Professional Documents
Culture Documents
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia
Disusun oleh:
Levinna (01073170049)
Pembimbing:
dr. Syamsinar Hasan, Sp.A
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................2
2.1 Metabolisme Bilirubin.........................................................................................2
2.1.1 Pembetukan Bilirubin....................................................................................2
2.1.2 Transportasi Bilirubin...................................................................................2
2.1.3 Konjugasi Bilirubin.......................................................................................4
2.1.4 Ekskresi Bilirubin..........................................................................................5
2.2 Definisi.................................................................................................................7
2.3 Epidemiologi........................................................................................................7
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko...................................................................................8
2.4.1 Hiperbilirubinemia Fisiologis.......................................................................8
2.4.2 Hiperbilirubinemia non-fisiologis atau patologis........................................11
2.4.3 Faktor Risiko...............................................................................................13
2.5 Diagnosis............................................................................................................15
2.5.1 Anamnesis...................................................................................................16
2.5.2 Pemeriksaan Fisik.......................................................................................18
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................20
2.6 Tatalaksana........................................................................................................24
2.6.1 Breastfeeding Jaundice (ikterus dini).........................................................24
2.6.2 Breast-Milk Jaundice (ikterus lambat)........................................................25
2.6.3 Farmakoterapi..............................................................................................26
2.6.4 Fototerapi....................................................................................................27
2.6.5 Transfusi Tukar...........................................................................................31
2.7 Pencegahan........................................................................................................32
2.8 Komplikasi.........................................................................................................35
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................38
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
pada albumin digantikan dengan medikasi (contohnya sulfisoxazol, streptomisin,
kloramfenikol, seftriakson, ibuprofen, penisilin, sulfonamid, digoksin, gentamisin,
furosemid, dll) karena albumin mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat-obatan
bersifat asam dan juga terdapat obat yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin
dengan cara menurunkan afinitas albumin. Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin
akan semakin dilemahkan oleh kondisi: hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemi, asidosis,
hipotermia, hemolisis dan septikemi. 1,2,3
Bilirubin indirek yang tidak terikat dapat melewati sawar darah otak dan
menjadi toksik pada sistem saraf pusat sedangkan bilirubin indirek yang terikat
dengan albumin non toksik karena tidak dapat melewati sawar darah otak. 1,2,3
Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan semakin dilemahkan oleh
kondisi: hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemi, asidosis, hipotermia, hemolisis dan
septikemi.1
Jenis-jenis dari bilirubin yang terdapat dalam tubuh adalah:
Bilirubin yang tidak terkonjugasi kemudian terikat dengan albumin.
3
Bilirubin bebas
Bilirubin terkonjugasi (oleh monoglukoronida dan diglukoronida) yang siap
diekskresikan oleh ginjal.
Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan serum albumin (-bilirubin),
bilirubin jenis ini ditemukan pada bayi berusia lebih dari 2 minggu.
Kompleks bilirubin-albumin dalam darah kemudian akan mencapai sel
hepatosit, kemudian dimasukan ke dalam sel oleh saat berikatan dengan ligandin
(protein Y) atau atau protein ikatan sitosolik lainnya. 1
Sehingga beberapa hal dapat mempengaruhi konsentrasi bilirubin yang tidak
terkonjugasi pada darah yaitu: jumlah yang masuk yaitu: sintesis de novo, re-sirkulasi
enterohepatic, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan sel bilirubin dan
konjugasi dari bilirubin.!
Turunnya jumlah pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati akan
berperan dalam timbulnya ikterus fisiologis, dicurigai akibat adanya defisiensi dari
ligandin, atau yang lebih berperan besar defisiensi konjugasi bilirubin, sehingga pada
3-4 hari pertama kehidupan bilirubin tidak bisa masuk ke kantung empedu.1
4
2.1.4 Ekskresi Bilirubin
Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk akan diekskresi ke usus melalui
kantung empedu dan saluran empedu. Bakteri yang terdapat di usus akan
mendekonjugasi bilirubin sehingga akan bisa direabsorbsi ke darah, pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir terdapat enzim β-glukoronidase yang dapat
menghidrolisa monoglukoronida dan diglukonorida kembali menjadi bilirubin tak
terkonjugasi yang akan diabsorpsi kembali, bilirubin indirek yang dihasilkan tersebut
akan direabsorpsi ke dalam sirkulasi dan kembali ke hati, yang dikenal sebagai
sirkulasi enterohepatik. Sisa bilirubin diekskresi di feses, bilirubin indirek tidak dapat
direabsorbsi oleh epitel usus, namun dipecah oleh flora usus menjadi sterkobilin dan
urobilinogen yang kemudian dikeluarkan melalui tinja. Pada bayi baru lahir, lumen
usus halusnya steril dan hanya terdapat sedikit flora normal. Akibatnya tidak adanya
atau masih sedikitnya bakteri yang dapat memecah bilirubin, bilirubin terkonjugasi
tidak dapat dipecah menjadi sterkobilin dan urobilinogen (suatu produk yang tidak
dapat diabsorpsi) sehingga pool bilirubin akan meningkat. 1,2,3
Selain itu terdapat beberapa zat yang dapat mengikat bilirubin pada saluran
cerna seperti agar atau arang aktif, sehingga kadar bilirubin dalam tinja meningkat
dan menurunkan kadar bilirubin pada darah. Konsumsi susu sapi dapat menghambat
resorbsi bilirubin ke dalam sirkulasi enterohepatik, susu ASI juga demikian namun
efektivitasnya lebih rendah, dan pada ASI mengandung banyak β-glukoronidase
sehingga lebih banyak merubah bilirubin terkonjugasi kembali menjadi bilirubin tak
terkonjugasi. Ikterus yang disebabkan oleh bilirubin tidak terkonjugasi biasanya
berwarna oranye dan kuning sedangkan bilirubin terkonjugasi berwarna hijau atau
muddy yellow atau kuning keruh. 1,2,3
5
Gambar 2. Metabolisme bilirubin1
6
2.2 Definisi
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2
standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau
lebih dari persentil 90. Hiperbilirubinemia dideinisikan sebagai kadar bilirubin serum
total ≥5 mg/dL (86 μmol/L). Ikterus atau jaundice adalah warna kuning pada kulit,
konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin tak terkonjugasi pada jaringan.
Ikterus pada neonatus akan terlihat bila kadar bilirubin serum >5 mg/dL.1,2
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar
bilirubin darah 5-7 mg/dL. Hiperbilirubinemia dan ikterus/jaundice merupakan
terminologi yang merujuk pada keadaan yang sama. Ikterus fisiologis adalah ikterus
yang terjadi pada bayi baru lahir pada minggu pertama kehidupan, biasanya kadar
bilirubin tak terkonjugasi > 2 mg/dL pada minggu pertama. 1,2,6
2.3 Epidemiologi
Ikterus atau jaundice yang berarti kuning, terjadi pada sekitar 60% bayi baru
lahir yang sehat dengan usia gestasi 35 minggu. Pada bayi cukup bulan sebanyak
50% terjadi ikterus dan 80% pada bayi kurang bulan. Untungnya sebagian besar
membaik tanpa pengobatan, sebagian besar hiperbilirubinemia adalah fisiologis. 1,2,6
Ditemukan kejadian hiperbilirubinemia 8-20% pada minggu pertama
kehidupan dan di Jakarta 14% bayi lahir melalui persalinan vaginam ditemukan
kuning dan di Yogyakarta tahun 1993, sebanyak 11,9% bayi cukup bulan memiliki
hiperbilirubinemia. 1,2,6
Ikterus pada neonatus merupakan penyebab terbanyak kembalinya pasien
yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Beberapa keadaan hiperbilirubinemia
yang dapat terjadi seperti hiperbilirubinemia berat yaitu kadar bilirubin darah total
>20 mg/dL yang terjadi pada <2% bayi dapat menyebabkan ensefalopati (kernikterus)
dan keterlambatan perkembangan saraf permanen (neurodevelopmental delay). 1,2,6
7
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko
2.4.1 Hiperbilirubinemia Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir pada minggu
pertama kehidupan, biasanya kadar bilirubin tak terkonjugasi > 2mg/dL pada minggu
pertama. Konsenterasi total serum bilirubin (TSB) akan mencapai puncaknya dalam
3-5 hari postnatal dapat mencapai 6-8 mg/dL dan menurun di minggu berikutnya
sesuai dengan jumlah orang dewasa kadar bilirubin akan mencapai <2 mg/dL setelah
usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan maupun prematur. Konsenterasi TSB
berbeda-beda bergantung pada banyak faktor seperti ras, makanan, dan faktor
genetik. Ikterus fisiologis terjadi karena beberapa alasan seperti peningkatan produksi
bilirubin karena pemecahan sel darah merah dan bayi mempunyai hepatik
glukuronosil transferase yang imatur. Secara besar dapat dibagi menjadi karena
meningkatnya produksi atau penurunan dari clearance. Ikterus fisiologis terjadi
karena peningkatan kadar bilirubin, rendahnya pemasukan bilirubin ke hati (rendah
ligandin), ekskresi bilirubin rendah dan kapasitas konjugasi bilirubin rendah. 1,2,3,6
8
Tabel 3 . Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis1
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin
Peningkatan resirkulasi melalui Peningkatan aktivitas β-
enterohepatik shunt glukoronidase
Tidak adanya flora bakteri
Pengeluaran mekonium yang
terlambat
Penurunan bilirubin clearance
Penurunan clearance dari plasma Defisiensi protein karier
Penurunan metabolisme hepatik Penurunan aktivitas UDPGT
9
akan memperlambat pergerakan usus sehingga pasase mekonium lambat, selain itu
memiliki kandungan β-glukoronidase yang memecah bilirubin terkonjugasi menjadi
tak terkonjugasi kembali, juga mencegah pembentukan urobilinoid oleh bakteri.2,4,6
10
2.4.2 Hiperbilirubinemia non-fisiologis atau patologis
Keadaan di bawah ini menandakan kemungkinan hiperbilirubinemia non-
fisiologis dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut:1,2
Ikterus terjadi sebelum usia 24 jam
Peningkatan kadar bilirubin yang membutuhkan fototerapi
Peningkatan kadar bilirubin total serum >0,5 mg/dL/jam
Adakah tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,
letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea
atau suhu yang tidak stabil)
Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.
Tabel 5. Penyebab neonatal hiperbilirubinemia indirek6
Etiologi Mekanisme penyebab
Peningkatan produksi bilirubin Inkompabilitas darah fetomaternal
(Rh, ABO)
Peningkatan penghancuran bilirubin Defisiensi enzim kongenital (G6PD,
galaktosemia)
Perdarahan tertutup (memar)
Sepsis
Peningkatan jumlah hemoglobin Polisitemia (Twin to twin
transfusion, SGA)
Keterlambatan klem tali pusat
Peningkatan sirkulasi enterohepatik Keterlambatan pasase mekonium
Ileus mekonium
Puasa atau keterlambatan minum
Atresia atau stenosis intestinal
Perubahan clearance bilirubin hati Imaturitas
Perubahan produksi atau aktivitas Gangguan metabolik/endokrin
UDGT (Crigral-Najjar disease,
11
hipotiroidisme, gangguan
metabolisme asam amino)
Perubangan fungsi dan perfusi hati Asfiksia, hipoksia, hipotermia,
hipoglikemia
Sepsis
Obat-obatan dan hormon
(novobiasin, pregnanediol)
Obstruksi hepatik (berhubungan dengan Anomali kongenital (Atresia bilier,
hiperbilirubinemia direk) kistik fibrosis)
Stasis biliaris (hepatitis, sepsis)
Bilirubin load berlebih (hemolisis
berat)
12
ditemukan penyebab lain yang dapat menyebabkan ikterus. Breastmilk
jaundice berhubungan dengan pemberian ASI pada bayi oleh ibu yang
menyebabkan timbulnya ikterus berhubungan dengan kemampuan bayi
tertentu dalam menkonjugasi bilirubin indirek tetapi, penyebab BMJ masih
belum jelas. Bila ASI dihentikan bilirubin akan turun drastis dalam 48 jam,
bila ASI diberikan kembali bilirubin akan meningkat kembali. Beberapa
faktor yang mungkin memegang peranan yaitu:
o Adanya hasil metabolisme progesteron yaitu pregnane-3-alpha 20
beta diol di dalam ASI yang menghambat uridine
diphosphoglucoronic acid (UDPGA) glucoronyl transferase.
o Peningkatan asam lemak bebas sehingga menghambat fungsi
glukoronid transferase di hati
o Meningkatnya sirkulasi enterohepatik karena adanya peningkatan
aktivitas beta-glukorodinase di dalam ASI dan juga didalam usus bayi
yang mendapat ASI dan keterlambatan pembentukan flora usus pada
bayi dengan ASI.
o Defek pada aktivitas uridine disphophate-glucoronyl transferase 1A1
(UGT1A1) pada bayi yang homozigot atau heterozigot untuk varian
sindrom Gilbert.
13
Trauma kelahiran: sepalhematom, ekimosis
Infeksi: bakteri, virus, protozoa
Faktor Neonatus
Prematuritas
Genetik: Gangguan konjugasi (Sindroma Gilbert, Sindroma Crigler-Najjar)
Defek enzim glukosa-6-fosfat dehydrogenase
Defisiensi piruvat kinase, defisiensi hexokinase, porfiria eritropoietik
kongenital
Defek struktur sel darah merah (sferositosis, eliptositosis)
Polisitemia
Obat (Streptomisin, kloramfenikol, benzyl alkohol, sulfixoazole)
Konsumsi ASI sedikit
14
pada daerah resiko sedang
Umur kehamilan 37-38 minggu
Sebelum pulang, bayi tampak kuning
Riwayat anak sebelumnya kuning
Bayi makrosomia dari ibu DM
Umur ibu ≥ 25 tahun
Laki-laki
Faktor Resiko Kurang
Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah
resiko rendah
Umur kehamilan ≥41 minggu
Bayi mendapat susu formula penuh
Kulit hitam
Bayi dipulangkan setelah 72 jam.
2.5 Diagnosis
Secara klinis, pendekatan dalam menemukan etiologi ikterus dilakukan
berdasarkan jenis hiperbilirubinemia dan usia munculnya ikterus, karena keduanya
akan menunjukan penyebab yang spesifik.1,2,4,6
Ikterus pada neonatus memerlukan perhatian khusus karena adanya beberapa
perbedaan dengan ikterus pada anak yang membuatnya unik. Pertama, pada usia
neonatus sedang terjadi proses maturasi yang kemungkinan akan mempengaruhi
perjalanan penyakit. Kedua, bilirubin indirek dapat mencapai kadar toksisitas yang
berisiko menjadi kernikterus sehingga diagnosis dini menjadi sangat penting. Ketiga,
penyakit herediter mungkin menunjukkan manifestasi klinisnya pada periode usia
ini.6
Prolonged jaundice pada bayi (2-3 minggu pascalahir) adalah keadaan yang
abnormal dan memerlukan evaluasi lebih lanjut. Sangat penting untuk membedakan
hiperbilirubinemia direk (kolestasis) atau indirek untuk kepentingan deteksi penyakit
15
yang dapat diintervensi dini (misalnya galaktosemia, infeksi saluran kemih) atau
pembedahan (misalnya atresia bilier atau kista koledokus). Diagnosis dini akan
mempercepat pemberian dukungan nutrisi dan perawatan medis sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup dan tumbuh kembang bayi1,2,4,6
2.5.1 Anamnesis
Memperhatikan faktor risiko kejadian hiperbilirubinemia yang berat terutama
untuk bayi-bayi yang pulang lebih awal.2
Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa
6-fosfat dehidrogenase (G6PD)
Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, defisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia,
penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau
toksoplasma
Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada
bayi dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau
hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan
intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia
neonatal dan peningkatan bilirubin.
Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
direk berkepanjangan.
Pemberian air susu ibu (ASI). Harus dibedakan antara breast-milk jaundice
dan breastfeeding jaundice.
16
Usia penderita dan awal munculnya kuning memberikan informasi penting
mengenai penyebab ikterus.
17
Galaktosemia
Kolestasis familial
Atresia bilier
Selain itu, informasi lain yang diperlukan antara lain adalah riwayat
komplikasi selama kehamilan (penggunaan obat-obatan, penyakit maternal seperti
DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal) riwayat persalinan dengan
tindakan / komplikasi, riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi
sebelumnya, riwayat inkompatibilitas darah, riwayat keluarga yang menderita
anemia, pembesaran hepar dan limpa. 1,2,4,6
Gejala klinis kesulitan makan, iritabilitas, dan muntah dapat dikaitkan dengan
kelainan metabolik seperti galaktosemia atau ensefalopati. Tinja dempul mengarah
pada proses obstruksi seperti atresia bilier, kista koledokus atau batu empedu. 1,2,4,6
18
Gambar 4. Skor Kramer4
Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada identifikasi salah satu penyebab
ikterus patologis. Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisik: 1,2,4,6
Prematuritas
Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia.
Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah
ekstravaskular
Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital,
atau penyakit hati
Omfalitis
Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
Tanda hipotiroid
Tanda dehidrasi
Kehilangan berat badan > 12% berat badan lahir
Tanda sepsis (sulit minum, muntah, letargi, riwayat kehamilan dan
persalinan).
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dinilai segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian dengan visualisasi. Pemeriksaan kuning pada kulit dapat
dilakukan dengan menekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk
19
memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Klinisi harus memperhatikan apakah
penderita tampak sehat atau sakit, apakah penderita tampak iritabel atau lemah. Hal
ini akan memberi indikasi apakah terdapat ensefalopati, infeksi atau penyakit
metabolik. Jika ditemukan mikrosefali pada bayi, hal ini mengarahkan pada penyakit
bawaan. Hepatomegali mungkin ada, tetapi hati yang mengecil memberi indikasi
adanya sirosis atau penyakit hati terminal. Popok bayi diperiksa adanya tinja dempul
dan urin berwarna gelap. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mendeteksi ataksia
dan asteriksis. 1,2,4,6
20
Golongan darah (ABO dan Rhesus) dan Uji Coombs (direk dan indirek) dari
ibu dan bayi untuk mencari penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus
negatif harus menjalani pemeriksaan golongan darah, Rhesus, dan direct
Coombs’ test segera setelah lahir.
Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
Trial fenobarbital
Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati (SGOT, SGPT,
alkali fosfotase, albumin), waktu protrombin (PT/PTT), warna tinja,
pemeriksaan urin untuk mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan
untuk mencari infeksi kongenital (HbsAg, titer TORCH, VDRL), Work up
sepsis, skrining metabolik (α-1 antitripsin, seum asam amino), skrining tiroid
(T3, T4, TSH) sampai foto radiologis (tengkorak, tulang panjang, abdomen,
toraks), USG abdomen, intubasi duodenum (bilirubin, asam empedu),
skintigraf hepatobilier dan biopsi hati.
21
Gambar 6. Normogram risiko hiperbilirubinemia berdasarkan transkutaneus bilirubin2
2.5.3.1 Kolestasis
Penyebab kolestasis pada bayi bervariasi dan dibagi dalam 2 kategori yaitu
oleh penyebab obstruksi dan hepatoselular. Kolestasis merupakan keadaan dimana
terdapat gangguan ekskresi cairan empedu yang dapat disebabkan karena defek pada
produksi empedu intrahepatik, transpor empedu transmembran, atau obstruksi aliran
cairan empedu. Retensi komponen cairan empedu tersebut akan menyebabkan
peningkatan komponen-komponen cairan empedu didalam darah seperti bilirubin,
bile acids, dan/atau kolesterol. Pola dan tingkat keparahan pada setiap
ketidaknormalan tersebut beragam sesuai dengan penyebab kelainan yang
mendasarinya. Peningkatan bilirubin terkonjugasi (direk) merupakan karakteristik
yang dominan pada kebanyakan kolestasis pada bayi. Dengan demikian, kolestasis
didefinisikan sebagai peningkatan kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila
bilirubin total <5 mg/dl; sedangkan bila kadar bilirubin total >5 mg/dl; kadar bilirubin
direk adalah > 20% dari bilirubin total. 2 Kondisi ini dapat terjadi setelah lahir tetapi
dapat juga menunjukkan manifestasi lambat. Bayi yang ikterik menetap setelah 2
minggu pertama kehidupan perlu diperiksa kadar bilirubin total dan bilirubin direk
darah.8
Atresia bilier merupakan salah satu penyebab kolestasis tersering dan serius
pada bayi dengan insidensi yang bervariasi antara 1:8.000-25.000 kelahiran hidup
22
(25% - 35%). Tanda dan gejala yang terdapat pada kondisi ini adalah bayi tampak
normal saat lahir dan mengeluarkan mekoneum. Pada usia 3-6 minggu, nilai bilirubin
direk meningkat disertai tinja akolik. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya
hepatomegali dan pada beberapa kasus dapat juga dijumpai splenomegali.
Pemeriksaan penunjang biopsi hati akan memperlihatkan proliferasi duktus biliaris,
kolestasis, fibrosis, dan inflamasi periportal. Jika tidak ada perbaikan aliran empedu,
dapat terjadi sirosis bilier yang progesif, hipertensi porta, asites, dan akhirnya
kematian. Tanpa operasi Kassai, rata-rata hidupnya 19 bulan. Hepatitis neonatal
sering merupakan penyebab kolestasis pada neonatus. 8
Infeksi bakteri, virus, dan jamur juga dapat menyebabkan kolestasis. Infeksi
menyebabkan kerusakan hati secara langsung dengan adanya invasi ke hepatosit atau
secara tidak langsung melalui produksi toksin. Oleh sebab itu, ikterus dapat menjadi
manifestasi dini sepsis. Kolestasis terjadi pada 15% bayi yang terbukti sepsis. Infeksi
kongenital seperti siflis dan TORCH dapat terjadi pada bayi ikterus dengan
hepatosplenomegali, ruam pada kulit, trombositopenia, dan kelainan mata. Kultur,
titer, pemeriksaan radiologis, dan pemeriksaan oftalmologis dapat menegakkan
diagnosis pada beberapa kasus. 8
23
o Kelainan metabolik asam amino (tirosinemia)
o Kelainan metabolisme lemak (penyakit Gaucher,
penyakit Niemann-Pick, Sindrom Wolman)
o Kelainan metabolisme karbohidrat (Galaktosemia,
intoleransi fruktosa herediter, glycogen storage disease)
o Kelainan metabolisme asam empedu
o Kelainan metabolik bilirubin (Sindrom Dubin-Johnson,
Sindrom Rotor)
o Kelainan mitokondria
o Defisiensi alfa-1-antitripsin
Kelainan endokrin
o Hipotiroid
o Hipopituitarisme
Infeksi
o Hepatitis virus
o Sifilis
o Infeksi TORCH
o Varisela
o Leptospirosis
o Infeksi HIV
o Sepsis
o Tuberkulosis
Obat dan nutrisi
o Nutrisi parenteral total
o Obat-obatan
o Sindrom fetal etabol
Lain-lain
24
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Breastfeeding Jaundice (ikterus dini)1,5,7
Pada bayi dengan ikterus dini dan diberi ASI maka tatalaksana yang
direkomendasikan adalah:
Observasi feses awal bayi
Secepat mungkin dan sesering mungkin memulai menyusui. Frekuensi
menyusui yang lebih sering namun cepat lebih baik dibanding banyak namun
jarang minimal 8 kali sehari.
Tidak dianjurkan pemberian air, dekstrosa, ataupun formula
Observasi berat badan, buang air besar dan kecil, dan pola menyusui
Bila bilirubin serum total meningkat sampai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian
minum, lakukan teknik merangsang pengeluaran ASI dan melaksanakan
protokol fototerapi.
Ditemukan bahwa tidak ada pembuktian bahwa ikterus dini disebabkan oleh
masalah dari ASI, sehingga tidak ada rekomendasi untuk menghentikan
pemberian ASI, kecuali bila ikterus berlanjut sampai lebih dari 6 hari atau
meningkat diatas 20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya
kuning.
25
dapat dilakukan fototerapi. Saat bilirubin sudah mencapai 25 mg/dL atau lebih
dapat diberikan fototerapi sambil melanjutkan ASI atau penghentian ASI
selama 24 jam dan diganti dengan susu formula
Gartner dan Aurbach menyarankan penghentian ASI sementara untuk
memberi kesempatan liver mengkonjugasi bilirubin indirek yang berlebihan.
Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian ASI dilanjutkan sampai
24 jam dan dilakukan pengukuran kadar bilirubin tiap 6 jam. Bila kadar
bilirubin tetap meningkat setelah penghentian ASI selama 24 jam, maka jelas
penyebabnya bukan karena ASI. Air susu ibu kembali diberikan sambil
mencari penyebab hiperbilirubinemia yang lain. Jadi penghentian ASI untuk
sementara adalah untuk menegakkan diagnosis.
2.6.3 Farmakoterapi
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kernikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung
ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar
konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan
merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan
(luminal), merangsang induksi enzim-enzim hati dan protein pembawa guna
mempengaruhi penghancuran heme atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus
sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun. 1,5,7
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma
atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi
sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan
kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous
Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat
hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin1,5,7
26
Imunoglobulin IV, digunakan pada inkompatilibitas golongan darah ABO
ataupun Rhesus untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
transfusi tukar.
Fenobarbital: dapat meningkatkan kadar UDPGT dan ligandin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin
berlangsung lebih cepat. Pemberian fenobarbital untuk mengobatan
hiperbilirubenemia pada neonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan
bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak memberikan reaksi
daripada bayi cukup bulan. Fenobarbital dapat diberikan dengan dosis 8
mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan secara
oral. Keuntungan pemberian fenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar
ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah
diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang berarti.
Pencegahan hiperbilirubinemia dapat diberikan metalloprotoporphyrrin yang
merupakan inhibitor kompetitif dari heme oksigenase
Tin-protoporfirin (Sn-PP) atau tin-mesoporifirn (Sn-MP) dapat menurunkan
kadar bilirubin serum.
Inhibitor B glukoronidase seperti asam L – aspartik dan kasein holdolisat
dalam jumlah kecil (5 ml/dosis-6 kali/hari) pada bayi sehat cukup bulan yang
mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus
menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi tanpa ASI
2.6.4 Fototerapi
Pada tahun 1958 ditemukan bahwa sinar matahari dapat menurunkan
konsenterasi bilirubin dan kebutuhan terapi tukar menurun karena insiden
hiperbilirubinemia berat menurun. Fototerapi bekerja dengan mengkonversi bilirubin
dalam kapiler superfisial merubah bentuk molekul bilirubin menjadi isomer
komponen yang larut dalam air yaitu lumirubin yang diekskresi di urin dan empedu
tanpa memerlukan konjugasi pada liver. Dua faktor terbesar untuk mengkonversi
bilirubin menjadi lumirubin yaitu spektrum cahaya dan dosis cahaya yang diberikan.
27
Bilirubin adalah pigmen kuning yang menyerap cahaya biru di panjang gelombang
460 nm. Efek fototerapi dapat terlihat hanya jika panjang gelombang dapat penetrasi
jaringan dan menyerap bilirubin. Lampu dengan panjang gelombang 460-490 nm
paling efektif dalam pengobatan hiperbilirubinemia. Terdapat macam-macam terapi
pada masa kini seperti daylight, cool white, blue atau “blue special” tabung fluoresen
atau lampu tungsten halogen. Fibreoptic blanket juga menyediakan cahaya di regio
biru-hijau. Fluoresen biru spesial yang paling efektif dan dipakai jika diperlukan
fototerapi intensif. Cahaya ultraviolet (gelombang <400 nm) tidak dipakai untuk
fototerapi, cahaya fototerapi tidak melepaskan radiasi ultraviolet yang signfikan
selain itu plastik penutup lampu fototerapi secara alami memfilter cahaya ultraviolet.
Meskipun cahaya matahari dapat menurunkan konsenterasi bilirubin tetapi itu tidak
direkomendasikan karena sulit menentukan jangka waktu yang aman untuk
mengekspos bayi yang telanjang ke cahaya matahari tanpa mendapat terbakar
matahari. 1,2,5
Total dosis yang diberikan atau iradiansi spektral bergantung dengan jarak
bayi dari cahaya dan area permukaan tubuh yang terekspos. Bayi harus didekatkan
dekat dengan cahaya, menaruh bayi pada keranjang bayi dapat membuat pencahayaan
lebih dekat dibandingkan di inkubator. Ketika menggunakan tabung fluoresen, jika
bisa bawa sumber cahaya dalam 10 cm tanpa membuat panas bayinya. Cahaya
halogen dapat membakar bayi sehingga instruksi penggunaan dari pabrik harus
dilakukan untuk menentukan jarak cahaya dan bayinya. Jarak yang paling tepat antara
lampu dengan bayi adalah 15-20cm, pada jarak 20cm dengan lampu fototerapi
standar maka akan didapatkan energi sebesar 8 sampai 10 μW per cm 2 per nm pada
gelombang 430-490nm. Mengekspos bayi sebanyak mungkin sambil menutup
matanya menghasilkan penurunan konsenterasi bilirubin yang cepat. Pampers bayi
tidak perlu dilepas kecuali jika konsenterasi bilirubin hampir mendekati kadar untuk
di terapi tukar selain itu keranjang bayi juga harus dilapisi aluminium foil atau kain
putih. Fototerapi dapat diinterupsi sebentar jika memberi makan pasien atau
mendapat kunjungan dari orang tuanya. Fototerapi harus dilanjutkan terus jika
transfusi tukar mungkin dilakukan. 1,2,5
28
Saat bayi sedang fototerapi, suhu dan status hidrasi harus selalu dimonitor.
Bilirubin akan diekskresi di urin dan feses sehingga penting mendapat urine output
yang bagus. Jika bayi dehidrasi, cairan intravena diberikan, nutrisi oral cukup
diberikan pada bayi yang tidak dehidrasi. Menambahkan menyusui dengan susu
formula adalah pilihan untuk mengurangi siklus enterohepatik dan menurunkan TSB
lebih cepat. 1,2,5
Inisiasi dari fototerapi berdasarkan dari konsenterasi TSB, usia dalam jam dan
faktor risiko yang direkomendasikan pedoman AAP. Pedoman yang ada adalah untuk
bayi dengan gestasi ≥ 35 minggu tidak ada pedoman untuk bayi gestasi < 35 minggu.
Terapi standar fototerapi menurut AAP dimulai bila bilirubin berada 2-3mg/dL
dibawah batasan terapi intensif. Sedangkan definisi terapi intensif oleh AAP adalah
fototerapi dengan energi iradiasi setidaknya 30 μW per cm 2 per nm. Terapi intensif
diindikasikan bila pada normogram, bilirubin menembus garis resiko (yang
disesuaikan sesuai usia kehamilan dan faktor resiko). Faktor resikonya adalah
penyakit hemolisis isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, instabilitas
temperatur, sepsis, asidosis, albumin serum < 3 g/dL. Fototerapi dalam 4-8 jam
pertama akan diekspektasi penurunan konsenterasi TSB 0,5 mg/dL/jam dan 2-3
mg/dL setiap harinya bila bayi mengonsumsi ASI, ketika TSB tidak menurun atau
meningkat selama fototerapi maka mungkin terjadi hemolisis yang sedang
berlangsung dan direkomendasi untuk menghentikan fototerapi. 1,2,5
Penghentian dari fototerapi belum distandardisasi sehingga klinis harus
dinilai. Beberapa panduan menganjurkan penghentian fototerapi jika bilirubin
menurun 4-5 mg/dL, ada juga yang mengatakan kadar TSB harus turun sampai 13-14
mg/dL untuk anak yang masuk kembali karena hiperbilirubinemia. Miskonsepsi yang
sering adalah fototerapi yang dihentikan dapat menimbulkan hiperbilirubin kembali
sedangkan peristiwa rebound ini jarang terjadi pada bayi > 1800 gram dan tidak
terdapat bukti dari hemolisis. 1,2,5
Fototerapi aman tetapi dapat terjadi efek samping yang jarang. Bayi yang
kuning karena kolestasis dengan kenaikan bilirubin terkonjugasi dapat berpotensi
menjadi bronze infant syndrome (warna kulit, serum dan urin menjadi gelap atau abu-
29
coklat), sindrom ini tidak signifikan. Kontraindikasi fototerapi adalah kongenital
porfiria atau keluarga mempunyai riwayat porfiria, pada pasien ini efek samping
fototerapi yang dapat timbul adalah fotosensitivitas dan lepuh yang parah. 1,2,5
Gambar 7. Panduan fototerapi pada bayi di rumah sakit dengan gestasi ≥ 35 minggu5
Tabel 10. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan
cukup bulan.1
Usia Pertimbangan Terapi sinar Transfusi tukar Transfusi tukar
(jam) terapi sinar dan terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 µmol/L) ( >250 µmol/L) (>340 µmol/L) (425 µmol/L)
49-72 >15mg/dl >18 mg/dl >25mg/dl >30 mg/dl
(>250 µmol/L) (>300µmol/L) (425 µmol/L) (510µmol/L)
>72 >17 mg/dl >20mg/dl >25mg/dl >30mg/dl
(>290 µmol/L) (>340µmol/L (>425 µmol/L) (>510 µmol/L)
Tabel 11. Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan
Sakit ( >37 minggu)1
30
Neontaus kurang bulan sehat: Neontaus kurang bulan sakit:
Kadar Total Bilirubin Serum Kadar Total Bilirubin Serum
(mg/dl) (mg/dl)
Berat Terapi sinar Transfusi Terapi sinar Transfusi
tukar tukar
Hingga 1000 g 5-7 10 4-6 8-10
1001-1500 g 7-10 10-15 6-8 10-12
1501-2000 g 10 17 8-10 15
>2000 g 10-12 18 10 17
31
bilirubin pada sirkulasi dan antibodi yang berkontribusi untuk hemolisis yang sedang
berlangsung. Prosedurnya adalah mengambil sebagian darah bayi dan menggantinya
dengan donor kuantitas yang sama melalui satu atau dua kateter sentral sampai
volume darah bayi digantikan 2 kali. Infus albumin 1-4 jam sebelum prosedur dapat
meningkatkan bilirubin yang disingkirkan. Intravena imunoglobulin direkomendasi
pada bayi yang mempunyai penyakit isoimun hemolitik jika TSB tetap meningkat
meskipun telah difototerapi atau TSB 2-3 mg/dL dari level yang ditentukan untuk
transfusi tukar supaya tindakan transfusi tukar dapat dihindari. Dosis berikutnya dapat
diberikan dalam 12 jam jika diperlukan.2,7
Terapi ini direkomendasikan terutama jika memiliki penyakit hemolisis,
anemia berat, ataupun kenaikan bilirubin yang cepat yaitu diatas 1mg/dL/jam
dibawah 6 jam. Selain itu direkomendasikan bila ada tanda gejala ensefalopati akut:
Hipertoni, retrokolis, opistotonus, high pitched cry, demam, dan bilirubin serum total
5 mg/dL diatas garis patokan atau TSB ≥25 mg atau ≥20 mg pada bayi sakit atau
bayi < 38 minggu walaupun level TSB menurun. Risiko dari hiperbilirubinemia berat
dan rasio albumin/bilirubin harus dipikirkan untuk tindakan memulai transfusi tukar.
Terapi transfusi tukar berhasil pada bayi dengan hiperbilirubinemia berat, tetapi
terdapat banyak komplikasi seperti infeksi, trombosis portal vena, trombositopenia,
necrotizing enterocolitis, ketidakseimbangan elektrolit, gangguan keseimbangan
asam basa, gangguan kardiovaskular (perforasi pembuluh darah, emboli, infark,
aritmia, volume overload, arrest), graft vs host disease, dan kematian. Komplikasi
yang dilaporkan mencapai 12% karena itu fototerapi harus dimaksimalkan dahulu
untuk mengurangi kebutuhan transfusi tukar. 2,7
32
Gambar 8. Panduan terapi tukar pada bayi di rumah sakit dengan gestasi ≥ 35
minggu5
2.7 Pencegahan
Pada tahun 2004, American Academy of Pediatrics (AAP) mengeluarkan
rekomendasi-rekomendasi untuk pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia
pada bayi baru lahir (< 35 minggu atau lebih). Pencegahan merupakan suatu tindakan
yang paling penting karena bila sudah terjadi resiko maka tingkat terjadinya toksisitas
bilirubin menjadi tinggi dan dapat bersifat permanen. Oleh karena itu sebaiknya
dilakukan pencegahan yang dapat mengurangi kecemasan ibu, berkurangnya
breastfeeding, atau terapi yang tidak diperlukan. Pencegahan ini dititikberatkan pada
pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui, menunjang kestabilan bakteri
flora normal, dan merangsang aktifitas usus halus.1
Pencegahan Primer
33
Ibu dianjurkan untuk setidaknya menyusui sebanyak 8-12x setiap hari pada
beberapa hari pertama kehidupan bayi. Selain itu juga untuk tidak memberikan cairan
tambahan seperti dekstrosa atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak
mengalami dehidrasi.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder berupa melakukan penilaian terhadap resiko terjadinya
hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal. Penilaian yang dilakukan adalah
pemeriksaan golongan darah dan rhesus dan penyaringan serum untuk antibodi. Bila
golongan darah ibu tidak diketahui ataupun rhesus negatif, maka perlu dilakukan uji
coomb direk, serta pemeriksaan golongan darah dan tipe rhesus dari darah tali pusat
bayi. Selain itu direkomendasikan untuk melakukan monitor bayi setidaknya setiap 8-
12 jam untuk menilai timbulnya ikterus pada bayi disertai pemeriksaan tanda vital.
Pemeriksaan juga harus disertai kemampuan untuk memeriksa bilirubin serum total
ataupun bilirubin transkutaneus.
Evaluasi Laboratorium
AAP merekomendasikan untuk memeriksakan bilirubin transkutaneus atau
bilirubin total pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah
lahir. Lama jarak pengukuran ulang tergantung letak bilirubin, umur bayi, dan evolusi
hiperbilirubinemia. Indikasi lain berupa ikterus yang berlebihan, derajat ikterus
meragukan, bilirubin transkutaneus atau bilirubin serum total, terutama pada kulit
hitam. Kadar bilirubin kemudian dibandingkan dengan umur bayi menggunakan
normogram.
34
Penyebab Kuning
Mencari penyebab ikterus pada bayi yang mendapatkan fototerapi dan
memiliki bilirubin serum total yang meningkat cepat. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah analisa dan kultur urin, pemeriksaan untuk mengevaluasi sepsis jika
ada indikasi. Pada bayi yang ikterus lebih dari 3 minggu perlu dilakukan pemeriksaan
bilirubin total dan direk untuk mengevaluasi adanya kolestasis. Dilakukan juga
pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan terhadap
defisiensi G6PD pada bayi dengan memiliki resiko dan kecenderungan defisiensi
G6PD dan pada bayi dengan respon fototerapi yang buruk.
35
Rumah sakit direkomendasikan untuk menyediakan informasi tertulis dan
lisan kepada pasien mengenai kuning, melakukan monitor kuning pada bayi dan
penanganannya. Maka direkomendasikan oleh AAP untuk dilakukan pemeriksaan
oleh tenaga medis yang profesional beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit.
Tenaga medis tersebut akan menilai apakah ada kuning, faktor resiko untuk
terjadinya hiperbilirubinemia. Bila tindak lanjut tidak dapat dilakukan saat adanya
resiko untuk timbulnya hiperbilirubinemia berat, maka dilakukan penundaan pulang
dari rumah sakit, sampai tindak lanjut dapat dilakukan atau melewati periode waktu
yang memiliki resiko terbesar yaitu 72-96 jam. Pemeriksaan yang dilakukan oleh
tenaga medis adalah pengukuran berat badan dan perubahan persentasi berat lahir,
asupan yang adekuat, pola buang air besar dan buang air kecil, adanya kuning. Waktu
tindak lanjut yang direkomendasikan adalah pada usia 72 jam bagi yang keluar dari
rumah sakit sebelum usia 24 jam, pada usia 96 jam bila keluar dari rumah sakit pada
usia 24 – 47,9 jam, dan pada usia 120 jam bila keluar dari rumah sakit pada usia 48-
72 jam.
Tabel 14. Evaluasi bayi setelah keluar dari rumah sakit5
Bayi Keluar RS Harus dilihat saat umur
<24 jam 72 jam (3 hari)
24 - 47,9 jam 96 jam (4 hari)
48 – 72 jam 120 jam ( 5 hari)
2.8 Komplikasi
Kadar bilirubin yang terlalu tinggi menyebabkan meningkatnya deposisi
bilirubin tidak terkonjugasi pada jaringan-jaringan dan dapat menyebabkan toksisitas
bilirubin. Salah satu jaringan yang paling ditakuti kerusakannya adalah jaringan
sistem saraf pusat. Toksisitas pada sistem saraf pusat ini seringkali disebut
ensefalopati bilirubin akut sedangkan istilah kernikterus digunakan untuk perubahan
neuropatologi yaang ditandai oleh deposisi bilirubin terutama pada basal ganglia,
pons dan serebelum yaitu keadaan klinis yang kronik dengan sekuele yang permanen.
36
Deposisi bilirubin pada basal ganglia dan nukleus batang otak dapat menyebabkan
jejas-jejas dan fibrosis.
Umumnya efek toksik dari deposisi bilirubin bersifat ireversibel. Gejala awalnya
tidak khas dan timbul pada usia hari 3-4, walaupun kondisi hiperbilirubinemia dapat
berlanjut menjadi kernikterus pada usia neonatus berapapun. Pada bayi yang selamat
ensefalopati bilirubin kronik dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan dan
motorik, tuli sensorik, dan retardasi mental ringan.1,2,7
Mekanismenya belum begitu diketahui, namun dicurigai akibat berlebihnya
bilirubin yang tidak terkonjugasi dibanding jumlah albumin dalam darah, akibatnya
sebagian bilirubin yang tak terkonjugasi dapat menembus sawar darah otak.
Umumnya kadar bilirubin total yang dapat menyebabkan kernikterus tidak diketahui
secara tepat. Namun kernikterus dapat lebih diwaspadai pada bayi tanpa hemolisis
dengan bilirubin total > 25 mg/dL dan pada bayi dengan hemolisis, nilai bilirubin
total >20 mg/dL. 1,2,7
37
Paralisis
upward-gaze
BAB III
KESIMPULAN
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Sholeh K, Ari Y, Rizalya D, Gatot IS, Ali U. 2010. Buku Ajar Neonatologi.
Edisi pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; p. 147-169
2. Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
3. Lauer B, Spector N. Hyperbilirubinemia in the Newborn. Pediatrics in
Review. 2011;32(8):341-349.
4. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of
Pediatrics (17th Edition). Philadelphia PA: Saunders; 2004.
5. Maisels M, Bhutani V, Bogen D, Newman T, Stark A, Watchko J.
Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant >=35 Weeks' Gestation: An
Update With Clarifications. PEDIATRICS. 2009;124(4):1193-1198.
6. Schwoebel A, Gennaro S. Neonatal hyperbilirunemia. J Perinat Neonat Nurs
2006;20:103-7.
7. Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks
of Gestation. PEDIATRICS. 2004;114(1):297-316.
8. Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jilid 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
39