You are on page 1of 84

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A219124


** Pembimbing / dr. Retno Kusumastuti, Sp.A, M.Kes

Demam Dengue + Gizi Buruk Marasmus Derajat Sedang

Disusun Oleh:
Uswatun Amina
G1A219124

Pembimbing:
dr.Retno Kusmuastuti, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

Demam Dengue + Gizi Buruk Marasmus Derajat Sedang

Disusun Oleh:
Uswatun Amina
G1A219124

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2021

Jambi, Januari 2021


Pembimbing,

dr. Retno Kusumastuti, Sp.A, M.Kes


KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang
berjudul “Demam Dengue + Gizi Buruk Marasmus Derajat Sedang” sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak di RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Retno Kusumastuti, Sp.A,
M.Kes yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing
penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Case Report
Session (CRS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan Case Report Session (CRS). Penulis mengharapkan semoga Case
Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Januari 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan


di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia tenggara, Amerika
tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah
virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri
dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den -4, ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes.
albopictus 2 yang terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. Penyakit DBD dapat
muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Munculnya
penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat.1

Prevalensi global DBD mengalami peningkatan yang dramatis dalam dua


dekade terakhir. Sekitar 40 % dari penduduk dunia di daerah tropis dan sub tropis
beresiko terkena DBD.2 Penyakit ini kini menjadi penyakit yang endemik di
Indonesia sejak tiga dekade terakhir. Insidennya berfluktuasi setiap tahun bahkan
sampai terjadi wabah DBD di beberapa daerah di Indonesia.3 Sampai saat ini 200 kota
telah melaporkan kejadian luar biasa. Insiden rate meningkat dari 0,005 per 100.000
penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun
terakhir ini.4 Jumlah kasus DBD di Indonesia sejak Januari sampai dengan Mei 2004
mencapai 64.000 (IR 29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak 724
orang (CFR 1,1 %).5

Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring


dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Pada tahun 2017 jumlah
kasus DBD dindonesia yang dilaporkan sebanyak 68.407 kasus dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 493 orang sedangkan pada tahun 2016 terdapat 204.171 kasus.
Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi terjadi di 3 provinsi dipulau jawa. Jawa barat
total kasus sebanyak 10.016 kasus, jawa Timur sebanyak 7.838 kasus dan jawa
tengah7.400 kasus.6

DBD dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DBD


berdasarkan umur di Indonesia menunjukkan bahwa DBD paling banyak terjadi pada
anak usia sekolah yaitu pada usia 5-14 tahun. 4 DBD masih sulit diberantas karena
belum ada vaksin untuk pencegahan dan penatalaksanaannya hanya bersifat suportif.

Keberhasilan penatalaksanaan DBD terletak pada kemampuan mendeteksi


secara dini fase kritis dan penanganan yang cepat dan tepat. 5 Berikut ini adalah
laporan kasus mengenai demam berdarah dengue derajat I pada seorang Perempuan
berumur 8 tahun 6 bulan yang datang ke RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama Pasien : An. Melati
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 15 Februari 2011
Umur : 9 Tahun 11 bulan
Nama Ayah : Alan
Nama Ibu : Karnisah
Bangsa : Indonesia
Agama :Islam
Alamat : Rt 21 Kel. Sungai Putri Danau sipin, Kota Jambi
MRS tanggal : 28-12-2020
Periksa : 29-12-2020
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada pasien dan alloanamnesis
pada ibu pasien pada tanggal 29-12-2020

Keluhan Utama : Demam sejak kurang lebih 1 hari yang lalu


Keluhan Tambahan : nyeri perut, muntah dan mimisan

2.2.1 Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke UGD RSU Raden Mattaher dibawa oleh
orangtuanya dengan keluhan demam sejak ± 1 hari yang lalu. Pada hari
pertama demam, demam timbul mendadak tinggi, demam tidak naik
turun, demam tidak disertai dengan menggigil pada malam hari, demam
juga tidak meningkat pada pagi atau sore hari. Demam disertai dengan
mimisan dan nyeri perut serta disertai dengan muntah berisi cairan saat
minum. Pada hari kedua, demam masih tinggi dan disertai dengan
mimisan, nyeri perut dan muntah sehingga pasien dibawa ke puskesmas
dan diberikan obat penurun panas. Saat di Puskesmas demam sempat
turun sebentar setelah diberikan obat penurun panas tetapi pasien kembali
demam tinggi. Kemudian pasien dirujuk ke UGD RSU Raden Mattaher.
Pada hari ketiga, pasien masih masih demam tinggi dan disertai mimisan
pada pagi hari..
Pasien tidak mengeluhkan adanya terdapat nyeri sendi, Riwayat BAB
cair disangkal, ruam kulit (-), gusi berdarah (-), Batuk (-), Pilek (-), BAK
(+). Pasien tinggal dilingkungan yang terdapat banyak rawa-rawa dan
banyak nyamuk. Tetapi tidak ada keluarga atau masyarakat yang
memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
2.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat demam mendadak (-)
- Riwayat sakit DBD sebelumnya (-)
2.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat sakit DBD sebelumnya (-)
- Riwayat demam mendadak (-)
2.2.4 Riwayat Sosial Ekonomi
- Pasien merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara
- Pasien tinggal bersama orangtuanya
- Pasien memiliki jaminan kesehatan

2.2.5 Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


a. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa Kehamilan : 39-40 minggu
Partus : Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 15 Februari 2011
Berat Badan Lahir : 3400 gr
Panjang Badan : Ibu pasien lupa

b. Riwayat Makanan
ASI : ASI ekslusif sampai usia 6 bulan
Susu Formula : Susu formula 6 bulan sampai usia 2 tahun
Bubur Nasi : Bubur SUN, mulai usia 6 bulan sampai
usia 7 bulan
Nasi Tim/lembek : Mulai usia 7 bulan sampai usia 10 bulan
Nasi Biasa : Mulai usia 10 bulan sampai sekarang
Daging, Ikan, Telur : sejak usia 7 bulan sampai sekarang (jarang)
Sayuran : jarang
Buah : jarang
Kesan : Kurang

c. Riwayat Imunisasi
BCG :+ (1 kali)
Polio :+ (3 kali)
DPT :+ (3 kali)
Campak :+ (1 kali)
Hepatitis :+ (4 kali)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

d. Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : 7 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Merangkak : 7 bulan
Duduk : 9 bulan
Berdiri : 1 tahun
Berjalan : 1 tahun 2 bulan
Berbicara : 11 bulan
Aktiftas : Aktif
Kesan : Perkembangan normal
e. Status Gizi
BB : 24 kg
TB : 135 cm
BB/U : Dibawah P5
TB/U : Di P10
BB/TB : 64,8% (kesan: gizi buruk)
Usia 9 tahun dengan berat badan 24 kg, tinggi badan 135 cm dan
status gizi berdasarkan kurva CDC BB/TB 64,8% (Kesan: gizi buruk)

Riwayat Penyakit yang pernah Diderita

Parotitis :- Muntah berak : -


Pertusis :- Asma :+
Difteri :- Cacingan :-
Tetanus :- Patah tulang :-
Campak :- Jantung :-
Varicella :- Sendi bengkak: -
Thypoid :- Kecelakaan :+
Malaria :- Operasi :-
DBD :- Keracunan :-
Demam menahun :- Sakit kencing : -
Radang paru :- Sakit ginjal :-
TBC :- Alergi :-
Kejang :- Perut kembung: -
Lumpuh :- Otitis Media : -
Batuk/pilek :+

2.3 Pemeriksaan Fisik


1. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis, E4V5M6 (15)
Tekanan Darah : 100/70
Nadi : 117x/i teraba kuat angkat
Pernapasan : 23x/i
Suhu : 39,2oC
Spo2 : 99%

2. Pemeriksaan Khusus
1. Kulit
 Warna : Sawo matang
 Pucat :-
 Lain-lain : Rumple Leed Test (-), purpura (-)
2. Kepala
 Bentuk : Normocephal
 Rambut
- Warna : Hitam, merata, tidak mudah dicabut
- Alopesia :-
- Lain-lain :-
 Mata
- Palpebra : Edema (-), laserasi (-), cekung (-),
- Alis dan bulu mata : Hitam
- Konjungtiva : Anemis (+)
- Sklera : Ikterik (-)
- Pupil : Isokhor, refleks cahaya (+/+)
- Kornea : Jernih (+/+)
 Telinga
- Bentuk : Simetris
- Sekret : Tidak ada
- Serumen : (+/+) Minimal
- Nyeri : (-/-)
 Hidung
- Bentuk : Simetris
- Sekret : (-/-)
- Epistaksis : (-/-)
 Mulut dan Gigi
- Bentuk : Simetris
- Bibir : Kering (-), pucat (-)
- Gusi : Perdarahan (-)
- Karies : -
- Lidah : Atropi papil lidah (-)
 Faring
- Hiperemis :-
- Edema :-
- Membran / pseudomembran : -
 Tonsil
- Warna : hiperemis (-)
- Pembesaran : T2-T2
- Abses : (-/-)
- Membran / pseudomembran : -
 Leher
- Pembesaran kelenjar leher :-
- Kaku kuduk :-
- Massa :-
- Tortikolis :-
- Parotitis :-
3. Thoraks : Bentuk: Normochest, simetris kiri-kanan
 Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba di iCS V linea
midclavicula sinistra
- Perkusi :
o Batas kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
o Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
o Batas atas : ICS II linea parasternalis dekstra
- Auskultasi :
o Suara dasar : Irama jantung regular
o Bising : Murmur (-). gallop (-)
 Paru
Inspeksi  Retraksi :-
Pernapasan : thorakoabdominal
Palpasi  Fremitus vocal : Simetris kanan dan kiri
Perkusi  Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi Suara nafas dasar : Vesikuler (+/+)
Suara nafas tambahan: Ronki (-/-),Wheezing (-/-)
 Abdomen
Inspeksi  Bentuk : Datar
Auskultasi  Bising usus (+) normal
Palpasi  Nyeri tekan : epigastrium (+)
Nyeri lepas :-
Defans muscular :-
Turgor : Baik
Hepar : Pinggir tajam,
Permukaan rata,
Konsistensi kenyal
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Massa :-
Perkusi  Timpani :+
Ascites :-
Nyeri ketok CVA : -
4. Ekstremitas
 Superior: Akral hangat, CRT<3 detik (-/-)
 Inferior: Akral hangat, CRT<3 detik, edema (-/-)
5. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

3. Pemeriksaan Neurologi
 Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : Tidak dilakukan pemeriksaan
Brudzinsky I : Tidak dilakukan pemeriksaan
Brudzinsky II : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kernig : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lasegue : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Pemeriksaan Fisiologis
Refleks tendon biseps : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks tendon triseps : Tidak dilakukan pemeriksaan
Patella : Tidak dilakukan pemeriksaan
Achilles : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Pemeriksaan Patologis
Babinsky : Tidak dilakukan pemeriksaan
Chadook : Tidak dilakukan pemeriksaan
Gordon : Tidak dilakukan pemeriksaan
Oppenheim : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Tonus : eutoni
 Kekuatan : 5 5
5 5

4. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi (29 Desember 2020)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hematologi rutin
Hemoglobin 11,6↓ 12-16 g/Dl
Hematokrit 33,5↓ 34,5-54 %
Eritrosit 4,09 4,5-5,5 106/ uL
MCV 81,9 80-96 Fl
MCH 28,2 27-31 Pg
MCHC 34,5 32-36 g/DI
RDW 10,8 %
Trombosit 69,8↓ 150-450 103/ uL
PCT ,056↓ 0,150-0,400 %
MPV 8,07 7,2-11,1 Fl
PDW 22,7↑ 9-13 Fl
Leukosit 3,05↓ 4,0-10,0 103/ uL
Kesan: Anemia, Trombositopenia, leukopenia

2.4 Pemeriksaan Anjuran


- Evaluasi Darah Rutin

2.5 Diagnosa

Diagnosa Kerja:
Tersangka DBD grade II + Gizi buruk

Diagnosa Banding:
- Chikungunya
- Demam thipoid

2.6 Tatalaksana
Farmakologi:
- IVFD RL 1600cc / 24Jam
- Inj. Omeprazole 2x10 mg
- PO. Paracetamol 3x250 mg
Non Farmakologi
- Observasi tanda-tanda vital
- Urin Output
- Cek Darah Rutin

Follow Up
Tanggal S O A P
30/12/20 Demam (+) Keadaan umum: Diagnosis : - IVFD RL 3
hari ke 3 tampak lemas Tersangka cc/KgBB/Jam
Mimisan Kesadaran: CM DBD  72 cc/Jam
(+) GCS : E4V5M6 (15) Grade II - PO.
TD : 100/70 Paracetamol
N : 100 x/i 4x250 mg
RR : 24 x/i
T : 38,2˚C
SP02 : 98 %
Pemeriksaan
laboratorium (jam
7.09):
- Hematokrit: 35,5
- Trombosit: 66,9
- Leukosit: 2,11
- Eritrosit: 4,34

31/12/20 Demam (-) Keadaan umum: Diagnosis : - IVFD RL 3


hari ke-4 Tampak lemah Tersangka cc/KgBB/Jam
Kesadaran: CM, DBD  72 cc/Jam
GCS : E4V5M6 (15) Grade II - PO.
TD : 100/70 Paracetamol
N : 96 x/i 4x250 mg
RR : 23 x/i
T : 36,9˚C
SP02 : 97 %
Pemeriksaan
laboratorium (jam
07.10):
- Hematokrit: 35.4
- Trombosit: 52.1
- Leukosit: 3,20
- Eritrosit: 4,33
01/01/21 Demam (-) Keadaan umum: Diagnosis : - IVFD RL 3
Jam hari ke-5 Tampak lemah Tersangka cc/KgBB/Jam
06.00 Kesadaran: CM, DBD  72 cc/Jam
GCS : E4V5M6 (15) Grade II - PO.
TD : 100/70 Paracetamol
N : 73 x/i 4x250 mg
RR : 28 x/i
T : 36,9˚C
SP02 : 95 %
Pemeriksaan
laboratorium (jam
6.35):
- Hematokrit: 35,8
- Trombosit: 58,1
- Leukosit: 5,27
- Eritrosit: 4,34
02/01/21 PASIEN PULANG
Jam
16.00

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypty dan dapat
juga ditularkan oleh Aedes albopictus, yang ditandai dengan : demam tinggi
mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari,
manifestasi perdarahan, termasuk uji Tourniquet positif, trombositopeni (jumlah
trombosit ≤ 100.000/µl), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%), disertai
dengan atau tanpa perbesaran hati.1,2
Virus dengue dipindahkan dari satu orang ke orang lain bersama liur nyamuk
pada waktu nyamuk mengisap darah. Virus itu akan berada dalam sirkulasi darah
(viremia) selama 4–7 hari. Akibat infeksi virus bermacam-macam tergantung
imunitas seseorang yaitu asimtomatik, demam ringan, dengue fever (demam dengue)
dan dengue haemorrhagic fever (DHF/DBD). Penderita yang asimtomatik dan
demam ringan merupakan sumber penularan yang efektif, karena mereka dapat pergi
kemana mana dan menyebarkan virus dengue.2
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan
dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan/syok.2
3.1.2 Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis.
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, World Health Organization (WHO)
mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia
Tenggara.3

Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41


tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi
dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%)
dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002
sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan
jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada
tahun 2009. Setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar
terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian
sebanyak 800 orang lebih.4 Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai
139.695 kasus, dengan angka kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100.000
penduduk. Total kasus meninggal adalah 1.395 kasus/Case Fatality Rate sebesar 1%
(Depkes RI, 2008). Pada saat ini kasus DBD dapat ditemukan di seluruh provinsi di
Indonesia dan 200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD (Depkes
RI, 2008).4
Pada tahun 2017 jumlah kasus DBD dindonesia yang dilaporkan sebanyak
68.407 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 493 orang sedangkan pada
tahun 2016 terdapat 204.171 kasus. Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi terjadi di
3 provinsi dipulau jawa.jawa barat total kasus sebanyak 10.016 kasus, jawa Timur
sebanyak 7.838 kasus dan jawa tengah 7.400 kasus.4
3.1.3 Etiologi
Penyebab utama penyakit demam berdarah adalah virus dengue, yang
merupakan virus dari famili Flaviviridae. Terdapat 4 jenis virus dengue yang
diketahui dapat menyebabkan penyakit demam berdarah. Keempat virus tersebut
adalah DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. 1 Gejala demam berdarah baru muncul
saat seseorang yang pernah terinfeksi oleh salah satu dari empat jenis virus dengue
mengalami infeksi oleh jenis virus dengue yang berbeda. Sistem imun yang sudah
terbentuk di dalam tubuh setelah infeksi pertama justru akan mengakibatkan
kemunculan gejala penyakit yang lebih parah saat terinfeksi untuk ke dua kalinya.
Seseorang dapat terinfeksi oleh sedikitnya dua jenis virus dengue selama masa hidup,
namun jenis virus yang sama hanya dapat menginfeksi satu kali akibat adanya sistem
imun tubuh yang terbentuk.4,5
Virus dengue dapat masuk ke tubuh manusia melalui gigitan vektor
pembawanya, yaitu nyamuk dari genus Aedes seperti Aedes aegypti betina dan Aedes
albopictus. Aedes aegypti adalah vektor yang paling banyak ditemukan menyebabkan
penyakit ini. Nyamuk dapat membawa virus dengue setelah menghisap darah orang
yang telah terinfeksi virus tersebut. Sesudah masa inkubasi virus di dalam nyamuk
selama 8 - 10 hari, nyamuk yang terinfeksi dapat mentransmisikan virus dengue
tersebut ke manusia sehat yang digigitnya.4,5
Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam berdarah (nyamuk Aedes
aegypti):6
 Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih
 Hidup di dalam dan di sekitar rumah
 Menggigit/menghisap darah pada siang hari
 Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar
 Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah
bukan di got/comberan
 Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung,
dan lain-lain.

3.1.4 Patogenesis
Hipotesis infeksi heterolog sekunder oleh Halstead pada tahun 1973 (the
secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis)
sampai saat ini masih dianut oleh sebagian besar sarjana sebagai konsep patogenesis
terjadinya DHF. Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan menderita DHF apabila
mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus dengue yang berbeda dalam jangka
waktu tertentu, yang berkisar diantara 6 bulan – 5 tahun. Hipotesis lain menentangnya
ialah hipotesis virulensi virus; menurut hipostesis ini perbedaan virulensi
serotipe/strain serotipe virus dengue adalah penyebab terjadinya DHF.2,3
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah :1
a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini
disebut dengan antibodi dependentenchancement (ADE).
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1
akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag
d. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a
dan C5a.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag
yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus
bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi
berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-
6, dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks
virus antibody yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.3
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang
terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala
lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang
menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. 5
Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS
yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory).3
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa
jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi
tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam
tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat
menimbulkan penyakit yang berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya
akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi
virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut,
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok.3
Gambar 1 Hipotesis secondary heterologous infection

3.1.5 Klasifikasi dan Gambaran klinis

Gamba
r 2 Klasifikasi infeksi virus dengue2
Gambaran klinis pada infeksi virus dengue mulai dari asimptomatis sampai
keadaan yang berat bahkan sampai menyebabkan kematian jika tidak mendapat
penanganan. Kasus simptomatis dikelompokkan menjadi Undifferentiated febrile
illness (UF), dengue fever (DF), dengue hemoragic fever (DHF), dengue shock
syndrom (DSS), dan unusual dengue (UD) atau expanded dengue syndrom (EDS).2
Klasifikasi gejala akibat infeksi virus dengue2
 Undifferentiated febrile illness (UF) tidak dapat didiagnosis secara klinis
namun diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan serologi atau virologi.
 Dengue fever (DF) dianggap sebagai gangguan sedang karena laporan
kematian pada DF masih jarang, tapi perdarahan masif dapat ditemukan pada
kasus DF.
 Dengue hemoragic fever (DHF) gambaran klinis pada fase febrile tampak
sama pada kelompok DF. Temuan khas pada DHF adalah peningkatan
permeabilitas vaskular (plasma leakage). Jika plasma leakage terjadi pada
pleura dan cavitas peritoneum maka dapat menyeabkan efusi pleura dan
asites.
 Dengue shock syndrom (DSS) gambaran yang ditemukan hampir mirip
dengan DHF namun pada DSS kebocoran plasma yang terjadi sangat hebat
sampai menyebabkan pasien syok.
 (Unusual dengue) UD atau expanded dengue syndrom (EDS) kasus yang
jarang terjadi, dengan kasus DHF disertai syok yang berkepanjangan atau
DHF dengan komorbiditas atau DHF yang disertai infeksi lain.
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase
kritis dan fase pemulihan.3
1. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka
kemerahan (facial flushing), eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia,
artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok,
injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini
dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti petekie, perdarahan mukosa,
walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan
gastrointestinal. Uji tourniquet positif pada fase ini meningkatkan probabilitas
demam berdarah.
2. Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu
tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran
plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Leukopenia progresif
diikuti oleh penurunan jumlah trombosit yang cepat biasanya mendahului
kebocoran plasma. Pada fase ini dapat terjadi syok. Merupakan kisaran waktu
defervescence, ketika suhu turun menjadi 37,5-38oC atau kurang dan tetap di
bawah tingkat ini, biasanya pada hari 3-7 dari penyakit, peningkatan
permeabilitas kapiler secara paralel dengan peningkatan kadar hematokrit
dapat terjadi. Ini menandai dimulainya fase kritis. Pada titik ini, pasien tanpa
peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik, sementara yang memiliki
permeabilitas kapiler meningkat menjadi lebih buruk akibat kehilangan
volume plasma. Syok terjadi saat volume kritis plasma hilang melalui
kebocoran. Hal ini sering didahului dengan tanda peringatan. Suhu tubuh
mungkin subnormal saat terjadi syok.
3. Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan
dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam
setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali,
hemodinamik stabil dan diuresis membaik, gejala gastrointestinal mereda.
Beberapa pasien mungkin mengalami ruam. Beberapa mungkin mengalami
pruritus umum. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi umum terjadi
pada tahap ini.
4. Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusional dari
reabsorpsi cairan. Jumlah sel darah putih biasanya mulai meningkat segera
setelah defervescence namun pemulihan jumlah trombosit biasanya lebih
tinggi daripada jumlah sel darah putih. Gangguan pernapasan akibat efusi
pleura dan asites yang besar akan terjadi kapan saja jika cairan intravena
berlebihan telah diberikan.
Gambar 3. Gambaran klinis tiap fase dengue5

3.1.6 Diagnosa
a. Anamnesis
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7
hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit
kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan.
Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis
ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek.
Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah
tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada
bayi.4

Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple


Leed) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan
intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekie
halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum
mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan
perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan
dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi
dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun
pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun
pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.4

Demam mendadak tinggi dengan tipe bifasik disertai oleh


kecenderungan perdarahan (perdarahan kulit, perdarahan gusi, epistaksis,
hematemesis, melena, hematuria), sakit kepala, nyeri otot dan sendi, ruam,
nyeri dibelakang mata, mual-muntah. Riwayat penderita DBD di sekitar
tempat tinggal, sekolah, atau di tempat bekerja di waktu yang sama. Pasien
dapat juga datang disertai dengan keluhan sesak, lemah hingga penurunan
kesadaran.5,6

b. Pemeriksaan Fisik
 Suhu tubuh meningkat, normal atau hipotermi
 Dijumpai facial flush
 Manifestasi perdarahan
a. Uji bendung positif (≥ 20 petekie/inch2 atau 2.5cm2)
b. Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur
c. vena(easy bruising)
d. Ptekie
e. Perdarahan mukosa : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan
f. saluran cerna
g. Hematuria(jarang)
h. Menorrhagia (pada remaja dewasa)
 Ruam makulopapular/rubellaform pada fase demam
 Hepatomegali teraba 2-4 cm dibawah arcus costae kanan
 Splenomegali (jarang)
 Terdapat hemostasis yang tidak normal
 Terdapat pembesaran plasma (khususnya pada rongga pleura/efusi
 pleura dan rongga peritoneal/ascites)
 Dapat disertai dengan hipovolemia dan syok
 Warning Signs : muntah persisten, nyeri perut, menolak asupan
peroral, letargi atau gelisah, hipotensi postural, oliguria
 Gejala kegagalan sirkulasi terjadi pada saat suhu turun antara hari ke
3-7 demam berupa : kulit dingin dan lembab, sianosis sirkumoral,
nadi lemah dan cepat. Pasien tampak letargi atau gelisah kemudian
jatuh dalam keadaan syok.
 Tanda – tanda syok :
a. Nadi cepat dan lemah
b. Tekanan nadi sempit, distolik cenderung naik atau hipotensi
c. Capillary refill time> 3detik
d. Akral dingin
e. Gelisah
f. Pada profound shock (DBD grade IV), nadi tidak teraba dan TD
g. tidak terukur
h. Oliguria hingga anuria
 Pada prolonged shock dapat terjadi :
a. Asidosis metabolik
b. Gagal multiorgan
c. Perdarahan massif
d. Gagal hati dan renal
e. Ensefalopati
f. Perdarahan intracranial
g. Fase konvalesen
h. Sinus bradikardi
i. Perdarahan intracranial
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar
hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi
untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru.2
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell
culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik
RT-PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction),
namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang
mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa
antibody total IgM maupun IgG. Parameter Laboratoris yang dapat
diperiksa antara lain :2
• Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat
ditemui limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai
adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total
leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
• Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
• Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke-3 demam.
• Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-
Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan
atau kelainan pembekuan darah.
• Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran
plasma.
• SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
• Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
• Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
• Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan
diberikan transfusi darah atau komponen darah.
• Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap
dengue. IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG: pada infeksi
primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
• NS 1 : antigen NS 1 dapat dideteksi pada awal demam hari
pertama sampai hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS 1
berkisar 63%-93,4% dengan spesifisitas 100% sama tingginya
dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil negatif
antigen NS 1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
• LP atas indikasi
• USG Thoracoabdominal
• Gula darah sewaktu atas indikasi
• Foto rontgen dada dalam posisi AP atau right lateral decubitus
• CT-Scan atau MRI atas indikasi
2. Gambaran Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat,
efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan
foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan
(pasien tidur pada sisibadan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura
dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.3
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi :2
 Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
a. Uji bendung positif
b. Petekie, ekimosis, atau purpura
c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
d. Hematemesis atau melena
 Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut :
a. Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
b. Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
c. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi

Tabel 1 Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue2


DD/DBD Derajat* Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2 atau  Leukopenia


lebih tanda :  Trombositopenia
sakit kepala, nyeri tidak ditemukan
retro-orbital, myalgia, bukti kebocoran
arthralgia. plasma.
 Serologi dengue
positif
DBD I Gejala diatas Trombositopenia,
ditambah uji bukti ada kebocoran
bendungan positif plasma
DBD II Gejala diatas Trombositopenia,
ditambah pendarahan bukti ada kebocoran
spontan. plasma

DBD III Gejala diatas Trombositopenia,


ditambah kegagalan bukti ada kebocoran
sirkulasi (kulit dingin plasma
dan lembab serta
gelisah)

DBD IV Syok berat disertai Trombositopenia,


dengan tekanan darah bukti ada kebocoran
dan nadi tidak terukur plasma

* DBD derajat III dan IV juga disebut Dengue Syok Syndrome (DSS)
Ruple Leed Test
Sebuah tes tourniquet (juga dikenal sebagai Rumpel-Leede Kerapuhan
kapiler-Test atau hanya tes kerapuhan kapiler) menentukan kapiler kerapuhan. Ini
adalah metode diagnostik klinis untuk menentukan kecenderungan perdarahan pada
pasien. Ia menilai kerapuhan dinding kapiler dan digunakan untuk mengidentifikasi
trombositopenia (dengan pengurangan count platelet).
Pengujian ini didefinisikan oleh WHO sebagai salah satu syarat yang
diperlukan untuk diagnosis DBD. Ketika manset tekanan darah dipacu ke titik antara
tekanan darah sistolik dan diastolik selama lima menit, maka tes ini akan dinilai.
Dalam DBD tes biasanya memberikan hasil positif yang pasti dengan 20 petechiae
atau lebih per inci persegi.Tes ini tidak memiliki spesifisitas tinggi.
Gambar 4 Tourniquet tes positif di sisi kanan pasien dengan demam berdarah

Dalam menilai  kenaikan hematokrit harus diingat pula pengaruh adanya


anemia, perdarahan dan pemberian terapi cairan dini. Untuk membuktikan adanya
kebocoran plasma dapat pula dicari efusi pleura  pada pemeriksaan radiologik atau
adanya hipoalbuminemia. Dalam pengalaman klinik ternyata tidak selalu semua
kriteria  WHO tersebut dipenuhi. Hemokonsentrasi baru dapat dinilai setelah
pemeriksaan serial hematokrit sehingga pada saat penderita pertama kali datang
belum dapat ditentukan adanya hemokonsentrasi atau tidak.
Secara umum langkah-langkah tes tourniquet dapat dibagi dalam 3 tahap
utama yaitu :
1. Pra Analitik
 Persiapan pasien : tidak memerlukan persiapan khusus
 Prinsip : Terhadap kapiler diciptakan suasana anoksia dengan jalan
membendung darah vena. Terhadap anoksia dan penambahan tekanan
internal akan terlihat kemampuan kapiler bertahan. Jika ketahanan
kapiler turun aan timbul petechie di kulit.
 Alat dan bahan : Tensimeter dan stetoskop, Timer, Spidol
2. Analitik
Cara kerja :
 Pasang manset tensimeter pada lengan atas. Carilah tekanan sistolik
(TS) dan tekanan diastolik (TD).
 Buat lingkaran pada bagian volar lengan bawah : Radius 3 cm, Titik
pusat terletak 2 cm dibawah garis lipatan siku
 Pasang lagi tensimeter dan buatlah tekanan sebesar ½ x (TS + TD),
pertahankan tekanan ini selama 5 menit.
 Longgarkan manset lalu perhatikan ada tidaknya petechie dalam
lingkaran yang telah dibuat
3. Pasca Analitik
Nilai rujukan :
< 10 :normal (nagatif)
10 – 20 :dubia (ragu-ragu)
> 20 :abnormal (positif)
Tes tourniquet merupakan tes yang sederhana untuk melihat gangguan pada
vaskuler maupun trombosit. Tes tourniquet akan positif jika ada gangguan pada
vaskuler maupun trombosit.
Tanpa tensimeter, kita dapat melakukannya sendiri dengan membebat
lengan atas dengan sapu tangan/karet elastis  dengan tekanan secukupnya. Setelah  5
menit, perhatikan apakah keluar bintik-bintik merah pada kulit lengan bawah. Jika
ada, langsung ke dokter.
Membedakan Peteki dengan bintik gigitan nyamuk jika mencurigai
infeksi dengue. Jika pasien demam memperlihatkan bintik merah mirip bekas gigitan
nyamuk, lakukan peregangan kulit di area sekitarnya dengan jari. Jika kemudian
bintik merah yang dicurigai bintik perdarahan tampak menjadi lebih pudar merahnya
kemungkinan bukan bintik perdarahan. Sebaliknya, jika pada saat kulit ditekan
bintiknya tidak pudar, kemungkinan benar peteki tanda perdarahan DBD. Namun,
tanda perdarahan kulit dapat juga berupa lebam. Peteki spontan juga dapat ditemui.
3.1.7 Diagnosa banding
Diagnosa banding kejam demam antara lain:1

DBD Chikungunya

Gejala Klinis - Demam tinggi mendadak - Demam tinggi (39 C)


2-7 hari - Nyeri pada pesendian
- Manifestasi perdarahan - Tidak nafsu makan
- Hepatomegali - Lemah
- Syok, tekanan nadi - Mual
menurun - Sakit kepala
- Lemah, mual, muntah, - Timbul ruam
sakit kepala, diare - Fotofobia
- Ruam merah dan sakit
pada otot dan persendian

Hasil Trombositopenia Penurunan trombosit


Laboratorium (,100.000/uL) sedikit
Ht >20% Ht tidak meningkan
Pemeriksaan antibodi Kenaikan kadar leukosit
igG dan IgM Pemeriksaan antibodi
Kadar leukosit normal igM
atau menurun

DBD Campak

Gejala Klinis Bercak timbul hari ke-2 - Bercak merah (hilang jika
sampai 3. Pada hari ke- ditekan) timbul biasanya
4 dan 5 bercak pada demam hari ke-3
menghilang tanpa sampai 5 kemudian akan
diikuti proses terkelupas berkurang pada minggu
dan bercak kehitaman kedua dan menimbulkan
pada kulit bekas terkelupas dan
bercak kehitaman
- Diawali dengan keluhan
pilek dan batuk mulai
demam di hari pertama

Hasil Trombositopenia
Laboratorium (,100.000/uL)
Ht >20%
Pemeriksaan antibodi
igG dan IgM

DBD Demam Tifoid

Gejala Klinis - Demam tinggi mendadak - Demam lama (>5 hari)


2-7 hari dan lebih terasa pada
- Manifestasi perdarahan malam hari
- Hepatomegali - Sakit kepala, mual,
- Syok, tekanan nadi muntah
menurun - Diara ataupun
- Lemah, mual, muntah, konstipasi/sembelit
sakit kepala, diare
- Ruam merah dan sakit
pada otot dan persendian

Hasil Trombositopenia Tes Widal


Laboratorium (,100.000/uL) Pemeriksaan kultur darah
Ht >20%
Pemeriksaan antibodi
igG dan IgM
DBD Malaria

Gejala Klinis - Demam tinggi mendadak - Demam menggigil secara


2-7 hari berkaala dan biasanya
- Manifestasi perdarahan disertai sakit kepala
- Hepatomegali - Suhu badan menurun
- Syok, tekanan nadi - Anemia
menurun - Splenomegali
- Lemah, mual, muntah, - Ikterus (hemolisis dan
sakit kepala, diare gangguan hepar)
- Ruam merah dan sakit
pada otot dan persendian

Hasil Uji serologi meliputi uji Ditemukan parasit dalam


Laboratorium hambatan hemaglutinasi, darah yang dipulas
uji fiksasi kompliemen, dengan Giemsa
uji netralisasi, uji IgM,
IgG dan ELISA
Deteksi antigen viral
dengan metode PCR dan
cara fluoreesensi
imunoglobulin

Tabel 2 Diagnosa banding kejam demam

3.1.8 Penatalaksanaan
a. Pra Hospital2
Ada cara yang bisa ditempuh tanpa harus diopname di rumah sakit, tapi
butuh kemauan yang kuat untuk melakukannya. Cara itu adalah sebagai
berikut (WHO, 1999) :
1. Minumlah air putih minimal 20 gelas berukuran sedang setiap hari
(lebih banyak lebih baik)
2. Cobalah menurunkan panas dengan minum obat penurun panas.
Parasetamol sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak lebih
dari 4 kali sehari. Jangan memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen,
sebab dapat menimbulkan gastritis dan atau perdarahan.
3. Beberapa dokter menyarankan untuk minum minuman ion tambahan
(pocari sweet)
4. Minuman lain yang disarankan: Jus jambu merah untuk meningkatkan
trombosit
5. Makanlah makanan yang bergizi dan usahakan makan dalam kuantitas
yang banyak
6. Cara penghitung kebutuhan cairan dapat berdasarkan rumus berikut ini
:
a) Dewasa : 50 cc/kg BB/hari
b) Anak :
 Untuk 10 kg BB pertama : 100cc/kgBB/hari
 Untuk 10 kg BB kedua : 50cc/kgBB/hari
 Untuk 10 kg BB ketiga dan seterusnya: 20 cc/kg BB/hari
Pada pasien anak yang rentan mempunyai riwayat kejang
demam maka perlu diwaspadai gejala kejang demam. Seiring dengan
kehilangan cairan akibat demam tinggi, kondisi demam tinggi juga
dapat mencetuskan kejang pada anak sehingga harus diberikan obat
penurun panas. Untuk menurunkan demam, berilah obat penurun
panas. Untuk jenis obat penurun panas ini harus dipilih obat yang
berasal dari golongan parasetamol atau asetaminophen, jangan
diberikan jenis asetosal atau aspirin oleh karena dapat merangsang
lambung sehingga akan memperberat bila terdapat perdarahan
lambung. Kompres dapat membantu bila anak menderita demam
terlalu tinggi sebaiknya diberikan kompres hangat dan bukan kompres
dingin, oleh karena kompres dingin dapat menyebabkan anak
menggigil. Sebagai tambahan untuk anak yang mempunyai riwayat
kejang demam disamping obat penurun panas dapat diberikan obat anti
kejang.
IDAI (2009) menjelaskan tanda-tanda syok harus dikenali
dengan baik karena sangat berbahaya. Apabila syok tidak tertangani
dengan baik maka akan menyusul gejala berikutnya yaitu perdarahan.
Pada saat terjadi perdarahan hebat penderita akan tampak sangat
kesakitan, tapi bila syok terjadi dalam waktu yang lama, penderita
sudah tidak sadar lagi. Dampak syok dapat menyebabkan semua organ
tubuh akan kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian
dalam waktu singkat. Oleh karena itu penderita harus segera dibawa
kerumah sakit bila terdapat tanda gejala dibawah ini :
1. Demam tinggi (lebih 39oC atau lebih)
2. Muntah terus menerus
3. Tidak dapat atau tidak mau minum sesuai anjuran
4. Kejang
5. Perdarahan hebat, muntah atau berak darah
6. Nyeri perut hebat
7. Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat,
seluruh badan teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa haus,
kencing berkurang atau tidak ada sama sekali
8. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah atau
penurunan jumlah trombosit
b. Intra Hospital di Unit Gawat Darurat2
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan
sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit
lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan
perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis
DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan
tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis
yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan ease
awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis
disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan
plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit.
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/pl atau kurang dari 1-2
trombosit/Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum
peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan
hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan
merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik
atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat
diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada
kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan
jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I dan II
dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat
sehari di rumah sakit kelas B dan A
a. Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan
tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian
cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat
diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik
kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk pemberian atau dapat disederhanakan seperti
tertera pada Tabel 3.Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul
sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman
yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50ml/kg BB dalam 4-6
jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan
cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang
masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oralit. Bila
terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif
selama demam12
Tabel 3 Dosis Parasetamol Menurut umur
Umur (Tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian)
Dosis (mg) Tablet (1 tab = 500 mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin
terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada
umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit
berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk
pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal
satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila
sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak
terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht,
dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Dengan estimasi
nilai Ht = 3 x kadar Hb
b. Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang
terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok)
maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang
hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan
dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung
untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih
sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus
selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah
volume urin.
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin
mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena
diperlukan, apabila :
 Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi
sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan
terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok.
 Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam
larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium
bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan
 Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi
jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume
dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk
dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan +
defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada Tabel 3 dibawah
ini.
Tabel 4 Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan
5 – 8 %)
Berat Badan waktu Jumlah cairan Ml/kg berat
masuk RS ( kg ) badan per hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
> 18 88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung
dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma,
yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk,
kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak
umur yang sama12
Gambar 5 Tatalaksana kasus Tersangka DBD3
Gam
bar 6 Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II tanpa peningkatan hematokrit 3

Gambar 7 Tatalaksana kasus DBD derajat I dengan peningkatan Hct ≥ 20% 3


Gambar 8 Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV
Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C. Pasien yang termasuk
Grup A dapat menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C
harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi
antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis dan suportif.5
Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan
mampu mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine
minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah
lengkap harus dilakukan. Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan.
Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah
baring dan asupan cairan oral yang cukup, serta pemberian parasetamol saat demam.
Pasien beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas
dan diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning
signs selama perawatan di rumah.5
Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien dengan
kondisi penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi penyerta
khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau dengan
indikasi sosial seperti tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri harus
dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu mentoleransi asupan cairan secara
oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan intravena dapat dimulai dengan
memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan tetes
maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan cairan
keluar), produksi urine, dan warning signs. Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan
warning signs adalah sebagai berikut:5
 Mulai dengan pemberian larutan isotonik (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama
1-2 jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4
jam, dan kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
 Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil
atau hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3
ml/kg/jam selama 2-4 jam.
 Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT,
tingkatkan kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam
 Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan
tetes infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir
fase kritis yang diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan
yang adekuat dan nilai hematokrit di bawah nilai baseline.
 Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati
fase kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti
cairan, kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya
(profil ginjal, hati, dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).

Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma
leakage) berat yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan
distres nafas, perdarahan berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi
menjadi terapi syok terkompensasi (compensated shock) dan terapi syok hipotensif
(hypotensive shock).5
Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:5
 Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1
jam. Nilai kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan
tetes secara gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan
selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien. Terapi cairan intravena
dipertahankan selama 24-48 jam.
 Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan
pertama. Jika nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi
bolus cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam.Jika
membaik dengan bolus kedua, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan kecepatan tetes secara
gradual seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
 Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan
dan memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).

Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:5


 Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai bolus
diberikan dalam 15 menit.
 Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10 ml/kg/jam
selama 1 jam, kemudian turunkan kecepatan tetes secara gradual.
 Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai
hematokrit sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini
menandakan adanya perdarahan, siapkan cross-match dan transfusi. Jika
hematokrit tinggi dibandingkan nilai basal, ganti cairan dengan cairan koloid
10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua selama 30 menit sampai 1 jam, nilai
ulang setelah bolus kedua.
 Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam
selama 1-2 jam, kemudian kembali ke cairan kristaloid dan kurangi kecepatan
tetes seperti poin penjelasan sebelumnya.
 Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah bolus
cairan kedua. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan adanya
perdarahan. Jika hematokrit tetap tinggi atau bahkan meningkat (>50%),
lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus ketiga selama 1 jam,
kemudian kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti
dengan cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes.
 Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-
20 ml/kg/jam whole blood segar.

Kriteria memulangkan pasien Pasien dapat dipulangkan apabila :2


 Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
 Nafsu makan membaik
 Secara klinis tampak perbaikan
 Hematokrit stabil
 Tiga hari setelah syok teratasi
 Jumlah trombosit > 50.000/µl
 Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

3.1.9 Pencegahan4
Hal yang penting dalam penanggulangan DBD adalah pengendalian vektor
dan kebersihan lingkungannya. Nyamuk Aedes aegypti yang menyebarkan virus
dengue berbeda dengan nyamuk rumah biasa. Strategi pencegahan DBD pada rumah
tangga yang lama dikenal adalah 3M Plus. Perlu diketahui bahwa 3M terdiri dari
menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air (TPA), dan mendaur ulang
barang bekas. Sebaiknya pengurasan bak dilakukan setiap 1 minggu sekali, sesuai
dengan daur hidup nyamuk. Untuk genangan air yang tidak terjangkau dan tidak
dapat dikuras (seperti talang air hujan), dapat ditaburkan bubuk larvasida (abate).
Tindakan Plus lain yang dapat dilakukan adalah penggunaan kelambu saat tidur dan
lotion anti nyamuk, serta pemeliharaan ikan sebagai predator nyamuk. Fogging
(pengasapan) hanya bermanfaat untuk membasmi nyamuk dewasa, jentik tidak dapat
mati dengan pengasapan.
3.10 Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik.
DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong.
Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi
penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan
penyakit DHF pada orang dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada
kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya
buruk.8
Marasmus
Definisi
Marasmus adalah salah satu kondisi dari kurang gizi berat yang gejala
klinisnya disebabkan oleh kurangnya asupan energi. 5 Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) mendefinisikan kekurangan gizi sebagai “ketidak seimbangan seluler
antara asupan nutrisi, energi dan kebutuhan tubuh untuk menjamin pertumbuhan,
pemeliharaan dan fungsi-fungsi khusus.” Malnutrisi protein-energi (KEP) berlaku
untuk gangguan yang berhubungan dengan marasmus, kwashiokor, dan marasmus-
kwashiokor. Istilah marasmus berasal dari kata Yunani “marasmos”, yang berarti
layu atau kurang tenaga. Marasmus berhubungan dengan asupan yang tidak
memadai dari kalori dan ditandai dengan suatu kekurusan.
Studi menunjukkan bahwa marasmus merupakan respon adaptif/
penyesuaian terhadap kelaparan, sedangkan kwashiokor merupakan respon
maladaptive terhadap kelaparan. Anak-anak mungkin datang dengan gambaran
beragam antara marasmus dan kwashiokor. Ada juga yang dapat datang dalam
bentuk yang lebih ringan dari malnutrisi. Untuk alasan ini Jelliffe menyarankan
istilah malnutrisi protein-kalori (energi) untuk menyatukan istilah dari keduanya.9

Etiologi
Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada
beberapa faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit
tersebut, antara lain faktor diet, faktor sosial, kepadatan penduduk, infeksi,
kemiskinan dan lain-lain.10
1. Peranan Diet
Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi
kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiokor,
sedangkan diet kurang energi walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang
akan menyebabkan anak menjadi penderita marasmus. Tetapi dalam
penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan Narasnya (1971) terlihat
bahwa dengan diet yang kurang lebih sama, pada beberapa anak timbul
gejala-gejala kwashiokor, sedangkan pada beberapa anak yang lain timbul
gejala-gejala marasmus. Mereka membuat kesimpulan bahwa diet bukan
merupakan faktor yang terpenting, tetapi ada faktor lain yang masih harus
dicari untuk dapat menjelaskan timbulnya gejala tersebut.
2. Peranan Faktor Sosial
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah
turun-temurun dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP. Adakalanya
pantangan tersebut didasarkan pada keagamaan, tetapi ada pula yang
merupakan tradisi yang turun- temurun. Jika pantangan ini didasarkan pada
keagamaan, maka akan sulit diubah. Tetapi jika pantangan tersebut
berlangsung karena kebiasaan, maka dengan pendidikan gizi yang baik dan
dilakukan terus-menerus hal tersebut masih dapat diatasi. Faktor-faktor
sosial lain yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP adalah :
a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai
banyak anak dengan suaminya yang merupakan pencari nafkah
tunggal.
b) Pada pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan
anak sehingga dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat
memberi cukup makan pada anggota keluarganya yang besar
tersebut.
c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu,
sehingga anak- anak terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga jatuh
sakit dan mereka tidak mendapat perhatian dan pengobatan
semestinya.
d) Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap
sehingga harus meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore.
Dengan demikian, bayi tersebut tidak mendapat ASI. Sedangkan
pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan tidak
dilakukan dengan semestinya.
3. Peranan Kepadatan Penduduk
Dalam World Food Conference di Roma (1974) telah dikemukakan
bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan
bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang memadai
merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan kemiskinan penduduk
merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan makanan
yang bergizi baik, di samping kuantitasnya.
McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam
jumlah yang banyak, jika di suatu daerah terlalu padat penduduknya
dengan keadaan hygiene yang buruk, misalnya di kota-kota dengan
kemungkinan pertambahan penduduk yang sangat cepat, sedangkan
kwashiokor akan terdapat dalam jumlah yang banyak di desa- desa dengan
penduduk yang mempunyai kebiasaan untuk memberi makanan tambahan
berupa tepung, terutama pada anak-anak yang tidak atau tidak cukup
mendapat ASI.
4. Peranan Infeksi
Ada interaksi antara malnutrisi dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat
memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi ringan sekalipun mempunyai
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini
sinergis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai
konsekuensi yang lebih besar.
5. Peranan Kemiskinan
Penyakit KEP merupakan masalah negara-negara miskin. Pentingnya
kemiskinan ditekankan dalam laporan Oda Advisory Committee on Protein
pada tahun 1974. Dianggap bahwa kemiskinan merupakan dasar penyakit
KEP.
Epidemiologi
Pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, Food and Agriculture
Organization (FAO) memperkirakan sekitar 870 juta orang dari 7,1 miliar
penduduk dunia atau 1 dari delapan orang penduduk dunia menderita gizi buruk.
Sebagian besar (sebanyak 852 juta) diantaranya tinggal di negara-negara
berkembang.9 Anak-anak merupakan penderita gizi buruk terbesar di seluruh
dunia. Dilihat dari segi wilayah, lebih dari 70 persen kasus gizi buruk pada anak
didominasi Asia, sedangkan 26 persen di Amerika Latian serta Karibia.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2019 didapatkan hasil
persentase gizi buruk di Indonesia tahun 2018 sebesar 3,9%, sedangkan di Provinsi
Jambi presentase gizi buruk 3,8% menurut indeks BB/TB pada balita 0-59 bulan.9

Patofisiologi
Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor.
Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : host (tubuh
sendiri), agent (kuman penyebab), environment (lingkungan). Memang faktor diet
(makanan) memegang peranan penting tetapi faktor lain ikut menentukan.
Marasmus adalah compensated malnutrition atau sebuah mekanisme adaptasi
tubuh terhadap kekurangan energi dalam waktu yang lama. Dalam keadaan
kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha mempertahankan hidup dengan
memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk
mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan kehidupan. Karbohidrat (glukosa) dapat dipakai
oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk
menyimpan karbohidrat sangat sedikit. Akibatnya katabolisme protein terjadi
setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah
menjadi karbohidrat di hepar dan ginjal. Selama kurangnya intake makanan,
jaringan lemak akan dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Setelah
lemak tidak dapat mencukupi kebutuhan energi, maka otot dapat mempergunakan
asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan.
Pada akhirnya setelah semua tidak dapat memenuhi kebutuhan akan energi lain,
protein akan dipecah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal tubuh. Proses
ini berjalan menahun, dan merupakan respon adaptasi terhadap ketidakcukupan
asupan energi dan protein.11

Gejala Klinis
Pada marasmus, penderita tampak sangat kurus, wajah seperti orangtua,
cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak
ada, perut cekung, iga gambang dan sering disertai penyakit infeksi (umumnya
kronis berulang) serta diare kronik atau konstipasi.10

Gambar 9. Manifestasi klinis marasmus


Klasifikasi
Tujuannya adalah untuk menentukan prevalensi KEP di suatu daerah,
sehingga dapat menentukan presentasi gizi-kurang dan berat di daerah tersebut.

Klasifikasi menurut derajat beratnya KEP


a. Klasifikasi menurut Gomez
Klasifikasi tersebut berdasarkan atas berat badan individu dibandingkan
dengan berat badan yang diharapakan pada anak sehat yang seumur. Sebagai
baku patokan dipakai persentil 50 baku Harvard (Stuart dan Stevenson, 1945).
Gomez mengelompokkan KEP dalam KEP ringan, sedang, dan berat.

Tabel 5. Klasifikasi KEP menurut Gomez

b. Modifikasi Bengoa atas Klasifikasi Gomez


Bengoa pada tahun 1970 mengadakan modifikasi pada klasifikasi Gomez,
yang hanya didasarkan pada defisit berat badan saja. Penderita KEP dengan
edema, tanpa melihat defisit berat badannya digolongkan oleh Bengoa dalam
derajat 3. Penderita kwarsiorkor berat badannya jarang menurun hingga kurang
dari 60% disebabkan oleh adanya edema, sedangkan lemak tubuh dan otot-
ototnya tidak mengurang sebanyak seperti pada keadaan marasmus. Padahal
kwarshiorkor merupakan penyakit yang serius dengan angka kematian tinggi.

c. Modifikasi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan R.I.


Demi keseragaman dalam membuat rencana dan mengevaluasi program-
program pangan dan gizi serta kesehatan masyarakat, maka Lokakarya
Antropometri Gizi Departemen Kesehatan R.I yang diadakan pada tahun 1975
membuat keputusan yang merupakan modifikasi klasifikasi Gomez. Berbeda
dengan penggolongan yang ditetapkan Gomez, lokakarya mengklasifikasikan
status gizi dalam gizi lebih, gizi kurang, dan gizi buruk.

Tabel 6. Klasifikasi KEP menurut DepKes (1975)

Klasifikasi Menurut Tipe (Klasifikasi Kualitatif)


Klasifikasi ini menggolongkan KEP menurut tipenya, yaitu gizi kurang, marasmus,
kwarshiorkor dan marasmus-kwarshiorkor.

a. Klasifikasi kualitatif menurut Wellcome Trust

Cara Wellcome Trust dapat dipraktekan dengan mudah, tidak ditemukan


penentuan gejala klinis maupun laboratorium dan dapat dilakukan oleh para tenaga
medis setelah diberi latihan seperlunya. Cara ini dapat digunakan untuk survei
lapangan, namun apabila dilakukan pada penderita yang sudah mengalami
perawatan dan pengobatan selama beberapa hari dapat membuat diagnosa menjadi
salah. Misalnya pada penderita kwarshiorkor dengan berat badan > 60%, jika
dirawat selama 1 minggu maka edema akan hilang dan berat badan menjadi < 60%
walaupun gejala lainnya masih ada. Dengan berat badan < 60% dan tidak ada
edema, maka penderita tersebut dapat didiagnosa sebagai marasmus dengan
menggunakan metode Wellcome Trust.
Tabel 7. Klasifikasi Kualitatif KEP menurut Wellcome Trust
b. Klasifikasi Kualitatif menurut McLaren (1967)
McLaren mengklasifikasikan golongan KEP berat dalam 3 kelompok
menurut tipenya. Gejala klinis edema, dermatosis, edema disertai dermatosis,
perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi angka bersama-sama dengan
menurunnya kadar albumin atau total protein serum. Cara seperti ini dikenal
sebagai scoring system McLaren.

Tabel 8. Cara Pemberian Angka Menurut McLaren

Penentuan tipe didasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan dari tiap
penderita :
0 – 3 angka = marasmus

4 – 8 angka = marasmic-kwarshiorkor

9 – 15 angka = kwarshirkor

Cara demikian dapat mengurangi kesalahan jika dibandingkan dengan cara


Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan
laboratorium.
c. Klasifikasi KEP menurut Waterlow

Waterlow (1973) membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan
menahun. Beliau berpendapat, bahwa defisit berat badan terhadap tinggi badan
mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting
(kurus- kering), sedangkan defisit tinggi badan menurut umur merupakan akibat
kekurangan gizi yang berlangsung sangat lama. Akibat tersebut dapat mengganggu
laju pertumbuhan tinggi badan, sehingga anak menjadi pendek (stunting) untuk
umurnya. Waterlow membagi keadaan wasting dan stunting dalam 3 kategori.

Tabel 9. Klasifikasi KEP menurut Waterlow

Gambar.10 Klasifikasi KEP11

Beberapa cara membuat klasifikasi direncanakan sedemikian, sehingga


hanya memerlukan alat-alat yang sederhana, tidak diperlukan untuk menkalkulir
hasilnya, tidak perlu mengetahui umur yang akan diperiksa, sehingga dapat
dilakukan oleh tenaga paramedik atau sukarelawan setelah mendapat petunjuk
seperlunya.

Pemeriksaan Penunjang

WHO merekomendasikan pemeriksaan seperti : gula darah, hemoglobin,


pemeriksaan urin dan kultur urin, serum albumin, HIV tes dan elektrolit.
Pemeriksaan hemoglobin diperlukan untuk menentukan adanya anemia karena
penderita Kwashiokor sering disertai anemia yang disebabkan berkurangnya
jumlah eritropoetin dalam sumsung tulang akibat defisit protein, besi, defisiensi
aktor hati, kerusakan hati, defisiensi vitamin b kompleks. Perlunya pemeriksaan
albumin serum dikarenakan pada Kwashiokor ditemukan kadar albumin serum
yang rendah disamping kadar globulin yang normal atau sedikit meninggi.9

Diagnosis
Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya severe wasing
(BB/TB < 70% atau <-3SD), atau ada gejala klinis gizi buruk (kwahiokor,
marasmus, dan marasmus-kwashiokor). Walaupun kondisi klinis pada kwashiokor,
marasmus, dan marasmus kwashiokor berbeda tetapi tatalaksananya sama.12
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:
1) BB/TB <-3SD atau <70% dari median (marasmus)
2) Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiokor :
BB/TB >-3SD atau marasmus-kwashiokor : BB/TB <-3SD)

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai
jaringan lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha,
tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema.11,12 Anak-anak dengan
BB/U <60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak tersebut pendek,
sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak membutuhkan
perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain yang berat.12
Pada setiap anak dengan gizi buruk perlu dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.
1) Anamnesis awal (untuk kedaruratan)
 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan
muntah dan diare (encer/darah/lendir)
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera. 9
2) Anamnesis lanjutan

Dilakukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya


(dilakukan setelah kedaruratan ditangani), yaitu:
 Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit
 Riwayat pemberian ASI
 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari
terakhir
 Hilangnya nafsu makan
 Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
 Batuk kronik
 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
 Berat badan lahir
 Riwayat tumbuh kembang : duduk, berdiri, bicara, dan lain-lain
 Riwayat imunisasi
 Apakah ditimbang setiap bulan
 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
 Diketahui atau tersangka infeksi HIV

Pembagian Kondisi Pada Marasmus

- Kondisi I : Jika ditemukan rejatan/syok, letargis,


muntah/diare/dehidrasi
- Kondisi II : Jika ditemukan letargis, muntah dan/diare/dehidrasi
- Kondisi III: Jika ditemukan muntah dan.diare/dehidrasi
- Kondisi IV: Jika ditemukan letargis
- Kondisi V : Tidak ditemukan renjatan/syok, letargis, muntah
dan/diare/dehidrasi

Penatalaksanaan
Tatalaksana umum malnutrisi energi protein:
 Penilaian triase anak dengan gizi buruk dengan tatalaksana syok pada
anak dengan gizi buruk.
 Jika ditemukan ulkus kornea, beri vitamin A dan obat tetes mata
kloramfenikol/tetrasiklin dan atropin; tutup mata dengan kasa yang telah
dibasahi dengan larutan NaCl 0,9% dan balutlah. Jangan beri obat mata
yang mengandung steroid.
 Jika terdapat anemia berat, diperlukan penanganan segera.
 Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 3 fase yaitu:
fase stabilisasi, fase transisi, fase rehabilitasi dan fase tindak lanjut.
Gambar 11. “10 langkah utama” Tatalaksana Gizi Buruk
Mineral mix merupakan salah satu komponen dalam pembuatan
Rehydration Solution for Malnutrition (ReSoMal) dan Formula WHO (Formula 75
dan 100 ) yang digunakan dalam tatalaksana anak gizi buruk untuk memenuhi
kekurangan zat gizi mikro pada anak gizi buruk. Sasaran penguna mineral mix
adalah anak gizi buruk klinis dan atau antropometri (BB/TB < -3 SD) dan anak
gizi buruk paska perawatan. Tiap kemasan/ sachet mineral mix mengandung zat
aktif KCl, Tripotasium Citrat, Magnesium Clorida, Zn asetat dan Cuprum sulfat.
ReSoMal adalah cairan yang diberikan kepada anak gizi buruk yang menderita
diare dan atau dehidrasi. Mineral mix dalam bentuk sachet sudah tersedia di
Kementerian Kesehatan untuk penanganan gizi buruk sejak tahun 2008. Dari
pengalaman praktisi kesehatan di lapangan antara lain di RSCM Jakarta, RS.
Kariadi Semarang, RS. Wahidin Sudiro Husodo Makasar didapatkan bahwa
penanganan anak gizi buruk dengan menggunakan mineral mix peningkatan berat
badan dan perbaikan klinisnya lebih optimal.13
Cara menggunakan mineral mix :
 1 sachet serbuk mineral mix (8 gr) dilarutkan dengan air matang 20 ml.
 Mineral mix yang sudah dilarutkan akan menghasilkan larutan mineral mix
 Larutan mineral mix ini siap ditambahkan sesuai dengan kebutuhan untuk
membuat ReSoMal dan Formula WHO (F-75 dan F-100).
 Jangan memberikan larutan mineral mix secara langsung kepada anak gizi
buruk seperti pada penggunaan oralit.

Gambar 12. Kebutuhan Larutan Mineral Mix13

Waktu yang dibutuhkan pada fase stabilisasi pada umumnya berlangsung


di hari ke 1- 7, fase transisi hari ke 8-14, fase rehabilitasi pada minggu ke 3-6 dan
fase tindak lanjut minggu ke 7-26. Namun perkiraan waktu tersebut bukanlah
keharusan, tetap harus menyesuaikan dengan kondisi klinis anak. Bila mineral mix
tidak tersedia, sebagai alternatif untuk membuat 1000 ml ReSoMal atau Formula
WHO dapat digunakan KCl sebanyak 2 gram. Dapat juga ditambahkan MgSO4
50% secara intramuskuler 1 x dengan dosis 0,3 ml/kgBB, maksimum 2 ml. 13
Saat
ini mineral mix sudah menjadi bagian obat program gizi bersama-sama dengan
Tablet Besi dan kapsul vitamin A, yang pengadaannya melalui Kementerian
Kesehatan RI. Disamping itu, pengadaan mineral mix dapat dilakukan di daerah.13

10 Langkah Utama pada Tatalaksana KEP Berat/Gizi Buruk

1. Mencegah dan Mengatasi Hipoglikemi (Gula Darah < 54 mg/dl)

Hipoglikemia merupakan salah satu penyebab kematian pada anak dengan KEP
berat/Gizi buruk. Pada hipoglikemia, anak terlihat lemah, suhu tubuh rendah,
kesadaran menurun, keringat dingin, pucat, lemah, dan bisa terjadi kejang. Terapi
dengan menggunakan dextrose 10% 50 ml. Bila anak sadar, berikan 1 sendok teh
gula ditambah 3,5 sendok makan air dan berikan tiap 2 jam. Bila anak tidak sadar,
gunakan sonde. Evaluasi setiap 30 menit, apabila masih hipoglikemi ulangi
pemberian.14,15

2. Mencegah dan Mengatasi Hipotermia (suhu tubuh < 36oC)

Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang rendah dibawah 36 o C. Pada


keadaan seperti ini, anak harus dihangatkan. Cara yang dapat dilakukan adalah ibu
atau orang dewasa lain dapat mendekap anak didadanya dan ditutupi dengan
selimut (Metode Kanguru). Perlu dijaga agar anak tetap dapat bernapas.
Cara lain adalah dengan membungkus anak dengan selimut tebal, dan
meletakkan lampu didekatnya. Lampu tersebut tidak boleh telalu dekat apalagi
sampai menyentuh anak. Selama masa penghangatan ini dilakukan pengukuran
suhu tubuh melalui dubur setiap 30 menit sekali. Jika suhu tubuh sudah normal
dan stabil, tetap dibungkus dengan selimut atau pakaian rangkap agar anak tidak
jatuh kembali kedalam kondisi hipotermia.14

3. Mencegah dan Mengatasi Dehidrasi (Kekurangan Cairan)

Tanda klinis yang sering dijumpai pada anak penderita KEP berat/Gizi buruk
dengan dehidrasi adalah terdapat riwayat diare sebelumnya, anak sangat kehausan,
mata cekung,nadi lemah, tangan kanan dan kiri teraba dingin, anak tidak buang air
kecil dalam waktu cukup lama. Tindakan yang dapat dilakukan adalah:

- Jika anak masih menyusu, teruskan pemberian ASI dan berikan setiap 30 menit
sekali tanpa berhenti. Jika anak masih dapat minum, lakukan rehidrasi oral dengan
memberi minum anak 50 ml (3 sendok makan) setiap 30 menit dengan sendok.
Cairan rehidrasi khusus untuk KEP disebut ReSoMal (Rehydration Solution for
Malnutrition) 70 – 100 ml/KgBB dalam 2 jam, atau 5 ml/KgBB tiap 30 menit
dalam 2 jam pertama kemudian 5-10 ml/KgBB dalam 4-10 jam berikutnya.
Kemudian monitor tanda-tanda vital, diuresis, frekuensi BAB atau muntah.
Evaluasi pemberian cairan jika frekuensi nadi dan nafas meningkat.

- Jika tidak ada ReSoMal, untuk anak dengan KEP berat/Gizi buruk dapat
menggunakan oralit yang diencerkan 2 kali. Jika anak tidak dapat minum, dapat
dilakukan dengan pemberian cairan secara intravena dengan menggunakan cairan
Ringer Laktat/Glukosa 5% dengan perbandingan 1:1.

4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Pada semua KEP berat/Gizi buruk terjadi gangguan keseimbangan elektrolit


diantaranya kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah dan
defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg). Ketidakseimbangan elektrolit ini
memicu terjadinya edema, dan untuk pemulihan keseimbangan elektrolit
diperlukan waktu paling sedikit 2 minggu. Pemberian elektrolit dapat dilakukan
dengan cara :

- Makanan tanpa diberi garam atau rendah garam.


- Untuk rehidrasi, berikan cairan oralit 1 liter yang diencerkan 2x (dengan
menambahkan 1 liter air) ditambah 4 gr KCl dan 50 gr gula atau bila balita KEP
bisa makan, berikan bahan makanan yang banyak mengandung mineral (Zn,
Cuprum, Mangan, Mg, K) dalam bentuk makanan lunak.Contoh makanan
sumber mineral: Sumber zink : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah,
telur ayam. Sumber cuprum: daging, hati.Sumber mangan: beras, kacang tanah,
kedelai.Sumber magnesium: kacang-kacangan, bayam. Sumber kalium: jus
tomat, pisang, kacang-kacangan, apel, alpukat, bayam, daging tanpa lemak.14

5. Mencegah dan Mengatasi Infeksi

Pada KEP berat/Gizi buruk, tanda umum yang menunjukkan adanya infeksi
seperti demam seringkali tidak tampak, oleh karena itu pada semua KEP berat/gizi
buruk secara rutin diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis sebagai berikut

Tabel 11. Dosis Antibiotik Spektrum Luas

Vaksinasi campak bila anak belum diimunisasi dan umur sudah mencapai 9 bulan.
Sebagai catatan, mengingat pasien KEP berat/ gizi buruk pada umumnya juga
menderita infeksi, maka pengobatan dilakukan untuk mencegah agar infeksi tidak
menjadi lebih parah. Bila tidak ada perbaikan atau terjadi komplikasi, segera rujuk ke
Rumah Sakit Umum. Diare biasanya menyertai KEP berat/Gizi buruk, akan tetapi
akan berkurang dengan sendirinya pada pemberian makanan secara hati-hati. Berikan
metronidazole 7,5 mg/KgBB setiap 8 jam selama 7 hari, bila diare berlanjut segera
rujuk ke rumah sakit.
6. Pemberian Makanan pada Balita KEP berat/ Gizi buruk

Pemberian diet KEP berat/Gizi buruk dibagi dalam 3 fase, antara lain fase
stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi.
Fase Stabilisasi
Pada fase awal stabilisasi perlu pendekatan yang sangat hati-hati, karena
keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian
makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian
rupa, sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal saja.
Formula khusus yang dianjurkan seperti Formula WHO 75/modifikasi/Modisco
1⁄2 dan jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat
mencapai prinsip tersebut diatas dengan persyaratan diet sebagai berikut:
- Porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa

- Energi: 100 kkal/kg/hari

- Protein: 1-1,5 gr/kgbb/hari

- Cairan: 130 ml/kgbb/hari (jika edema berat: 100 ml/kgbb/hari)

- Bila anak masih mendapatkan ASI teruskan pemberiannya, dianjurkan


memberi Formula WHO 75/pengganti/Modisco 1⁄2 dengan menggunakan
cangkir/gelas, bila anak terlalu lemah berikan dengan sendok/pipet.
- Pemberian Formula WHO 75/pengganti/Modisco 1⁄2 atau pengganti dan
jadwal pemberian makanan harus disusun sesuai dengan kebutuhan anak.

Keterangan:
- Pada anak dengan selera makan baik dan tidak edema, maka tahapan
pemberian formula dapat lebih cepat dalam waktu 2-3 hari (setiap 2 jam).
- Bila pasien tidak dapat menghabiskan Formula WHO 75/pengganti/Modisco
1⁄2 dalam sehari, maka berikan sisa formula tersebut pada pipa nasogastrik
(dengan keterampilan petugas).
- Pada fase ini jangan diberikan makanan lebih dari 100 Kkal/kgbb/hari.
- Pada hari ke-3 sampai hari ke-4 frekuensi pemberian formula diturunkan
setiap jam dan pada hari ke-5 sampai hari ke-7 diturunkan lagi setiap 4 jam.
- Lanjutkan pemberian makan sampai hari ke-7 (akhir minggu 1) Pantau dan
catat:
- Jumlah yang diberikan dan sisanya
- Banyaknnya muntah
- Frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja
- Berat badan harian
- Selama fase ini, diare secara perlahan-lahan berkurang pada penderita
edema, mula- mula berat badannya akan berkurang kemudian berat badan
naik.

7. Perhatikan Masa Tumbuh Kejar Balita (Catch-up Growth)

Pada fase ini, meliputi fase transisi dan fase rehabilitasi.12 Fase Transisi (minggu
ke-2)
- Pemberian makanan pada fase transisi diberikan secara perlahan-lahan
untuk menghindari risiko gagal jantung yang dapat terjadi bila anak
mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.
- Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0,9-1,0 gr/100 ml)
dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2,9 gr/100
ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi makanan keluarga dapat
digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.
- Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap hari, sampai hanya sedikit formula
yang tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgbb/kali pemberian
(200 ml/kgbb/hari).

Pemantauan pada fase transisi


- Frekuensi nafas
- Frekuensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan frekuensi nafas > 5x/menit dan denyut nadi >
25x/menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi volume
pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume
seperti sebelumnya.
- Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.

Setelah fase transisi terlampaui, anak diberikan:


- Formula WHO 100/pengganti Modisco 1 dengan jumlah tidak terbatas dan
sering.
- Energi: 150-220 Kkal/kgbb/hari.
- Protein 4-6 gr/kgbb/hari.
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan pemberian ASI, ditambah dengan
makanan formula, karena energi dan protein ASI tidak akan cukup untuk
tumbuh kejar.
- Secara perlahan diperkenalkan makanan keluarga.

Pemantauan Fase Rehabilitasi


Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan badan :
- Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.
- Setiap minggu, kenaikan berat badan dihitung.
- Baik bila kenaikan BB ≥ 50 gr/kgbb/minggu.
- Kurang bila kenaikan BB < 50 gr/kgbb/minggu, perlu re-evaluasi
menyeluruh.
Tabel 13. Tahapan Pemberian Diet

8. Lakukan Penaggulangan Kekurangan Zat Gizi Mikro

Semua pasien KEP berat/Gizi buruk, mnegalami kekurangan vitamin dan


mineral. Walaupun anemia biasa terjadi, namun jangan tergesa-gesa dalam
memberikan preparat besi (Fe). Tunggu sampai anak mau makan dan berat
badannya mulai naik (biasanya pada minggu ke-2). Pemberian Fe pada masa
stabilisasi dapat memperburuk keadaan infeksinya.
Berikan setiap hari:
- Tambahkan multivitamin lain.
- Bila berat badan mulai naik, berikan zat besi dalam bentuk tablet besi folat
atau sirup besi dengan dosis sebagai berikut :

Tabel 14. Dosis Pemberian Tablet Fe Folat dan Sirup Besi

Bila anak diduga menderita cacingan, berikan Pirantel Pamoat dengan dosis tunggal
sebagai berikut :
Tabel 15. Pemberian Pirantel Pamoat
Anak juga dapat menderita defisiensi vitamin A. Gejalanya dapat berupa
konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot, ulkus kornea dan
keratomalasia.

Gambar 13. Bercak Bitot pada mata

Oleh karena itu, untuk pencegahan dapat diberikan vitamin A dengan dosis
sebagai berikut :

Tabel 15. Vitamin A oral berikan 1 kali dengan dosis :

Dosis tambahan disesuaikan dengan buku pedoman pemberian kapsul Vitamin A.

9. Berikan Stimulasi Sensorik dan Dukungan Emosional


Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,
karenannya diberikan kasih sayang, ciptakan lingkungan yang menyenangkan,
lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari, rencanakan aktivitas
fisik segera setelah sembuh, tingkatkan ketelibatan ibu (memberi makan,
memandikan, bermain, dll).
10. Persiapan untuk Tindak Lanjut di Rumah

Bila berat anak sudah berada di garis warna kuning, anak dapat dirawat di
rumah dan dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas atau bidan desa. Pola makan
yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah setelah pasien
dipulangkan dan ikuti pemberian makanan, dan aktivitas bermain.

3.2.5 Komplikasi
Keadaan malnutrisi marasmus dapat menyebabkan anak mendapatkan
penyakit penyerta yang terkadang tidak ringan apabila penatalaksanaan marasmus
tidak segera dilakukan. Beberapa keadaan tersebut ialah:

1. Perkembangan Mental

Menurut Winick dan Rosso (1975) bahwa KEP yang diderita pada masa
dini perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA, dengan
akibat terdapatnya otak dengan jumlah sel yang kurang walaupun besarnya
otak normal. Jika KEP terjadi setelah masa divisi otak berhenti, hambatan
sintesis protein akan menghasilkan otak dengan jumlah sel yang normal
namun dengan ukuran yang lebih kecil. Dari hasil penelitian Karyadi
(1975) terhadap 90 anak yang pernah menderita KEP bahwa terdapat
deifisit IQ pada anak-anak tersebut, defisit tersebut meningkat pada
penderita KEP lebih dini. Didapatkan juga hasil pemeriksaan EEG yang
abnormal mencapai 30 persen pada pemeriksaan setelah 5 tahun lalu
meningkat hinggal 65 persen pada pemeriksaan ulang 5 tahun setelahnya.

2. Noma
Noma atau stomatitis gangrenosa merupakan pembusukan mukosa mulut
yang bersifat progresif sehingga dapat menembus pipi. Noma terjadi pada
malnutrisi berat karena adanya penurunan daya tahan tubuh. Penyakit ini
mempunyai bau yang khas dan tercium dari jarak beberapa meter. Noma
dapat sembuh tetapi menimbulkan bekas luka yang tidak dapat hilang
seperti lenyapnya hidung atau tidak dapat menutupnya mata karena proses
fibrosis.

3. Xeroftalmia
Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada
tipe marasmus-kwashiorkor. Pada kasus malnutrisi ini vitamin A serum
sangat rendah sehingga menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu setiap anak
dengan malnutrisi sebaiknya diberikan vitamin A baik secara parenteral
maupun oral, ditambah dengan diet yang cukup mengandung vitamin A.
4. Kematian
Kematian merupakan efek jangka panjang dari KEP berat. Pada umumnya
penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa
paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Tidak jarang pula
ditemukan tanda-tanda penyakit gizi lainnya. Maka dapat dimengerti
mengapa angka mortalitas pada KEP berat tinggi. Daya tahan tubuh pada
penderita KEP berat akan semakin menurun jika disertai dengan infeksi,
sehingga perjalanan penyakit infeksi juga akan semakin berat.

Prognosis
Malnutrisi yang berat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian
sering disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara
kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari
stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun
kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat
dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irreversibel dari set-sel tubuh
akibat gizi buruk/KEP berat.

BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus telah dilaporkan An. M perempuan usia 9 tahun 11 bulan. Dari
anamnesis didapatkan demam tinggi mendadak 39,2 C ± disertai dengan mimisan dan
nyeri perut serta pasien tidak mau minum dan muntah-muntah 1 hari SMRS. Pada
hari kedua demam, pasien dibawa ke puskesmas dan diberikan obat penurun panas,
demam sempat turun sebentar setelah diberikan obat dan kembali tinggi lagi.
Sehingga pasien dibawa ke RSU Raden Mattaher. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
suhu tubuh 39,2 C, rumple leed test (-), hepatomegali (-). Pada pemeriksaan
laboratorium (darah rutin) didapatkan trombositopenia dan leukopenia. Pada hari
ketiga, pasien masih demam disertai dengan mimisan pada pagi hari. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan suhu tubuh 38,2C, rumple leed test (-), hepatomegaly
(-). Pada pemeriksaan penunjang ditemukan trombositopenia dan leukopenia. Pada
hari ke empat, pasien sudah tidak demam lagi, mimisan tidak ada. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan suhu tubuh 36,9C. pada pemeriksaan penunjang ditemukan
trombositopenia dan leukopenia. Pada hari ke lima, pasien tidak demam dan tidak ada
mimisan lagi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu tubuh 37C dan pada
pemeriksaan penunjang ditemukan trombositopenia.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan pada pasien diatas didapatkan
diagnosis tersangka demam berdarah dengue drajat II. Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypty dan dapat juga ditularkan oleh Aedes
albopictus, yang ditandai dengan : demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas,
berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, manifestasi perdarahan, termasuk uji
Tourniquet positif, Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium
dan dibawah tulang iga. Trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/µl),
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%), disertai dengan atau tanpa
perbesaran hati.2
DD/DBD Derajat* Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2  Leukopenia


atau lebih tanda :  Trombositopeni
sakit kepala, nyeri a tidak
retro-orbital, ditemukan
myalgia, arthralgia. bukti
kebocoran
plasma.
 Serologi
dengue positif
DBD I Gejala diatas Trombositopenia,
ditambah uji bukti ada
bendungan positif kebocoran plasma
DBD II Gejala diatas Trombositopenia,
ditambah bukti ada
pendarahan kebocoran plasma
spontan.
DBD III Gejala diatas Trombositopenia,
ditambah kegagalan bukti ada
sirkulasi (kulit kebocoran plasma
dingin dan lembab
serta gelisah)

DBD IV Syok berat disertai Trombositopenia,


dengan tekanan bukti ada
darah dan nadi kebocoran plasma
tidak terukur
Tetapi pada pemeriksaan penunjang dari hari pertma rawat inap sampai pasien
dipulangkan, dilakukan pemeriksaan darah rutin setiap hari. Pada pemeriksaan darah
rutin dilakukan penghitungan hematocrit, dimana terdapat peningkatan hematocrit.
Tetapi pada pasien ini setelah dilakukan penghitungan hematocrit terdapat
peningkatan 16% dari hematocrit awal. Sedangkan menurut teori pada DBD terdapat
kebocoran plasma dengan hasil pemeriksaan darah rutin dapat ditemui
trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/µl), hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit ≥ 20%), disertai dengan atau tanpa perbesaran hati. Sehingga terdapat
perbedaan diagnosis awal dengan diagnosis akhir pada pasien ini. Diagnosis akhir
pada pasien ini adalah Demam Dengue
Dari anamnesis diatas, pasien mengalami demam tinggi terus-menerus selama
3 hari dan pada hari keempat demam mulai turun. Kondisi ini merupakan fase kritis,
yang terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai
kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya
berlangsung selama 24 – 48 jam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kemungkinan
terjadinya syok. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang baik untuk pengawasan cairan yang diberikan yaitu untuk
menggambarkan drajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.3
Pada pemeriksaan penunjang digunakan pemeriksaan laboratorium darah
lengkap dan didapatkan kesan leukopenia dan trombositopenia. Leukopenia progresif
diikuti oleh penurunan jumlah trombosit yang cepat biasanya mendahului kebocoran
plasma. Pada fase ini dapat terjadi syok. Merupakan kisaran waktu defervescence,
ketika suhu turun menjadi 37,5-38oC atau kurang dan tetap di bawah tingkat ini,
biasanya pada hari 3-7 dari penyakit, peningkatan permeabilitas kapiler secara
paralel dengan peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi. Ini menandai dimulainya
fase kritis.1,2
Pada kasus ini, pasien diberikan IVFD IVFD RL 3 cc/KgBB/Jam  72
cc/Jam. Injeksi paracetamol 4 x 25 cc dan PO. Paracetamol 4x250 mg
Terapi cairan yang diberikan pada pasien ini menggunakan RL yang merupakan
cairan isotonik yang mengandung natrium, kalium, klorida, kalsium dan laktat.
Pemberian cairan ini bertujuan untuk meningkatkan cairan intravaskuler yang
adekuat. Pada kasus ini pasien sedang berada di fase kritis pada demam berdarah
dengue grade II untuk mencukupi kebocoran plasma yang terjadi selama fase kritis.3
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif.
Kemudian pada pasien ini dilakukan pemeriksaan antropometri BB: 24 kg,TB:
135 cm, BB/U : Dibawah P5, TB/U: Di P10, BB/TB: 64,8% (kesan: gizi buruk).
Pasien berusia 9 tahun dengan berat badan 24 kg, tinggi badan 135 cm dan status gizi
berdasarkan kurva CDC BB/TB 64,8% (Kesan: gizi buruk).
Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya severe wasing (BB/TB <
70% atau <-3SD), atau ada gejala klinis gizi buruk (kwahiokor, marasmus, dan
marasmus-kwashiokor). Walaupun kondisi klinis pada kwashiokor, marasmus, dan
marasmus kwashiokor berbeda tetapi tatalaksananya sama. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis
gizi buruk apabila:
 BB/TB <-3SD atau <70% dari median (marasmus)
 Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiokor :
BB/TB >-3SD atau marasmus-kwashiokor : BB/TB <-3SD).12
Untuk terapi gizi buruk dapat diberiksan 10 pilar terapi gizi buruk.
BAB IV
KESIMPULAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan family
Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, terutama
Aedesaegypti.Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD)
disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda
yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi
yang khas pada DBD yang bisa mengarah pada kondisi renjatan. Dua atau tiga
patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup
untuk menegakkan diagnose DBD.
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simptomatis dan suportif, yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dan sebagai akibatperdarahan. Derajat keparahan dari DBD dibagi menjadi grade I, II,
III, dan IV. Dibaginya derajat DBD agar dapat dilakukan skema tatalaksana yang
sesuai dengan derajat DBD.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. In:


Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IlmuPenyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Indonesia;2014

2. WHO, Regional Office for South East Asia (2011). Comprehensive Guidelines
for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised
and expanded edition. SEARO Technical

3. Hadinegoro, S.Sri Rezeki (2011). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di


Indonesia. Terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi Ketiga.
Jakarta.

4. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata


Laksana Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics
Problem. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

5. World Health Organization. Dengue Guidelines for diagnosis, treatment,


prevention and control. New Edition2009.

6. Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi Penyakit Demam
Berdarah Di Indonesia Tahun 2017. Edisi2018

7. Kesehatan RI. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta :


Kementrian Kesehatan RI.2012.

8. Nelson, Behrman, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol 1.
Jakarta : EGC, 2000.

9. World Health Organization. Protein-Energy Malnutrition. Mother and Child


Nutrition in the Tropics and Subtropics. Management of the child with a serious
infection or severe malnutrition. Geneva, 2000. Page : 239-252

10. Pudjiadi S. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis pada
Anak. 4th Ed. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. Jakarta. 2005 : 95-137

11. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nutritional Requirements
in Nelson Textbook of Pediatrics. 17th Edition. United States of America. 2004.
Page : 153-190.
12. Ashworth A. Nutrition, Food Security, and Helath in Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th Edition. United States of America. Page : 292-306.

13. Mineral Mix Solusi Alternatif ? Kementrian Kesehatan RI.[cited Oct 29th 2020].
Available at : http://gizi.depkes.go.id/mineral-mix-solusi-alternatif.

14. Pedoman Gizi. [cited at 2020, Jan 1]. Available at:


http://gizi.depkes.go.id/pedoman- gizi/download/ped-tata-kurang-protein-pkm-
rt.doc

You might also like