan dengan kebahagiaan bukanlah relasi yang muncul secara
independen, melainkan relasi keduanya adalah bagian dari kemanfaatan.
Sehingga keadilan menurut Mill adalah persyaratan moral tertentu yang secara
kolektif berdiri lebih tinggi dari skala kemanfaatan sosial. 41 Oleh karena itu
keadilan menjadi kewajiban yang lebih dominan dari pada persyaratan moral
42
lainnya. Mil berpandangan, keadilan sangat bergantung pada kemanfaatan,
karena konflik di dalam aturan-aturan umum keadilan hanya dapat diselesaikan
dengan mengacu pada asas kemanfaatan tersebut.

38 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
15.
39 Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, diedit oleh J.H.
Burns dan H.L.A Hart, h. 11-12.
40 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda),
Diterjemahkan Oleh Yudi Santoso, h. 16.
41 Nodelman, Uri, Colin Allen, and John Perry. "Stanford encyclopedia of philosophy." (1995).
42 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda),
Diterjemahkan Oleh Yudi Santoso, h. 18.

32
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

Mill menyatakan bahwa keadilan adalah himpunan aturan moral tertentu


yang menjelaskan esensi kemaslahatan manusia lebih dekat dari pada aturan
moral lainnya sehingga gagasan keadilan adalah sebuah hak yang diberikan
kepada seorang individu agar diimplementasikan dan digunakan untuk
43
memberikan kesaksian mengenai kewajiban yang lebih mengikat. Menurut
Mill Keadilan dapat dipahami melalui tiga tahap. Tahap pertama,
mengeksplorasi sekaligus menghitung bentuk-bentuk ketidakadilan sembari
menyelidiki sifat umumnya. Lalu, pada tahap kedua, menyelidiki sebab-sebab
kemunculan perasaan yang sangat kuat tentang keadilan lalu meneliti apakah
perasaan tersebut dilandaskan pada kemanfaatan. Dan terkahir, mengkaji
beberapa kasus kontroversial untuk menunjukan bahwa dorongan terhadap
keadilan tidak akan bisa menjawab kontroversi karena aspek kemanfaatan
tersebut hanya dapat diukur berdasarkan perhitungan saja. 44

Jika demikian, dari mana sumber intuisi khusus keadilan?. Menurut Mill,
sentimen keadilan berasal dari hasrat hewani untuk menolak atau mambalas
rasa sakit atas kerusakan yang menimpa dirinya dan orang lain. 45 Dalam diri
seseorang tidak ada yang bersifat moral dengan perasaan ini. Namun, ketika
seseorang berhadapan dengan subordinasi simpati-simpati sosial maka hasrat
untuk membalas berubah, yaitu mereka yang melanggar aturan mestinya
dihukum. Pada taraf ini barulah perasaan tersebut akan menjadi perasaan
moral. Singkatnya, dibalik keadilan bersembunyi kepentingan akan rasa aman,
sebuah kepentingan yang paling vital diantara kepentingan yang ada. 46 Aturan-
aturan keadilan di dukung oleh kemanfaatan untuk mempertahankan rasa
aman. Sehingga, ketika ada yang bertanya kenapa masyarakat harus membela

43 Fahmi, Khairul. "Menelusuri konsep keadilan pemilihan umum menurut UUD 1945." Jurnal
Cita Hukum 4.2 (2016): 167-186.
44 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda),
Diterjemahkan Oleh Yudi Santoso, h. 19-20.
45 Mill, John Stuart. "The Philosophy of John Stuart Mill: ethical, political, and religious." (1961).
46 Anderson, Elizabeth S. "John Stuart Mill and experiments in living." Ethics 102.1 (1991): 4-
26.

33
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

hak-hak saya, jawabannya terletak pada kepentingan bersama akan rasa aman
itu sendiri.47

Dengan demikian, kemanfaatan adalah landasan untuk menemukan


keadilan. Keadilan diukur dari kemanfaatan itu sendiri, ukuran adil tidak adil
terhadap perbuatan di dasarkan pada prinsip kemanfaatan. Paradigma
utilitarianisme menyatakan bahwa untuk menentukan kriteria benar salahnya
atau adil tidaknya suatu peraturan dan tindakan tergantung pada konsekuensi

langsung dari peraturan atau tindakan yang dilakukan. 48 Sejauh aturan tersebut
berakibat baik, maka peraturan atau tindakan itu dengan sendirinya baik dan
adil. Sebaliknya, jika berakibat buruk, maka peraturan atau tindakan tersebut
tidak baik dan tidak adil.49

3. Keadilan Adalah Kesetaraan


Paradigma utilitarianisme ternyata memiliki kelemahan dalam memandang
keadilan.
Bahkan, lebih krusialnya keadilan dalam perspektif utilitarianisme cenderung
membingungkan.50 Hal ini dapat terlihat dari absennya penghargaan terhadap
hak-hak individual. Kelemahan utilitarianisme inilah yang kemudian memantik
John Rawls (1971) mengajukan teori alternatif untuk mendekonstruksi paham
utilitarian dalam memandang keadilan. Teori alternative Rawls berupaya
mengakomodasi individu secara serius tanpa menegasi kesejahteraan atau
hak-hak pribadinya demi kebaikan orang lain. 51 Posisi Rawls sebaga liberal
egalitarian of social justice melahirkan gagasan keadilan yang bertumpu pada
dua konsep utama yaitu posisi asli keadaan alamiah seperti teori kontrak klasik

47 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
21.
48 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls, (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), h. 21.
49 Khairul Fahmi, “Menelusuri Konsep Keadilan Pemilihan Umum Menurut UUD 1945”, h. 175.
50 Robert Paul Wolf, Understanding Rawls: A Reconstruction and Critique of A Theory of
Justice, (Princenton: Princenton University Press, 1977), h. 11.
51 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
49.

34
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

52
(original position) dan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance). Hasilnya
53
adalah keadilan sebagai kesetaraan (justice as fairness). Prinsip keadilan
sebagai kesetaraan dapat ditemukan melalui nukilan Rawls yang menyatakan
bahwa:

First: each person is to have an equal right to the most extensive scheme
of equal basic liberties compatible with a similar scheme of liberties for
others. Second: social and economic inequalities are to be arranged so
that they are both (a) reasonably expected to be to everyone’s advantage,
and (b) attached to positions and offices open to all.54

Sangat jelas bahwa prinsip pertama serupa dengan aturan perundang-


undangan umum dari Immanuel Kant. Menurut Immanuel Kant, Kebebasan
individu dipostulasikan dari keberlakuan umum kategoris imperatif yang
diturunkan dari kaidah moral berdasarkan unifikasi

55
kebebasan dari yang satu dengan kebebasan dari yang lain. Untuk itu, prinsip
pertama dikategorikan sebagai prinsip yang berkenaan dengan kebebasan
warga negara sebagai perwujudan kebebasan politik (hak memilih serta dipilih
menduduki jabatan publik) bersama dengan kebebasan berbicara dan
berserikat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berfikir, kebebasan untuk
mempertahankan hak milik, dan kebebasan dari penangkapan
sewenangwenang sebagaimana didefinisikan oleh konsep rule of law. Dengan
demikian, Preskripi dari prinsip yang pertama ini adalah setara, karena setiap
individu dalam masyarakat yang adil mempunyai hak-hak dasar yang sama.

52 Marwan Efendy, Teori Hukum Dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi
Hukum Pidana, (Jakarta: Referensi, 2014), h. 77-78.
53 J. Mandle, “John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement”, Journal Utilitas, vol. 14, issue
2, 2002, Cambridge University, pp. 265-268. Lihat juga Stein, Stanley M., and Thomas L.
Harper. “Rawls’s ‘Justice as Fairness’: A Moral Basis for Contemporary Planning Theory”,
Planning Theory Journals, vol. 4, issue. 2, July 2005, h. 147– 172.
54 John Rawls, A Theory Of Justice (Revised Edition), (Cambridge, Massachusetts: The
Belknap Press Of Harvard University Press, 1971), h. 53.
55 Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Filsafat Hukum,
diterjemahkan oleh B. Arief Shidarta, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 85-87.

35
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

Sebaliknya prinsip kedua mengacu pada basis distribusi pendapatan,


kekayaan, dan desain organisasi yang menggunakan alas diferensiasi otoritas,
tanggung jawab atau rantai komando. Di mana, prinsip distribusi kekayaan dan
pendapatan tidak perlu sama, harus demi keuntungan semua orang, dan pada
saat yang sama, posisi-posisi otoritas dan jabatan komando harus bisa diakses
oleh semua orang.

Kedua prinsip tersebut tunduk pada tata urutan leksikal yang berarti
bahwa kedua prinsip itu mewakili jejaring prioritas. Prinsip pertama merupakan
prioritas yang harus dipenuhi sebelum prinsip kedua. Urutan prioritas pertama
menguatkan prinsip “prioritas kebebasan” yang memungkinkan kebebasan
hanya demi kebebasan itu sendiri (kebebasan atas kebebasan). Sedangkan
prioritas kedua lebih menggambarkan prioritas keadilan terhadap efisiensi dan
kesejahteraan. Pada suatu tatanan masyarakat demokratis diasumsikan bahwa
setiap individu memiliki kebebasan dan tanggung jawab atas dirinya sendiri
dalam pergaulan yang demokratis. Kebebasan individu hanya boleh dibatasi
oleh kebebasan yang lainnya. Rawls (1971) menyatakan bahwa dalam
perspektif keadilan sebagai fairness, kebebasan dapat dibatasi karena alasan
pembatasan tersebut dapat mengakibatkan ketidaksamaan dalam kebebasan
politik, akan tetapi ketidaksamaan tersebut diperbolehkan apabila hal itu penting
demi terjaminnya kebebasan dari kelompok yang kurang beruntung. 56 Keadilan
hanya bisa diwujudkan dalam suatu tatanan masyarakat, bukan secara individu.
Dalam konteks ini pun selaras dengan Hans Kelsen bahwa keadilan adalah
kebahagian yang tidak bisa ditemukan sebagai seorang individu, sehingga ia

harus dicari dalam masyarakat. 57


Sehingga keadilan itu dapat dikatakan
sebagai suatu kebahagian sosial.58

56 Hans Kelsen, Introduction to The Problems of Legal Theory, translated by Bonnie


Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, (Oxford : Clarendon Press, 1992), h. 105.
57 Lihat Ducey, Michael H. "The legal positivism of Hans Kelsen." Thesis of Graduate School
of Loyola University, (1959), h. 54.
58 Hans Kelsen, Introduction to The Problems of Legal Theory, translated by Bonnie
Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, h. 16.

36
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

Keadilan sebagai kesetaraan pada akhirnya menyuguhkan batas


dikotomis terhadap paradigma utilitarian. Prinsip keadilan diperoleh bukan
dengan mengevaluasi kemanfaatan dari tindakan-tindakan atau kecenderungan
tindakan yang diukur dari kemanfaatan, melainkan dari pilihan rasional di dalam
59
kondisi yang adil (reposisi kondisi melahirkan rasionalitas terhadap keadilan).
Jika pendekatan utilitarian Mill menjadikan hak-hak individu dapat disingkirkan
terhadap tuntutan kebaikan terbesar orang lain, maka secara prinsipil Rawls
melindungi pihakpihak yang paling kurang beruntung dari masyarakat. Tidak
ada pertukaran kebebasan atau kesejahteraan mereka dengan kesejahteraan
orang lain yang diperbolehkan. Kebebasan dasar harus terdistribusi secara
setara dan tidak boleh dikorbankan demi pencapaian ekonomi. Ketidaksetaraan
status sosial, privilese, kekuasaan boleh dilakukan dengan catatan kondisi
tersebut menjadikan pihak yang kurang beruntung lebih baik dari kondisi
sebelumnya.60 Dengan demikian, berdasarkan dua konsepsi keadilan yang
telah dijabarkan sebelumnya maka bagaimanakah konstruksi keadilan dalam
putusan MA No. 46 P/HUM/2018?.

4. Representasi Keadilan dalam Putusan MA No. 46 P/HUM/2018

Jika melacak kronologis putusan, objek sengketanya berangkat dari uji


materil norma larangan bagi mantan terpidana korupsi menjadi bakal calon
anggota legislative (DPR, DPRD Prov, dan DPRD Kab/Kota) yang dijabarkan
melalui pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d PKPU No. 20 Tahun 2018.
Konstruksi norma PKPU No. 20 Tahun 2018 sangat timpang, diskriminatif, tidak
adil, dan sangat parsial. Hal ini dapat dilihat dari konfrontasi fakta persidangan
yang menyatakan:

59 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
61.
60 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
62.

37
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

1. Hak konstitusional untuk kembali tampil mencalonkan diri dalam


kontestasi pemilu (bakal calon anggota DPRD Kab Probolinggo)
terhalang oleh norma pasal 4 ayat (3) dan Pasal

11 ayat (1) PKPU No. 20 Tahun 2018, yang intinya melarang mantan
terpidana korupsi untuk ikut serta dalam seleksi bakal calon anggota
legislative melalui penyaringan partai politik. 61 Padahal, seirama dengan
itu, jika ditelisik UU No. 7 Tahun 2017 tidak mengatur norma pelarangan
bagi mantan narapidana korupsi untuk tampil kembali dalam panggung
pemilu.

2. Keberlakuan norma pelarangan itu telah menghalangi hak seseorang


untuk berpatisipasi dalam kancah pemilu, padahal suatu norma tidak
dapat diberlakukan begitu saja tanpa adanya putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap. Sehingga hal ini telah mencoreng keberlakuan
asas kepastian hukum.62

3. Tak hanya itu saja, norma yang terdapat dalam PKPU No. 20 Tahun
2018 juga membatasi hak konstitusional seseorang dalam rangka
memajukan dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Walhasil, ketentuan itu telah menghukum seseorang tanpa adanya
proses peradilan yang sah.63

4. Secara subtansial ketentuan dari Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (1)
PKPU No. 20 Tahun 2018 telah melanggar prisinsip konstitusionalitas
hak warga negara untuk dipilih, ketidakpastian hukum dalam penerapan
pembatasan hak, serta pembatasan hak kolektif untuk memajukan
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang telah
ditegaskan dalam UUD NRI Tahun 1945. 64

61 Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.6.


62 Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.7.
63 Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.8.
64 Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.8.

38
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

Berdasarkan pertimbangannya dalam putusan, majelis hakim menukilkan


bahwa hak memilih dan dipilih merupakan hak dasar yang dijamin kontitusi
yaitu Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945.65 Pengakuan eksistensial hak politik ini
juga ditegaskan dalam konvenan hak-hak sipil dan politik PBB resolusi 2200A
(XXI) pada tanggal 16 Desember 1966 yang telah diratifikasi melalui Undang-
Undang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Convenant on
Civil and Political Rights. Lebih lanjut, Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 73 UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengkonkritkan bahwa
pembatasan terhadap hak memililih dan dipilih hanya bisa dilakukan dengan
pembatasan melalui materi undang-undang atau berdasarkan putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai denngan ketentuan Pasal
18 Ayat (1) huruf d UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi j.o Pasal 35 ayat (1)

KUHP yang mengatur pencabutan hak politik hanya dapat dilakukan melalui
putusan in crach van gewisjde.66

Selaras dengan itu, PKPU No. 20 Tahun 2018 bertentangan dengan Pasal
240 ayat (1) huruf g UU Pemilu karena tidak ada norma atau aturan larangan
mencalonkan diri bagi mantan terpidana korupsi sebagaimana yang tercantum
dalam PKPU No. 20 Tahun 2018.67 Sehingga, larangan tersebut masuk ke
dalam wilayah pembatasan hak politik seseorang untuk mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif yang pada prinsipnya harus dibatasi melali kekuatan
undang-undang. Bahkan, materi PKPU No. 20 Tahun 2018 juga bertentangan
dengan pasal 12 huruf d UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan karena peraturan dibawah undang-undang
berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Sehingga, KPU telah membuat ketentuan yang tidak diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini disadari bahwa norma
tersebut merupakan norma hukum baru yang tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU No. 7 Tahun 2017 tentang

65 Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.70.


66 Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.71.
67 Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.71.

39
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

Pemilu. Dengam demikian, Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan
Lampiran Model B.3 yang mengatur tentang hak politik warga Negara,
merupakan norma hukum baru yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi dalam hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, maka ketentuan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1)
huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 sepanjang frasa
“mantan terpidana korupsi” harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum j.o Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sehubungan dengan hal diatas, maka keadilan dalam putusan


mengejawantahkan konsep keadilan sebagai kesetaraan. Ini terlihat dari
pertimbangan pembatasan hak politik seseorang (hak memilih dan dipilih)
hanya dapat terwujud melalui perintah undang-undang. Keadilan yang
dikonstruksikan sebagai kesataraan berupaya mengakomodir hak-hak alamiah
individu secara serius tanpa mempertaruhkan dan menegasi kesejahteraan
atau hak-haknya demi kebaikan orang lain. 68 Meskipun secara moralitas
universal, parlemen semestinya harus diisi oleh caloncalon legislatif yang
memiliki integritas dan mempunyai rekam jejak yang bersih, namun prinsip

yang berkenaan dengan kebebasan warga negara sebagai perwujudan


kebebasan politik (hak memilih, dipilih, dan menduduki jabatan publik)
merupakan tipologi hak yang sifatnya absolut dan setara. 69

Disamping itu, putusan ini juga secara implisit menegaskan bahwa


keadilan diperoleh bukanlah dengan mengevaluasi kemanfaatan dari tindakan-
tindakan atau bahkan kecenderungan tindakan yang diukur dari kemanfaatan,
melainkan dari pilihan rasional di dalam kondisi yang adil (reposisi kondisi
rasionalitas keadilan).70 Ini terlihat dari absennya pertimbangan hakim dalam
68 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
49.
69 Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Filsafat Hukum,
diterjemahkan oleh B. Arief Shidarta, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 85-87
70 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h. 61

40
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

mempreskripsikan kemanfaatan yang lebih futuristik untuk menutup celah


pencalonan kembali terpidana korupsi demi kepentingan regenerasi parlemen
yang bersih bagi masa depan politik penyelenggaraan negara. Hal ini sangat
penting, karena korupsi memiliki kecenderungan dengan pola yang berulang
dan fenomena residivis dalam perkara korupsi acapkali terjadi. Setidaknya
catatan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2017 menyuguhkan
bahwa 20 (dua puluh) dari 102 (seratus dua) perkara korupsi yang melibatkan
pejabat birokrasi pemerintah pusat dan daerah adalah angora DPR dan
DPRD.72 Sehingga, hal inilah yang seharusnya menjadi batu uji bagi hakim demi
menggapai kemanfaatan yang lebih besar kedepannya.

Namun pertimbangan putusan lebih menggambarkan urutan leksikal


(tataran prioritas hak). Hal ini terlihat dari legal reasoning yang menyatakan
bahwa “kebebasan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri hanya
dapat dibatasi dengan alasan pembatasan tersebut dapat mengakibatkan
ketidaksamaan dalam kebebasan politik, akan tetapi ketidaksamaan tersebut
diperbolehkan apabila hal itu penting demi terjaminnya kebebasan dari
kelompok yang kurang beruntung”. Maka, tidak ada pertukaran kebebasan atau
kesejahteraan mereka dengan kesejahteraan orang lain yang diperbolehkan.
Kebebasan dasar harus terdistribusi secara setara. Walhasil, jika putusan ini
diletakan pada konsep keadilan (kebahagiaan terbesar dan kesetaraan) maka
esensinya lebih mengarah pada konsep keadilan

sebagai kesetaraan yang menjamin kebebasan politik individu sebagai bagian


dari hak natural
(natural right’s) yang absolut tanpa terdistorsi oleh kepentingan dan
kesejahteraan orang lain.71

72
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.43.
71 Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap
Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), h.
49.

41
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

5. Konstruksi Kepastian dan Kemanfaatan Hukum dalam Putusan


MA. No. 46 P/HUM/2018

Kepastian hukum menyentuh 2 (dua) pengertian tentang hukum yaitu ius


yang melahirkan gagasan moralitas dan keadilan serta lex yang
membentangkan pengertian hukum sebagai aturan positif hak dan kewajiban.
Potret kepastian hukum berdasarkan putusan MA. No. 46 P/HUKM/2018
cenderung memakai konsep hukum sebagai lex. Hal ini setidaknya terlihat dari
argumentasi yang disandarkan pada ketentuan hukum positif an sich.
Berdasarkan konstruksi norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu, bakal
calon anggota DPR dan DPRD Prov, DPRD Kab/Kota adalah warga negara
Indonesia yang harus memenuhi persyaratan tidak pernah dipidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik
bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Dengan begitu, tidak ada norma
atau aturan larangan mencalonkan diri bagi mantan terpidana korupsi
sebagaimana prasyarat PKPU No. 20 Tahun 2018.

Konsistensi penegakan norma hukum positif (UU Pemilu dan UU P3) yang
dibenturkan dengan PKPU No. 20 Tahun 2018 (tanpa melihat dimensi adil atau
tidaknya) telah menyiratkan bahwa hakim dalam memutuskan perkara
bersandar pada kepastian hukum sebagai lex, Karena materi muatan UU
Pemilu dan UU P3 menjadi alas formulasi batu uji yang pada dasarnya adalah
suatu daya abtraksi tentang “[kepastian melalui hukum] dan [kepastian dari
hukum]”. Kepastian melalui hukum terkandung dalam prinsip ketepatgunaan,
finalitas, dan tujuan hukum. Hukum dijadikan sarana perlindungan individu dari
kesewenang-wenangan penguasa, sehingga pada taraf ini sangat logis jika
materi UU Pemilu dan UU P3 menjadi sarana perlindungan atas upaya
membatasi hak politik seseorang berdasarkan konsep “kepastian melalui
hukum”. Sedangkan, kepastian dari hukum itu sendiri diartikan melalui ciri-ciri
tertentu yaitu hukum itu hukum positif

42
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

(peraturan perundang-undangan) dan peraturan perundang-undangan itu harus


berdasarkan kenyataan (kepastian hukum menuntut keberlakuan hukum
positif).72

Paradigma positivistik telah mengisolasi hukum dari dimensi kultural,


73
moral, maupun sosial yang pada ujungnya sampai pada tahapan dimana
hukum sebagai suatu sistem peraturan dipandang sebagai perangkat teknis
74
pengendalian sosial belaka. Dengan mengkualifikasi setiap masalah hukum
ke dalam kerangka kerja hukum seakan-akan segala persoalan hukum dapat
diselesaikan dengan standar kepastian hukum yang maksimal. Sehingga,
terpenuhinya kebutuhan terhadap kepastian hukum dengan sendirinya rasa
keadilan dan kemanfaatan akan dapat terpenuhi pula. Konstruksi berpikir
hukum positivistik yang berpusat pada hukum negara memang bermanfaat dan
memudahkan bagi elit politik, pemegang kekuasaan, dan para kapitalis dalam
penegakan dan penyelesaian masalah-masalah hukum karena dapat
mengatasi segala macam masalah hukum yang terdapat dalam masyarakat
75
yang bisa jadi sangat pluralistik. Dalam konteks ini pun, pelarangan mantan
terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif merupakan suatu
keniscayaan karena praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme selama ini telah
menggerogoti dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, seharusnya majelis dapat menangkap “moralitas universal” anti
korupsi yang tercermin dalam PKPU sebagai instrumen pencegahan dini
sekaligus langkah antisipatif untuk menghambat masuknya perilaku-perilaku
koruptif. Nilainilai yang telah dijunjung tinggi oleh masyarakat untuk berperang
melawan korupsi (moralitas universal) merupakan pengejawantahan cita-cita
kodrati untuk memberantas perbuatan korupsi di negara ini. Hukum haruslah

72 Hyronimus Rhiti, “Kepastian Hukum dari Perspektif Fenomenologi dan Posmodernisme”,


Makalah Pleno Konferensi Ke-III Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surabaya, Tgl 27-28
Agustus 2013, Universitas Airlangga, h. 3.
73 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Bandung:Nusa Media,
2008), h. 68.
74 Vega, Jesús. "Legal philosophy as practical philosophy." Revus. Journal for Constitutional
Theory and Philosophy of Law/Revija za ustavno teorijo in filozofijo prava 34 (2018): 1-24
75 Leiter, Brian. "Legal realism and legal positivism reconsidered." Ethics 111.2 (2001): 278-
301.

43
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

mencerminkan moralitas tersebut. Begitu pentingnya moralitas dalam hukum


akan melahirkan keadilan substansial yang tidak hanya menyigi aspek
prosedural semata.

Putusan hakim harus menangkap cita-cita kodrati rasa keadilan


masyarakat dan bukan malah meletakan kepentingan temporer untuk
menyimpangi tujuan dan manfaat yang lebih luas.

Begitupun penegakan hukum yang tercermin dalam putusan. Penegakan


hukum tidak bekerja

dalam ruang hampa sosial. Penegakan hukum senantiasa berdinamika dengan


perkembangan masyarakat. Penerapan hukum (putusan) haruslah melibatkan
pertimbangan-pertimbangan bagaimana hukum seharusnya menguatkan
76
kemanfaatan secara sosiologis. Putusan yang dilahirkan oleh hakim bukanlah
lahir dari kesewenangan melainkan dibimbing oleh prinsip-prinsip,
kebijaksanaan sosial, dan moralitas. Dinamika masyarakat yang tercermin
dalam moralitas itulah yang harus ditangkap oleh putusan hakim. 77 Bukankah
hukum adalah ius, gagasan transedental atas moral dan keadilan?.
Bagaimanapun, residivis korupsi tidak dapat lagi ditoleransi untuk masuk
kembali duduk dan memegang kewenangan dalam lembaga negara dan
pemerintahan pusat atau daerah. Negara dengan demikian menanggung resiko
terlalu tinggi jika tidak ada upaya pencegahan sedari awal dan masih memberi
kesempatan kepada perbuatan korupsi melalui para pelakunya yang berperan
dalam lembaga negara dan pemerintahan.

Kepastian hukum bukan suatu yang a historis dan bebas nilai, melainkan
hasil konstruksi sekaligus konstelasi manusia secara totalitas. Karena
merupakan hasil konstruksi manusia, ia juga tidak melepaskan dari proses-
proses psikologis dan politis. Kepastian hukum tidak lebih dari sebuah reifikasi
yang tidak ada dibendakan sehingga seolah-olah konkret. Demikian pula,

76 Malby, Steven. "The rule of law and sustainable development." Commonwealth Law Bulletin
43.3-4 (2017): 521532.
77 H.L.A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1994), h. 203-204.

44
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

dalam, ranah teks secara diam-diam maupun terbuka terjadi perselisihan


paradigma (the battle of paradigm) antara kalangan yang masih bertahan
dengan penafsiran murni atau skripturalistik atas teks hukum dengan pihak
yang melakukan penafsiran hermeneutik-filosofis. Berhukum dengan teks baru
merupakan awal yang masih harus dilanjutkan dengan upaya interpretasi. 78
Sebagaimna karakternya yang normative, hukum memang dimulai dari norma,
tetapi norma peraturan itu tidak langsung diterapkan begitu saja. Ada sebuah
upaya untuk menemukan dan bukan malah menempati penalaran sebagai
corong undang-undang. Putusan yang berkualitas bukan hanya membaca teks
tetapi berusaha menafsirkan serta mengkontemplasikan tentang apa dibalik apa
adanya (makna) dalam teks, berusaha berdialog dengan konteks serta
melibatkan nuraninya. Pada taraf ini lah norma pelarangan mantan terpidana
korupsi untuk mencalonkan diri kembali di parlemen mendapatkan alasannya
secara meta-teleologis.

Sehubungan dengan hal diatas, maka kemanfaatan atau finalitas dari


putusan seharusnya mengarah pada keadilan dalam memajukan kebaikan
hidup manusia secara maksimal.

Kemanfaatan hukum juga dikontestasikan sebagai elemen untuk mewujudkan


kemaslahatan bagi masyarakat demi kebahagiaan yang dinikmati oleh
sebanyak mungkin individu dalam masyarakat. 79 Putusan ini pun absen dari
pertimbangan kemanfaatan sosial kedepannya karena tidak
mempertimbangkan bahwa publik juga memiliki hak untuk mendapatkan
perwakilan politik yang bebas dari rekam jejak pelaku korupsi. Selain itu,
melalui formulasi PKPU ini, tak hanya berguna untuk mencegah korupsi
kembali lagi dalam penyelenggaraan negara melalui pembatasan kesempatan
bagi pelakunya, kehadiran PKPU juga bermanfaat secara signifikan dan bersifat
peringatan dalam mencegah anggota legislative untuk tidak melakukan

78 Silkenat, James R., James E. Hickey, and Petr Barenboĭm, eds. The legal doctrines of the
rule of law and the legal state (Rechtsstaat). Vol. 38. Heidelberg: Springer, 2014.
79 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004), h. 117.

45
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

praktikpraktik KKN pada masa yang akan datang. Sehingga, akibat dampak
perbuatannya kedepan akan sangat berpengaruh pada karier politiknya.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap Putusan MA No. 46
P/HUM/2018, maka dapat disimpulkan bahwa konstruksi keadilan cenderung
menganut konsep keadilan sebagai kesetaraan (justice as fairness) dari John
Rawls, ini terlihat dari pertimbangan hakim yang lebih menekankan kepada
kebebasan individual (hak politik, dipilih dan memilih) sebagai bentuk dari hak-
hak libertarian atau hak natural yang tidak dapat dinegasi oleh kebebasan
orang lain. Lebih lanjut, aspek kemanfaatan dan kepastian hukum lebih
mencerminkan paradigma positivistik dalam berhukum. Hal ini terlihat dari dua
pertimbangan, pertama tidak ada pertimbangan atas kepentingan bersama
(kemanfaatan terbesar) dalam putusan yang menjadi batu uji untuk melihat
implikasi norma pelarangan bagi mantan terpidana korupsi bagi masa depan
parlemen dan regenerasi perwakilan rakyat, selanjutnya, aspek kepastian
hukum dalam putusan hanya mengartikan hukum sebagai lex dan menegasi
dasar ontologis hukum sebagai suatu ius yang penuh dengan pertimbangan
gagasan moralitas dan keadilan, tanpa mencoba untuk menyingkap apa dibalik
teks (aspek meta-teleologis) PKPU No. 20 Tahun 2018. Hal ini disebabkan
argumentasi pertimbangan hanya mengutamakan dan mengandalkan sistem
logika hukum tertutup (close logical system) dari UU Pemilu dan UU P3 dalam
membantah penormaan larangan calon terpidana korupsi untuk menjadi
anggota legislatif tanpa mengkontemplasikan dan mengkonfrontasikannya
dengan “maksud” dan rasio legis pengaturan itu lahir. Sehingga konstelasi dari
ketiga aspek ini secara filosofis (keadilan, kepastian dan kemanfaatan)

berdasarkan Putusan MA No. 46 P/HUM/2018 berakhir pada gejala legisme


yang begitu kuat dan kental dalam realitas peradilan Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

46
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

BUKU
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls,
Yogyakarta : Kanisius, 2001.

Awaludin Marwan, Teori Hukum Kontemporer, Rangkang Education:


Yogyakarta, 2010.

Bentham, Jeremy. An introduction to the principles of morals and legislation.


McMaster University Archive for the History of Economic Thought, 1781
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y Hage, Teori Hukum :
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV Kita,
2007.
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa &
Nusa Media, 2004.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
H.L.A. Hart, The Concept of Law, Oxford: Oxford University Press, 1994.

Hans Kelsen, Introduction to The Problems of Legal Theory, translated by


Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, Oxford : Clarendon
Press, 1992.

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,


Bandung:Nusa Media, 2008.

Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum: Dari Klasik Sampai Postmodernisme,


Yogyakarta: Penerbit UAJY, 2012.
I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis dan Historis, Malang:
Setara Press, 2013.
John Rawls, A Theory Of Justice (Revised Edition), Cambridge,
Massachusetts : The Belknap Press Of Harvard University Press, 1971.
Karen Lebacqz, Sixth Theories of Justice (Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis
Terhadap Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold
Neibuhr, Jose Porfirio Miranda), Diterjemahkan Oleh Yudi Santoso,
Bandung: Nusamedia, 1986

Lihat Ducey, Michael H. "The legal positivism of Hans Kelsen." Thesis of


Graduate School of Loyola University, 1959.
Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003.
Marwan Efendy, Teori Hukum Dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan, dan
Harmonisasi Hukum Pidana, Jakarta: Referensi, 2014.

47
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Filsafat


Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Shidarta, Bandung: Refika Aditama,
2007.
Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Filsafat
Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Shidarta, Bandung: Refika Aditama,
2007.
Nodelman, Uri, Colin Allen, and John Perry. "Stanford encyclopedia of
philosophy." 1995.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan


Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 834.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018, h.73.

Robert Paul Wolf, Understanding Rawls: A Reconstruction and Critique of A


Theory of Justice, Princenton: Princenton University Press, 1977.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Silkenat, James R., James E. Hickey, and Petr Barenboĭm, eds. The legal
doctrines of the rule of law and the legal state (Rechtsstaat). Vol. 38.
Heidelberg: Springer, 2014.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,


2005.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta:


Cahaya Atma Jaya, 2014.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum:
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermatabat, Jakarta:
Raja Garafindo Persada, 2012.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman,

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 2017, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 6109.

ARTIKEL JURNAL

48
RES JUDICATA
ISSN: 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

Cabral, James E., et al. "Using technology to enhance access to justice." Harv.
JL & Tech. 26 (2012): 241.
Christiani, Theresia Anita. "Normative and Empirical Research Methods: Their
Usefulness and Relevance in the Study of Law as an Object." Procedia-
Social and Behavioral Sciences. 219 (2016): 201-207.
Fahmi, Khairul. "Menelusuri konsep keadilan pemilihan umum menurut UUD
1945." Jurnal Cita Hukum 4.2 (2016): 167-186.
Fallon Jr, Richard H. “The rule of law" as a concept in constitutional discourse”,
Columbia Law Review (1997): 1-56.
Hyronimus Rhiti, “Kepastian Hukum dari Perspektif Fenomenologi dan
Posmodernisme”, Makalah Pleno Konferensi Ke-III Asosiasi Filsafat
Hukum Indonesia, Surabaya, Tgl 27-28 Agustus 2013, Universitas
Airlangga.

J. Mandle, “John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement”, Journal Utilitas,


14.2, (2002): 265268.

Leawoods, Heather. "Gustav Radbruch: An extraordinary legal philosopher."


Wash. UJL & Pol'y 2 (2000): 489.
Leiter, Brian. "In Praise of Realism (and against Nonsense Jurisprudence."
Geo. LJ 100 (2011): 865.
Leiter, Brian. "Legal realism and legal positivism reconsidered." Ethics 111.2
(2001): 278-301.

Lindebaum, Dirk, and Effi Raftopoulou. "What would John Stuart Mill say? A
utilitarian perspective on contemporary neuroscience debates in
leadership." Journal of Business Ethics 144.4 (2017): 813-822.
Malby, Steven. "The rule of law and sustainable development." Commonwealth
Law Bulletin 43.34 (2017): 521-532.
Muhammad Saleh dan Dimas Firdausy Hunafa, “Pemilu Berintegritas:
Menggagas Pencabutan Hak Politik Bagi Narapidana Tindak Pidana
Korupsi yang Dipilih Melalui Pilihan Umum”, Jurnal Universitas Negeri
Semarang, 4.3 (2018): 1069-1086.

Pound, Roscoe. “Law and Morals--Jurisprudence and Ethics.” NCL Rev. 23


(1944): 185-222.

Radbruch, Gustav. "Five minutes of legal philosophy (1945)." Oxford Journal of


Legal Studies 26.1 (2006): 13-15.

49
RES JUDICATA
Volume 4, Nomor 1, 2021, Halaman 23-45

Respationo, HM Soerya, and M. Guntur Hamzah. "Putusan Hakim: Menuju


Rasionalitas Hukum Refleksif Dalam Penegakan Hukum." Yustisia Jurnal
Hukum 2.2 (2013): 101-107.
Stein, Stanley M., and Thomas L. Harper. “Rawls’s ‘Justice as Fairness’: A
Moral Basis for Contemporary Planning Theory”, Planning Theory
Journals, 4.2, (July 2005): 147–172.

Vega, Jesús. "Legal philosophy as practical philosophy." Revus. Journal for


Constitutional Theory and Philosophy of Law/Revija za ustavno teorijo in
filozofijo prava 34 (2018): 1-24

Wantu, Fence M. "Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim." Mimbar


Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 19.3 (2007): 395.

WEBSITES

https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/
db34083a4c17ab94aa322de52eb5a 60b/pdf. diakses pada 28 Februari
2019
Emerson Yuntho, ”Caleg berintegritas”, dalam Opini Kompas, 7 April 2018, h.6.

Agus Riewanto,”Mahkamah Agung Pembela Caleg Narapidana Korupsi”, dalam


Opini Media Indonesia, 17 September 2018.

https://nasional.kompas.com/read/2018/09/15/11482971/pakar-putusan-ma-
terhadap-pkpumenjauhkan-dari-hukum-progresif, diakses pada 28
Februari 2019

50

You might also like