You are on page 1of 39

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


 

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL

Disusun oleh:
Valleria Vallencia – 01073180069

Pembimbing:
dr. Tjangeta Liempy, SpAn

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 17 FEBUARI – 22 MARET 2020
JAKARTA
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................2

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal.............................................................2

2.1.1 Nefron........................................................................................3

2.1.2 Sirkulasi Ginjal..........................................................................7

2.2 Acute Kidney Injury............................................................................9

2.2.1 Epidemiologi.............................................................................10

2.2.2 Faktor Risiko.............................................................................10

2.2.3 Etiologi......................................................................................10

2.3 Penyakit Ginjal Kronis.......................................................................12

2.3.1 Epidemiologi.............................................................................13

2.3.2 Stadium dan Kriteria Penyakit Ginjal Kronis............................14

2.3.3 Patofisiologi...............................................................................17

2.3.4 Manifestasi................................................................................19

2.4 Evaluasi Fungsi Ginjal.......................................................................21

2.5 Agen Anestesi pada Pasien Gagal Ginjal...........................................26

2.6 Manajemen Anestesi..........................................................................32

2.6.1 Manajemen Preoperatif.............................................................32

2.6.2 Manajemen Intraoperatif...........................................................34

2.6.3 Terapi Cairan.............................................................................35

BAB III KESIMPULAN.....................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................37

2
BAB I
PENDAHULUAN

Pada negara berkembang, acute kidney injury (AKI) banyak disebabkan oleh
beberapa faktor seperti iskemik renal, sepsis dan obat-obatan nefrotoksik.
Terdapat sebuah studi obersavsional multisenter yang meneliti sebesar 29,269
sampel pasien critically ill. Sebanyak 5.7% pasien mengalami AKI dengan tingkat
mortalitas 60.3%. Sedangkan berdasarkan riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013
terdapat 12.5% populasi Indonesia mengalami penyakit ginjal kronis (PGK).1–3
Berdasarkan fisiologi, ginjal memiliki peran dalam eliminasi obat-obatan
serta regulasi berbagai mekanisme lainnya seperti regulasi volum dan komposisi
cairan tubuh dan hormon seperti renin, eritropoietin dan vitamin. Terdapat
beberapa faktor direk dan indirek yang berhubungan dengan anestesi pada pasien
dengan gagal ginjal. Sebagian besar obat anestetik intravena seperti propofol,
barbiturat, ketamin, benzodiazepin, opioid, penyekat kolinesterase, relaksan otot
dan antikolinergik dikeluarkan oleh tubuh dengan eliminasi melalui ginjal.
Begitupun obat inhalasi seperti enflurane, desflurane dan sevoflurane yang
sebagian memiliki efek terhadap fungsi ginjal.4–7
Oleh karena itu, pada topik ini akan dilakukan pembahasan mencakup
anestesi terhadap pasien dengan gagal ginjal melalui penjelasan mengenai
fisiologis & anatomi ginjal, AKI, PGK, evaluasi fungsi ginjal, agen anestesi yang
mempengaruhi ginjal serta manajemen preoperatif hingga perioperatif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan dua organ berbentuk kacang yang berada diantara


kolum vertebral abdomen posterior (ruang retroperitoneal) dan di bawah
diafragma (Gambar 1). Setiap individu memiliki dua ginjal setinggi vertebra
torakal 12 untuk ginjal kiri dan vertebra lumbal 3 pada ginjal kanan yang
posisi lebih rendah akibat terdapat hepar di atasnya. Setiap ginjal dilindungi
oleh membran fibrosa halus tipis yang disebut kapsula renalis yang berfungsi
sebagai lapisan proteksi dan mengandung reseptor nyeri serta mencegah
pembengkakan ginjal.8

Gambar 1. Anatomi Ginjal8

Parenkim ginjal terdiri dari 3 area yaitu korteks, medula dan pelvik.
Korteks merupakan bagian terluar yang mengandung glomerulus dan 85%
tubulus nefron. Korteks juga aktif secara metabolik sehingga metabolisme
aerobik terjadi disini begitupula glukosa dan amonia. Medula merupakan
bagian tengah dari ginjal yang terdiri atas 8-18 piramid ginjal. Piramid
merupakan kumpulan dari tubulus kolektvus, loop of Henle dan duktus
kolektivus. Kolum ginjal memanjang dari korteks hingga medula di antara
piramid dan terdiri atas pembuluh darah serta saraf. Pelvis berada di dalam
sinus ginjal dan terdiri atas cup-like structure yang disebut sebagai kalises.
Pelvis ginjal berfungsi untuk drainase urin dari duktus kolektivus hingga
ureter.8

4
Ginjal berperan penting dalam regulasi volum dan komposisi cairan tubuh,
eliminasi toksin dan regulasi hormon seperti renin, eritropoietin dan vitamin
D. Faktor direk dan indirek berhubungan dengan prosedur operasi dan
manajemen anestetik dapat mengubah fisiologis dan fungsi ginjal yang
menyebabkan kelebihan cairan perioperatif, hipovolemia dan acute kidney
injury (AKI).4

Tabel 1. Fungsi Nefron4

5
2.1.1 Nefron
Nefron terdiri atas renal corpuscle, tubulus kontortus proksimal, loop of
Henle, tubulus kontortus distal, tubulus kolektivus dan aparatus
juxtaglomerular (Gambar 2).4,7

Gambar 2. Anatomi Nefron4

 Renal Corpuscle

Setiap renal corpuscle mengandung glomerulus yang terdiri atas


kumpulan kapiler di dalam kapsul Bowman untuk filtrasi darah.
Aliran darah disalurkan melalui sebuah arteriol aferen dan dialirkan
keluar dari ginjal melalui sebuah arteriol eferen.4,7
Tekanan filtrasi glomerular (rata-rata 60 mmHg) memiliki nilai
normal 60% dari mean arterial pressure (MAP) dan diregulasi oleh
tekanan onkotik plasma (25 mmHg) dan tekanan interstitial ginjal
(10 mmHg). Tonus arteriol aferen dan eferen penting dalam

6
mengatur tekanan filtrasi glomerular. Nilai tekanan filtrasi sejajar
dengan tonus arteriol eferen namun berbanding terbalik dengan
tonus aferen.4,7
 Tubulus Proksimal

Sekitar 65-75% ultrafiltrasi dari kapsul Bowman akan direabsorpsi


secara isotonik (jumlah proposional air dan sodium) di tubulus
proksimal (Gambar 3). Fungsi utama tubulus proksimal yaitu
reabsorpsi Na+ secara aktif melalui Na+-K+-ATPase. Angiotensin II
dan norepinefrin meningkatkan reabsorpsi Na+ sedangkan dopamin
dan fenoldopam menurunkan reabsorpsi Na+ melalui aktivasi
reseptor D1.4,7

Perpindahan melalui aktivitas Na+-K+-ATPase (pertukaran


3Na+ untuk 2K+) diikuti dengan absorpsi kation lain (K+, Ca2+ dan
Mg2+) dan sekresi H+. Tubulus proksimal juga dapat sekresi kation
dan anion organik. Kation organik seperti kreatinin, simetidin dan
quinidin serta anion organik meliputi urat, ketoacids, penisilin,
sefalosporin, diuretik, salisilat dan radiokontras.4,7
 Loop of Henle

Loop of Henle terdiri dari descending dan ascending. Bagian ini


bertugas untuk mempertahankan insterstitial medular hipertonik dan
secara indirek membentuk urin untuk tubulus kolektivus. Hanya 25-
35% ultrafiltrasi kapsul Bowman mencapai loop of Henle sehingga
setelah sampai di sana, 15-20% sodium yang terfiltrasi akan
direabsorpsi. Proses reabsorpsi air dan komponen lainnya terjadi
secara pasif mengikuti konsentrasi dan gradien osmotik.4,7
 Tubulus Distal

Pada bagian ini, cairan hipotonik diterima dari loop of Henle


dan dilakukan modifikasi minor terhadap cairan. Reaborpsi sodium
hanya sekitar 5% karena dinding tubulus lebih padat sehingga
impermeabel terhadap air dan sodium.4,7
 Tubulus Kolektivus

Tubulus kolektivus dibagi menjadi dua bagian yaitu kortikal dan


7
medularis. Kedua bagian tersebut akan reabsorpsi sekitar 5-7%
sodium.4,7

Tubulus kolektivus kortikal memiliki dua jenis tipe sel, yang


terdiri atas (1) principal cells (sel P) yang bertugas untuk sekresi
potasium dan reabsorpsi Na+ melalui aldosteron dan (2) intercalated
cells (sel I) untuk regulasi asam-basa.4,7

Tubulus kolektivus medularis merupakan tempat hormon


antidiuretik bekerja. Hormon ini stimulasi ekspresi aquaporin-2 di
sel membran. Jika tubuh terhidrasi cukup, hormon antidiuretik akan
disupresi sehingga cairan dapat melewati tubulus kolektivus dan
tetap hipotonik (100-200 mOsm/L). Di bagian ini juga bertanggung
jawab untuk keasaman urin.4,7
 Aparatus Juxtaglomerular

Bagian kecil ini terdiri atas arteriol aferen, sel juxtaglomerular,


ascending dan end of thick loop of Henle dan makula densa. Sel
juxtaglomerular mengandung enzim renin dan diinervasi oleh
sistem saraf simpatetik.4,7
Renin disekresikan saat terjadi hipovolemia terbuka (hemoragik,
diuresis atau kehilangan sodium) atau tertutup (gagal jantung
kongestif, sepsis atau asites). Penurunan perfusi arteri renalis
memicu aktivasi baroreseptor di arteriol aferen. Pengeluaran renin
bergantung pada stimulasi adrenergik 1, perubahan tekanan
dinding arteriol aferen dan perubahan aliran klorida di makula
densa. Renin bekerja pada angiotensinogen, yang merupakan
glikoprotein yang dihasilkan oleh hati, mengubah menjadi
angiotensin I. Di ginjal dan paru, angiotensin I dipecah oleh
angiotensin-converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang
merupakan vasokontriktor poten. Angiotensin II menyebabkan
vasokonstriksi kortikal ginjal di arteriol eferen. Perubahan ini
berfungsi untuk mempertahankan filtrasi golerular akibat penurunan
renal blood flow (RBF) atau tekanan perfusi.
Angiotensin II juga menyebabkan retensi garam dan air dengan

8
stimulasi sekresi aldosteron di korteks adrenal serta menghambat
sekresi renin melalui mekanisme negatif umpan balik.4,7

Gambar 3. Sistem Renin-


Angiotensin7

2.1.2 Sirkulasi Ginjal

Aliran darah ke ginjal sekitar 20-25% dari total cardiac output.


Renal blood flow (RBF) akan menuju nefron kortikal sebanyak 80%
dan hanya 10-15% ke nefron juxtamedular.4,7
Setiap ginjal disuplai darah melalui sebuah arteri renalis yang
berasal dari aorta. Arteri renalis akan dipecah di pelvis menjadi arteri
interlobaris yang berubah menjadi arteri arkuata di antara korteks dan
medula ginjal. Arteri arkuata dipecah menjadi cabang interlobular untuk
suplai darah ke setiap nefron (Gambar 4).4,7

Gambar 4. Sirkulasi Ginjal4

Regulasi RBF melalui beberapa mekanisme seperti autoregulasi


intrinsik, keseimbangan tubuloglomerular dan pengaruh hormonal serta
neuronal.4,7
 Autoregulasi Intrinsik

9
Autoregulasi RBF secara normal terjadi pada MAP antara 80-180
mmHg dan akibat respon miogenik terhadap arteriol aferen
glomerulus untuk perubahan tekanan darah. Melalui respon ini,
RBF dan GFR akan selalu konstan dengan penyesuaian
vasokontriksi dan vasodilatasi arteriol aferen. Di luar limit
autoregulasi, RBF akan diatur melalui tekanan. Filtrasi glomerulus
akan terganggu jika MAP kurang dari 40-50 mmHg.4,7
 Keseimbangan dan Umpan Balik Tubuloglomerular

Umpan balik tubuloglomerular memiliki peran penting dalam


mempertahankan GFR. Peningkatan aliran tubular terjadi akibat
penurunan GFR, sebaliknya, penurunan aliran tubular karena
peningkatan GFR. Namun mekanisme tersebut masih belum
dimengerti secara jelas. Makula densa muncul sebagai bagian yang
bertanggung jawab dalam umpan balik tubuloglomerular dengan
memicu reflek tonus arteriol aferen dan permeabilitas kapiler
glomerulus.4,7
 Regulasi Hormonal

Peningkatan tekanan arteriol aferen glomerulus stimulasi


pelepasan renin dan formasi angiotensin II. Angiotensin II
menyebabkan vasokonstriksi arteri secara general dan menurunkan
RBF. Katekolamin adrenal (epinefrin dan norepinefrin) secara direk
meningkatkan tonus arteriol aferen namun tidak menyebabkan
penurunan GFR secara signifikan karena agen tersebut juga
meningkatkan pelepasan renin dan formasi angiotensin II.4,7

Atrial natriuretic peptide (ANP) dilepas dari miosit atrial dalam


respon terhadap distensi atrial. Peptida ini adalah dilator otot halus
dan antagonis vasokontriksi dari norepinefrin dan angiotensin II.

Atrial natriuretic peptide juga dilatasi arteriol aferen glomerulus,


konstriksi arteriol eferen glomerulus dan relaksasi sel mesangial
sehingga GFR akan meningkat. Peptida ini juga menghambat
pelepasan renin dan angiotensin.4,7
 Regulasi Neuronal dan Parakrin
10
Saraf simpatetik inervasi aparatus juxtaglomerular (1) serta
vaskularisasi ginjal (1). Inervasi ini bertugas untuk reduksi stress
di RBF. Reseptor adrenergik 1 meningkatkan reabsorpsi sodium
di tubulus proksimal sedangkan 2 menurunkan reabsorpsi dan
meningkatkan ekskresi air. Dopamin dan fenoldopam dilatasi
arteriol aferen dan eferen melalui aktivasi reseptor D1. Tidak seperti
dopamin, fenoldopam selektif terhadap reseptor D1. Aktivasi
reseptor D2 di neuron simpatetik paskaganglion presinaptik dapat
juga vasodilatasi arteriol melalui inhibisi sekresi norepinefrin
(umpan balik negatif).Dopamin dilepas ke tubulus mengikat
reseptor dopaminergik untuk menurunkan reabsorpsi Na+.4,7

2.2 Acute Kidney Injury

Penurunan fungsi dan kerusakan struktural ginjal yang terjadi secara


cepat (jam hingga hari) disebut acute kidney injury (AKI) atau nama lain
gagal ginjal akut. Definisi menyeluruh AKI telah dibentuk oleh beberapa
konsensus seperti Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO)
2012; Risk, Injury, Failure, Loss, End-stage (RIFLE) criteria 2004 and Acute
Kidney Injury Network (AKIN) 2007.1,9–11

Tabel 2. Komparasi Definisi AKI9

2.2.1 Epidemiologi

Pada area perkotaan di negara berkembang, penyebab utama AKI


merupakan iskemik renal, sepsis dan obat nefrotoksik. Sedangkan pada
area pedesaan, penyebab lebih sering karena faktor komunitas seperti
diare, dehidrasi, penyakit infeksi dan racun binatang.1
11
Studi observasional multisenter menggunakan kriteria RIFLE
mendapati jumlah sampel sebesar 29,269 pasien critically ill. Sebanyak
5.7% pasien mengalami AKI, 10 persennya masuk dalam kategori risk,
5% dalam kategori injury dan 3.5% masukkategori failure. Etiologi
tersering berupa syok sepsis sebesar 47.5% dan tingkat mortalitas 60.3%
sertai peningkatan mortalitas linear dengan derajat keparahan AKI.2

2.2.2 Faktor Risiko

Usia, penyakit komorbid, proteinuria, obat nefrotoksik, pembedahan


mayor, sepsis dan status volume merupakan faktor risiko AKI. Penyakit
komorbid dapat berupa penyakit ginjal kronis, diabetes, hipertensi,
penyakit jantung koroner, gagal jantung, gangguan hati dan penyakit paru
obstruksi kronik. Proteinuria dengan glomerular filtration rate (GFR)
lebih dari 60 ml/menit/1.73m2 atau peningkatan rasio albumin/kreatinin
urin memiliki risiko AKI.2,12

2.2.3 Etiologi

Acute kidney injury terjadi karena gangguan distribusi nutrisi dan oksigen
(gangguan mikrosirkulasi) ke nefron dan peningkatan konsumsi energi
(stress selular). Etiologi dibagi menjadi tiga kategori meliputi pre- renal,
intrinsik dan paska renal.1
Pada AKI pre-renal terjadi hipoperfusi ginjal yang menyebabkan
penurunan GFR (tanpa merusak parenkim ginjal). Menjaga fungsi GFR
normal memerlukan perfusi ginjal yang adekuat. Ginjal menerima hingga
25% cardiac output sehingga kegagalan apapun yang terjadi pada
sirkulasi sistemik dapat mengganggu perfusi.1,10
Klasifikasi berikutnya, AKI intrinsik meliputi empat struktur ginjal
seperti tubulus, glomerulus, interstitial dan pembuluh darah intra-renal.
Acute tubular necrosis (ATN) merupakan AKI yang terjadi akibat
kerusakan tubulus. Bentuk ini adalah jenis AKI tersering pada klasifikasi
intrinsik. Jika AKI merusak glomerulus dapat terjadi glomerulonefritis
akut. Pada gangguan vaskular menyebabkan penurunan perfusi ginjal dan

12
GFR sedangkan kerusakan interstitial terjadi karena reaksi alergi terhadap
beberapa obat atau infeksi.1

Paska renal AKI terjadi akibat obstruksi ginjal. Penyebab tersering


meliputi nefrolitiasis, benign prostatic hypertrophy dan iatrogenik.
Terdapat empat jenis kalkulus ginjal seperti kalsium, asam urat, struvit
dan sistein. Beberapa obat ada yang sulit larut pada urin sehingga terjadi
pengkristalan dan menyebabkan obstruksi di sistem kolektivus.1,9

Tabel 3. Etiologi AKI9

2.3 Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit ginjal kronis (PGK) adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal
yang menetap >3 bulan. Kerusakan ginjal mengacu pada bentuk kelainan yang
luas saat pemeriksaan, yang mungkin kurang sensitif dan spesifik untuk
mengetahui penyebab tetapi dapat memberikan sugestif reduksi fungsi ginjal
(Tabel 4). Glomerular filtration rate (GFR) secara luas diterima sebagai

13
pacuan index fungsi ginjal. Dikatakan penurunan GFR jika ditemukan GFR
<60 ml/min/1.73m2 dan pada saat GFR < 15 ml/min/1.73m2, seseorang
dikatakan mengalami end stage renal disease (ESRD). Pada kondisi ESRD,
fungsi ginjal tidak dapat berfungsi mengatur tubuh secara jangka panjang
sehingga pilihan untuk pengobatan yaitu renal replacement therapy (RRT)
dalam bentuk dialisis atau transplantasi ginjal dan pilihan kedua adalah
penanganan konservatif (disebut juga paliatif atau penanganan non-
dialisis).13,14

Tabel 4. Kriteria PGK15

Tanda kerusakan ginjal Albuminuria (AER >30mg/24h; ACR >30mg/g)


Kelainan sedimen urin
Kelainan elektrolit
Kelainan histologi
Kelainan struktural melalui pencitraan
Riwayat transplantasi ginjal

Penurunan GFR 60 ml/min/1.73m2

AER = Albumin excretion rate; ACR = Albumin-to-creatinine ratio

2.3.1 Epidemiologi

Berdasarkan riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013, prevalensi pasien


dengan PGK sebesar 12,5%. Prevalensi tersebut meningkat seiring
bertambahnya umur dan mengalami peningkatan tajam pada kelompok
umur 35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 23-34 tahun (Gambar
5). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).
Angka kejadian PGK juga lebih tinggi pada masyarakat perdesaan
(0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,

14
petani/nelayan/buruh (0,3%). Di DKI Jakarta, terdapat 0,1% pasien
terdiagnosis penyakit ginjal kronik. Namun, provinsi dengan prevalensi
tertinggi adalah Sulawesi Tengah 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo dan
Sulawesi Utara dengan angka 0,4%.3

Gambar 5. Prevalensi PGK di Indonesia tahun 20133

15
2.3.2 Stadium dan Kriteria Penyakit Ginjal Kronis

Penilaian stadium PGK diklasifikasikan berdasarkan penyebab,


kategori GFR dan albuminuria. Penyebab PGK ditentukan dari ada atau
tidaknya penyakit sistemik dan lokasi kelainan di ginjal melalui
observasi atau patologi anatomi.13

Gambar 6. Stadium PGK13

Pada Gambar 6, warna hijau menandakan risiko rendah namun bila


tidak ada test penilaian penyakit ginjal, maka tidak termasuk dalam
PGK. Warna kuning menggambarkan risiko sedang, diikuti warna
oranye menandakan risiko tinggi dan pada warna merah menunjukkan
risiko sangat tinggi.13

Tabel 4 merupakan kriteria lengkap untuk PGK. Penggunaan kriteria


sebagai definisi PGK merupakan penilaian objektif dan dapat ditentukan
melalui tes laboratorium tanpa identifikasi penyebab sehingga deteksi
dini PGK dapat ditemukan oleh dokter umum dan petugas kesehatan
lainnya.13
Identifikasi faktor risiko penting dalam mencegah meningkatnya
risiko PGK. Faktor risiko meliputi berat lahir rendah, obesitas, hipertensi,
diabetes melitus, penyakit autoimun, usia tua, riwayat keluarga dengan
penyakit ginjal, pernah mengalami acute kidney injury (AKI) dan
ditemukannya proteinuria atau kelainan struktural traktur urinarius.

16
Penggunaan obat anti inflamatorik non-steroidal (OAINS) juga
berhubungan dengan progresivitas PGK dan penggunaan yang sering
dapat menurunkan GFR secara reversibel.13
Tabel 4. Kriteria untuk definisi PGK13,16

17
2.1.1 Patofisiologi

Terdapat 2 mekanisme yang berhubungan dengan PGK, yaitu (1)


memulai mekanisme spesifik berdasarkan etiologi (kelainan genetik
pada ginjal, inflamasi imun kompleks di glomerulonefritis, atau paparan
toksin di tubulus ginjal dan interstitium) dan (2) mekanisme progresif
yang menyangkut hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang secara jangka
panjang dapat menyebabkan reduksi massa ginjal. Respon terhadap
reduksi jumlah nefron disebabkan oleh hormon vasoaktif, sitokin dan
growth factors. Hipertrofi dan hiperfiltrasi menyebabkan peningkatan
tekanan dan aliran dalam nefron sehingga terjadi distorsi glomerular,
gangguan fungsi podosit dan gangguan filtrasi yang kedepannya
menjadi sklerosis dan kegagalan fungsi nefron (Gambar 7). Peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin di intrarenal memberikan kontribusi

pada hiperfiltrasi, hipertrofi dan sklerosis.15


Gambar 7. Kiri: skema normal glomerular. Kanan: perubahan
glomerular sekunder yang berhubungan dengan reduksi jumlah nefron,
termasuk pelebaran lumen kapiler dan adesi fokal.15

Manifestasi patologik lainnya adalah fibrosis ginjal. Keadaan tersebut


menggambarkan kegagalan penyembuhan luka di jaringan ginjal karena

18
kerusakan menetap dan kronik pada ginjal, dengan ciri-ciri seperti
glomerulosklerosis, atrofi tubular dan fibrosis interstitial.15

Glomerulosklerosis terjadi karena kerusakan dan disfungsi endotel,


proliferasi sel mesangial dan sel otot polos dan destruksi podosit yang
secara normal berada di glomerular basement membrane (GBM).
Faktor risiko glomerulosklerosis progresif yaitu hipertensi, dislipidemia
dan merokok. Mikroinflamasi glomerular berawal dari aktivasi sel
endotel dalam respon terhadap hipertensi dan sel inflamatorik
merangsang sel mesangial untuk berproliferasi. Transforming growth
factor beta-1 dan faktor proliferasi lainnya (seperti platelet-drived
growth factor, fibroblast growth factor, tumor necrosis factor dan
interferon gamma) stimulasi sel mesangial regresi menjadi
mesangioblas (sel mesangial imatur). Mesangioblas memiliki
kemampuan untuk memproduksi matriks ekstraseluler berlebih,
menyebabkan ekspansi mesangial yang merupakan tanda awal
glomerulosklerosis. Perenggangan podosit mengakibatkan GBM adesi
ke kapsul Bowman sehingga terjadi glomerulosklerosis.15

Atrofi tubular, fibrosis interstitial dan jaringan parut berhubungan


dengan GFR dan proteinuria. Sel epitel tubular distimulasi untuk
sintesis produk inflamatorik seperti reactive oxygen species dan
chemokines oleh variasi abnormal protein urin (komplemen, sitokin dan
albumin). Agen- agen tersebut menarik sel inflamatorik ke interstitium
ginjal dan mengalami interaksi dengan myofibroblas ginjal. Saat
fibrosis terjadi, epitel tubular yang terluka kehilangan kemampuan
regerenasi dan mengalami apoptosis, berujung pada atrofi tubular dan
menciptakan glomerulus non-fungsional.15

Ginjal memiliki metabolisme aktif yang tinggi sehingga memerlukan


suplai oksigen yang tinggi. Saat kerusakan PGK awal, kapiler
interstitial mengalami peningkatan permeabilitas (kidney capillary leak
syndrome) sehingga protein plasma dapat masuk ke interstitium ginjal
dan mengaktifkan respon inflamatorik. Penurunan progresif di
permukaan kapiler interstitial menyebabkan hipoksia di ginjal dan

19
mempengaruhi fungsi sel sehat yang biasanya terlibat dalam degradasi
kolagen yang disintesis (dan didegradasi oleh matriks metaloproteinase,
protease serin dan ezim lisosom) oleh ginjal sehat. Kolagen (kolagen
fibrilar I & II), protein membran basal, proteoglikan dan glikoprotein
menjadi terdeposit secara kronik di ginjal yang rusak.15

2.3.3 Manifestasi

Abnormalitas metabolik seperti hiperkalemia, hiperfosfatemia,


hipocalcemia, hipermagnesemia, hiperurisemia and hipoalbuminemia
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal. Retensi air dan sodium terjadi
akibat hiponatremia dan kelebihan cairan ekstraselular. Hiperkalemia
merupakan konsekuensi yang berbahaya dari gagal ginjal. Hal tersebut
terjadi pada pasien dengan creatinine clearances kurang dari 5
mL/menit. Hypermagnesemia hanya terjadi peningkatan yang ringan
kecuali terdapat asupan magnesium yang meningkat (antasid yang
mengandung magnesium). Hipokalsemia akibat resistensi terhadap
hormon paratiroid dan penurunan absorpsi kalsium di usus. Pasien
dengan gagal ginjal mengalami kehilangan protein jaringan secara cepat
dan hipoalbuminemia.5,6

Gangguan hematologik berupa anemia yang muncul saat creatinine


clearance di bawah 30 mL/menit. Konsentrasi hemoglobin sekitar 6-8
g/dL akibat penurunan produksi eritropoietin, produksi sel darah merah
dan ketahanan hidup sel darah merah. Faktor tambahan lainnya dapat
berupa perdarahan gastrointestinal, hemodilusi, supresi sumsum tulang.
Walaupun dengan transfusi, sulit untuk mempertahankan konsentrasi
hemoglobin di atas 9 g/dL. Jika tidak memiliki penyakit jantung, rata-
rata pasien dengan PGK dapat toleransi anemia dengan baik. Bleeding
time juga memanjang akibat penurunan aktivitas platelet factor 3,
agregasi platelet abnormal dan tingkat perlekatannya. Gangguan
platelet factor 3 berhubungan dengan dialisis.5,6

Gangguan kardiovaskular meliputi peningkatan cardiac output (CO)


untuk mempertahankan oksigen akibat penurunan kapasitas darah yang

20
mengikat oksigen. Retensi sodium dan gangguan sistem renin-
angiotensin mengakibatkan hipertensi arterial sistemik. Hipertrofi
ventrikel kiri sering dijumpai pada PGK. Kelebihan cairan ekstraselular
dari retensi sodium, serta peningkatan kebutuhan jantung akibat anemia
dan hipertensi membuat pasien PGK cenderung memiliki gagal jantung
kongestif dan edema pulmonal. Aritmia termasuk gangguan konduksi
sering terjadi dan berhubungan dengan abnormalitas metabolik seperti
deposisi kalsium di sistem konduksi.5,6

Pada respiratorik pasien PGK akan mengalami peningkatan ventilasi


akibat kompensasi asidosis metabolik. Air ekstravaskular pulmonal
akan meningkat dalam bentuk edema interstitial. Peningkatan
permeabilitas membran alveoli-kapiler menyebabkan edema pulmonal
walaupun dengan tekanan kapiler pulmonal yang normal.5,6

Gangguan endokrin berupa toleransi glukosa yang abnormal akibat


resistensi insulin perifer (diabetes melitus tipe 2 salah satu penyebab
tersering dari PGK). Hiperparatiroidism sekunder di pasien dengan
PGK dapat memproduksi penyakit tulang metabolik yang rentan
fraktur. Gangguan metabolisme lipid menyebabkan hipertrigliserida dan
mempercepat aterosklerosis.5,6

Anoreksia, mual, muntah dan ileus adalah manifestasi


gastrointestinal pada uremia. Hipersekresi asam lambung meningkatkan
insidensi ulser peptik dan perdarahan gastrointestinal yang terjadi pada
10-30% pasien. Pasien dengan PGK juga memiliki peningkatan risiko
hepatitis B dan C disertai disfungsi hepar.5,6

Kelainan neurologis dari ensefalopati uremikum berupa asteriksis,


letargis, kejang dan koma serta gejala berhubungan dengan derajat
azotemia. Neuropati autonomik dan perifer sering pada pasien dengan
PGK. Neuropati perifer cenderung mengenai sensorik dan bagian
ekstremitas bawah.5,6

21
Gejala yang ditimbulkan (Gambar 8) dapat berupa pucat karena
anemia, hipertensi, sesak nafas yang disebabkan penumpukan cairan,
gatal dan keram, gangguan kognitif, nafsu makan menurun, muntah,
polyuria/oligouria, hematuria dan edema perifer.14
Gambar 8. Tanda dan gejala pada PGK14

2.4 Evaluasi Fungsi Ginjal

Gangguan ginjal dapat ditemukan secara tidak sengaja saat evaluasi kesehatan
rutin atau saat pasien memiliki gejala disfungsi ginjal seperti hipertensi, edema,
mual dan hematuria. Evaluasi gangguan ginjal meliputi estimasi durasi penyakit,
urinalisis dan GFR.6

22
Tabel 5. Tes Rutin Pemeriksaan Fungsi Ginjal6

Pada Gambar 9, diagnosis AKI tergantung pada konteks klinis, derajat


keparahan dan durasi AKI. Dikarenakan AKI merupakan gangguan sistemik
maka penting melakukan evaluasi fungsi ginjal melalui blood urea nitrogen,
serum kreatinin, output urin, metabolik dan fungsi imunologik ginjal. Terdapat
pula beberapa biomarker untuk AKI seperti sistatin C, neutrophil gelatinase-
associated lipocalin, interleukin-18 dan kidney injury molecule-1.5,10
Glomerular filtration rate (GFR) adalah indikator fungsi glomerulus
terbaik. Nilai normal GFR sekitar 125 mL/menit. Manifestasi klinis tidak akan
tampak pada penurunan GFR hingga 50% dari normal. Pasien tetap
asimtomatik dengan bukti biokimia penurunan GFR seperti peningkatan
konsentrasi serum urea dan kreatinin. Jika GFR semakin menurun, tanda dan
gejala gangguan ginjal mulai muncul. Tanda-tanda uremia dan abnormalitas
biokimia seperti acidemia, volume overload, gangguan neurologis, jantung
dan respiratorik akan terjadi. Jika GFR hanya 5-10% dari normal, maka
disebut sebagai end-stage renal disease (ESRD).2,5,6

Sumber utama urea pada tubuh adalah hepar. Saat katabolisme protein,
ammonia diproduksi dari deaminasi asam amino. Hepar melakukan konversi
ammonia menjadi urea untuk mencegah akumulasi level ammonia yang
toksik. Blood urea nitrogen (BUN) beruhubungan dengan katabolisme
protein dan filtrasi glomerulus. Sebanyak 40-50% urea yang terfiltrasi ginjal
akan direasorpsi secara pasif oleh tubulus ginjal. Konsentrasi normal BUN
adalah 10-20 mg/dL. Jika BUN di bawah nilai normal berarti terdapat
kerusakan hepar sedangkan peningkatannya dapat terjadi karena penurunan
GFR atau peningkatkan protein katabolisme (trauma atau sepsis). Konsentasi
BUN yang melebihi 50 mg/dL sangat berhubungan dengan kerusakan fungsi
ginjal. Namun, BUN tidak akan meningkat pada gangguan ginjal jika GFR
belum menurun 75% dari normal.5,6,9

23
Gambar 9. Alur Diagnostik AKI5,10

Serum kreatinin merupakan produk dari metabolisme otot yang di


konversi secara nonenzimatik. Produksi normal rata-rata manusia relatif
konstan dan bergantung massa otot, 20-25 mg/kg pada laki-laki dan 15-20
mg/kg pada wanita. Massa otot yang relatif konstan membuat serum kreatinin
dapat digunakan untuk menilai fungsi GFR. Konsentrasi normal serum
kreatinin pada laki-laki 0.8-1.3 mg/dL dan 0.6-1 mg/dL pada wanita.
Peningkatan dua kali lipat serum kreatinin menggambarkan penurunan fungsi
GFR sebesar 50%. Namun terdapat beberapa faktor yang dapat merancukan
intepretasi serum kreatinin pada AKI.5,12

Gambar 10. Faktor Perancu Serum Kreatinin pada AKI5

Perhitungan Creatinine clearance merupakan metode paling akurat dalam


menilai fungsi ginjal (nama lain GFR). Gangguan fungsi ginjal ringan jika
creatinine clearance 40-60 ml/menit. Clearances antara 25-40 ml/menit
24
merupakan disfungsi ginjal sedang dan mulai muncul gejala. Pada creatinine
clearance kurang dari 25 ml/min merupakan indikasi gagal ginjal. Rumus
creatinine clearance menggunakan indikator usia, berat badan (dalam
kilogram) dan kreatinin plasma. Pada wanita, rumus dikalikan 0.85 untuk
kompensasi massa otot yang lebih kecil.1,5

Glomerular filtration rate (GFR) dapat digunakan secara tidak langsung


sebagai acuan filtrasi eksogen. Standar acuan adalah inulin, yang tidak
mengikat pada protein plasma dan secara bebas difiltrasi oleh ginjal. Inulin
tidak mengalami metabolisme, sekresi tubular atau reabsorpsi sehingga secara
langsung di eksresikan oleh urin melalui filtrasi glomerulus. Namun inulin
jarang dipakai dalam praktik keseharian karena tidak mudah dan mahal.14

Cara mudah dan murah dalam memantau fungsi ginjal dapat menggunakan
metode perhitungan GFR melalui algoritme yaitu estimated GFR (eGFR).
Penggunaan eGFR sangat presisi dan akurat dibandingkan menggunakan acuan
lainnya. Biomarker yang sering digunakan dalam memperkirakan GFR adalah
kreatinin, cystatin C dan eGFR.14 Berikut rumus dalam perhitungan eGFR:15

eGFR (mL/min per 1.73m2) = 1.86 x (Scr)-1.154 x (usia)-0.203 Jika


wanita = x 0.742

Blood urea nitrogen:creatinine ratio lebih dari 10:1 menunjukkan


penurunan laju tubulus yang disebabkan gangguan perfusi ginjal atau
obstruksi. Aliran tubulus ginjal yang rendah meningkatkan reabsorpsi urea
namun tidak pada kreatinin yang memang tidak dapat di reabsorpsi kembali.5
Urinalisis menjadi pemeriksaan rutin dalam evaluasi fungsi ginjal.
Pemeriksaan urinalisis dapat meliputi pH, gravitas spesifik, glukosa, protein,
bilirubin dan sedimen urin. pH urin membantu jika terdapat informasi pH
arterial. pH lebih dari 7.0 menunjukkan asidosis tubulus renal. Gravitas
spesifik berhubungan dengan osmolalitas urin. Glikosuria merupakan hasil
dari penurunan ambang batas glukosa tubulus atau hiperglikemia. Proteinuria
dapat dideteksi dengan urinalisis yang dievaluasi dalam 24-h urine collection.

25
Jika menunjukkan hasil di atas 150 mg/hari maka menggambarkan kerusakan
ginjal. Sedimen urin dengan mikroskopik mendeteksi sel darah merah, putih,
bakteri dan kristal. Sel darah merah dapat menjadi indikasi terjadi perdarahan
seperti tumor, batu, infeksi, koagulopati atau trauma. Sedangkan sel darah
putih menggambarkan proses infeksi yang terjadi. Kristal menggambarkan
abnormalitas asam oksalat, asam urat dan metabolisme sistin.1,5

Ultrasonografi ginjal berguna dalam evaluasi gangguan struktural ginjal


dan diagnosis gangguan obstruksi pada traktur urinarius. Jika terdapat
penurunan diferensiasi kortikomedularis dan ukuran ginjal maka diindikasikan
sebagai chronic kidney disease (CKD).1,5

2.5 Agen Anestesi pada Pasien Gagal Ginjal

Obat-obatan anestesi secara umum memiliki kadar elektrolit rendah dan


larut dalam lemak. Mereka juga secara ekstensif direabsorpsi oleh sel tubular
ginjal. Setelah biotransformasi, obat-obatan diekskresikan melalui urin dengan
bentuk larut dalam air. Obat yang mempengaruhi sistem saraf pusat dan tepi
meliputi narkotik, barbiturat, phenothiazone, turunan butyrophenone,
benzodiazepin, ketamin dan anestesi lokal. Beberapa obat tidak larut dalam
lemak atau terionisasi tinggi pada pH fisiologis dan tereliminasi secara utuh
melalui urin. Durasi kerja obat dapat memanjang pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Obat-obatan tersebut meliputi pelemas otot, penyekat
kolinesterase, diuretik tiazid, digoxin dan antibiotik (Tabel 6).6,17

Tabel 6. Obat yang Bergantung pada Eliminasi melalui Urin6

26
Beberapa agen anestesi yang mempengaruhi fungsi ginjal, seperti:

1. Agen Intravena

 Propofol dan Etomidate

Farmakokinetik dari porpofol dan etomidate mengalami efek minimal


akibat gangguan fungsi ginjal. Penurunan pengikatan protein etomidate
pada pasien dengan hipoalbumin dapat meningkatkan efek
farmakologis. Penggunaan propofol jangka panjang dapat mengubah
ekskresi urin menjadi hijau karena keberadaan phenol di urin.
Perubahwan warna ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Ekskresi urat
meningkat setelah administrasi propofol dan manifestasi klinis berupa
urin menjadi keruh.5,6
 Barbiturat

Pasien dengan gagal ginjal memiliki peningkatan sensitivitas


terhadap barbiturat saat induksi, walaupun farmakokinetik obat tersebut
tidak berubah. Thiopental sebanyak 75-85% mengikat pada albumin,
yang konsentrasinya menurun pada pasien gangguan ginjal. Karena
thiopental merupakan obat yang sangat mengikat sehingga penurunan
pengikatan membuat semakin banyak thiopental yang mengikat pada
reseptor. Kadar thiopental yang bebas akan meningkat dari 15% pada
pasien normal menjadi 28% dengan pasien gagal ginjal. Metabolisme
thiopental juga tidak berubah pada gangguan ginjal sehingga dosis yang
diberikan harus diturunkan.5,6
 Ketamin

Farmakokinetik ketamin secara minimal di pengaruhi oleh


gangguan ginjal. Beberapa metabolisme hepar aktif bergantung pada
ekskresi ginjal dan berpotensi akumulasi di gagal ginjal.5,6
 Benzodiazepin

Metabolisme hati terjadi pada benzodiazepin dan dieliminasi oleh


urin. Benzodiazepin sangat mengikat protein dan peningkatan
sensitivitas benzodiazepine dapat berhubungan dengan pasien
hypoalbuminuria. Obat-obatan ini dimetabolisme sebelum ekskresi dan

27
jika dikombinasikan dengan 30-50% nitrous oxide, akan terjadi
penurunan durasi efektivitas. Namun, Diazepam harus diberikan secara
hati-hati jika terdapat kerusakan ginjal karena berpotensi akumulasi
metabolik aktif.5,6
 Opioid

Pada umumnya, opioid yang digunakan untuk anestesi (morfin,


meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di non-aktifkan oleh hepar
dan beberapa diekskresikan oleh urin. Akumulasi metabolisme morfin
dan meperidin dapat memperpanjang depresi nafas pada pasien dengan
gagal ginjal dan peningkatan normeperidin berhubungan dengan
kejang.5,6
 Penyekat kolinesterase

Neostigmin, piridostigmin dan edrofonium dieliminasi melalui


ginjal, sekitar 50% neostigmin dan 70% piridostigmin dan edrofonium
diekskresikan oleh urin. Ekskresi penyekat kolinesterase melambat dan
memiliki waktu eliminasi yang setara atau lebih lama dibandingkan
muscle relaxants pada pasien dengan gangguan ginjal.5,6

Tabel 7. Data Farmakokinetik Penyekat Kolinesterase pada Pasien


Normal, Anefrik dan Transplan Ginjal6

 Agen antikolinergik

Atropin dan glikopirolat dengan dosis premedikasi dapat


digunakan secara aman pada pasien dengan gangguan ginjal karena
obat tersebut diekskresikan urin sebanyak hingga 50% dari dosis obat
dan metabolisme aktifnya. Penggunaan dosis berulang juga berpotensi
akumulasi di dalam tubuh.5,6
 Phenotiazin, Penyekat H2 dan Agen Sejenis
28
Metabolisme obat ini menjadi komponen inaktif dilakukan oleh
hati. Droperidol juga sebagian bergantung pada ekskresi ginjal. Namun
farmakokinetik obat tersebut tidak terlalu dipengaruhi gangguan
ginjal.5,17

Semua penyekat reseptor H2 bergantung pada ekskresi ginjal dan dosis harus diturunkan
pada pasien dengan gangguan ginjal. Penghambat pompa proton tidak perlu modifikasi
dosis obat untuk pasien dengan gangguan ginjal. Metoklopramid sebagian dibuang
melalui urin dan dapat berakumulasi di ginjal.5

1. Agen Inhalasi

Agen anestesi volatile ideal untuk pasien dengan gangguan ginjal


karena rendahnya ketergantungan terhadap ginjal untuk eliminasi,
kemampuan mengatur tekanan darah dan efek minimal terhadap aliran
darah di ginjal.5,6
Enflurane mengalami biotransformasi menjadi fluoride inorganik
namun kadar setelah 2-4 jam hanya sekitar 19 M pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, kadar tersebut lebih rendah dari batas nefrotoksik
sebesar 50 M. kadar fluoride pada isoflurane hanya meningkat 3-5 M
dan 1-2 M pada halothane sehingga agen anestetik tersebut tidak
berpotensi nefrotoksik.5,6
Desflurane dan sevoflurane merupakan dua jenis anestetik inhalasi
baru namun memiliki stabilitas molekular dan biotransformasi yang
berbeda. Desflurane sangat stabil dan tidak didegradasikan oleh soda lime
dan hepar. Konsentrasi rata-rata fluoride inorganik setelah pemberian 1
minimun alveolar concentration (MAC)-hour desflurane adalah kurang
dari 1 M. Penggunaan desflurane pada pasien gagal ginjal telah terbukti
aman. Pemeriksaan lain yang lebih sensitif terhadap fungsi ginjal seperti
urine retinol-binding protein dan -N-acetylglucosaminidase
menunjukkan tidak ada bukti kerusakan ginjal. Eksposur tinggi desflurane
(7 MAC-hours) juga tidak memiliki gangguan terhadap ginjal. Sedangkan,
sevoflurane sangat tidak stabil. Soda lime dapat dekomposisi sevoflurane
dan dibiotransformasi oleh hepar. konsentrasi fluoride inorganik
sevoflurane hampir mendekati level nefrotoksik (50 mol/L) setelah
penggunaan jangka panjang.5,6
29
Anestetik inhalasi menyebabkan depresi reversibel sementara pada
fungsi finjal. Renal blood flow, GFR, output urin dan ekskresi sodium
pada urin mengalami penurunan (Tabel 8). Mekanisme penyebabnya
meliputi gangguan autoregulasi renal, faktor neurohormonal (hormon
antidiuretik, vasopresin, renin) dan respon neuroendokrin.5,6

Tabel 8. Efek Obat Anestetik pada Fungsi Ginjal6

1. Pelemas Otot

 Succinylcholine

Metabolisme obat ini dilakukan oleh pseudokolinesterasi menjadi


produk akhir non-toksik asam succinic dan kolin. Kedua produk akhir
diekskresikan oleh ginjal.6
Obat ini aman pada pasien dengan gangguan ginjal, jika tidak
terdapat hiperkalemia saat induksi. Succinylcholine meningkatkan
kadar serum potasium 0.5 mEq/L. Peningkatan kadar potasium
berbahaya pada pasien gangguan ginjal dengan hiperkalemia sehingga
succinylcholine tidak disarankan kecuali pasien telah melakukan dialilis
dalam 24 jam sebelum operasi. Jika pasien telah melakukan dialisis atau
memiliki kadar serum potasium normal, succinylcholine dapat
diberikan.5,6
 Nondepolarizing Muscle Relaxants

Gangguan ginjal mempengaruhi farmakologi nondepolarizing


30
muscle relaxants dengan menurunkan eliminasi obat atau jika obat
tersebut dimetabolisme ginjal atau penurunan aktivitas enzim yang
memetabolisme obat seperti mivacurium. Sehingga durasi efek obat
akan memanjang pada pasien dengan gangguan ginjal.5,6

Sekitar 40-50% pancuronium diekskresikan melalui urin. Ekskresi


terjadi setelah biotransformasi menjadi 3-hydroxypancuronium yang
lebih tidak aktif. Pancuronium akan mengalami eliminasi half-life yang
memanjang pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal sehingga dosis
perlu dilakukan penyesuaian.5,6
Atracurium didegradasikan oleh hidrolisis ester enzimatik dan
degradasi alkalin nonenzimatik (eliminasi Hofmann) menjadi produk
inaktif yang tidak bergantung pada ekskresi ginjal. Eliminasi half-life,
onset, durasi dan pemulihan atracurium sama pada pasien dengan fungsi
ginjal yang normal maupun rusak.5,6
Sekitar 30% dosis vecuronium dieliminasi oleh ginjal. Durasi
blokade neuromuskular memanjang setelah administrasi vecuronium
pada pasien dengan gagal ginjal dibandingkan dengan ginjal normal (99
vs 54 menit) karena eliminasi half-life memanjang (83 vs 52 menit) dan
plasma clearance menurun (3.1 ml/kg/menit vs 5.3 ml/kg/menit).6
Cisatracurium merupakan cis tunggal isomer atracurium. Sebesar
77% pembersihan cisatracurium melalui eliminasi Hofmann. Karena
ekskresi ginjal hanya sebesar 16% dari total eliminasi cisatracurium
maka gagal ginjal hanya memiliki efek yang minimal terhadap durasi
obat.6
Mivacurium merupakan obat kerja cepat yang dimetabolisme oleh
plasma pseudokolinesterase. Efek obat memanjang 10-15 menit pada
pasien dengan gagal ginjal karena penurunan aktivitas plasma
kolinesterasi pada pasien dengan uremia atau hemodialisis.5,6
Eliminasi half-life rocuronium meningkat pada gagal ginjal karena
peningkatan volum distribusi tanpa perubahan pembersihan
rocuronium. Sehingga durasi kerja obat memanjang pada pasien gagal
ginjal.5,6

31
Tabel 9. Data farmakokinetik nondepolarizing muscle relaxants pada
pasien normal dan anefrik6

2.6 Manajemen Anestesi

2.6.1 Manajemen Preoperatif

Pada AKI terjadi retensi produk nitrogen (azotemia) yang memiliki


sifat toksin dan merupakan produk metabolisme dari protein dan asam
amino. Penanganan AKI dilakukan berdasarkan penyebab prerenal, renal
dan paska renal. Prerenal terjadi akibat penurunan akut perfusi ginjal,
pada intrinsik disebabkan penyakit ginjal, iskemik atau nefrotoksin dan
paska renal akibat obstruksi kolektivus. Pada pasien dengan AKI akan
mengalami oliguria pada tahap awal. Pasien nonoliguria dengan AKI
(output urin >400 ml/hari) akan memiliki jumlah urin yang cukup namun
secara kualitatif terganggu.5,18
Durasi AKI intrinsik bervariasi tetapi oliguria terjadi selama 2
minggu dan diikuti dengan fase diuretik yang ditandai dengan
peningkatan progresif output urin. Fungsi ginjal akan membaik selama
beberapa minggu namun tidak akan kembali seperti normal hingga 1
tahun. Perbaikan prerenal dan paska renal tergantung pada ketepatan
diagnosis dan tatalaksana menurut etiologi.5,6,19,20
Tabel 10. Manajemen Prioritas pada Pasien AKI5

32
Pasien dengan CKD datang ke ruang operasi dengan rencana tindakan pembentukan atau
revisi fistula dialisis arteriovenous. Anamnesis dan pemeriksaan fisik perlu dilakukan
terutama fungsi jantung dan paru.

Tanda-tanda kelebihan cairan atau hipovolemia perlu diketahui. Pasien


akan mengalami hipovolemia sesaat setelah dialisis. Data hemodinamik
dan foto polos toraks dapat membantu dalam kecurigaan kelebihan
cairan. Analisa gas darah dilakukan untuk evaluasi oksigenasi, ventilasi,
kadar hemoglobin dan status asam-basa pasien. Elektrokardiogram harus
dilakukan untuk mengenali tanda hyperkalemia atau hipokalsemia
begitupun iskemik, gangguan konduksi dan hipertrofi ventrikel.
Ekokardiografi dapat menilai fungsi jantung, hipertrofi ventrikel,
abnormalitas dinding jantung dan cairan perikardial.5,6
Tranfusi darah preoperatif diberikan pada pasien dengan anemia
berat. Bleeding time dan uji koagulasi disarankan untuk dilakukan. Obat-
obatan yang dieliminasi melalui ginjal perlu dihindari (Tabel 11).
Penyesuaian dosis dilakukan untuk meminimalisir risiko toksiksitas
obat.5,6

Tabel 11. Obat-obatan yang Berpotensi untuk Akumulasi pada Pasien


dengan Gangguan Ginjal5

33
2.6.2 Manajemen Intraoperatif

Pasien dengan gagal jantung memiliki risiko tinggi terhadap


komplikasi perioperatif. Risiko trombosis dapat terjadi sehingga
noninvasive blood pleasure (NIBP) tidak ditempatkan pada lengan
dengan fistula arteriovenous.5
Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan gastrointestinal perlu
dilakukan rapid-sequence induction. Dosis agen induksi perlu direduksi
pada pasien yang kritis atau yang melakukan hemodialisis dan kondisi
hipovolemik. Propofol 1-2 mg/kg atau etomidate 0.2-0.4 mg/kg sering
digunakan. Opioid, penyekat  (esmolol) atau lidocaine dapat
digunakan untuk menurunkan respon hipertensi terhadap intubasi.
Succinylcholine
1.5 mg/kg dapat diberikan sebelum intubasi endotrakeal jika tidak
terdapat hiperkalemia. Rocuronium 1 mg/kg, vecuronium 0.1 mg/kg,
cisatracurium 0.15 mg/kg atau induksi propofol-lidocaine tanpa relaksan
perlu dipertimbangkan untuk intubasi pada pasien dengan hiperkalemia.5
Anestesi pemeliharaan perlu memantau hipertensi dengan efek minimal
terhadap cardiac output (CO) karena peningkatan CO
34
merupakan mekanisme kompensasi terhadap perfusi oksigen ke jaringan
pada anemia. Anestetik inhalasi, propofol, fentanyl, sufentanil, alfentanil
dan remifentanil dapat digunakan sebagai agen pemeliharaan.
Meperidine perlu dihindari karena akumulasi metabolisme
normeperidine. Morfin dapat digunakan namun efek obat yang
memanjang perlu diperhatikan.5,6 Controlled ventilation harus
dipertimbangkan pada pasien dengan gagal ginjal pada anestesi umum.
Ventilasi spontan yang tidak adekuat dengan hiperkarbi progresif
dibawah anestesi dapat menyebabkan asidosis respiratorik yang
berujung pada depresi sirkulasi dan peningkatan
serum potasium.5

2.6.3 Terapi Cairan

Kristaloid isotonik, koloid atau keduanya dapat digunakan sebagai


pemeliharaan atau resusitasi. Saat ini ringer laktat (RL) lebih dianjurkan
dalam beberapa situasi dibandingkan dengan salin 0.9% yang tinggi
klorida karena tidak memiliki efek hiperkloremia pada fungsi ginjal.
Namun, salin 0.9% lebih dipilih pada pasien dengan alkalosis dan
hipokloremia. Ringer laktat perlu dihindari pada pasien hiperkalemia
saat membutuhkan dalam volume yang besar karena cairan tersebut
mengandung potasium 4 mEq/L. Cairan bebas glukosa harus digunakan
secara umum karena intoleransi glukosa berhubungan dengan uremia.
Saat kehilangan darah harus digantikan dengan koloid atau packed red
blood cells sesuai indikasi. Namun penelitian lain mengatakan koloid
termasuk hydroxyethyl starch (HES) tidak boleh digunakan pada pasien
gagal ginjak kronis sehingga kristaloid menjadi lini pertama terapi
cairan.
Transfusi darah alogenik dapat menurunkan risiko penolakan
5,18,20,21
ginjal.

35
BAB III
KESIMPULAN

Ginjal memiliki peran penting dalam regulasi volum dan komposisi cairan
tubuh, regulasi hormon serta eliminasi beberapa obat anestetik. Gangguan ginjal
seperti AKI dan PGK dapat menyebabkan perubahan durasi kerja obat-obatan
yang digunakan. Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan secara teliti mencakup
anamnesis, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang (urinalisis, serum
kreatinin, BUN, GFR dan modalitas radiografi) untuk menentukan obat anestesi
dan pengaruhnya terhadap ginjal.
Agen anestesi yang mempengaruhi fungsi ginjal meliputi agen intravena dan
inhalasi. Beberapa obat intravena anestetik bergantung parsial terhadap eliminasi
urin seperti barbiturat, pancuronium, atropin, neostigmine, porpofol,
benzodiazepin dan opioid namun memiliki pengaruh terhadap ginjal yang
berbeda-beda. Agen inhalasi relatif aman untuk pasien dengan gagal ginjal akibat
mekanisme eliminasi Hofmann.
Manajemen preoperatif hingga intraoperatif perlu dilakukan penyesuaian
sehingga agen anestetik dapat digunakan pada pasien dengan gagal ginjal dalam
batas yang aman.

DAFTAR PUSTAKA

1. Makris K, Spanou L. Acute kidney injury: definition, pathophysiology and


clinical phenotypes. Clin Biochem Rev. 2016;85–98.
2. Awdishu L, Wu SE. Acute kidney injury. Renal/Pulmonary Crit Care.
2017;7–26.
3. Mbol N. Riset kesehatan dasar. Kementeri Kesehat Republik Indones.
2013;1–306.

36
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Kidney physiology &
anesthesia. In: Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, editors. Morgan
& Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 6th ed. New York: Mc Graw-Hiil
Education; 2018. p. 1033–68.
5. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Anesthesia for patients with
kidney disease. In: Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, editors.
Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 6th ed. New York: Mc
Graw-Hiil Education; 2018. p. 1073–104.
6. Malhotra V, Sudheendra V, O’Hara J. Anesthesia and the renal and
genitourinary systems. In: Miller RD, Cohen NH, Eriksson LI, editors.
Miller’s Anesthesia. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. p. 2217–29.
7. Mcilroy D, Sladen RN. Renal physiology, pathophysiology and
pharmacology. In: Miller RD, Cohen NH, Eriksson LI, editors. Miller’s
Anesthesia. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. p. 545–85.
8. Maryniak K, Constantine L. Renal and urinary anatomy and physiology.
AMN Healthc Educ Serv. 2016;1–24.
9. Moore PK, Hsu RK, Liu KD. Mangement of acute kidney injury: core
curriculum 2018. Am J Kidney Dis. 2018;136–48.
10. Ostermann M, Joannidis M. Acute kidney injury 2016: diagnosis and
diagnostic workup. Ostermann Joannidis Crit Care. 2016;1–13.
11. Kellum J a, Lameire N, Aspelin P. Kdigo clinical practice guideline for
acute kidney injury. Kidney Int Suppl. 2012;1–138.
12. Thomas ME, Blaine C, Dawnay A. The definition of acute kidney
injury and its use in practice. Kidney Int. 2015;62–73.

13. Eknoyan G, Lameire N. Kdigo 2012 clinical practice guidelines for the
evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl.
2013;1–136.
14. Webster AC, Nagler E V., Morton RL. Chronic kidney disease. Lancet.
2017;1238–52.
15. Bragman M J, Skorecki K. Chronic kidney disease. In: Kasper D, Hauser S,
Jameson J, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th ed.
New York: Mc-Graw Hills; 2015. p. 1811–21.
16. National Kidney Foundation. Clinical practice guidelines for chronic

37
kidney disease: evaluation, classification and stratification. Am J Kidney
Dis. 2002. 1–266 p.
17. Olivero JJ, Jose Olivero J. Administration of anesthesia to patients with
renal failure. Debakey J. 2015;2015.
18. Goren O, Matot I. Perioperative acute kidney injury. Br J Anaesth. 2015;1–
12.
19. Gross JL, Prowle JR. Perioperative acute kidney injury. Updat Anaesth.
2016;24–30.
20. Zarbock A, Koyner JL, Hoste EAJ. Update on perioperative acute kidney
injury. Anesth Analg. 2018;1236–45.
21. Kanda H, Hirasaki Y, Iida T. Perioperative management of patients
with end-stage renal disease. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2017;2251–
67.

38
39

You might also like