You are on page 1of 16

Generasi muda merupakan kelompok masyarakat yang masuk pada kategori remaja,

yang mana pada masa ini remaja mulai berminat untuk menjalin hubungan dengan lawan

jenis, (E.B Hurlock, 1980). Pada masa ini seorang remaja akan mengekspresikan perasaan

suka atau tertarik kepada lawan jenisnya. Pada masa remaja dorongan seksual sedang

meningkat, maka remaja berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seks, misalnya

melalui internet, membahas dengan teman, membaca buku-buku mengenai seks, atau

melakukan hubungan seksual bersama pasangannya.1 Dalam sebuah tulisannya Eka

Darmaputera mengatakan, “Generasi muda seolah-olah hanya memiliki tiga pilihan dalam

menghadapi status quo dan kemapanan di sekitar mereka yaitu melarikan diri,

menghanyutkan diri, menjadi amat reaktif dan agresif.” Keadaan yang ada tidak memberi

tempat kepada generasi muda baik untuk menghadirkan kedirian mereka secara otentik

maupun untuk bertumbuh secara kreatif. Setiap manusia membutuhkan ruang hidup dan

ruang gerak. Ketika hampir semua pintu masuk telah tertutup, generasi muda akan masuk

kepintupintu yang masih terbuka bagi mereka. Sebagian memasuki pintu kemewahan dan

kenikmatan sebagian yang tidak mampu cuma menunggu-nunggu kesempatan di luar pintu

terpuruk dalam fatalisme. Sebagian yang tidak mampu, kurang sabar dan menjadi preman

bahkan radikal.2

Situasi abad ke-21 ini, tidak dapat diingkari bahwa anak muda merupakan sasaran

paling empuk dari segala bentuk pengajaran sesat pada masa kini. Padahal, masa depan

gereja terletak di tangan kaum muda. Meskipun demikian, patut disyukuri bahwa survei

Gallup memperlihatkan bahwa hampir 60 sampai 80 persen kaum muda Kristen di Indonesia

masih menaruh perhatian serius pada hal-hal spiritual dan kegiatan gereja meskipun dengan

1
http://repository.maranatha.edu/4982/3/9830067_Chapter1.pdf, diakses pada hari Senin, 3 April 2017
pukul 14:32.
2
Maruasas Nainggolan, Generasi Tanpa Karakter Orang Muda Bicara Oikumene (Jakarta:
Departemen Pemuda dan Remaja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2009) 3.
motivasi yang berbeda-beda. Pada abad ke-21 ini, Tuhan menginginkan ada restorasi terjadi

dalam gereja. Memahami peran sentral kaum muda bagi masa depan gereja.3

Pelayanan pemuda adalah misi lintas budaya yang memerlukan panggilan yang

khusus dan kemampuan yang sensitif terhadap pergumulan mereka. Memang pelayanan

gereja yang terintegrasi dan multigenerasi adalah gereja yang ideal, namun kenyataan yang

ada memang ada perbedaan pergumulan dan kebutuhan antar generasi.4

3
http://www.tanyaalkitab.com/2013/02/kaum-muda-masa-depan-gereja.html, diakses pada hari Senin, 3
April 2017 pukul 14:25.
4
Doug Stevens, Called to Care: Youth Ministry for the Church (Grand Rapid, Michigan: Zondervan,
1985), 148.
PBUDAYA KONTEMPORER DAN PELAYANAN PEMUDA

Pendahuluan

Gereja-gereja masa kini pada umumnya sangat memperhatikan pelayanan pemuda. Mereka
seringkali kuatir, mengeluh, dan memuji mereka sekaligus. Para pemimpin gereja seringkali
dibingungkan dengan pemuda ini. Kebingungan dan perhatian ini membuat suatu kombinasi yang
unik dan menjadi sebuah tantangan sendiri bagi gereja. Tantangan untuk memenuhi kebutuhan
pemuda ini menjadi salah satu tantangan pelayanan. Hal ini termasuk perkembangan musik
kontemporer dan penggunaan Teknologi dalam ibadah. Hal ini mungkin saja dapat membantu,
namun sebenarnya bukan masalah yang esensial.

Sejumlah gereja kemudian berusaha merespon tantangan ini dengan merekrut hamba Tuhan
khusus melayani pemuda untuk meredakan ketegangan dan menjadi jembatan kepentingan antara
gereja dan pemuda (sehingga gereja kemudian dapat ‘menghela nafas’ dan memusatkan diri pada
‘hal-hal lain yang lebih penting’). Hamba Tuhan yang dicari biasanya adalah yang muda, lincah,
berpengetahuan baik, dan luwes dalam pergaulan. Namun hal ini juga tidak menjamin pelayanan
pemuda dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan ‘harapan’ gereja.[1]

Hubungan pemuda dan gereja adalah hal yang penting karena mereka adalah bagian integral
dari tubuh Kristus. Jika mereka tidak mendapatkan peran yang aktif dalam tubuh Kristus, maka
seluruh tubuh akan merasakan penderitaannya. Pemuda tidak hanya merupakan masa depan gereja,
tetapi mereka juga adalah bagian integral dari gereja. Dari perspektif Alkitab, dapat dikatakan “Apa
yang baik bagi pemuda adalah baik juga bagi seluruh jemaat.”

Dalam survey yang dilakukan oleh LifeWay Research, 7 dari 10 orang Kristen yang berusia
antara 18-10 tahun, yang pergi ke gereja secara teratur pada waktu mereka SMA, berhenti pergi ke
gereja pada usia 23 tahun. Dan 34% di antara mereka bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di
gereja hingga usia 30 tahun. Dengan kata lain, 1 dari 4 pemuda Kristen akan meninggalkan gereja.[2]
Di Amerika, hanya 52% orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Kristen pada
tahun 2001, turun dari 60% pada tahun 1990, menurut American Religious Identification Survey
tahun 2001.

Di Indonesia, kita dapat dengan jelas melihat kebaktian/persekutuan pemuda di gereja-gereja


Injili nampak mulai mengosongkan bangkunya. Secara kasat mata dapat kita lihat ada perbedaan
yang jelas – secara kuantitas – dari kegiatan remaja ke kegiatan pemuda. Sementara di pihak lain,
gereja-gereja ‘kharismatik’ nampaknya justru sedang kewalahan menangani banyaknya para
pemuda yang berkunjung di gereja mereka.

Fenomena apakah yang sedang terjadi? Mengapa gereja-gereja ‘tradisional’ ditinggalkan dan
gereja-gereja ‘baru’ diserbu? Mengapa mereka lebih tertarik pada gereja ‘baru’?
Definisi Pemuda

Pemuda di sini adalah mereka yang dilahirkan antara tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an,
yang seringkali disebut sebagai generasi Milenium, dan dalam sejumlah artikel disebut juga sebagai
“Buster”, sebagai kelanjutan dari “Boomer” dan “Baby Boomer”.

Menurut Teori Psikologi Perkembangan dari Erik Erikson, dalam bukunya “Childhood and Society”
(1950), ‘Pemuda’ (young adult) secara umum adalah seseorang yang berusia antara 20 dan 40 tahun,
sementara ‘Remaja’ (adolescent) adalah antara 13 dan 19 tahun.[3]

Sementara Jeffrey Arnett dalam artikelnya di American Psychologist menggunakan istilah “emerging
adulthood” (dewasa baru/muda). Istilah ini digunakan untuk merujuk pada pemuda yang belum
punya anak atau mereka yang baru mulai merintis karir hidupnya pada awal usia 20-an tahun.[4]
Kaum dewasa muda ini adalah kelompok demografis baru yang masih diperdebatkan, dimana
sejumlah ahli menyebutnya sebagai kelompok “20-an” yang sedang bergumul dengan “identity
exploration, instability, self-focus, and feeling in-between”.[5]

Istilah Pemuda (‘youth’) adalah istilah dari ahli sosiologi Kenneth Kenniston untuk merujuk pada
periode transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa perpanjangan kondisi
ekonomi dan pribadi sementara. Ia berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya
suatu saat akan menentukan masa dewasanya, yaitu pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan
seseorang dengan masyarakatnya, tentang pekerjaannya, tentang peran sosial, dan gaya hidupnya.
Pemuda berbeda dengan Remaja karena mereka berjuang antara membangun pribadi yang mandiri
dan menjadi lebih terlibat secara sosial. Berbeda dengan perjuangan Remaja yang bertujuan untuk
mendefinisikan dirinya.[6]

Jadi, berbeda dengan remaja, pemuda tidak hanya sekedar dapat menimbangkan sesuatu, namun
mereka juga telah dapat untuk mengambil keputusan dan langkah nyata sesuai dengan
keinginannya. Mereka tidak lagi menunggu keputusan keluarga dalam meng’eksekusi’ suatu
keputusan yang mereka ambil karena ketergantungan mereka, baik secara ekonomi maupun secara
sosiokultural, telah dapat mereka pertanggungjawabkan secara mandiri.

Meskipun demikian, para pemuda masih sangat terbuka untuk hal-hal yang baru dan tidak segan
untuk menggunakan hal-hal yang disukainya. Kemandirian ekonomi nampaknya juga mendukung
pengambilan keputusan ini. Sehingga para pemuda sangat rentan terhadap budaya kontemporer.
Mereka dengan mudah beradaptasi dan belajar akan hal yang baru hingga menjadikannya gaya
hidup mereka. Dan bagaimana serta sedalam apa mereka melibatkan dirinya dalam budaya itu, kelak
ini yang akan membentuk pemantapan pola pikir masa depan yang biasanya tidak mudah untuk
dirubah lagi. Dengan kata lain, apa yang dipelajari dan dilakukan pada masa pemuda akan menjadi
identifikasi dirinya pada masa dewasa.

Budaya Kontemporer

Budaya kontemporer, yang seringkali juga disebut sebagai budaya popular, adalah suatu budaya
yang dibentuk dari subkultur-subkultur yang merupakan usaha dari pemuda untuk mengekspresikan
diri dan komunitasnya. Dengan demikian, budaya kontemporer selalu berubah dan bergerak. Bahkan
makin berakselerasi dengan meningkatnya kemajuan teknologi informasi yang mempermudah,
mempercepat, dan memper-‘murah’ akses informasi.

Budaya kontemporer pada masa ini lebih banyak mempengaruhi dan membentuk gereja, daripada
gereja yang mempengaruhi dan membentuk budaya. Sehingga gereja banyak bergumul dengan arti
dari mengikut Kristus dengan iman dalam suatu lingkungan yang tidak bersahabat. Namun
tampaknya hal ini bukanlah hal yang baru karena banyak surat-surat Perjanjian Baru yang ditujukan
untuk pribadi-pribadi dan jemaat-jemaat secara khusus atas kebutuhan mereka yang unik.

Demikian juga gereja masa kini yang sedang berjuang keras untuk menajamkan apa yang
dimaksudkan dengan mengikut Kristus pada masa transisi budaya dari lingkungan modern ke
paskamoderen. Gereja bergelut dengan berbagai masalah yang berhubungan dengan globalisasi,
pluralisme, relativisme, gaya hidup, dan sebagainya. Perubahan budaya ini, sebagaimana berbagai
hal lainnya, berpengaruh pada para jemaat. Sebagai contoh, apa yang disebut dengan ‘budaya pop
pemuda’, saat ini diproduksi dan dijual secara internasional serta ditujukan bagi kelompok 20-an, 30-
an, dan 40-an tahun, tidak hanya kepada pemuda saja. Setiap orang menjadi konsumen dari budaya
kontemporer, seperti ‘udara’ yang dihirup; tidak ada yang dapat menghindarinya.[7]

Salah satu teolog yang telah melihat secara luas bagaimana pertemuan budaya ini terjadi
adalah H. Richard Niebuhr. Dalam bukunya “Christ and Culture”, ia menyatakan beberapa respon
kekristenan terhadap kebudayaan. Pertama, menempatkan Kristus melawan Kebudayaan. Kedua,
Kristus diletakkan di dalam kebudayaan. Ketiga, Kristus melampaui Kebudayaan. Keempat, Kristus
sebagai paradoks dari Kebudayaan. Dan kelima, Kristus mengubah Kebudayaan.[8] Ulasan dari
Niebuhr ini akan sangat membantu dalam melihat bagaimana Kebudayaan diletakkan dan
mempengaruhi kekristenan pada saat ini.
Dengan karakteristik pemuda dan pergerakan kebudayaan seperti ini, maka pelayanan
pemuda tidak dapat dilepaskan dari budaya kontemporer. Pengetahuan akan budaya kontemporer
akan menolong pelayanan pemuda dalam berdialog dengan pemuda, untuk memahami pergumulan
mereka, dan berkomunikasi dengan ‘bahasa’ yang sama.

Di sisi lain, tantangan dari budaya kontemporer ini tidaklah dapat dianggap mudah. Banyak
nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kekristenan yang terdapat dalam pluralisme, relativisme, filsafat,
media, gaya hidup, bahkan juga humanisme, rasionalisme, dan ilmu pengetahuan yang mulai
menggeser nilai-nilai kekristenan yang sejati.

Pelayanan Pemuda dan Budaya Kontemporer

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh gereja dalam pelayanan pemuda, yaitu:

Pelayanan Pemuda adalah Pelayanan yang Khusus dan Unik

Pelayanan yang dikhususkan ini adalah karena adanya keunikan dan pergumulan yang
berbeda dari kelompok umur lain. Pelayanan pemuda adalah misi lintas budaya yang memerlukan
panggilan yang khusus dan kemampuan yang sensitif terhadap pergumulan mereka. Memang
pelayanan gereja yang terintegrasi dan multigenerasi adalah gereja yang ideal, namun kenyataan
yang ada memang ada perbedaan pergumulan dan kebutuhan antar generasi.[9]

Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam persiapan pelayanan:[10]

Pertama, mengenali pemuda yang dilayani.

Pada umumnya ada dua kelompok yang dapat dikenali dengan mudah, yaitu kelompok yang
aktif, dimana mereka secara aktif melayani di dalam kelompok. Kepada kelompok inilah (rasa)
kepemilikan pelayanan pemuda harus dipercayakan dan ditingkatkan. Seringkali suatu program
pelayanan pemuda dipimpin dan direncanakan oleh orang dewasa dengan hasil dimana pemuda
harus dengan susah payah dibujuk untuk berpartisipasi di dalamnya.[11]
Sementara itu, kelompok kedua adalah mereka yang masih bergabung sebagai ‘penonton’.
Kelompok inilah yang menjadi sasaran pelayanan dari kelompok pertama. Penjangkauan ini sangat
efektif jika dilakukan oleh para pemuda itu sendiri dari kelompok yang aktif. Dengan demikian,
mereka akan saling mengaitkan diri, dilatih, dan dipersiapkan menjadi pelayan dan pemimpin gereja
masa datang.

Kedua, mengenali kebutuhan mereka.

Identifikasi, bukan inspirasi. Pendekatan yang salah sering dilakukan dengan menyamakan
generasi kini dengan generasi pemuda sebelumnya.

Pada generasi sebelumnya (baby boomers – dimana kebanyakan sekarang menjadi pembina
pemuda) yang diperlukan adalah inspirasi. Suasana dipoles sedemikian rupa, lagu-lagu dinyanyikan
dan dipersiapkan dengan ‘keren’, drama disajikan secara profesional dan apik, dan mereka yang
memimpin tampil dengan antusias dan rapi. Segalanya disajikan dengan ideal, “Kamu dapat menjadi
seperti ini. Orang-orang ini adalah teladan hidup yang baik untuk diikuti.”

Namun tidak demikian dengan generasi masa kini (busters). Dengan adanya arus informasi yang
nyata, realistis, terbuka, dan ‘blak-blakan’. Pernyataan sikap mereka dapat merupakan suatu
despondensi/keputusasaan (“saya tidak mungkin dapat berharap menjadi seperti itu”), atau
detasemen/pembedaan (“saya tidak tahu jika saya memang ingin seperti itu”), atau
distrust/ketidakpercayaan (“saya tidak tahu apakah saya harus mempercayainya” atau “hal ini
terlalu bagus untuk suatu kenyataan”).[12]

Generasi ini tidak mencari jawaban-jawaban dari mereka yang dapat sekedar menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka, karena sebenarnya mereka juga sudah tahu jawaban tersebut
(secara idealnya), Mereka mencari orang-orang yang dapat mengenali pergumulan mereka dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yakni orang yang seperti mereka – yang mungkin juga
hidup berantakan, sesuka hatinya – sehingga reaksi yang diharapkan adalah “Ah, mereka seperti
kami. Mereka melalui hal yang sama seperti yang kami alami.” Inilah identifikasi yang mereka
harapkan.
Ketiga, mengenali cara interaksi kelompok.

Interaksi lebih dari sekedar partisipasi. Perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini, antara lain
yang disebut Web 2.0, dimana website tidak hanya menyajikan informasi, namun juga memiliki
interaksi dengan para penggunanya. Termasuk di dalamnya adalah perkembangan ‘social network’,
mulai dari Friendster hingga Facebook dan Twitter pada masa ini. Bersama dengan karakteristik di
atas, maka interaksi yang terjadi pada generasi ini juga berkembang dan lebih realistis.

Pemuda saat ini, sebagaimana generasi-generasi sebelumnya, juga menyukai partisipasi, atau
keterlibatan dalam suatu kegiatan. Namun yang membedakannya, jika generasi sebelumnya suka
akan kerapihan dan tampilan dengan kualitas yang baik, maka generasi ini lebih suka tampil apa
adanya. Ibarat, sajian perjamuan kasih bersama dengan membawa makanan masing-masing dari
rumah. Generasi sebelumnya akan mendaftar dan mengatur agar makanan yang dibawa dan
dipersiapkan dengan tema yang sama, misalnya macam-macam sayur Chinese food. Meskipun
orangnya tidak datang, yang penting susunan set menunya lengkap dan tampil ideal dan terlihat
bagus. Namun generasi ini lebih suka membawa makanan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Biasa saja ada yang membawa pizza, salad, Chinese food, sate, dan beragama makanan lainnya. Yang
penting adalah adanya interaksi, apa yang mereka bawa tidaklah penting.[13]

Generasi ini lebih mementingkan interaksi, tidak hanya sekedar sekedar bertemu saja, tetapi mereka
juga terlibat di dalamnya. Pengaruh pemikiran paskamoderen akan pluralisme dan relativisme dapat
terlihat sangat jelas di sini.

Keempat, mengenali ‘sumber daya’ pemuda.

Sebagaimana yang telah disajikan di atas bahwa generasi ini berbeda dengan generasi sebelumnya
dan budaya kontemporer memiliki pengaruh yang besar terhadap ‘budaya’ pemuda masa kini, maka
kita harus menggunakan ‘medium’ yang mereka kenali dengan baik dalam budaya mereka.[14]

Medium-medium ini biasa dikenal sebagai subkultur-subkultur. Ada banyak subkultur, masing-
masing berbeda menurut masyarakat dan perkembangan pendidikan serta pengetahuan yang
dimiliki setiap kelompok pemuda. Namun ada beberapa subkultur yang global dan dapat dilihat
dimana-mana. Antara lain, musik. Dimana perkembangan teknologi membuat akses terhadap musik
dapat dilakukan dengan murah, cepat, dan mudah membuat musik menjadi salah satu kekuatan
pengaruh terbesar bagi pemuda.

Demikian juga dalam pelayanan pemuda. Pengenalan akan subkultur akan memudahkan penetrasi
ke dalam pelayanan pemuda. Karena dengan demikian, mereka akan mengenal pelayanan itu
sebagai pelayanan yang memang ditujukan kepada mereka, bukan sekedar suatu usaha gereja untuk
mempertahankan eksistensi dari suatu program gereja.

Pelayanan Pemuda Harus Memiliki Pembina yang Baik

Berdasarkan penelitian yang disajikan dalam buku Merton Strommen, “Youth Ministry That
Transform”, ada tujuh kelompok hal yang dimiliki pembina yang efektif:[15]

Pertama, memiliki performa pelayanan yang kompeten;

Kedua, memiliki kepemimpinan yang penuh keyakinan;

Ketiga, memiliki relasi yang efektif dengan pemuda;

Keempat, memiliki dasar pengetahuan teologi yang baik;

Kelima, memiliki kemampuan untuk mempersiapkan para aktivis dewasa;

Keenam, memiliki motivasi dari panggilan Tuhan;

Ketujuh, memiliki respon yang kreatif atas budaya pemuda.


Dari penelitian ini, para pembina yang memiliki komitmen jangka panjang dalam pelayanan
pemuda adalah yang paling berhasil dalam pengembangan pelayanan pemuda. Mereka tidak
menyerah pada masa-masa sulit, mereka mengizinkan Tuhan untuk terus memimpin mereka dengan
iman untuk mencapai tujuan pelayanan mereka. Sebagian besar pembina pemuda yang berhasil
biasanya memiliki sikap yang rendah hati, tidak merasa bahwa diri mereka telah mengetahui dan
telah berpengalaman mengenai pelayanan pemuda. Mereka selalu terbuka untuk belajar dan terus
mendorong dirinya untuk secara konsisten belajar, terus bertumbuh dengan dasar pengetahuan
teologis. Mereka tahu dengan jelas bahwa ada banyak persiapan yang perlu dilakukan dalam
pelayanan pemuda dari sekedar suatu ide-ide yang cemerlang dan Ilustrasi-ilustrasi yang tajam.
Mereka tahu pentingnya mempelajari nilai-nilai disiplin filosofis yang fundamental. Mereka juga
percaya dan berpegang teguh pada firman Tuhan, dan mereka meresponnya dalam ketaatan dengan
melengkapi diri, menginjili, dan mengasihi. Mereka tidak bergantung pada pertumbuhan secara
statistik saja, mereka hanya melayani dengan penuh iman kepada Tuhan.[16]

Pelayanan Pemuda Harus Memiliki Perencanaan

Pelayanan pemuda bukanlah terjadi begitu saja, juga bukan pelayanan yang bersifat
insidensil. Pemuda berada di ambang masa dewasa penuh yang akan menjadi masa depan dari
gereja. Karena itu mereka harus diperhatikan dan dipersiapkan dengan baik serta direncanakan
dengan matang dan teliti. Bahkan sesungguhnya, perencanaan untuk pemuda ini sesungguhnya jauh
lebih mudah rentan dari pelayanan anak dan lebih terbuka terhadap ajakan daripada pelayanan
dewasa.[17]

Pertama, menghitung dan merencanakan kebutuhan serta keuntungan yang akan diperoleh.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Merton Strommen, dkk., gereja juga perlu untuk
mempersiapkan sumber dana yang cukup, selain sumber daya.[18] Keperluan dana ini untuk
membiayai kebutuhan personalia, program/aktivitas, fasilitas, juga termasuk biaya untuk para
aktivis, dan sebagainya. Semua biaya yang dikeluarkan ini akhirnya akan terbayar kembali melalui
antusias kehidupan pemuda dan juga perluasan Penjangkauan Penginjilan. Dalam banyak situasi,
dengan bertambahnya jumlah pemuda, biasanya pelayanan pemuda dapat kemudian dibiayai secara
mandiri oleh mereka sendiri.[19]
Kedua, menarik, relevan, dan benar.[20]

Perencanaan kegiatan pemuda tidak hanya cukup untuk mendidik mereka dalam kebenaran
firman Tuhan. Namun juga harus melalui komunikasi yang menarik. Di tengah persaingan dengan
dunia. Kita harus menyadari bahwa pemuda memiliki alternative yang banyak serta kemandirian
dalam mengambil keputusan. Ini yang membedakan mereka dengan remaja. Sehingga mereka
dengan mudah mengalihkan waktu mereka untuk hal-hal lain. Sehingga agar mereka dapat
mendengarkan kebenaran firman Tuhan, maka mereka harus ‘ditarik’.

Aspek relevan juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit, terutama dalam pemikiran paska-
moderen. Sebagaimana karakteristik generasi masa kini, yang telah disampaikan di atas, mereka
tidak begitu peduli akan idealisme. Mereka lebih tertarik pada hal-hal yang nyata, yang relevan
dengan pergumulan hidup mereka. Karena itu, sudah saatnya kegiatan pemuda bukan
dikelompokkan menurut usia, seperti persekutuan pemuda, persekutuan dewasa muda, namun
lebih baik dikelompokkan menurut pergumulan mereka, misalnya persekutuan karyawan,
persekutuan pasangan muda, persekutuan mahasiswa, dan sejenisnya.

Dan saat aspek menarik dan relevan ini telah dilakukan, maka tujuan utama dari penyampaian
kebenaran akan mudah dicapai. Kebenaran akan firman Tuhan inilah yang harus menjadi satu-
satunya tujuan akhir dari segala kegiatan pelayanan pemuda.

Ketiga, waktu dan tempat yang tepat untuk pertemuan.

Waktu adalah hal yang mahal untuk generasi masa kini. Tidak mudah mencari waktu luang diantara
kesibukan mereka dalam mengejar karir dan mengerjakan hobi mereka (biasanya, dengan mulai
diperolehnya kemandirian finansial, maka hobi yang mereka ingin lakukan menjadi mendapatkan
perhatian yang lebih banyak). Maka pemilihan waktu yang tepat dengan mempertimbangkan situasi
dan pergumulan kebutuhan mereka juga harus direncanakan dengan baik.
Tempat pertemuan juga dapat menjadi daya tarik tersendiri. Hal yang harus dipertimbangkan adalah
kenyamanan dalam bersekutu. Gedung gereja bukanlah satu-satunya pilihan. Ada banyak tempat
yang dapat dicoba dan mungkin jauh lebih memudahkan untuk menjangkau mereka yang mungkin
agak ‘segan’ masuk ke gereja karena berbagai alasan. Namun pemilihan tempat juga harus dilakukan
dengan hati-hati dan tidak membuat ‘bingung’ mereka yang lemah imannya.

Keempat, suasana informal.

Pelayanan pemuda justru akan efektif jika dilakukan dalam suasana informal. Interaksi dan
keterbukaan lebih mudah dicapai. Dan ini yang membedakannya dengan ibadah resmi pada hari
Minggu. Selain itu. Suasana ini juga memberitahu mereka bahwa kegiatan pemuda ini berbeda
dengan ibadah Minggu, yang mana seharusnya mereka hadiri juga.

Kesimpulan

Pelayanan pemuda masa kini tidaklah mudah dan sangat kompleks. Pelayanan yang efektif
diperlukan pengertian dan pengetahuan akan budaya kontemporer yang mempengaruhi kehidupan
pemuda saat ini. Budaya kontemporer yang terus bergerak membuat pelayanan pemuda juga terus
bergerak secara dinamis sehingga menuntut adanya perhatian yang penuh dan sungguh. Hal ini
harus disadari oleh para pimpinan gereja agar dapat mendukung dengan penuh pengertian akan
pelayanan pemuda, sehingga gereja dapat memenangkan hati pemuda dan memiliki persiapan
pemuda yang akan memimpin gereja kelak dengan perlengkapan rohani yang benar dalam
menghadapi tantangan perubahan dan pergerakan zaman dengan ketaatan dan iman kepada Tuhan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku

Celek, Tim, dan Dieter Zander. Inside the Soul of a New Generation: Insights and Strategies for
Reaching Busters. Grand Rapids: Zondervan, 1996.

Hutchcraft, Ron, dan Lisa Hutchcraft Whitmer. Perjuangan untuk Sebuah Generasi: Menjangkau Hati
anak-anak muda yang Terhilang. Jakarta: Metanoia, 1994.

Niebuhr, Richard. Christ and Culture. New York: Harper & Row, 1975.

Santrock, John W. Life Span Development – Jilid II, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga, 2002.

Stevens, Doug. Called to Care: Youth Ministry for the Church. Grand Rapid, Michigan: Zondervan,
1985.

Strommen, Merton, et al. Youth Ministry That Transform: A Comprehensive Analysis of the Hopes,
Frustrations and Effectiveness of Today’s Youth Worker. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2001.
Jurnal

Arnett, Jeffrey Jensen. “Emerging Adulthood: A Theory of Development from the Late Teens through
the Twenties,” American Psychologist Vol 55(5), May 2000.

Glassford, Darwin K. “Reconnecting Young People with the Disconnected Church,” Perspectives
Journal August/September (2007). Reformed Church Press, 2007.

Internet

Erikson, Erik. "The Theoretical Basis for the Life Model-Research And Resources On Human
Development". www.lifemodel.org/download/model building appendix.pdf.

Henig, Robin Marantz. "What Is It About 20-Somethings?", The New York Times(18 Agustus 2010).
www.nytimes/2010/08/22/magazine/22adulthood-t.html.

LifeWay Research. www.usatoday.com.

[1]Darwin K. Glassford, “Reconnecting Young People with the Disconnected Church,” Perspectives
Journal August/September (2007). Reformed Church Press, 2007.

[2]LifeWay Research. http://www.usatoday.com. Survey dilakukan oleh LifeWay Research terhadap


1.023 orang Kristen yang dilakukan antara April sampai Mei 2007. Margin kesalahan adalah lebih
kurang 3%.
[3]Erik Erikson, "The Theoretical Basis for the Life Model-Research And Resources On Human
Development". www.lifemodel.org/download/model building appendix.pdf.

[4]Jeffrey Jensen Arnett, “Emerging Adulthood: A Theory of Development from the Late Teens
through the Twenties,” American Psychologist Vol 55(5) (May 2000), 469-480.

[5]Robin Marantz Henig, "What Is It About 20-Somethings?", The New York Times(18 Agustus 2010).
www.nytimes/2010/08/22/magazine/22adulthood-t.html.

[6]John W. Santrock, Life Span Development – Jilid II, Edisi Kelima. ( Jakarta: Erlangga, 2002), 73.

[7]Glassford, Reconnecting.

[8]Richard Niebuhr, Christ and Culture (New York: Harper & Row, 1975).

[9]Doug Stevens, Called to Care: Youth Ministry for the Church (Grand Rapid, Michigan: Zondervan,
1985), 148.

[10]Ron Hutchcraft dan Lisa Hutchcraft Whitmer, Perjuangan untuk Sebuah Generasi: Menjangkau
Hati anak-anak muda yang Terhilang (Jakarta: Metanoia, 1994), 164-179.

[11]Merton Strommen, Karen E. Jones, dan Dave Rahn, Youth Ministry That Transform: A
Comprehensive Analysis of the Hopes, Frustrations and Effectiveness of Today’s Youth Worker
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2001), 163-166.

[12]Tim Celek dan Dieter Zander, Inside the Soul of a New Generation: Insights and Strategies for
Reaching Busters (Grand Rapids: Zondervan, 1996), 111-112.

[13]Celek, Inside 113-114.

[14]Ibid., 115.
[15]Strommen, Youth Ministry, 234.

[16]Ibid., 255-256.

[17]Stevens, Called, 148.

[18]Strommen, Youth Ministry, 50-53.

[19]Stevens, Called, 149.

[20]Celek, Inside, 122.

You might also like