You are on page 1of 7

GEOGRAFI POLITIK LAUT CHINA SELATAN

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Geografi Politik

Dosen Pengampu:

Dr. Pargito, M.Pd.

Disusun Oleh:

Bangkit Agung Permadi (2063034001)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2023
GEOGRAFI POLITIK LAUT CHINA SELATAN

Akhir-akhir ini situasi geopolitik di wilayah Laut China Selatan kembali


memanas, yang terbaru terjadi sengketa maritim antara China dengan Malaysia,
bahkan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim sampai turun tangan untuk
bernegosiasi dengan China. Laut China Selatan sendiri merupakan laut semi
tertutup dengan luas sekitar 3,5 juta km2. Dengan ukuran luas tersebut Laut China
Selatan memiliki berbagai macam potensi maritim yang diperhitungkan oleh dunia
internasional, seperti potensi perikanan dan kelautan, sumber daya alam
pertambangan dan mineral lepas pantai, serta posisinya yang strategis sebagai jalur
perdagangan dan pelayaran internasional. Setidaknya terdapat delapan negara yang
berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, yaitu Vietnam di sisi barat,
Filipina, Brunei dan Malaysia di sisi timur, China (termasuk Hongkong dan Makau)
dan Taiwan di sisi utara, serta Singapura, Malaysia dan Indonesia di sisi selatan.
Negara-negara tersebut saling mengklaim wilayahnya masing-masing di Laut
China Selatan, hal itulah yang membuat situasi politik di sepanjang Kawasan Laut
China Selatan sangat panas dan tidak stabil.

Sengketa atau konflik Laut China Selatan bermula ketika China pada tahun
1947 memproduksi peta Laut China Selatan dengan sembilan garis putus-putus dan
menyatakan bahwa wilayah yang berada dalam garis putus-putus tersebut seperti
Kepulauan Spartly dan Paracel sebagai wilayah teritorinya. Sembilan garis putus-
putus atau Nine Dash Line sendiri merupakan garis batas yang dibuat sepihak oleh
China yang tentunya sangat bertentangan dengan hukum laut internasional, dalam
hal ini United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang sudah
ditandatangani dan disepakati dunia pada tahun 1982 di Jamaika, karena dasar dari
pembuatan Nine Dash Line adalah hanya karena faktor sejarah masa lalu.

Klaim yang dilakukan China atas Laut China Selatan tidak terlepas dari
pengaruh ekonomi, yaitu sebagai daya dukung dalam mengembangkan pendapatan
dan perekonomian negara. Kawasan Laut China Selatan tersebut menyimpan
warisan bawah laut atau Underwater Cultural Heritage yang besar dan China
berencana untuk membangun jalur sutera maritim atau 21 Century Maritime Silk
Road. Proyek jalur sutera maritim nantinya akan disatukan dengan jalur sutera darat
dan dikenal sebagai One Belt, One Road (OBOR) yang merupakan salah satu
kebijakan luar negeri dan ekonomi dari presiden China saat ini yaitu Xi Jinping.

Strategi pembangunan Belt and Road Initiative (BRI) tersebut bertujuan


untuk membangun konektivitas dan kerja sama di enam koridor ekonomi utama
yaitu Eropa, Afrika, Rusia, Timur Tengah, Asia Tengah dan ASEAN. Asia
membutuhkan investasi infrastruktur senilai $26 triliun pada tahun 2030, (Asian
Development Bank, 2017) dan Cina pasti dapat membantu menyediakan sebagian
dari itu. Dengan membangun infrastruktur yang berdampak positif bagi negara-
negara yang terlibat juga akan membantu mengembangkan pasar produk China
dalam jangka panjang dan mengurangi kelebihan kapasitas industri dalam jangka
pendek.

Negara- negara yang terlibat sengketa atau konflik Laut China Selatan
sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu negara claimant state dan non-claimant
state. Claimant state merujuk pada negara yang mengklaim atas wilayah Laut
China Selatan seperti China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunai
Darusalam. Sedangkan non-claimant state merupakan negara yang tidak
mengklaim wilayah Laut China Selatan dan cenderung hanya mempertahankan
wilayah kedaulatannya, contohnya Indonesia. Meskipun Indonesia bertindak
sebagai non-claimant state, namun posisi Indonesia sebagai salah satu pendiri
ASEAN yang juga memiliki tujuan negara untuk ikut berperan aktif dalam
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
sesuai dengan Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 Alinea ke-4 mengharuskan
Indonesia untuk mengambil peran sebagai penyeimbang, dan pereda penyelesaian
konflik, terutama pada kawasan konflik Laut China Selatan.

Negara-negara claimant state tersebut saling mengklaim wilayahnya


sehingga menimbulkan tumpang tindih wilayah kekuasaan yang akhirnya
menimbulkan sengketa dan konflik. Berikut adalah beberapa sengketa dan konflik
yang terjadi di Kawasan Laut China Selatan:

1. Sengketa dan konflik antara China dan Vietnam


Pada Januari 1974 terjadi pertempuran di kepulauan Paracel yang
menewaskan lebih dari 70 tentara Vietnam dan 18 tentara China.
Pertempuran tersebut dimenangkan China dan wilayahnya terus dikuasai
China, serta memasukkan Paracel sebagai bagian kota administratif Sansha
di Provinsi Hainan. Pada Maret 1988 terjadi pertempuran untuk
memperebutkan wilayah Karang Jolusan (Kepulauan Spratly) yang
menewaskan 60 tentara Vietnam dan China memenangkan konflik kembali.
Pada Mei 1992 terjadi baku tembak antara Vietnam dengan China karena
China mengumumkan hukum perairan teritorial yang memasukkan seluruh
wilayah Laut China Selatan ke dalam wilayah China. Disamping itu ada
kejadian perusahaan minyak China (CNOOC) melakukan kerja sama
eksplorasi minyak dengan Christone Energy (AS) di kawasan yang
disengketakan. Vietnam merasa memiliki bukti kepemilikan yang sah atas
Paracel dan Spratly sejak abad ke-17, pada masa kekuasaan Kaisar Gia
Long (1802). Pada Oktober 1956, Vietnam memasukkan Pulau Spratly
bagian dari Provinsi Phuac Tay dengan menunjuk pada perdamaian San
Francisco tahun 1951. Pada 21 Mei tahun 1977 Vietnam secara sepihak juga
menetapkan batas perairan sejauh 12 mil dan wilayah ZEE sejauh 200 mil
yang tumpang-tindih dengan negara lain.

2. Sengketa dan konflik antara China dan Filipina


Filipina mengklaim kepulauan Spratly berdasarkan UNCLOS 1982 yang
menetapkan ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut (321 km) dari garis
pangkal pengukuran lebar laut teritorial. Maka dangkalan Scarborough
Shoal sebagai salah satu gugusan Spratly berjarak 160 km dari pulau terluar
Filipina, sementara dari daratan China sejauh 800 km. Scarborough Shoal
akan dibangun fasilitas militer oleh China sebagai radar, peralatan
komunikasi, dan landasan pacu sebelum mereka dapat membangun Zona
Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) lengkap di atas Laut Cina Selatan.

3. Sengketa dan konflik antara China dan Malaysia


Pulau Spratly (Swallow Reef, Mariveles Reef, dan Dallas Reef) sejak tahun
1979 secara resmi menjadi wilayah Malaysia, yaitu bagian dari wilayah
Sabah dengan alasan bekas penguasaan Inggris yang menjadi bagian
wilayah Sabah dan Serawak sejak abad ke-18.

4. Sengketa dan konflik antara China dan Brunei Darussalam


Sejarah Bruney juga berkaitan dengan penguasaan Inggris terhadap pulau
di kepulauan Spratly menjadi bagian Kesultanan 87 Brunei sejak awal abad
ke-18 Tumpang tinih klaim tersebut didukung sumber daya alam yang besar
yaitu ada cadangan minyak yang besar (terbesar ke 4 dunia). Ambisi China
terkait Geostrategis Laut China Selatan sebagai salah satu jalur perdagangan
paling ramai, sehingga menguasainya berarti mendatangkan keuntungan
ekonomi dan politik baginya. Negosiasi sering dilakukan , namun belum
menghasilkan sesuatu yang positif.

5. Sengketa dan konflik antara China dan Indonesia


Hal ini dimulai pada tahun 2009 China memasukkan wilayah Natuna
sebagai wilayahnya secara sepihak melalui 9 titik garis, sehingga hal ini
membuat kemarahan pihak Indonesia. Indonesia tidak mengakuinya karena
Indonesia telah menganut UNCLOS. Pada tahun 2016 hampir terjadi kontak
senjata antara pemerintah Indonesia dengan China terkait penangkapan ikan
oleh nelayan China yang melanggar batas laut Indonesia. Indonesia
menyampaikan tiga protes terhadap pemerintah China terkait kasus Natuna
Pertama mengenai masalah pelanggaran hak berdaulat dan yuridiksi
Indonesia di kawasan ZEE (Zona Eekonomi Ekslusif) dan landas kontinen
kedua kedaulatan Negara Indonesia telah dilanggar oleh China dan ketiga
adalah keberatan Indonesia terhadap pelanggaran kedaulatan laut teritorial
Indonesia.

Berdasarkan sengketa dan konflik diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa


berbagai masalah yang timbul di Kawasan Laut China Selatan selalu melibatkan
China yang berhadapan dengan negara-negara ASEAN termasuk Indonesia,
walaupun indoensia hanya mempertahankan kedaulatannya. Karena China
memiliki kekuatan politik dan militer yang jauh lebih besar dari semua negara-
negara di ASEAN yang berkonflik, hal itu membuat negara-negara ASEAN sampai
saat ini belum berani bersikap tegas dengan masalah di Laut China Selatan.
Kekuatan militer China yang demikian besar membuat China sampai saat ini masih
percaya diri dengan klaimnya sehingga tidak mengindahkan peraturan Internasional
dan juga hasil pengadilan internasional. Peran Indonesia sebagai penengah dan
menjalankan strategi defensif dinilai tepat untuk mengurangi suhu konflik di
wilayah Laut China Selatan.
DAFTAR PUSTAKA

Nanda, Ogi. Jurnal Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. Geopolitik


Laut Cina Selatan: Strategi Diplomasi Indonesia Dalam Menjaga Stabilitas
Politik Wilayah ASEAN. Vol. 9 No. 4.

Roziqin, Ali. 2020. Studi Geopolitik Laut China Selatan: Data dan Analisis Media
Sosial. Vol. 8. No. 2.

Ari Sulistyani, Yuli. 2021. Respons Indonesia Terhadap Sengketa Laut China
Selatan Semasa Pemerintahan Joko Widodo. Vol. 12. No. 1.

You might also like