You are on page 1of 12

Nama : Agnes Situmorang

Holyvia Sari Friska Purba

Suryani Debora Damanik

Ting/Jur : IV-B/ Teologi

M.Kuliah : Oikumenika

Dosen : Dr. Mehamad Wijaya Tarigan PERBAIKAN

Menelaah Pemikiran Olaf Schumann Tentang Hubungan Antar-


Umat Beragama Di Indonesia Dilihat Dari Sudut Pandang PGI

Identitas Buku

Judul Buku : Gerakan Oikumene: Tegar Mekar Di Bumi Pancasila

Penulis : J.M. Pattiasina dan Weinata Sairin

Penerbit : BPK Gunung Mulia

Halaman : 273-288 hal.

I. Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara yang plural, terdiri dari beragam suku, agama, ras
dan budaya. Begitu banyak keunikan yang membedakan dan memberikan kesan unik
di dalam masyarakat Indonesia terkhusus dalam masalah agama. Banyak sekarang
ilmuwan atau tokoh-tokoh yang membicarakan tentang soal hubungan umat
beragama terkhusus di Indonesia, karena melihat bahwa pada kehidupan nyatanya
toleransi umat beragama masih ada yang belum memakaianya. Dengan ini akan
membahas seorang tokoh dengan memandang pemikiran Prof. Dr. Olaf Schuman,
tentang hubungan antarumat beragama di Indonesia, PGI selalu ingin menjalin
hubungan yang baik dengan umat beragama yang lain.
II. Pembahasan
II.1. Biografi Prof.Dr. Olaf Schuman
Olaf Herbert Schumann lahir di Dresden, Jerman tahun 1938. Mengambil
jurusan teologi Protestan pada universitas Kiel, Tubingen dan Basel (1959-1964),
jurusan Islamologi di Tumingen dan Kairo (1963-1966). Pada tahun 1972
promosi dengan tesis Der Kristus Der Muslime, terbit di Gutersloh 1975 cetakan
ke-2 Koln-Dien 1988. Ditahbiskan sebagai pendeta gereja Lutheran di Schleswig
Holstein, Jerman, Oktober 1970. Sebagai staf ahli pada lembaga penelitian dan
studi DGI 1970-1981. Sejak April 81 sebagai mahaguru dalm bidang ilmu agama-
agama dan misiologi pada universitas Hamburg. Dosen tamu pada Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta 1989-1992. Karya tulisnya antara lain Der Kristus Der Muslime.
Christologische Aspekte In der Arabisch –islamichen litheratur (1975, cetakan ke
2 tahun 1988), dialog antar umat beragama: dimanakah kita berada kiru! (1980),
dialog antar umat beragama: dari manakah kita bertolak? 1982, pemikiran
keagamaan dalam tantangan (1993).1 Sebagai penganut Protestan yang taat yang
mendalami Islamologi, Prof. DR. Olaf Schumann cukup akrab dengan kalangan
intelektual muslim, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah . penguasaannya
terhadap bahasa Arab –dan memang pernah tinggal di Mesir selama empat
Tahun-telah memudahkan baginya untuk membaca literatur Islam dari sumber
Primer. Antara tahun 1970-1981, ia diperbantukan oleh DGI, Jakarta. Setelah itu
hampir setiap tahun dia datang berkunjung ke Indonesia menghadiri berbagai
forum seminar dan dialog antar agama, sampai-sampai dia sering bercanda lebih
merasa sebagai orang Indonesia ketimbang orang Jerman.2

II.2. Riwayat Singkat PGI


Pada masa Jepang terjadi gerakan oikumenis yang sangat intensif. Maka di
beberapa daerah dibentuk federasi gereja-gereja, hal seperti itu belum terdapat di
Indonesia sampai tahun 1940. Kegiatan oikumenis seusai Perang Dunia boleh

1
Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007),
249.
2
Olaf. H. Schumann, Menghadapi Tantangan, memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia
2006), 1.
dikatakan semua mengarah ke pembentukan suatu Dewan Nasional seperti yang
telah diusahakan sekitar tahun 1940. Bulan Mei 1950, diselenggarakan konferensi
pembentukan DGI. Pada hari raya Pentakosta tanggal 25 Mei 1950, konferensi itu
menyatakan berdirinya DGI “sebagai tempat permusyawaratan dan usaha bersama
dari gereja gereja di Indonesia”. Mulai tahun 1950 sampai tahun 1994 telah
diadakan 12 kali Sidang Raya. Pada Sidang Raya X: Ambon, 21-31 Oktober
1984. Tema “Yesus Kristus Kehidupan Dunia”, dengan sub-tema, “harapan dan
keprihatianan bangsa dan gereja memasuki bagian akhir abad ke-20”. Dalam
sidang ini akhirnya tercatat kemajuan pada jalan menuju ke Gereja yang Esa di
Indonesia. Gereja-gereja menerima suatu pengkuan iman bersama (Lima
Dokumen Keesaan Gereja di Indonesia, LDKG), dan diputuskan untuk mengubah
nama DGI menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).3
Misi PGI adalah mewujudkan keesaan gereja-gereja Kristen di Indonesia.
Semua program PGI, institusi pendiri dan gereja anggota ikut mendukung misi
tersebut sampai akhir. Upaya yang mereka sumbangkan haruslah salng
menguatkan dan saling mendukung antara satu dengan yang lain. Dengan
demikian, secara bersama-sama gereja-gereja di Indonesia akan mampu saling
mempercayai. Berawal dari panggilan untuk bersatu dalam kebersamaan dalam
satu tubuh dan roh (Ef. 4:3-4), PGI berupaya keras untuk meningkatkan kesadaran
akan perlunya persekutuan di antara gereja gereja di dalam satu Roh. Secara
khusus, menjungjung tinggi rasa kebersamaan melalui pelayanan dan kesaksian,
perjamuan kudus, persekutuan saling menolong dan mendukung.4 Pada Sidang
Raya ke XI di Surabaya, 23-30 Oktober 1986. Tema, “Roh Kudus memberi kuasa
menjadi saksi”; subtema, “bersama-sama menanggulangi kemiskinan dalam
rangka pembangunan sebagai pengamalan Pancasila menuju tinggal landas”.
Siding ini menerima baik penyempurnaan LDKG dan membicarakan perbaikan
hubungan dengan Gereja Katolik Roma, dengan pemerintah dan antarumat
beragama.5

3
Th. Van den End dan J. Weitjens, Ragi Cerita 2 (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2018), 385-389.
4
Gerrit Riemer, Gereja-gereja Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2009), 126.
5
Th. Van den End dan J. Weitjens, Ragi Cerita 2, 389.
II.3. Pandangan Olaf Schumann Tentang Hubungan Antarumat
Beragama
Agama (religion) adalah suatu sistem kepercayaan yang didampingi oleh
kegiatan ritual entah sendiri atau dalam kelompok yang memberikan makna dan
bimbingan hidup dan yang akar-akar isinya mentransendensikan manusia ke
ruang yang ada di luar kekuasaannya. Kebebasan beragama sudah dengan
seterang-terangnya diungkapkan dan ditetapkan, baik dalam Muqadimah
(Pancasila) maupun dalam tubuh natsnya. Suatu pemerintah yang hendak hidup
bersama dengan rakyatnya atau masyarakatnya harus memperhitungkan dan
menghormati aspirasi umat-umat beragama mengenai keadilan, kesejahteraan,
kebenaran, kesusilaan dan kesetaraan yang berlaku baik dalam Negara maupun
terhadap dunia sekitarnya.6 Tuntutan terhadap toleransi beragama tidak hanya
berasal dari pertimbangan-pertimbangan teologis maupun relijius, tetapi juga
merupakan tuntutan yang dikedepankan ketika keseluruhan struktur masyarakat
berada dalam situasi kritis, kemudian berbagai teori dikembangkan untuk
membangun sebuah masyarakat baru, meninggalkan sistem sosial lama yang
tradisional agar lebih bebas menciptakan masyarakat baru yang lebih modern.
Toleransi beragama atau toleransi dan kebebasan beragama dengan sendirinya
mengiring kita masuk ke dalam wilayah pemikiran konstitusional dan sosial pada
permulaan zaman modern.7
Dialog antar umat beragama berarti bahwa para peserta adalah orang-
orang yang beriman dalam agamanya dan mengetahui modus pengungkapannya
dengan sedemikian rupa supaya orang lain dapat memahaminya dengan baik.
Namun itu tidak berarti bahwa hanya topik-topik keagamaan yang dibicarakan.
Sebaliknya, topik-topiknya justrus sering diambil dari masalah kehidupan sehari-
hari, secara pribadi, dalam masyarakat, dalam kehidupan berpolitik atau apa saja
yang relevan. Dialog dalam masyarakat ini bertujuan membuka saling pengertian
dan penghargaan terhadap pendirian yang berbeda sekaligus mencari modus

6
Erick Barus, Kebebasan Beragama, HAM dan Komitmen Kebangsaan (Jakarta: Bidang Marturia PGI,
2009), 23-26.
7
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2006), 42.
vivendi atau kata kesepakatan sebagai dasar kehidupan bersama yang rukun,
sentosa dan menunjang kesejahteraan semua anggota dalam masyarakat itu.
Untuk mencapai tujuan itu maka sering diperlukan kompromi dalam masalah-
masalah etika dan nilai sosial.8
Dialog menuntut keterbukaan dan keberanian: berani untuk mengakui
gejala-gejala sejarah yang banyak mempersulit hubungan antarumat beragama.
Tidak ada satu pihak pun yang bersih dari penindasan terhadap pihak-pihak lain.
Dialog hendak membawa kepada suatu sikap persahabatan, jujur dan terbuka
terhadap tetangga. Dialog pun tidak menghendaki agar orang mengabaikan tugas-
tugas keagamaannya, bahkan mengudang untuk bersaksi.9 Olaf Schumann
menyebutkan adanya lima dimensi toleransi antarumat beragama yang satu sama
lainnya berkaitan, yaitu:
1. Dimensi praktis sosial; keterbukaan untuk menerima secara empatetis
keberadaan dan aktifitas umat beragama lain di segala lapangan
kehidupan yang diarahkan oleh ajaran-ajaran etis-moral masing-masing
agama.
2. Dimensi ritual religius; keterbukaan untuk menerima secara empatetis
cara-cara dan bentuk-bentuk ekspresi ritual simbolik kehidupan beragama
dari umat beragama lain.
3. Dimensi doctrinal/ajaran; keterbukaan memahami secara empatetis
pernyataan-pernyataan dan klaim-klaim doctrinal/akidah yang dipercaya
umat beragama lain, yang bersumber dari kitab suci dan tradisi-tradisi
keagamaan masing-masing yang terus mengalami aktualisasi dan
perkembangan.
4. Dimensi perziarahan kehidupan beriman; keterbukaan untuk mengakui
secara timbal balikbahwa setiap umat beragama sedang menempuh ziarah
atau perjalanan kehidupan beriman, yang dimulai dari generasi-generasi
perdana setiap umat yang bersangkutan dalam sejarah di dalam konteks

8
Olaf H. Schumann, Dialog Antarumat Beragama (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008), xxii-xxiii.
9
Olaf H. Schumann, Dialog Antarumat Beragama, 297.
sosial masing-masing dan dilanjutkan secara kreatif dan dinamis oleh
setiap umat beragama kontemporer dalam konteks sosial masing-masing.
5. Dimensi spiritual religiositas; setiap pihak dalam relassi antarumat
beragama perlu mengalami perjumpaan yang akrab dan intim dengan
realitas lain yang transenden, realitas spiritual, yang menjadi pusat
batiniah yang dari dalamnya muncul motivasi untuk hidup dalam
kebajukan dan cinta kepada sesame manusia, motivasi yang membuat
toleransi antarumat beragama menjadi suatu tugas panggilan spiritual.10

II.4. Menelaah Pemikiran Olaf Schumann Tentang Hubungan Antar Umat


Beragama di Indonesia Dilihat dari Sudut Pandang PGI Dari Buku Gerakan
Oikumenika
Ketika "Dewan Gereja-gereja di Indonesia" didirikan pada tahun 1950,
bangsa Indonesia berada dalam suatu periode peralihan yang amat menentukan
dalam sejarahnya, karena belum lama kedaulatan Republik Indonesia diakui oleh
Pemerintah Belanda, walaupun bangsa Indonesia harus menerima bentuk negara
yang bersifat federal. Ide kesatuan bangsa inilah yang turut menjiwai para pendiri
DGI dalam menetapkan tujuan DGI, yakni mendirikan "Gereja Kristen yang Esa
di Indonesia", di samping, tentu saja, pengaruh dari gerakan oikumene. "kesatuan
bangsa" turut mempengaruhi pemahaman terhadap tugas gereja dan umat Kristen
di tengah-tengah bangsanya yang baru saja berhasil mempertahankan
kemerdekaannya, dan keberhasilan itu tidak dapat dibayangkan seandainya semua
agama dan golongan dalam masyarakat tidak bersatu dalam usaha
mewujudkannya.
Hukum Islam dan Pancasila sebagai alternatif konstitusional mulai
dibicarakan lagi, dan suasana yang diciptakan dalam perdebatan itu tidak
menguntungkan untuk suatu pendekatan yang lebih bersifat dialogis antara
golongan Kristen dan Islam. Suasana ini baru berubah pada awal tahun 60-an.
Ketika itu, semua umat beragama berhadapan dengan suatu musuh bersama, yaitu

10
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, 84.
PKI. Pada bulan Maret 1960 Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil
pemilihan umum tahun 1955. Tindakan ini baik oleh pihak Islam maupun Kristen
dipandang sebagai suatu ancaman berbahaya terhadap kehidupan demokrasi..
Dalam perkembangan politis Orde Baru, dalam rangka pembangunan
nasional, semua agama dalam negara yang berlandaskan Pancasila terpanggil
untuk berperan menjadi faktor pendorong dan pengarah dalam arus modernisasi
yang akan mempengaruhi semua segi kehidupan, termasuk yang bersifat keaga
maan. Karena modernisasi mencakup kehidupan seluruh masyarakat dan bangsa,
maka pengotakan diri tak dapat dibenarkan, malahan usaha semacam itu dapat
memperkuat kesan sementara orang seolah-olah agama merupakan penghambat
modernisasi. Dengan sikap yang aktif dan kritis agama-agama turut menentukan
apa yang patut didukung dan unsur-unsur atau kecenderungan mana yang harus
ditolak. "Agama dapat memenuhi tugasnya di tengah-tengah proses modernisasi
dengan memperkembang pemikiran baru dengan bertolak dari iman masing
masing. Percakapan dan kerja sama di antara golongan-golongan agama, dalam
sikap hormat menghormati akan integritas keyakinan masing- masing, jadi tidak
dengan mempertentangkan atau mencampur-adukkan keyakinan masing-masing,
akan sangat bermanfaat dalam negara Pancasila yang bertekad untuk
mensukseskan modernisasinya")
Pada bulan-bulan berikutnya antara Konperensi ini dan Sidang Lengkap
DGI yang diadakan di Makassar (sekarang Ujung Pandang) pada tanggal 28
Oktober s/d 8 Nopember 1967, telah terjadi beberapa peristiwa yang amat
mengganggu kerukunan hidup beragama dan Sidang. Dalam wadah DGI,
dikembangkan pada waktu itu pula sesuatu yang dinamakan "Proyek Khusus"
sebagai suatu forum komunikasi dan informasi serta refleksi yang mengamati
hubungan Kristen-Islam di tingkat nasional. Pancasila telah bernekad mau
membangun masa depan bangsa dan Negara, di mana masyarakat post-kolonial
menjadi masyarakat berkembang, di mana nilai-nilai yang tercakup dalam
pancasila dijunjung tinggi. Karena kehidupan keagamaan merupakan bagian
integral dalam kehidupan berbangsa, maka semua agama di Indonesia ditantang
untuk memikirkan kembali peranannya di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Olaf Schumann ada 3 yang perlu dilakukan Agama-agama yaitu:

1. Warisan atau beban sejarah berupa pemikiran dan pandangan mengenai diri
sendiri (self understanding) perlu dinilai, sampai di mana warisan pengalaman
dan pemikiran itu membantu dalam menghadapi tugas-tugas dalam rangka negara
Pancasila yang membangun.
2. Warisan atau beban sejarah berupa pemikiran dan pandangan mengenai agama-
agama yang lain (khususnya pandangan yang hidup di kalangan Kristen mengenai
Islam, dan sebaliknya pandangan yang hidup dikalangan Islam mengenai Kristen)
3. Perlu ditinjau hal-hal mana yang merupakan penghalang dalam usaha bersama
dari warganegara yang menganut agama-agama yang berlainan untuk
mensukseskan pembangunan dalam negara Pancasila kita, dan apa yang dapat
dilaksanakan secara positif agar semua warganegara dengan latar belakang
keyakinan yang berlainan dapat sepenuhnya turut serta dan bekerja sama dalam
pembangunan.

Pemikiran Parokhial, menurut T.B. Simatupang yang sampai kini masih


menjiwai kesadaran banyak pemuka agama, makin lama akan ketinggalan zaman
karena dengan modernisasi, urbanisasi, perkembangan teknik dan lain-lain mobilitas
para penduduk akan meningkat, sehingga kotak-kotak milik sendiri tak akan dapat
dipertahankan. Selanjutnya perlu diungkapkannya: “Perlu dikembangkan common
ground berdasarkan kemanusiaan kita bersama, dengan kenyataan historis bahwa kita
bersama-sama bertanggung jawab untuk menyukseskan pembangunan dalam Negara
Pancasila. Demikian beberapa kutipan dari ceramah T.B. Simatupang 1969, yang
melukiskan landasan, motivasi dan arah bagi DGI dan gereja-gereja anggotanya
dalam usaha mereka lebih memahami dan meningkatkan kerukunan dengan tetangga-
tetangganya yang sebangsa dan setanah air itu. Hubungan antar-agama di Indonesia.
Setelah dilaporkan beberapa pengalaman regional, maka diberian pula suatu penilaian
tehadap hubungan itu secara nasional. Hubungan itu memang masih jauh dari yang
memuasan sebagai penyebab keadaan itu antara lain dilihat masih adanya terlalu
banyak prasangka dan distrosi yang terdapat dalam literature yang masih sering
bersifat apologetic, mau membenarkan dirinya dan mempersalahkan yang lain. DGI
dan umat Kristen mengalami beberapa rintangan yang memaksa merea memikirkan
ulang kedudukan mereka yang sebenarnya dalam Negara pancasila. Bagi gereja-
gereja di Indonesia, pengalaman pahit ini menjadi pelajaran bahwa bagi sementara
orang, bahwa gagasan kesatun bangsa, dengan hak dan kewajiban yang sama bagi
semua warga, belum dihayati sepenuhnya.Patut kita catat di sini bahwa di kalangan
umat Islam sendiri terdengar banya suara yang tida setuju dengan “policy”
diskriminatif dan konfrontatif itu, dan menginginan agar ekruunan yang telah dibina
di masa lampau dilestarian terus dan bersama-sama membahas seara jujur dan terbuka
secara umum dapat kita katakan bahwa pemikiran tentang masalah ini tidak dianggap
begitu relevan. Sejak awal tokoh-tokoh Islam berniat untuk menyumbangkan pikiran-
pikiran mereka turut menyumbangan pikiran-pikiran mereka melalui karya-karya
ilmiah yang kemudian diterbitkan dalam majalah itu.

Pada tahun 1981 Departemen Litbang DGI untuk pertama kali


menyelenggarakan sebuah "Seminar Agama-agama" sendiri, yang ke mudian sampai
sekarang diadakan lagi setiap tahun sekali. Maksud dan tujuan waktu itu ialah
menyediakan suatu forum bagi mahasiswa-maha siswa teologi dari pelbagai STTh
atau Lembaga Pendidikan Teologi lain nya yang berminat pada studi agama Islam
yang terhalang memperdalam studi itu, karena kurangnya perlengkapan di perguruan
mereka. Dalam seminar agama-agama itu diusahakan agar mereka memperoleh
masuk an pengetahuan dan bahan refleksi mengenai tema-tema keagamaan yang
setiap tahun ditentukan baru, dan yang dibawakan dalam bentuk ceramah atau diskusi
oleh tokoh-tokoh baik Kristen maupun Islam.
Sampai sekarang usaha-usaha dialog sedikit banyak dipusatkan pada masalah-
masalah yang dihadapi bersama dalam rangka kehidupan ber masyarakat, berbangsa
dan bernegara. Dan oleh karena itu, dampak pembangunan atas kehidupan beragama
dan sebaliknya visi agama agama terhadap cara dan tujuan pembangunan dijadikan
perhatian utama dalam dialog-dialog. Dalam usaha bangsa untuk memantapkan
kesatuannya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama bagi semua war ganegara,
sehingga semua warga dapat menikmati hasil pembangunan itu secara merata, maka
orientasi itu memang menjurus pada persoalan persoalan yang paling mendasar. Dan
melihat pesatnya pembangunan itu, maka agama-agama merasa dirinya terancam dan
dalam posisi mar ginal seandainya mereka tidak mampu mengikuti, turut
mengarahkan dan menentukan arus pembangunan itu. Jadi yang menjadi landasan
untuk berdialog ialah kesadaran ber sama akan tanggung jawab orang-orang yang
percaya menurut agama dan kepercayaan masing-masing terhadap dan di tengah-
tengah masya rakat di mana mereka hidup.
Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi seandainya dialog atau usaha hidup
bersama secara rukun dan saling menghormati itu tidak ada. Masalah ini menyatakan
pentingnya bagi umat beragama untuk mencari pula suatu landasan teologis untuk
berdialog, untuk hidup bersama. Sebab suatu landasan teologis lebih sukar dibawa angin
sehari, meskipun tak mungkin ia bersifat kekal. Namun selama tidak ada dasar teologis
yang mengikat, bukan saja terhadap sesama manusia melainkan juga di hadapan instansi
tertinggi orang yang percaya, yaitu Allah, yang menguji pula hati nurani, maka selama itu
pula gagasan untuk berdialog setiap saat bisa menjadi taktik saja tanpa
penghayatan.Dengan demikian, yang diperlukan ialah suatu "teologi religionum" yang
relevan dan memadai. Ketika "Persetia" mengadakan Study Insti tutnya tentang tema itu
tahun 1979, pembicaraan waktu itu sedikit banyak masih berkisar pada usaha
mengumpulkan bahan dan meninjau lapangan. Sejak waktu itu, di lingkungan
oikoumenis termasuk gereja Katolik, masalah teologi religionum itu mulai hangat
dibicarakan.11
Olaff Schuman berperan dalam menghasilkan pemikir-pemikir muda dan
mendorong dokumentasi berbagai pemikiran-pemikiran yang berkembang. Yang
dikerjakan oleh Olaf Schuman juga bermanfaat, bagi situasi masa kini di mana politik
identitas merasuki kehidupan masyarakat sampai ke tingkat lokal. Ini menjadi tantangan
bagi murid-murid Prof. Dr. Olaf, untuk mengambil peran dalam menyuarakan pemikiran-
pemikiran di tengah kegaduhan politik identitas saat ini. Olaf schumann menyinggung
kisah Alkitab mengenai orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37). Menurutnya,
kisah tersebut menunjukkan bagaimana tindakan hukum kemurniaan yang mengikat
masyarakat Yahudi saat itu, hukum yang melarang untuk menyentuh hal-hal najis. Bagi
orang Samaria, tidak ada manusia yang najis, semua manusia sama. Karena itu, dia
membantu sebagai sesama manusia. Bagi Olaf Schumann, agama-agama harusnya dapat
11
J.M.Pattiasina & Weinata Sairin, Gerakan Oikumenika Tegar Mekar Di Bumi Pancasila, (Jakarta: Gunung
Mulia, 1993), 273-288.
bergerak dengan bertumpu pada kesadaran kemanusiaan. Dalam kaitannya dengan PGI,
maka yang menyelenggarakan dialog antar umat beragama adalah badan penelitian dan
pengembangan persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Badan Litbang PGI). Olaf
Schumann adalah orang yang pertama-tama menangani masalah dialog antar umat
beragama melalui Badan Litbang PGI sejak tahun 1970 hingga 1981. Olaf Schuman
memberikan warna baru tentang pentingnya dialog, karena dialog merupakan strategi
efektif dalam menghadapi perbedaan agama dan mengetahui modus pengungkapannya
dengan sedemikian rupa supaya orang lain dapat memahaminya. Selanjutnya Olaf
Schuman menjelaskan, orang-orang beriman itu perlu melatih diri, atau melatih diri
bersama-sama dengan orang lain, supaya iman mereka menjadi komunikatif dan terbuka
sehingga dapat memberikan pengarahan dan pengertian dalam suasana kehidupan
bersama dengan keanekaragaman manusia yang hidup dalam masyarakat yang sama.

III. Kesimpulan
Dalam kaitannya dengan PGI, maka yang menyelenggarakan dialog antar umat
beragama adalah badan penelitian dan pengembangan persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (Badan Litbang PGI). Olaf Schumann adalah orang yang pertama-tama
menangani masalah dialog antar umat beragama melalui Badan Litbang PGI sejak
tahun 1970 hingga 1981. Olaf Schuman memberikan warna baru tentang pentingnya
dialog, karena dialog merupakan strategi efektif dalam menghadapi perbedaan agama
dan mengetahui modus pengungkapannya dengan sedemikian rupa supaya orang lain
dapat memahaminya. Selanjutnya Olaf Schuman menjelaskan, orang-orang beriman
itu perlu melatih diri, atau melatih diri bersama-sama dengan orang lain, supaya iman
mereka menjadi komunikatif dan terbuka sehingga dapat memberikan pengarahan
dan pengertian dalam suasana kehidupan bersama dengan keanekaragaman manusia
yang hidup dalam masyarakat yang sama.
Hubungan antarumat beragama adalah hubungan yang harus terus dijalin
meskipun adanya perbedaan agama. Menurut Olaf, salah satu cara untuk menjalin
hubungan antar umat beragama adalah dengan mengadakan dialog antarumat
beragama. Meskipun disebut dialog antarumat beragama yang dibicarakan bukan
hanya tentang ajaran agama saja namun juga mengenai masalah-masalah sosial yang
terjadi di lingkungan masyarakat. Dialog itu dilakukan oleh orang-orang yang
mengimani agama tertentu sehinga disebut sebagai dialog antarumat beragama. PGI
juga mendukung pemikiran Olaf, dimana PGI juga membahas tentang hubungan
antarumat beragama karena PGI menganggap penting dan urgen hubungan atau relasi
antarumat beragama.

IV. Daftar Pustakaan


Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007.
Schumann, Olaf. H. Menghadapi Tantangan, memperjuangkan Kerukunan, Jakarta:
BPK Gunung Mulia 2006.
Van Th. den End dan J. Weitjens, Ragi Cerita 2, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2018.
Riemer, Gerrit, Gereja-gereja Reformasi di Indonesia , Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2009.
Barus, Erick, Kebebasan Beragama, HAM dan Komitmen Kebangsaan, Jakarta:
Bidang Marturia PGI, 2009.
Schumann, Olaf H. Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2006.
Schumann, Olaf H. Dialog Antarumat Beragama, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008.
Pattiasina J.M.& Sairin, Weinata, Gerakan Oikumenika Tegar Mekar Di Bumi
Pancasila, Jakarta: Gunung Mulia, 1993.

You might also like