You are on page 1of 26

MAKALAH PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

BUDAYA DAN PERSEPSI


Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Lintas Budaya
Dosen Pengampu: Rafika Nur Kusumawati S.Psi., M.A.

Disusun Oleh:
Kelompok 2/Kelas C

1. Ferdinandus Vian Maheswara (P0122090)


2. Jourast Widyanta (P0122116)
3. Juan Chew (P0122118)
4. Justin Jeconiah Wongso (P0122119)
5. Kayla Akira Rahmapurnanta Putri (P0122122)
6. Khanisa Aurelia Puspitasari (P0122126)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmatNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Psikologi Lintas Budaya dengan baik dan
tepat waktu. Kami mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat ibu Rafika Nur
Kusumawati, S.Psi., M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Psikolog Lintas Budaya. Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Psikologi Lintas Budaya. Makalah ini kami
susun berdasarkan e-book yang di berikan. Dikarenakan oleh keterbatasan ilmu dan pengetahuan,
kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan di dalam pengerjaan makalah ini. Kami sangat
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Demikian makalah ini kami susun,
semoga dapat bermanfaat untuk segala pihak dan dapat menambah pengetahuan untuk
teman-teman pembaca terkhusus mengenai Psikologi Lintas budaya khususnya pada materi
Budaya dan Persepsi.

Surakarta, Februari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1. LATAR BELAKANG 1
1.2. RUMUSAN MASALAH 1
1.3. TUJUAN 1
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
2.1. AKAR SEJARAH 3
2.2. FUNGSI-FUNGSI INDERAWI 6
2.3. WARNA: KODING DAN KATEGORISASI 8
2.4. PERSEPSI POLA DAN GAMBAR 12
2.4.1. POLA-POLA SEDERHANA DAN GAMBAR-GAMBAR 13
2.4.2. KEPEKAAN TERHADAP ILUSI VISUAL 16
2.5. ESTETIKA 18
BAB III 22
PENUTUP 22
3.1. KESIMPULAN 22
3.2. SARAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG
Salah satu bagian pemikiran mutakhir, bahwa perbedaan lintas-budaya dalam persepsi
merupakan salah satu persoalan yang memiliki arti kecil. Persamaan universal anatomi dan
fisiologi organ indrawi dan sistem saraf manusia kemungkinan besar menciptakan pengecilan arti
ini, yaitu kesan-kesan indrawi dan pengirimannya melalui sistem persepsi tidak beragam secara
lintas-budaya. Dengan melacak sejumlah akar sejarah, gagasan semacam itu dengan sendirinya
tidak terbukti di sekitar tahun 1900, ketika kajian-kajian empirik pertama dalam psikologi
lintas-budaya dilakukan.
Oleh karena itu, pandangan-pandangan tersebut akan ditelusuri lebih jauh. Mulai dengan
kajian mengenai fungsi-fungsi indrawi, dari ketajaman inderawi hingga ke pengiriman informasi.
Setelah itu, pembahasan mengenai persepsi dalam pengertian yang lebih ketat. Ketika
dikontraskan dengan sensasi, persepsi mengandung seleksi rangsang dan bentuk-bentuk lain dari
persentuhan aktif organisme. Dua topik tersebut akan menjadi pusat perhatian, yaitu persepsi
terhadap warna dan persepsi terhadap materi-materi berbentuk gambar. Makalah ini menyertakan
estetika dengan penekanan pada aspek-aspek persepsi. Bagian pembahasan yang lebih besar
terdapat pada kajian-kajian tentang modalitas visual, serta beberapa acuan untuk persepsi
pendengaran dan menyinggung sedikit tentang indra lain.
1.2.RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana akar sejarah persepsi
2. Bagaimana fungsi inderawati
3. Bagaimana warna: koding dan kategorisasi
4. Bagaimana persepsi tentang pola dan gambar
5. Apa Itu estetika

1.3.TUJUAN
1. Menjelaskan akar sejarah persepsi
2. Mendeskripsikan mengenai fungsi inderawati
3. Mendeskripsikan warna: koding dan kategoris

1
4. Menjelaskan persepsi tentang pola dan gambar
5. Mendeskripsikan estetika

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.AKAR SEJARAH
Banyak psikolog menganggap W.H.R. Rivers (1864-1922) sebagai bapak psikologi
lintas-budaya. Karya utamanya (Rivers, 1901) didasarkan pada data yang dikumpulkan mengenai
penduduk pribumi Torres Strait, yang terletak di antara Papua Nugini dan Australia. Rivers ikut
berperan dalam ekspedisi antropologi Cambridge yang diorganisasi oleh antropolog Alfred
Haddon. Rivers dan beberapa mahasiswa dari Murray Island mengumpulkan pokok data selama
empat bulan. Pengukuran yang dilakukan berupa ketajaman penglihatan, penglihatan warna,
kebutawarnaan, pengesanan (afterimage), kontras, ilusi penglihatan, ketajaman pendengaran,
ritme, penciuman, pengecapan, ketajaman rabaan, diskriminasi berat, waktu reaksi terhadap
rangsang penglihatan dan pendengaran, prakiraan interval waktu, memori, kekuatan otot, dan
sejumlah topik yang sama. Pengorganisasian data berkisar pada tiga pokok utama, yaitu
ketajaman penglihatan, persepsi warna, dan persepsi visual/spasial.
Hingga saat ini, banyak kajian Rivers yang dianggap sebagai panutan. Pandangan ini
masih berlaku meski analisis datanya tak memenuhi persyaratan baku yang disepakati kini.
Dalam laporan, Rivers menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah metode yang
digunakan. Rivers khawatir, kalau suatu tugas mungkin tak sepenuhnya dapat terpahami dan
teruji dan mencoba berbagai macam metode lain untuk menemukan metode yang paling
memuaskan. Laporannya terutama dapat dibaca dan dimengerti karena data kuantitatifnya
didukung dengan segala jenis bukti pandangan, terutama yang diperoleh berdasarkan
pengamatan. Contohnya, dalam analisis penglihatan, Rivers tidak hanya mengkaji penamaan
warna dan kepekaan terhadap warna yang berbeda, ia juga mengkaji preferensi warna dan
bahkan membuat catatan tentang warna syal yang akan dipakai orang di gereja pada hari
Minggu.
Rivers memiliki pandangan terbuka untuk penjelasan alternatif yang mungkin. Ketika
membahas pandangan populer mengenai ketajaman penglihatan luar biasa orang bukan Eropa, ia
membedakan antara kekuatan resolusi mata sebagai instrumen fisiologis, kekuatan observasi, dan
keakraban (familiarity) dengan lingkungan sekitar. Data ketajaman penglihatan terutama

3
dikumpulkan dengan bagan Snellen E. Figur E ini ditempatkan di salah satu dari empat posisi
yang berbeda, dimana salah satu posisi tersebut terbuka dan gambar yang benar harus
ditunjukkan subjek. Sebuah poster dengan gambar ciptaan Snellen dalam sisi menurun
digunakan Rivers, yang dimanipulasi oleh kesulitan tugas dengan meragamkan jarak antara
poster dengan subyek. Rivers menguji mata subjek untuk mengetahui apakah ada kerusakan dan
penyakit. Ia mengukur ketajaman penglihatan dengan dan tanpa mengoreksi lensa dari defisiensi
penglihatan.
Rivers menemukan ketajaman penglihatan penduduk Torres Strait tidak luar biasa, seperti
yang diduga. Ia menganalisis literatur yang tersedia, dimana cakupannya tergolong sudah cukup
luas untuk ukuran abad itu. Namun, banyak kajian yang ada masih kurang dalam keketatan
metodologi dan observasi, dan lebih bersifat keseharian ketimbang sistematik. Berdasarkan
karyanya sendiri dan informasi yang diperoleh dari sumber lain, Rivers (1901, halaman 42)
sampai pada kesimpulan "Ketajaman penglihatan orang primitif dan orang setengah beradab,
meski lebih menonjol dibandingkan orang Eropa normal, tidak berada pada tingkat yang dapat
teramati". Rivers membahas perbedaan secara panjang lebar dengan mengatasnamakan
pengamatan akurat terhadap orang "primitif" dan perhatian mereka terhadap rincian menit. Ia
berangkat dari anggapan, perhatian yang menonjol pada objek-objek indrawi merupakan suatu
rintangan nyata terhadap perkembangan mental yang lebih tinggi. "Jika terlalu banyak energi
dikerahkan pada fondasi-fondasi indrawi, wajar bila superstruktur intelektual lantas diabaikan"
(hal. 44-45). Hubungan komplementer antara ranah indrawi dan intelektual telah sering
disinggung. Hal ini menunjukkan, di samping keterbukaan pikiran tercermin dalam
tulisan-tulisannya, Rivers juga dipengaruhi secara mendalam oleh gagasan-gagasan di zamannya.
Karya Rivers tak menandai awal suatu tradisi penelitian yang kontinu dalam psikologi
lintas-budaya. Dalam banyak kajian tentang persepsi yang terbit antara tahun 1910 dan 1950,
tema perdebatan masih sekitar faktor "ras" dominan dalam penjelasan mengenai perbedaan,
namun sering tanpa implikasi menyeluruh tentang kekurangannya. Contoh, karya Thouless
(1932) dan Beveridge (1935, 1940) pada konstansi atau regresi fenomenal. Dari sekian banyak
sudut pandang, proyeksi suatu piringan sirkular pada retina seseorang pengamat membentuk
sebuah elips. Ketika diminta menggambarkan hal yang mereka lihat, subjek cenderung membuat
suatu elips di antara bentuk aktual proyeksi retina dan sebuah lingkaran penuh (fenomena).
Regresi terhadap fenomena ditemukan tak hanya untuk bentuk, tetapi juga untuk besaran, terang

4
warna, dan sebagainya. Contohnya, saat selembar kertas abu-abu diterangkan pada suatu
intensitas yang lebih tinggi sehingga membiaskan cahaya lebih terang ketimbang selembar kertas
putih, kertas tersebut tak tampak lebih terang untuk subjek yang mengetahui warna kertas itu
abu-abu.
Thouless menemukan suatu sampel kecil, yaitu mahasiswa India. Ketimbang mahasiswa
Skotlandia, mereka menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami regresi
fenomenal dalam kedua tugas (dua piringan yang besarnya relatif dan presentasi piringan sirkular
lawan elips). Ia menghubungkan temuannya dengan seni India, dimana, dalam ketiadaan
perspektif, objek lebih digambarkan sebagai tampaknya ketimbang sebagai menampakkan diri
sendiri secara aktual pada pengamat. Menurut Thouless, kebanyakan penjelasan sederhana
terhadap persoalan ini ialah ada perbedaan-perbedaan tentang bagaimana orang mempersepsi.
Hal ini memungkinkan artis India, dibandingkan artis Eropa, memandang objek dengan cara jauh
lebih bergerak ketimbang yang diharapkan menurut prinsip-prinsip perspektif. Beveridge (1935)
menemukan kecenderungan yang lebih besar ke arah regresi fenomenal di antara mahasiswa
Afrika ketimbang mahasiswa Inggris untuk bentuk dan besaran. Dalam kajian lain (Beveridge,
1940), ia memperluas tugas dan menyimpulkan, orang Afrika mungkin kurang dipengaruhi
isyarat visual ketimbang orang Eropa.
Kecurigaan pada gagasan tentang status mental yang diprakonsepsi, yaitu ras,
memengaruhi hasil penelitian, semakin diperkuat ketika karya Oliver ikut dipertimbangkan. Ia
mengambil suatu posisi yang agak modern pada perbandingan rasial dalam skor-skor tes
inteligensi. Oliver menjelaskan hal ini sebagai gabungan unsur-unsur pribumi dalam butir-butir
pertanyaan tes yang memperkenalkan kesulitan bahasa dan instruksi (Oliver, 1932, 1934). Dalam
suatu kajian yang menggunakan Tes Seashore untuk mengungkap kemampuan musikal, ia
menemukan bahwa mahasiswa Afrika Barat, ketimbang mahasiswa Amerika di tingkat sekolah
yang sederajat, memperoleh skor lebih tinggi untuk diskriminasi kekerasan suara, diskriminasi
durasi nada, dan identifikasi ritme, namun rendah dalam skor diskriminasi pola titinada,
diskriminasi warna suara (timbre), dan memori nada (tonal memory). Oliver mencatat hanya tes
warna suara dan tes memori nada yang merupakan dua kemampuan yang berkorelasi dengan
inteligensi, diduga karena instruksi-instruksinya sulit untuk dimengerti. Kesimpulannya, dapat
ditegaskan, di masa lalu, perbedaan-perbedaan dalam proses persepsi dan indrawi dianggap

5
sebagai hal yang penting. Tergantung keyakinan awal seorang penulis, proses-proses itu
dipandang sebagai hasil pengalaman-pengalaman budaya atau bawaan rasial.

2.2.FUNGSI-FUNGSI INDERAWI
Ada lima penjelasan perbedaan lintas budaya dalam reaksi terhadap rangsang indrawi
sederhana:
1. Kondisi lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap alat indra secara langsung
2. Kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap alat indra secara tidak langsung
3. Faktor genetik
4. Perbedaan budaya dalam interaksi dengan lingkungan

Sebagai contoh, ditemukan dalam Reuning dan Wortley (1973) mereka melaporkan suatu
ketajaman pendengaran yang lebih baik dalam frekuensi lebih tinggi atau di atas 800 Hz untuk
orang Kalahari Bushmen daripada orang Denmark dan Amerika Serikat dengan frekuensi yang
sama. Perbedaan ini lebih terlihat pada subjek yang lebih tua. Hal ini menunjukkan adanya
penurunan daya pendengaran sebanding dengan pertambahan usia di gurun Kalahari.
Suatu pengaruh tak langsung dari faktor lingkungan yaitu kekurangan nutrisi, terdapat
pada orang kulit hitam yang direkrut ke Afrika Selatan untuk industri, ditemukan memiliki
adaptasi gelap yang lebih lambat ketimbang orang kulit putih Afrika Selatan (Wyndham, 1975).
Faktor utama nya adalah adanya defisiensi dalam diet yang menyebabkan penurunan penyerapan
vitamin A , sehingga kebanyakan pekerja tambang mungkin menderita penyakit hati. Hal ini
dipandang sebagai penyebab perbedaan-perbedaan budaya dalam pengindraan atau kinerja atau
kinerja motorik.
Beberapa sifat genetik berlangsung secara berbeda dalam berbagai populasi. Hal ini
terkenal dengan insiden buta warna merah-hijau. Di masa Rivers (1901), frekuensi buta warna
merah-hijau lebih rendah dalam beberapa kelompok bukan-Kaukasia ketimbang kaukasia.
Kemudian cara bermata-pencaharian bisa menjadi faktor penting, hal ini dikarenakan para
pemburu memiliki peluang lebih besar menderita buta warna ketimbang populasi yang memiliki
sejarah Panjang dalam pertanian.
Adapun contoh lain yaitu ketidakmampuan mengecap substansi yang mengandung PTC
(phenylthiocarbamide). Sekitar 30% orang Kaukasia “buta kecap” (kekurangmampuan

6
mengecap) karena terbiasa mengecap substansi lebih kasar dibandingkan orang bukan-kaukasia.
Sensitivitas yang berbeda-beda karena pengaruh campuran kimia tertentu atau rangsang
alkoholik dengan ditandai muka merah, umum terjadi pada orang Oriental (Asia Barat, Asia
Tenggara, Afrika Utara) sesudah minum minuman yang mengandung alkohol tetapi jarang
ditemukan pada orang berdarah Eropa (Wolff, 1972, 1973).
Praktek-praktek sosialisasi dan enkulturasi, umumnya dipandang sebagai anteseden
utama dalam perbedaan-perbedaan sensitivitas dan diskriminasi indrawi. Sebagai contoh,
Kuwano, Namba, dan Schick (1986) mengajukan argumen bahwa terdapat perbedaan kecil
terhadap evaluasi kekerasan suara tetangga antara orang Jepang, Inggris, dan Jerman Barat
dengan mengacu faktor sosio-budaya (sejauh mana memberikan toleransi) ketimbang menurut
pengertian ubahan persepsi.
Diasumsikan bahwa orang Afrika memiliki kelebihan dalam mengerjakan tugas-tugas
pendengaran, sementara orang Eropa lebih ke rangsang-rangsang visual. McLuhan (1971)
menekankan pengaruh modalitas visual dalam diri orang barat dan Wober (1966) mengajukan
istilah sensotypes untuk menunjukkan perbedaan antara kelompok budaya dalam hal modalitas
indrawi terhadap yang lain.
Tidak pernah ada suatu pertimbangan teoritis yang baik tentang anteseden budaya yang
dimana hal ini menggiring ke arah predominasi relatif dari persepsi pendengaran dalam diri
orang Afrika. Dalam hal ini, telah diamati orang asal Afrika tampak mengalami kesulitan dalam
pelajaran matematika, tetapi menunjukkan kemudahan untuk belajar bahasa serta pemahaman
yang bagus untuk ritme dan musik.
Pandangan empiris tentang keunggulan isyarat auditori atau kinestetik pada orang Afrika
sangat terbatas. Poortinga (1971, 1972) menyelenggarakan serangkaian eksperimen pemindahan
informasi dengan menghubungkan rangsangan auditori dan visual. Subjek penelitiannya
merupakan mahasiswa kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan yang dimana mereka diminta
memberi penilaian terhadap cahaya sebuah lampu putih dan keras suatu nada. Dengan dua skala
ini, tidak ada bukti mendukung superioritas relatif mahasiswa kulit hitam dalam penilaian
auditoria tau mahasiswa kulit putih dalam penilaian visual.
Sejak awal 1970-an, pengertian seperti sensotype atau predominasi relative auditori
lawan visual, sebagian besar lenyap dari literatur lintas budaya tentang persepsi, hal tersebut

7
dikarenakan adanya suatu peralihan yang sama dalam penekanan dari ranah perilaku yang luas
ke rangsang yang lebih khusus.
Kajian-kajian lintas budaya dengan rangsang indrawi yang sederhana telah jauh tertinggal
dalam masa pertumbuhan umum di bidang tersebut sejak 1950-an. Hal ini mungkin lebih
mencerminkan keyakinan bahwa perbedaan indrawi hanyalah sebagian kecil. Secara tradisional,
sensasi merupakan suatu peran organisme yang pasif sebagai penerima rangsang, dimana
persepsi mengandaikan suatu persentuhan aktif pada pihak organisme dalam seleksi dan
organisasi rangsang.

2.3.WARNA: KODING DAN KATEGORISASI


Warna adalah suatu kualitas fisik objek sama seperti sebuah kesan atau sensasi dengan
manusia sebagai pengamat. Di satu pihak, setiap warna dapat dibatasi secara tak ambigu menurut
pengertian kualitas fisik. Di pihak lain, orang dapat meminta subyek untuk menamai warna,
mengingat warna, mengkategorikan warna, dsb. Dalam awal kajian, istilah-istilah warna diambil
sebagai hal yang menunjukkan apa yang dipersepsikan orang dari suatu budaya tertentu.
William Gladstone (1858) menaruh perhatian pada keanehan-keanehan dalam puisi
Homer–puisi-puisi yang pertama kali disusun selama periode keruntuhan sosial dan budaya
selama berabad-abad, dikenal sebagai "Zaman Kegelapan Yunani" yang berlangsung sekitar
1050 SM-750 SM, di mana melek huruf (keberaksaraan) telah menghilang. Syair yang disusun
berupa sebuah cerita tentang kejadian yang terjadi disekitar Homer dan bisa dinyanyikan secara
turun-temurun oleh rakyat sekitar dan dijadikan sebagai suatu hafalan wajib bagi siswa di
Yunani. Puisi Homer yang terkenal berjudul Illiad dan Odyssey–ketiadaan kata untuk warna
coklat dan abu-abu, diartikan oleh Gladstone sebagai suatu keterbatasan dari penglihatan warna
di kalangan orang Yunani Kuno, dimana beberapa warna yang Homer sebutkan di puisinya
adalah hitam, perak, emas..
Sedangkan Geiger (1880) memperluas gagasan perbedaan sensitivitas warna ini dari awal
sejarah hingga zaman modern. Gagasannya berisi bahwa pada mulanya, hanya warna hitam dan
merah yang dibedakan, selanjutnya kuning dan hijau, akhirnya biru.
Magnus (1880) adalah orang pertama yang menyiasati penyelidikan empirik dengan data
kontemporer. Ia mengumpulkan informasi dari residen-residen asing kolonial dalam sejumlah
negara dengan menggunakan suatu kuesioner seperti helai-helai warna yang berbeda.

8
Sedemikian jauh, Magnus mempercayai, pandangan tentang warna dapat diturunkan dari kajian
tentang nama-nama warna. Dalam banyak negara, kata-kata untuk warna tertentu kurang,
khususnya, suatu kata tunggal untuk warna hijau dan biru sering ditemukan, sementara selalu ada
pengertian-pengertian terpisah untuk warna merah.
Rivers (1901) mengangkat kajian tentang penglihatan warna dan penamaan warna selama
ekspedisi Torres Strait yang terletak di sekitar Australia dan Papua Nugini. Dimana ia banyak
menemukan kebingungan antara warna hijau dan biru, dan antara biru muda dan warna-warna
gelap atau redup. Juga subjeknya lebih mudah mengidentifikasi merah muda ketimbang biru
muda, dengan mengambil orang Eropa sebagai patokan. Meski subjeknya tidak menderita buta
warna, ia mengajukan alasan, dimana penglihatan warna mereka dicirikan dengan dorongan
(insensitiveness) ke arah warna biru dan hijau bila dibandingkan dengan orang Eropa. Lalu
Rivers mengusulkan, perbedaan-perbedaan rasial dalam pigmentasi memainkan peran.
Mediasi bahasa melalui penamaan warna dilontarkan oleh Ray (1952) yang
menyimpulkan kajian-kajiannya dengan orang Amerindian bahwa setiap budaya membagi
spektrum penglihatan ke dalam unit-unit menurut suatu dasar yang cukup acak secara spesifik.
Lalu kebingungan utama antara hijau dan biru ditolak dan mengidentifikasi warna tengahnya
menjadi suatu warna terpisah, bukan lagi biru-hijau.
Garis penelitian baru dimulai oleh Brown dan Lenneberg (1954) dengan pengantar
tentang istilah codability, suatu pengukuran komposit menyeluruh tentang:
1. Persetujuan dalam penamaan helai warna
2. Panjang nama itu
3. Latensi tanggapan dalam penamaan
Dengan harapan warna yang makin kodabel (dapat dikodekan) adalah warna yang lebih
baik diingat dan lebih mudah diidentifikasikan dalam suatu tugas rekognisi.
Lantz dan Stefflre (1964) mengusulkan pengukuran lain yang disebut dengan “ketepatan
komunikasi” atau communication accuracy. Para pendengar diminta untuk mengidentifikasi helai
suatu sorotan warna tertentu dengan dasar istilah warna yang telah disajikan kepada mereka.
Beberapa istilah ditemukan untuk mengantar ke identifikasi yang lebih tepat.
Dalam buku “Peristilahan-peristilahan Warna Dasar: Universalitas dan Evolusinya (Basic
Color Terms: Their Universality and Evolution)” oleh Berlin dan Kay (1969), subyek dwibahasa

9
diminta untuk menyarikan istilah- istilah warna dasar menurut bahasa ibu mereka. Suatu istilah
dasar memiliki empat karakteristik utama:
1. Monoleksimik, maknanya tak dapat diturunkan dari makna bagian-bagiannya, seperti
warna kuning jeruk (oranye)
2. Warna yang diacu istilah itu tidak dipakai dalam istilah warna lain (seperti scarlet yang
merupakan suatu jenis warna merah)
3. Kegunaannya harus tak terbatas pada kelas objek-objek tertentu
4. Istilah-istilah itu harus menonjol secara psikologis.
Kesimpulan yang didapatkan oleh Berlin dan Kay setelah menjalankan sistem Munsell kepada
beberapa subjek dengan dua puluh bahasa berbeda adalah “kategorisasi warna tak acak dan
pengucapan istilah-istilah warna dasar adalah sama dalam semua bahasa”
Banyak budaya tak memiliki nama untuk semua (sebelas) warna dasar dalam bahasa
Inggris. Temuan penting oleh Berlin dan Kay yang kedua adalah adanya suatu hubungan kuat
antara jumlah istilah warna dasar dalam suatu bahasa dengan subset dari warna menonjol yang
memiliki istilah dasar. Mereka menyatakan warna-warna menonjol menjadi terkode dalam
sejarah suatu bahasa dalam tatanan yang sangat teratur. Dalam tahap yang paling elementer, ada
dua istilah satu untuk putih, yang juga mengkodekan warna-warna terang dan hangat (seperti
kuning), satu lagi untuk hitam yang memasukan warna-warna kelam dan dingin (misal, biru).
Karya Berlin dan Kay dapat dikritik pada sejumlah titik. Definisi mereka tentang istilah
warna dasar dalam beberapa hal membingungkan meski tampaknya dapat dioperasikan secara
baik. Kritik yang lebih serius berkeberatan subyek-subyek dari San Fransisco telah tinggal
beberapa lama di Amerika Serikat. Keberatan yang mendasar diajukan McNeill (1972), Berlin
dan Kay dianggapnya meng- abaikan makna fungsional warna dalam suatu budaya.

10
Berlin dan Kay (lihat Gambar 6-1) untuk sensitivitas spektral empat tipe sel yang
ditemukan dalam otak kera-kera Macaque. Sel-sel ini sensitif terhadap panjang gelombang yang
berkorespondensi dengan, berturut-turut, merah, kuning, hijau dan biru.
Makna warna subyektif juga telah ditekankan Sahlins (1976). Pendekatan ulangnya
terhadap karya dari Berlin dan Kai berkenaan dengan pendekatan mereka yang cenderung
mereduksi persoalan budaya ke persoalan alamiah. Dalam pandangan Sahlins, makna sosial ini
memiliki suatu logika pada dirinya sendiri yang tak dapat diterangkan dengan acuan ke perincian
biologis. Budaya memungkinkan terjadi penggunaan alam ketimbang alam menentukan budaya.
Sementara antropolog seperti McNeill dan Sahlins mempertahankan suatu cara pandang
relativistik atau cara pandang kultural, pandangan eksperimental lebih dikumpulkan, terutama,
oleh para psikolog Rosch (1972, 1977) meletakan dasar, warna-warna vokal memiliki kodabilitas
lebih tinggi dalam arti, mereka diberi nama lebih cepat dan lebih pendek ketimbang warna-warna
tak vokal oleh subyek dari dua puluh tiga daerah bahasa, la kemudian menguji hipotesis bahwa
warna-warna vokal juga akan memiliki kodabilitas lebih tinggi ketimbang warna-warna tak
vokal, bahkan untuk warna-warna vokal yang tak memiliki istilah warna dasar. Ia mengkaji
orang Dani, sebuah kelompok di Niugini, dengan hanya dua istilah warna dasar (suatu bahasa
pada tahap pertama dalam sekuensi Berlin dan Kay). Ketika kepada orang Dani ditunjukkan

11
helai-helai warna, mereka sebenarnya tak mengenal warna-warna vokal secara lebih baik
ketimbang warna-warna tak vokal sesudah interval 30 detik (sebagaimana ditempuh subjek
Amerika Serikat).
Dalam kajian kedua, juga melibatkan orang Dani, delapan warna vokal dan warna tak
vokal dipasangkan dengan kata-kata respon yang terpisah. Jumlah percobaan yang disita subyek
untuk mempelajari tanggapan yang benar terhadap tiap-tiap rangsang menjadi ubahan dependen.
Ditemukan, warna-warna vokal secara signifikan meminta lebih sedikit percobaan ketimbang
warna-warna tak vokal. Dalam pandangan Rosch, hasil-hasil itu hendaklah dijelaskan dengan
acuan ke faktor fisiologis yang mendasari penglihatan warna ketimbang faktor linguistik. Ia
menyimpulkan (1972), bahwa jauh dari keniscayaan yang menjadi suatu ranah yang benar-benar
cocok dengan kajian pengaruh bahasa pada pikiran, ruang warna hendaklah tampak sebagai
contoh utama dari pengaruh faktor persepsi yang mendasarinya pada pembentukan dan acuan
dari kategori-kategori linguistik". Pandangan lebih langsung mengenai peran faktor fisiologis
yang mungkin terdapat dalam kategorisasi linguistik pada warna dilaporkan Bornstein (1973). Ia
menghubungkan panjang gelombang warna-warna vokal yang ditemukan

2.4.PERSEPSI POLA DAN GAMBAR


Dalam sebuah kajian representasi gambar di antara orang Mekan, Ethiopia, Deregowski,
dan Muldrow (1972) menggunakan gambar-gambar binatang yang cukup rinci dan jelas sebagai
rangsang. Dalam proses pengujian, beberapa subjek melakukan identifikasi melebihi
pemeriksaan visual, mereka menyentuh kanvas dan sering menciumnya. Hasil ini sesuai dengan
beragam laporan mengenai pengaruh-pengaruh, bahwa persepsi tentang gambar representasi
yang jelas dan bahkan foto (hitam putih), tidak selalu direspon dengan segera dalam budaya
tanpa suatu tradisi gambar. Tak hanya kekurangan rekognisi, tetapi kemungkinan penggambaran
yang khas secara budaya juga dapat menggiring ke dalam kesulitan-kesulitan dalam pemahaman.
Terdapat banyak contoh di mana intensi para artistik tidak dimengerti karena makna simbolik
disalahtafsirkan. Jumlah kesalahtafsiran lebih rendah untuk subyek urban ketimbang rural dan
juga terjadi penurunan sebagai suatu fungsi dari jumlah tahun persekolahan para subyek. Di
antara para artistik, pendapat itu wajar, yaitu semua penggambaran menyertakan penggunaan
kode-kode budaya (cf. Gombrich, 1977). Gambar dipersepsikan dalam suatu cara tertentu,
terutama karena tradisi-tradisi budaya yang berhubungan dengan cara menghadirkan objek dan

12
kejadian-kejadian. Kode-kode merupakan konvensi yang dipelajari oleh dan tak terlepaskan dari
para anggota budaya-budaya tertentu, bahkan ketika mereka sendiri tak menyadarinya.
Pandangan yang bertentangan dikemukakan psikolog seperti Gibson (1966). Ia berargumentasi,
suatu gambar dapat menyajikan suatu objek atau kejadian-kejadian karena mengandung
informasi bagi pemersepsi, sama dengan informasi yang berasal dari lingkungan nyata.

2.4.1. POLA-POLA SEDERHANA DAN GAMBAR-GAMBAR


Kebanyakan gambar cukup kompleks dan mirip sekali dengan lukisan bergaya artistik.
Oleh karena itu, gambar-gambar yang lebih sederhana perlu disimak. Yang pertama ialah
sejumlah besar tubuh data tentang kepekaan terhadap ilusi-ilusi visual. Meskipun pengaruh
faktor fisiologis pada ilusi tak dapat dirumuskan, terpaan yang berkepanjangan terhadap kondisi
lingkungan, diringkas dalam konsep tentang "ketukangan (carpentered ness)" tampaknya untuk
memperhitungkan kebanyakan perbedaan lintas- budaya. Mungkin penting dicatat secara
terang-terangan bahwa semua populasi, paling tidak untuk derajat tertentu, peka terhadap semua
ilusi yang telah dijelajahi dalam perbandingan lintas-budaya.
Kajian sistematik mengenai pratanda kedalaman gambar dimulai Hudson (1960, 1967).
Hudson ingin memasukkan pratanda kedalaman dari besar obyek, superimposisi objek, dan

perspektif dalam gambar. Subyek pertama kali diminta untuk mengenai orang, antelope, dan
gajah serta objek lain yang ada pada gambar. Setelah itu subjek ditanyakan apa yang sedang
dilakukan oleh orang pada gambar dan apakah antelope atau gajah yang berada lebih dekat
dengan orang. Jika terdapat jawaban bahwa orang sedang bergerak mendekati antelope atau
antelope lebih dekat dengan orang ketimbang gajah maka ini diklasifikasikan sebagai tafsiran
trimatra (3M). Jawaban lain diangkat sebagai pandangan dari suatu tafsiran dwimatra (2M).
Tes ini diadministrasikan ke berbagai kelompok di Afrika Selatan yang berbeda dalam
latar pendidikan dan kebudayaan. Subyek usia sekolah kebanyakan memberi jawaban trimatra,
yang lain memberi tanggapan yang hampir semuanya dwimatra. Tetapi, terdapat beberapa
penilaian yang berlawanan dengan hasil dari Tes Hudson. Keberatan paling umum adalah

13
pertimbangan gajah lebih kecil ketimbang antelope di dalam gambar dan karena itu menjadi
lebih jauh. Hal ini bisa memberikan arti lain dalam kemampuan subyek dalam mengartikan
persepsi. Pada waktu yang bersamaan, tidak semua respon cocok dengan keberadaan sorotan
yang berbeda. Hal ini berarti respon verbal harus diperlakukan dengan kecurigaan tertentu.
Pertanyaan pertanyaan berkaitan dengan penggunaan prosedur verbal yang telah
dilakukan: apakah subyek sebenarnya melihat eksperimenter menyimpulkan hal yang telah
mereka laporkan secara verbal? Hal ini ditunjukkan lukisan-lukisan Hudson secara geometrik
tidak akurat. Posisi pada gambar dalam lukisan tidak cocok jaraknya dengan keadaan asli. Lalu,
kemungkinan pemberian suatu respon yang tepat secara kebetulan agak tinggi.
Jahoda dan McGurk menggunakan suatu tes di mana elevasi yang membentuk pratanda
kedalaman paling penting. Mereka menggunakan respon nonverbal dengan meminta subyek
menempatkan model-model pada suatu papan respon dalam posisi yang sama dengan gambar
model pada stimulus. Anak anak kecil (4 tahun) menunjukkan wawasan persepsi kedalaman.
Anak-anak di berbagai budaya, termasuk Ghana, Hong Kong, dan Zimbabwe memberi
respon-respon yang menunjukkan pengaruh elevasi dan beberapa pratanda kedalaman lain.
Ada dua pratanda kedalaman yang berkaitan dengan perhatian khusus. Yang pertama
tingkat jaringan jangkauan indrawi (gradient of texture). Ketika seseorang sedang menebar
pandangan ke suatu tembok bata, rincian bata-bata yang terpisah dapat dilihat di latar depan.
Ketika jarak bertambah, rincian jaringan yang dapat dipersepsi semakin kurang, sehingga disebut
jaringan jangkauan indrawi. Jaringan ini suatu pratanda kedalaman utama dalam fotografi, tetapi
tidak tercakup dalam perangkat stimulus pada kajian lintas budaya. Hal ini menjadi satu alasan
mengapa stimulus ini kurang mengandung informasi penting.
Yang kedua adalah perspektif linier. Dalam banyak gambar, termasuk beberapa di
antaranya dari Hudson, suatu cakrawala ditarik, memungkinkan semua garis mengarah
kepadanya, sehingga membentuk garis sejajar dari ruang sebenarnya. Hal ini telah menjadi suatu
titik perdebatan seru, apakah pratanda kedalaman, yang memiliki suatu impak sedemikian
gamblang pada persepsi kedalaman untuk subyek Barat, harus dipandang sebagai suatu
konvensi. Tetapi perspektif linier dalam lukisan tidak berkorespondensi secara dekat dengan
kenyataan seperti sering dipikirkan. Garis-garis paralel berkonvergensi pada keterbatasan, tetapi
cakrawala medan penglihatan kita tidak pernah berada dalam keterbatasan. Pada pihak lain, di
bawah sebagian besar keadaan, lukisan yang mendasarkan diri pada patokan-patokan perspektif

14
linier lebih cenderung mengikuti susunan sinar optik dari ruang nyata ketimbang lukisan yang
dibentuk menurut prinsip lain. Jadi, perspektif linier bukan suatu konvensi dalam arti persetujuan
semena-mena. Ini menyebabkan representasi yang lebih realistis dibandingkan konvensi lain.
Dalam analisis tentang persepsi gambar, Deregowski membuat suatu pembedaan antara
persepsi epitomic dan eidolic. Gambar tertentu dapat dikenal menyajikan suatu obyek tanpa
menyertakan suatu ilusi kedalaman. Gambar semacam itu, satu ilustrasi terbaik ialah siluet
disebut Deregowski sebagai epitomic. Ada juga gambar yang menyertakan pengertian
kedalaman. Deregowski kemudian membicarakan gambar-gambar eidolic. Beberapa gambar
memiliki kualitas-kualitas eidolic bila kualitas-kualitas itu tak dapat dikaitkan dengan suatu
obyek nyata. Gambar mengada-ada seperti two-pronged trident dalam Gambar 6-7 merupakan

contoh paling jelas. Karakter eidolic gambar ini amat kuat sehingga menyertakan kesan suatu
obyek yang tak dapat eksis dalam kebanyakan subyek Barat dewasa meski karakter 3M tidak
dipersepsi secara universal. Kita sadar tentang pratanda-pratanda epitomic, awan mendung dapat
saja dipersepsi sebagai gambar-gambar epitomic seperti sebuah wajah atau seekor binatang.
Perbedaan epitomic-eidolic juga penting sejauh mengingatkan kita bahwa persepsi
gambar hendaklah tak dipandang sebagai suatu proses psikologis yang uniter. Deregowski
sampai pada suatu konsepsi yang mempertimbangkan persepsi gambar sebagai seperangkat
keterampilan. Seorang pemersepsi terampil dapat berurusan dengan suatu ragam pertanda yang
luas dan menggunakan pratanda tersebut sesuai dalam situasi apa saja. Dasarnya ialah rekognisi
pemersepsi, suatu situasi menuntut terapan keterampilan tertentu. Hal ini berarti, seorang harus
belajar memperlakukan gambar sebagai suatu pengejawantahan ruang nyata. Orang Mekan
punya beberapa kesulitan awal dengan ini. Subyek Barat telah belajar menafsirkan pratanda
perspektif linier sebagaimana dilukiskan dalam beberapa gambar Hudson.
Berteori tentang persepsi gambar sebagai seperangkat keterampilan memperjelas,
pratanda yang digunakan dan bobot relatif yang dipersentuhkan dengan masing-masing pratanda

15
secara budaya dapat berbeda. Masuk akal beranggapan secara budaya kondisi khusus akan
menentukan manakah keterampilan yang akan berkembang. Dalam kaitan ini, suatu pendekatan
yang mempostulatkan seperangkat keterampilan membenarkan keragaman dalam perbedaan
lintas budaya mengenai respon terhadap gambar yang menurut pandangan Barat berisi
pratanda-pratanda kedalaman. Namun, teori ini gagal untuk dibuktikan di bawah
pengamatan-pengamatan terhadap suatu keadaan apa saja.

2.4.2. KEPEKAAN TERHADAP ILUSI VISUAL


Seluruh bangunan penelitian lintas-budaya tentang ilusi visual telah dipicu kajian terkenal
dari Segall, Campbell, dan Herskovits (1966). Kajian ini berangkat dari suatu perbedaan
pendapat antara antropolog Melville Herskovits dan psikolog Donald Campbell. Herskovitz,
yang gagasan-gagasannya tentang relativisme budaya berimplikasi hampir pada fleksibilitas
yang tak terbatas dari organisme manusia, mempercayai pengalaman-pengalaman dasar seperti
persepsi tentang panjang potongan garis sekalipun akan dipengaruhi faktor budaya. Campbell
skeptis dengan pandangan ini. Proyek yang mereka mulai bersama Marshall Segall berakar
dalam karya Brunswik (1956). Ja percaya, pengalaman yang diulang-ulang dengan pratanda
persepsi tertentu akan mempengaruhi bagaimana pratanda-pratanda itu dipersepsi. Hal ini
diungkap dalam pengertian "kesahihan pratanda ekologis (ecological cue validity)." Ilusi terjadi
tatkala tafsiran-tafsiran pratanda yang semula dipelajari tak dapat diterapkan karena karakteristik
rangsang yang tak biasa atau mengecohkan.
Tiga hipotesis ditarik:
1. Hipotesis dunia ketukangan (carpentered world hypothesis). Hipotesis ini
mempostulasikan suatu kecenderungan diantara segala sesuatu yang muncul dalam
lingkungan yang dibentuk para tukang untuk menafsirkan gambar-gambar bukan persegi
panjang sebagai penggambaran dari gambar-gambar persegi panjang yang dilihat dalam
perspektif
2. Hipotesis ketersembunyian. Hipotesis ini menunjuk pada garis-garis dalam ruang yang
menjauh dari kedudukan si pemandang. Dalam penghadiran gambar, tampak gambar-
gambar sebagai garis-garis tegak. Orang yang hidup dalam lingkungan dengan cakrawala
luas mempelajari, garis-garis tegak pada retina dapat menghadirkan jarak panjang.

16
Mereka lebih peka terhadap ilusi mendatar-tegak ketimbang orang yang hidup dalam
lingkungan tertutup, seperti di suatu hutan penghujan.
3. Hipotesis kecanggihan. Belajar untuk menafsirkan pola dan gambar gambar akan
meningkatkan ilusi-ilusi geometris yang dihadirkan secara dwimatra. Terpaan
materi-materi gambar memungkinkan orang peka terhadap ilusi visual.

Berdasarkan ketiga hipotesis diatas, pengaruh ilusi timbul karena tafsiran persepsi tiga
mantra dari gambara dwi matra. Hal ini menyatakan pertalian yang dekat antara persepsi
kedalaman gambar dan kepekaan ilusi (cf. Deregowski, 1980a, 1980b).
Tak semua data cocok dengan hipotesis dunia ketukangan (carpentered world hypothesis atau
hipotesis ketersembunyian foreshortening hypothesis). Kesenjangan terpenting temuan Segall
dkk. ialah kepekaan terhadap hampir semua ilusi berkurang sejalan dengan usia, sementara
terpaan yang kian meningkat atas lingkungan akan menggiring ke arah keadaan berlawanan,
paling tidak untuk ilusi Müller-Lyer dan ilusi yang berkaitan. Di antara pakar lain, Wagner
(1977) dan Brislin (1974) menemukan, terutama dengan berbagai bentuk ilusi Ponzo, hubungan
itu lebih ambigu dan terkadang menunjukkan peningkatan kepekaan sejalan usia. Meski efek
ubahan budaya dalam persepsi ilusi visual tetap merupakan persoalan yang dalam banyak hal
berkaitan dengan isi (simak terutama Deregowski, 1989), kami berpegang pada pendapat,
hipotesis-hipotesis yang disebut pada bagian awal Boks ini didukung pandangan-pandangan
yang tersedia.
Hanya ada sedikit kajian perbedaan lintas-budaya dalam persepsi pola-pola sederhana.
Berbagai faktor anteseden, seperti ketukangan dari lingkungan, telah disebut dalam penjelasan,
semua menekankan pengalaman-pengalaman khusus (atau paling tidak demikian), tetapi
memang begitu sejauh dapat diingat. Jenis penjelasan ini tak memungkinkan kita memprediksi
dengan lebih tepat, apakah suatu tugas tertentu akan mudah atau sulit bagi suatu kelompok
tertentu. Reuning dkk. heran dengan temuan bahwa orang Bushmen dapat memahami simetri
secara bagus. Hal ini sama mengherankan dengan temuan Jahoda bahwa anak- anak Ghana
cenderung untuk menolak orientasi selain mengelaborasi instruksi. Rupanya, tetap saja
kondisi-kondisi

17
Gambar diatas adalah Ilusi visual yang digunakan Segall, Campbell dan Herskovitz (1966).
Secara berturut-turut pola-pola itu: (a) parallelogram Sander, (b) ilusi Müller-Lyer, (c dan d) dua
versi ilusi mendatar-tegak, (e) bentuk yang dimodifikasi dari ilusi Ponzo, dan (D) ilusi
Poggendorff.
2.5.ESTETIKA
Ada 2 temuan suatu analisis lintas budaya tentang seni yang saling rancu:
1. Keberagamaan yang terlalu luas dalam konvensi adat, tradisi, dan gaya ungkapan
2. Adanya fleksibilitas mekanisme persepsi manusia dalam menyiasati keberagaman.

Dalam hal ini, di samping keberagaman yang terlalu luas dalam gaya-gaya seni, terdapat
mekanisme persepsi umum yang membahas tentang persamaan-persamaan lintas budaya dalam
apresiasi estetika. Sebagai contoh terdapat sedikit persamaan di antara lukisan-lukisan fragmen
orang Bushman yang bergaya klasik Mesir, lanskap pasca-Renaissance dari Belanda, dan lanskap
Jepang yang dilukis dalam gaya tradisional.
Konvensi adat telah berperan dalam persepsi karena hal ini sangat penting dalam
pembuatan karya seni dan keberagaman berbagai gaya. Lawlor (1955) menunjukkan bahwa latar
budaya akan menjadi penentu yang penting dalam penafsiran suatu penilaian. Contoh lainnya
adalah pada C.R Morris (1956) yang menemukan korelasi positif antara lukisan-lukisan Barat
dari Cina, India, dan Amerika Serikat. Namun, korelasi positif ini kadang hanya dipandang
kasatmata dalam apresiasi dan ditemukan di antara para pakar Amerika.
Pendekatan yang cukup berbeda telah dilakukan oleh H.J Eysenck pada 1971 dengan
menggunakan polygon yang berbeda. Penemuan Eysenck ini sejalan dengan teoritis Berlyne

18
(1960, 1971). Berlyn menghubungkan apresiasi terhadap karakteristik stimulus tertentu yang
diacu oleh ubahan-ubahan collative. Apresiasi estetik ini dipandang sebagai contoh istimewa dari
keingintahuan atau perilaku mencari stimulus. Stimulus ini dicari karena adanya aktivitas untuk
memuaskan diri sendiri. Dari pengamatan seni, orang dapat menemukan kepuasan, hal inilah
mengapa perilaku dapat memberikan imbalan untuk dirinya sendiri. Lebih jelasnya, teori Berlyne
berkaitan dengan motivasi dengan persepsi.
Berlyne membuat penggunaan pasangan pola-pola yang berbeda dalam kompleksitas.
Sejumlah unsur dapat dibedakan seperti bentuk suatu pola gambar dapat teratur atau tak teratur,
pola-pola simetris atau asimetris, dan sebagainya. Berlyne (1980) menekankan bahwa hasil-hasil
yang ditemukan lebih menunjukkan adanya kesamaan dibandingkan perbedaan di dalam lintas
budaya. Dengan hal ini, perbedaan-perbedaan antar budaya lebih besar bila dibandingkan
perbedaan antar sampel dalam negara yang sama.
Bragg dan Crozier (1974) memperoleh hasil taksiran pada berbagai skala untuk
seperangkat pola suara yang memvariasikan kompleksitas informasional secara sistematik.
Grafik taksiran atas kompleksitas dan kesukaan dari beragam stimulus menunjukkan suatu
tingkat kesamaan lintas-budaya yang besar.
Poortinga dan Foden (1975) menggunakan stimulus visual dalam suatu analisis
perbandingan atas keingintahuan dalam diri mahasiswa kulit hitam dan kulit putih Afrika
Selatan. Mereka mengumpulkan empat macam data:
1. Memasukkan pengukuran atas ubahan-ubahan collative (ketidakselarasan, keambiguan,
kompleksitas, dan kebaruan)
2. Self report pada perilaku pencarian stimulus
3. Indeks psikofisiologis dari keterangsangan
4. Tes intelegensi
Dari data pengukuran yang diadministrasikan dua kali, untuk mengendalikan efek-efek
ketakfamilairan dengan situasi eksperimen, disimpulkan berdasarkan kepercayaan, skors-skors
pada ubahan collative akan ditentukan ketakfamiliaran dengan situasi, keterangsangan, atau
intelegensi.
Terdapat dua tugas dari Poortinga dan Foden (1975) yaitu dua pengukuran atas
kompleksitas:

19
1. Non-representational Complexity Test, menggunakan pola-pola potongan garis simetris
yang diperoleh dengan komputer dan terdapat delapan tingkat kompleksitas. Hasil grafik
untuk kelompok kulit hitam memiliki puncak di bawah tingkat kompleksitas tertinggi,
dan untuk kelompok kulit putih tak terdapat puncak, mungkin karena tingkat
kompleksitas belum cukup diperluas untuk subjek ini.

2. Representational Complexity Test, didasarkan pada ungkapan-ungkapan seni visual yang


ada, dari enam tradisi budaya berbeda, beragam dari lukisan fragmen orang Bushman
hingga seni modern abstrak. Slide negatif hitam putih disiapkan untuk menyembunyikan
kompleksitas lukisan asli, tes ini pun diadministrasikan dalam cara yang sama dengan
Non-Representational Complexity Test. Kesamaan hasil grafik antara kedua tes tampak
tegas.

Keseluruhan hasil kajian ini memberi dukungan yang dapat mempertimbangkan untuk
rangkaian penelitian, umumnya dalam estetika psikologis. Dibalik konvensi-konvensi yang

20
berbeda tentang ungkapan estetik, terdapat mekanisme psikologis yang universal dalam persepsi
dan apresiasi stimulus visual.

21
BAB III
PENUTUP
3.1.KESIMPULAN
Dari bahasan di atas, tidak semua persepsi adalah sama dan serupa yang menunjukkan
perbedaan lintas budaya. Pada suatu hal yang berkenaan dengan fungsi-fungsi indrawi dasar
seperti konstansi persepsi dan diskriminasi stimulus pada skala psikofisiologis, diharapkan
terjadi suatu tingkat kesetaraan kinerja yang sama untuk semua kelompok budaya. Pada tingkat
kompleksitas stimulus yang lebih tinggi, poal-pola tadi bisa berubah. Kebiasaan-kebiasaan
persepsi yang terdiri dari ruang nyata ke pola persepsi, telah disebut sebagai anteseden bagi
perbedaan-perbedaan lintas budaya dalam hal kepekaan terhadap ilusi visual tertentu.
Jika kesenjangan antara ruang nyata dan tampilan gambar menjadi luas, makan akan ada
perbedaan lintas budaya yang meningkat. Namun, penelitian tentang apresiasi estetik telah
menunjukkan adanya suatu mekanisme universal dibalik konvensi berbagai tradisi artistik.
Ketika tekanan lebih ditempatkan pada mekanisme umum, penjelasan perbedaan lintas-budaya
dalam persepsi akan beralih ke konvensi (kesepakatan budaya yang memiliki kewenangan pasti).
Sebagai contoh terdapat formulasi tentang hipotesis kompensasi. Jika jumlah nya cukup besar,
berati konvensi-konvensi tersebut dapat mempunyai suatu pengaruh efektif pada perilaku.
Persepsi merupakan pelajaran terpenting, dengan hal ini kita dapat belajar dari keberagaman
dalam gaya artistik.

3.2.SARAN
Seperti yang kita ketahui bahwa manusia memiliki persepsi berbeda yang
dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya. Hal ini menandakan dalam kehidupan kita, budaya
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi seseorang. Sebagai makhluk sosial, kita
tidak jauh dengan yang namanya nilai moral untuk keberlangsungan hidup, nilai moral ini
didasari dengan adanya hubungan antara persepsi dan budaya yang akan membangun seseorang
dalam membangun hubungan sosial yang baik. Untuk memahami lingkungan sosial di sekitar
kita, kita harus mampu memahami budaya individu lain dengan belajar bagaimana
menghubungkan antara persepsi dan latar belakang budaya tersebut.

22
DAFTAR PUSTAKA
Psikologi Lintas-Budaya. Riset dan aplikasi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, 1999. Bahasa Indonesian translation of: Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., &
Dasen, P. R. (1992). Cross-cultural psychology: research and applications. Cambridge:
Cambridge University Press.

23

You might also like