Professional Documents
Culture Documents
IVB - Perbaikan - Oikumenika
IVB - Perbaikan - Oikumenika
M.Kuliah : Oikumenika
Identitas Buku
I. Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara yang plural, terdiri dari beragam suku, agama, ras
dan budaya. Begitu banyak keunikan yang membedakan dan memberikan kesan unik
di dalam masyarakat Indonesia terkhusus dalam masalah agama. Banyak sekarang
ilmuwan atau tokoh-tokoh yang membicarakan tentang soal hubungan umat
beragama terkhusus di Indonesia, karena melihat bahwa pada kehidupan nyatanya
toleransi umat beragama masih ada yang belum memakaianya. Dengan ini akan
membahas seorang tokoh dengan memandang pemikiran Prof. Dr. Olaf Schuman,
tentang hubungan antarumat beragama di Indonesia, PGI selalu ingin menjalin
hubungan yang baik dengan umat beragama yang lain.
II. Pembahasan
II.1. Biografi Prof.Dr. Olaf Schuman
Olaf Herbert Schumann lahir di Dresden, Jerman tahun 1938. Mengambil
jurusan teologi Protestan pada universitas Kiel, Tubingen dan Basel (1959-1964),
jurusan Islamologi di Tumingen dan Kairo (1963-1966). Pada tahun 1972
promosi dengan tesis Der Kristus Der Muslime, terbit di Gutersloh 1975 cetakan
ke-2 Koln-Dien 1988. Ditahbiskan sebagai pendeta gereja Lutheran di Schleswig
Holstein, Jerman, Oktober 1970. Sebagai staf ahli pada lembaga penelitian dan
studi DGI 1970-1981. Sejak April 81 sebagai mahaguru dalm bidang ilmu agama-
agama dan misiologi pada universitas Hamburg. Dosen tamu pada Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta 1989-1992. Karya tulisnya antara lain Der Kristus Der Muslime.
Christologische Aspekte In der Arabisch –islamichen litheratur (1975, cetakan ke
2 tahun 1988), dialog antar umat beragama: dimanakah kita berada kiru! (1980),
dialog antar umat beragama: dari manakah kita bertolak? 1982, pemikiran
keagamaan dalam tantangan (1993).1 Sebagai penganut Protestan yang taat yang
mendalami Islamologi, Prof. DR. Olaf Schumann cukup akrab dengan kalangan
intelektual muslim, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah . penguasaannya
terhadap bahasa Arab –dan memang pernah tinggal di Mesir selama empat
Tahun-telah memudahkan baginya untuk membaca literatur Islam dari sumber
Primer. Antara tahun 1970-1981, ia diperbantukan oleh DGI, Jakarta. Setelah itu
hampir setiap tahun dia datang berkunjung ke Indonesia menghadiri berbagai
forum seminar dan dialog antar agama, sampai-sampai dia sering bercanda lebih
merasa sebagai orang Indonesia ketimbang orang Jerman.2
1
Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007),
249.
2
Olaf. H. Schumann, Menghadapi Tantangan, memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia
2006), 1.
dikatakan semua mengarah ke pembentukan suatu Dewan Nasional seperti yang
telah diusahakan sekitar tahun 1940. Bulan Mei 1950, diselenggarakan konferensi
pembentukan DGI. Pada hari raya Pentakosta tanggal 25 Mei 1950, konferensi itu
menyatakan berdirinya DGI “sebagai tempat permusyawaratan dan usaha bersama
dari gereja gereja di Indonesia”. Mulai tahun 1950 sampai tahun 1994 telah
diadakan 12 kali Sidang Raya. Pada Sidang Raya X: Ambon, 21-31 Oktober
1984. Tema “Yesus Kristus Kehidupan Dunia”, dengan sub-tema, “harapan dan
keprihatianan bangsa dan gereja memasuki bagian akhir abad ke-20”. Dalam
sidang ini akhirnya tercatat kemajuan pada jalan menuju ke Gereja yang Esa di
Indonesia. Gereja-gereja menerima suatu pengkuan iman bersama (Lima
Dokumen Keesaan Gereja di Indonesia, LDKG), dan diputuskan untuk mengubah
nama DGI menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).3
Misi PGI adalah mewujudkan keesaan gereja-gereja Kristen di Indonesia.
Semua program PGI, institusi pendiri dan gereja anggota ikut mendukung misi
tersebut sampai akhir. Upaya yang mereka sumbangkan haruslah salng
menguatkan dan saling mendukung antara satu dengan yang lain. Dengan
demikian, secara bersama-sama gereja-gereja di Indonesia akan mampu saling
mempercayai. Berawal dari panggilan untuk bersatu dalam kebersamaan dalam
satu tubuh dan roh (Ef. 4:3-4), PGI berupaya keras untuk meningkatkan kesadaran
akan perlunya persekutuan di antara gereja gereja di dalam satu Roh. Secara
khusus, menjungjung tinggi rasa kebersamaan melalui pelayanan dan kesaksian,
perjamuan kudus, persekutuan saling menolong dan mendukung.4 Pada Sidang
Raya ke XI di Surabaya, 23-30 Oktober 1986. Tema, “Roh Kudus memberi kuasa
menjadi saksi”; subtema, “bersama-sama menanggulangi kemiskinan dalam
rangka pembangunan sebagai pengamalan Pancasila menuju tinggal landas”.
Siding ini menerima baik penyempurnaan LDKG dan membicarakan perbaikan
hubungan dengan Gereja Katolik Roma, dengan pemerintah dan antarumat
beragama.5
3
Th. Van den End dan J. Weitjens, Ragi Cerita 2 (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2018), 385-389.
4
Gerrit Riemer, Gereja-gereja Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2009), 126.
5
Th. Van den End dan J. Weitjens, Ragi Cerita 2, 389.
II.3. Pandangan Olaf Schumann Tentang Hubungan Antarumat
Beragama
Agama (religion) adalah suatu sistem kepercayaan yang didampingi oleh
kegiatan ritual entah sendiri atau dalam kelompok yang memberikan makna dan
bimbingan hidup dan yang akar-akar isinya mentransendensikan manusia ke
ruang yang ada di luar kekuasaannya. Kebebasan beragama sudah dengan
seterang-terangnya diungkapkan dan ditetapkan, baik dalam Muqadimah
(Pancasila) maupun dalam tubuh natsnya. Suatu pemerintah yang hendak hidup
bersama dengan rakyatnya atau masyarakatnya harus memperhitungkan dan
menghormati aspirasi umat-umat beragama mengenai keadilan, kesejahteraan,
kebenaran, kesusilaan dan kesetaraan yang berlaku baik dalam Negara maupun
terhadap dunia sekitarnya.6 Tuntutan terhadap toleransi beragama tidak hanya
berasal dari pertimbangan-pertimbangan teologis maupun relijius, tetapi juga
merupakan tuntutan yang dikedepankan ketika keseluruhan struktur masyarakat
berada dalam situasi kritis, kemudian berbagai teori dikembangkan untuk
membangun sebuah masyarakat baru, meninggalkan sistem sosial lama yang
tradisional agar lebih bebas menciptakan masyarakat baru yang lebih modern.
Toleransi beragama atau toleransi dan kebebasan beragama dengan sendirinya
mengiring kita masuk ke dalam wilayah pemikiran konstitusional dan sosial pada
permulaan zaman modern.7
Dialog antar umat beragama berarti bahwa para peserta adalah orang-
orang yang beriman dalam agamanya dan mengetahui modus pengungkapannya
dengan sedemikian rupa supaya orang lain dapat memahaminya dengan baik.
Namun itu tidak berarti bahwa hanya topik-topik keagamaan yang dibicarakan.
Sebaliknya, topik-topiknya justrus sering diambil dari masalah kehidupan sehari-
hari, secara pribadi, dalam masyarakat, dalam kehidupan berpolitik atau apa saja
yang relevan. Dialog dalam masyarakat ini bertujuan membuka saling pengertian
dan penghargaan terhadap pendirian yang berbeda sekaligus mencari modus
6
Erick Barus, Kebebasan Beragama, HAM dan Komitmen Kebangsaan (Jakarta: Bidang Marturia PGI,
2009), 23-26.
7
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2006), 42.
vivendi atau kata kesepakatan sebagai dasar kehidupan bersama yang rukun,
sentosa dan menunjang kesejahteraan semua anggota dalam masyarakat itu.
Untuk mencapai tujuan itu maka sering diperlukan kompromi dalam masalah-
masalah etika dan nilai sosial.8
Dialog menuntut keterbukaan dan keberanian: berani untuk mengakui
gejala-gejala sejarah yang banyak mempersulit hubungan antarumat beragama.
Tidak ada satu pihak pun yang bersih dari penindasan terhadap pihak-pihak lain.
Dialog hendak membawa kepada suatu sikap persahabatan, jujur dan terbuka
terhadap tetangga. Dialog pun tidak menghendaki agar orang mengabaikan tugas-
tugas keagamaannya, bahkan mengudang untuk bersaksi.9 Olaf Schumann
menyebutkan adanya lima dimensi toleransi antarumat beragama yang satu sama
lainnya berkaitan, yaitu:
1. Dimensi praktis sosial; keterbukaan untuk menerima secara empatetis
keberadaan dan aktifitas umat beragama lain di segala lapangan
kehidupan yang diarahkan oleh ajaran-ajaran etis-moral masing-masing
agama.
2. Dimensi ritual religius; keterbukaan untuk menerima secara empatetis
cara-cara dan bentuk-bentuk ekspresi ritual simbolik kehidupan beragama
dari umat beragama lain.
3. Dimensi doctrinal/ajaran; keterbukaan memahami secara empatetis
pernyataan-pernyataan dan klaim-klaim doctrinal/akidah yang dipercaya
umat beragama lain, yang bersumber dari kitab suci dan tradisi-tradisi
keagamaan masing-masing yang terus mengalami aktualisasi dan
perkembangan.
4. Dimensi perziarahan kehidupan beriman; keterbukaan untuk mengakui
secara timbal balikbahwa setiap umat beragama sedang menempuh ziarah
atau perjalanan kehidupan beriman, yang dimulai dari generasi-generasi
perdana setiap umat yang bersangkutan dalam sejarah di dalam konteks
8
Olaf H. Schumann, Dialog Antarumat Beragama (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008), xxii-xxiii.
9
Olaf H. Schumann, Dialog Antarumat Beragama, 297.
sosial masing-masing dan dilanjutkan secara kreatif dan dinamis oleh
setiap umat beragama kontemporer dalam konteks sosial masing-masing.
5. Dimensi spiritual religiositas; setiap pihak dalam relassi antarumat
beragama perlu mengalami perjumpaan yang akrab dan intim dengan
realitas lain yang transenden, realitas spiritual, yang menjadi pusat
batiniah yang dari dalamnya muncul motivasi untuk hidup dalam
kebajukan dan cinta kepada sesame manusia, motivasi yang membuat
toleransi antarumat beragama menjadi suatu tugas panggilan spiritual.10
10
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, 84.
PKI. Pada bulan Maret 1960 Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil
pemilihan umum tahun 1955. Tindakan ini baik oleh pihak Islam maupun Kristen
dipandang sebagai suatu ancaman berbahaya terhadap kehidupan demokrasi..
Dalam perkembangan politis Orde Baru, dalam rangka pembangunan
nasional, semua agama dalam negara yang berlandaskan Pancasila terpanggil
untuk berperan menjadi faktor pendorong dan pengarah dalam arus modernisasi
yang akan mempengaruhi semua segi kehidupan, termasuk yang bersifat keaga
maan. Karena modernisasi mencakup kehidupan seluruh masyarakat dan bangsa,
maka pengotakan diri tak dapat dibenarkan, malahan usaha semacam itu dapat
memperkuat kesan sementara orang seolah-olah agama merupakan penghambat
modernisasi. Dengan sikap yang aktif dan kritis agama-agama turut menentukan
apa yang patut didukung dan unsur-unsur atau kecenderungan mana yang harus
ditolak. "Agama dapat memenuhi tugasnya di tengah-tengah proses modernisasi
dengan memperkembang pemikiran baru dengan bertolak dari iman masing
masing. Percakapan dan kerja sama di antara golongan-golongan agama, dalam
sikap hormat menghormati akan integritas keyakinan masing- masing, jadi tidak
dengan mempertentangkan atau mencampur-adukkan keyakinan masing-masing,
akan sangat bermanfaat dalam negara Pancasila yang bertekad untuk
mensukseskan modernisasinya")
Pada bulan-bulan berikutnya antara Konperensi ini dan Sidang Lengkap
DGI yang diadakan di Makassar (sekarang Ujung Pandang) pada tanggal 28
Oktober s/d 8 Nopember 1967, telah terjadi beberapa peristiwa yang amat
mengganggu kerukunan hidup beragama dan Sidang. Dalam wadah DGI,
dikembangkan pada waktu itu pula sesuatu yang dinamakan "Proyek Khusus"
sebagai suatu forum komunikasi dan informasi serta refleksi yang mengamati
hubungan Kristen-Islam di tingkat nasional. Pancasila telah bernekad mau
membangun masa depan bangsa dan Negara, di mana masyarakat post-kolonial
menjadi masyarakat berkembang, di mana nilai-nilai yang tercakup dalam
pancasila dijunjung tinggi. Karena kehidupan keagamaan merupakan bagian
integral dalam kehidupan berbangsa, maka semua agama di Indonesia ditantang
untuk memikirkan kembali peranannya di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Olaf Schumann ada 3 yang perlu dilakukan Agama-agama yaitu:
1. Warisan atau beban sejarah berupa pemikiran dan pandangan mengenai diri
sendiri (self understanding) perlu dinilai, sampai di mana warisan pengalaman
dan pemikiran itu membantu dalam menghadapi tugas-tugas dalam rangka negara
Pancasila yang membangun.
2. Warisan atau beban sejarah berupa pemikiran dan pandangan mengenai agama-
agama yang lain (khususnya pandangan yang hidup di kalangan Kristen mengenai
Islam, dan sebaliknya pandangan yang hidup dikalangan Islam mengenai Kristen)
3. Perlu ditinjau hal-hal mana yang merupakan penghalang dalam usaha bersama
dari warganegara yang menganut agama-agama yang berlainan untuk
mensukseskan pembangunan dalam negara Pancasila kita, dan apa yang dapat
dilaksanakan secara positif agar semua warganegara dengan latar belakang
keyakinan yang berlainan dapat sepenuhnya turut serta dan bekerja sama dalam
pembangunan.
III. Kesimpulan
Dalam kaitannya dengan PGI, maka yang menyelenggarakan dialog antar umat
beragama adalah badan penelitian dan pengembangan persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (Badan Litbang PGI). Olaf Schumann adalah orang yang pertama-tama
menangani masalah dialog antar umat beragama melalui Badan Litbang PGI sejak
tahun 1970 hingga 1981. Olaf Schuman memberikan warna baru tentang pentingnya
dialog, karena dialog merupakan strategi efektif dalam menghadapi perbedaan agama
dan mengetahui modus pengungkapannya dengan sedemikian rupa supaya orang lain
dapat memahaminya. Selanjutnya Olaf Schuman menjelaskan, orang-orang beriman
itu perlu melatih diri, atau melatih diri bersama-sama dengan orang lain, supaya iman
mereka menjadi komunikatif dan terbuka sehingga dapat memberikan pengarahan
dan pengertian dalam suasana kehidupan bersama dengan keanekaragaman manusia
yang hidup dalam masyarakat yang sama.
Hubungan antarumat beragama adalah hubungan yang harus terus dijalin
meskipun adanya perbedaan agama. Menurut Olaf, salah satu cara untuk menjalin
hubungan antar umat beragama adalah dengan mengadakan dialog antarumat
beragama. Meskipun disebut dialog antarumat beragama yang dibicarakan bukan
hanya tentang ajaran agama saja namun juga mengenai masalah-masalah sosial yang
terjadi di lingkungan masyarakat. Dialog itu dilakukan oleh orang-orang yang
mengimani agama tertentu sehinga disebut sebagai dialog antarumat beragama. PGI
juga mendukung pemikiran Olaf, dimana PGI juga membahas tentang hubungan
antarumat beragama karena PGI menganggap penting dan urgen hubungan atau relasi
antarumat beragama.