Professional Documents
Culture Documents
Jawaban Penasihat Hukum (D U P L I K)
Jawaban Penasihat Hukum (D U P L I K)
I K)
ATAS TANGGAPAN PENUNTUT UMUM
Dengan Nomor Reg. Perkara :
PDM – 123 / Ep.1 / XI / 2019
Atas Nama Terdakwa
Misha Pravira Alias Icha
Jakarta Barat, 2 Januari 2020
Kepada Yth.
Majelis Hakim Yang Memeriksa dan Mengadili Perkara Pidana
Reg. Perkara No. : PDM -123 / Ep.1 / XI / 2019
Atas Nama Terdakwa : Misha Pravira alias Icha
Di Pengadilan Negeri Jakarta Barat
Jl. Letjen S. Parman No. Kav. 71, RT.10/RW.3, Slipi, Kec. Palmerah, Kota Jakarta
Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Dengan hormat,
Kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Renaldy Nicholas, S.H., M.H.
2. Patricia Louise, S.H., M.H.
3. Vincent Stanly, S.H., M.H.
4. Gracia Kamarov, S.H., M.H.
Para Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Advokat MONISMUS &
ASSOCIATES, beralamat di Jalan Sudirman Kav 29-31, RT.8/RW.3, Kuningan,
Karet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibu kota Jakarta 12920,
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Terdakwa :
Nama
: Misha Pravira
Lengkap
Tempat
Jakarta
Lahir :
Umur /
: 57 Tahun / 29 Januari 1962
Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Perempuan
:
Kebangsaan : Indonesia
Tempat : Jalan Sultan Mansyur Blok A10 No 09, RT.4/RW.5, Kel. Rawa
Tinggal Buaya, Kec. Cengkareng, Jakarta Barat
Agama : Islam
Pendidikan : S2
I. PENDAHULUAN
Majelis Hakim Yang Terhormat,
Saudara Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,
Saudara Terdakwa dan hadirin yang kami hormati,
Serta Sidang yang kami muliakan,
--------Suatu image dan precedent yang menghambat laju dan perkembangan hukum
di Negara tercinta ini, adalah Subyektifitas orang-orang tertentu yang memandangan
bahwa setiap orang yang diajukan ke persidangan perkara pidana adalah pasti
bersalah dan harus dihukum. Image dan Precedent tersebut harus disingkirkan
karena bertentangan dengan hakikat Pasal 8 Undang-undang Kekuasan Kehakiman
yang menyatakan:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, dan/atau dihadapkan di persidangan, wajib
dianggap TIDAK BERSALAH sebelum adanya putusan Pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan berkekuatan hukum tetap.”
--------Jawaban ini merupakan penutup dan kesempatan terakhir yang diberikan oleh
KITAB UNDANG-UNDANG ACARA HUKUM PIDANA kepada Terdakwa untuk
membela diri demi menemukan kebenaran materil dan mengindarkan perkara ini
dari Miscarriage of Justice. Persoalan ini merupakan isu penting karena menyangkut
beberapa pihak karena melakukan penuntutan yang dapat menhancurkan nama
baik yang menyangkut dalam masalah Pemalsuan
Surat.---------------------------------------------------------------
--------Seperti dalam kasus ini, dimana Terdakwa Misha Pravira dianggap melakukan
Tindak Pidana Pemalsuan Surat dan Pencucian Uang. PADAHAL sebenarnya
segala perbuatan pidana yang terjadi dalam perkara ini TIDAK PERNAH dilakukan
oleh Terdakwa.------------------------------------------
--------Sangat menyedihkan jika seseorang dipersalahkan dalam perkara ini. Karena
sesungguhnya bahwa Terdakwa BUKANLAH orang yang patut dipersalahkan.
Terdakwa hanyalah korban dari kesalahpahaman, bahwa Miscarriage of Justice
adalah kemunduran bagi para penegak hukum. Karena tanpa adanya keadilan
dalam kasus pidana, maka matilah penegakan hukum yang
ada.-----------------------------------------------------------------------------------
--------Sebelum masuk ke dalam uraian Jawaban yang akan menjawab Tanggapan
dari Penuntut Umum, izinkanlah kami terlebih dahulu menyampaikan beberapa
adagium hukum yang menggambarkan posisi kami dalam situasi ini:
“Hukum tidak membatasi dengan pasti, melainkan menjamin kebebasan bagi
setiap orang yang baik.”
(Orang harus percaya untuk mengerti)
-Credo ut intellegam-
--------Berdasarkan adagium di atas, posisi kami disini adalah sebagai pihak yang
sedang berusaha membebaskan seseorang “terzolimi” oleh hukum sebagaimana
adagium yang menyatakan:
“Hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati.”
-Dormiunt Aliquando Leges, Nunquam Moriuntur-
--------Kami yakin hukum yang tidak pernah mati dalam mengungkap kebenaran
yang ada. Selain itu, ada baiknya Yang Mulia Majelis Hakim mempertimbangkan
Jawaban kami dalam memutus perkara ini dengan memperhatikan adagium berikut
ini:
“Sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus
mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan.”
-Fiat Justitia Ruat Coelum-
Majelis Hakim yang Mulia,
--------Adagium-adagium tersebut diatas mungkin hanya sebuah “postulat” yang
bahkan tidak ada hubungannya dengan perkara ini, Namun yang ingin kami
tunjukkan adalah posisi klien Misha Pravira alias Icha sebagai Walikota Jakarta
Barat dalam kasus ini yaitu sebagai sosok yang baik hati dan jujur namun disalahkan
oleh pihak Penuntut Umum.
M O N I S M U S & A S S O C I A T E S L A W F I R M | 11
tersendiri mengacu pada alat bukti yang sah sebagaimana diterangkkan dalam pasal
184 KUHAP tentang alat bukti yang sah, yaitu:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahi
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa
Pengaturan mengenai ’saksi mahkota’ ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168
KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai
terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman (rekoqnisi)
tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990
dijelaskan bahwa tidak melarang apabila Penuntut Umum mengajukan Saksi
Mahkota dengan syarat
bahwa saksi dalam kedudukannya sebagai Terdakwa yang diberikan kesaksian.
Dan dalam Yurisprudensi tersebut juga ditekankan definisi Saksi Mahkota adalah,
“Teman Terdakwa yang melakukan Tindak Pidana bersama-sama diajukan untuk
membuktikan Dakwaan Penuntut Umum yang perkaranya di pisah karena
kurangnya, alat bukti”. Dari Yurisprudensi ini dapatlah disimpulkan bahwa hanya
pada saat kurang / ketidakadanya suatu alat bukti dalam suatu perkara, barulah
Teman Terdakwa/Saksi Mahkota bisa diajukan dalam suatu pengadilan.
Jadi disini penggunaan saksi mahkota ”dibenarkan” didasarkan pada prinsip-prinsip
tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan ; 2) terdapat kekurangan alat bukti;
dan 3) Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing); adapun dalam
perkembangannya terbaru Mahkamah Agung RI memperbaiki kekeliruannya dengan
mengeluarkan pendapat terbaru tentang penggunaan ’saksi mahkota’ dalam suatu
perkara pidana, dalam hal mana Mahkamah Agung RI kembali menjelaskan bahwa
”penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung
tinggi HAM” (lihat : Yurisprudensi : MARI, No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 ;
MARI, No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29 April 1995 ; MARI, No. 1950 K/Pid/1995,
tanggal 3 Mei 1995 ; dan MARI, No. 1592 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995.
Penggunaan saksi mahkota yang terus berlangsung sampai sekarang ini harus
segera dihentikan, karena pasti menimbulkan permasalahan yuridis. Adanya alasan
klasik yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk memenuhi dan mencapai
rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan
merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan
saksi mahkota sebagai alat bukti sudah tidak bisa ditoleransi lagi.
Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga
merupakan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur
dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa dan hak
terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP), di
samping itu juga penggunaan ’saksi mahkota’ oleh Penuntut Umum selama ini jelas
melanggar instrumen hak asasi manusia secara internasional (International
Covenant on Civil and Political Right).
Putusan Mahkamah AgungNo. 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa:
“Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi
mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empiris maka Saksi
mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang
tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana,
dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota
yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam
bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan
yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan
atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Oleh karena itu, Penuntut Umum tidak dapat begitu saja menghadirkan Saksi
Mahkota di muka persidangan. Kehadiran saksi Mahkota melalui mekanisme
(splitsing) dalam peradilan pidana di Indonesia dewasa ini pada hakikatnya
melanggar asas non self incrimination sehingga perlu dilakukan pengaturan untuk
memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai saksi mahkota agar kedepannya
hak untuk tidak mempermasalahkan diri sendiri (the privilege againts self
incrimination) dapat dihormati dan dijunjung tinggi oleh para aparat penegak hukum,
seperti yang telah diamanatkan dalam KUHAP di atas. Memaksakan akan kehadiran
Saksi Mahkota melalui pemecahan berkas perkara tidak mengubah fakta bahwa
saksi Mahkota tetap merupakan Terdakwa yang hak-haknya dilindungi oleh hukum,
sebagaimana disebutkan dalam KUHAP.
Jadi, seharusnya dalam penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam
perkara pidana terlebih khusus pada perkara ini, haruslah ditinjau oleh pihak
Penuntut Umum kembali untuk segera diakhiri, karena bertentangan dengan esensi
Hak Asasi manusia (HAM), khususnya hak asasi Terdakwa. Marilah kita mendukung
implementasi prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dengan
berupaya mencari solusi untuk menggantikan penggunaan alat bukti ’saksi mahkota’
demi mewujudkan proses peradilan yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang
terdapat dalam KUHAP dan mewujudkan rasa keadilan masyarakat luas (publik).
Apabila Penuntut Umum melakukan pengajuan terhadap saksi Mahkota dalam
pengadilan tanpa melepaskan tuntutan saksi Mahkota tersebut maka, keterangan
saksi Mahkota itu tidak dapat dikatakan sebagai keterangan yang sebenar-
benarnya.
B. ALAT BUKTI WHATSAPP DAN REKAMAN SEBAGAI ALAT BUKTI
YANG MASIH DIPERTANYAKAN VALIDITAS YURIDISNYA.
Bahwa kami TIDAK SEPENDAPAT dengan Penuntut Umum yang menyatakan
bahwa alat bukti Elektronik memiliki dasar yuridis yang kuat. Penghadiran alat bukti
whatsapp dan rekaman dalam pengadilan sebagai alat bukti yang sah memang
perlu dikaji ulang secara mendalam karena bertentangan dengan HAM khususnya
HAM Terdakwa.Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli ;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa;
Dalam hal ini keyakinan dari Hakim juga merupakan suatu alat bukti. Yaitu pada
pasal 184 KUHAP secara eksplisit tidak mengakui data elektronik sebagai alat bukti
yang sah di pengadilan.
Oleh karena itu, kami sebagai Penasihat Hukum Terdakwa mengambil kesimpulan.
Bahwa alat bukti berupa Whatsapp dan rekamantidak dapat dipastikan
keontetikannya, karena alat bukti Whatsapp dan rekaman jika di jadikan sebagai alat
bukti yang sah harus memenuhi syarat formil dan materilnya sesuai dengan
Undang-Undang Informasi dan Tranksaksi Elektronik.
Adapun syarat formil yang sudah disebutkan diatas yaitu yang diatur dalam Pasal 5
ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Tranksaksi
Elektronik menyebutkan bahwa dokumen elektronik bukanlah dokumen atas surat
yang menurut Undang-Undang harus dalam bentuk tertulis. Dan yang
termasuk syarat materiil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-
Undang Nomor 11/ 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang pada
intinya infromasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya,
keutuhannya, dan ketersediannya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan
materil yang dimaksud dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.
Selain itu juga diatur dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang
terdapat ketentuan mengenai tidak boleh siapapun mencampuri permasalahan
pribadi seseorang. Sehingga pada intinya menerangkan bahwa Hak Pribadi tidak
dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti kerahasiaan, keluarga , kerabat,
aatu rumah tangga, kehormatan, surat menyurat atau komunikasi pribadi). Maka
berdasarkan ketentuan tersebut tidak ada satu orangpun yang berhak untuk
mencampuri masalah pribadi seorang.
IV. PERMOHONAN
Majelis Hakim Yang Terhormat,
Saudara Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,
Saudara Terdakwa dan hadirin yang kami hormati,
Serta Sidang yang kami muliakan,
--------Berdasarkan hal-hal yang Kami Tim Penasihat Hukum Terdakwa uraikan
diatas, menyampaikan Permohonan kepada Majelis Hakim yang kami Muliakan,
yang memeriksa dan mengadili perkara ini. Akan tetapi sebelumnya perkenankanlah
kami dengan segala kerendahan hati meyampaikan di persidangan ini, bahwa
penegakan hukum secara benar tanpa pandang bulu sangat dipengaruhi oleh
Penegak Hukumnya. Ada sebuah ungkapan dalam dunia penegakan hukum dikenal
dengan “QUID LEGES SINE MORIBUS” yang apabila diartikan kurang lebih memiliki
makna apalah artinya suatu peraturan perundang-undangan kalau tidak disertai
dengan moralitas. Jadi, makna penting keberadaan perundang-undangan ditujukan
pada tercapainya moralitas, dimana moralitas utama dalam penegakan hukum
adalah tercapainya rasa keadilan, baik itu keadilan bagi Terdakwa yang dihadapkan
dimuka persidangan maupun keadilan bagi masyarakat lainnya.Hal tersebut tentu
saja untuk mencapai tujuan hukum yaitu keadilan dan kepastian hukum.-
--------Sebelum kami memasuki inti dari duplik kami, perkenankanlah kami
menyampaikan hal-hal yang MERINGANKAN diri Terdakwa, diantara lain:
1) Terdakwa tidak pernah mengetahui bahwa surat tanah yang diperoleh Gladys Natalie
alias Iis adalah surat palsu.
2) Terdakwa memberikan rekomendasi kenalan Notaris dan PPAT yang berkompeten
dibidangnya untuk mengurus surat tanah yang akan berikan ke Gladys Natalie alias Iis.
3) Tidak adanya niat jahat Terdakwa untuk melakukan tindak pidana Pemalsuan Surat
sebagaimana yang telah Penuntut Umum uraikan dalam dakwaan dan tuntutannya.
4) Terdakwa tidak pernah megetahui bahwa Calvin Edgar alias Edi merencanakan
pemalsuan surat untuk Gladys Natalie.
5) Terdakwa adalah orang tua satu satunya.
6) Terdakwa adalah seorang Walikota yang dimata rakyatnya adalah seseorang yang
mengerti kondisi rakyat dan baik hati.
--------Berdasarkan seluruh fakta hukum yang terungkap di persidangan yang mulia
ini, kami mengajukan permohonan agar kiranya Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Barat. Yang Mulia, yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo,
berkenan untuk memberikan putusan dengan amar sebagai berikut:
1) Menyatakan Terdakwa Misha Pravira alias Icha TIDAK TERBUKTI melakukan tindak
pidana yang didakwakan yaitu :
KESATU
Pasal 263 ayat (1) tentang Pemalsuan Surat Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
DAN
KEDUA
Pasal 3 Undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
2) Mohon agar Majelis Hakim MEMBEBASKAN Terdakwa Misha Pravira alias Icha dari
segala Tuntutan Penuntut Umum (vrijspraak) sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-
undang
Acara Hukum Pidana atau setidak-tidaknya MELEPASKAN Terdakwa Misha Pravira alias
Icha dari segala tuntutan hukum ( ontslag van alle rechtvervolging) sesuai dengan Pasal 191
ayat (2) Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana.
3) Memerintahkan agar Terdakwa Misha Pravira alias Icha segera dikeluarkan dari
tahanan.
4) Memerintakan barang bukti yang disita dalam perkara ini dikembalikan kepada yang
berhak darimana barang bukti tersebut disita.
5) Memulihkan nama baik, harkat, dan martabat Terdakwa Misha Pravira alias Icha ke
dalam segala kedudukannya semula.
6) Membebankan biaya perkara kepada Negara.
DAN
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain maka kami mohon agar diberikan putusan
yang seadil-adilnya, demi tegaknya hukum dan keadilan berdasarkan asas
kepatutan dan asas kelayakan (Ex a quo Et bono) dan atas dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Pada akhir duplik ini, kami yang bertindak untuk dan atas nama Terdakwa
mengucapkan terima kasih kepada Majelis Hakim yang telah memimpin persidangan
ini sehingga asas praduga tak bersalah selalu hadir pada persidangan ini hingga
putusan akhir nanti.
Kiranya Tuhan Yang Maha Adil memberkati dan memberikan bimbingan kepada
Majelis Hakim agar dapat mengambil putusan yang seadil adilnya atas perkara ini
V. PENUTUP
Majelis Hakim Yang Mulia,
Penuntut Umum yang Terhormat,
--------Kami Tim Penasihat Hukum Terdakwa yakin bahwa tidak diperlukan lagi
perdebatan mengenai unsur-unsur dan uraian unsur-unsur yang dinyatakan
Penuntut Umum dalam perkara a quo kepada Terdakwa dalam persidangan
sebelumnya. Oleh karena telah nyata apa yang kami ungkapkan dari Fakta-Fakta
Yuridis yang kita lihat bersama dalam Fakta Perisidangan dan Analisa Yuridis kami
terdahulu yang dapat ditarik kesimpulannya secara hukum yakni,
“Tidak ada Satupun, baik UNSUR dan URAIAN Penuntut Umum dalam seluruh isi
Dakwaan Penuntut Umum yang TERBUKTI dilakukan oleh Terdakwa dalam Perkara
a quo.”
--------Oleh karena-nya kami Tim Penasihat Hukum Terdakwa dengan ini tetap
menyatakan MENOLAK seluruh Tanggapan Penuntut Umum terhadap Pembelaan
Tim Penasihat Hukum Terdakwa Dalam perkara ini.------------------
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi
kepada kamu kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.”
(Surat An-Nahl: 90)
--------Demikian Jawaban Tim Penasihat Hukum atas Tanggapan Penuntut Umum
terhadap Pembelaan Tim Penasihat Hukum Terdakwa Misha Pravira alias Icha ini
kami sampaikan. Kami meyakini sikap arif dan bijaksana Majelis Hakim yang adil
sehingga tidak adanya keraguan ataupun kebimbangan Majelis Hakim dalam
mempertimbangkan putusannya di perkara ini dan kami Tim
Penasihat Hukum berharap akan proses pengadilan ini akan berujung pada putusan
yang seadil-adilnya.